• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI PENGEMBANGAN USAHATERNAK KELINCI DI KECAMATAN CIAWI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT SKRIPSI VALENT FEBRILIANY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI PENGEMBANGAN USAHATERNAK KELINCI DI KECAMATAN CIAWI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT SKRIPSI VALENT FEBRILIANY"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PENGEMBANGAN USAHATERNAK KELINCI DI

KECAMATAN CIAWI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

SKRIPSI

VALENT FEBRILIANY

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

Valent Febriliany. D34104072. 2008. Potensi Pengembangan Usahaternak Kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing : Ir. Dwi Joko Setyono, MS

Pembimbing Utama : Ir. Lucia Cyrilla ENSD, MSi.

Ternak kelinci merupakan jenis ternak yang mempunyai banyak keunggulan seperti mampu berproduksi dengan cepat dan menghasilkan banyak anak, mudah dan sederhana dalam pemeliharaannya serta tidak memerlukan lahan yang luas. Daging kelinci mempunyai keunggulan dibandingkan daging asal ternak lainnya yaitu rendah kadar kolesterol, tinggi protein, serta seratnya pendek dan halus. Fur (kulit-bulu) dan kotorannya pun mempunyai kualitas yang lebih baik sehingga furnya dapat dijadikan bahan kerajinan dan kotorannya dapat dijadikan pupuk organik yang bernilai ekonomis tinggi. Kelinci juga dapat dijual langsung sebagai fancy dan hewan percobaan di laboratorium. Hal ini menunjukkan bahwa usahaternak kelinci mempunyai potensi besar untuk dikembangkan.

Tujuan penelitian ini adalah; 1) menganalisis potensi peternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor dilihat dari perkembangan jumlah peternak kelinci lima tahun ke depan, karakteristik peternak, dan tatalaksana dalam budidaya ternak kelinci, 2) menganalisis perkembangan jumlah ternak kelinci lima tahun ke depan di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor, dan 3) menganalisis pendapatan yang diperoleh peternak dari usahaternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat pada bulan Oktober 2007 dengan desain survei.Penarikan sampel dilakukan dengan cara disproposional stratified random sampling dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 rumah tangga peternak. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, proyeksi jumlah peternak kelinci dan ternak kelinci, serta analisis pendapatan.

Rata-rata perkembangan jumlah peternak kelinci di Kecamatan Ciawi pada skenario I, II, dan III masing-masing sebesar 0.32, 3.32, dan 6.26 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah peternak kelinci akan terus meningkat dengan meningkatnya laju petumbuhan penduduk, yaitu sampai tahun kelima pada skenario I, II, dan III masing-masing mencapai 63, 73, dan 84 rumah tangga peternak.

Berdasarkan karakteristik peternak diketahui bahwa mayoritas peternak di tiga skala usaha berada pada usia produkktif yaitu 18-45 tahun, tingkat pendidikan masih rendah, dan belum pernah mengikuti pendidikan non formal serta pengalaman berternak kurang atau sama dengan lima tahun. Sebesar 35.71 persen peternak bekerja sebagai buruh tak tetap pada skala kecil, peternak kelinci serta buruh tani/ternak pada skala menengah, dan seluruh peternak pada skala besar menjadikan usahaternak kelinci sebagai usaha pokok mereka. Mayoritas kepemilikan jenis ternak dan tujuan peternak berternak kelinci pada skala kecil dan menengah adalah kelinci non hias dan sebagai tambahan pendapatan sedangkan pada skala besar adalah kelinci non hias dan hias serta sudah dikomersilkan lebih lanjut.

Umumnya para peternak memberikan pakan kelinci berupa rumput lapang, dan pakan tambahan (konsentrat serta buah dan daun pepaya). Bahan kandang yang

(3)

digunakan berupa bambu dan kawat dengan jarak dari rumah kurang dari 10 meter. Rata-rata lama kelinci bunting di lokasi penelitian adalah 30 hari dengan jumlah anak yang dilahirkan 6-8 ekor. Umumnya peternak memandikan dan mencukur bulu kelinci hanya pada kelinci hias berbulu panjang dan pemotongan kuku tidak dilakukan. Penyakit yang sering terjadi enteritis complex dan scabies, namun penanganan oleh peternak terhadap penyakit tersebut sudah cukup baik. Kelinci yang dibudidayakan peternak dijual ke pedagang pengumpul yang berupa kelinci anak.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ternak kelinci betina dan kelinci non hias lebih banyak dipelihara. Ternak kelinci di lokasi penelitian mempunyai liter size 36 ekor per tahun. Rata-rata perkembangan populasi ternak kelinci yang dipertahankan di kecamatan tersebut sebesar 32.70 per tahun dan sampai tahun kelima mencapai 4 265ekor.

Rata-rata pendapatan keluarga dan nilai R/C ratio dari usahaternak kelinci sebesar Rp 1 486 672.00 per tahun dan 1.76 pada skala kecil, Rp 4 693 729.00 per tahun dan 1.93 pada skala menengah, serta Rp 10 501 103.00 per tahun dan 1.75 pada skala besar. Setelah upah tenaga kerja keluarga dimasukkan ke dalam analisis pendapatan maka pada skala kecil mengalami kerugian sebesar Rp 239 528.00 per tahun dengan R/C ratio menjadi 0.93 sedangkan pada skala menengah dan skala besar mengalami keuntungan masing-masing sebesar Rp 1 820 929.00 per tahun dan Rp 5 573 503.00 per tahun serta R/C ratio masing-masing menjadi 1.23 dan 1.29. Namun demikian, usahaternak kelinci pada skala kecil masih dapat terus berjalan karena biaya variabelnya masih dapat tertutupi. Hal tersebut menunjukkan bahwa usahaternak kelinci di tiga skala usaha layak dijalankan.

(4)

ABSTRACT

The Potency of Rabbit Raising Development In Ciawi Sub-District, Bogor Sub-Province, West Java

Febriliany, V., D. J. Setyono, and L. Cyrilla ENSD

The objective of this research were: 1) to analyze the potency of rabbit raisers in Ciawi Sub-District, Bogor Sub-Province looked by amount of rabbit raisers development in the next five years, rabbit raiser characteristics, and the management of rabbit raising 2) to analyze amount of rabbit development in Ciawi Sub-District, Bogor Sub-Province, 3) to analyze the amount of income from rabbit raising in Ciawi Sub-District, Bogor Sub-Province. This research held in October 2007 in Ciawi Sub-District, Bogor Sub-Province. The data analyzed using statistic descriptive analysis, amount of rabbit raisers and rabbit projection analysis, and income analysis. Amount of rabbit raisers development in Ciawi Sub-District in the scenario I, II, and III will reach 63, 73, and 84 farmer household each in the next five years. Majority of them were between 18-45 years old and they have been doing the management of rabbit raising quite well. Amount of rabbit in the next five years will reach 4 265 tail and the non exotic rabbits are more potential developed than exotic rabbit. Average families income and R/C ratio value of rabbit raising presents the amount of Rp 1 486 672.00 annually and 1.76 in the small scale, Rp 4 693 729.00 annually and 1.93 in the middle scale, and Rp 10 501 103.00 annually and 1.75 in the big scale meanwhile it was with families labor presents the amount of (Rp 239 528.00)and 0.93 in the small scale, Rp 1 820 929.00 annually and 1.23 in the middle scale, and Rp 5 573 503.00 annually and 1.29 in the big scale. It indicated that the rabbit raising in all business scale were profitable so that the rabbit raising in Ciawi Sub-District were potential to be developed as profitable business.

(5)

POTENSI PENGEMBANGAN USAHATERNAK KELINCI DI

KECAMATAN CIAWI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

VALENT FEBRILIANY D34104072

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

POTENSI PENGEMBANGAN USAHATERNAK KELINCI DI

KECAMATAN CIAWI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

Oleh Valent Febriliany

D34104072

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 5 Mei 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Dwi Joko Setyono, MS Ir. Lucia Cyrilla ENSD, MSi.

NIP. 131 849 391 NIP. 131 760 916

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr NIP.131 955 531

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Februari 1986 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Soesfivento dan Ibu Sumarni.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 16 pagi Cipete Utara, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 12 Jakarta, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 46 Jakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Industri Peternakan (HIMASEIP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Potensi Pengembangan Usahaternak Kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat ” yang disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini berisi tentang usahaternak kelinci yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Potensi tersebut dilihat berdasarkan potensi peternak dan perkembangan ternak kelinci yang ada di Kecamatan Ciawi serta pendapatan yang diperoleh peternak kelinci.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kelemahannya, karena itu penulis mohon maaf atas kelemahan tersebut. Adanya saran dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan hendaknya mempunyai andil dalam pembinaan dan pengembangan usahaternak kelinci di Indonesia.

Bogor, Mei 2008

(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... iii RIWAYAT HIDUP ... iv KATA PENGANTAR ... v DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan ... 2 Kegunaan Penelitian ... 3 KERANGKA PEMIKIRAN ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Budidaya Ternak Kelinci ... 6

Pemilihan Bibit Ternak ... 6

Pakan ... 6

Perkandangan ... 7

Perkembangbiakkan ... 8

Penyakit Kelinci ... 9

Potensi Ternak Kelinci ... 10

Manfaat Ternak Kelinci ... 10

Pasar ... 11

Pengembangan Peternakan Kelinci ... 12

Kendala Pengembangan Peternakan Kelinci ... 14

Analisis Pendapatan ... 14

METODE ... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Populasi dan Sampel ... 16

Desain Penelitian ... 16

Data dan Instrumentasi ... 16

Analisis Data ... 17

Analisis Statistik Deskriptif ... 17

Proyeksi Jumlah Peternak Kelinci ... 17

Proyeksi Ternak Kelinci ... 18

Analisis Pendapatan ... 18

(10)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Potensi Peternak ... 23

Perkembangan Jumlah Peternak Kelinci ... 23

Kepemilikan Ternak Kelinci ... 24

Karakteristik Peternak ... 25

Tatalaksana Budidaya Ternak Kelinci ... 28

Pemilihan Bibit ... 28

Pakan ... 28

Perkandangan ... 30

Perkawinan dan Reproduksi ... 32

Perawatan Kesehatan Kelinci ... 35

Penyakit Kelinci ... 36

Pemasaran ... 37

Sumberdaya Ternak Kelinci ... 39

Populasi Ternak Kelinci ... 39

Produktivitas Ternak Kelinci ... 40

Analisis Pendapatan ... 42

Penerimaan Usahaternak Kelinci ... 43

Biaya Usahaternak Kelinci ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

UCAPAN TERIMA KASIH ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Ciri-Ciri Kelinci yang Sehat ... 6

2. Data Biologi Kelinci ... 9

3. Model Analisis Pendapatan ... 18

4. Keadaan Agroklimat Kecamatan Ciawi ... 21

5. Keadaan Penduduk Kecamatan Ciawi ... 22

6. Peningkatan Jumlah Penduduk dan Peternak Kelincidi Kecamatan Ciawiselama Lima Tahun (Orang/Tahun) ... 24

7. Jumlah Responden dan Rata-Rata Kepemilikan Ternak pada Tiga Skala Usaha ... 24

8. Karakteristik Peternak pada Tiga Skala Usaha ... 25

9. Distribusi Peternak Berdasarkan Pakan yang Diberikan untuk Kelinci ... 29

10. Karakteristik Kandang Kelinci pada Tiga Skala Usaha ... 31

11. Distribusi Peternak Berdasarkan Jenis Tempat untuk Pakan Tambahan ... 32

12. Distribusi Peternak Berdasarkan Waktu yang Dibutuhkan untuk Perkawinan Betina di Kandang Jantan ... 33

13. Distribusi Peternak Berdasarkan Pengetahuan tentang Gagal Bunting pada Tiga Skala Usaha ... 34

14. Distribusi Peternak Berdasarkan Waktu Deteksi Kebuntingan Kelinci ... 34

15. Distribusi Peternak Berdasarkan Perawatan yang Dilakukan untuk Menjaga Kesehatan Kelinci ... 36

16. Kisaran Harga Kelinci di Tingkat Peternak di Kecamatan Ciawi ... 38

17. Populasi Ternak Kelinci di Responden Peternak Kecamatan Ciawi (Ekor) ... 39

18. Koefisien Teknis Ternak Kelinci di Kecamatan Ciawi ... 41

19. Perkembangan Populasi Ternak Kelinci selama Lima Tahun (Ekor) ... 42

20. Rata-Rata Harga Ternak Kelinci di Kecamatan Ciawi ... 43

21. Rata-Rata Penerimaan Usahaternak Kelinci per Tahun pada Tiga Skala Usaha ... 44

22. Rata-Rata Biaya Usahaternak Kelinci per Tahun pada Tiga Skala Usaha ... 47

(12)

23. Rata-Rata Pendapatan Keluarga dan Nilai R/C Ratio dari

Usahaternak Kelinci pada Tiga Skala Usaha (Rp/Tahun) ... 48 24. Rata-Rata Pendapatan Usaha dan Nilai R/C Ratio dari Usahaternak Kelinci pada Tiga Skala Usaha (Rp/Tahun) ... 50

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Potensi Pengembangan Usahaternak Kelinci

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Proyeksi Populasi Ternak Kelinci di Kecamatan Ciawi selama

Lima Tahun (Ekor) ... 55 2. Contoh Perhitungan Proyeksi Ternak Kelinci ... 60 3. Gambar Kelinci Anak Non Hias dan Hias ... 61 4. Gambar Kandang, Tempat Pakan Hijauan, dan Kotak Sangkar .... 61

(15)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Dewasa ini bidang peternakan memegang peranan penting dalam pembangunan nasional Indonesia. Bidang peternakan memiliki kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu berupa komoditas utama seperti daging, telur, susu, maupun produk sampingan berupa kotoran. Salah satu jenis ternak yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah ternak kelinci.

Ternak kelinci bila dipelihara secara intensif dapat beranak sampai 10 kali setahun dengan kemampuan menghasilkan anak 4-10 ekor per kelahiran, sehingga usahaternak ini cukup menjanjikan keuntungan. Ternak ini mudah dan sederhana dalam pemeliharaannya serta tidak memerlukan lahan yang luas, sehingga usahaternak kelinci masih banyak diusahakan sebagai usaha sambilan. Selain itu daging kelinci mempunyai keunggulan dibandingkan daging asal ternak lainnya yaitu rendahnya kadar kolesterol, tinggi protein, serta seratnya pendek dan halus sehingga cocok untuk dikonsumsi oleh anak-anak hingga orang dewasa. Kelinci juga dipelihara secara komersial untuk diambil daging, fur (kulit-bulu), serta untuk fancy dan hewan percobaan di laboratorium. Hal ini memberikan nilai tambah bagi komoditas ternak kelinci untuk dikembangkan.

Namun, upaya pengembangan ternak kelinci tampaknya belum maksimal, mengingat jumlah peternak maupun populasi kelinci tidak menunjukkan perkembangan berarti. Hal ini disebabkan kurang diarahkannya penjajagan kepastian pasar terlebih dahulu, kurang populernya daging kelinci di masyarakat, dan adanya anggapan dari masyarakat bahwa mereka akan mengembangkan usahaternak kelinci jika menguntungkan dibandingkan usaha lain.

Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor merupakan daerah yang mempunyai populasi kelinci cukup besar yaitu sebesar 417 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2006). Selain itu, daerah ini merupakan pusat pengembangan ternak kelinci yang tepatnya berada di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Namun begitu, usahaternak di kecamatan ini belum berkembang pesat dibandingkan dengan daerah lain seperti Lembang dan Magelang yang menjadi sentra peternakan kelinci dan yang sudah mampu mengekspor komoditasnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan

(16)

dikaji potensi pengembangan usahaternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Perumusan Masalah

Melihat begitu banyak keunggulan yang dimiliki ternak kelinci, maka diduga ternak kelinci berpotensi untuk dikembangkan. Namun dalam kenyataannya budidaya ternak kelinci belum berkembang. Kurangnya minat masyarakat akan budidaya ternak kelinci mengakibatkan jarangnya usahaternak kelinci di Indonesia. Sentra usahaternak kelinci yang berkembang pesat berada di Lembang dan Magelang, sedangkan di daerah lain seperti Kabupaten Bogor belum berkembang seperti di kedua daerah tersebut.

Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor merupakan daerah yang memiliki populasi kelinci cukup besar. Namun demikian, populasi yang ada belum dapat memenuhi permintaan pasar akan kelinci hidup secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya peternak, dana, dan ketersediaan bibit.

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana potensi peternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor dilihat dari perkembangan jumlah peternak kelinci lima tahun ke depan, karakteristik peternak, dan tatalaksana dalam budidaya ternak kelinci?

2. Bagaimana perkembangan jumlah ternak kelinci lima tahun ke depan di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor ?

3. Berapa besar pendapatan yang diperoleh peternak dari usahaternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis potensi peternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor dilihat dari perkembangan jumlah peternak kelinci lima tahun ke depan, karakteristik peternak, dan tatalaksana dalam budidaya ternak kelinci.

2. Menganalisis perkembangan jumlah ternak kelinci lima tahun ke depan di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

(17)

3. Menganalisis pendapatan yang diperoleh peternak dari usahaternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.

Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna :

1. Sebagai informasi bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam mendukung perencanaan pengembangan usahaternak kelinci.

2. Sebagai informasi bagi masyarakat yang tertarik dan akan beternak kelinci. 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi investor dalam menginvestasikan modalnya

ke dalam usahaternak kelinci.

(18)

KERANGKA PEMIKIRAN

Usahaternak kelinci di Indonesia umumnya masih merupakan usaha yang bersifat sambilan dengan pemeliharaan yang masih sederhana. Usahaternak kelinci bila dikelola dengan baik hasilnya cukup menjanjikan. Namun begitu, usahaternak kelinci di Indonesia belum berkembang dan masih kurang perhatian dibandingkan dengan usahaternak lainnya. Sentra-sentra peternakan kelinci di Indonesia masih terbatas di daerah tertentu saja. Hal ini disebabkan karena kurangnya minat masyarakat akan budidaya ternak kelinci.

Usahaternak kelinci mempunyai beberapa potensi yang dapat membuat usaha ini layak dikembangkan. Potensi tersebut dapat dilihat dari potensi peternak, sumberdaya ternak kelinci, dan pendapatan yang diterima dari usahaternak kelinci. Potensi peternak dapat menunjang keberhasilan usahaternak kelinci, untuk itu perlu dianalisis mengenai perkembangan jumlah peternak kelinci, karakteristik peternak, dan tatalaksana budidaya ternak kelinci.

Usahaternak kelinci perlu didukung dengan sumberdaya ternak kelinci yang ada di lokasi penelitian, untuk menggambarkan komposisi ternak dan melihat perkembangan populasi ternak kelinci lima tahun ke depan perlu dianalisis mengenai populasi dan produktivitas ternak kelinci di lokasi penelitian.

Usahaternak kelinci yang dijalankan menguntungkan dan efisien bisa diketahui dari pendapatan yang diperoleh dari usahaternak kelinci, untuk itu perlu dianalisis mengenai pendapatan dan R/C ratio yang diperoleh dari usahaternak kelinci. Tahapan dari pembahasan dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

Keterangan : = Tidak diteliti

= Ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Potensi Pengembangan Usahaternak Kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat

Sumberdaya

Ternak Kelinci Analisis Pendapatan dan R/C Ratio

Karakteristik

Peternak Tatalaksana Budidaya Ternak Kelinci Populasi

Kelinci Ternak Kelinci Produktivitas SDA Potensi

Peternak

Perkembangan Jumlah Peternak

Kelinci

(20)

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Ternak Kelinci Pemilihan Bibit Ternak

Dalam pemilihan bibit ternak sebaiknya dipilih bibit ternak yang baik. Bibit ternak yang baik berasal dari keturunan, penampilan produksi, reproduksi, dan kesehatannya yang baik. Data dan informasi tersebut dapat diketahui dari recording dan brosur yang dikeluarkan pembibit (Rahardi, 1993). Menurut Sarwono (2002), bibit kelinci yang baik memiliki tato pada telinga serta sertifikat kelahiran. Hal tersebut menunjukkan bahwa breeder jujur dalam mempertanggungjawabkan kemurnian bibitnya.

Menurut Sarwono (2002), tujuan usahaternak dapat dicapai bila bibit ternak sehat, produktif dan mampu menghasilkan banyak anak, karakteristik dan ukurannya harus sesuai dengan standar ras yang berlaku, serta usia bibit harus masih muda dan keadaannya masih produktif. Ciri-ciri kelinci yang sehat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri-Ciri Kelinci yang Sehat

Bagian Tubuh Karakteristik

Kepala Seimbang dengan ukuran badannya.

Telinga Tegak, bersih, tebal, lebar, panjang, dan tampak seimbang. Mata Bulat bercahaya, bersih, pandangan mata cerah dan jernih. Hidung, moncong, dan mulut Kering dan bersih.

Kaki Kuat, kokoh, berkuku pendek, dan lurus tidak bengkok. Badan Bulat, berdada lebar, dan padat.

Bulu Bersih, licin, halus, mengkilat, dan rata.

Ekor Tegak, lurus ke atas, menempel pada punggung. Dubur Bersih, kering, dan tidak terdapat tanda bekas diare. Sumber : Sarwono, 2002

Pakan

Menurut Sarwono (2002), pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan ternak kelinci ditentukan dari jenis, jumlah, dan mutu pakan yang diberikan. Pakan yang diperoleh kelinci tidak bersaing dengan manusia atau ternak industri seperti ayam. Dalam peternakan kelinci intensif, selain hijauan sebagai pakan pokok diberikan juga pakan kering seperti konsentrat, hay, dan biji-bijian sebagai pakan tambahan.

(21)

Pakan hijauan di peternakan kelinci intensif diberikan sekitar 60-80 persen dan sisanya konsentrat, ada juga yang memberikan 60 persen konsentrat dan sisanya pakan hijauan. Menurut Putra dan Budiana (2007), hijauan berupa jakung (Gallinsoga parvilora) sangat baik untuk kelinci karena kandungan protein dan serat kasarnya sangat tinggi. Hay biasa digunakan ketika hijauan segar sukar diperoleh karena kemarau panjang. Pemberian hay 100 persen dilakukan bila kelinci diare, karena pada saat itu hijauan dihentikan. Biji-bijian berfungsi sebagai makanan penguat yang biasa diberikan pada kelinci bunting dan sedang menyusui. Konsentrat pada ternak kelinci berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi pakan.

Pemberian pakan pada ternak kelinci sebaiknya yang disukai, mudah didapat, tersedia secara kontinyu, harganya relatif murah, dan mengandung nutrisi yang cukup untuk kebutuhan hidup kelinci. Selain itu air minum untuk kelinci harus bersih, segar, dan tidak tercemar penyakit.

Perkandangan

Menurut Rahardi (1993), kandang yang baik memiliki ciri-ciri sirkulasi udara lancar, lantai tidak lembab, atap tidak kotor, tiang penyangga harus kokoh dan cukup lama daya tahannya, sederhana dan murah, disesuaikan dengan jenis ternak, dapat melindungi ternak dari pengaruh kurang menguntungkan, dan dapat mempermudah penanganan ternak.

Menurut Sarwono (2002), bentuk dan ukuran kandang yang akan dibangun sebaiknya memperhatikan kemudahan dalam bekerja, mengontrol, dan kehematan waktu dan tenaga dalam pengelolaannya, sehingga kandang yang baik akan menentukan keberhasilan peternakan karena berperan pada stabilitas kesehatan dan produktivitas kelinci. Lokasi kandang yang baik harus mendapat sinar matahari, bersuhu sejuk, memiliki ventilasi sempurna, tempatnya kering, lingkungan dan suasana tenang, serta tidak jauh dari rumah.

Berdasarkan penempatannya, kandang kelinci dibedakan atas kandang di dalam ruangan, kandang di luar ruangan, dan kandang yang bisa dipindah-pindah. Kandang di dalam ruangan adalah kandang yang ditempatkan di dalam bangunan besar yang tidak membutuhkan atap perlindungan, kandang ini biasa digunakan untuk perusahaan besar yang beternak kelinci sebagai usaha pokok. Kandang di luar ruangan adalah kandang yang diletakkan di tempat terbuka yang memerlukan atap

(22)

dan dinding yang konstruksinya dapat melindungi kelinci dari lingkungan sekitar, kandang ini biasa dimiliki oleh peternakan kecil yang memelihara kelincinya sebagai usaha sambilan. Kandang yang bisa dipindah-pindah biasa diletakkan di pekarangan dan sewaktu-waktu dapat dimasukkan ke dalam rumah.

Kandang berdasarkan pengelolaannya dapat dibedakan menjadi kandang battery, postal, dan ranch. Kandang battery adalah kandang yang tiap satu ruangannya hanya diisi satu ekor kelinci. Kandang ini biasa digunakan bagi induk untuk melahirkan dan mengasuh anak, untuk mengawinkan betina yang sewaktu-waktu dimasukkan ke kandang jantan, dan untuk tempat pembesaran secara berkelompok hingga anak kelinci lepas sapih. Kandang postal adalah kandang yang tiap ruangannya diisi beberapa kelinci. Kandang ini diisi untuk anak kelinci lepas sapih atau kelinci yang seumur dan besarnya seragam, jenis kelamin dan rasnya pun serupa. Kandang ranch adalah kandang yang ruangannya terbagi-bagi menjadi tempat tidur dan tempat bermain. Kandang ini cocok untuk pemeliharaan kelinci dengan tujuan hobi atau ternak hias.

Perkembangbiakan

Menurut Sarwono (2002), kelinci sampai umur lima tahun masih berproduksi dengan baik dengan manajemen pemeliharaan yang baik. Kelinci betina yang siap kawin mempunyai tanda-tanda birahi seperti sering gelisah, sering menggosok-gosokan dagunya pada sesuatu atau sesama betina, vulvanya basah dan berwarna pink atau merah.

Perkawinan kelinci baik dilakukan pada malam hari, pagi atau sore hari, karena pada saat itu suhu udara sejuk, dan itu merupakan kondisi terbaik untuk setiap aktivitas kelinci. Seekor pejantan ideal mampu melayani sepuluh ekor betina, tetapi idealnya lima ekor betina dicampur dengan satu ekor jantan di dalam satu ruang kandang koloni.

Kebuntingan pada kelinci dapat diamati dengan memperhatikan nafsu makannya yaitu bila badan kelinci bertambah besar dan nafsu makan semakin tinggi, dapat dipastikan kelinci tersebut bunting. Selama bunting pakan yang diberikan sebaiknya ditingkatkan, air minum pun jangan sampai kurang, kandang harus dalam suasana tenang, serta sanitasi dan lingkungan harus baik. Hal ini dilakukan untuk

(23)

membantu pertumbuhan janin dan menjaga kesehatan lingkungan, serta mencegah timbulnya keguguran akibat stress. Data biologi kelinci disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Biologi Kelinci

Data Biologi Karakteristik

Lama hidup 5-10 tahun

Lama produksi 1-3 tahun

Lama bunting 28-35 hari

Lama penyapihan 6-8 minggu

Umur dewasa 4-10 bulan

Umur dikawinkan 6-12 bulan

Kawin sesudah beranak Satu minggu setelah anak disapih

Siklus birahi Sekitar dua minngu

Jumlah anak lahir 4-10 ekor

Bobot dewasa Sangat bervariasi, tergantung ras dan jenis Sumber : Sarwono, 2002

Penyakit Kelinci

Menurut Sarwono (2002), mortalitas kelinci akibat penyakit cukup tinggi yaitu antara 15-40 persen terjadi dari masa kelahiran hingga penyapihan. Faktor penyebabnya adalah sanitasi kandang jarang diperhatikan, pakan yang diberikan berkualitas rendah, volume pakan kurang, air minum kotor atau kurang, kekurangan zat nutrisi (protein, vitamin, dan mineral), tertular kelinci lain yang terserang penyakit, perubahan cuaca, dan ketidaktahuan peternak mengenai penyakit kelinci.

Kelinci yang sakit mempunyai gejala seperti lesu, nafsu makan kurang, mata sayu, dan suhu badan naik turun, kelinci yang menunjukkan gejala seperti itu sebaiknya dipisahkan di kandang karantina untuk dirawat terpisah. Menurut Farrell dan Raharjo (1984), beberapa penyakit yang sering menyerang kelinci yang menimbulkan kematian antara lain enteritis complex, pasteurellosis, young doe syndrome, scabies, dan coccidioses. Penyakit lain yang biasa menyerang kelinci adalah pilek, sembelit, pneumonia, kudis, kanker telinga, ringworm, favus, radang mata, cacingan, kaki bengkok, makan bulu, dan kanibal (Sarwono, 2002). Berdasarkan hasil survei Dewi (2006), tingkat kematian anak tertinggi disebabkan karena penyakit seperti diare, kembung, dan kudis.

(24)

Hal yang dilakukan peternak kelinci untuk membebaskan kelinci dari penyakit adalah dengan cara mengendalikan penyakit. Cara ini dapat dilakukan dengan pemberian vaksin yaitu bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau dimatikan dan dipakai sebagai antibodi sehingga ternak kebal terhadap suatu penyakit tertentu (Rahardi, 1993).

Potensi Ternak Kelinci Manfaat Ternak Kelinci

Manfaat dari beternak kelinci diantaranya :

1. Sebagai sumber pangan. Menurut Satrio (2000), di Jawa Barat terutama di dataran tinggi seperti Lembang, daging kelinci diolah dalam bentuk sate kelinci. Selain itu kelinci dapat diolah menjadi sosis, nugget, bakso, dendeng, abon, dan lain-lain.

2. Sebagai penghasil kulit-bulu. Menurut Sumadia dan Rossuartini (2003), kelinci Rex dan kelinci Satin menghasilkan kulit-bulu yang berkualitas baik, indah, menarik, dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kulit kelinci banyak dimanfaatkan untuk pembuatan kerajinan interior mobil, boneka, mainan anak-anak, selendang, tas wanita, aksesoris rambut, sepatu bayi, topi, mantel, dan sarung tangan.

3. Sebagai ternak kesayangan. Jenis kelinci hias eksotis mempunyai bentuk dan ukuran tubuh kecil, lucu, serta warna bulu indah, tebal, dan lembut. Ras kelinci hias seperti Angora, Lyon, Mini Rex, Lops, Fuzzy, Dutch, dan lain-lain.

4. Sebagai hewan percobaan. Ternak kelinci banyak digunakan oleh perguruan tinggi, farmasi, dan lembaga-lembaga penelitian. Ras kelinci yang biasa digunakan adalah New Zealand White.

5. Sebagai pupuk. Kelinci menghasilkan pupuk bermutu tinggi untuk produk sayuran dan tanaman hias terutama yang ditanam dalam pot.

Menurut Abidin (2003), ternak kelinci memiliki karakteristik yang menguntungkan antara lain : rasa dagingnya lezat dan bergizi tinggi; kelinci dapat hidup dengan kondisi pakan seadanya, misalnya limbah sayuran dari pasar atau limbah pertanian; tidak memerlukan lahan yang luas dan pembuatan kandang yang mahal; cepat berkembang biak; saat dewasa kelamin (umur 4-6 bulan) dapat melahirkan sampai 10 kali dalam satu tahun dengan jumlah perkelahiran 4-12 ekor;

(25)

tidak ada agama apapun yang melarang umatnya untuk mengkonsumsi daging kelinci; selama kandang dalam keadaan bersih dan kondisi pakan tercukupi, kelinci tidak mudah terserang penyakit; kulit-bulu kelinci dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku aneka kerajinan; kotoran dan urin kelinci merupakan pupuk kandang yang tinggi unsur hara; pertumbuhan kelinci tidak kalah dari pertumbuhan ayam broiler.

Menurut Sarwono (2002), kelinci memiliki potensi besar sebagai ternak penghasil daging. Secara teoritis, sepasang induk kelinci dapat menghasilkan 80 kg daging dalam satu tahun. Menurut Sumadia dan Rossuartini (2003), kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging yang potensial, karena kandungan lemak dan kolesterol yang relatif rendah dibandingkan dengan daging yang berasal dari ternak lain. Menurut Imam (2006), kadar kolesterol kelinci sekitar 164 mg/100 gr daging, sedangkan ayam, sapi, domba, dan babi berkisar 220—250 mg/100 gr daging dan kandungan proteinnya mencapai 21 persen sementara ternak lain hanya 17-20 persen. Dengan demikian kelinci mempunyai peluang untuk dikembangbiakkan sebagai ternak penghasil daging sekaligus menambah penghasilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.

Pasar

Menurut Rahardi (1993), prospek pasar dapat dilihat dari produk usaha peternakan yang terus-menerus memiliki nilai pasar yang tinggi, permintaan pasar tinggi (dalam dan luar negeri), dan sedang dibutuhkan oleh pasar. Pasar adalah terminal terakhir produk suatu usaha bisnis yang dapat dinikmati oleh konsumen. Seorang pengusaha sebelum mendirikan usaha bisnisnya perlu perencanaan pasar terlebih dahulu sehingga potensi pasar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Menurut Sumiarti (2004), kegiatan yang penting dalam beternak kelinci yaitu memasarkan hasilnya yang berupa kelinci anak sebagai binatang kesayangan, bibit kelinci yang dijual sebagai induk dan pejantan, kelinci afkir, kelinci yang produktif dijual kepada perusahaan pengolahan hasil untuk dijadikan abon, dendeng, bakso, sosis, nugget, tas, topi, dan kerajinan lainnya, kotoran dan urin sebagai pupuk tanaman. Menurut Imam (2006), harga pupuk yang berasal dari kotoran kelinci mencapai Rp 7 500.00/kg sedangkan urinnya Rp 5 000.00/liter.

Menurut Brahmatiyo et al. (2006), permintaan kelinci hidup dan daging kelinci di Magelang sangat tinggi untuk diolah sebagai sate, tongseng, dan dendeng

(26)

kelinci. Dengan adanya permintaan tersebut mendorong peternakan membudidayakan kelinci untuk diperjualbelikan sebagai penghasil daging. Menurut Sumadia dan Rossuartini (2003), pemasaran daging kelinci di Indonesia masih terbatas pada beberapa daerah seperti Lembang, Tawangmangu, Batu, dan Cisarua. Daging kelinci masih diolah secara tradisional seperti sate, gulai, dan sop, namun ada juga perusahaan yang membuat bakso, sosis, dan nugget tetapi masih dalam skala yang kecil. Menurut Abidin (2003), saat ini karkas kelinci sudah masuk pasar swalayan besar di Jakarta dan permintaannya diperkirakan akan semakin meningkat karena setidaknya setiap outletnya mampu menjual 10-20 ekor per hari.

Adanya kritikan dari Greenpeace mengenai pemburuan dan pembantaian satwa liar mengakibatkan pasar kulit-bulu kelinci semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan sebelumnya para produsen jaket dan asesoris di negara bermusim dingin menggunakan bahan baku utama kulit-bulu beruang hasil buruan dan setelah adanya kritikan tersebut produsen menggantinya dengan kelinci yang dapat menggantikan kulit-bulu beruang.

Pasar utama kulit-bulu mentah yang berasal dari ternak kelinci adalah Hongkong, China, Taiwan, dan Korea, sedangkan pasar produk akhir adalah Jepang, Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Produk yang terbuat dari kulit-bulu kelinci memiliki nilai jual yang tinggi. Menurut Dhaniati (2007), bila dikirim ke Brunei Darussalam, kulit kelinci jenis Rex bisa dipesan 10 000-20 000 lembar dengan harga US$ 8 per lembarnya, sedangkan menurut Sarwono (2002), harga kulit kelinci setelah disamak mencapai US$ 18 per lembar. Menurut Raharjo dan Thahir (2002), untuk pasar luar negeri, kulit-bulu tersebut digunakan untuk membuat mantel bulu eksotis yang mempunyai nilai tambah mencapai US$ 800-3 000.

Pengembangan Peternakan Kelinci

Potensi penentuan daerah dan ternak dilakukan untuk mengembangkan suatu komoditas jenis ternak tertentu di suatu wilayah. Potensi pengembangan peternakan dapat diketahui dari penyebaran dan kepadatan ternak, nilai ekonomi dari ternak, kegunaan dan fungsi ternak, fasilitas sarana, prasarana dan kelembagaan, pemasaran ternak dan hasil-hasilnya baik lokal maupun non lokal serta potensi ternak dan hasil ternak (Simanjuntak, 1986).

(27)

Menurut Sarwono (2002), kelinci di Indonesia sudah dikenal sejak tahun 1912 pada zaman Belanda sebagai binatang kesayangan dan mulai diternakkan oleh peternak sebagai usaha sambilan dan ternak penghasil pupuk sayuran sejak tahun 1940-an. Tahun 1950, ternak kelinci mulai dikembangkan sebagai usaha sambilan di Bandung. Tahun 1963, peternakan kelinci di sana mendapat bantuan bibit unggul dari Jepang, Belanda, dan Jerman.

Selama dekade 1980-an peternakan kelinci cukup menggembirakan berkat adanya dorongan dari pemerintah dengan mulai menggalakkan peternakan kelinci, misalnya dengan mengadakan seminar, penyuluhan, bantuan bibit, dan lain-lain (Santoso, 1981). Pada tahun 1982, pemerintah menganjurkan agar kelinci dikembangkan sebagai ternak sumber daging untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat. Namun usaha tersebut gagal karena kelinci berkembang menjadi komoditas mahal, terutama harga bibitnya.

Selama ini, peternakan kelinci di Indonesia masih diusahakan sebagai peternakan yang bersifat sambilan yang kegiatan dan manajemennya masih sangat sederhana. Sebagai alternatif usaha, peternakan kelinci sebenarnya dapat dikembangkan dalam bentuk perusahaan peternakan, sasaran produksi kelinci dapat ditingkatkan sesuai target, mutu, dan permintaan pasar yang berkembang.

Secara umum kelinci dikembangkan sesuai dengan tujuan produksi yaitu sebagai penghasil daging (New Zealand White, Flemish Giant, dan Californian), daging dan kulit-bulu (Rex dan Satin), serta fancy (Hotot, Dwarf, Lops dan Lyon). Peternak kelinci di Kabupaten Magelang banyak mengembangkan kelinci sebagai penghasil daging, seperti Flemish Giant, English Spot, dan New Zealand White (Brahmatiyo et al., 2006).

Raharjo dan Thahir (2002) menyatakan bahwa sasaran pengembangan peternakan di era globalisasi meliputi pengembangan peternakan yang menyertakan usaha skala kecil, memberdayakan peternakan rakyat, serta melibatkan koperasi dan industri. Sementara itu pengembangan agribisnis kelinci penghasil fur bermutu tinggi memerlukan usaha promosi yang intensif dan kemampuan memasuki pasar atau bahkan menciptakan pasar dari potensi yang telah tersedia.

(28)

Kendala Pengembangan Peternakan Kelinci

Pada tahun 1980-an pengembangan ternak kelinci mempunyai kendala pada komoditas pasar. Pasar daging kelinci saat itu kurang terbina, sehingga peternak kurang intensif menangani ternak kelincinya (Abidin, 2003). Raharjo dan Thahir (2002) menyatakan bahwa kendala utama agribisnis kelinci adalah pemasaran yang kurang populer yang disebabkan tidak tersedianya produk sehingga kurang dikenal pasar, dan rendahnya preferensi terhadap daging kelinci (bunny syndrome). Dari segi produksi, masalah yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas, mortalitas yang tinggi dan mutu hasil terutama pada pemeliharaan skala kecil masih rendah.

Menurut Satrio (2005), kelinci mempunyai potensi besar sebagai alternatif sumber daging dan produk turunannya. Namun dalam kenyataannya jumlah peternak dan penyedia daging kelinci masih terbatas. Hal ini diduga karena tidak adanya penjajagan kepastian pasar dan daya dukung sosial, dimana masyarakat mencari kelinci sebagai hewan kesayangan sehingga tidak terbiasa mengkonsumsi daging kelinci.

Analisis Pendapatan

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total dan biaya-biaya (Soekartawi, 1986). Menurut Suratiyah (2006) penerimaan adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani yang diperoleh selama satu periode yang dihitung dari hasil penjualan dan penaksiran kembali. Menurut Setriani (2007) pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasi yang tidak memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelola usahatani.

Menurut Boediono (1998) berdasarkan volume kegiatan, biaya dibedakan atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu yang meliputi biaya sewa, biaya penyusutan, pajak, dan sebagainya. Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan yang meliputi bahan baku dan tenaga kerja langsung. Menurut McNitt et al (2002) biaya tetap meliputi penyusutan bangunan, peralatan, dan bibit ternak sedangkan biaya variabel meliputi pakan, perlengkapan, asuransi, dan biaya lainnya.

Besarnya biaya dan pendapatan usahatani dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal serta faktor manajemen. Faktor internal meliputi umur petani;

(29)

pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan; jumlah tenaga kerja keluarga; luas lahan; dan modal. Faktor eksternal meliputi input seperti ketersediaan dan harga serta output seperti permintaan dan harga. Faktor manajemen meliputi penggunaan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien sehingga dengan memperhatikan ketiga faktor tersebut akan diperoleh manfaat setinggi-tingginya (Suratiyah, 2006).

Tingkat pendapatan petani untuk setiap komoditas pertanian yang diusahakan berbeda-beda. Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi, salah satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk rupiah yang dikeluarkan (R/C ratio). Dalam analisis R/C akan diuji seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan dan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Pasaribu, 2007).

(30)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat pada bulan Oktober 2007. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive yakni berdasarkan rekomendasi dari pihak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Ciawi adalah daerah yang mempunyai populasi kelinci cukup besar di Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua peternak kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor yang berjumlah 62 rumah tangga peternak yang tersebar di enam desa. Jumlah peternak yang menjadi sampel penelitian sebanyak 30 rumah tangga peternak. Penarikan sampel dilakukan dengan cara disproporsional stratified random sampling. Pertama menentukan jumlah sampel peternak dari masing-masing desa. Jumlah tersebut ditentukan secara disproposional. Kedua, dari sampel tersebut ditarik secara acak untuk menentukan peternak mana yang menjadi responden. Responden tersebut terdiri dari 15 peternak di Desa Cileungsi, tujuh peternak di Desa Citapen, dua peternak di Desa Banjarwaru, dua peternak di Banjarsari, tiga peternak di Desa Jambuluwuk, dan satu peternak di Desa Cideduk.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain survei yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang jumlah orang yang banyak dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi tersebut. Untuk mendapat informasi tentang peternak kelinci yang ada di Kecamatan Ciawi dan menentukan jumlah sampel yang diambil, maka sebelumnya dilakukan prasurvei ke salah satu peternakan kelinci yang ada di Kecamatan Ciawi berdasarkan rekomendasi UPTD Poskeswan Cisarua.

Data dan Instrumentasi

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para peternak kelinci melalui observasi dan wawancara langsung dengan responden menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Data yang dikumpulkan berupa karakteristik peternak (umur, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, pekerjaan selain beternak, dan tujuan beternak), data teknis

(31)

ternak, manajemen pemeliharaan ternak, penerimaan dan biaya dalam usahaternak kelinci.

Data sekunder diperoleh dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, UPTD Poskeswan Cisarua, Kecamatan Ciawi, studi pustaka, dan instansi terkait lainnya yang mendukung objek penelitian. Data yang dikumpulkan berupa populasi ternak di Kecamatan Ciawi, monografi Kecamatan Ciawi dan data terkait lainnya.

Analisis Data Analisis Statistik Deskriptif

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan statistik deskriptif yaitu dengan perhitungan persentase dan rataan. Analisis ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan keadaan umum di lokasi penelitian, karakteristik peternak, dan tatalaksana budidaya ternak kelinci.

Proyeksi Jumlah Peternak Kelinci

Proyeksi ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan jumlah peternak kelinci selama lima tahun ke depan. Proyeksi ini berdasarkan pada jumlah penduduk saat penelitian, laju pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian, dan persentase penduduk yang memelihara kelinci. Rumus yang digunakan adalah :

Pkn = Pn x S

Dimana Pkn = jumlah peternak kelinci pada tahun-n (RTP) Pn = jumlah penduduk pada tahun-n (orang)

S = persentase penduduk yang memelihara kelinci (%) Adapun rumus peningkatan jumlah penduduk adalah :

Pn = Po (1+ i)n Dimana Pn = jumlah penduduk pada tahun-n (orang)

Po = jumlah penduduk tahun awal (orang) i = laju pertumbuhan penduduk (%) n = interval tahun (n–tahun awal)

(32)

Proyeksi Ternak Kelinci

Proyeksi ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan populasi kelinci selama lima tahun ke depan. Proyeksi ini didasarkan pada koefisien teknis ternak kelinci seperti rasio pejantan dan induk, umur induk dan jantan saat penelitian, tingkat kelahiran, ratio kelahiran non hias dan hias, sex ratio kelahiran jantan dan betina, tingkat kematian, tingkat penjualan, dan umur afkir.

Induk non hias dikawinkan dengan jantan non hias sesuai dengan rasio antara indukdan jantan. Semua induk hias dikawinkan dengan jantan hias sedangkan sisa betina non hias yang tidak dikawinkan dengan sesamanya maka dikawinkan dengan jantan hias yang akan menghasilkan keturunan non hias dan hias. Perhitungan jumlah kelahiran anak sebagai berikut :

Jumlah anak = jumlah induk betina x persentase kelahiran

Jumlah anak non hias = jumlah anak lahir x persentase kelahiran anak non hias Jumlah anak hias = jumlah anak lahir x persentase kelahiran anak hias Analisis Pendapatan

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar pendapatan yang diperoleh usahaternak kelinci selama satu tahun. Besarnya pendapatan diperoleh dari pengurangan penerimaan dan biaya-biaya yang dikeluarkan dari usahaternak kelinci. Analisis ini menggunakan model yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Model Analisis Pendapatan

Uraian Nilai (Rupiah)

Penerimaan usahaternak Biaya variabel (-) Biaya tetap (-)

Pendapatan usahaternak

Selanjutnya dilakukan analisis R/C ratio untuk mengetahui tingkat pendapatan usahaternak kelinci yang dijalankan menguntungkan atau mengalami kerugian karena pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Dalam analisis R/C ratio akan diuji berapa nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usahaternak yang bersangkutan. Analisis ini menggunakan rumus:

(33)

R/C Ratio = Total Penerimaan Total Biaya

Dengan kriteria : R/C > 1, maka usaha tersebut menguntungkan R/C = 1, maka usaha tersebut impas

R/C < 1, maka usaha tersebut mengalami kerugian Definisi Istilah

1. Kelinci hias dalam penelitian adalah kelinci eksotis yang mempunyai bulu indah dan harga jual di lokasi penelitian relatif lebih mahal daripada kelinci non hias. 2. Jumlah anak hidup (ekor) = Jumlah anak lahir – (jumlah anak lahir x persentase

kematian anak).

3. Jumlah penjualan anak (ekor) = jumlah anak hidup x persentase penjualan anak. 4. Jumlah penjualan kelinci muda (ekor) = (Jumlah transfer dari kelinci anak -

jumlah kematian kelinci muda - jumlah kematian kelinci dewasa - jumlah kelinci afkir) x persentase penjualan kelinci muda.

5. Jumlah kematian kelinci dewasa (ekor) = jumlah kelinci dewasa awal dwi wulan x persentase kematian kelinci dewasa.

6. Jumlah kelinci afkir pada tahun ke-1 dan ke-2 diperoleh dari jumlah kelinci dewasa awal tahun ke-1 dikalikan dengan masing-masing persentase afkir tahun ke-1 dan ke-2 sedangkan jumlah kelinci afkir pada tahun ke-3, ke-4, dan ke-5 diperoleh dari jumlah transfer dari kelinci muda masing-masing pada tahun ke-1, ke-2, dan ke-3 (ekor).

10. Penerimaan total adalah nilai semua output dalam usahaternak kelinci yang berasal dari hasil penjualan ternak kelinci (anak, muda, dewasa, dan afkir), kotoran padat, ternak yang dikonsumsi dan dihadiahkan, serta perubahan nilai ternak (Rp).

11. Biaya total adalah nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam usahaternak kelinci kecuali upah tenaga keluarga dan dibedakan menjadi biaya variabel dan tetap (Rp).

12. Biaya tetap adalah nilai semua input yang digunakan dalam usahaternak kelinci yang dapat dipertimbangkan dan diukur yang besarnya tidak dipengaruhi oleh

(34)

jumlah output yang dihasilkan selama satu tahun yaitu upah tenaga kerja luar keluarga dan penyusutan nilai inventaris (ternak, kandang dan peralatan) (Rp). 13. Biaya variabel adalah nilai input yang digunakan dalam usahaternak kelinci

yang dapat dipertimbangkan dan diukur yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah output yang dihasilkan selama satu tahun yaitu biaya pakan, perlengkapan, serta obat dan vitamin (Rp).

14. Pendapatan keluarga adalah pendapatan rata-rata dari seluruh rumah tangga peternak kelinci yang dijadikan responden selama satu tahun yang diperoleh dari penerimaan total yang diterima dikurangi biaya total yang dikeluarkan selama satu tahun (tidak termasuk upah tenaga kerja keluarga) (Rp).

15. Pendapatan usahaternak kelinci adalah pendapatan rata-rata dari seluruh rumah tangga peternak kelinci yang dijadikan responden selama satu tahun yang diperoleh dari penerimaan total yang diterima dikurangi biaya total yang dikeluarkan selama satu tahun (termasuk upah tenaga kerja keluarga) (Rp).

(35)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Luas wilayah Kecamatan Ciawi sebesar 3 205.23 ha yang berupa dataran tinggi. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran sampai berombak. Komposisi antara lahan basah dan lahan kering sebesar 21.93 dan 78.07 persen. Keadaan agroklimat Kecamatan Ciawi yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa wilayah ini cocok ditanami berbagai jenis tanaman seperti tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan sehingga kecamatan ini mempunyai potensi yang baik dalam hal ketersediaan pakan bagi kelinci. Hal ini karena tanaman tersebut dapat menghasilkan limbah pertanian dan hijauan yang disukai kelinci.

Menurut Sarwono (2002) kelinci dapat dikembangbiakkan dengan baik di daerah dengan ketinggian di atas 500 m dpl. Sementara itu, menurut Putra dan Budiana (2007) kelinci masih dapat dikembangbiakkan dengan baik pada suhu 300C. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketinggian dan suhu di Kecamatan Ciawi sudah sesuai untuk mengembangbiakkan ternak kelinci.

Tabel 4. Keadaan Agroklimat Kecamatan Ciawi

Keadaan Agroklimat Nilai

Luas Wilayah (ha) : Persawahan Lahan kering 3 211.23 704.10 2 507.13 Ketinggian dpl (m) 530.00

Curah hujan (mm/tahun) 2 208.00

Bentuk Wilayah (%) : Dataran sampai berombak

Berombak sampai berbukit Berbukit sampai bergunung

60.00 25.00 15.00

Suhu udara (0C) 28-29

Sumber : Monografi Kecamatan Ciawi, 2007

Selain tersedianya pakan hijauan, bibit kelinci juga mudah didapatkan. Bibit kelinci dewasa dapat diperoleh dengan mudah bagi peternak pemula. Peternak tersebut biasanya membeli bibit dari peternak lain atau pedagang pengumpul yang ada di sana sedangkan peternak lanjut biasanya menyediakan bibit sendiri dari dalam. Berdasarkan keadaan agroklimat dan potensi sumberdaya alam diketahui bahwa Kecamatan Ciawi merupakan daerah yang ideal untuk mengembangbiakkan kelinci.

(36)

Keadaan penduduk Kecamatan Ciawi yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa komposisi antara pria dan wanita hampir seimbang yaitu sebesar 51.46 dan 48.54 persen dan sebagian besar penduduknya merupakan usia kerja produktif. Sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian baik itu petani pemilik, penggarap, maupun buruh tani. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui bahwa kesadaran penduduk akan pendidikan masih rendah disamping ketidakmampuan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari penduduk yang tidak mencapai tingkat pendidikan SMP sebesar 43.79 persen sehingga program Wajib Belajar Sembilan Tahun belum terlaksana.

Tabel 5. Keadaan Penduduk Kecamatan Ciawi

Keadaan Penduduk Jumlah (orang) Persentase (%)

Pria 46 205 51.46 Wanita 43 584 48.54 Usia (Tahun) : 0-18 19-55 > 55 37 129 40 194 12 466 41.35 44.77 13.88 Mata Pencaharian : Pertanian Wiraswata PNS TNI/POLRI Pensiunan/Purnawirawan Jasa Buruh Pertukangan 10 152 3 709 1 273 115 311 2 364 5 830 1 791 39.75 14.52 4.98 0.45 1.22 9.25 22.82 7.01 Pendidikan : Tidak tamat SD SD SMP SMA Perguruan Tinggi 12 739 21 851 21 463 13 918 9 023 16.13 27.66 27.17 17.62 11.42 Sumber : Monografi Kecamatan Ciawi, 2007

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Peternak Perkembangan Jumlah Peternak Kelinci

Untuk mengetahui jumlah peternak kelinci di Kecamatan Ciawi lima tahun ke depan maka dilakukan proyeksi jumlah peternak kelinci. Proyeksi ini berdasarkan pada laju pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian, jumlah penduduk saat penelitian, dan persentase penduduk yang memelihara kelinci. Laju pertumbuhan penduduk dibuat menjadi tiga skenario yang berdasarkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk kecamatan tersebut pada tahun 2001-2003, 2001-2008, dan 2003-2008 yang masing-masing sebesar 0.29, 3.23 dan 6.17 persen. Persentase ini digunakan untuk mengetahui peningkatan jumlah penduduk lima tahun ke depan.

Jumlah penduduk dan peternak kelinci saat penelitian adalah 89 789 orang dan 62 Rumah Tangga Peternak (RTP). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah peternak kelinci saat penelitian sebesar 0.069 persen dari jumlah penduduk. Persentase tersebut digunakan untuk memproyeksikan jumlah peternak kelinci di Kecamatan Ciawi selama lima tahun ke depan dengan mengalikan jumlah penduduk pada tahun tertentu dengan persentase penduduk yang memelihara kelinci. Hasil perkalian tersebut menggambarkan jumlah peternak kelinci di Kecamatan Ciawi.

Berdasarkan Tabel 6 yaitu peningkatan jumlah penduduk dan peternak kelinci di Kecamatan Ciawi selama lima tahun diketahui bahwa jumlah peternak kelinci di Kecamatan Ciawi sampai tahun ke-5 mengalami peningkatan di masing-masing skenario yaitu 63 RTP pada skenario I (i = 0.29%), 73 RTP pada skenario II (i = 3.23%), dan 84 RTP pada skenario III (i = 6.17%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah peternak kelinci akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang disebabkan oleh meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan peningkatan jumlah peternak kelinci selama lima tahun maka diketahui bahwa rata-rata perkembangan jumlah peternak kelinci di kecamatan tersebut pada skenario I, II, dan III masing-masing sebesar 0.32, 3.32, dan 6.26 persen/tahun.

(38)

Tabel 6. Peningkatan Jumlah Penduduk dan Peternak Kelinci di Kecamatan Ciawi selama Lima Tahun (Orang/Tahun)

Tahun ke- Jumlah Penduduk Jumlah Peternak Kelinci Skenario I (i = 0.29%) 0 1 2 3 4 5 89 789 90 049 90 311 90 572 90 835 91 099 62 62 62 62 63 63 Skenario II (i = 3.23%) 0 1 2 3 4 5 89 789 92 689 95 683 98 774 101 964 105 257 62 64 66 68 70 73 Skenario III (i = 6.17%) 0 1 2 3 4 5 89 789 95 329 101 211 107 455 114 085 121 125 62 66 70 74 79 84 Keterangan : i = laju pertumbuhan penduduk

Kepemilikan Ternak Kelinci

Ternak yang dipelihara oleh peternak adalah kelinci non hias dan hias yang terdiri dari kelinci anak, muda, dan dewasa. Kategori kelinci non hias dan hias dalam penelitian ini didasarkan atas perbedaan harga jualnya dimana harga jual kelinci hias lebih tinggi daripada kelinci non hias.

Berdasarkan jumlah kepemilikan ternak, maka peternak dikelompokkan menjadi tiga skala usaha yaitu skala kecil (1-25 ekor) dengan rata-rata kepemilikan ternak sebesar 14 ekor, skala menengah (26-100 ekor) dengan rata-rata kepemilikan 40 ekor, dan skala besar (>100 ekor) dengan rata-rata kepemilikan 150 ekor. Jumlah responden dan rata-rata kepemilikan ternak kelinci di tiga skala usaha disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Responden dan Rata-Rata Kepemilikan Ternak pada Tiga Skala Usaha

Skala Rata-Rata Kepemilikan Ternak (Ekor) Jumlah Responden

Peternak (Orang) Persentase (%)

Kecil 14 14 46.67

Menengah 40 14 46.67

(39)

Karakteristik Peternak

Karakteristik peternak merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan usaha peternakan kelinci. Karakteristik peternak tersebut meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, pekerjaan selain beternak, jenis kepemilikan ternak, dan tujuan beternak. Karakteristik peternak pada tiga skala usaha disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik Peternak pada Tiga Skala Usaha

Karakteristik Peternak

Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar Peternak

(Orang) Persentase (%) Peternak (Orang) Persentase (%) Peternak (Orang)

Persentase (%) Umur (tahun) : 18-45 > 45 13 1 92.86 7.14 8 6 57.14 42.86 2 - 100.00 - Pendidikan formal : Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi

4 6 3 1 - 28.57 42.86 21.43 7.14 - 3 6 3 1 1 21.43 42.86 21.43 7.14 7.14 - 1 - 1 - - 50.00 - 50.00 - Pendidikan non fomal :

Pernah mengikuti Belum pernah mengikuti

4 10 28.57 71.43 4 10 28.57 71.43 - 2 - 100.00 Pengalaman beternak (tahun) :

≤ 5 > 5 14 - 100.00 - 11 3 78.57 21.43 2 - 100.00 - Pekerjaan selain beternak :

Tidak bekerja Karyawan Buruh tak tetap Buruh tani/ternak Wiraswasta Jasa Pensiunan 2 3 5 2 1 1 - 14.29 21.43 35.71 14.29 7.14 7.14 - 5 2 - 5 - 1 1 35.71 14.29 - 35.71 - 7.15 7.14 2 - - - - - - 100.00 - - - - - - Kepemilikan jenis ternak:

Non hias Non hias dan hias

10 4 71.43 28.57 9 5 64.29 35.71 - 2 - 100.00 Tujuan beternak : Tambahan pendapatan Komersial 10 4 71.43 28.57 9 5 64.29 35.71 - 2 - 100.00

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebagian besar peternak berada pada umur 18-45 tahun dengan persentase masing-masing skala usaha sebesar 92.86 persen untuk skala kecil, 57.14 persen untuk skala menengah, dan 100.00 persen

(40)

untuk skala besar. Hal ini menunjukkan bahwa responden peternak di tiga skala usaha berada pada usia produktif dan adanya rasa ketertarikan pada generasi muda untuk beternak kelinci mengakibatkan peluang untuk memajukan peternakan kelinci di wilayah ini cukup besar. Usia produktif juga menandakan bahwa kemampuan fisiknya masih tinggi sehingga dalam pengelolaan kelinci dapat dilakukan sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suratiyah (2006) bahwa semakin tua umur semakin menurun kemampuan fisiknya sehingga semakin memerlukan bantuan tenaga kerja baik dari dalam maupun luar keluarga.

Namun demikian usia produktif tersebut tidak diikuti dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Tingkat pendidikan sebagian besar responden di masing-masing skala usaha masih rendah karena program Wajib Belajar Sembilan Tahun belum tercapai. Hal ini terlihat dari peternak yang tidak tamat SD sebesar 28.57 dan 21.43 persen masing-masing untuk skala kecil dan menengah, peternak yang tamat SD sebesar 42.86 persen untuk skala kecil dan menengah serta 50.00 persen untuk skala besar. Rendahnya tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi kemampuan peternak dalam penyerapan teknologi dan informasi mengenai budidaya ternak kelinci.

Mayoritas peternak yaitu sebesar 71.43 persen pada skala kecil dan menengah serta seluruh peternak di skala besar belum pernah mengikuti pendidikan non formal. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya perhatian pemerintah setempat akan budidaya ternak kelinci. Sementara itu, peternak yang mendapat pendidikan non formal biasanya diperoleh dalam bentuk penyuluhan maupun pelatihan yang diberikan oleh penyuluh dari UPTD setempat. Umumnya peternak mengikuti penyuluhan dan pelatihan hanya sekali ketika usahaternak kelinci di kecamatan tersebut mulai dikembangkan pada tahun 2002 namun sekarang hal tersebut tidak ada karena kurangnya tenaga penyuluh. Padahal peternak sangat menginginkan hal tersebut terutama pemberian penyuluhan karena menurutnya penyuluhan tersebut dapat memberikan wawasan yang mungkin belum mereka dapatkan sebelumnya. Kondisi seperti ini sangat disayangkan karena rendahnya tingkat pendidikan peternak tidak ditunjang dengan pendidikan non formal padahal menurut Suratiyah (2006) hal tersebut dapat membuka cakrawala, menambah keterampilan, dan pengalaman petani dalam mengelola usahataninya.

(41)

Seluruh peternak pada skala menengah dan besar serta sebagian besar (78.57 %) peternak pada skala kecil memiliki pengalaman beternak kelinci kurang atau sama dengan lima tahun. Hal ini dikarenakan usahaternak kelinci di wilayah tersebut baru mulai berkembang pada tahun 2002. Sementara itu sebagian kecil peternak pada skala menengah memiliki pengalaman beternak kelinci sudah lebih dari lima tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa peternak sudah cukup berpengalaman dalam mengelola usahaternak kelinci dan jauh sebelum usahaternak kelinci di sana berkembang mereka sudah lebih dahulu beternak kelinci.

Peternak pada skala kecil yang bekerja sebagai buruh tak tetap sebesar 35.71 persen. Hal ini menjadi alasan untuk mereka beternak kelinci agar mendapatkan tambahan penghasilan karena penghasilan yang mereka dapat tidaklah tetap. Sebesar 35.71 persen peternak pada skala menengah adalah peternak kelinci dan buruh tani/ternak. Sementara itu, seluruh peternak di skala besar menjadikan usahaternak kelinci sebagai usaha pokok mereka. Hal ini karena banyaknya permintaan kelinci terutama pada kelinci anak sehingga mereka memfokuskan diri pada usahanya tersebut dan meninggalkan aktifitas lainnya.

Jenis kepemilikan ternak di Kecamatan Ciawi berhubungan dengan tujuan peternak beternak kelinci. Sebesar 71.43 persen peternak pada skala kecil dan 64.29 persen peternak pada skala menengah memelihara kelinci non hias dengan tujuan sebagai tambahan pendapatan. Hal ini karena para peternak tersebut menganggap beternak kelinci sebagai usaha sampingan mampu menambah penghasilan keluarga dan peternak jarang memelihara kelinci hias karena harga bibit dan biaya perawatannya relatif mahal serta memerlukan perawatan yang khusus. Sementara itu seluruh peternak pada skala besar tidak hanya memelihara kelinci non hias tetapi juga kelinci hias dengan tujuan bukan hanya sekedar sebagai tambahan penghasilan namun sudah komersial yang berorientasi pada keuntungan yang lebih besar. Alasan mereka memelihara kelinci non hias dan hias karena menurutnya keuntungan yang diraih lebih besar daripada hanya memelihara kelinci non hias saja. Suratiyah (2006) menyatakan bahwa usahatani komersial selalu mengejar keuntungan dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan.

(42)

Tatalaksana Budidaya Ternak Kelinci

Pemilihan Bibit. Pada awal usaha para peternak membeli bibit kelinci jantan dan betina dewasa yang berumur lima sampai tujuh bulan. Bibit tersebut dibeli dari pedagang pengumpul maupun sesama peternak yang ada di lokasi penelitian bahkan sampai di luar lokasi penelitian. Bibit dari luar lokasi penelitian berasal dari Sukabumi, Cipanas, dan Lembang.

Bibit kelinci tersebut dipelihara sampai menghasilkan anak. Setelah mencapai umur jual (28 hari untuk kelinci non hias dan 42 hari untuk kelinci hias) dipilih satu sampai dua ekor untuk dijadikan bibit sehingga jumlah ternaknya terus bertambah. Anak yang akan dijadikan bibit oleh peternak berasal dari induk yang mampu melahirkan banyak anak secara kontinyu (6-8 ekor), peduli dengan anaknya, dan postur tubuh anak paling besar diantara anak yang lainnya. Untuk bibit kelinci yang berasal dari luar (dibeli), umumnya peternak memilih bibit yang postur tubuhnya besar, padat, dan seimbang antara besar kepala dengan badannya, telinga kelinci tegak tidak jatuh, kaki tidak cacat, bulu bersih dan tidak gimbal, kuku tidak panjang karena kuku panjang menandakan kelinci tersebut sudah tua dan pernah terserang scabies. Pemilihan bibit tersebut sudah sesuai dengan pernyataan Sarwono (2002) mengenai ciri-ciri kelinci yang sehat.

Pakan. Sebesar 64.29 persen peternak pada skala kecil, 78.57 persen peternak pada skala menengah, dan seluruh peternak pada skala besar memberikan pakan berupa rumput lapang dan pakan tambahan sedangkan sisanya hanya memberikan rumput lapang saja karena menurut mereka pakan tambahan berupa dedak maupun konsentrat relatif mahal yaitu Rp 1 000.00/kg. Rumput lapang diperoleh para peternak dengan cara mengarit sendiri.

Sebesar 50.00 persen peternak pada skala kecil, 64.29 persen peternak pada skala menengah, dan seluruh peternak pada skala besar memberikan rumput lapang dengan frekuensi satu kali sehari yaitu pada pukul 16.00 WIB dan sisanya dua kali sehari pada pukul 12.00 WIB dan 16.00 WIB. Bagi peternak yang tidak memberikan pakan tambahan maka hanya diberikan rumput lapang saja yang diberi percikan air garam dengan frekuensi dua kali sehari yaitu pada pukul 08.00 WIB dan 16.00 WIB. Rumput lapang yang diberikan dilayukan terlebih dahulu, hal ini dilakukan agar kandungan airnya berkurang dan mencegah agar kelinci tidak gampang diare dan

(43)

kembung. Jumlah peternak pada tiga skala usaha berdasarkan pakan yang diberikan untuk kelinci disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Distribusi Peternak Berdasarkan Pakan yang diberikan untuk Kelinci

Pakan yang Diberikan

Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar Peternak (Orang) Persentase (%) Peternak (Orang) Persentase (%) Peternak (Orang) Persentase (%) Jenis pakan : Rumput lapang Rumput lapang + pakan tambahan

5

9 35.71 64.29 11 3 21.43 78.57 2 - 100.00 - Campuran pakan tambahan :

K + G K + DP + BP + G K + DP + BP + S + G K + S + G D + G D+ DP + BP + G Tidak diberi pakan tambahan

1 3 2 1 1 1 5 7.15 21.43 14.29 7.14 7.14 7.14 35.71 2 5 1 - - 3 3 14.29 35.71 7.14 - - 21.43 21.43 - 2 - - - - - - 100.00 - - - - - Keterangan : K : Konsentrat D : Dedak DP : Daun Pepaya

BP : Buah Pepaya S : Limbah Sayuran G : Garam

Campuran pakan tambahan yang diberikan bervariasi tetapi pada umumnya peternak di tiga skala usaha memberikan campuran pakan tambahan berupa konsentrat, daun dan buah pepaya, serta garam. Konsentrat yang diberikan adalah konsentrat untuk sapi. Alasan bagi peternak yang menggunakan dedak sebagai pengganti konsentrat sapi karena menurut mereka dedak lebih mudah didapatkan daripada konsentrat sapi. Menurut Sarwono (2002) konsentrat dalam peternakan kelinci berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi pakan. Menurut Raharjo (2002) kelinci Rex yang diberi rumput lapang ad libitum dan ditambah 60 gr konsentrat selama 12 minggu akan menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 1 191 gr/ekor.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa daun dan buah pepaya serta garam dipakai dalam campuran pakan tambahan untuk meningkatkan palatabilitas, agar air susu induk lebih banyak, dan mencegah diare. Mereka tidak menggunakan limbah sayuran karena akan mengakibatkan urin kelinci menjadi sangat bau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarwono (2002) bahwa kelinci yang mengkonsumsi limbah sayuran mengakibatkan urin kelinci berlebihan dan pada dasarnya urin

(44)

kelinci mengandung N yang tinggi sehingga apabila terurai oleh bakteri akan menghasilkan gas yang menimbulkan bau tidak sedap.

Bagi peternak yang tidak menggunakan daun dan buah pepaya menggantinya dengan limbah sayuran untuk meningkatkan palatabilitasnya yang dibeli dengan harga Rp 1 000.00/kg. Umumnya peternak di tiga skala usaha memberikan pakan tambahan dengan frekuensi satu kali sehari yaitu pada pukul 08.00 WIB. Pencampuran dilakukan dengan cara daun dan buah pepaya atau limbah sayuran dipotong lalu direbus untuk menghilangkan getah setelah itu dicampur ke konsentrat atau dedak dan diberi garam secukupnya. Campuran tersebut dilarutkan dengan air hangat secukupnya sampai campuran tersebut menggumpal.

Mayoritas peternak tidak memberikan air minum pada ternaknya. Peternak menganggap kebutuhan ternak akan air sudah terpenuhi dari pemberian rumput lapang. Menurut Sarwono (2002) air minum bagi kelinci diperlukan untuk membantu pencernaan, mempercepat pertumbuhan, menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh, dan mencegah kehausan.

Perkandangan. Jarak kandang kelinci dari rumah seluruh peternak pada skala kecil dan besar serta 64,29 persen pada skala menengah kurang dari 10 m dengan letak kandang di belakang maupun di depan rumah. Umumnya kandang berada pada halaman maupun pekarangan rumah. Lokasi kandang seperti itu sesuai dengan pernyataan Sarwono (2002) bahwa lokasi kandang yang baik tidak jauh dari rumah sehingga memudahkan pengamatan dan penjagaan dari pencurian dan gangguan binatang pemangsa. Sebagian kecil peternak pada skala menengah berjarak lebih dari 10 m, hal ini karena tidak adanya lahan yang sesuai untuk penempatan kandang kelincinya.

Seluruh peternak baik skala kecil, menengah, maupun besar menggunakan tipe kandang battery yaitu kandang yang diisi oleh satu ekor kelinci dewasa dan sekelompok anak dengan jenis kelamin yang sama. Umumnya peternak di semua skala usaha membuat kandang bertingkat dua, hal ini dilakukan untuk menghemat tempat. Kandang tersebut digunakan induk betina untuk melahirkan dan mengasuh anak, bagi pejantan untuk mengawini betina, dan pembesaran secara kelompok bagi anak lepas sapih. Menurut Sarwono (2002) kandang tersebut mempunyai keuntungan yaitu sanitasi mudah dilakukan, mencegah perkelahian dan kanibalisme, program

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Potensi Pengembangan Usahaternak                                      Kelinci di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat
Tabel 1.  Ciri-Ciri Kelinci yang Sehat   Bagian Tubuh  Karakteristik
Tabel 2.  Data Biologi Kelinci
Tabel 4.  Keadaan Agroklimat Kecamatan Ciawi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengamatan yang dilakukan terhadap perhatian siswa kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Reksosari 03 Kec.. Hal ini disebabkan selain model pembelajaran yang baru

70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya, serta berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Hasil Seleksi Sederhana Nomor : 027/ 18 /POKJA-DISHUTBUN/ULP/III/2013, Tanggal 01 April

d. Ilmu politik atau ilmu pemerintahan atau tentang dunia yang juga disebut Arthasastra. 3.2 KEDUDUKAN UPAWEDA DALAM WEDA.. Sesuai dengan arti dan tujuannya serta apa

Dengan rumusan masalah yang ada, serta dari beberapa penelusuran peneliti lakukan dari sumber-sumber primer dan sekunder, dapat membuktikan bahwa 1) Majels Ta’lim berdiri pada

Mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dalam pembelajaran disekolah-sekolah melalui mata pelajaran yang relevan harusnya sesegera mungkin karena itu adalah wujud

terhadap motivasi belajar peserta didik pada mata pelajaran PAI di SMP Negeri 3 Sungguminasa sebesar 49,5%. Penelitian ini berimplikasi sebagai berikut: 1) Pada dasarnya

Na-alginat dan Karbopol 940 memberikan pengaruh dapat meningkatkan lama perekatan dan pH permukaan , serta dapat menurunkan indeks pengembangan dan pelepasan secara in-vitro

Oleh itu, kajian ini akan memfokuskan pemikiran dari aspek keagamaan, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan yang terdapat dalam cerpen kanak-kanak pilihan dari tahun dari tahun