DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh
RESITA MEILAFIKA SETIAWARDANI 20120350037
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARYA TULIS ILMIAH
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENATALAKSANAAN PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh
RESITA MEILAFIKA SETIAWARDANI 20120350037
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Resita Meilafika Setiawardani
NIM : 20120350037
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini. Apabila terbukti pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab penulis.
Yogyakarta, 30 Agustus 2016
Yang menyatakan,
iv
MOTTO
“Jadilah seperti karang dilautan yang selalu kuat meskipun terus dihantam ombak, lakukanlah hal yang bermanfaat bagi orang lain,
karena hidup tidak abadi”
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.”
(Q.S. Ar-Ra’d : 11)
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah : 153)
“Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan. Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain). Dan
berharaplah kepada Tuhanmu”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan kepada :
Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan sehat jasmani dan rohani.
Kedua orang tua saya yang tercinta, Papa Teguh Setiawan dan Mama Siti Sukaenah yang selalu mendoakan dan mendukung anaknya serta
memberikan kasih sayang yang tidak ada habisnya sehingga anaknya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
Adik saya yang tersayang Firdaus Rizqullah Ramadhan yang mendukung dan mendoakan kakaknya.
Keluarga besar saya yang yang menaruh banyak harapan, mendoakan dan berbagi pengalaman dengan saya.
Akhmad Nurzaki, Eka Rachmawati, Wanti Nur Indah, Nazila Ayu Muthmainnah, Ika Dewi Rahmawati, Gresti Ilmarosa Robin yang
selalu mendukung dan memberikan semangat kepada saya, menjadi teman seperjuangan saya serta selalu berbagi kebahagiaan dan keceriaan buat saya serta membantu saya dalam menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah ini.
Teman-teman Farmasi angkatan 2012 yang selalu bersama menuntut ilmu dan berjuang bersama-sama, semoga kita semua menjadi lulusan
terbaik dan sukses karir di masa yang akan datang.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala petunjuk dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penatalaksanaan Pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap
RS PKU Muhammadiyah Gamping Periode Januari-Juni 2015”. Meskipun banyak
hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaanya, akhirnya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis tidak lepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. H. Ardi Pramono, S.An., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Sabtanti Harimurti, Ph.D., Apt, selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Nurul Mazziyah, M.Sc., Apt, selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
4. Pinasti Utami, M.Sc,. Apt, selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas bantuan dan bimbingannya kepada penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini.
5. Pramitha Esha ND, M.Sc., Apt, selaku dosen penguji 1. Terima kasih yang
telah menyetujui dan memberikan pengarahan dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
vii
7. Seluruh Dosen Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta yang memberikan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
8. Joko Sudibyo, Apt selaku apoteker di RS PKU Muhammadiyah Gamping
yang telah membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.
9. Pihak luar yang membantu Sri Subekti RL, A.Md selaku pembimbing dibagian rekam medis dan Staf RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.
10.Kedua orang tua dan adik penulis yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
11.Akhmad Nurzaki yang telah memberikan waktu dan semangat untuk
membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini dari awal hingga akhir. 12.Semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung telah memberikan
bantuan dan saran dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kriteria penelitian yang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Yogyakarta, 30 Agustus 2016
Penulis,
viii
DAFTAR ISI
KARYA TULIS ILMIAH ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii
MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
INTISARI ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Perumusan Masalah... 3
C. Keaslian Penelitian ... 4
D. Tujuan Penelitian ... 4
E. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
A. Congestive Heart Failure ... 6
1. Definisi ... 6
2. Patofisiologi ... 6
3. Etiologi ... 7
4. Faktor Resiko ... 8
5. Klasifikasi ... 8
6. Gejala CHF ... 9
7. Diagnosis ... 10
8. Tatalaksana Terapi CHF ... 11
B. Drug Related Problems (DRPs) ... 18
ix
D. Keterangan Empiris ... 19
BAB III METODE PENELITIAN ... 20
A. Desain Penelitian ... 20
B. Tempat dan Waktu ... 20
C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 20
D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 21
E. Definisi Operasional ... 21
F. Instrumen Penelitian ... 23
G. Cara Kerja ... 24
H. Skema Langkah Kerja ... 25
I. Analisis Data ... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28
A. Karakteristik Subjek Penelitian... 28
1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28
2. Karakteristik Berdasarkan Usia ... 29
3. Karakteristik Berdasarkan Length of Stay (LOS) ... 30
4. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta ... 31
B. Identifikasi Drug Related Problems (DRP) ... 34
1. Kejadian yang tidak diharapkan / Adverse Drug Reaction (ADR) ... 35
2. Pemilihan obat yang tidak sesuai / Drug Choice Problems ... 36
3. Dosis yang tidak sesuai ... 39
4. Pengobatan yang tidak sesuai/ drug use problems ... 40
5. Interaksi Obat ... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 47
A. Kesimpulan ... 47
B. Saran ... 47
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Patofisiologi CHF...6
Gambar 2. Pengelolaan gagal jantung...11
Gambar 3. Kerangka konsep...19
Gambar 4. Skema langkah kerja...25
Gambar 5. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin...28
Gambar 6. Karakteristik pasien berdasarkan usia...30
Gambar 7. Karakteristik pasien berdasarkan Length of Stay (LOS)...31
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Keaslian penelitian...4
Tabel 2. Perbandingan klasifikasi gagal jantung ACCF/AHA dan klasifikasi fungsional NYHA...9
Tabel 3. Klasifikasi DRP...18
Tabel 4. Karakteristik pasien berdasarkan penyakit penyerta...32
Tabel 5. Persentase kejadian DRPs pada pasien CHF...35
Tabel 6. Identifikasi DRP berdasarkan pemilihan obat yang tidak sesuai...36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan lama rawat inap...53 Lampiran 2. Data rekam medik pasien CHF di instalasi rawat inap RS PKU
xiii
kelelahan saat beraktifitas. Pengobatan CHF dilakukan terapi farmakologi yang memungkinkan terjadinya drug related problems (DRPs). Identifikasi DRPs meliputi beberapa kriteria, yaitu kejadian yang tidak diinginkan (adverse drug reaction), pemilihan obat yang tidak sesuai (drug use problem), dosis yang tidak sesuai (dosing problem), penggunaan obat yang tidak sesuai (drug use problem), interaksi obat (drug interaction). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian DRPs pada terapi pasien rawat inap Congestive Heart Failure (CHF) di RS PKU Muhammadiyah Gamping.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental secara deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Pengambilan data pasien CHF di RS PKU Muhammadiyah Gamping dilakukan secara retrospektif mulai dari September 2015-April 2016 dengan cara mencatat data rekam medis pasien. Sampel dari penelitian ini terdiri dari 35 pasien dengan diagnosis utama CHF yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis DRP dilakukan berdasarkan jenis DRP yang ditemukan dengan menggunakan acuan utama yaitu Pharmaceutical Care Network Europe
(PCNE) 2006, ACCF/AHA Guideline for The Management of Chronic of
Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice
tahun 2013 dan Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition.
Hasil identifikasi DRPs pada penatalaksanaan pasien CHF di instalasi rawat inap RS PKU Muhammadiyah Gamping menunjukkan bahwa terdapat 20 pasien (57,14%) yang terdiri dari interaksi obat (drug interaction) sebanyak 35 kejadian (77,78%), pemilihan yang obat yang tidak sesuai (drug choice problem) sebanyak 6 kejadian (22,22%). Sementara kejadian yang tidak diinginkan (adverse drug reaction), dosis yang tidak sesuai (dosing problems) dan penggunaan obat yang tidak sesuai (drug use problems)tidak ditemukan.
xiv
activity. The pharmacological therapy of CHF can caused DRP are possible to occur drug related problems (DRPs). There are some types of DRPs such as adverse drug reaction, drug choice problem, dosing problem, drug use problem and drug interaction. The aim of this research is to describe the incidence of DRPs in the management oh hospitalized patients with CHF in RS PKU Muhammadiyah Gamping.
This research was a non-experimental research with cross-sectional descriptive analysis. Data was collected retrospectively from September 2015 to April 2016 from inpatients medical records. Sample in this research consist of 35 CHF inpatients which included in inclusion criteria. DRPs was analyzed based on classification of DRPS and use primary reference is Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) 2006, ACCF/AHA Guideline for The Management of Chronic of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice tahun 2013 dan Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition.
The result showed that DRPs in the management of patients with CHF inpatients RS PKU Muhammadiyah Gamping indicates that are 20 patients (57,14%) it contains drug interaction with 35 incidence (77,78%), drug use problems with 6 incidence (22,22%), and not found in adverse drug reaction, dosing problems and drug choice problems category.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah
kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Penyakit ini menjadi
penyebab nomor satu kematian di dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2008
diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60
tahun. Kematian dini yang disebabkan oleh penyakit jantung berkisar
sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi, dan 42% terjadi di negara
berpenghasilan rendah. Kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung
pembuluh darah, terutama penyakit jantung koroner dan stroke
diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada
tahun 2030 (Kemenkes RI, 2014).
Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah ini terus
meningkat dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban
sosial ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat dan negara. Prevalensi
penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis
dokter sebesar 0,5%. Berdasarkan diagnosis dokter gejala sebesar 1,5%.
Sementara itu, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013
Gagal jantung masuk pada urutan keempat sebagai penyebab
kematian di DIY. Hasil dari laporan rumah sakit, hal tersebut dapat
menunjukkan bahwa penyakit degeneratif menjadi ancaman yang harus
diwaspadai, perilaku hidup sehat dapat dilaksanakan sebagai program
promotif tehadap perilaku hidup sehat agar masyarakat dapat mengurangi
faktor resiko untuk penyakit degeneratif (Dinkes DIY, 2013). Kasus gagal
jantung di Yogyakarta berdasarkan data RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
dari bulan Januari-November 2012 sebanyak 3.459 orang, baik pasien
yang baru terdiagnosis maupun pasien lama yang melakukan rawat jalan.
Sedangkan pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap sebanyak 4012
pasien.
Pasien gagal jantung kongestif biasanya mengalami komplikasi
penyakit lain sehingga membutuhkan berbagai macam obat dalam
terapinya. Pemberian obat yang bermacam-macam tanpa dipertimbangkan
dengan baik dapat merugikan pasien karena mengakibatkan terjadinya
perubahan efek terapi (Yasin et al., 2005). Oleh karena itu, adanya
interaksi obat harus diperhatikan untuk mengurangi kejadian DRP
termasuk pada pasien rawat inap gagal jantung kongestif.
Drug Related Problem (DRP) merupakan peristiwa atau keadaan
terkait obat yang berpotensi mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan
(PCNE , 2006). DRP dapat terjadi pada semua proses penggunaan obat,
morbiditas dan mortalitas serta peningkatan biaya perawatan (Adusumilli ,
2014).
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui angka kejadian DRP dalam pengobatan CHF pada pasien
rawat inap RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Pemilihan RS
PKU Muhammadiyah Gamping karena rumah sakit ini merupakan rumah
sakit pendidikan yang berkontribusi terhadap perserikatan Muhammadiyah
dan prevalensi penyakit CHF cukup tinggi.
Sebagai seorang muslim harus berpedoman pada Al-qur’an, berikut
adalah Surah Al-Isra ayat 82.
" Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. "
B. Perumusan Masalah
Berapakah angka kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada
terapi pasien Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani rawat inap
C. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian dengan judul
“Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penatalaksanaan Pasien
Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap RSU PKU
Muhammadiyah Gamping Periode Januari-Juni 2015” belum pernah
dilakukan, adapun penelitian terkait sebagai berikut :
Tabel 1. Keaslian Penelitian
Nama Pengarang
Judul Hasil
Hadiatussala mah.2013
Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien dengan Diagnosis Congestive Heart Failure di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012
Prevalensi kejadian DRPs yaitu 32,87% (59 kejadian). DRPs yang paling banyak terjadi adalah terapi tanpa indikasi disusul dengan interaksi obat dan indikasi tidak diterapi. Endah
Sussilowati. 2014
Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penatalaksanaan pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap RSU PKU Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013.
Terdapat 32 kejadian DRPs dari 26 kasus. Kejadian DRPs terbanyak adalah interaksi obat sebanyak 19 kejadian.
Perbedaan penelitian ini terletak pada lokasi penelitian dan
pengambilan sampel.
D. Tujuan Penelitian
Mengetahui angka kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada
terapi pasien Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani rawat inap di
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Manfaat penelitian ini bagi rumah sakit adalah sebagai bahan
masukan untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan pengobatan
terhadap pasien CHF.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Memberikan pengetahuan atau wawasan kepada tenaga
kesehatan terutama farmasis mengenai problem dalam pengobatan
CHF.
3. Bagi Peneliti
Memenuhi syarat kelulusan menjadi sarjana farmasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Congestive Heart Failure
1. Definisi
Gejala klinis kompleks yang sering, ditandai dengan kelainan
struktural atau disfungsi jantung yang merusak kemampuan ventrikel kiri
(LV) untuk mengisi atau memompa darah, terutama saat aktifitas fisik
(NHFA , 2011). Perawatan gagal jantung terjadi pada beberapa keadaan,
dengan berbagai terapi dan umumnya melibatkan pasien (Milfred-Laforest
et al., 2013).
2. Patofisiologi
.
Gambar 1. Patofisiologi CHF
CHF berawal dari disfungsi jantung kiri yang disebabkan beban
tekanan berlebihan sehingga kebutuhan metabolik meningkat. Peningkatan
kebutuhan metabolik menyebabkan volume overload yang abnormal pada
jantung, cardiac output menurun sehingga menyebabkan beban pada
atrium karena tekanan meningkat. Hal ini menyebabkan hambatan vena
pulmonari yang kemudian membuat bendungan pada paru-paru dan
mengakibatkan edema paru. Beban ventrikel kanan (V.Ka) bertambah
menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan (V.Ka) sehingga mengakibatkan
gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dan kiri ini disebut dengan
CHF.
Ketika jantung mulai gagal, tubuh mengaktifkan beberapa
kompleks mekanisme kompensasi dalam upaya untuk mempertahankan
Cardiac output dan oksigenasi organ vital. Hal ini termasuk peningkatan
simpatik, aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), natrium
dan retensi air dan neurohormonal adaptasi, yang menyebabkan jantung
remodeling (dilatasi ventrikular, hipertrofi jantung dan perubahan bentuk
lumen ventrikel kiri (Dipiro, 2015).
3. Etiologi
Menurut Alldredge et al,. (2013), penyebab CHF terdiri atas :
a. Output rendah, disfungsi sistolik (dilatasi kardiomipati) dapat
disebabkan iskemik koroner, Infark miokard, regurgitasi, konsumsi
idiopatik. Juga dapat disebabkan hipertensi, stenosis aorta dan volume
overload.
b. Disfungsi diastolik dapat disebabkan iskemik koroner, infark miokard,
hipertensi, stenosis aorta dan regurgitasi, perikarditis, pembesaran
septum ventrikel kiri.
c. High-output failure disebabkan oleh anemia dan hipertiroid.
4. Faktor Resiko
Di Indonesia prevalensi penyakit jantung dari tahun ke tahun terus
meningkat. Merokok, obesitas, kadar kolesterol, tekanan darah tinggi,
kurang aktifitas, diabetes melitus dan stress merupakan faktor resiko utama
CHF. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa reaksi
peradangan (inflamasi) dari penyakit infeksi kronis mungkin juga menjadi
faktor risiko (LIPI, 2009).
5. Klasifikasi
American College of Cardiology Foundation/ American Heart
Association (ACCF/AHA) dan NewYork Association (NYHA)
memberikan informasi tentang klasifikasi atau tingkatan dari gagal
jantung. ACCF / AHA menekankan pada perkembangan penyakit seorang
pasien gagal jantung yang digunakan untuk menggambarkan individu dan
populasi, sedangkan NYHA menekankan pada gejala fungsional penyakit
Tabel 2. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung ACCF/AHA dan Klasifikasi Fungsional NYHA
Klasifikasi gagal jantung menurut ACCF/AHA. Tingkatan gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung
Klasifikasi fungsional NYHA. Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas fisik
A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
C Gagal jantung yang simptomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
III Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
D Gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi khusus
IV Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
6. Gejala CHF
Menurut NHFA (2011) gejala yang dapat terjadi pada pasien dengan
CHF sebagai berikut :
a. Sesak nafas saat beraktifitas muncul pada sebagian besar pasien,
awalnya sesak dengan aktifitas berat, tetapi kemudian berkembang
pada tingkat berjalan dan akhirnya saat istirahat.
b. Ortopnea, pasien menopang diri dengan sejumlah bantal untuk tidur.
Hal ini menunjukkan bahwa gejala lebih cenderung disebabkan oleh
c. Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND) juga menunjukkan bahwa
gejala lebih cenderung disebabkan oleh CHF, tetapi sebagian besar
pasien dengan CHF tidak memiliki PND.
d. Batuk kering dapat terjadi, terutama pada malam hari. Pasien
mendapatkan kesalahan terapi untuk asma, bronkitis atau batuk yang
diinduksi ACEi.
e. Kelelahan dan kelemahan mungkin jelas terlihat, tetapi umum pada
kondisi yang lain.
f. Pusing atau palpitasi dapat menginduksi aritmia.
7. Diagnosis
Menurut Dipiro (2013) diagnosis CHF sebagai berikut :
Pertimbangkan diagnosis HF pada pasien dengan tanda dan gejala
yang khas. Sebuah riwayat dan pemeriksaan fisik dengan pengujian
laboratorium yang sesuai adalah penting dalam mengevaluasi pasien
dengan dugaan HF.
Tes laboratorium untuk mengidentifikasi gangguan yang dapat
menyebabkan atau memperburuk gagal jantung termasuk menghitung sel
darah lengkap, elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium), ginjal,
hati, dan tes fungsi tiroid, urinalisis, profil lipid, dan A1C. B-type
natriuretic peptide (BNP) umumnya akan lebih besar dari 100 pg / mL.
Hipertrofi ventrikel dapat ditunjukkan pada rontgen dada atau
elektrokardiogram (EKG). Rontgen dada juga bisa menunjukkan efusi
Echocardiogram dapat mengidentifikasi kelainan perikardium,
miokardium, atau katup jantung dan mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri
(LEVF) untuk menentukan apakah terdapat disfungsi sistolik dan
diastolik.
8. Tatalaksana Terapi CHF
a. Algoritma Terapi
Intervensi terapetik dalam setiap tahap ditujukan untuk
memodifikasi faktor resiko (stage A), mengobati struktural penyakit
jantung (stage B), dan mengurangi morbiditas dan mortalitas (stage C
dan D).
Pasien gagal jantung stage A belum mengalami kerusakan jantung
atau gejala gagal jantung, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantng.
Pasien yang memiliki riwayat keluarga tekanan darah tinggi (hipertensi),
diabetes, atau masalah jantung harus memperhatikan kesehatan jantung.
Pasien yang memiliki faktor resiko tersebut, perlu mengontrol tekanan
darah, mengontrol kadar gula darah, diet tinggi lemak, membatasi rokok
dan alkohol.
Pasien gagal jantung stage B telah mengalami kerusakan struktural
jantung namun belum menunjukkan gejala penyakit gagal jantung. Pada
stage ini terapi yang diberikan adalah Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dan akan
dilakukan pemantauan ketat tekanan darah.
Pasien gagal jantung stage C mengalami gejala seperti disfungsi
jantung. Kelelahan saat melakukan aktifitas ringan seperti berjalan atau
membungkuk. Sesak nafas dan kelelahan akan terjadi saat beraktifitas.
Pada stage ini, diet rendah natrium, menghentikan rokok dan alkohol
merupakan bagian dari terapi.
Pasien gagal jantung stage D, membutuhkan intervensi khusus.
terapi maksimal. Mempertimbangkan terapi khusus, termasuk seperti
terapi continous IV inotropik positif, transplantasi jantung, atau
perawatan rumah sakit (Dipiro, 2015).
b. Terapi non farmakologi
Menurut National Heart Foundation of Australia (NHFA)
2011, terapi non-farmakologi gagal jantung sebagai berikut :
1) Aktifitas fisik
Aktivitas fisik secara teratur sekarang sangat disarankan untuk
pasien dengan CHF. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan kapasitas
individu seperti berjalan, bersepeda, angkat besi ringan dan latihan
peregagan. Pasien dapat berjalan dirumah selama 10-30 menit perhari,
5-7 hari perminggu.
2) Nutrisi
Pasien yang kelebihan berat badan meningkatkan kerja jantung
baik selama aktifitas fisik dan kehidupan sehari-hari. Penurunan berat
badan dapat meningkatkan toleransi aktifitas fisik dan kualitas hidup,
dianjurkan pada pasien yang melebihi kisaran berat badan normal.
Asupan lemak jenuh harus dibatasi pada semua pasien, terutama
yang menderita jantung koroner. Diet tinggi serat dianjurkan untuk
menghindari mengejan yang dapat menimbulkan angina, sesak atau
aritmia.
Pasien gagal jantung dengan gejala ringan dianjurkan
volume cairan ekstraseluler. Pasien dengan gejala sedang sampai berat
dianjurkan membatasi asupan garam 2 gram perhari.
Pasien yang menderita gagal jantung akibat alkohol harus
menghindari alkohol untuk memperlambat perkembangan penyakit
dan meningkatkan fungsi ventrikel kiri (LV). Asupan alkohol tidak
melebihi 10-20 gram sehari. Pasien dengan gejala ringan sampai
sedang, asupan alkohol dapat meningkatkan prognosis.
c. Terapi Farmakologi
1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II
dan mengerahkan efek biologis yang meningkatkan gejala,
mengurangi rawat inap, dan memperpanjang kelangsungan hidup.
ACE inhibitor direkomendasikan untuk semua pasien dengan gagal
jantung dengan penurunan fungsi sistolik. Efek samping utama
ACE inhibitor adalah batuk (hingga 20%), gejala
hipotensi dan disfungsi ginjal (Figueroa MD, 2006).
2) Diuretik
Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan
penyumbatan (paru dan edema perifer) atau dilatasi jantung
(Alldredge et al., 2013). Diuretik merupakan satu-satunya obat yang
digunakan pada terapi gagal jantung yang dapat mengatasi retensi
cairan gagal jantung. Penggunaan diuretik yang tepat merupakan
Penggunaan diuretik dosis rendah yang tidak tepat mengakibatkan
retensi cairan dan penggunaan diuretik dosis tinggi menyebabkan
kontraksi volume yang dapat meningkatkan resiko hipotensi dan
insufisiensi ginjal (Yancy et al, 2013).
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium klorida
pada tempat tertentu di tubulus ginjal. Loop diuretik (bumetanid,
furosemid dan torsemid) bekerja di lengkung henle, sedangkan tiazid,
metolazon, dan diuretik hemat kalium bekerja pada tubulus distal.
Loop diuretik paling banyak digunakan pada pasien gagal jantung
(Yancy et al, 2013).
3) Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan
mengeblok reseptor angiotensin II subtipe I (AT1). ARB tidak
merangsang munculnya bradikinin dan tidak terkait efek samping
batuk kering yang muncul pada ACE inhibitor. Pengeblokan reseptor
AT1 secara langsung memungkinkan stimulasi reseptor AT2,
menyebabkan vasodilatasi dan penghambatan remodeling ventrikel
(Dipiro, 2015).
Angiotensin II reseptor antagonis atau ARB dapat memberikan
morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal jantung yang menerima
ACE inhibitor, namun tidak dapat digunakan pada gagal jantung
perlu dimonitoring seperti pada penggunaan ACE inhibitor (NHFA,
2011).
4) Angiotensin Aldosteron
Antagonis aldosteron digolongkan sebagai diuretik hemat kalium,
namun antagonis aldosteron juga memiliki efek baik tersendiri dalam
menjaga keseimbangan Na+. Spironolacton dan eplerenon mengeblok
reseptor mineralokortikoid, tempat target aldosteron. Antagonis
aldosteron mengahambat reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium di
ginjal.
Antagonis aldosteron harus digunakan dengan hati-hati, dilakukan
pemantauan ketat fungsi ginjal dan konsentasi potasium. Antagonis
aldosteron harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal,
memburuknya fungsi ginjal, pada kalium tinggi hingga normal atau
riwayat hiperkalemia berat. Spironolakton juga berinteraksi dengan
androgen dan reseptor progesteron yang dapat menyebabkan
ginekomastia, impotensi dan ketidakteraturan menstruasi pada
beberapa pasien (Dipiro, 2015).
5) Beta Bloker
Beta bloker merupakan antagonis yang mengaktifkan sistem
simpatis, secara signifikan terbukti bermanfaat dalam jangka panjang
pada gagal jantung yang berat. Penambahan beta-bloker pada terapi
konvensional dikaitkan dengan dampak yang signifikan pada
Beta-bloker mengurangi perkembangan CHF pada pasien
dengan gangguan fungsi ventrikel jika diberikan awal periode pasca
infark miokard (NHFA, 2011). Beta-bloker dapat memperlambat
perkembangan penyakit, mengurangi rawat inap dan mengurangi
angka kematian pada pasien gagal jantung sistolik (Dipiro, 2015).
6) Digoksin
Digoksin melemahkan aktivasi sistem saraf simpatik yang
berlebihan pada pasien gagal jantung, mungkin dengan mengurangi
aliran simpatis pusat dan meningkatkan fungsi baroreseptor yang
terganggu ( Dipiro, 2009).
Digoksin menginduksi diuresis pada pasien dengan HF yang
mengalami retensi cairan. Mekanisme multiple digoksin : (1)
vasodilatasi dan peningkatan CO dapat meningkatkan hemodinamik
ginjal; (2) menghambat reabsorpsi tubular natrium, dari ginjal Na+ -K+
- ATPase dan (3) meningkatkan sekresi atrial natriuretic peptide
(Rahimtoola, 2004).
7) Nitrate dan Hidralazin
Nitrat, misalnya isosorbid dinitrat (ISDN) dan hidralazin
melengkapi tindakan hemodinamik. Nitrat terutama venodilator,
menurunkan preload. Hidralazin adalah vasodilator arteri langsung
yang mengurangi resistensi vaskuler sistemik (SVR) dan
B. Drug Related Problems (DRPs)
DRP adalah istilah penting dalam pelayanan farmasi. Istilah lain
digunakan untuk konsep yang sama, seperti kesalahan pengobatan. Kesalahan
merujuk pada proses yang dapat menyebabkan masalah. DRP dapat berasal
ketika meresepkan, mengeluarkan, mengambil atau pemberian obat-obatan.
Menurut PCNE (2006) DRP dibagi menjadi 5 klasifikasi yang terdiri
atas :
Tabel 3. Klasifikasi DRP
Primary Domain Kode V4 Masalah
1. Adverse reaction
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan
P1.1 P1.2 P1.3
Mengalami efek samping (non alergi) Mengalami efek samping (alergi) Mengalami efek toksik
2. Drug choice problem
Pasien mendapatkan obat yang salah atau tidak mendapatkan obat untuk penyakit yang dideritanya
P2.1
Obat yang tidak tepat Sediaan obat yang tidak tepat Duplikasi zat aktif yang tidak tepat Kontraindikasi
Obat tanpa indikasi yang jelas
Ada indikasi yang jelas namun tidak diterapi 3. Dosing problem
Pasien mendapatkan jumlah obat yang kurang atau lebih
dari yang dibutuhkan
P3.1 P3.2 P3.3 P3.4
Dosis dan atau frekuensi terlalu rendah Dosis dan atau frekuensi terlalu tinggi Durasi terapi terlalu pendek
Durasi terapi terlalu panjang 4. Drug use
problem
Obat tidak atau salah pada penggunaanya
P4.1 P4.2
Obat tidak dipakai seluruhnya Obat dipakai dengan cara yang salah
5. Interactions
Ada interaksi obat obat atau obat makanan yang terjadi atau potensial terjadi
P5.1 P5.2
Interaksi yang potensial Interaksi yang terbukti terjadi
6. Others P6.1
P6.2 P6.3
Pasien tidak merasa puas dengan terapinya sehingga tidak menggunakan obat secara benar.
Kurangnya pengetahuan terhadap masalah kesehatan dan penyakit (dapat menyebabkn masalah di masa datang)
C. Kerangka Konsep
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian DRP
pada pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah
Gamping.
Pasien dengan CHF di RS PKU Muhammadiyah Gamping
Terapi CHF
Identifikasi DRP
Gambar 3. Kerangka konsep
1. Adverse drug reaction
(kejadian yang tidak diinginkan)
2. Drug choice problem
(pemilihan obat yang tidak sesuai)
3. Dosing problem (dosis yang tidak sesuai) 4. Drug use problem
(penggunaan obat yang tidak sesuai)
5. Drug interaction
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dan
bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data
dilakukan secara retrospektif dengan mencatat hasil rekam medik pasien
congestive heart failure (CHF) yang pernah menjalani perawatan di
Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Gamping pada Januari-Juni
2015. Data yang diperoleh dianalisis sesuai metode deskriptif.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Gamping di
bagian rekam medik dan waktu penelitian ini dilakukan pada bulan
September 2015-April 2016.
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani
rawat inap dengan diagnosa CHF di RS PKU Muhammadiyah Gamping
periode Januari-Juni 2015.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan
rekam medik rumah sakit selama Januari-Juni 2015 dan memenuhi kriteria
inklusi.
D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi 1. Kriteria inklusi :
a. Pasien terdiagnosa utama CHF.
b. Menjalani rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Gamping
periode Januari-Juni 2015.
2. Kriteria ekslusi
a. Data rekam medik rawat inap tidak lengkap.
b. Pasien meninggal dunia.
c. Pasien keluar atas permintaan sendiri.
E. Definisi Operasional
1. Pasien adalah orang yang terdiagnosa CHF yang menjalani rawat inap
di RS PKU Muhammadiyah Gamping dan memenuhi kriteria inklusi.
2. Rekam medik yang diambil merupakan rekam medik pasien CHF
periode Januari-Juni 2015.
3. DRP dalam penelitian ini meliputi kejadian yang tidak diinginkan,
pemilihan obat yang tidak sesuai, dosis yang tidak sesuai, penggunaan
obat yang tidak sesuai, dan interaksi obat.
5. DRPs dikategorikan menjadi 5 yaitu
a. Adverse Drug Reaction (ADR) yaitu reaksi obat yang tidak
diinginkan. Pasien mengalami reaksi yang tidak diinginkan yang
melibatkan terapi yang diterima.
b. Drug Choice Problems yaitu pemilihan obat yang tidak tepat.
Pemilihan obat yang tidak tepat jika pasien mendapatkan terapi
tertentu yang seharusnya pasien tidak dapat menerima obat
tersebut karena suatu hal.
c. Dosing Problem yaitu dosis obat yang tidak tepat. Dosis obat yang
terlalu rendah atau terlalu tinggi. Dosis terlalu rendah terjadi jika
pasien menerima obat yang tepat namun dosis yang diberikan
terlalu rendah, frekuensi pemberian dan durasinya kurang. Dosis
terlalu tinggi terjadi jika pasien menerima obat yang tepat namun
dosis yang diberikan terlalu tinggi, termasuk kriteria dosis
dinaikkan secara cepat serta frekuensi dan durasi yang tidak tepat.
Dosis yang diberikan kepada pasien dibandingkan dengan literatur
terkait seperti Drug Information Handbook, Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach dan Geriatric Dosage Handbook.
d. Drug Use Problem yaitu penggunaan obat yang tidak tepat.
Keadaan yang dapat diterapi dengan non farmakologi namun
diterapi menggunakan obat, tidak ada indikasi namun diterapi
obat, penggunaan multiple drug pada kondisi masih dapat diterapi
e. Drug Interactions atau interaksi obat. keadaan dimana terjadinya
interaksi baik antar obat gagal jantung maupun antara obat gagal
jantung dengan obat lain. Interaksi obat yang dihitung menurut
buku Drug Interaction Fact.
F. Instrumen Penelitian 1. Rekam medik
Rekam medik yang diambil merupakan rekam medik pasien
CHF periode Januari-Juni 2015 yaitu mencakup nama pasien, umur,
hasil laboratorium, obat yang diberikan (nama obat, dosis, jumlah,
cara pemberian, frekuensi dalam lama penggunaan), kondisi pasien
saat masuk dan riwayat penyakit.
2. Pedoman pengobatan CHF
Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini adalah National
Heart Foundation of Australia : Diagnosis an Management of Chronic
Heart Failure tahun 2011, ACCF/AHA Guideline for The Management
of Heart Failure : A Report of American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guideline tahun 2013, Drug Interaction Handbook 18th Edition tahun
2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition
G. Cara Kerja
1. Tahap persiapan :
a. Izin Direktur RS PKU Muhammadiyah Gamping.
b. Konsultasi dengan komite medik RS PKU Muhammadiyah
Gamping.
c. Koordinasi dengan petugas rekam medik dan instalasi farmasi.
2. Tahap pelaksanaan
a. Proses pengumpulan data yang dimulai dengan pemilihan kasus
dari berkas rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi.
b. Memilih kasus dari berkas rekam medik Januari-Juni 2015 dengan
urutan :
1) Melakukan observasi laporan dari bagian rekam medik secara
retrospektif selama periode Januari-Juni 2015.
2) Mengambil berkas rekam medik pasien dengan menulis nama
dan nomor rekam medik tersebut pada kartu peminjaman
status.
c. Mencatat data rekam medik kemudian ditulis ke lembar penelitian.
d. Menganalisis DRP yang terdapat di rekam medik pasien dengan
pedoman yang diacu.
H. Skema Langkah Kerja
Perizinan dari Direktur RS PKU Muhammadiyah Gamping Perizinan dari universitas
Pengajuan proposal
Pengambilan data secara Retrospektif (Rekam Medik)
Seleksi dan pengolahan data
Melakukan analisis data
Pembahasan
Kesimpulan
I. Analisis Data
Untuk mengetahui kejadian DRP pada pasien CHF dilakukan
analisis menggunakan metode deskriptif non analitik. Data tersebut
meliputi:
1. Gambaran karakteristik pasien dianalisis berdasarkan jenis kelamin,
usia, lama waktu rawat inap dan diagnosis penyerta. Data yang ada
dikelompokkan dan masing-masing dihitung jumlahnya kemudian
hasilnya dipersentasekan.
2. Perhitungan seluruh jumlah kejadian DRPs. Apabila dalam satu kasus
atau satu pasien terdapat lebih dari 1 kejadian DRP, maka dihitung
setiap kejadian.
3. Perhitungan persentase DRP sebaagai berikut :
b. Persentase Adverse Drug Reactions
� � � � � �
DRP x 100% ...(persamaan 1)
c. Persentase pemilihan obat yang tidak tepat
y
DRP x 100% ...(persamaan 2)
d. Persentase dosis yang tidak tepat
y
DRP x 100% ...(persamaan 3)
e. Persentase penggunaan obat yang tidak tepat
y
f. Persentase interaksi obat
DRP x 100% ...(persamaan 5)
g. Pemberian terapi dikatakan tepat apabila sesuai dengan National
Heart Foundation of Australia : Diagnosis an Management of
Chronic Heart Failure tahun 2011, ACCF/AHA Guideline for The
Management of Heart Failure : A Report of American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force
on Practice Guideline tahun 2013, Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach, 9th Edition tahun 2015, Koda-kimble & Young’s, Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs,
28
A. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua pasien CHF dengan atau tanpa
penyakit penyerta yang menjalani rawat inap di Instalasi Rawat Inap RS
PKU Muhammadiyah Gamping pada periode Januari-Juni 2015.
Berdasarkan data rekam medik terdapat 53 pasien rawat inap dengan
diagnosis utama CHF dengan 35 pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dan 18 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi yang meliputi 8 pasien
meninggal dunia, 1 pasien pindah rumah sakit dan 9 pasien memiliki data
yang tidak lengkap. Berikut ini merupakan distribusi karakteristik pasien
CHF yang menjalani rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Gamping
periode Januari-Juni 2015 :
1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, pasien CHF dikategorikan menjadi 2
yaitu laki-laki dan perempuan dengan persentase yang ditunjukan dengan
gambar berikut ini :
Gambar 5. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin
69%
31%
laki-laki
Dari sampel penelitian yang termasuk kedalam kriteria inklusi,
dapat diketahui terdapat 24 pasien (69%) berjenis kelamin laki-laki,
sedangkan pasien berjenis kelamin perempuan terdapat 11 pasien (31%).
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pasien CHF di RS PKU
Muhammadiyah Gamping lebih banyak dialami oleh pasien berjenis
kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Menurut Grossman
dan Brown (2009) pasien gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada
pasien laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada usia 45-75 tahun.
Kasus gagal jantung iskemik lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Gagal jantung karena Ischemic Heart
Disease (IHD) membawa prognosis yang lebih buruk daripada gagal
jantung karena penyebab non iskemik. Prevalensi IHD pada pasien wanita
mencerminkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pasien laki-laki
(Assiri, 2011).
2. Karakteristik Berdasarkan Usia
Menurut Kemenkes RI (2013), klasifikasi pasien CHF berdasarkan
usia dibagi menjadi 7 kategori. Berikut merupakan klasifikasi pembagian
usia pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah
Gambar 6. Karakteristik pasien berdasarkan usia
Berdasarkan gambar diatas, data distribusi pasien CHF berdasarkan
usia diketahui penderita terbanyak adalah pada usia 55-64 tahun yaitu 10
pasien. Hal ini diperkuat dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
yang menunjukkan angka kejadian CHF tertinggi pada usia 45-54 tahun,
55-64 tahun dan 65-74 tahun (Kemenkes RI, 2013).
Risiko penyakit CHF akan meningkat pada usia diatas 45 tahun,
hal ini dikarenakan penurunan fungsi dari ventrikel. Peningkatan kasus
gagal jantung dipengaruhi oleh pertambahan usia, naik sekitar 20 kasus
gagal jantung per 1000 penduduk pada usia 65-69 tahun dan 80 kasus per
1000 penduduk dengan usia diatas 85 tahun keatas (ACCF/AHA, 2013).
3. Karakteristik Berdasarkan Length of Stay (LOS)
Length of stay merupakan jangka waktu pasien mendapatkan
perawatan di rumah sakit mulai dari masuk ke rumah sakit hingga pasien
pulang dari rumah sakit. Setiap pasien memiliki LOS yang berbeda
tergantung dari tingkat keparahan dan komplikasi penyakit dari pasien.
Rata-rata LOS pasien rawat inap dengan diagnosis CHF adalah 6 hari. 0
2 4 6 8 10
Lama rawat inap pasien dikelompokkan menjadi 2 yaitu lama rawat inap
yang kurang dari 6 hari dan lama rawat inap lebih dari sama dengan 6 hari.
Pengelompokan ini berdasarkan rata-rata rawat inap 35 pasien yaitu 6 hari.
Berdasarkan data tersebut diketahui jumlah pasien yang menjalani
rawat inap kurang dari 6 hari lebih banyak dibandingkan dengan pasien
yang menjalani rawat inap lebih dari sama dengan 6 hari. Jumlah pasien
yang menjalani rawat inap selama kurang dari 6 hari adalah 21 pasien
dengan persentase 60%, sedangkan jumlah pasien yang menjalani rawat
inap lebih dari sama dengan 6 hari adalah 14 pasien dengan persentase
40%.
4. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta
Gagal jantung merupakan sindrom klinis hasil dari progesivitas
beberapa penyakit yang dapat menurunkan fungsi diastolik maupun
Gambar 7. Karakteristik pasien berdasarkan Length of Stay (LOS)
60%
40%
Length of Stay
(LOS)
< 6 hari ≥ 6 hari
sistolik jantung sehingga pasien gagal jantung memiliki resiko tinggi
memiliki penyakit penyerta (Susilowati, 2015).
Tabel 4. Karakteristik pasien berdasarkan penyakit penyerta Jumlah penyakit
penyerta
Jumlah Jenis penyakit penyerta No pasien Tanpa penyakit
5. BPH (Benign prostate hiperplasia)
1 8 13 27 29 2 penyakit penyerta 15 1. IHD, Dispepsia
2. Kardiomiopati dilatasi, Kongestif hepatopati
3. DM tipe II
4. Mitral regurgitasi, Hipertensi 5. ISK, Dispepsia
6. IHD, Atrial Fibrilasi
7. Kardiomiopati dilatasi, DM tipe II 8. Hipertensi, DM tipe II
9. DM, CKD
10. OMI anterior, Pneumonia 11. HHD, Hipertensi
12. Hipertensi, ISK
3, 10, 18 3 penyakit penyerta 9 1. HHD, Hematuria, Anemia
2. IHD, HHD, ISK
3. IHD, Hipertiroid, Atrial takikardi 4. IHD, Asma. PPOK
5. Hipertensi, DM tipe II, GEA 6. IHD, DM, Anemia
7. Anorexia, Hipertensi, ISK 8. HHD, Edema paru, CKD 9. IHD, HHD, dislipidemia
2 4 penyakit penyerta 3 1. IHD, HHD, Atrial Fibrilasi, Ves
(Ventricular extra sistole)
2. IHD, PPOK, ISK, AKI (Acute Kidney Disease)
3. IHD, HHD. Kongestif hepatopati, Dementia
17 20 23 5 penyakit penyerta 1 1. HHD, Hipertensi, Kongestif Hepatopati,
BPH, Dispepsia
34
Jumlah 35
Berdasarkan tabel 4, diketahui jumlah pasien yang memiliki
penyakit penyerta dengan jumlah terbanyak adalah pasien dengan 2
pasien CHF akan membutuhkan kombinasi terapi, pemberian obat yang
bermacam-macam tanpa dipertimbangkan dengan baik akan meningkatkan
resiko terjadinya DRP.
Pada penelitian ini penyakit penyerta yang paling banyak dialami
oleh pasien adalah IHD sebanyak 12 pasien dari total 35 pasien. Menurut
Dipiro (2009) IHD merupakan keadaan kekurangan oksigen yang ditandai
dengan penurunan atau tidak adanya aliran darah ke miokardium yang
dihasilkan dari penyempitan arteri koroner atau obstruksi. Keadaan ini
juga biasa disebut dengan coronary arterial disease (CAD) atau jantung
koroner.
Penyakit penyerta terbanyak yang kedua adalah hipertensi.
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko dan sangat erat kaitannya
dengan gagal jantung. Menurut Neal (2005), tekanan darah tinggi
berkaitan dengan dengan penurunan usia harapan hidup dan peningkatan
risiko stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit organ lainnya seperti
retinopati, gagal ginjal.
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik. Penurunan fungsi
sistolik disebabkan oleh iskemik miokard, infark miokard, fibrosis, dan
kardiomiopati. Disfungsi diastolik disebabkan oleh hipertrofi ventrikel
kiri. Meskipun tanpa disfungsi sistolik, disfungsi diastolik bisa
Resiko berkembangnya gagal jantung pada hipertensi dibandingkan
dengan individu normotensif (tekanan darah normal) adalah sekitar dua
kali lipat pada pria dan tiga kali lipat pada wanita. Tindak lanjut selama 20
tahun dari Framingham Heart Study dan Framingham Offspring Study
mengungkapkan 392 kasus baru gagal jantung yang mewakili 7,6% dari
populasi yang diteliti. Untuk 91% pasien gagal jantung, hipertensi
merupakan faktor pendahulunya. Pada usia 40 tahun, resiko gagal jantung
kongestif adalah 11,4% untuk pria dan 15,4% untuk wanita (Lalande dan
Johnson, 2008).
Berdasarkan gambar 8 yang tmmmelah dilakukan uji korelasi
didapatkan hasil korelasi yaitu -0,040 yang berarti hubungan penyakit
penyerta dengan lama rawat inap sangat lemah, dengan nilai p>0,05 yang
berarti tidak ada korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. 0
2 4 6 8 10 12
tanpa penyakit penyerta
1 penyakit penyerta
2 penyakit penyerta
3 penyakit penyerta
4 penyakit penyerta
5 penyakit penyerta
L
am
a r
aw
at
i
n
ap
Hubungan penyakit penyerta dengan lama rawat inap
B. Identifikasi Drug Related Problems (DRP)
Penelitian ini menggunakan 35 sampel yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 35 sampel telah dilakukan
identifikasi DRPs yang potensial berdasarkan Pharmaceutical Care
Network Europe (PCNE) yang meliputi kejadian tidak diharapkan (adverse
drug reaction), pemilihan obat yang tidak sesuai (drug choice problem),
dosis yang tidak sesuai ( dosing problem), pengobatan yang tidak sesuai
(drug use problem), interaksi obat (drug interaction). Berikut hasil
identifikasi DRPs pada pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RS PKU
Muhammadiyah Gamping periode Januari-Juni 2015.
Tabel 5. Persentase kejadian DRPs pada pasien CHF
No Kejadian DRPs Jumlah kasus Persentase
1 Kejadian yang tidak diharapkan 0 0%
2 Pemilihan obat yang tidak sesuai 10 22,22%
3 Dosis yang tidak sesuai 0 0%
4 Pengobatan yang tidak sesuai 0 0%
5 Interaksi obat 35 77,78%
Jumlah 45 100%
1. Kejadian yang tidak diharapkan / Adverse Drug Reaction (ADR)
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya kejadian yang tidak
diinginkan atau adverse drug reaction (ADR). ADR merupakan keadaan atau
kondisi yang tidak sesuai harapan yang muncul setelah pemberian terapi yang
2. Pemilihan obat yang tidak sesuai / Drug Choice Problems
Pemilihan obat yang tidak sesuai dalam penelitian ini dapat terjadi
seperti pasien mendapatkan obat yang tidak sesuai dengan keluhan yang
dialami. Misalnya pasien mendapatkan obat yang tidak sesuai indikasi,
duplikasi obat, obat yang dikontraindikasikan untuk pasien ataupun
penggunaan obat yang tidak jelas indikasinya.
Tabel 6. Kejadian pemilihan obat yang tidak sesuai
No Penyebab DRPs No. Kasus Jumlah kasus
1 Butuh obat 1, 18, 28, 34 4
2 Duplikasi obat 32 1
3 Kontraindikasi 4,8,9,18, 33 5
Jumlah 10
Kejadian DRPs untuk pemilihan obat tidak sesuai terjadi pada pasien 1
yaitu pasien terdiagnosis CHF dengan penyakit penyerta atrial fibrilasi (AF).
Pasien ini telah mendapatkan terapi digoksin injeksi 1A pada hari pertama
kemudian mendapatkan terapi digoksin peroral pada hari selanjutnya. Menurut
ACCF/AHA (2013), digoksin saja tidak cukup efektif untuk mengontrol AF.
Penambahan β-bloker dianjurkan untuk mendapatkan efek yang lebih baik
dalam mengontrol AF serta penambahan antagonis neurohormonal lainnya
seperti ACEI dapat dilakukan dalam mencegah progesivitas perburukan gagal
jantung. Menurut Perki (2014), pemilihan terapi pada gagal jantung akut untuk
kendali laju jantung adalah digitalis cepat berupa digoksin 0,25-0,5 mg IV.
setelah pemberian pertama dan pada kendali irama jantung terapi yang
diberikan adalah Amiodaron. Pada pasien 1, mengalami gangguan irama
jantung namun pasien tidak diterapi dengan amiodaron untuk mengontrol
irama jantung.
Pasien 18 terdiagnosis CHF dengan penyakit penyerta dispepsia.
Menurut Malone (2015), dalam Cochrane review antara antagonis resptor H2
dan Proton Pump Inhibitor (PPI) keduanya lebih efektif secara signifikan
dibandingkan dengan plasebo untuk mengobati dispepsia. Namun penggunaan
antagonis resptor H2 dapat menyebabkan takifilaksis yaitu penurunan
pengaruh obat yang lebih cepat dalam waktu 2-6 minggu sehingga membatasi
efek jangka panjang. Terapi lini pertama untuk dispepsia adalah PPI selama
4-8 minggu, apabila menunjukkan respon yang baik maka terapi dilanjutkan jika
tidak menunjukkan hasil yang baik maka lakukan tes H.Pylori. Pasien ini juga
mendapatkan obat yang dikontraindikasikan yaitu penggunaan aspilet. Aspilet
dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami gangguan lambung seperti
dispepsia. Sebaiknya penggunaan aspilet dihindari pada pasien ini.
Kasus yang selanjutnya terjadi pada pasien 28. Pasien ini terdiagnosis
CHF dengan penyakit penyerta chronic kidney disease (CKD). CKD
merupakan abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang terjadi selama 3
bulan atau lebih dengan implikasi kesehatan. Menurut Dipiro (2015), terapi
lini pertama untuk CKD adalah ACEI atau ARB yang dikombinasikan dengan
mendapatkan terapi lini pertama untuk CKD. Pasien menadapatkan terapi
furosemid yang dapat meningkatkan volume urin dan ekskresi natrium.
Pasien 34 memiliki diagnosis penyerta yaitu benign prostate
hyperplasia (BPH). Menurut Dipiro (2009) BPH merupakan neoplasma jinak
yang paling umum dari pria Amerika dan terjadi sebagai akibat dari
pertumbuhan androgen prostat. Pasien tidak mendapatkan terapi untuk
diagnosis BPH yang dialaminya. Menurut Dipiro (2009), terapi untuk pasien
BPH adalah tamsulosin dan doxazosin yang merupakan generasi kedua dari
antagonis alfa adrenergik.
Kasus pemilihan obat yang tidak sesuai selanjutnya adalah duplikasi
obat. Pasien 32 mendapatkan terapi ramipril, selain itu pasien juga
mendapatkan terapi cardace. Peneliti menemukan adanya duplikasi terapi pada
pasien ini dikarenakan pasien mendapatkan terapi cardace yang berisi ramipril
namun pasien juga mendapatkan terapi ramipril generik. Namun ada dua
kemungkinan dalam kasus ini yaitu pasien memang diberikan 2 obat yang
memiliki kandungan yang sama atau adanya kesalahan administrasi dalam
penulisan di rekam medik.
Kasus pemberian obat yang dikontraindikasikan terjadi pada pasien 4,
8, 9, 18, 33. Pasien 4, 8, 33 mendapatkan suplemen kalium pada penggunaan
spironolakton. Menurut DIH (2009) suplemen kalium, garam berisi kalium,
diet tinggi kalium atau obat lain yang menyebabkan hiperkalemia jika
Pasien 9 mendapatkan cilostazol yang merupakan obat yang digunakan
untuk mengatasi penyakit pembuluh darah perifer yang bekerja dengan
mencegah pembekuan darah dan melebarkan pembuluh darah. Menurut Chi et
al ( 2008), cilostazol terbukti meningkatkan vasodilatasi dan menginduksi
produksi oksidasi nitrat serta menghambat proliferasi otot polos. Selain itu
cilostazol dapat meningkatkan ektremitas aliran darah, meningkatkan densitas
plasma yang tinggi lipoprotein kolesterol dan mengurangi kadar trigliserida
plasma, mempotensiasi angiogenesis, dan mengurangi peradangan. Cilostazol
seharusnya dihindari pada pasien CHF, karena berkaitan dengan kejadian
kardiovaskuler dan mortalitas. Cilostazol memiliki resiko dibandingkan
dengan plasebo. Menurut DIH (2009), cilostazol dikontraindikasikan untuk
pasien dengan gagal jantung. Alternatif yang dapat diberikan kepada pasien
adalah adalah pentoxifylin yang bekerja memperbaiki aliran darah dengan
mengurangi kekentalan darah dan meingkatkan fleksibilitas sel darah merah.
Dengan demikian dalam penelitian ini ditemukan 10 DRP untuk kasus
pemilihan obat yang tidak sesuai dengan persentase 22,22%.
3. Dosis yang tidak sesuai
Pada penelitian ini tidak ditemukan dosing problem dalam analisis
DRP. Dosing problem dalam penelitian ini merupakan ketidaksesuaian dosis
dalam terapi yang diberikan kepada pasien yaitu dosis yang terlalu tinggi
4. Penggunaan obat yang tidak sesuai/ drug use problems
Pada penelitian ini tidak ditemukan drug use problems dalam analisis
DRP. Drug use problems dalam penelitian ini merupakan penggunaan obat
yang salah atau tidak sesuai kepada pasien atau pasien tidak diberikan obat
sama sekali.
5. Interaksi Obat
Menurut Harkness (1984), interaksi obat merupakan suatu interaksi
yang mengubah efek obat lain dalam satu atau lebih proses farmakologi dan
efek obat tersebut dapat menambah efek (sinergisme) atau mengurangi efek
(antagonisme) terhadap obat lain.
Menurut Tatro (2010), interaksi obat dibedakan berdasarkan tingkat
signifikansi. Level 1 sampai level 5 merupakan tingkatan signifikansi
berdasarkan keparahan interaksi dan dokumentasi.
1. Level 1
Level signifikansi 1 merupakan interaksi dengan keparahan mayor,
terdokumentasi suspected, probable, atau established. Interaksi dapat
menimbulkan efek yang berpotensi mengancam kehidupan atau mampu
menyebabkan kerusakan permanen.
2. Level 2
Level signifikansi 2 merupakan interaksi dengan keparahan
moderate, terdokumentasi suspected, probable atau established. Interaksi
dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan,
3. Level 3
Level signifikansi 3 merupakan interaksi dengan keparahan minor,
terdokumentasi suspected, probable atau established. Efek dari interaksi
ini ringan, dapat mengganggu atau tidak terlihat tetapi tidak
mempengaruhi terapi secara signifikan sehingga tidak diperlukan terapi
tambahan.
4. Level 4
Level signifikansi 4 merupakan interaksi dengan keparahan major
atau moderate, terdokumentasi possible yang berarti dapat terjadi namun
data sangat terbatas. Efek yang dihasilkan dapat berbahaya sehingga
diperlukan terapi tambahan.
5. Level 5
Level signifikan 5 dibedakan menjadi 2 yaitu tingkat keparahan
minor terdokumentasi possible dan tingkat keparahan any terdokumentasi
unlikely. Efek dari interaksi ini ringan dengan dokumentasi yang terbatas
Tabel 7. Identifikasi DRP berdasarkan interaksi obat
Level Signifikansi
Obat A Obat B No. Kasus Jumlah
Level 1 Lisinopril/ Captopril
Spironolakton 1, 5, 7, 8, 18, 20, 30, 31
8
Candesartan/ Valsartan
Spironolakton 2, 9, 14, 18, 21, 32, 34, 35
8
Digoxin Furosemide 1, 4, 18, 20, 26 5
Level 2 Digoxin Spironolakton 1, 4, 18, 20 4
Propanolol Methimazole 7 1
Aspirin Captopril 8, 20 2
Aspirin Asetazolamid 10 1
Level 4 Digoxin Lisinopril/ Captopril
1, 8, 18, 20 4
Furosemide Warfarin 1 1
KSR Captopril 8 1
Jumlah 35
a. Level 1
1) Lisinopril/ captopril – spironolakton
Terdapat 8 pasien yang mendapatkan terapi lisinopril dan
spironolakton. Penggunaan kombinasi ACEI dan diuretik hemat
kalium (Spironolakton) dapat meningkatkan kadar kalium darah pada
pasien dengan resiko tinggi seperti paien dengan gangguan ginjal
(Tatro, 2010). Penggunaan kombinasi obat ini perlu dilakukan
monitoring fungsi ginjal dan kadar kalium darah secara rutin dan
dapat pula dilakukan penyesuaian terapi pada kondisi tertentu. Pada
pasien ini tidak ditemukan data kalium sehingga tidak dapat dilakukan
penelusuran lebih lanjut.
Pasien yang mendapatkan kombinasi obat candesartan dan
spironolakton adalah 8 pasien. Berdasarkan Tatro (2010), kombinasi
antara angiotensin II reseptor blockers (ARB) dan diuretik hemat
kalium dapat meningkatkan konsentrasi serum potasium, maka perlu
dilakukan monitoring terhadap konsentrasi serum potasium dan fungsi
ginjal ketika menggunakan kombinasi obat ini. Selain itu,
penambahan loop diuretik perlu dipertimbangkan untuk mengatasi
hiperkalemia. Pada pasien ini tidak dapat dilakukan perhitungan
glomerulus rate filtrate (GFR) untuk mengetahui kondisi ginjal
dikarenakan tidak ditemukan data berat badan pasien, selain itu data
kalium juga tidak ditemukan.
3) Digoksin – furosemide
Pasien yang mendapatkan kombinasi obat digoksin dan
furosemid yaitu 5 pasien. Menurut Tatro (2010), furosemide dapat
menginduksi gangguan elektrolit yang menyebabkan terjadinya
aritmia yang disebabkan oleh digoksin. Monitoring kadar kalium
plasma perlu dilakukan apabila menggunakan kombinasi kedua obat
ini. Penambahan suplemen kalium atau penggunaan diuretik hemat
kalium perlu dipertimbangkan untuk mengatasi rendahnya kadar
kalium dalam darah, namun data kalium tidak ditemukan pada
pasien-pasien ini sehingga tidak dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut.
b. Level 2