• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian potensi genetik ternak kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Bogor, Jawa Barat dan di Magelang, Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian potensi genetik ternak kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Bogor, Jawa Barat dan di Magelang, Jawa Tengah"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

DAN DI MAGELANG, JAWA TENGAH

BRAM BRAHMANTIYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Halaman

DAFTAR TABEL ………...………. iv

DAFTAR GAMBAR ………...…… vi

DAFTAR LAMPIRAN ………... vii

PENDAHULUAN ………... 1

TINJAUAN PUSTAKA ………... 4

Bangsa-bangsa Kelinci …...……… 4

Rex ... 6

Satin ... 8

RS ... 9

New Zealand White ... 10

Flemish Giant ... 10

English Spot ... 11

Karakter Morfologi ... 12

Genetik ... 13

Pertumbuhan Kelinci ... 14

Pendugaan Kurva Pertumbuhan ... 15

Karkas dan Komponen Karkas ... 16

Pemuliabiakan Ternak ... 17

Sifat Kuantitatif ... 18

Heritabilitas ... 18

Seleksi ... 19

MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 21

Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

Materi Penelitian ... 21

Penelitian 1 : “Kajian Potensi Genetik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, Jawa Barat”... 21

Penelitian 2 : “Kajian Potensi Genetik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Magelang, Jawa Tengah” ... 22

(3)

(Oryctolagus cuniculus) di Balai Penelitian Ternak Ciawi,

Bogor, Jawa Barat”... 23

Karakterisasi Morfometrik ... 23

Karakterisasi Performa Produksi ... 27

Karakterisasi Pembibitan ... 28

Penelitian 2 : “Kajian Potensi Genetik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Magelang, Jawa Tengah” ... 35

Karakterisasi Morfometrik ... 35

Karakterisasi Performa Produksi ... 36

Karakterisasi Pembibitan ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Kajian Potensi Genetik Ternak Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, Jawa Barat .. ... 41

Keadaan Umum ... ... 41

Karakterisasi Morfometrik ... 41

Performa Produksi ... ... 48

Pembibitan Ternak Kelinci ... 58

Kajian Potensi Genetik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Magelang, Jawa Tengah ... 67

Keadaan Umum ... ... 67

Karakterisasi Morfometrik ... ... 68

Performa Produksi ... 75

Pembibitan Ternak ... 80

Pembahasan Umum ... 86

SIMPULAN DAN SARAN ... 92

Simpulan ... 92

Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN ... 103

(4)

Halaman

1 Performa produktsi kelinci New Zealand White, Lokal dan

Rex... 5

2 Heritabilitas beberapa sifat produksi kelinci ... 19

3 Jumlah kelinci RR, SS dan RS yang diamati pada populasi dasar

dan turunan hasil seleksi F1 ... 22

4 Sidik ragam untuk menduga nilai heritabilitas suatu sifat

berdasarkan pola tersarang atau Hierarchial ... 31 5 Sidik ragam untuk menduga nilai ripitabilitas suatu sifat ... 40

6 Ukuran tubuh kelinci berdasarkan galur kelinci ... 42

7 Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar

galur kelinci ... 44

8 Jarak genetik kelinci NZ, RR, SS dan RS ……… 46

9 Struktur total kanonik ukuran-ukuran tubuh kelinci …………... 47

10 Produktivitas induk dan pertumbuhannya selama menyusui anak 49

11 Pertumbuhan kelinci RR, SS dan RS ... 52

12 Karakteristik karkas kelinci RR, SS dan RS ... 55

13 Karakteristik proporsi karkas kelinci RR, SS dan RS ... 56

14 Nilai heritabilitas + galat baku bobot badan kelinci RR, SS dan

RS ... 58

15 Nilai heritabilitas + galat baku bobot badan kelinci Rex, Satin

dan RS hasil penyusunan kembali ... 60

16 Performa Produksi kelinci RR, SS dan RS pada populasi dasar

dan terseleksinya ... 61

17 Diferensial seleksi, nilai dugaan heritabilitas dan respon seleksi

sifat bobot sapih pada kelinci RR, SS dan RS ... 62

18 Rataan bobot badan mingguan kelinci RR pada populasi dasar

(P0), turunan hasil seleksi (F1) dan peningkatannya ... 63

19 Pendugaan titik belok bobot badan dan titik belok umur kelinci

RR, SS dan RS... 65

20 Ukuran tubuh kelinci berdasarkan galur ... 69

21 Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar

galur kelinci ... 71

22 Jarak genetik kelinci ES, FG, NZ, dan RR di Magelang ……… 72

(5)

25 Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman bobot hidup

kelinci ... 79

26 Nama dan kepemilikan ternak peserta kegiatan pembibitan ... 83

27 Produktivitas induk dan anak kelinci di peternak ... 84

(6)

Halaman

1 Kerangka tubuh kelinci ... 26

2 Tahapan seleksi di Balitnak Ciawi, Bogor ... 28

3 Penyebaran galur kelinci menurut ukuran fenotipe, kelinci NZW (N), RR (R), SS (S), dan RS (Z)... 44

4 Pohon fenogram kelinci NZ, RR, SS dan RS……… 46

5 Kurva pertumbuhan kelinci RR, SS dan RS... 54

6 Grafik dugaan kurva pertumbuhan model Gompertz kelinci RR, SS dan RS ... 64

7 Galur kelinci yang banyak dipelihara peternak ... 68

8 Penyebaran galur kelinci menurut ukuran fenotipik, kelinci ES (E), FG (F), NZ (N), dan RR (R) ... 70

9 Pohon fenogram kelinci di Magelang ………... 73

10 Grafik pertumbuhan kelinci di peternak kelinci Magelang ... 85

11 Skema inti terbuka ternak kelinci ... 89

(7)

Halaman

1 Kartu catatan induk betina ... 103

2 Kartu catatan pejantan ... 104

3 Kartu catatan pertumbuhan kelinci selama 16/20 minggu ... 105

4 Kartu data rekapitulasi populasi induk dan anak kelinci bulanan.

106

5 Kartu catatan program seleksi ... 1107

6 Hasil analisis ukuran tubuh kelinci yang berasal dari Balitnak

dan Magelang ... 108

7 Total struktur kanonik ukuran tubuh kelinci yang berasal dari

Balitnak dan Magelang ... 109

8 Gambar penyebaran galur kelinci yang berasal dari Balitnak dan Magelang menurut ukuran fenotipik kelinci ES (A), FG (B), NZm (C), NZb (D), RRm (E), RRb (F), SS (G) dan RS

(H)... 110

9 Persentase nilai kesamaan dan campuran di dalam dan antar

galur kelinci yang berasal dari Balitnak dan Magelang ... 111

10 Nilai matrik jarak genetik mahalanobis kelinci di Balitnak

dengan di Magelang ... 112

11 Pohon fenogram kelinci yang berasal dari Balitnak dan

Magelang ... 113

12 Langkah menjalankan REML ... 114

13 Langkah perhitungan analisis diskriminan pada SAS ver 6.12 116

14 Langkah menjalankan program Mega2 ... 117

(8)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala

pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

“KAJIAN SUMBERDAYA GENETIK TERNAK KELINCI (Oryctolagus cuniculus) DI BOGOR, JAWA BARAT DAN DI MAGELANG, JAWA TENGAH”

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sejenis di Perguruan

Tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas

dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 13 Februari 2008

Bram Brahmantiyo

(9)

cuniculus) at Bogor, West Java, and at Magelang, Central Java. Supervised by HARIMURTI MARTOJO, SRI SUPRAPTINI MANSJOER, YONO C. RAHARJO.

The research aims are evaluating morphological characteristics, productivity and breeding scheme of rabbits that were raised at IRIAP and Magelang. Proc GLM, proc CANDISC and proc DISCRIM (SAS 1985) were used to analyze morphological characteristics and Mega2 software (Kumar et al. 2001) was used to construct fenogram trees. Rabbit selection at IRIAP were done with BLUP using PEST software (Groneveld 1999) on weaning weight as criteria of selection. Heritability values were estimated with REML method using VCE ver 4.2 (Groneveld 1998) and Gompertz curves were used to estimate the growth curve (Blasco and Gomez 1993).

Morphometrics of New Zealand White (NZ), Rex (RR), Satin (SS) and Rex X Satin crossbred (RS) showed that rabbit production increased at IRIAP by selection to producing meat, fur and research animals. There were differences between breed on growth, doe reproduction and carcass production which explain genetic and interaction of genetic x environment were occurred. Heritability values of RR, SS and RS for weaning weight were 0.928 + 0.049, 0.819 + 0.220, and 0.982 respectively. Selection response of RR, SS and RS were 80.10 g, 8.05 g, and 71.45 g, hence selection were effective to increasing weaning weight of rabbit.

Results of morphometics characteristics of English Spot (ES), Flemish Giant (FG), and NZ rabbits showed that they were results of random crosses purposed in rabbit development at Magelang are used as meat producer. The offspring of ES, FG and NZ rabbits had similarity on growth and doe reproduction that were higher than RR rabbits. Improvement on rabbit production at Magelang can be done by selection with supervision by local government.

Differences were appeared on phenotypes between rabbits or within breed (NZ and RR) that were raised at IRIAP and Magelang because of no mutation or migration. Development of rabbit production at IRIAP and Magelang can be done by selection with body weight criteria.

(10)

cuniculus) di Bogor, Jawa Barat dan di Magelang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO, SRI SUPRAPTINI MANSJOER, YONO C. RAHARJO.

Penelitian ini bertujuan merancang pola pembibitan ternak kelinci melalui penggalian informasi karakteristik morfometrik, produktivitas dan pemuliabiakan ternak kelinci di Balitnak dan di Magelang. Penelitian terdiri atas evaluasi karakteristik morfometrik, produktivitas serta pembibitan. Karakteristik morfometrik dianalisis menggunakan prosedur General Linear Model (GLM) dan prosedur Proc GLM, Proc CANDISC dan Proc DISCRIM (SAS 1985) dan konstruksi pohon fenogram menggunakan Mega2 (Kumar et al. 2001). Performa produksi ternak kelinci dianalisis menggunakan prosedur GLM dan uji berganda Duncan (Steel dan Torrie 1991). Seleksi di Balitnak dilakukan dengan kriteria

bobot sapih dengan metode Best Linear Unbiased Prediction (BLUP)

menggunakan perangkat lunak Prediction and Estimation (PEST) (Groneveld 1999), perhitungan nilai dugaan heritabilitas dengan metode Univariate Animal Model Restricted Maximum Likelihood (REML) dengan perangkat lunak Variance Component Estimation versi 4.2 (Groeneveld 1998) dan pendugaan kurva pertumbuhan dengan model Gompertz (Blasco and Gomez 1993).

Hasil analisis ukuran morfometrik pada kelinci New Zealand White (NZ), Rex (RR), Satin (SS) dan persilangan Rex X Satin (RS) di Balitnak menjelaskan adanya kesamaan bentuk dan ukuran diantara keempat galur kelinci. Kelinci NZ dekat dengan RR (2.08), kemudian SS (2.98) dan RS (3.75). Hal ini menerangkan adanya seleksi dan persilangan yang bertujuan meningkatkan produksi daging dan kulit bulu. Pertumbuhan anak, produktivitas induk dan produktivitas karkas kelinci RR, SS dan RS terdapat perbedaan. Hal ini menjelaskan adanya pengaruh genetik dan interaksi antara genetik dengan lingkungan. Nilai dugaan heritabilitas bobot sapih pada kelinci RR, SS dan RS berturut-turut sebesar 0.928 + 0.049, 0.819 + 0.220, dan 0.982. Seleksi cukup efektif dengan memberikan respon seleksi sebesar 80.10 g pada kelinci RR, 8.05 g pada kelinci SS dan 71.45 g pada kelinci RS. Peningkatan bobot sapih pada anak turunan terseleksi berturut-turut pada kelinci RR, SS dan RS sebesar 22.77 g(3.66%), 6.83 g (1.11%), dan 65.29 g (10.67%). Pemuliabiakan kelinci RR, SS dan RS di Balitnak dengan seleksi dapat meningkatkan bobot badan lepas sapih dan meningkatkan keseragaman bobot potong sehingga akan diperoleh kelinci dengan luasan kulit bulu yang lebih seragam.

(11)

Kelinci yang dikembangkan di Balitnak dan Magelang berbeda fenotipiknya, baik antar galur maupun dalam galur yang sama (NZ dan RR). Adanya jarak yang memisahkan kedua wilayah membuktikan belum adanya mutasi atau pertukaran ternak. Adapun pemuliabiakan di lapang dapat dilakukan dengan memantapkan terlebih dahulu genetik kelinci yang sesuai keinginan peternak, yaitu kelinci ES, FG dan NZ. Adanya kesamaan fenotipik yang tinggi pada kelinci ES, FG dan NZ serta perbedaan antara kelinci NZ dan ES dengan karakteristik spesifik galurnya mendorong penamaan ketiga galur kelinci sebagai kelinci Peranakan Flemish Giant (PFG). Seleksi dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kelinci PFG, dan untuk mempertahankan keragaman genetik kelinci PFG dapat dilakukan dengan pemasukan darah baru kelinci sejenis dari luar wilayah..

(12)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(13)

DAN DI MAGELANG, JAWA TENGAH

BRAM BRAHMANTIYO

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

di Magelang, Jawa Tengah

Nama Mahasiswa : Bram Brahmantiyo

NRP : D061020141

Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc.

Ketua

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Dr. Ir. Yono C. Raharjo, APU

Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan,

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro,MS.

(15)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Maradoli Hutasuhut, MSc. Mec.

(16)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Pengasih

dan Penyayang atas berkat karunia-Nya sehingga studi doktor ini dapat

diselesaikan dengan baik.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai tahun 2004

ini adalah penggalian informasi dan pemanfaatan ternak kelinci dengan judul :

“Kajian Potensi Genetik Ternak Kelinci di Bogor, Jawa Barat dan di Magelang,

Jawa Tengah”.

Keberhasilan ini tidak lepas dari kerjasama yang baik dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang

tulus dan tak terhingga kepada Prof. Dr. H. Harimurti Martojo, M.Sc., selaku

Ketua Komisi Pembimbing, kepada Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Dr. Ir.

Yono C. Raharjo, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan kepercayaan, arahan dan bimbingan selama penelitian sampai

penyelesaian Disertasi. Terima kasih juga penulis sampaikan pada Prof. Dr. Ir.

Aminuddin, M.Sc. dan Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. selaku dosen penguji

serta Dr.Ir. Nahrowi, M.Sc. sebagai ketua program studi PTK saat ujian

kualifikasi, Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr.Sc. selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir.

Cece Sumantri, M.Agr. Sci. selaku ketua Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan yang mewakili Dekan Fapet IPB pada saat ujian tertutup.

Atas kesediaan Dr. Maradoli Hutasuhut dan Dr. Muladno MSA. sebagai penguji

luar komisi pada saat ujian terbuka, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang

tiada terhingga.

Ucapan terima kasih disampaikan pada Dr. Ir. Rarah R. Maheswari, DEA

selaku Koordinator Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan seluruh

dosen PTK yang selalu memberikan dorongan. Dr. Sofjan Iskandar, M.Sc. selaku

pimpinan Balai Penelitian Ternak, dan Sosiawan Priajaya, SE. Selaku Kepala Tata

Usaha Balitnak yang turut membantu dalam penyelesaian biaya studi. Staf

laboratorium kelinci, Balitnak Ciawi, Rossuartini, I Wayan Pasek, dan Ujang

Yusa atas segala bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian.

(17)

Susanti, M.Si., Dr. Ir. Agus Suparyanto, M.Si. (Alm.), Asep Gunawan, S.Pt. atas

segala bantuan yang diberikan Adik-adik Lidia Fafarida, S.Pt., Rohmah Kusuma

Dewi, S.Pt dan Kusumaningrum Maria Sari, S.Pt. atas bantuan yang diberikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pengelola beasiswa Parcipatory Assessment of Agricultural Technology Project (PAATP), Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan

belajar dan biaya pendidikan serta pihak-pihak yang telah membantu dan tidak

dapat disebutkan satu persatu..

Rasa hormat dan terima kasih kepada Ayahanda Soekarman (Alm.),

Ibunda Hj. Djulaeha, ayah dan ibunda mertua H. Didi Surgandi serta istri tercinta

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang

telah diberikan kepada penulis. Kepada ananda tersayang Muhammad Riadhi

Arisyi dan Muhammad Rizki Fadhlillah, semoga dapat menjadi motivasi untuk

selalu belajar dan berusaha lebih baik.

Akhir kata semoga karya ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu

pengetahuan.

Bogor, 13 Februari 2008

(18)

Penulis dilahirkan di Tanjung (KALSEL) pada tanggal 6 Mei 1965 sebagai

anak keempat dari pasangan Soekarman (Alm.) dan Hj. Djulaeha. Pendidikan

dasar di SD Gunung Batu I Bogor diselesaikan pada tahun 1978, SMPN IV Bogor

pada tahun 1981, dan SMAN I Bogor pada tahun 1984. Penulis melanjutkan

pendidikan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun

1989. Penulis diangkat menjadi staf pengajar di Fakultas Peternakan, Universitas

Muhammadiyah Malang pada tahun 1990. Penulis melanjutkan pendidikan

Magister di Program Studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana IPB, lulus tahun

1995 dengan bantuan beasiswa dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD),

Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 2000, penulis

pindah tugas ke Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor dan pada tahun 2002,

penulis berkesempatan melanjutkan Program Doktor pada Program Studi Ilmu

Ternak Sekolah Pascasarjana IPB. Studi ini dapat terlaksana atas beasiswa Project Assessment of Agricultural Technology Project (PAATP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, pendiri, anggota dan

menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Program Ilmu Ternak SPs IPB

(HIWACANA-PTK) periode 2003-2005. Penulis terdaftar sebagai anggota

American Dairy Science Association (ADSA) dan Poultry Science Association

(PSA) sejak tahun 2004, serta pendiri, anggota dan menjabat sekretaris Himpunan

Masyarakat Perkelincian Indonesia/Indonesian Branch-World Rabbit Science Association (HIMAKINDO/IB-WRSA) periode 2006-2008.

Selama mengikuti program doktoral, penulis menyajikan artikel berjudul

Pendugaan Jarak Genetik Kelinci Berasal dari Bogor dan Magelang melalui

Analisis Morfometrik pada Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, Vol. 11 No. 3

tahun 2006. Sebuah karya ilmiah berjudul Evaluation of Morphometric

Characteristic and Estimation of Mahalabobis Genetic Distance of Rabbit

from RIAP Bogor pada International Conference on Rabbit Production, July

24-25, 2007 at Bogor City Hall. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari

(19)

Program pemuliaan seperti seleksi pada ternak kelinci di Indonesia baik di

tingkat peternak dan Instansi Pemerintah belum banyak dilakukan karena seleksi

merupakan cara pemuliaan yang kurang menarik dan membutuhkan waktu yang

lama, terencana serta biaya yang mahal. Adapun program persilangan cukup

sering dilakukan oleh peternak yang dilakukan untuk mencari keunggulan

gabungan dari bangsa yang dipersilangkan atau diakibatkan tidak adanya pejantan

dari bangsa yang sama, namun ternak persilangan yang dihasilkan ternyata

memiliki produktivitas dan daya adaptasi terhadap iklim tropis yang baik.

Guna mendukung upaya peningkatan produktivitas produk hasil ternak

dan keanekaragaman produk ternak, maka diperlukan penggalian karakteristik

porduktivitas dan ukuran morfometrik ternak kelinci sebagai data dasar. Data

dasar dianalisis untuk menghasilkan parameter genetik, yang pada gilirannya

dapat dipergunakan sebagai dasar seleksi dan/atau perakitan galur baru melalui

persilangan yang terarah sehingga dapat dihasilkan ternak kelinci yang

berproduksi sesuai harapan peternak, yaitu sebagai penghasil daging, kulit-bulu

(fur) dan kelinci hias.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesarnya pada yang terhormat :

1. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS., Dekan Sekolah Pascasarjana IPB.

2. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc., Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana IPB.

3. Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA., Ketua Program Studi Ilmu Ternak,

SPS IPB.

4. Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc., Ketua Komisi Pembimbing,

5. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, dan Dr. Ir. Yono C. Raharjo, M.Sc. sebagai

Anggota Komisi Pembimbing.

Atas bantuan, perhatian dan bimbingannya sehingga penulis dapat

(20)

Bogor, Pebruari 2008

Penulis,

(21)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis, dikenal memiliki sumberdaya genetik

yang besar, sehingga terkenal sebagai “mega diversity”. Sumberdaya genetik

tersebut, dikenal sebagai plasma nutfah, selama ini pemanfaatannya oleh bangsa

sendiri belumlah maksimal. Padahal plasma nutfah tersebut merupakan dasar

pengembangan flora dan fauna bagi pemenuhan hajat hidup bangsa Indonesia di

masa kini maupun di masa mendatang. Plasma nutfah adalah substansi yang

terdapat dalam kelompok mahluk hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan

yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan

rumpun/galur/varietas/kultivar unggul/ baru untuk memenuhi kebutuhan pangan

dan pertanian (Departemen Pertanian 2006). Dengan demikian plasma nutfah

(sumber daya genetik ternak) merupakan keseluruhan keanekaragaman genetik

yang terdapat dalam suatu populasi organisme yang perlu dilestarikan.

Kekayaan dan keragaman sumberdaya hayati khususnya hewan

merupakan modal yang besar bagi pembangunan subsektor peternakan.

Keragaman genetik ternak dalan suatu wilayah yang telah beradaptasi dengan

lingkungan dalam wilayah tersebut sangat potensial untuk dikembangkan,

sehingga perlu dilestarikan dan dilindungi untuk kemudian dimanfaatkan dalam

upaya meningkatkan ketersediaan pangan, menciptakan lapangan kerja dan

memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat.

Kelinci asli yang ada di Indonesia adalah Nesolagus netscheri (kelinci Kerinci) yang berasal dari Sumatera (Massicot 2005). Sedangkan ternak kelinci

yang telah cukup lama dikenal oleh peternak dan telah beradaptasi dengan

lingkungan tropis Indonesia adalah kelinci-kelinci import dari berbagai negara di

Eropa dan Amerika. Adaptasi di daerah tropis menyebabkan perubahan kinerja

pada ternak-ternak tersebut yang sangat berbeda dengan kinerja galur murni di

negara asalnya (Raharjo et al. 2004).

Pada tahun 2005, informasi perkembangan kelinci di lapang kembali

(22)

burung yang menyerang ayam/unggas, banyak peternak yang menggantungkan

hidupnya dari ternak ini menutup usahanya. Budidaya ternak kelinci merupakan

usaha yang relatif mudah dikuasai, nilai investasi rendah, dapat dipelihara dengan

skala kecil dan melibatkan tenaga keluarga, sehingga banyak peternak

unggas/ayam yang mengalihkan usahanya pada ternak kelinci.

Kabupaten Magelang merupakan salah satu daerah pengembangan ternak

kelinci yang peternaknya berkembang didorong oleh keunggulan ternak kelinci

dibandingkan ternak lain. Sebagian besar kelinci yang dikembangkan ditujukan

untuk menghasilkan daging. Pasar yang berkembang adalah kelinci bibit yang

diperjual belikan pada umur lepas sapih (2 bulan) dan remaja (3-4 bulan). Pasar

kelinci ini dapat ditemui di Pasar Muntilan setiap hari pasaran yang jatuh pada

hari Kliwon, transaksi jual beli kelinci ini bisa mencapai rataan 300 - 500

ekor/hari. Adapun kelinci afkir atau tua diperjual belikan sebagai kelinci potong.

Kelinci potong ini untuk memenuhi permintaan daging pedagang sate, gulai, dan

tongseng yang banyak terdapat di sepanjang jalan menuju Borobudur, Sleman dan

Yogyakarta (Widodo 2005).

Perkembangan kelinci di lapang ini mendorong peningkatan permintaan

akan bibit kelinci berkualitas. Bibit kelinci yang dikenal merupakan kelinci hasil

seleksi di tingkat peternak dengan kriteria penampilan fenotipik unggul, yaitu

kelinci yang memiliki bobot hidup tinggi, bentuk badan yang proporsional, telinga

tegak dan mata sehat lagi cerah (Widodo 2005). Kelinci hasil seleksi ini kinerja

produksinya tidak konsisten, karena penampilan fenotipik baik tidak

mencerminkan genetik yang baik. Sehingga diperlukan suatu tindakan seleksi

yang terarah di tingkat peternak atau daerah sentra pengembangan kelinci agar

terbentuk kelinci unggul yang adaptif.

Balitnak sejak tahun 2004, melakukan seleksi terhadap kelinci Rex, Satin

dan persilangan Rex x Satin (RS) dengan kriteria bobot sapih (Raharjo et al. 2006). Kriteria ini dipilih karena memiliki nilai dugaan heritabilitas yang cukup

tinggi, yaitu antara 0.35-0.65 (Lukefahr 1988) dan 0.17-0.90 (Ibrahim et al. 2007). Lukefahr et al (1996) menyatakan kecenderungan peningkatan genetik seleksi dengan kriteria bobot umur 70 hari selama lima generasi sebesar 29.1 g per

(23)

rata-rata sebesar 1.5% per generasi selama enam generasi pada kelinci yang diseleksi

atas bobot potong umur 10 minggu.

Melalui seleksi ini diharapkan dapat diperoleh kelinci-kelinci dengan

bobot sapih dan bobot potong yang meningkat dan seragam. Balitnak pada tahun

2006, mulai membina peternak kelinci anggota Perhimpunan Peternak Kelinci

Kabupaten Magelang (PPKM) untuk melakukan seleksi dengan kriteria bobot

sapih. Bobot sapih ini menjadi kriteria seleksi karena memiliki korelasi genetik

dengan bobot dewasa, yaitu sebesar 0.18-0.75 antara bobot umur 7 hari, 21 hari,

42 dan 56 hari (Ibrahim et al. 2007). Melalui kerjasama ini diharapkan hasil penelitian baik teknologi maupun produk bibit kelinci dengan produktivitas yang

konsisten dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menyusun program pembibitan ternak

kelinci yang sesuai di Balitnak dan di Magelang melalui karakterisasi morfologi

dan evaluasi performa produksi ternak kelinci yang memiliki potensi ekonomi,

dan (2) peningkatan produksi dan pemantapan genetik kelinci Rex, Satin dan RS

melalui seleksi.

Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian dapat menjadi dasar bagi peningkatan performa produksi

kelinci di daerah tropis melalui program seleksi maupun persilangan dan

terbentuknya sentra bibit kelinci yang melaksanakan program pemuliabiakan

(24)

Bangsa-bangsa Kelinci

Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) yang ada saat ini berasal dari kelinci liar dari Eropa dan Afrika Utara. Beberapa bangsa kelinci ditemukan pada

abad ke 16 yang menyebar di Perancis dan Italia. Pada mulanya kelinci

diklasifikasikan dalam ordo rodensia (binatang mengerat) yang bergigi seri empat, tetapi akhirnya dimasukkan dalam ordo lagomorpha karena bergigi seri enam (Cheeke et al. 1987). Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam Kerajaan Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies O. cuniculus (Spacerad.com 2004).

Awalnya kelinci merupakan objek perburuan, budidaya kelinci sebagai

hewan pelihaaraan baru dilakukan pada abad ke-16, diawali dari negara-negara

Eropa yaitu Perancis, Italia, dan Inggris. Pada awal abad ke-19, kelinci mulai

dipelihara di bagian barat Eropa dan negara-negara perbatasan, juga di beberapa

negara seperti Australia dan New Zealand. Pengembangbiakan kelinci terus

meningkat pada perang Dunia Kedua karena kekurangan pangan (Lebas et al. 1986).

Kromosom kelinci berjumlah 44 buah, umur hidupnya (life span) 5-10 tahun dengan umur produktif 2-3 tahun dan memiliki kemampuan beranak 10 kali

per tahun. Bobot lahir kelinci antara 30-100 g/ekor (rataan 50-70 g/ekor), bobot

dewasa 5-10 kg/ekor (Harris 1994). Ditambahkannya bahwa kelinci beraktivitas

secara umum pada tengah malam dan di kala hari mulai senja tetapi dapat

menyesuaikan diri terhadap pengaruh lingkungan. Menurut Cheeke et al (1987), kelinci memiliki kemampuan biologis yang menonjol terletak pada sistem

reproduksi dan sistem pencernaannya, yaitu (1) umur empat bulan kelinci sudah

dapat mencapai dewasa kelamin dan dapat dikawinkan, (2) setiap pejantan dapat

dikawinkan dengan 8-10 betina dengan tingkat keberhasilan pembuahan 95%, (3)

lama bunting kelinci rata-rata 31-32 hari, (4) rataan jumlah anak per kelahiran 6-7

(25)

induknya rata-rata pada umur 6-8 minggu, serta (6) segera setelah melahirkan,

induk kelinci dapat dikawinkan kembali.

Produktivitas kelinci New Zealand White, Lokal dan Rex yang dipelihara

di lingkungan tropis Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Kelinci memiliki

kemampuan beranak setiap 40 hari dengan jumlah anak lahir (litter size at birth) lebih dari 8 ekor. Kelinci Rex memiliki interval beranak yang dapat mencapai 40

hari, tetapi jumlah anak lahir dan jumlah anak sapih hanya 7.1 ekor dan 5.2 ekor.

Tingginya tingkat kematian (23-43%) masih saja terjadi pada masa menyusui.

Pemeriksaan post-mortem membuktikan kejadian yang tertinggi akibat enteritis

(Raharjo 1994).

Tabel 1. Performa produksi kelinci New Zealand White, Lokal dan Rex (Raharjo 1994)

Peubah NZW1 NZW2 Lokal3 Rex4 Rex5 Rex6

Laju kebuntingan (%) 86.0 89.9 - - 80.9 -

Periode kebuntingan (hari) - 31.6 - - 31.6 -

Interval beranak (hari) 38.8 37.8 - 40.1 - >75

Bobot induk saat beranak (kg) - 3.1 2.3 3.1 2.8 -

LS saat lahir (ekor) 8.5 9.1 6.3 7.1 5.3 6.4

LS saat sapih (ekor) 6.1 7.2 5.9 5.2 2.9 5.6

Bobot sapih (g) 410* 550 510** 480 443 390

Mortalitas, lahir-sapih (%) 28.0 16.9 15.1 22.7 43.3 17.9

Sumber : 1Partridge (1988) Inggris; 2Raharjo et al. (1986), Oregon, USA; 3Sartika dan Diwyanto (1986), Bogor, Indonesia; 4Raharjo dan Tangenjaya (1988), Bogor, Indonesia; 5Sartika dan Raharjo (1992), Bogor, Indonesia; 6Sastrodihardjo et al (1992), Brebes, Indonesia.

Keterangan : LS = litter size; * sapih umur 25 hari; ** sapih umur 35 hari;

a

pakan premiks ad lib.; b pakan premik terbatas + hijauan.

Menurut Fekete (1985), kelinci adalah ternak herbivora non-ruminansia

yang mempunyai lambung tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum dan

colon. Kedua bagian alat pencernaan ini berfungsi mirip dengan rumen, sehingga kelinci disebut sebagai hewan ruminansia semu (pseudo-ruminant).

Ditambahkannya, bahwa kelinci juga bersifat coprophagy, yaitu dapat

(26)

dalam hijauan dapat dimanfaatkan secara efisien. Ditegaskan oleh Cheeke et al. (1987), bahwa pemanfaatan protein yang efisien tersebut disebabkan oleh

penyerapan ulang terhadap zat-zat makanan yang telah mengalami pencernaan

awal oleh bakteri-bakteri yang berada di dalam caecum dan colon yang dapat mensintesis beberapa zat makanan antara lain protein dan vitamin.

Lebas et al. (1986), mengelompokkan kelinci menjadi kelinci besar, kelinci medium, kelinci ringan dan kelinci kecil berdasarkan ukuran tubuh

dewasa, pertumbuhan rata-rata, dan umur mulai dewasa. Kelinci besar adalah

kelinci dengan bobot dewasa lebih dari 5.0 kg, potensi pertumbuhan bangsa ini

dapat dieksploitasi terutama untuk persilangan. Termasuk kelompok ini adalah

kelinci Bouscat Giant White, French Lop, Flemish Giant dan French Giant

Papillon. Bangsa ini secara genetik dapat memperbaiki pertumbuhan pada bangsa

lain. Kelinci medium adalah kelinci dengan bobot dewasa 3.5-4.5 kg, kelinci ini

merupakan kelinci yang dapat dipelihara secara intensif untuk produksi daging.

Kelinci ini memilki nilai productivitas unggul yaitu fertilitas yang tinggi,

pertumbuhan cepat, perkembangan perototan yang bagus, kualitas daging yang

baik. Bangsa kelinci yang termasuk kedalam bangsa ini adalah English Silver,

German Silver, Champagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White dan

Grand Chinchilla. Kelinci ringan adalah kelinci dengan bobot dewasa 2.5-3.0 kg,

kelinci tipe ringan dapat berkembang dengan sangat cepat dan merupakan induk

yang baik. Konsumsi pakan lebih sedikit daripada kelinci tipe besar dan medium,

dan bisa disilangkan untuk menghasilkan tipe ringan dengan berat karkas 1.0-1.2

kg. Tipe ini terdiri atas Himalaya, Small Chinchilla, Dutch, dan French Havana.

Kelinci kecil adalah kelinci dengan bobot dewasa 1 kg, kelinci banyak digunakan

sebagai kelinci pertunjukkan dan sebagai hewan kesenangan.

Rex

Mutasi yang terjadi pada kelinci Rex saat ini menjadikannya bangsa

kelinci yang menarik. Fenomena yang ada pada struktur bulu kelinci Rex, yaitu

kondisi genetik yang resesif, pertama kali ditemukan di Perancis pada tahun 1919.

Adanya mutasi pada kelinci Rex ini menjadi kesuksesan pada perlombaan yang

(27)

kelinci pada tahun 1929, atau berselang 10 tahun sejak ditemukannya mutasi

tersebut (Lukefahr dan Robinson 1988). Cheeke et al. (1987), menerangkan bahwa kelinci Rex pertama kali dikembangkan di Perancis dan berkembang di

dinegara-negara lain, seperti Amerika pada tahun 1929, dengan tujuan utama

sebagai hewan hobi, kontes dan pameran. Lama-kelamaan berkembang menjadi

penghasil kulit-bulu (Fur), daging (Food) dan keindahan (Fancy) yang dikelola secara komersial.

Menurut Lukefahr dan Robinson (1988), secara genetik, terdapat tiga

pasang gen yang unik pada kelinci Rex yang sudah ditemukan, yaitu r-1, r-2 dan

r-3. Setiap pasang gen terletak pada lokus atau kromosom yang berbeda. Gen

kelinci Rex dari Perancis disebut r-1, umumnya ditemukan pada kelinci Rex di

Eropa dan Amerika. Gen r-2, disebut sehagai gen German short-hair (bulu pendek Jerman) dan gen r-3 disebut gen Normandy (Normandia). Gen r-2 dan r-3 telah hilang dari populasi kelinci akibat ketidak hati-hatian karena tidak adanya

ketertarikan pembibit untuk mempertahankan keragamannya. Ditambahkannya,

bahwa pengaruh gen Rex adalah mereduksi panjang semua ukuran bulu, terutama

guard hair, menjadikan panjangnya menyerupai underfur.

Prasetyo (1999), menyatakan bahwa kehalusan bulu kelinci Rex

disebabkan oleh dua faktor, yaitu diameter bulu kasar dan struktur kutikula.

Rataan diameter bulu kasar kelinci Rex relatif kecil. Helai kutikula bulu relatif

pendek, tidak banyak menutup helai kulikula bulu di depannya, dengan demikian

gerak “ruas” helai bulu di depannya tidak tertahan sehingga helai bulu lemas,

tidak kaku. Tsukiyo.org (2004), menerangkan bahwa, genotipik kelinci Rex

adalah ekspresi sepasang alel rr, dengan alel r bersifat resesif terhadap bulu

normal R. Kelinci Rex akan terlihat berfenotipik bulu normal bila memiliki

genotipik RR dan Rr, sedang kelinci yang memiliki bulu rex bergenotipik rr.

Genotipik kelinci Rex secara lengkap adalah F_L_mmrrSa_ (berbulu, pendek,

tidak mane, rex dan tidak berkilap).

Dalam rangka memperkenalkan jenis kelinci baru di Indonesia, untuk

produksi kulit bulu, telah didatangkan jenis kelinci Rex dari Amerika pada tahun

1988 dan dari uji coba di laboratorium (Balai Penelitian Ternak, Ciawi dan

(28)

(misalnya, di Pandansari (Brebes), Wonosobo (Jawa Tengah), Ujung Pandang

(Sulawesi Selatan), Cisarua dan Bandung (Jawa Barat)). Ternak kelinci Rex dapat

cepat beradaptasi dengan lingkungan berhawa dingin dan perlu adanya perhatian

yang baik dalam proses pemeliharaannya (Raharjo et al. 1995).

Kelinci Rex mempunyai bulu yang halus, tebal, panjangnya

seragam/uniform (1.27 – 1.59 cm), tidak mudah rontok dan tampak sangat menarik (Raharjo 1988). Ditambahkannya bahwa bobot kelinci Rex yang dewasa

bisa mencapai 2.7 – 3.6 kg, tetapi kecepatan pertumbuhannya tidak begitu baik

dibandingkan dengan kelinci New Zealand White. Interval kelahiran kelinci Rex

+ 40 hari, mortalitas 3.45%, waktu sapih 28 hari, jumlah anak perkelahiran 5 ekor

dan bobot sapih 480 g.

.

Satin

Menurut Lukefahr (1981), penampilan pertama kelinci Satin ditemukan

pada tahun 1931, dari anakan kelinci havana coklat. Bangsa kelinci ini

diternakkan untuk diambil daging dan kulit bulu dengan berat dewasa 4.3 kg

untuk jantan dan 4.5 kg untuk betina. Menurut Rabbitandcavydirectory.com

(2006), kelinci Satin dikenal baik sebagai kelinci yang dikembangkan sebagai

ternak produksi dan pertunjukan. Secara komersial, kelinci Satin dipelihara

sebagai produsen fur dan daging. Kelinci Satin berasal dari kekhususan fur yang menjadikan bulunya berbeda dibanding kelinci jenis lain. Kelinci Satin memiliki

helai bulu yang mengkilap dan memantulkan cahaya yang menjadikan bulu

berkilat unik.

Dinyatakan oleh Lukefahr (1981), bahwa gen Satin sa diturunkan secara

resesif sederhana. Pada keadaan homosigot resesif (sasa), permukaan bulu

kelinci Satin memantulkan cahaya seperti cermin, pantulan ini berasal dari

kehalusan kutikula yang tidak biasa, yaitu tiadanya sebagian sel medula dan

adanya kecenderungan bulu yang lebih tipis dibandingkan normal.

Ditambahkannya bahwa gen Satin menyebabkan robohnya sel bulu yang berisi

udara sebagaimana bulu yang normal sehingga menghasilkan bulu yang indah,

berkilauan dan transparan penampilannya menjadikan warna bulu yang sangat

(29)

pendek, tidak mane, tidak rex dan berkilap) (Tsukiyo.org. 2004). Bulu kelinci

Satin tidak membutuhkan perhatian berlebih dalam perawatannya selain

penyisiran yang rutin. Warna bulu kelinci Satin bervariasi dari hitam, biru,

kelompok broken, californian, chinchillla, coklat, otter, merah, tembaga, siamese

dan putih (Rabbitandcavydirectory.com 2006).

Kelinci Satin didatangkan pertama kali ke Indonesia (Balitnak-Ciawi) dari

Amerika Serikat pada bulan Agustus 1996 (Prasetyo 1999). Kelinci Satin ini

selanjutnya dipergunakan sebagai materi pembentukan kelinci jenis baru melalui

persilangan dengan kelinci Rex. Persilangan ini telah berhasil menghasilkan

kelinci jenis baru yang memiliki kualitas kulit bulu gabungan karakteristik kelinci

Satin yang berkilau dengan kelinci Rex yang lembut bagai beludru.

RS

Kelinci RS adalah kelinci hasil persilangan antara kelinci Rex dan Satin.

Prasetyo (1999) mencoba membentuk kelinci RS dengan harapan diperoleh

kelinci yang memiliki kulit bulu yang halus kilap yang merupakan perpaduan gen

halus dari kelinci Rex (F_L_mmrrSa_) dan bulu yang mengkilap dari kelinci Satin

(F_L_mmR_sasa). Sifat bulu kelinci RS terbentuk karena terkumpulnya pasangan

gen homosigot resesif untuk bulu halus (rr) dan bulu kilap (sasa). Struktur bulu

yang terbentuk dari pasangan gen tersebut menyebabkan hilangnya sel-sel pada

medula batang bulu. Selanjutnya ditambahkan bahwa dengan kondisi genotipik

yang homosigot resesif ganda (F_L_mmrrsasa), bila kelinci berbulu halus kilap

dikawinkan sesamanya berdasarkan teori Mendel tidak akan terjadi keragaman

sifat, karena segregasi gen tidak akan menghasilkan kombinasi baru. Semua anak

yang dihasilkan akan berbulu halus kilap.

Prasetyo (1999) telah menghasilkan sejumlah 23 ekor (5.42%) kelinci RS

dari total 424 ekor anak sapih (573 ekor anak lahir) dari kelinci F2 hasil

persilangan resiprokal antara kelinci Rex dan Satin. Rataan bobot kelinci RS

umur 0, 4, 8, 12, 16 dan 20 minggu berturut-turut adalah 49.8 g, 393.5 g, 915.8 g,

1454 g, 1968 g dan 2513 g. Ditambahkannya bahwa pada umur empat minggu

macam tipe bulu kelinci sudah dapat dideteksi sehingga kelinci berbulu normal

(30)

New Zeland White

New Zealand White (NZW) adalah kelinci yang berasal dari Amerika.

Pada tahun 1916, WS Preshaw pertama kali membibitkan kelinci New Zealand

White dengan tujuan membentuk kelinci penghasil daging dan kulit yang unggul.

Asal-usul tetuanya tidak diketahui, namun dipercaya bahwa Angora turut berperan

dalam pembentukannya (Wikipedia 2007). Lebas et al. (1986), menerangkan bahwa kelinci ini berwarna putih polos, mata merah, bobot dewasa 4.1-5.0 kg.

Umur kawin pertama 144 hari, rataan litter size lahir 8.5 ekor, litter size hidup 8.0 ekor dan litter size sapih 6.5 ekor. Menurut Cheeke et al. (1987), kelinci New Zealand White dikenal sebagai produsen daging komersial. Ditambahkannya

bahwa banyak karakteristik pada kelinci ini yang sesuai, yaitu laju pertumbuhan

yang cepat, kualitas karkas yang baik, tingkat kesuburan yang tinggi, dan sifat

keindukan yang baik.

Keunggulan lain dari kelinci New Zealand White adalah kelinci yang

umum dipergunakan dalam penelitian sebagai hewan percobaan untuk penelitian

biomedis (Cheeke et al. 1987). Menurut Wikipedia (2007), kelinci NZW menampilkan respon yang sama sebagaimana manusia pada penyakit dan

pengobatannya. Ditambahkan, reaksi ini menjadikan kelinci NZW selalu

dipergunakan di laboratorium pharmasi pada rumah sakit umum di Amerika

Serikat, pusat penelitian kanker, dan rumah sakit universitas. Kelinci NZW

dipergunakan untuk menguji dan pengobatan untuk penyakit seperti diabetes,

difteria, tuberkulosis, kanker dan penyakit jantung. Pengaruh krim kulit,

kosmetika, pangan khusus dan makanan tambahan juga diujikan terlebih dahulu

pada kelinci NZW.

Flemish Giant

Kelinci Flemish Giant diduga merupakan keturunan dari kelinci

Patagonian di Argentina. Kelinci Patagonian ini dibawa ke Eropa pada abad

ke-16 dan 17 oleh pedagang dari Belanda dan dikembangkan sebagai penghasil

daging (Horn Rapids Rabbitry 2004). Ditambahkannya, pertama kali tercatat

mengenai Flemish Giant sekitar tahun 1860, pada waktu itu petualang dari Inggris

(31)

disana. Kelinci Flemish Giant diimport ke Amerika pada awal tahun 1880.

Kelinci ini merupakan kelinci terbesar yang diperkenalkan oleh American Rabbit

Breeders Association dengan bobot senior (umur lebih dari 8 bulan) untuk betina

sebesar 14 lbs dan 13 lbs untuk jantan.

Menurut petplanet.co.uk (2004), kelinci Flemish Giant memiliki panjang

usia mencapai 5 tahun bahkan lebih. Umur mulai dikawinkan sekitar 9 bulan dan

anak-anak kelinci harus sudah dilahirkan sebelum induknya mencapai umur satu

tahun karena apabila induk beranak pada umur lebih dari satu tahun tulang

pelvisnya akan menyempit sehingga sulit untuk beranak secara alamiah dan

induk-induk tersebut tidak akan mampu beranak lagi setelah berumur tiga tahun.

Kelinci ini beranak cukup banyak, yaitu antara 5 – 12 ekor per litter. Lama kebuntingan antara 28-34 hari dengan rataan 30-32 hari. Kelinci ini termasuk

bangsa kelinci raksasa dengan warna yang umum abu-abu besi (steel grey)

bertubuh panjang dengan kepala yang tegak dan telinga panjang serta tegak.

Bobot badannya minimal 5 kg dan tercatat dapat mencapai bobot badan 9.5

kg/ekor. Kelinci ini sangat disukai dan bangsa ini secara genetik dapat

memperbaiki pertumbuhan pada bangsa lain dengan persilangan (Lebas et al. 1986).

English Spot

English Spot rata-rata dapat hidup sampai dengan 5 tahun bahkan lebih.

Betina dapat dikawinkan pada umur 5-6 bulan. Induk English Spot dapat beranak

sejumlah 3-5 ekor, namun berdasarkan laporan dapat pula lebih dari 6 ekor. Lama

bunting antara 28-34 hari dengan rataan 30-32 hari. Bobot badan rataan jantan

dan betina sebesar 3 kg (Petplanet.co.uk. 2004).

Kelinci English Spot memiliki bulu pendek dengan warna dasar putih dan

bercak warna lain. Bercak ini dapat berwarna hitam, biru, coklat, abu-abu dan

tortoirseshell. Ciri spesifiknya adalah telinga yang berwarna, warna melingkari

mata dan terdapat bercak di sekitar pipi. Terdapat garis warna sepanjang

punggung dengan titik-titik dari telinga sampai kaki belakang. Kelinci ini berasal

dari Inggris (Petplanet.co.uk. 2004; Rabbitandcavydirectory.com 2006). Menurut

(32)

coklat dengan pendugaan genotipiknya EnEn aabbC_D_E_. Genotipik En

merupakan genotipik yang mengatur pola warna broken yang merupakan mutasi

pada lokus English. Dalam keadaan homosigot dominant (EnEn) memunculkan pola yang bagian putihnya lebih banyak dari pada warna spot-nya, dan dalam keadan homosigot resesif enen memunculkan pola yang bagian berwarna lebih banyak dari pada bagian putihnya. Warna coklat diatur oleh gen b yang muncul dalam keadaan homosigot resesif (bb) dan bersifat epistasis terhadap gen a yang muncul dalam keadaan homosigot resesif (aa), dan menutupi ekspresi gen lain

dalam keadaan heterosigot.

Karakter Morfologi

Menurut (Wiley 1981), karakter morfologi adalah tanda struktural dari

satu mahluk hidup yang merupakan sumber utama karakter kebanyakan kelompok

mahluk hidup. Karakter ini dapat berupa sifat-sifat yang relatif sederhana atau

sangat rumit dan karakter ini telah terbukti bermanfaat untuk membedakan taxa

mahluk hidup pada berbagai tingkatan, mulai dari phyla sampai spesies. Ukuran dan bentuk tubuh merupakan penduga yang menyeluruh dari bentuk dan deskripsi

khas dari berbagai gambaran tubuh yang terbukti bermanfaat dalam menganalisa

banyak mahluk hidup.

Kesamaan fenotipik dapat menunjukkan identitas genetik, walau terdapat

batasan, antara lain fenotipik yang identik dapat disebabkan oleh alel-alel yang

berbeda datau oleh gen-ten pada lokus yang berbeda (Baker dan Manwell 1991).

Ukuran-ukuran tubuh sangat berguna untuk menentukan asal-usul dan hubungan

filogenetik antara spesies, bangsa atau tipe ternak yang berbeda (Martojo 1983;

Warwick et al. 1995; Ischii et al. 1996 dan Mulliadi 1996).

Pengukuran panjang tulang-tulang mempunyai ketelitian yang lebih baik

dibandingkan dengan pengukuran bobot badan (Mansjoer 1981). Ukuran-ukuran

tubuh dengan keragaman yang tinggi memberikan petunjuk bahwa ukuran tubuh

tersebut dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi

(33)

Genetik

Keragaman sifat morfologis dapat terjadi karena adanya proses mutasi

akibat seleksi, perkawinan silang dan bencana alam yang dapat berakibat hilang

atau hanyutnya gen tertentu (Falconer dan Mackay 1996). Menurut Nei (1987),

proses hilang atau hanyutnya gen tertentu tersebut berpengaruh pada tingkat

genetik yang pada akhirnya diekspresikan dalam bentuk karakteristik kualitatif

dan kuantitatif dari sifat morfologis. Ditambahkannya, bahwa proses tersebut

menimbulkan evolusi yang mendasari adanya keanekaragaman, dengan

pemahaman bahwa perubahan sifat hayati ternak akan diturunkan secara genetik

oleh tetuanya, sehingga generasi selanjutnya merupakan generasi hasil evolusi

sebelumnya.

Dalam memahami proses evolusi genetik suatu bangsa ternak, dilakukan

penelitian tentang karakter genetik dan pendugaan jarak genetik dengan

pendekatan analisis morfometrik (Taylor et al. 1977) dan analisis molekuler seperti analisis DNA (Zhu et al. 2004). Analisa jarak genetik kelinci yang berasal dari delapan wilayah dengan mengukur 20 ukuran tulang bagian cranium,

mandibula dan gigi-geligi. Kelinci yang berasal dari Australia dan British Isles terlihat berbeda nyata, jarak morphometrik meningkat secara klinis pada kelinci di

bagian timur Australia dengan jarak geografik dari awal pemasukannya (Geelong,

Victoria) (Taylor et al. 1977).

Analisis DNA juga dapat menggambarkan hubungan kekerabatan antar

populasi ternak. Zhu et al. (2004) menggunakan lima lokus mikrosatelit (Sat3, Sat4, Sat7, Sat8 and Sat 12) untuk menganalisa keragaman genetik diantara 5

(lima) bangsa atau galur populasi kelinci lokal (galur kelinci Rex Vc-I (Vc-I),

galur kelinci Rex Vc-II (Vc-II), bangsa kelinci NZW (NZW), bangsa kelinci

Qingzilan (QZL), dan bangsa kelinci Japanese White (JAW). Hasil

penggambaran kelompok menampilkan populasi yang memiliki hubungan

terdekat adalah populasi kelinci Rex Vc-I dan VcII, diikuti oleh populasi JAW,

populasi QZL dan populasi NZW. Hal ini menjelaskan riwayat pembibitan

(34)

pembatas alam serta jarak geografik yang cukup jauh antara China dan New

Zealand.

Pertumbuhan Kelinci

Pada umur sebelum sapih, terutama pada umur lahir sampai dengan tiga

minggu, anak kelinci sangat bergantung pada produksi susu induknya. Menurut

McNitt dan Lukefahr (1990), bahwa rataan produksi susu induk harian

dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu harian kelinci Californian (CAL), New

Zealand White (NZW), Palomino (PAL) dan White Satin (WS) berturut-turut

sebesar 157.6 + 10.9 g, 136.7 + 10.2 g, 119.8 + 9.5 g, dan 126.8 + 10.3 g.

Produksi susu induk terus meningkat sampai hari ke-20 setelah beranak dan

selanjutnya menurun. Rataan bobot sapih pada umur empat minggu pada kelinci

CAL, NZW, PAL dan WS berturut-turut sebesar 503.69 g, 482.34 g, 401.97 g,

dan 457.00 g. Selama ini NZW dikenal lebih unggul dibandingkan CAL, tetapi

dalam penelitian ini terjadi hal yang berbeda karena perbedaan rumpun (strain)

dari galur (breed) yang dipergunakan berbeda, adanya interaksi lingkungan dan

galur kelinci, perbedaan dalam metodologi penelitian, atau kombinasi dari

faktor-faktor tersebut di atas. Prasetyo (1999) menerangkan rataan bobot badan lahir,

sapih (lima minggu) dan dewasa (20 minggu) pada kelinci Rex adalah 47.26 +

10.56 g, 503.61 + 140.47 g dan 2370.06 + 308.94 g, pada kelinci Satin adalah

53.72 + 11.60 g, 456.54 + 116.10 g, dan 2253.90 + 431.60 g. Menurut Raharjo et al. (1993), rataan bobot lahir kelinci Rex adalah 50.01 g/ekor dan bobot sapih umur lima minggu sebesar 584.33 g/ekor.

Yani dan Winaya (2007) melaporkan performa bobot sapih, dan bobot

dewasa kelinci New Zealand White (NZW), Rex (RR) dan Flemish Giant (FG)

yang dipelihara peternak anggota koperasi "AKUR" di kota Batu, Malang

berturut-turut sebesar 475.61 g dan 2721.00 g, 545.67 g dan 2771.00 g, serta

508.00 g dan 2348.00 g. Ditambahkan bahwa perbedaan performa bobot lahir dan

sapih dari kelinci NZW, RR dan FG tersebut karena peternak belum melakukan

seleksi terhadap ternaknya dan pengaruh rendahnya kualitas pakan yang

(35)

dicerminkan dengan bobot badan saat sapih, 8 minggu, 12 minggu dan 16

berturut-turut sebesar 502.1 + 117.5 g, 888.0 + 178.5 g, 1174.0 + 170.7 g dan

1531.4 + 189.7 g. Ditambahkan pertambahan bobot badan harian dari sapih-umur

8 minggu, 8-12 minggu, 12-16 minggu berturut-turut sebesar 18.2 + 5.6 g/hari,

10.3 + 4.6 g/hari, dan 9.2 + 3.6 g/hari. Pertambahan bobot harian kelinci Rex

tampaknya bervariasi, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain berbedanya

kondisi bibit kelinci, pemberian pakan dan lingkungan (Raharjo et al. 1995).

Pendugaan Kurva Pertumbuhan

Kurva pertumbuhan merupakan cerminan kemampuan suatu individu

untuk mengaktualisasikan diri dan sekaligus sebagai ukuran akan berkembangnya

bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi

lingkungan yang ada. Model matematik dari kurva pertumbuhan merupakan

hubungan fungsi perubahan bobot badan pada umur tertentu. Model matematik

ini sangat berguna untuk memperkirakan bobot dugaan dari kelompok ternak pada

umur tertentu.

Salah satu model matematis yang cukup baik dalam menduga kurva

pertumbuhan kelinci adalah model Gompertz (Blasco dan Gomez 1993; Piles et al. 2000; dan Larzul dan de Rochambeau 2004). Teori Gompertz telah ada sejak abad ke 18 atau tepatnya tahun 1825 (Myers 1990). Dijelaskannya bahwa

pertumbuhan sigmoid yang ditawarkan Gompertz dapat diterapkan pada berbagai

situasi pertumbuhan. Sebagai catatan bahwa model ini memiliki eksponensial

ganda. Oleh karenanya parameter A (bobot asimtot) merupakan pertumbuhan

yang terbatas. Penggunaan persamaan model Gompertz cenderung lebih umum

untuk dapat diterapkan ke dalam berbagai pertumbuhan mahluk hidup.

Model gompertz cukup baik untuk menduga kurva pertumbuhan pada

rumpun kelinci yang memiliki keragaman tinggi. Setelah dewasa kelamin,

peningkatan bobot badan dikarenakan peningkatan penimbunan lemak. Pada

kejadian seperti ini, mengakibatkan kurva pertumbuhan tidak mencapai titik

plateu dan bobot masih meningkat seiring bertambahnya umur. Larzul dan de

(36)

kelinci berdasarkan bobot badan dari yang terberat sampai teringan (L1 sampai

L10). Model Gompertz digunakan untuk menduga kurva pertumbuhan tersebut,

dari semua galur kelinci, titik belok (infleksi) terjadi pada umur 41.3 hari dan

yang paling lambat terjadi pada umur 52.6 hari. Bobot dewasa berkisar antara 2.9

kg untuk teringan (L10) sampai 5.2 kg untuk terberat (L1). Disimpulkan bahwa

seiring peningkatan laju pertumbuhan akan menurunkan umur potong.

Perbandingan rumpun kelinci seleksi dan tidak diseleksi atas laju

pertumbuhan menampilkan kurva pertumbuhan model gompertz yang sama (Piles

et al. 2000), artinya ternak seleksi memiliki kurva pertumbuhan yang sama dengan kontrol. Seleksi terhadap laju pertumbuhan mendorong dewasa kelamin

yang lebih dini jika pemotongan ditentukan berdasarkan bobot badan. Jika ternak

dipotong pada umur yang ditentukan, umur dewasa tidak berpengaruh. Larzul dan

du Rochambeau (2004) menyatakan bahwa pola pertumbuhan diwariskan kepada

turunannya, ternak yang memiliki tetua galur berbobot badan besar akan

menurunkan anak yang bobot badannya besar pula. Konsekuensi pada efisiensi

pakannya sebagaimana pola pertumbuhannya, keturunan dari pejantan berbobot

besar memiliki rasio konversi pakan yang rendah dibandingkan dengan keturunan

dari pejantan berbobot ringan, pola yang sama terjadi pada deposit lemak dan

tidak terjadi pada rasio daging/tulang.

Karkas dan Komponen Karkas

Perdagangan produk peternakan umum mengenal karkas, baik itu

kambing, domba, sapi, babi dan kelinci sebagai bagian-bagian dari tubuh ternak

setelah dibersihkan dari darah, kepala, keempat kaki bagian bawah, kulit, saluran

pencernaan, usus, saluran urine, tenggorokan, paru-paru, jantung, limpa, hati dan

jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian-bagian tubuh, sedangkan ginjal

sering dimasukkan sebagai karkas. Komponen-komponen karkas terdiri atas otot,

lemak dan tulang. Dari ketiga komponen itu, tulang sebagai kerangka tubuh

tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling

(37)

Hasil karkas seekor ternak dinyatakan dalam persentase, yaitu

perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong. Karkas dipengaruhi oleh

bobot potong, jenis kelamin, umur, bangsa, pakan, penyakit dan stres (cekaman)

serta keadaan ternak sebelum dipotong (Bowker et al. 1978).

Blasco et al. (1992) membagi karkas dalam potongan komersial, yaitu potongan kaki depan (Fore legs /FLW, termasuk sebagian otot bagian toraks),

bagian dada (Thoracic cage/TW, yaitu rusuk ke tujuh yang awal, tanpa otot bagian

fore legs), loin (Loin/LWW, termasuk dinding perut, dan rusuk setelah rusuk ke

tujuh), dan paha belakang (Hind legs/HLW, termasuk tulang sakral dan tulang

lumbar vetebrae setelah tulang lumbar vetebrae ke enam). Potongan ini

dikelompokkan lagi ke dalam potongan utama yang terdiri atas hind legs, loin dan

fore legs, dan potongan kedua adalah bagian toraks.

Lukefahr et al. (1981) melakukan pendugaan terhadap bobot karkas, yaitu bobot karkas kelinci (%) umumnya 50% dari bobot hidupnya (W) dan dapat

dihitung dari umur dengan persamaan 41.6 + 6.09 W. Sehingga apabila bobot

hidup kelinci 2 kg, maka bobot karkasnya adalah 41.6 + (6.09 x 2) = 53.7%.

Sartika et al. (1988) melaporkan persentase karkas, karkas tanpa lemak dan bobot yang dapat dimakan dari kelinci lokal yang dipotong pada bobot 1.5 kg, 1.75 kg

dan 2.0 kg berturut-turut sebesar 41.48%, 44.86% dan 48.38%; 38.39%, 40.97%

dan 44.93%; 46.02%, 49.61% dan 53.09%. Adapun bobot potong dan persentase

karkas kelinci Rex yang dipelihara peternak kelinci dengan skala pemilikan 25, 20

dan 15 ekor adalah 2661.2 g dan 49.6%; 2353.0 g dan 45.18%; 2729.1 g dan

49.2% (Raharjo et al. 1995)

Pemuliabiakan Ternak

Dalam pemuliaan yang dihadapi adalah sekelompok individu yang pada

umumnya merupakan individu-individu yang menunjukkan perbedaan, karena itu

yang dihadapi pemulia dalam hal ini adalah keragaman. Keragaman sifat

kuantitatif bersifat kontinyu, berkisar diantara nilai minimum dan maksimum dan

menggambarkan distribusi normal. Pengaruh genetik dan pengaruh lingkungan

keduanya penting dalam menghasilkan keragaman dalam fenotipik yang terlihat

(38)

Sifat Kuantitatif

Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur dengan satuan-satuan

seperti kilogram, liter, butir dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut juga dikenal

dengan sifat produksi dan reproduksi atau kedua-duanya disebut produktivitas

(Martojo 1992). Menurut Warwick et al. (1995), sifat kuantitatif dipengaruhi oleh beberapa (banyak) pasang gen dan perbedaan lingkungan. Gen-gen tersebut

terdapat dalam sel-sel jaringan dari berbagai bagian tubuh dan organ-organ vital

yang saling berinteraksi dalam proses biokimia faali dalam tubuh, maka tidak sulit

membayangkan bahwa jumlah gen yang berperanan dalam proses tumbuh

kembang ini dapat mencapai ratusan bahkan ribuan (Martojo 1992).

Beberapa sifat kuantitatif yang sangat penting karakteristiknya pada

kelinci adalah fertilitas, pertumbuhan dan efisiensi pakan, produksi susu,

kepadatan fur, ketahanan terhadap penyakit, dan kualitas karkas (Cheeke et al. 1987). Diterangkan oleh Lebas et al. (1986), bahwa pengaruh lingkungan yang mempengaruhi sifat kuantitatif antara lain iklim, habitat, kelembaban, aliran

udara, peralatan pemeliharaan, teknik pemuliabiakan, pemberian pakan, dan

faktor manusia (peternak).

Heritabilitas

Menurut Warwick et al. (1995), heritabilitas adalah proporsi keragaman total suatu sifat pada kelompok ternak yang merupakan penampilan dari gen-gen.

Ditambahkannya, bahwa heritabilitas dapat diperhitungkan dalam dua konteks

yaitu (a) secara luas, pengaruh keturunan termasuk semua pengaruh gen yaitu

aditif, dominan dan epistatis, dan (b)secara sempit, hanya taksiran bagian aditif

dari ragam keturunan dan dilambangkan dengan h2. Untuk banyak tujuan, h2

merupakan dugaan yang paling banyak berguna karena menunjukkan laju

perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk sifat tersebut dalam populasi.

Beberapa nilai heritabilitas sifat bobot badan kelinci ditampilkan pada

Pada Tabel 2. Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi antar populasi,

perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam

(39)

jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer dan Mackay 1996). Ditambahkan

oleh Khalil et al. (1986), bahwa adanya perbedaan nilai dugaan heritabilitas disebabkan oleh (a) metoda analisa yang digunakan untuk menduga, (b) ekspresi

genetik setiap bangsa di dalam populasi yang berbeda, (c) jumlah data yang

digunakan, dan (d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada setiap

[image:39.595.106.511.248.501.2]

data.

Tabel 2. Heritabilitas beberapa sifat produksi kelinci

Sifat Produksi Heritabilitas (persen)

Pustaka

Pertumbuhan – catatan litter

Rataan bobot per kelinci

21 hari 36.0 Leplege 1970

56 hari 65.0 Leplege 1970

Bobot total litter, 56 hari 0.0 Rollins et al. 1963

22.0 Lukefahr 1982

Penyesuaian untuk litter size 69.4 Lukefahr 1982

Pertumbuhan – catatan individu

1 hari 40.0 Bogdan 1970

30 hari 17.0 Rouvier 1981

56 hari 22.6 Mostageer

60 hari 54.0 Patras 1985

70 hari 38.0 Rouvier 1981

30-70 hari 44.0 Rouvier 1981

Sumber : Lukefahr 1988; Lukefahr dan Cheeke (1990).

Besaran nilai heritabilitas berkisar antara nol sampai satu. Suatu sifat

dengan nilai heritabilitas nol adalah sifat yang semua keragamannya disebabkan

pengaruh lingkungan, sedang nilai heritabilitas satu menunjukkan sifat kuantitatif

yang semua keragamannya disebabkan oleh keturunan (Warwick et al. 1995). Menurut Martojo (1992) nilai dugaan heritabilitas dapat dikelompokkan ke dalam

tiga kelompok, yaitu nilai heritabilitas 0.0 – 0.2 tergolong rendah, nilai

heritabilitas 0.2 – 0.4 tergolong sedang dan nilai lebih dari 0.4 tergolong tinggi.

Seleksi

Seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk memberi peluang pada

(40)

kesempatan bereproduksi (Noor 2000). Ditambahkannya, bahwa seleksi akan

meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi

gen-gen yang tidak diinginkan. Perubahan frekuensi gen-gen-gen-gen ini tentunya akan

mengakibatkan rataan fenotipik dari populasi terseleksi akan meningkat

dibandingkan rataan fenotipik populasi sebelumnya. Perbedaan antara rataan

performan dari ternak yang terseleksi dengan rataan performan populasi sebelum

diadakan seleksi disebut diferensial seleksi, yang dinyatakan dengan rumus

(Hardjosubroto 1994).

S = Xs- X

Keterangan : S = diferensial seleksi,

Xs = rataan fenotip populasi terseleksi

X = rataan fenotip sebelum seleksi

Perbedaan performan tidak seluruhnya diturunkan ke generasi selanjutnya,

proporsi diferensial seleksi yang dapat diwariskan hanya yang bersifat genetik

saja, yaitu sebesar angka pewarisannya (heritabilitas). Besarnya diferensial

seleksi yang diwariskan merupakan respon seleksi yang akan muncul pada

generasi berikutnya. (Hardjosubroto 1994; Falconer dan Mackay 1996).

Persamaan respon seleksi :

h

R= 2S

Keterangan : R = respon seleksi per generasi

h

2 = heritabilitas sifat yang diseleksi

S = diferensial seleksi

Kriteria seleksi bobot sapih pada kelinci Rex, Satin dan RS di Balitnak dan

kelinci Flemish Giant di Magelang dipilih karena memiliki nilai dugaan

heritabilitas yang cukup tinggi, yaitu antara 0.35-0.65 (Lukefahr 1988) dan

0.17-0.90 (Ibrahim et al. 2007). Lukefahr et al (1996) menyatakan kecenderungan meningkat secara genetik pada seleksi dengan kriteria bobot umur 70 hari selama

lima generasi sebesar 29.1 g per generasi. Menurut Blasco et al. (1996), terdapat kecenderungan peningkatan rata-rata sebesar 1.5% per generasi selama enam

(41)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bagian Kelinci, Balai Penelitian Ternak Ciawi

Bogor, Jawa Barat dilaksanakan pada bulan Januari 2005 sampai dengan

Desember 2006 dan di peternakan rakyat yang termasuk anggota Perhimpunan

Peternak Kelinci Magelang (PPKM), Kabupaten Magelang pada bulan Maret

sampai bulan Desember 2006.

Materi Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua kegiatan, yaitu kegiatan penelitian di

Bagian Kelinci, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor dan kegiatan penelitian di

Kabupaten Magelang.

Penelitian 1. "Kajian Potensi Genetik Ternak Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, Jawa Barat".

Kajian sumberdaya genetik kelinci yang dilakukan di Balai Penelitian

Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor meliputi karakterisasi morfometrik kelinci,

evaluasi performa produksi kelinci, dan evaluasi seleksi. Karakteristisasi

morfometrik dilakukan pada kelinci Rex (RR), Satin (SS), persilangannya (RS)

dan New Zealand White (NZ). Materi penelitian adalah sejumlah 23 ekor kelinci

NZ, 25 ekor kelinci RR, 22 ekor kelinci SS dan 21 ekor kelinci RS.

Performa produksi kelinci di Balitnak Ciawi, Bogor merupakan

penampilan produksi kelinci dari populasi dasar (P0) dan populasi turunan hasil

seleksi (F1) pada kelinci RR, SS dan RS. Materi penelitian diuraikan pada Tabel

3. Peralatan yang dipergunakan adalah borang produktivitas induk, pertumbuhan

anak dengan penimbangan bobot badan mingguan dari lahir sampai berumur 20

minggu. Adapun karakteristik karkas dan potongan komersialnya, sejumlah 17

ekor kelinci RR (8 ekor betina dan 9 ekor jantan), 15 ekor kelinci SS (6 ekor

betina dan 9 ekor jantan), dan 12 ekor kelinci RS (3 ekor betina dan 9 ekor

(42)

timbangan merk Quattro buatan Jerman skala 15 kg dengan skala terkecil 0.10 g,

serta alat tulis.

Pembibitan di Balitnak Ciawi, Bogor merupakan hasil kajian seleksi yang

dilakukan pada kelinci RR, SS dan RS. Data berasal dari pengamatan pada

populasi dasar (P0) dan populasi turunan hasil seleksi (F1) sebagaimana diuraikan

[image:42.595.122.504.248.412.2]

pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah kelinci RR, SS dan RS yang diamati pada populasi dasar dan turunan hasil seleksi F1

RR SS RS Uraian

P0 F1 P0 F1 P0 F1

Induk (ekor) 44 20 27 20 16 20

Pejantan (ekor) 9 5 9 5 9 5

Anak lahir (ekor) 290 189 143 207 139 78

Anak lepas sapih (ekor) 197 135 89 171 98 61

Anak umur 12 minggu (ekor) 82 83 46 70 45 37

Anak umur 16 minggu (ekor) 61 62 30 41 37 30

Kelinci populasi dasar (P0) kemudian diseleksi berdasarkan sifat jumlah

anak sekelahiran dan bobot sapih. Anak terseleksi berasal dari ternak yang

memiliki nilai pemuliaan 20 ekor tertinggi untuk betina dan 5 ekor tertinggi untuk

jantan dengan metode Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) menggunakan

program Prediction Estimation (PEST) menurut Groeneveld (1999).

Penelitian 2. "Kajian Potensi Genetik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Magelang, Jawa Tengah".

Kajian sumberdaya genetik kelinci yang dilakukan di peternak anggota

Perhimpunan Peternak Kelinci Magelang (PPKM), Kabupaten Magelang meliputi

karakterisasi morfometrik kelinci, evaluasi performa produksi kelinci, dan

evaluasi seleksi. Karakteristisasi morfometrik ternak kelinci di Magelang

dilakukan pada kelinci English Spot (ES) berjumlah 40 ekor, kelinci Flemish

Giant (FG) berjumlah 40 ekor, kelinci Rex (RR) berjumlah 40 ekor dan 25 ekor

(43)

meteran kain berskala terkecil 1 mm dan jangka sorong berskala 15 cm dengan

skala terkecil 0.01 mm, timbangan pegas berkapasitas 11 kg dengan skala terkecil

0,25 kg, borang dan alat tulis.

Performa produksi kelinci di Kabupaten Magelang merupakan pengamatan

pada 30 orang anggota PPKM dengan jumlah kelinci induk dan pejantan yang

diamati sebanyak 524 ekor. Kelinci FG sejumlah 271 ekor, kelinci ES sejumlah

83 ekor, kelinci NZ sejumlah 73 ekor dan kelinci RR sejumlah 97 ekor.

Pengelompokan kelinci dilakukan berdasarkan prakiraan umur, yaitu anak (30-60

hari), muda (100-150 hari) dan dewasa (≥ 150 hari). Peralatan yang dipergunakan

adalah borang produktivitas dan alat tulis.

Pembibitan di lapang dilakukan dengan pengamatan langsung pada 20

orang peternak anggota PPKM. Data teknis pemeliharaan bibit, sistem

perkawinan, sistem pembibitan, seleksi dan culling serta pencatatan diamati

sebagai kondisi sebenarnya pembibitan di lapang. Selanjutnya pengamatan lebih

mendalam dilakukan pada empat orang peternak kooperator yang menyatakan

bersedia secara sukarela untuk menyediakan induk, perkandangan pembibitan,

perkawinan terarah dan melakukan pencatatan produktivitas induk dan anak

sebagai dasar seleksi ternak. Catatan yang diamati meliputi produktivitas induk,

pejantan dan pertumbuhan individu anak berupa bobot badan mingguan dari lahir

sampai berumur 20 minggu.

Metode Penelitian

Penelitian 1. "Kajian Potensi Genetik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, Jawa Barat".

Karakterisasi Morfometrik

Karakterisasi morfometrik dilakukan pada kelinci RR, SS, RS dan NZ di

Balitnak dipilih berdasarkan umur, yaitu lebih dari 12 bulan berdasarkan catatan

induk dan pejantan yang ada. Pengamatan dilakukan pada ukuran kepala (panjang

dan lebar), telinga (panjang dan lebar), dada (lebar, dalam dan lingkar), panjang

tulang humerus, tulang radius-ulna, tulang femoris, tulang tibia, panjang badan dan lebar panggul. Ukuran-ukuran ini selanjutnya dapat memberi gambaran

(44)

Peubah yang Diamati

Peubah mofometrik diperoleh dengan melakukan pengukuran pada

bagian-bagian tubuh individu kelinci yang meliputi (Gambar 1) :

1) panjang kepala (1), adalah jarak antara titik tertinggi (pangkal telinga) sampai

titik terdepan tengkorak (ujung tulang hidung); diukur menggunakan pita ukur

(cm),

2) lebar kepala (2), adalah jarak antara titik penonjolan tengkorak kiri dan kanan,

diukur menggunakan jangka sorong (cm),

3) tinggi kepala (3), adalah jarak antara titik tertinggi tengkorak sampai titik

terendah rahang bawah; diukur menggunakan jangka sorong (cm),

4) lingkar dada (4), adalah lingkar rongga dada di belakang sendi bahu (os

scapula) menggunakan pita ukur (cm),

5) dalam dada (5), adalah jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada,

diukur dengan jangka sorong (cm),

6) lebar dada (6), adalah jarak antara kerangka dada dibelakang skapula kanan

dan scapula kiri diukur dengan menggunakan jangka sorong (cm),

7) panjang kaki depan dan belakang, adalah panjang kaki atas dan kaki bawah.

Panjang kaki depan bawah adalah panjangnya tulang Radius-ulna (7); panjang kaki depan atas adalah pa

Gambar

Tabel 2.  Heritabilitas beberapa sifat produksi kelinci
Tabel 3.  Jumlah kelinci RR, SS dan RS yang diamati pada populasi dasar dan turunan hasil seleksi F1
Gambar 1.  Kerangka tubuh kelinci.
Tabel 6.  Ukuran tubuh kelinci berdasarkan galur kelinci
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terdapat pengendalian sosial yang dilakukan oleh orang tua pada anak dalam menggunakan smartphone di rumah khususnya

Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas kasus penyakit atau masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara vertikal

b bahwa Peraturan Bupati Pacitan Nomor 12 Tahun 2012 tentang tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan • Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat

Berdasarkan hasil kuesioner maka aplikasi mengetik 10 jari berbasis multimedia interaktif ini dapat menunjang materi Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi yang

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terdapat beberapa kendala yang dapat dibuat sebagai saran untuk penelitian selanjutnya yaitu perlu dilakukan penambahan

Berdasarkan penelitian yang telah disusun dapat menggambarkan pengaruh positif dan negatif yang signifikan pada ke empat variabel yaitu, budaya organisasi, akuntabilitas,

(3) Undian nomor urut dan simbol/lambang Calon Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (Tujuh) hari sebelum hari dan tanggal

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TIK DALAM PENDIDIKAN BERBASIS HIGH ORDER THINGKING SKILL UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN PADA PROGRAM KEAHLIAN TEKNOLOGI