PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI BAKAU MINYAK
(Rhizophora apiculata)
PADA BERBAGAI KONSENTRASI SALINITAS
SKRIPSI
Oleh:
CANDRO YOSUA MANIK 071202016
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI BAKAU MINYAK
(Rhizophora apiculata)
PADA BERBAGAI KONSENTRASI SALINITAS
SKRIPSI
Oleh:
CANDRO YOSUA MANIK 071202016
BUDIDAYA HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
3
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) Pada Berbagai Konsentrasi Salinitas
Nama : Candro Yosua Manik
NIM : 071202016
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Mohammad Basyuni S.Hut, M.Si, Ph.D Dr.Ir. Lollie Agustina P. Putri M.Si NIP. 19730421 200012 1 001 NIP. 19670821 199301 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Kehutanan
ABSTRACT
CANDRO YOSUA MANIK. Growth and biomass of bakau minyak seedling
(Rhizophora apiculata) under various salinity concentrations, academic
supervised by MOHAMMAD BASYUNI and LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.
The aim of this study to determine the growth and biomass R. apiculata seedlings at varied concentrations of salinity. This study was conducted at
glasshouse, Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of
Sumatera Utara, from Agustus 2011 to January 2012. This experiment using five treatments, namely 0%, 0.5%, 1.5%, 2% and 3% salinity, with quintuplicate analysis. The results showed that the growth of R. apiculata seedlings under varied salinity concentrations effected significantly comparing to the control (0%) on seedling height, seedling diameter, number of leaves, leaf area, root dry
weight, stem dry weight, dry weight of the canopy. Seedling growth of
R. apiculata in the highest growth at 1.5% salinity is 10,5 cm, diameter at 1.5% salinity is 5.0 cm, number of leaves on the salinity of 0.5% is 6, the leaf area on the salinity of 0.5% is 157,8.
ii
ABSTRAK
CANDRO YOSUA MANIK. Pertumbuhan dan biomassa semai bakau minyak (Rhizophora apiculata) pada berbagai konsentrasi salinitas. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan biomassa semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca dan Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dari Agustus 2011 sampai bulan Januari 2012. Penelitian menggunakan 5 perlakuan, yaitu salinitas 0%, 0.5%, 1.5%, 2% dan 3%, dengan masing-masing 5 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan propagul R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi semai, diameter semai, jumlah daun, luas daun. Pertumbuhan semai R. apiculata yang paling baik dari pertumbuhan tinggi pada salinitas 1.5% yaitu 10,5 cm, diameter pada salinitas 1.5% yaitu 5.0 cm, jumlah daun pada salinitas 0.5% yaitu 6, luas daun pada salinitas 0.5% yaitu 157,8.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balige pada tanggal 17 Juli 1989 dari pasangan
Bapak Marihot Manik dan Ibu Lestinar Siagian. Penulis merupakan anak pertama
dari 3 bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 3 Dolok Panribuan dan lulus
tahun 2001 kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Dolok Panribuan
dan lulus tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 3
Pematang Siantar dan lulus Tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di
Program Studi Budidaya Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB).
Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H)
di hutan mangrove Pulau Sembilan, Pangkalan Susu dan hutan dataran rendah
Aras Napal, Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada tanggal 22 Juni – 2 Juli
2009. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat dan Banten KPH Cianjur Kotamadya Cianjur pada tanggal 25
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi tentang “Pertumbuhan dan Biomassa Semai Bakau Minyak
(Rhizophora apiculata) Pada Berbagai Konsentrasi Salinitas” dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan biomassa semai Rhizophora apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah
membantu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini, antara lain :
1. Kedua orang tua, Ayahanda M. Manik dan Ibunda L. Br Siagian serta
adik-adik saya Kimki Yandani Manik dan Novita Sari Manik atas doa dan
dukungannya kepada penulis.
2. Bapak Mohammad Basyuni, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Ibu Dr.Ir. Lollie Agustina
P. Putri M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing, memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.
3. Sahabat-sahabatku (Reni Elisabet, Prayunita, Ramayani, Abu, Hamkah, David
Pasaribu, Rionaldi Silalahi). Teman-teman angkatan 2007 di Program Studi
Kehutanan, khususnya di Budidaya Hutan.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.
Medan, April 2012
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesis Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Kerangka Pemikiran ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
BAHAN DAN METODE ... 16
Tempat dan Waktu Penelitian ... 16
Bahan dan Alat Penelitian ... 16
Metode Penelitian ... 16
Prosedur Penelitian ... 17
Persiapan lahan ... 17
Penyediaan propagul ... 18
Penanaman propagul ... 18
Pengamatan Parameter ... 18
vi
Pertambahan diameter bibit (cm) ... 18
Pertambahan jumlah daun ... 19
Luas daun (cm2) ... 19
Berat kering akar (g) ... 19
Berat kering batang (g) ... 19
Berat kering tajuk (g) ... 19
Berat basah batang ... 19
Berat basah akar ... 19
Berat basah tajuk ... 19
Ratio tajuk dan akar ... 20
Ratio batang dan akar ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
Hasil ... ... 21
tinggi bibit (cm) ... 21
Diameter bibit (cm) ... 22
Pertambahan jumlah daun ... 22
Luas daun semai Rhizophora apiculata ... 23
Berat basah akar, Berat basah tajuk, Berat basah batang ... 24
Berat kering akar, Berat kering tajuk, Berat kering batang ... 26
Ratio tajuk/akar dan Ratio batang/akar ... 27
Pembahasan... 28
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
Kesimpulan ... 32
Saran... ... 32
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Kerangka pemikiran ... 4
2. Tinggi rata rata semai Rhizophora apiculata ... 21
3. Diameter rata-rata semai Rhizophora apiculata ... 22
4. Jumlah daun rata-rata semai Rhizophora apiculata ... 23
5. Luas daun semai Rhizophora apiculata ... 24
6. Berat basah akar, Berat basah batang, Berat basah tajuk semai Rhizophora apiculata ... 25
7.Berat kering akar, Berat kering batang, Berat kering tajuk semai Rhizophora apiculata ... 26
ABSTRACT
CANDRO YOSUA MANIK. Growth and biomass of bakau minyak seedling
(Rhizophora apiculata) under various salinity concentrations, academic
supervised by MOHAMMAD BASYUNI and LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.
The aim of this study to determine the growth and biomass R. apiculata seedlings at varied concentrations of salinity. This study was conducted at
glasshouse, Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of
Sumatera Utara, from Agustus 2011 to January 2012. This experiment using five treatments, namely 0%, 0.5%, 1.5%, 2% and 3% salinity, with quintuplicate analysis. The results showed that the growth of R. apiculata seedlings under varied salinity concentrations effected significantly comparing to the control (0%) on seedling height, seedling diameter, number of leaves, leaf area, root dry
weight, stem dry weight, dry weight of the canopy. Seedling growth of
R. apiculata in the highest growth at 1.5% salinity is 10,5 cm, diameter at 1.5% salinity is 5.0 cm, number of leaves on the salinity of 0.5% is 6, the leaf area on the salinity of 0.5% is 157,8.
Key words: mangrove, seedling of R. apiculata, shading intensity.
ABSTRAK
CANDRO YOSUA MANIK. Pertumbuhan dan biomassa semai bakau minyak (Rhizophora apiculata) pada berbagai konsentrasi salinitas. Dibimbing oleh MOHAMMAD BASYUNI dan LOLLIE AGUSTINA P. PUTRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan biomassa semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca dan Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dari Agustus 2011 sampai bulan Januari 2012. Penelitian menggunakan 5 perlakuan, yaitu salinitas 0%, 0.5%, 1.5%, 2% dan 3%, dengan masing-masing 5 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan propagul R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi semai, diameter semai, jumlah daun, luas daun. Pertumbuhan semai R. apiculata yang paling baik dari pertumbuhan tinggi pada salinitas 1.5% yaitu 10,5 cm, diameter pada salinitas 1.5% yaitu 5.0 cm, jumlah daun pada salinitas 0.5% yaitu 6, luas daun pada salinitas 0.5% yaitu 157,8.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai
yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem
mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan
hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di
dalam suatu habitat mangrove (Tomlinson, 1986).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat
dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalam suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan
labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala
(Kusmana et al., 2005).
Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
ekonomi, saat ini telah terjadi penurunan fungsi ekologis mangrove berupa
konversi menjadi area pertanian yang tidak berbasis pelestarian. Secara ekologis
hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Fungsi ekologi sebagai
penghasil sejumlah detritus dan perangkap sendimen. Hutan mangrove merupakan
habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat
sementara. Fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu
ikan dan sumber bahan lain seperti tanin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai
peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut.
Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur,
perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Gunarto, 2004).
Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu
menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan
berkualitas tinggi dan siap tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan
juga akan tinggi. Benih yang bagus sebaiknya dipanen dari pohon yang cukup
umur, pertumbuhannya bagus, batang lurus, memiliki bentuk tajuk simetris, dan
tidak terserang hama/penyakit. Jenis tanaman pantai dan mangrove mempunyai
musim berbuah yang berlainan. Jenis mangrove mempunyai musim berbuah yang
serentak yaitu pada pertengahan sampai akhir tahun. Sedangkan untuk jenis
tanaman pantai, musim berbuahnya tidak serentak (Wibisono et al., 2006).
Kerusakan hutan mangrove di Indonesia semakin tinggi sedangkan
keberhasilan kegiatan rehabilitasi masih sangat rendah. Untuk mendukung
upaya-upaya penyelenggaraan rehabilitasi mangrove yang tepat dan benar, mulai dari
cara mempersiapkan bibit, pemilihan lokasi, teknik persemaian dan cara
pemeliharaan, maka penelitian ini dilakukan untuk memberi informasi tentang
pertumbuhan semai yang baik pada berbagai tingkat salinitas yang berguna bagi
kegiatan rehabilitasi sehingga kegiatan rehabilitas dapat berhasil dengan baik.
Propagul yang akan diteliti adalah jenis tanaman bakau minyak
3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dan
biomassa semai bakau minyak (Rhizophora apiculata) pada berbagai konsentrasi
salinitas.
Hipotesis Penelitian
Salinitas 0,5 % diduga berpengaruh paling baik terhadap pertumbuhan dan
perkembangan semai (Rhizophora apiculata).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi untuk program rehabilitasi
agar memperoleh semai (Rhizophora apiculata) yang tingkat pertumbuhannya
lebih baik dari berbagai salinitas.
Kerangka pemikiran
Kawasan hutan mangrove di Indonesia sebagian besar mengalami
kerusakan karena disebabkan oleh aktivitas antropogenik. Keberadaan masyarakat
lokal di pesisir pantai sangat berpengaruh terhadap keberadaan hutan mangrove.
Pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan tambak,
pertanian, industri kayu dan lain-lain merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Untuk menanggulangi dan
memperbaiki ekosistem tersebut diperlukan adanya campur tangan manusia
berupa kegiatan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove sehingga kestabilan
ekosistem dapat dipertahankan dalam rangka pelestarian sumber daya alam yang
berkelanjutan. Ketersediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu
berkualitas akan menghasilkan tegakan yang berkualitas sehingga diperoleh suatu
ekosistem yang stabil dengan fungsi ekologis/biologis, fisik dan ekonomis dari
hutan mangrove dapat dipertahankan. Kerangka pemikiran secara skematis
diperlihatkan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Ekosistem Hutan Mangrove
Degradasi Hutan mangrove
Pertambakan Permukiman Aktivitas Pertanian
Rehabilitasi Hutan Mangrove
Ukuran & kemasakan
Propagul
Viabilitas Benih Bibit Berkualitas baik
Pemilihan Jenis
Pembibitan Mangrove Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)
Aktivitas Manusia
Tempat Tumbuh
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Hutan Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan, baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut
maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas
tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Tomlinson, 1986).
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kata mangrove mempunyai dua
arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau
hutan yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas (pasang surut air laut) dan
yang kedua sebagai individu spesies (Tomlinson, 1986).
Ekosistem hutaan mangrove merupakan suatu sistem di alam tempat
berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri,
terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi
oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan
asin/payau. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke
dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan
Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus (Bengen dan Adrianto, 2001).
Dalam tiga dekade belakangan ini telah terjadi penurunan secara drastis
luas kawasan hutan mangrove di Indonesia dari seluas 4,25 juta ha menjadi 3,7
juta ha, dan bahkan hanya sekitar 2,1 juta ha dalam keadaan utuh. Di luar kawasan
diperkirakan terdapat 5,5 juta ha mangrove yang 4.8 juta ha di antaranya dalam
keadaan rusak parah. Kerusakan ini lebih banyak disebabkan oleh ulah tangan
manusia yang kurang bijak dalam mengelolanya. Upaya penanggulangannya
sudah dilakukan sejak Pelita V dan bahkan lebih ditingkatkan lagi pada Pelita VI
serta dekade belakangan ini, namun belum memberikan hasil yang
menggembirakan. Upaya rehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman
mangrove sejak 2003 hingga 2007 baru terealisir seluas 70.185 ha dengan tingkat
keberhasilan yang rendah (Anwar, 2007).
Hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem
yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling
berkaitan baik yang terdapat di darat maupun di laut. Selain itu hutan mangrove
sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan mangrove
berperan sebagai penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang
kelestarian organisme (Djamali, 1994).
Adapun fungsi hutan mangrove menurut Arief (2003) dapat dibedakan ke
dalam tiga kelompok, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi
7
1. Fungsi fisik
a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil
b. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta
menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat
c. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru
d. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat,
atau sebagai filter air asin menjadi tawar
e. Mencegah terjadinya erosi pantai, serta sebagai perangkap zat pencemar
dan limbah
2. Fungsi biologi
a. Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan
penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang
kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar
b. Sebagai kawasan pemijah bagi udang, ikan, kepiting, dan kerang yang
setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai
c. Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi
burung dan satwa lain
d. Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik
3. Fungsi ekonomi
a. Penghasil kayu
b. Penghasil bahan baku industri
Pernyebaran Hutan Mangrove
Indonesia merupakan negara yang kaya, Indonesia mempunyai hutan
mangrove yang terluas didunia, sebaran terumbu karang yang eksotik, rumput laut
yang terdapat dihampir sepanjang pantai, sumber perikanan yang tidak ternilai
banyaknya. Hutan mangrove atau yang biasa disebut hutan bakau, walaupun
penyebutan hutan bakau itu tidak kurang tepat karena bakau hanya merupakan
salah satu dari jenis mangrove itu sendiri yaitu jenis Rhizopora spp. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas dan tumbuh disepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak
dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah
yang landai di daerah tropis dan sub tropis (FAO, 2007).
Berbagai laporan dan publikasi ilmiah menunjukkan bahwa hutan
mangrove ditemukan hampir disetiap propinsi di Indonesia. Walaupun di daerah
pantai Propinsi D.I. Yogyakarta dilaporkan beberapa jenis vegetasi mangrove
tumbuh, namun mungkin karena luasan yang kecil atau karena tidak membentuk
tegakan yang kompak sehingga tidak dikategorikan sebagai hutan, maka luasan
hutan mangrove di Propinsi D.I. Yogyakarta tersebut sampai saat ini belum
dilaporkan. Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun terdapat
variasi yang nyata dari luas total hutan mangrove Indonesia, yakni berkisar antara
2,5 juta – 4,25 juta ha (Kusmana et al 2005). Pembibitan Mangrove
Persemaian mangrove membutuhkan lokasi basah yang terpengaruh oleh
pasang surut. Oleh sebab itu, persemaian mangrove dapat juga disebut sebagai
9
sesuai adalah lokasi kering dan tidak mengalami genangan. Oleh karena itu,
persemaian ini juga dikenal sebagai persemaian darat (terrestrial nursery). Buah yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang oleh hama penyakit, serta belum
berdaun (Wibisono et al.,2006).
Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan
dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove di sekitar lokasi
penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila
keberadaan pohon/buah di sekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada,
kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan
menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim
puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu,
penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh
yang tinggi. Propagul/ benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari
sebelum penanaman (Sumarna, 2008).
Persemaian bibit mangrove (khususnya Rhizophora sp, Ceriops spp, dan
Bruguiera spp) biasanya terletak di lokasi yang terkena pasang surut. Dalam kondisi demikian maka penyiraman tidak perlu dilakukan. Pengurangan intensitas
naungan harus dilakukan secara perlahan-lahan hingga bibit memiliki ketahanan
untuk hidup di lokasi terbuka, sebagaimana kondisi sebenarnya di lapangan
(Savitri dan Khazali, 1999).
Taksonomi dan Morfologi Bakau Minyak (Rhizophora apiculata )
Bakau Minyak (Rhizophora apiculata BI.) mempunyai taksonomi tumbuhan yaitu Kingdom : Plantae; Divisi : Magnoliophyta; Sub divisi :
Famili : Rhiaophoraceae; Genus : Rhizophora; Spesies : Rhizophora apiculata BI. Nama dagang : Bakau minyak (Noor et al., 1999)
Rhizophora apiculata, dikenal dengan berbagai nama seperti bakau minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau kacang, bakau leutik,
donggo akit, jankar, abat, parai, mangi-mangi, slengkreng, tinjang, wako. Pohon
dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm.
Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter dan
kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna
abu-abu tua dan berubah-ubah. Daunnya berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda
pada bagian tengah dan kemerahan dibagian bawah. Gagang daun panjangnya
17-35 mm dan warnanya kemerahan. Sederhana dan letaknya berlawanan. Berbentuk
elips menyempit. Ujungnya meruncing dan ukuran 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga
biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran < 14
mm. Terletak di ketiak daun dengan formasi kelompok (2 bunga perkelompok).
Daun mahkota 4 kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak
bunga berwarna kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari 11-12 dan tak
bertangkai. Buah kasar dan berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir,
warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertile. Hipokotil silindris,
berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotiledon berwarna merah jika sudah
matang. Ukuran hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm. Tumbuh pada
tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak
menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat
dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi.
11
kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal
karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting darat juga
menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan.
Tumbuh lambat, tetapi pembungaan terdapat sepanjang tahun. Kayu dimanfaatkan
untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang, kulit kayu berisi hingga 30% tanin
(persen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar dengan
diberati batu. Di jawa acapkali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi
pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan (Noor et al., 1999). Teknik Silvikultur Bakau (Rhizophora sp.)
Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan
dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi
penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila
keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada,
kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan (Daniel et al., 1987).
Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman
dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan
penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan
menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Bibit/benih yang akan ditanam
harus sudah tersedia satu hari sebelum diadakan penanaman (Khazali, 1999).
Propagul dapat diperoleh dengan cara mengambil propagul yang telah
jatuh atau memetik langsung dari pohonnya. Pada saat memetik propagul secara
langsung dari pohon induknya harus dilakukan secara berhati-hati, jangan sampai
bunga dan buah yang belum matang berjatuhan. Benih yang dipanen sebaiknya
Ciri-ciri dari benih yang telah matang adalah berwarna hijau kecoklatan dengan
panjang hipokotil ± 20 cm dan berdiameter 8-12 mm. kotiledon berwarna coklat
kekuningan dengan panjang 1 cm dan hipokotil berwarna hijau kecoklatan.
Pertumbuhan semai (Rhizophora apiculata) yang berasal dari hipokotil utuh pertumbuhannya lebih baik daripada pertumbuhan semai yang berasal dari
stek hipokotil, baik hipokotil bagian atas maupun bagian bawah. Hal tersebut
kemungkinan salah satunya disebabkan oleh cadangan makanan pada hipokotil
utuh lebih banyak serta pertumbuhan tunas dan akar lebih cepat dibandingkan
dengan pertumbuhan tunas dan akar pada semai yang berasal dari stek hipokotil.
(Wibisono et al., 2006).
Pengukuran pertumbuhan bibit dilakukan dengan mengukur pertambahan
tinggi atau panjang plumula, jumlah daun yang mekar, jumlah pasangan daun dan
jumlah cabang. Pengukuran ini diadakan untuk mengetahui dan meneliti seberapa
besar kelulushidupan bibit-bibit mangrove yang telah ditanam. Pada bulan
pertama belum dilakukan pengukuran pertumbuhan terhadap bibit-bibit mangrove
yang hidup. Pengukuran pertumbuhan baru akan dimulai setelah bibit berumur
tiga bulan (untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bibit mangrove). Bagian
tanaman mangrove yang tumbuh dan berkembang bernama plumula atau pucuk
daun muda. Bagian tanaman mangrove inilah yang menjadi indikator
pertumbuhan walaupun ada daun bibit mangrovenya telah layu dan kering
13
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Semai Rhizophora apiculata
Tanah
Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi
lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi
lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Nilai pH tanah
dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi
yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai
nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah
tegakan jenis Rhizophora spp (Noor et al., 1999).
Hutan mangrove tanahnya selalu basah, mengandung garam, mempunyai
sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Bahan organik yang terdapat di
dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove
sendiri. Serasah secara lambat akan diuraikan oleh mikroorgansme, seperti
bakteri, jamur dan lainnya. Selain itu juga terjadi sedimen halus dan partikel
kasar, seperti potongan batu dan koral, pecahan kulit kerang dan siput. Biasanya
tanah mangrove kurang membentuk lumpur berlempung dan warnanya bervariasi
dari abu-abu muda sampai hitam (Soeroyo, 1993).
Umumnya tanah yang ditumbuhi mangrove adalah tanah-
tanah yang bertekstur halus, mempunyai tingkat kematangan rendah, mempunyai
kadar garam rendah alkalinitas tinggi, dan sering mengandung lapisan sulfat
garam tinggi kadang-kadang ditemukan pada tanah mangrove baik di daerah batu
karang maupun di daerah endapan liat (Mardiana, 2005).
Suhu
Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi.
Pada Rhizophora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru adalah pada suhu 26-28 ºC, untuk bruguiera spp adalah 27ºC dan Avicennia marina memproduksi daun baru pada suhu 18-20 ºC (Hutchings dan Saenger, 1987).
Salinitas
Bagi kebanyakan pohon-pohon mangrove dan fauna penggali liang dalam
tanah, salinitas air pasang mungkin kurang penting dibandingkan dengan salinitas
air tanah. Salinitas air tanah umumnya lebih rendah dibandingkan dengan air
pasang diatasnya, hal ini disebabkan karena terjadinya pengenceran oleh air tawar
(hujan) yang merembes kedalam tanah. Bagi akar-akar pohon dan fauna penggali
lubang, faktor terpenting bukan hanya kadar NaCl tetapi tekanan osmotik.
(Khan, 2001).
Salinitas bervariasi dari hari ke hari dan dari musim kemusim. Selama
siang hari salinitas lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Demikian pula
pada musim pasang, salinitas akan turun dan cenderung untuk naik bila surut
kembali. , Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai
jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda.
15
media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan
garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Istomo, 1982).
Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar ekskresi untuk
membuang kelebihan garam dari dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah
masuknya garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat mencegah lebih
dari 90% masuknya garam dengan proses filtrasi pada akar. Garam yang terserap
dengan cepat diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan dalam kulit
kayu dan daun tua yang hampir gugur. Konsentrasi garam dalam cairan biasanya
tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar
garam dan selanjutnya diuapkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan
mengecap daun tumbuhan mangrove atau bagian lainnya.. Untuk itu membran sel
di permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam dan secara
selektif menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi (Soeroyo, 1993).
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang
berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas,
temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya
struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai
dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan
lautan. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian dan
Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Program Studi Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian akan dilaksanakan dari
bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan adalah propagul bakau minyak
(Rhizophora apiculata) yang matang secara fisiologis, bubuk garam komersial, pasir dari sungai, pot plastik, amplop cokelat, label, dan cutter.
Adapun alat yang digunakan adalah Salinity refractometer S/Mill-E
(Atago Co. Ltd, Tokyo, Jepang), jangka sorong, penggaris, kamera, timbangan
dan oven.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan dengan lima kali ulangan, yaitu :
a. Salinitas 0 %
b. Salinitas 0,5 %
c. Salinitas 1,5 %
d. Salinitas 2 %
e. Salinitas 3 %
Data dianalisis dengan Anova satu arah menggunakan uji dunnett’s untuk
17
batas untuk menunjukkan pengaruh perlakuan. Uji statistik dilakukan dengan
SPSS versi 16.
Prosedur Penelitian
Pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahap :
1. Penyiapan media tanam
Media yang digunakan adalah pasir yang diperoleh dari sungai (tidak
memiliki tingkat salinitas). Propagul dimasukkan ke dalam pot plastik bervolume
1,5 liter dengan pasir dan dengan salinitas bervariasi di bawah sinar matahari alam
di sebuah rumah kaca. Sebuah solusi air laut dibuat dengan melarutkan bubuk
garam komersial untuk membuat 0%, 0,5%, 1,5%, 2% dan 3% (sama dengan level
air laut), metode ini mengacu pada penelitian Basyuni et al., (2009, 2012). Garam komersial yang dipakai adalah marine salt. Untuk membuat konsentrasi salinitas 3% dibuat dengan melarutkan 675 g bubuk garam komersial untuk 20 liter air,
atau 34 g bubuk garam komersial untuk 1 liter, sesuai dengan petunjuk
pemakaiannya, untuk membuat salinitas 2% dibuat dengan melarutkan 22.66 g
bubuk garam komersial untuk 1 liter air. Untuk membuat salinitas 1.5% dibuat
dengan melarutkan 17 g bubuk garam komersial untuk 1 liter air. Untuk membuat
salinitas 0.5% dibuat dengan melarutkan 5.67 g bubuk garam komersial untuk 1
liter air. Salinitas adalah massa serbuk garam / massa larutan. Konsentrasi garam
pada setiap perlakuan pot diperiksa seminggu sekali selama percobaan dengan
hand refraktometer. 2. Pemilihan propagul
dan penyakit. Propagul yang digunakan berasal dari pohon induk yang berumur 5
tahun atau lebih.
3. Penanaman di polibag
Propagul R. apiculata yang telah disiapkan ditanam ke dalam pot plastik yang telah berisi media tumbuh yang telah disesuaikan dengan perlakuan
masing-masing. Kemudian polibag diberi tanda sesuai dengan perlakuan yang diberikan.
Parameter Penelitian
Pengamatan dilakukan 3 minggu setelah penanaman sampai dengan
berumur 6 bulan (22 MST) dengan parameter yang diamati adalah :
1. Tinggi semai (cm)
Pengukuran tinggi semai diukur dengan penggaris. Pengambilan data tiap
2 minggu sekali setelah 3 minggu. Tinggi semai diukur mulai dari bagian plumula
sampai titik tumbuh tertinggi.
2. Diameter semai (cm)
Pengukuran diameter batang dilakukan pada tanda awal dengan
menggunakan jangka sorong dengan dua arah yang berlawanan dan saling tegak
lurus terhadap batang kemudian diambil rata-ratanya.
3. Pertambahan jumlah daun
Pertambahan jumlah daun dilakukan pada awal munculnya daun mulai
dari pucuk. Pengambilan data dilakukan 2 minggu sekali bersamaan dengan
19
4. Luas permukaan daun
Pengukuran luas permukaan daun dilakukan pada akhir penelitian. Luas
permukaan daun diukur dengan menggunakan program Image J dari NIH ( National Institute of Health).
5. Berat kering akar, batang dan tajuk
Pengamatan berat kering semai dilakukan setelah selesai kegiatan
pemanenan semai R. apiculata. Untuk mendapatkan berat kering akar, batang dan daun dimasukkan kedalam amplop sesuai dengan perlakuan. Kemudian akar,
batang, dan daun R. apiculata dioven pada temperatur 75° sampai berat kering konstan lalu ditimbang berat keringnya.
6. Berat basah akar, batang dan tajuk (g)
Untuk mendapatkan berat basah akar, batang dan tajuk bagian akar, tajuk
dan daun yang baru dipanen dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai
dengan perlakuan. Ditimbang berat awal R.apiculata. 7. Ratio tajuk dan akar
Perhitungan ratio tajuk dan akar dilakukan setelah semai berumur 6 bulan.
Perhitungan ratio tajuk dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan rumus
sebagai berikut : Rasio =
8. Rasio batang dan akar
Perhitungan ratio batang dan akar dilakukan setelah semai berumur 6
bulan. Perhitungan ratio batang dan akar dapat diperoleh dengan menggunakan
Tinggi semai (cm)
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dinyatakan bahwa konsentrasi
salinitas berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi semai R. apiculata pada umur 22 minggu MST (minggu setelah tanam). Semai tertinggi diperoleh pada
pemberian salinitas 1,5%, yaitu 10,5 cm. Berdasarkan uji Dunnet diantara
perlakuan terdapat perbedaan pertumbuhan tinggi semai R. apiculata terhadap kontrol. Salinitas 0,5%, 1,5%, dan 2%, berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
semai R. apiculata. Pertambahan tinggi semai R. apiculata dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tinggi semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 13+15). Tanda bintang mengindikasikan secara statistik signifikan dari kontrol (0%).
Diameter semai (cm)
Pertumbuhan diameter batang terbesar semai R. apiculata terdapat pada pemberian salinitas 1,5% yaitu 5,0 cm. Berdasarkan Uji Dunnet bahwa pemberian
salinitas berpengaruh nyata pada salinitas 1,5% terhadap kontrol. Namun tidak
Tinggi semai R. apiculata
21
terdapat perbedaan antara pada konsentrasi salinitas pemberian 0,5%, 2% dan 3%.
Pertambahan diameter semai R. apiculata dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diameter batang semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 13+15). Tanda bintang mengindikasikan secara statistik signifikan dari kontrol (0%).
Jumlah daun (helai)
Parameter selanjutnya yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah
daun semai R. apiculata. Hasil uji Dunnet’s menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi salinitas 0,5 % berpengaruh nyata terhadap kontrol. Jumlah daun
rata-rata terbesar ditemukan 6 helai pada konsentrasi garam 0,5%. Jumlah daun semai
R. apiculata dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik rata-rata pertambahan jumlah daun semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 13+15). Tanda bintang mengindikasikan secara statistik signifikan dari kontrol (0%).
0.0
Diameter semai R. apiculata
0.0
Berdasarkan gambar 4 diatas jumlah daun menunjukkan bahwa
konsentrasi salinitas berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun.
Pertambahan jumlah daun menunjukkan kecenderungan yang sama, semua
perlakuan mulai 3 MST, 5 MST dan 7 MST laju pertambahan jumlah daun sama
yaitu 2-4 daun per semai. Akan tetapi pada usia semai mencapai 9 MST laju
pertambahan jumlah daun untuk pemberian pada tingkat salinitas 0,5%, salinitas
1,5%, salinitas 2% dan salinitas 3% mulai semakin tinggi mencapi rata-rata 4
helai per semai dibandingkan kontrol. Sampai pengamatan terakhir (22 MST).
Terdapat perbedaan signifikan jumlah daun pada konsentrasi garam 0,5 %.
Luas daun (cm²)
Pada parameter luas daun, pemberian perlakuan salinitas tidak
berpengaruh nyata terhadap luas daun semai R. apiculata. Luas daun terbesar diperoleh pada konsentrasi garam 0,5%, yaitu 157,8 cm² dan terendah pada
konsentrasi salinitas 3%, yaitu 94,3 cm². Luas daun pada berbagai salinitas dapat
dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Grafik rata-rata luas daun semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 5).
Luas daun R. apiculata
23
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa konsentrasi salinitas terbaik pada
pertumbuhan semai R. apiculata adalah salinitas 0,5-1,5%. Studi ini mendukung penelitian sebelumnya mengenai pertumbuhan Avicennia marina dan Rhizopora stylosa, dimana kedua jenis ini pertumbuhannya terbaik pada konsentrasi salinitas 0,5-1,5% (Basyuni et al.,2012). Hal ini menunjukkan bahwa R. apiculata
merupakan jenis tanaman mangrove yang membutuhkan kadar garam untuk
pertumbuhannya.
Berat basah akar, berat basah batang, dan berat basah tajuk semai Rhizophora apiculata
Berat basah akar semai R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas ditunjukkan pada Gambar 6. Berat basah terbesar diperoleh pada konsentrasi
salinitas 0,5% yaitu 8,44 g dan terendah pada konsentrasi salinitas 3% yaitu 4,08
g. Berat basah batang semai R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas terbesar diperoleh dari konsentrasi salinitas 0,5% yaitu 1,64 g dan terendah
diperoleh dari konsentrasi salinitas 3% yaitu 0,8 g. Berat basah tajuk semai
R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas terbesar diperoleh dari konsentrasi salinitas 0,5% yaitu 7,87 g dan terendah diperoleh dari pemberian konseentrasi
salinitas 3% yaitu 4,49 g. Berat basah akar, berat basah batang dan berat basah
tajuk dapat dilihat pada Gambar 6.
Berat basah batang R. apiculata
0,0
Gambar 6. Berat basah akar, berat basah batang dan berat basah tajuk semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 5).
Hasil analisis uji Dunnet pada Gambar 6 menunjukkan berat basah akar,
berat basah batang dan berat basah tajuk semai R. apiculataa pada berbagai konsentrasi salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan semai
R. apiculata.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa salinitas 0,5% merupakan
salinitas terbaik untuk pertumbuhan semai R. apiculata. Semakin tingginya salinitas dapat mengakibatkan cekaman pada tanaman mangrove R. apiculata dan penelitian ini membuktikan bahwa semai R. apiculata kurang dapat tumbuh dengan baik tanpa pemberian salinitas.
Berat kering akar, berat kering batang dan berat kering tajuk semai Rhizophora apiculata
Berat kering akar semai R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas ditunjukkan pada Gambar 7. Berat kering terbesar diperoleh pada konsentrasi
salinitas 0,5% yaitu 3,33 g dan terendah pada konsentrasi salinitas 3% yaitu 1,18
g. Berat kering batang semai R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas terbesar diperoleh dari konsentrasi salinitas 0,5% yaitu 0,95 g dan terendah
diperoleh dari konsentrasi salinitas 3% yaitu 0,38 g. Berat kering tajuk semai
(c)
Berat basah tajuk R. apiculata
25
R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas terbesar diperoleh dari konsentrasi salinitas 0,5% yaitu 3,57 g dan terendah diperoleh dari pemberian konsentrasi
salinitas 3% yaitu 1,59 g. Berat kering akar, berat kering batang dan berat kering
tajuk dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Berat kering akar semai R. apiculata pada berbagai konsentrasi salinitas pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 5).
Berat kering akar, batang dan tajuk semai R. apiculata dari berbagai konsentrasi salinitas tersebut diamati setelah selesai pengovenan. Dari data terebut
dapat diketahui bahwa salinitas 0,5% merupakan konsentrasi salinitas terbaik
untuk pertumbuhan semai R. apiculata, karena salinitas 0,5% memiliki nilai pengamatan yang lebih besar dari berbagai perlakuan salinitas yang ada.
Hasil analisis uji Dunnet pada Gambar 7 menunjukkan berat kering akar,
berat kering batang dan berat kering tajuk semai R. apiculataa pada berbagai konsentrasi salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan semai
R. apiculata.
Berat kering akar R. apiculata
(c)
Berat kering tajuk R.apiculata
0.0
Berat kering batang R.apiculata
Ratio tajuk/akar dan ratio batang/akar semai R. apiculata
Ratio tajuk/akar R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas disajikan pada Gambar 8. Ratio tajuk/akar terbesar diperoleh dari salinitas 2% yaitu 1,59 g dan
terendah diperoleh dari pemberian salinitas 1,5 yaitu 0,95 g. Ratio batang/akar
semai R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas terbesar diperoleh dari pemberian salinitas 2% yaitu 0,36 g dan terendah diperoleh dari pemberian
salinitas 1,5 yaitu 0,25 g.
Data ratio tajuk/akar dan ratio batang/akar semai R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas pengamatan dilakukan setelah selesai pengovenan. Dari
data yang diperoleh dapat diketahui bahwa pada perhitungan ratio tajuk/akar dan
ratio batang/ akar bahwa salinitas 2% merupakan perlakuan terbaik untuk
perhitungan ratio tajuk/ akar dan ratio batang/akar semai R. apiculata.
Gambar 8. Ratio tajuk/ akar (g), ratio batang/ akar semai R. apiculata pada umur 22 MST. Data merupakan rata-rata ± SE (n = 5).
Hasil analisis uji Dunnet pada Gambar 8 menunjukkan ratio tajuk/ akar
dan ratio batang/ akar pada berbagai tingkat salinitas tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan semai R. apiculata. (a)
Ratio tajuk/akar R. apiculata
konsentrasi garam %
27
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui pemberian salinitas
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit R. apiculata pada umur 22 MST. Semai tertinggi terdapat pada perlakuan salinitas 1,5% yaitu 10.5 cm (Gambar 2).
Pengukuran pertumbuhan semai ini dilakukan untuk mengukur pertambahan
tinggi atau panjang plumula, mengetahui dan meneliti seberapa besar kemampuan
hidup semai-semai mangrove yang telah ditanam sehingga dapat diketahui
kemampuan taman untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Bengen dan Adrianto (2001) yang menyatakan bahwa pengukuran pertumbuhan
semai dilakukan dengan mengukur pertambahan tinggi plumula, jumlah daun
yang mekar, jumlah pasangan daun dan jumlah cabang. Bagian tanaman
mangrove yang tumbuh dan berkembang disebut plumula atau sering dikatakan
pucuk daun muda. Bagian tanaman mangrove inilah yang menjadi salah satu
indikator pertumbuhan walaupun terdapat daun bibit mangrovenya yang telah layu
dan kering.
Hasil analisis sidik ragam dari pertumbuhan diameter R. apiculata
diperoleh diameter terbesar semai R. apiculata diperoleh pada pemberian salinitas 1,5% yaitu 5.0 mm. Hal ini disebabkan karena cadangan makanan yang tersimpan
didalam propagul dan kandungan garam yang tersedia. Dimana stres garam akan
menyebabkan pertumbuhan terhambat. Proses pertumbuhan yang baik dan
berlangsung cepat karena adanya energi yang tersimpan pada benih untuk
melakukan perkecambahan dengan sempurna. Hal ini sesuai dengan pernyataan
tanaman sangat dipengaruhi oleh cadangan makanan pada hipokotil utuh
dibandingkan dengan stek hipokotil.
Jumlah daun yang muncul setelah pengamatan dilakukan 22 MST
menunjukkan bahwa pemberian salinitas hanya berpengaruh nyata pada
pemberian salinitas 0.5%. Untuk kontrol tanpa salinitas, salinitas 1.5%, salinitas
2% dan salinitas 3% menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap pemberian
salinitas terhadap jumlah daun yang dihasilkan oleh semai R. apiculata. Jumlah daun rata-rata 6 helai/bibit sedangkan jumlah daun rata-rata terkecil terdapat pada
pemberian tanpa salinitas dan pemberian salinitas 3%. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ansori (1988), yang menyatakan pengaruh dari kekurangan air selama
tingkat vegetatif adalah berkembangnya daun yang lebih kecil, dimana air
berfungsi sebagai pelarut dalam organisme hidup tampak amat jelas, misalnya
pada proses osmosis. Sesuai dengan fungsinya air adalah penjaga turgiditas, yang
penting bagi pembesaran sel dan pertumbuhan.
Pemberian salinitas terhadap pertumbuhan vegetatif (luas daun) semai
R. apiculata setelah 22 MST menunjukkan tidak ada pengaruh pada berbagai konsentrasi salinitas terhadap luas daun yang dihasilkan semai R. apiculata. Luas daun disetiap perlakuan salinitas memiliki ukuran luas daun rata rata sama. Hal ini
membuktikan bahwa pada pemberian salinitas maupun tanpa pemberian salinitas
luas daun dapat bertambah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ansori (1999) yang
menyatakan apabila cadangan makanan yang tersedia lebih banyak maka
pertumbuhannya akan maksimal dan juga tidak terlepas dari adanya air yang
cukup tersedia dalam pertumbuhannya untuk digunakan tumbuhan dalam proses
29
Hasil pengukuran berat kering akar, berat kering batang dan berat kering
tajuk semai R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata antara perlakuan konsentrasi salinitas. Hal ini karena propagul
tersebut masih memiliki cadangan makan pada setiap propagul, sehingga adanya
konsentrasi salinitas tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan semai R. apiculata.
Pernyataan ini dapat dilihat dari hasil pertumbuhan akar, batang dan tajuk hampir
sama dari berbagai konsentrasi salinitas. Hal ini didukung oleh Mulyani et al.,
(1999) yang menyatakan bahwa keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman sangat
dipengaruhi oleh cadangan makanan yang ada dalam jaringan sel tanaman
tersebut.
Hasil pengukuran ratio tajuk akar semai R. apiculata dari berbagai tingkat salinitas yang terbesar adalah pada pemberian salinitas 2%, yaitu 1,6 g dan ratio
batang/akar dari berbagai tingkat salinitas yang terbesar adalah pada salinitas 2%,
yaitu 0,36 g. Ratio tajuk akar merupakan perbandingan berat kering tajuk dan akar
tanaman, ratio tajuk akar dikatakan baik bila rasio ≤ 2. Parameter ini digunakan
sebagai petunjuk adanya peristiwa kekurangan air pada tanaman, kekurangan air
lebih menghambat pertumbuhan tajuk dibandingkan pertumbuhan akar. Hal ini
disebabkan kemampuan benih dalam memproduksi dan menyerap cadangan
makanan yang terdapat pada hipokotil, sehingga pertumbuhan dapat lebih
maksimal pada propagul yang memiliki salinitas. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Istomo (1982) yang menyatakan bahwa kondisi salinitas sangat
mempengaruhi komposisi mangrove berbagai jenis mangrove mengatasi kadar
Kesimpulan
1. Salinitas 0.5-1.5 % menunjukkan pertumbuhan semai R. apiculata terbaik. 2. Berat kering semai terbesar R. apiculata diperoleh pada salinitas 0,5 %.
Saran
Pembibitan semai R. apiculata yang akan digunakan untuk penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove sebaiknya dilakukan pada kondisi salinitas
31
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, S. 1998. Studi sifat Fisik dan Pasang Surut Air Laut terhadap penyebaran Jenis Rhizophora Hutan Mangrove Pantai Tempora Jatim. Fakultas Kehutanan. Institut pertanian Malang. Malang.
Anwar, C. 2007. Sinthesis Hasil Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor
Arief, A. 2003. Hutan Mangrove. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Basyuni, M., S. Baba, M. Inafuku, H. Iwasaki, K. Kinjo, H. Oku. 2009. Expression of Terpenoid Synthase mRna and terpenoid Content in salt Stressed mangrove. Journal of Plant Physiology, 166, 1768-1800.
Basyuni, M., S. Baba, Y. Kinjo, H. Oku. 2012. Salinity Increase the Triterpenoid Content of a Salt Secretor and a Non Salt Secretor Mangrove. Aquatic Botany 97, 17-23.
Bengen, D. G. Dan Adrianto. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Daniel, T.W., J.A. Helm, F.S. Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Djamali, A. 1994. Komunitas Ikan di Perairan Sekitar Mangrove (Studi Kasus di Muara Sungai Berau, Kalimantan Timur, Cilacap, Jawa Tengah dan Teluk Bintuni. Irian Jaya.
FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1), 15-21.
Hutching, P. And P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press. Australia.
Khan M.A, Aziz I. 2001. Salinity tolerance in some mangrove species from Pakistan. Wetlands Ecology and Management 9, 219–223.
Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Mardiana, S. 2005. Perbedaan Kondisi Fisik Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Berbagai Tanaman Mangrove. Fakultas Pertanian Universitas Medan Area. Medan. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian Volume 3, Nomor 1, April 2005.
Mulyani, N, C. Kusmana, dan Supryanto. 1999. Pengkajian Penerapan Teknik Budidaya Rhizophora sp dengan Stek Hipokotil. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. V No 1 : 57-65.
Noor, Y, R., M. Khazali, I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Savitri. L. A dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir : Pengalaman Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dan Rehabilitasi Mangrove di karangsong Indramayu. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
Soeroyo, 1993. Pertumbuhan Mangrove dan Permasalahannya. Buletin Ilmiah INSTIPER. Yogyakarta.
Sumarna, Y. 2008. Pengaruh Kondisi Kemasakan Benih Dan Jenis Media Terhadap Pertumbuhan Semai Tanaman. Jurnal Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 129-135.
Tomlinson. 1986. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press. Cambridge.