• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENATALAKSANAAN PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENATALAKSANAAN PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

RESITA MEILAFIKA SETIAWARDANI 20120350037

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

KARYA TULIS ILMIAH

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENATALAKSANAAN PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

DI INSTALASI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING PERIODE JANUARI-JUNI 2015

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

RESITA MEILAFIKA SETIAWARDANI 20120350037

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Resita Meilafika Setiawardani

NIM : 20120350037

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini. Apabila terbukti pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab penulis.

Yogyakarta, 30 Agustus 2016

Yang menyatakan,

(4)

iv

MOTTO

“Jadilah seperti karang dilautan yang selalu kuat meskipun terus dihantam ombak, lakukanlah hal yang bermanfaat bagi orang lain,

karena hidup tidak abadi”

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri.”

(Q.S. Ar-Ra’d : 11)

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta

orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah : 153)

“Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan. Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain). Dan

berharaplah kepada Tuhanmu”

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan kepada :

Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan sehat jasmani dan rohani.

Kedua orang tua saya yang tercinta, Papa Teguh Setiawan dan Mama Siti Sukaenah yang selalu mendoakan dan mendukung anaknya serta

memberikan kasih sayang yang tidak ada habisnya sehingga anaknya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Adik saya yang tersayang Firdaus Rizqullah Ramadhan yang mendukung dan mendoakan kakaknya.

Keluarga besar saya yang yang menaruh banyak harapan, mendoakan dan berbagi pengalaman dengan saya.

Akhmad Nurzaki, Eka Rachmawati, Wanti Nur Indah, Nazila Ayu Muthmainnah, Ika Dewi Rahmawati, Gresti Ilmarosa Robin yang

selalu mendukung dan memberikan semangat kepada saya, menjadi teman seperjuangan saya serta selalu berbagi kebahagiaan dan keceriaan buat saya serta membantu saya dalam menyelesaikan Karya

Tulis Ilmiah ini.

Teman-teman Farmasi angkatan 2012 yang selalu bersama menuntut ilmu dan berjuang bersama-sama, semoga kita semua menjadi lulusan

terbaik dan sukses karir di masa yang akan datang.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala petunjuk dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penatalaksanaan Pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap

RS PKU Muhammadiyah Gamping Periode Januari-Juni 2015”. Meskipun banyak

hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaanya, akhirnya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis tidak lepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. H. Ardi Pramono, S.An., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sabtanti Harimurti, Ph.D., Apt, selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Nurul Mazziyah, M.Sc., Apt, selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4. Pinasti Utami, M.Sc,. Apt, selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas bantuan dan bimbingannya kepada penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini.

5. Pramitha Esha ND, M.Sc., Apt, selaku dosen penguji 1. Terima kasih yang

telah menyetujui dan memberikan pengarahan dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

(7)

vii

7. Seluruh Dosen Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta yang memberikan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

8. Joko Sudibyo, Apt selaku apoteker di RS PKU Muhammadiyah Gamping

yang telah membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.

9. Pihak luar yang membantu Sri Subekti RL, A.Md selaku pembimbing dibagian rekam medis dan Staf RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.

10.Kedua orang tua dan adik penulis yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

11.Akhmad Nurzaki yang telah memberikan waktu dan semangat untuk

membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini dari awal hingga akhir. 12.Semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung telah memberikan

bantuan dan saran dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kriteria penelitian yang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Yogyakarta, 30 Agustus 2016

Penulis,

(8)

viii

DAFTAR ISI

KARYA TULIS ILMIAH ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Perumusan Masalah... 3

C. Keaslian Penelitian ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 4

E. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Congestive Heart Failure ... 6

1. Definisi ... 6

2. Patofisiologi ... 6

3. Etiologi ... 7

4. Faktor Resiko ... 8

5. Klasifikasi ... 8

6. Gejala CHF ... 9

7. Diagnosis ... 10

8. Tatalaksana Terapi CHF ... 11

B. Drug Related Problems (DRPs) ... 18

(9)

ix

D. Keterangan Empiris ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

A. Desain Penelitian ... 20

B. Tempat dan Waktu ... 20

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 21

E. Definisi Operasional ... 21

F. Instrumen Penelitian ... 23

G. Cara Kerja ... 24

H. Skema Langkah Kerja ... 25

I. Analisis Data ... 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

A. Karakteristik Subjek Penelitian... 28

1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28

2. Karakteristik Berdasarkan Usia ... 29

3. Karakteristik Berdasarkan Length of Stay (LOS) ... 30

4. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta ... 31

B. Identifikasi Drug Related Problems (DRP) ... 34

1. Kejadian yang tidak diharapkan / Adverse Drug Reaction (ADR) ... 35

2. Pemilihan obat yang tidak sesuai / Drug Choice Problems ... 36

3. Dosis yang tidak sesuai ... 39

4. Pengobatan yang tidak sesuai/ drug use problems ... 40

5. Interaksi Obat ... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 47

A. Kesimpulan ... 47

B. Saran ... 47

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi CHF...6

Gambar 2. Pengelolaan gagal jantung...11

Gambar 3. Kerangka konsep...19

Gambar 4. Skema langkah kerja...25

Gambar 5. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin...28

Gambar 6. Karakteristik pasien berdasarkan usia...30

Gambar 7. Karakteristik pasien berdasarkan Length of Stay (LOS)...31

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian penelitian...4

Tabel 2. Perbandingan klasifikasi gagal jantung ACCF/AHA dan klasifikasi fungsional NYHA...9

Tabel 3. Klasifikasi DRP...18

Tabel 4. Karakteristik pasien berdasarkan penyakit penyerta...32

Tabel 5. Persentase kejadian DRPs pada pasien CHF...35

Tabel 6. Identifikasi DRP berdasarkan pemilihan obat yang tidak sesuai...36

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hubungan antara jumlah penyakit penyerta dengan lama rawat inap...53 Lampiran 2. Data rekam medik pasien CHF di instalasi rawat inap RS PKU

(13)
(14)

xiii

kelelahan saat beraktifitas. Pengobatan CHF dilakukan terapi farmakologi yang memungkinkan terjadinya drug related problems (DRPs). Identifikasi DRPs meliputi beberapa kriteria, yaitu kejadian yang tidak diinginkan (adverse drug reaction), pemilihan obat yang tidak sesuai (drug use problem), dosis yang tidak sesuai (dosing problem), penggunaan obat yang tidak sesuai (drug use problem), interaksi obat (drug interaction). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian DRPs pada terapi pasien rawat inap Congestive Heart Failure (CHF) di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental secara deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Pengambilan data pasien CHF di RS PKU Muhammadiyah Gamping dilakukan secara retrospektif mulai dari September 2015-April 2016 dengan cara mencatat data rekam medis pasien. Sampel dari penelitian ini terdiri dari 35 pasien dengan diagnosis utama CHF yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis DRP dilakukan berdasarkan jenis DRP yang ditemukan dengan menggunakan acuan utama yaitu Pharmaceutical Care Network Europe

(PCNE) 2006, ACCF/AHA Guideline for The Management of Chronic of

Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice

tahun 2013 dan Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition.

Hasil identifikasi DRPs pada penatalaksanaan pasien CHF di instalasi rawat inap RS PKU Muhammadiyah Gamping menunjukkan bahwa terdapat 20 pasien (57,14%) yang terdiri dari interaksi obat (drug interaction) sebanyak 35 kejadian (77,78%), pemilihan yang obat yang tidak sesuai (drug choice problem) sebanyak 6 kejadian (22,22%). Sementara kejadian yang tidak diinginkan (adverse drug reaction), dosis yang tidak sesuai (dosing problems) dan penggunaan obat yang tidak sesuai (drug use problems)tidak ditemukan.

(15)

xiv

activity. The pharmacological therapy of CHF can caused DRP are possible to occur drug related problems (DRPs). There are some types of DRPs such as adverse drug reaction, drug choice problem, dosing problem, drug use problem and drug interaction. The aim of this research is to describe the incidence of DRPs in the management oh hospitalized patients with CHF in RS PKU Muhammadiyah Gamping.

This research was a non-experimental research with cross-sectional descriptive analysis. Data was collected retrospectively from September 2015 to April 2016 from inpatients medical records. Sample in this research consist of 35 CHF inpatients which included in inclusion criteria. DRPs was analyzed based on classification of DRPS and use primary reference is Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) 2006, ACCF/AHA Guideline for The Management of Chronic of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice tahun 2013 dan Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition.

The result showed that DRPs in the management of patients with CHF inpatients RS PKU Muhammadiyah Gamping indicates that are 20 patients (57,14%) it contains drug interaction with 35 incidence (77,78%), drug use problems with 6 incidence (22,22%), and not found in adverse drug reaction, dosing problems and drug choice problems category.

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan masalah

kesehatan utama di negara maju dan berkembang. Penyakit ini menjadi

penyebab nomor satu kematian di dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2008

diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit

kardiovaskuler. Lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60

tahun. Kematian dini yang disebabkan oleh penyakit jantung berkisar

sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi, dan 42% terjadi di negara

berpenghasilan rendah. Kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung

pembuluh darah, terutama penyakit jantung koroner dan stroke

diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada

tahun 2030 (Kemenkes RI, 2014).

Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah ini terus

meningkat dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban

sosial ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat dan negara. Prevalensi

penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis

dokter sebesar 0,5%. Berdasarkan diagnosis dokter gejala sebesar 1,5%.

Sementara itu, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013

(17)

Gagal jantung masuk pada urutan keempat sebagai penyebab

kematian di DIY. Hasil dari laporan rumah sakit, hal tersebut dapat

menunjukkan bahwa penyakit degeneratif menjadi ancaman yang harus

diwaspadai, perilaku hidup sehat dapat dilaksanakan sebagai program

promotif tehadap perilaku hidup sehat agar masyarakat dapat mengurangi

faktor resiko untuk penyakit degeneratif (Dinkes DIY, 2013). Kasus gagal

jantung di Yogyakarta berdasarkan data RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

dari bulan Januari-November 2012 sebanyak 3.459 orang, baik pasien

yang baru terdiagnosis maupun pasien lama yang melakukan rawat jalan.

Sedangkan pasien gagal jantung yang menjalani rawat inap sebanyak 4012

pasien.

Pasien gagal jantung kongestif biasanya mengalami komplikasi

penyakit lain sehingga membutuhkan berbagai macam obat dalam

terapinya. Pemberian obat yang bermacam-macam tanpa dipertimbangkan

dengan baik dapat merugikan pasien karena mengakibatkan terjadinya

perubahan efek terapi (Yasin et al., 2005). Oleh karena itu, adanya

interaksi obat harus diperhatikan untuk mengurangi kejadian DRP

termasuk pada pasien rawat inap gagal jantung kongestif.

Drug Related Problem (DRP) merupakan peristiwa atau keadaan

terkait obat yang berpotensi mengganggu hasil kesehatan yang diinginkan

(PCNE , 2006). DRP dapat terjadi pada semua proses penggunaan obat,

(18)

morbiditas dan mortalitas serta peningkatan biaya perawatan (Adusumilli ,

2014).

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui angka kejadian DRP dalam pengobatan CHF pada pasien

rawat inap RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Pemilihan RS

PKU Muhammadiyah Gamping karena rumah sakit ini merupakan rumah

sakit pendidikan yang berkontribusi terhadap perserikatan Muhammadiyah

dan prevalensi penyakit CHF cukup tinggi.

Sebagai seorang muslim harus berpedoman pada Al-qur’an, berikut

adalah Surah Al-Isra ayat 82.

" Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar

dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah

menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. "

B. Perumusan Masalah

Berapakah angka kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada

terapi pasien Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani rawat inap

(19)

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka, penelitian dengan judul

“Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penatalaksanaan Pasien

Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap RSU PKU

Muhammadiyah Gamping Periode Januari-Juni 2015” belum pernah

dilakukan, adapun penelitian terkait sebagai berikut :

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Nama Pengarang

Judul Hasil

Hadiatussala mah.2013

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien dengan Diagnosis Congestive Heart Failure di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012

Prevalensi kejadian DRPs yaitu 32,87% (59 kejadian). DRPs yang paling banyak terjadi adalah terapi tanpa indikasi disusul dengan interaksi obat dan indikasi tidak diterapi. Endah

Sussilowati. 2014

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penatalaksanaan pasien Congestive Heart Failure (CHF) di Instalasi Rawat Inap RSU PKU Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013.

Terdapat 32 kejadian DRPs dari 26 kasus. Kejadian DRPs terbanyak adalah interaksi obat sebanyak 19 kejadian.

Perbedaan penelitian ini terletak pada lokasi penelitian dan

pengambilan sampel.

D. Tujuan Penelitian

Mengetahui angka kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada

terapi pasien Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani rawat inap di

(20)

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Manfaat penelitian ini bagi rumah sakit adalah sebagai bahan

masukan untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan pengobatan

terhadap pasien CHF.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Memberikan pengetahuan atau wawasan kepada tenaga

kesehatan terutama farmasis mengenai problem dalam pengobatan

CHF.

3. Bagi Peneliti

Memenuhi syarat kelulusan menjadi sarjana farmasi

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Congestive Heart Failure

1. Definisi

Gejala klinis kompleks yang sering, ditandai dengan kelainan

struktural atau disfungsi jantung yang merusak kemampuan ventrikel kiri

(LV) untuk mengisi atau memompa darah, terutama saat aktifitas fisik

(NHFA , 2011). Perawatan gagal jantung terjadi pada beberapa keadaan,

dengan berbagai terapi dan umumnya melibatkan pasien (Milfred-Laforest

et al., 2013).

2. Patofisiologi

.

Gambar 1. Patofisiologi CHF

(22)

CHF berawal dari disfungsi jantung kiri yang disebabkan beban

tekanan berlebihan sehingga kebutuhan metabolik meningkat. Peningkatan

kebutuhan metabolik menyebabkan volume overload yang abnormal pada

jantung, cardiac output menurun sehingga menyebabkan beban pada

atrium karena tekanan meningkat. Hal ini menyebabkan hambatan vena

pulmonari yang kemudian membuat bendungan pada paru-paru dan

mengakibatkan edema paru. Beban ventrikel kanan (V.Ka) bertambah

menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan (V.Ka) sehingga mengakibatkan

gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dan kiri ini disebut dengan

CHF.

Ketika jantung mulai gagal, tubuh mengaktifkan beberapa

kompleks mekanisme kompensasi dalam upaya untuk mempertahankan

Cardiac output dan oksigenasi organ vital. Hal ini termasuk peningkatan

simpatik, aktivasi Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS), natrium

dan retensi air dan neurohormonal adaptasi, yang menyebabkan jantung

remodeling (dilatasi ventrikular, hipertrofi jantung dan perubahan bentuk

lumen ventrikel kiri (Dipiro, 2015).

3. Etiologi

Menurut Alldredge et al,. (2013), penyebab CHF terdiri atas :

a. Output rendah, disfungsi sistolik (dilatasi kardiomipati) dapat

disebabkan iskemik koroner, Infark miokard, regurgitasi, konsumsi

(23)

idiopatik. Juga dapat disebabkan hipertensi, stenosis aorta dan volume

overload.

b. Disfungsi diastolik dapat disebabkan iskemik koroner, infark miokard,

hipertensi, stenosis aorta dan regurgitasi, perikarditis, pembesaran

septum ventrikel kiri.

c. High-output failure disebabkan oleh anemia dan hipertiroid.

4. Faktor Resiko

Di Indonesia prevalensi penyakit jantung dari tahun ke tahun terus

meningkat. Merokok, obesitas, kadar kolesterol, tekanan darah tinggi,

kurang aktifitas, diabetes melitus dan stress merupakan faktor resiko utama

CHF. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa reaksi

peradangan (inflamasi) dari penyakit infeksi kronis mungkin juga menjadi

faktor risiko (LIPI, 2009).

5. Klasifikasi

American College of Cardiology Foundation/ American Heart

Association (ACCF/AHA) dan NewYork Association (NYHA)

memberikan informasi tentang klasifikasi atau tingkatan dari gagal

jantung. ACCF / AHA menekankan pada perkembangan penyakit seorang

pasien gagal jantung yang digunakan untuk menggambarkan individu dan

populasi, sedangkan NYHA menekankan pada gejala fungsional penyakit

(24)

Tabel 2. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung ACCF/AHA dan Klasifikasi Fungsional NYHA

Klasifikasi gagal jantung menurut ACCF/AHA. Tingkatan gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung

Klasifikasi fungsional NYHA. Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas fisik

A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala

I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala

II Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

C Gagal jantung yang simptomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari

III Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak

D Gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi khusus

IV Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

6. Gejala CHF

Menurut NHFA (2011) gejala yang dapat terjadi pada pasien dengan

CHF sebagai berikut :

a. Sesak nafas saat beraktifitas muncul pada sebagian besar pasien,

awalnya sesak dengan aktifitas berat, tetapi kemudian berkembang

pada tingkat berjalan dan akhirnya saat istirahat.

b. Ortopnea, pasien menopang diri dengan sejumlah bantal untuk tidur.

Hal ini menunjukkan bahwa gejala lebih cenderung disebabkan oleh

(25)

c. Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND) juga menunjukkan bahwa

gejala lebih cenderung disebabkan oleh CHF, tetapi sebagian besar

pasien dengan CHF tidak memiliki PND.

d. Batuk kering dapat terjadi, terutama pada malam hari. Pasien

mendapatkan kesalahan terapi untuk asma, bronkitis atau batuk yang

diinduksi ACEi.

e. Kelelahan dan kelemahan mungkin jelas terlihat, tetapi umum pada

kondisi yang lain.

f. Pusing atau palpitasi dapat menginduksi aritmia.

7. Diagnosis

Menurut Dipiro (2013) diagnosis CHF sebagai berikut :

Pertimbangkan diagnosis HF pada pasien dengan tanda dan gejala

yang khas. Sebuah riwayat dan pemeriksaan fisik dengan pengujian

laboratorium yang sesuai adalah penting dalam mengevaluasi pasien

dengan dugaan HF.

Tes laboratorium untuk mengidentifikasi gangguan yang dapat

menyebabkan atau memperburuk gagal jantung termasuk menghitung sel

darah lengkap, elektrolit serum (termasuk kalsium dan magnesium), ginjal,

hati, dan tes fungsi tiroid, urinalisis, profil lipid, dan A1C. B-type

natriuretic peptide (BNP) umumnya akan lebih besar dari 100 pg / mL.

Hipertrofi ventrikel dapat ditunjukkan pada rontgen dada atau

elektrokardiogram (EKG). Rontgen dada juga bisa menunjukkan efusi

(26)

Echocardiogram dapat mengidentifikasi kelainan perikardium,

miokardium, atau katup jantung dan mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri

(LEVF) untuk menentukan apakah terdapat disfungsi sistolik dan

diastolik.

8. Tatalaksana Terapi CHF

a. Algoritma Terapi

(27)

Intervensi terapetik dalam setiap tahap ditujukan untuk

memodifikasi faktor resiko (stage A), mengobati struktural penyakit

jantung (stage B), dan mengurangi morbiditas dan mortalitas (stage C

dan D).

Pasien gagal jantung stage A belum mengalami kerusakan jantung

atau gejala gagal jantung, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantng.

Pasien yang memiliki riwayat keluarga tekanan darah tinggi (hipertensi),

diabetes, atau masalah jantung harus memperhatikan kesehatan jantung.

Pasien yang memiliki faktor resiko tersebut, perlu mengontrol tekanan

darah, mengontrol kadar gula darah, diet tinggi lemak, membatasi rokok

dan alkohol.

Pasien gagal jantung stage B telah mengalami kerusakan struktural

jantung namun belum menunjukkan gejala penyakit gagal jantung. Pada

stage ini terapi yang diberikan adalah Angiotensin Converting Enzyme

Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dan akan

dilakukan pemantauan ketat tekanan darah.

Pasien gagal jantung stage C mengalami gejala seperti disfungsi

jantung. Kelelahan saat melakukan aktifitas ringan seperti berjalan atau

membungkuk. Sesak nafas dan kelelahan akan terjadi saat beraktifitas.

Pada stage ini, diet rendah natrium, menghentikan rokok dan alkohol

merupakan bagian dari terapi.

Pasien gagal jantung stage D, membutuhkan intervensi khusus.

(28)

terapi maksimal. Mempertimbangkan terapi khusus, termasuk seperti

terapi continous IV inotropik positif, transplantasi jantung, atau

perawatan rumah sakit (Dipiro, 2015).

b. Terapi non farmakologi

Menurut National Heart Foundation of Australia (NHFA)

2011, terapi non-farmakologi gagal jantung sebagai berikut :

1) Aktifitas fisik

Aktivitas fisik secara teratur sekarang sangat disarankan untuk

pasien dengan CHF. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan kapasitas

individu seperti berjalan, bersepeda, angkat besi ringan dan latihan

peregagan. Pasien dapat berjalan dirumah selama 10-30 menit perhari,

5-7 hari perminggu.

2) Nutrisi

Pasien yang kelebihan berat badan meningkatkan kerja jantung

baik selama aktifitas fisik dan kehidupan sehari-hari. Penurunan berat

badan dapat meningkatkan toleransi aktifitas fisik dan kualitas hidup,

dianjurkan pada pasien yang melebihi kisaran berat badan normal.

Asupan lemak jenuh harus dibatasi pada semua pasien, terutama

yang menderita jantung koroner. Diet tinggi serat dianjurkan untuk

menghindari mengejan yang dapat menimbulkan angina, sesak atau

aritmia.

Pasien gagal jantung dengan gejala ringan dianjurkan

(29)

volume cairan ekstraseluler. Pasien dengan gejala sedang sampai berat

dianjurkan membatasi asupan garam 2 gram perhari.

Pasien yang menderita gagal jantung akibat alkohol harus

menghindari alkohol untuk memperlambat perkembangan penyakit

dan meningkatkan fungsi ventrikel kiri (LV). Asupan alkohol tidak

melebihi 10-20 gram sehari. Pasien dengan gejala ringan sampai

sedang, asupan alkohol dapat meningkatkan prognosis.

c. Terapi Farmakologi

1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II

dan mengerahkan efek biologis yang meningkatkan gejala,

mengurangi rawat inap, dan memperpanjang kelangsungan hidup.

ACE inhibitor direkomendasikan untuk semua pasien dengan gagal

jantung dengan penurunan fungsi sistolik. Efek samping utama

ACE inhibitor adalah batuk (hingga 20%), gejala

hipotensi dan disfungsi ginjal (Figueroa MD, 2006).

2) Diuretik

Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan

penyumbatan (paru dan edema perifer) atau dilatasi jantung

(Alldredge et al., 2013). Diuretik merupakan satu-satunya obat yang

digunakan pada terapi gagal jantung yang dapat mengatasi retensi

cairan gagal jantung. Penggunaan diuretik yang tepat merupakan

(30)

Penggunaan diuretik dosis rendah yang tidak tepat mengakibatkan

retensi cairan dan penggunaan diuretik dosis tinggi menyebabkan

kontraksi volume yang dapat meningkatkan resiko hipotensi dan

insufisiensi ginjal (Yancy et al, 2013).

Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium klorida

pada tempat tertentu di tubulus ginjal. Loop diuretik (bumetanid,

furosemid dan torsemid) bekerja di lengkung henle, sedangkan tiazid,

metolazon, dan diuretik hemat kalium bekerja pada tubulus distal.

Loop diuretik paling banyak digunakan pada pasien gagal jantung

(Yancy et al, 2013).

3) Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) bekerja dengan

mengeblok reseptor angiotensin II subtipe I (AT1). ARB tidak

merangsang munculnya bradikinin dan tidak terkait efek samping

batuk kering yang muncul pada ACE inhibitor. Pengeblokan reseptor

AT1 secara langsung memungkinkan stimulasi reseptor AT2,

menyebabkan vasodilatasi dan penghambatan remodeling ventrikel

(Dipiro, 2015).

Angiotensin II reseptor antagonis atau ARB dapat memberikan

morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal jantung yang menerima

ACE inhibitor, namun tidak dapat digunakan pada gagal jantung

(31)

perlu dimonitoring seperti pada penggunaan ACE inhibitor (NHFA,

2011).

4) Angiotensin Aldosteron

Antagonis aldosteron digolongkan sebagai diuretik hemat kalium,

namun antagonis aldosteron juga memiliki efek baik tersendiri dalam

menjaga keseimbangan Na+. Spironolacton dan eplerenon mengeblok

reseptor mineralokortikoid, tempat target aldosteron. Antagonis

aldosteron mengahambat reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium di

ginjal.

Antagonis aldosteron harus digunakan dengan hati-hati, dilakukan

pemantauan ketat fungsi ginjal dan konsentasi potasium. Antagonis

aldosteron harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal,

memburuknya fungsi ginjal, pada kalium tinggi hingga normal atau

riwayat hiperkalemia berat. Spironolakton juga berinteraksi dengan

androgen dan reseptor progesteron yang dapat menyebabkan

ginekomastia, impotensi dan ketidakteraturan menstruasi pada

beberapa pasien (Dipiro, 2015).

5) Beta Bloker

Beta bloker merupakan antagonis yang mengaktifkan sistem

simpatis, secara signifikan terbukti bermanfaat dalam jangka panjang

pada gagal jantung yang berat. Penambahan beta-bloker pada terapi

konvensional dikaitkan dengan dampak yang signifikan pada

(32)

Beta-bloker mengurangi perkembangan CHF pada pasien

dengan gangguan fungsi ventrikel jika diberikan awal periode pasca

infark miokard (NHFA, 2011). Beta-bloker dapat memperlambat

perkembangan penyakit, mengurangi rawat inap dan mengurangi

angka kematian pada pasien gagal jantung sistolik (Dipiro, 2015).

6) Digoksin

Digoksin melemahkan aktivasi sistem saraf simpatik yang

berlebihan pada pasien gagal jantung, mungkin dengan mengurangi

aliran simpatis pusat dan meningkatkan fungsi baroreseptor yang

terganggu ( Dipiro, 2009).

Digoksin menginduksi diuresis pada pasien dengan HF yang

mengalami retensi cairan. Mekanisme multiple digoksin : (1)

vasodilatasi dan peningkatan CO dapat meningkatkan hemodinamik

ginjal; (2) menghambat reabsorpsi tubular natrium, dari ginjal Na+ -K+

- ATPase dan (3) meningkatkan sekresi atrial natriuretic peptide

(Rahimtoola, 2004).

7) Nitrate dan Hidralazin

Nitrat, misalnya isosorbid dinitrat (ISDN) dan hidralazin

melengkapi tindakan hemodinamik. Nitrat terutama venodilator,

menurunkan preload. Hidralazin adalah vasodilator arteri langsung

yang mengurangi resistensi vaskuler sistemik (SVR) dan

(33)

B. Drug Related Problems (DRPs)

DRP adalah istilah penting dalam pelayanan farmasi. Istilah lain

digunakan untuk konsep yang sama, seperti kesalahan pengobatan. Kesalahan

merujuk pada proses yang dapat menyebabkan masalah. DRP dapat berasal

ketika meresepkan, mengeluarkan, mengambil atau pemberian obat-obatan.

Menurut PCNE (2006) DRP dibagi menjadi 5 klasifikasi yang terdiri

atas :

Tabel 3. Klasifikasi DRP

Primary Domain Kode V4 Masalah

1. Adverse reaction

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan

P1.1 P1.2 P1.3

Mengalami efek samping (non alergi) Mengalami efek samping (alergi) Mengalami efek toksik

2. Drug choice problem

Pasien mendapatkan obat yang salah atau tidak mendapatkan obat untuk penyakit yang dideritanya

P2.1

Obat yang tidak tepat Sediaan obat yang tidak tepat Duplikasi zat aktif yang tidak tepat Kontraindikasi

Obat tanpa indikasi yang jelas

Ada indikasi yang jelas namun tidak diterapi 3. Dosing problem

Pasien mendapatkan jumlah obat yang kurang atau lebih

dari yang dibutuhkan

P3.1 P3.2 P3.3 P3.4

Dosis dan atau frekuensi terlalu rendah Dosis dan atau frekuensi terlalu tinggi Durasi terapi terlalu pendek

Durasi terapi terlalu panjang 4. Drug use

problem

Obat tidak atau salah pada penggunaanya

P4.1 P4.2

Obat tidak dipakai seluruhnya Obat dipakai dengan cara yang salah

5. Interactions

Ada interaksi obat obat atau obat makanan yang terjadi atau potensial terjadi

P5.1 P5.2

Interaksi yang potensial Interaksi yang terbukti terjadi

6. Others P6.1

P6.2 P6.3

Pasien tidak merasa puas dengan terapinya sehingga tidak menggunakan obat secara benar.

Kurangnya pengetahuan terhadap masalah kesehatan dan penyakit (dapat menyebabkn masalah di masa datang)

(34)

C. Kerangka Konsep

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian DRP

pada pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah

Gamping.

Pasien dengan CHF di RS PKU Muhammadiyah Gamping

Terapi CHF

Identifikasi DRP

Gambar 3. Kerangka konsep

1. Adverse drug reaction

(kejadian yang tidak diinginkan)

2. Drug choice problem

(pemilihan obat yang tidak sesuai)

3. Dosing problem (dosis yang tidak sesuai) 4. Drug use problem

(penggunaan obat yang tidak sesuai)

5. Drug interaction

(35)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dan

bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data

dilakukan secara retrospektif dengan mencatat hasil rekam medik pasien

congestive heart failure (CHF) yang pernah menjalani perawatan di

Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Gamping pada Januari-Juni

2015. Data yang diperoleh dianalisis sesuai metode deskriptif.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Gamping di

bagian rekam medik dan waktu penelitian ini dilakukan pada bulan

September 2015-April 2016.

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani

rawat inap dengan diagnosa CHF di RS PKU Muhammadiyah Gamping

periode Januari-Juni 2015.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan

(36)

rekam medik rumah sakit selama Januari-Juni 2015 dan memenuhi kriteria

inklusi.

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi 1. Kriteria inklusi :

a. Pasien terdiagnosa utama CHF.

b. Menjalani rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Gamping

periode Januari-Juni 2015.

2. Kriteria ekslusi

a. Data rekam medik rawat inap tidak lengkap.

b. Pasien meninggal dunia.

c. Pasien keluar atas permintaan sendiri.

E. Definisi Operasional

1. Pasien adalah orang yang terdiagnosa CHF yang menjalani rawat inap

di RS PKU Muhammadiyah Gamping dan memenuhi kriteria inklusi.

2. Rekam medik yang diambil merupakan rekam medik pasien CHF

periode Januari-Juni 2015.

3. DRP dalam penelitian ini meliputi kejadian yang tidak diinginkan,

pemilihan obat yang tidak sesuai, dosis yang tidak sesuai, penggunaan

obat yang tidak sesuai, dan interaksi obat.

(37)

5. DRPs dikategorikan menjadi 5 yaitu

a. Adverse Drug Reaction (ADR) yaitu reaksi obat yang tidak

diinginkan. Pasien mengalami reaksi yang tidak diinginkan yang

melibatkan terapi yang diterima.

b. Drug Choice Problems yaitu pemilihan obat yang tidak tepat.

Pemilihan obat yang tidak tepat jika pasien mendapatkan terapi

tertentu yang seharusnya pasien tidak dapat menerima obat

tersebut karena suatu hal.

c. Dosing Problem yaitu dosis obat yang tidak tepat. Dosis obat yang

terlalu rendah atau terlalu tinggi. Dosis terlalu rendah terjadi jika

pasien menerima obat yang tepat namun dosis yang diberikan

terlalu rendah, frekuensi pemberian dan durasinya kurang. Dosis

terlalu tinggi terjadi jika pasien menerima obat yang tepat namun

dosis yang diberikan terlalu tinggi, termasuk kriteria dosis

dinaikkan secara cepat serta frekuensi dan durasi yang tidak tepat.

Dosis yang diberikan kepada pasien dibandingkan dengan literatur

terkait seperti Drug Information Handbook, Pharmacotherapy: A

Pathophysiologic Approach dan Geriatric Dosage Handbook.

d. Drug Use Problem yaitu penggunaan obat yang tidak tepat.

Keadaan yang dapat diterapi dengan non farmakologi namun

diterapi menggunakan obat, tidak ada indikasi namun diterapi

obat, penggunaan multiple drug pada kondisi masih dapat diterapi

(38)

e. Drug Interactions atau interaksi obat. keadaan dimana terjadinya

interaksi baik antar obat gagal jantung maupun antara obat gagal

jantung dengan obat lain. Interaksi obat yang dihitung menurut

buku Drug Interaction Fact.

F. Instrumen Penelitian 1. Rekam medik

Rekam medik yang diambil merupakan rekam medik pasien

CHF periode Januari-Juni 2015 yaitu mencakup nama pasien, umur,

hasil laboratorium, obat yang diberikan (nama obat, dosis, jumlah,

cara pemberian, frekuensi dalam lama penggunaan), kondisi pasien

saat masuk dan riwayat penyakit.

2. Pedoman pengobatan CHF

Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini adalah National

Heart Foundation of Australia : Diagnosis an Management of Chronic

Heart Failure tahun 2011, ACCF/AHA Guideline for The Management

of Heart Failure : A Report of American College of Cardiology

Foundation/American Heart Association Task Force on Practice

Guideline tahun 2013, Drug Interaction Handbook 18th Edition tahun

2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition

(39)

G. Cara Kerja

1. Tahap persiapan :

a. Izin Direktur RS PKU Muhammadiyah Gamping.

b. Konsultasi dengan komite medik RS PKU Muhammadiyah

Gamping.

c. Koordinasi dengan petugas rekam medik dan instalasi farmasi.

2. Tahap pelaksanaan

a. Proses pengumpulan data yang dimulai dengan pemilihan kasus

dari berkas rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi.

b. Memilih kasus dari berkas rekam medik Januari-Juni 2015 dengan

urutan :

1) Melakukan observasi laporan dari bagian rekam medik secara

retrospektif selama periode Januari-Juni 2015.

2) Mengambil berkas rekam medik pasien dengan menulis nama

dan nomor rekam medik tersebut pada kartu peminjaman

status.

c. Mencatat data rekam medik kemudian ditulis ke lembar penelitian.

d. Menganalisis DRP yang terdapat di rekam medik pasien dengan

pedoman yang diacu.

(40)

H. Skema Langkah Kerja

Perizinan dari Direktur RS PKU Muhammadiyah Gamping Perizinan dari universitas

Pengajuan proposal

Pengambilan data secara Retrospektif (Rekam Medik)

Seleksi dan pengolahan data

Melakukan analisis data

Pembahasan

Kesimpulan

(41)

I. Analisis Data

Untuk mengetahui kejadian DRP pada pasien CHF dilakukan

analisis menggunakan metode deskriptif non analitik. Data tersebut

meliputi:

1. Gambaran karakteristik pasien dianalisis berdasarkan jenis kelamin,

usia, lama waktu rawat inap dan diagnosis penyerta. Data yang ada

dikelompokkan dan masing-masing dihitung jumlahnya kemudian

hasilnya dipersentasekan.

2. Perhitungan seluruh jumlah kejadian DRPs. Apabila dalam satu kasus

atau satu pasien terdapat lebih dari 1 kejadian DRP, maka dihitung

setiap kejadian.

3. Perhitungan persentase DRP sebaagai berikut :

b. Persentase Adverse Drug Reactions

� � � � � �

DRP x 100% ...(persamaan 1)

c. Persentase pemilihan obat yang tidak tepat

y

DRP x 100% ...(persamaan 2)

d. Persentase dosis yang tidak tepat

y

DRP x 100% ...(persamaan 3)

e. Persentase penggunaan obat yang tidak tepat

y

(42)

f. Persentase interaksi obat

DRP x 100% ...(persamaan 5)

g. Pemberian terapi dikatakan tepat apabila sesuai dengan National

Heart Foundation of Australia : Diagnosis an Management of

Chronic Heart Failure tahun 2011, ACCF/AHA Guideline for The

Management of Heart Failure : A Report of American College of

Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force

on Practice Guideline tahun 2013, Pharmacotherapy: A

Pathophysiologic Approach, 9th Edition tahun 2015, Koda-kimble & Young’s, Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs,

(43)

28

A. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua pasien CHF dengan atau tanpa

penyakit penyerta yang menjalani rawat inap di Instalasi Rawat Inap RS

PKU Muhammadiyah Gamping pada periode Januari-Juni 2015.

Berdasarkan data rekam medik terdapat 53 pasien rawat inap dengan

diagnosis utama CHF dengan 35 pasien yang memenuhi kriteria inklusi

dan 18 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi yang meliputi 8 pasien

meninggal dunia, 1 pasien pindah rumah sakit dan 9 pasien memiliki data

yang tidak lengkap. Berikut ini merupakan distribusi karakteristik pasien

CHF yang menjalani rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Gamping

periode Januari-Juni 2015 :

1. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, pasien CHF dikategorikan menjadi 2

yaitu laki-laki dan perempuan dengan persentase yang ditunjukan dengan

gambar berikut ini :

Gambar 5. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin

69%

31%

laki-laki

(44)

Dari sampel penelitian yang termasuk kedalam kriteria inklusi,

dapat diketahui terdapat 24 pasien (69%) berjenis kelamin laki-laki,

sedangkan pasien berjenis kelamin perempuan terdapat 11 pasien (31%).

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pasien CHF di RS PKU

Muhammadiyah Gamping lebih banyak dialami oleh pasien berjenis

kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Menurut Grossman

dan Brown (2009) pasien gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada

pasien laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada usia 45-75 tahun.

Kasus gagal jantung iskemik lebih banyak ditemukan pada laki-laki

dibandingkan dengan perempuan. Gagal jantung karena Ischemic Heart

Disease (IHD) membawa prognosis yang lebih buruk daripada gagal

jantung karena penyebab non iskemik. Prevalensi IHD pada pasien wanita

mencerminkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pasien laki-laki

(Assiri, 2011).

2. Karakteristik Berdasarkan Usia

Menurut Kemenkes RI (2013), klasifikasi pasien CHF berdasarkan

usia dibagi menjadi 7 kategori. Berikut merupakan klasifikasi pembagian

usia pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah

(45)

Gambar 6. Karakteristik pasien berdasarkan usia

Berdasarkan gambar diatas, data distribusi pasien CHF berdasarkan

usia diketahui penderita terbanyak adalah pada usia 55-64 tahun yaitu 10

pasien. Hal ini diperkuat dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013

yang menunjukkan angka kejadian CHF tertinggi pada usia 45-54 tahun,

55-64 tahun dan 65-74 tahun (Kemenkes RI, 2013).

Risiko penyakit CHF akan meningkat pada usia diatas 45 tahun,

hal ini dikarenakan penurunan fungsi dari ventrikel. Peningkatan kasus

gagal jantung dipengaruhi oleh pertambahan usia, naik sekitar 20 kasus

gagal jantung per 1000 penduduk pada usia 65-69 tahun dan 80 kasus per

1000 penduduk dengan usia diatas 85 tahun keatas (ACCF/AHA, 2013).

3. Karakteristik Berdasarkan Length of Stay (LOS)

Length of stay merupakan jangka waktu pasien mendapatkan

perawatan di rumah sakit mulai dari masuk ke rumah sakit hingga pasien

pulang dari rumah sakit. Setiap pasien memiliki LOS yang berbeda

tergantung dari tingkat keparahan dan komplikasi penyakit dari pasien.

Rata-rata LOS pasien rawat inap dengan diagnosis CHF adalah 6 hari. 0

2 4 6 8 10

(46)

Lama rawat inap pasien dikelompokkan menjadi 2 yaitu lama rawat inap

yang kurang dari 6 hari dan lama rawat inap lebih dari sama dengan 6 hari.

Pengelompokan ini berdasarkan rata-rata rawat inap 35 pasien yaitu 6 hari.

Berdasarkan data tersebut diketahui jumlah pasien yang menjalani

rawat inap kurang dari 6 hari lebih banyak dibandingkan dengan pasien

yang menjalani rawat inap lebih dari sama dengan 6 hari. Jumlah pasien

yang menjalani rawat inap selama kurang dari 6 hari adalah 21 pasien

dengan persentase 60%, sedangkan jumlah pasien yang menjalani rawat

inap lebih dari sama dengan 6 hari adalah 14 pasien dengan persentase

40%.

4. Karakteristik Berdasarkan Penyakit Penyerta

Gagal jantung merupakan sindrom klinis hasil dari progesivitas

beberapa penyakit yang dapat menurunkan fungsi diastolik maupun

Gambar 7. Karakteristik pasien berdasarkan Length of Stay (LOS)

60%

40%

Length of Stay

(LOS)

< 6 hari ≥ 6 hari

(47)

sistolik jantung sehingga pasien gagal jantung memiliki resiko tinggi

memiliki penyakit penyerta (Susilowati, 2015).

Tabel 4. Karakteristik pasien berdasarkan penyakit penyerta Jumlah penyakit

penyerta

Jumlah Jenis penyakit penyerta No pasien Tanpa penyakit

5. BPH (Benign prostate hiperplasia)

1 8 13 27 29 2 penyakit penyerta 15 1. IHD, Dispepsia

2. Kardiomiopati dilatasi, Kongestif hepatopati

3. DM tipe II

4. Mitral regurgitasi, Hipertensi 5. ISK, Dispepsia

6. IHD, Atrial Fibrilasi

7. Kardiomiopati dilatasi, DM tipe II 8. Hipertensi, DM tipe II

9. DM, CKD

10. OMI anterior, Pneumonia 11. HHD, Hipertensi

12. Hipertensi, ISK

3, 10, 18 3 penyakit penyerta 9 1. HHD, Hematuria, Anemia

2. IHD, HHD, ISK

3. IHD, Hipertiroid, Atrial takikardi 4. IHD, Asma. PPOK

5. Hipertensi, DM tipe II, GEA 6. IHD, DM, Anemia

7. Anorexia, Hipertensi, ISK 8. HHD, Edema paru, CKD 9. IHD, HHD, dislipidemia

2 4 penyakit penyerta 3 1. IHD, HHD, Atrial Fibrilasi, Ves

(Ventricular extra sistole)

2. IHD, PPOK, ISK, AKI (Acute Kidney Disease)

3. IHD, HHD. Kongestif hepatopati, Dementia

17 20 23 5 penyakit penyerta 1 1. HHD, Hipertensi, Kongestif Hepatopati,

BPH, Dispepsia

34

Jumlah 35

Berdasarkan tabel 4, diketahui jumlah pasien yang memiliki

penyakit penyerta dengan jumlah terbanyak adalah pasien dengan 2

(48)

pasien CHF akan membutuhkan kombinasi terapi, pemberian obat yang

bermacam-macam tanpa dipertimbangkan dengan baik akan meningkatkan

resiko terjadinya DRP.

Pada penelitian ini penyakit penyerta yang paling banyak dialami

oleh pasien adalah IHD sebanyak 12 pasien dari total 35 pasien. Menurut

Dipiro (2009) IHD merupakan keadaan kekurangan oksigen yang ditandai

dengan penurunan atau tidak adanya aliran darah ke miokardium yang

dihasilkan dari penyempitan arteri koroner atau obstruksi. Keadaan ini

juga biasa disebut dengan coronary arterial disease (CAD) atau jantung

koroner.

Penyakit penyerta terbanyak yang kedua adalah hipertensi.

Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko dan sangat erat kaitannya

dengan gagal jantung. Menurut Neal (2005), tekanan darah tinggi

berkaitan dengan dengan penurunan usia harapan hidup dan peningkatan

risiko stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit organ lainnya seperti

retinopati, gagal ginjal.

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu yang lama akan

menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik. Penurunan fungsi

sistolik disebabkan oleh iskemik miokard, infark miokard, fibrosis, dan

kardiomiopati. Disfungsi diastolik disebabkan oleh hipertrofi ventrikel

kiri. Meskipun tanpa disfungsi sistolik, disfungsi diastolik bisa

(49)

Resiko berkembangnya gagal jantung pada hipertensi dibandingkan

dengan individu normotensif (tekanan darah normal) adalah sekitar dua

kali lipat pada pria dan tiga kali lipat pada wanita. Tindak lanjut selama 20

tahun dari Framingham Heart Study dan Framingham Offspring Study

mengungkapkan 392 kasus baru gagal jantung yang mewakili 7,6% dari

populasi yang diteliti. Untuk 91% pasien gagal jantung, hipertensi

merupakan faktor pendahulunya. Pada usia 40 tahun, resiko gagal jantung

kongestif adalah 11,4% untuk pria dan 15,4% untuk wanita (Lalande dan

Johnson, 2008).

Berdasarkan gambar 8 yang tmmmelah dilakukan uji korelasi

didapatkan hasil korelasi yaitu -0,040 yang berarti hubungan penyakit

penyerta dengan lama rawat inap sangat lemah, dengan nilai p>0,05 yang

berarti tidak ada korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji. 0

2 4 6 8 10 12

tanpa penyakit penyerta

1 penyakit penyerta

2 penyakit penyerta

3 penyakit penyerta

4 penyakit penyerta

5 penyakit penyerta

L

am

a r

aw

at

i

n

ap

Hubungan penyakit penyerta dengan lama rawat inap

(50)

B. Identifikasi Drug Related Problems (DRP)

Penelitian ini menggunakan 35 sampel yang telah memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 35 sampel telah dilakukan

identifikasi DRPs yang potensial berdasarkan Pharmaceutical Care

Network Europe (PCNE) yang meliputi kejadian tidak diharapkan (adverse

drug reaction), pemilihan obat yang tidak sesuai (drug choice problem),

dosis yang tidak sesuai ( dosing problem), pengobatan yang tidak sesuai

(drug use problem), interaksi obat (drug interaction). Berikut hasil

identifikasi DRPs pada pasien CHF di Instalasi Rawat Inap RS PKU

Muhammadiyah Gamping periode Januari-Juni 2015.

Tabel 5. Persentase kejadian DRPs pada pasien CHF

No Kejadian DRPs Jumlah kasus Persentase

1 Kejadian yang tidak diharapkan 0 0%

2 Pemilihan obat yang tidak sesuai 10 22,22%

3 Dosis yang tidak sesuai 0 0%

4 Pengobatan yang tidak sesuai 0 0%

5 Interaksi obat 35 77,78%

Jumlah 45 100%

1. Kejadian yang tidak diharapkan / Adverse Drug Reaction (ADR)

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya kejadian yang tidak

diinginkan atau adverse drug reaction (ADR). ADR merupakan keadaan atau

kondisi yang tidak sesuai harapan yang muncul setelah pemberian terapi yang

(51)

2. Pemilihan obat yang tidak sesuai / Drug Choice Problems

Pemilihan obat yang tidak sesuai dalam penelitian ini dapat terjadi

seperti pasien mendapatkan obat yang tidak sesuai dengan keluhan yang

dialami. Misalnya pasien mendapatkan obat yang tidak sesuai indikasi,

duplikasi obat, obat yang dikontraindikasikan untuk pasien ataupun

penggunaan obat yang tidak jelas indikasinya.

Tabel 6. Kejadian pemilihan obat yang tidak sesuai

No Penyebab DRPs No. Kasus Jumlah kasus

1 Butuh obat 1, 18, 28, 34 4

2 Duplikasi obat 32 1

3 Kontraindikasi 4,8,9,18, 33 5

Jumlah 10

Kejadian DRPs untuk pemilihan obat tidak sesuai terjadi pada pasien 1

yaitu pasien terdiagnosis CHF dengan penyakit penyerta atrial fibrilasi (AF).

Pasien ini telah mendapatkan terapi digoksin injeksi 1A pada hari pertama

kemudian mendapatkan terapi digoksin peroral pada hari selanjutnya. Menurut

ACCF/AHA (2013), digoksin saja tidak cukup efektif untuk mengontrol AF.

Penambahan β-bloker dianjurkan untuk mendapatkan efek yang lebih baik

dalam mengontrol AF serta penambahan antagonis neurohormonal lainnya

seperti ACEI dapat dilakukan dalam mencegah progesivitas perburukan gagal

jantung. Menurut Perki (2014), pemilihan terapi pada gagal jantung akut untuk

kendali laju jantung adalah digitalis cepat berupa digoksin 0,25-0,5 mg IV.

(52)

setelah pemberian pertama dan pada kendali irama jantung terapi yang

diberikan adalah Amiodaron. Pada pasien 1, mengalami gangguan irama

jantung namun pasien tidak diterapi dengan amiodaron untuk mengontrol

irama jantung.

Pasien 18 terdiagnosis CHF dengan penyakit penyerta dispepsia.

Menurut Malone (2015), dalam Cochrane review antara antagonis resptor H2

dan Proton Pump Inhibitor (PPI) keduanya lebih efektif secara signifikan

dibandingkan dengan plasebo untuk mengobati dispepsia. Namun penggunaan

antagonis resptor H2 dapat menyebabkan takifilaksis yaitu penurunan

pengaruh obat yang lebih cepat dalam waktu 2-6 minggu sehingga membatasi

efek jangka panjang. Terapi lini pertama untuk dispepsia adalah PPI selama

4-8 minggu, apabila menunjukkan respon yang baik maka terapi dilanjutkan jika

tidak menunjukkan hasil yang baik maka lakukan tes H.Pylori. Pasien ini juga

mendapatkan obat yang dikontraindikasikan yaitu penggunaan aspilet. Aspilet

dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami gangguan lambung seperti

dispepsia. Sebaiknya penggunaan aspilet dihindari pada pasien ini.

Kasus yang selanjutnya terjadi pada pasien 28. Pasien ini terdiagnosis

CHF dengan penyakit penyerta chronic kidney disease (CKD). CKD

merupakan abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang terjadi selama 3

bulan atau lebih dengan implikasi kesehatan. Menurut Dipiro (2015), terapi

lini pertama untuk CKD adalah ACEI atau ARB yang dikombinasikan dengan

(53)

mendapatkan terapi lini pertama untuk CKD. Pasien menadapatkan terapi

furosemid yang dapat meningkatkan volume urin dan ekskresi natrium.

Pasien 34 memiliki diagnosis penyerta yaitu benign prostate

hyperplasia (BPH). Menurut Dipiro (2009) BPH merupakan neoplasma jinak

yang paling umum dari pria Amerika dan terjadi sebagai akibat dari

pertumbuhan androgen prostat. Pasien tidak mendapatkan terapi untuk

diagnosis BPH yang dialaminya. Menurut Dipiro (2009), terapi untuk pasien

BPH adalah tamsulosin dan doxazosin yang merupakan generasi kedua dari

antagonis alfa adrenergik.

Kasus pemilihan obat yang tidak sesuai selanjutnya adalah duplikasi

obat. Pasien 32 mendapatkan terapi ramipril, selain itu pasien juga

mendapatkan terapi cardace. Peneliti menemukan adanya duplikasi terapi pada

pasien ini dikarenakan pasien mendapatkan terapi cardace yang berisi ramipril

namun pasien juga mendapatkan terapi ramipril generik. Namun ada dua

kemungkinan dalam kasus ini yaitu pasien memang diberikan 2 obat yang

memiliki kandungan yang sama atau adanya kesalahan administrasi dalam

penulisan di rekam medik.

Kasus pemberian obat yang dikontraindikasikan terjadi pada pasien 4,

8, 9, 18, 33. Pasien 4, 8, 33 mendapatkan suplemen kalium pada penggunaan

spironolakton. Menurut DIH (2009) suplemen kalium, garam berisi kalium,

diet tinggi kalium atau obat lain yang menyebabkan hiperkalemia jika

(54)

Pasien 9 mendapatkan cilostazol yang merupakan obat yang digunakan

untuk mengatasi penyakit pembuluh darah perifer yang bekerja dengan

mencegah pembekuan darah dan melebarkan pembuluh darah. Menurut Chi et

al ( 2008), cilostazol terbukti meningkatkan vasodilatasi dan menginduksi

produksi oksidasi nitrat serta menghambat proliferasi otot polos. Selain itu

cilostazol dapat meningkatkan ektremitas aliran darah, meningkatkan densitas

plasma yang tinggi lipoprotein kolesterol dan mengurangi kadar trigliserida

plasma, mempotensiasi angiogenesis, dan mengurangi peradangan. Cilostazol

seharusnya dihindari pada pasien CHF, karena berkaitan dengan kejadian

kardiovaskuler dan mortalitas. Cilostazol memiliki resiko dibandingkan

dengan plasebo. Menurut DIH (2009), cilostazol dikontraindikasikan untuk

pasien dengan gagal jantung. Alternatif yang dapat diberikan kepada pasien

adalah adalah pentoxifylin yang bekerja memperbaiki aliran darah dengan

mengurangi kekentalan darah dan meingkatkan fleksibilitas sel darah merah.

Dengan demikian dalam penelitian ini ditemukan 10 DRP untuk kasus

pemilihan obat yang tidak sesuai dengan persentase 22,22%.

3. Dosis yang tidak sesuai

Pada penelitian ini tidak ditemukan dosing problem dalam analisis

DRP. Dosing problem dalam penelitian ini merupakan ketidaksesuaian dosis

dalam terapi yang diberikan kepada pasien yaitu dosis yang terlalu tinggi

(55)

4. Penggunaan obat yang tidak sesuai/ drug use problems

Pada penelitian ini tidak ditemukan drug use problems dalam analisis

DRP. Drug use problems dalam penelitian ini merupakan penggunaan obat

yang salah atau tidak sesuai kepada pasien atau pasien tidak diberikan obat

sama sekali.

5. Interaksi Obat

Menurut Harkness (1984), interaksi obat merupakan suatu interaksi

yang mengubah efek obat lain dalam satu atau lebih proses farmakologi dan

efek obat tersebut dapat menambah efek (sinergisme) atau mengurangi efek

(antagonisme) terhadap obat lain.

Menurut Tatro (2010), interaksi obat dibedakan berdasarkan tingkat

signifikansi. Level 1 sampai level 5 merupakan tingkatan signifikansi

berdasarkan keparahan interaksi dan dokumentasi.

1. Level 1

Level signifikansi 1 merupakan interaksi dengan keparahan mayor,

terdokumentasi suspected, probable, atau established. Interaksi dapat

menimbulkan efek yang berpotensi mengancam kehidupan atau mampu

menyebabkan kerusakan permanen.

2. Level 2

Level signifikansi 2 merupakan interaksi dengan keparahan

moderate, terdokumentasi suspected, probable atau established. Interaksi

dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan,

(56)

3. Level 3

Level signifikansi 3 merupakan interaksi dengan keparahan minor,

terdokumentasi suspected, probable atau established. Efek dari interaksi

ini ringan, dapat mengganggu atau tidak terlihat tetapi tidak

mempengaruhi terapi secara signifikan sehingga tidak diperlukan terapi

tambahan.

4. Level 4

Level signifikansi 4 merupakan interaksi dengan keparahan major

atau moderate, terdokumentasi possible yang berarti dapat terjadi namun

data sangat terbatas. Efek yang dihasilkan dapat berbahaya sehingga

diperlukan terapi tambahan.

5. Level 5

Level signifikan 5 dibedakan menjadi 2 yaitu tingkat keparahan

minor terdokumentasi possible dan tingkat keparahan any terdokumentasi

unlikely. Efek dari interaksi ini ringan dengan dokumentasi yang terbatas

(57)

Tabel 7. Identifikasi DRP berdasarkan interaksi obat

Level Signifikansi

Obat A Obat B No. Kasus Jumlah

Level 1 Lisinopril/ Captopril

Spironolakton 1, 5, 7, 8, 18, 20, 30, 31

8

Candesartan/ Valsartan

Spironolakton 2, 9, 14, 18, 21, 32, 34, 35

8

Digoxin Furosemide 1, 4, 18, 20, 26 5

Level 2 Digoxin Spironolakton 1, 4, 18, 20 4

Propanolol Methimazole 7 1

Aspirin Captopril 8, 20 2

Aspirin Asetazolamid 10 1

Level 4 Digoxin Lisinopril/ Captopril

1, 8, 18, 20 4

Furosemide Warfarin 1 1

KSR Captopril 8 1

Jumlah 35

a. Level 1

1) Lisinopril/ captopril – spironolakton

Terdapat 8 pasien yang mendapatkan terapi lisinopril dan

spironolakton. Penggunaan kombinasi ACEI dan diuretik hemat

kalium (Spironolakton) dapat meningkatkan kadar kalium darah pada

pasien dengan resiko tinggi seperti paien dengan gangguan ginjal

(Tatro, 2010). Penggunaan kombinasi obat ini perlu dilakukan

monitoring fungsi ginjal dan kadar kalium darah secara rutin dan

dapat pula dilakukan penyesuaian terapi pada kondisi tertentu. Pada

pasien ini tidak ditemukan data kalium sehingga tidak dapat dilakukan

penelusuran lebih lanjut.

(58)

Pasien yang mendapatkan kombinasi obat candesartan dan

spironolakton adalah 8 pasien. Berdasarkan Tatro (2010), kombinasi

antara angiotensin II reseptor blockers (ARB) dan diuretik hemat

kalium dapat meningkatkan konsentrasi serum potasium, maka perlu

dilakukan monitoring terhadap konsentrasi serum potasium dan fungsi

ginjal ketika menggunakan kombinasi obat ini. Selain itu,

penambahan loop diuretik perlu dipertimbangkan untuk mengatasi

hiperkalemia. Pada pasien ini tidak dapat dilakukan perhitungan

glomerulus rate filtrate (GFR) untuk mengetahui kondisi ginjal

dikarenakan tidak ditemukan data berat badan pasien, selain itu data

kalium juga tidak ditemukan.

3) Digoksin – furosemide

Pasien yang mendapatkan kombinasi obat digoksin dan

furosemid yaitu 5 pasien. Menurut Tatro (2010), furosemide dapat

menginduksi gangguan elektrolit yang menyebabkan terjadinya

aritmia yang disebabkan oleh digoksin. Monitoring kadar kalium

plasma perlu dilakukan apabila menggunakan kombinasi kedua obat

ini. Penambahan suplemen kalium atau penggunaan diuretik hemat

kalium perlu dipertimbangkan untuk mengatasi rendahnya kadar

kalium dalam darah, namun data kalium tidak ditemukan pada

pasien-pasien ini sehingga tidak dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut.

b. Level 2

Gambar

Gambar 1. Patofisiologi CHF
Tabel 2. Perbandingan Klasifikasi Gagal Jantung ACCF/AHA dan Klasifikasi Fungsional NYHA
Gambar 2. Pengelolaan gagal jantung
Gambar 3. Kerangka konsep
+7

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Kategori Obat Salah dan Reaksi Obat yang Merugikan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUD

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAHDENGUE DI INSTALASI RAWAT INAP RINDU B RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE OKTOBER 2014 - DESEMBER

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ANAK DEMAM BERDARAHDENGUE DI INSTALASI RAWAT INAP RINDU B RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE OKTOBER 2014 - DESEMBER

Penelitian dari 80 pasien hipertensi di instalasi rawat inap RS “Y” selama periode bulan Januari hingga Desember tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa persentase

penggunaan obat yang diberikan kepada 41 pasien dengan diagnosa penyakit ginjal kronik di RS PKU Muhammadiyah Gamping terdapat total 11 golongan terapi, 66 jenis obat dengan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Bangsal rawat inap Wardah RS PKU Muhammadiyah Gamping bahwa penilaian perilaku caring perawat dalam kategori

Tabulasi silang antara kinerja perawat dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RS PKU Muhammadiyah Gamping pada tabel 4 menunjukkan hasil yaitu kinerja

xiii HUBUNGAN POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETIK TERHADAP LUARAN KLINIK PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING YOGYAKARTA Amelia Anggun