• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Lahan Kritis dalam Upaya Rehabilitasi Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penentuan Lahan Kritis dalam Upaya Rehabilitasi Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN LAHAN KRITIS

DALAM UPAYA REHABILITASI KAWASAN HUTAN

DI KABUPATEN ASAHAN

SKRIPSI

Oleh :

ROY HAMONANGAN P. S 031201024 / Manajemen Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan kasih karunianya-Nya penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat

menyelesaikan usulan penelitian ini.

Adapun judul dari penelitian ini adalah ‘Penentuan Lahan Kritis dalam

Upaya Rehabilitasi Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan’ yang diharapkan dapat

menyediakan data yang diperlukan jika diadakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di

Kabupaten Asahan.

Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua

penulis atas segala kasih sayang, bimbingan, doa restu, bantuan moral dan

materialnya serta tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada bapak

Rosihan Noor, Dipl. F, bapak Riswan, S.Hut, dan Bapak Nurdin S.Hut, M.Si

sebagai komisi pembimbing skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan usulan penelitian ini masih

banyak terdapat kekurangan. Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat

penulis harapkan demi perbaikan tulisan ini selanjutnya. Semoga dapat berguna

bagi kita semua.

Medan, Oktober 2007

(3)

DAFTAR ISI Manfaat Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahantan ... Lahan Kritis Indonesia ... Peta ... Penginderaan Jarak Jauh ...

Sistem Informasi Geografis ... Konsep Dasar dan Pemanfaatan SIG...

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN PETA DASAR...

Data Base Penggunaan Lahan di Kabupaten Asahan ... Data Base Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan ...

(4)

Data Spasial Tingkat Erosi ... Kriteria Manajemen. ... TINGKAT KEKRITISAN LAHAN ...

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ...

(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoringnya ...

Tabel 2. Klasifikasi Lereng dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis. ...

Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis. ...

Tabel 4. Klasifikasi Manajemen dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis ...

Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Total Skor ...

Tabel 6. Jenis Tutupan Lahan di Kabupaten Asahan...

Tabel 7. Klasifikasi Tutupan Lahan ...

Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng ...

Tabel 9. Klasifikasi Tingkat Erosi ...

Tabel 10. Klasifikasi Kekritisan Lahan Secara Keseluruhan untuk .

(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kotak Dialog untuk Memilih Teknik Overlay ...

Gambar 2. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan

Hutan Lindung...

Gambar 3. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan ...

Lindung di Luar Kawasan Hutan ...

Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Asahan ...

Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Asahan ...

Gambar 6. Peta Penunjukan Fungsi Kawasan Hutan ...

Gambar 7. Peta Penutupan Tajuk di Kawasan Lindung ...

Gambar 8. Peta Penutupan Tajuk di Kawasan Lindung diLuar ...

Kawasan Hutan ...

Gambar 9. Peta Kelerengan di Kawasan Hutan Lindung ...

Gambar 10. Peta Kelerengan di Kawasan Hutan Lindung diLuar

Kawasan Hutan...

Gambar 11. Peta Kelerengan di Kawasan Hutan Lindung ...

Gambar 11. Bahaya Erosi di Kawasan Lindung Luar Kawasan Hutan ...

(7)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai

ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi

sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya

harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat.Hutan

Indonesia termasuk hutan tropika basah di wilayah barat dan hutan tropika kering

di wilayah timur. Posisi Indonesia sebagai negara pemilik hutan terkaya dan

nomor dua terluas di dunia, selain menunjukkan kebanggaan juga memikul

tanggung jawab (Sagala, 1994).

Kita mempunyai lahan kehutanan seluas 113 juta ha. Untuk

mengelolannya diperlukan tiga tingkat kegiatan:

1. Menetapkan luas kawasan hutan dan fungsi hutan tiap provinsi

2. Menunjuk unit pengelolaan pemasang batas luar dan pengukuhan

3. Membuat unit pengelolaan bertata penuh.

Lahan kehutanan Indonesia terbagi tiga, hutan konservasi untuk fungsi

ekologi, tanaman kehutanan atau kebun kayu (timber plantation) untuk fungsi

ekonomi, dan hutan produksi untuk fungsi ekologi dan ekonomi yang sama

kuatnya. Hutan konservasi meliputi hutan lindung, hutan konservasi fauna dan

lain-lain. hutan produksi meliputi area HPH. Sedangkan kebun kayu meliputi

tanaman jati, tanaman pinus dan lain-lain (Sagala, 1994).

Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, megalami perubahan

(8)

waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain

pertambahan penduduk dan pembangunan di luar sektor kehutanan yang sangat

pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan

dan produk-produk dari hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang

mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia.

Kerusakan hutan tersebut diperkirakan seluas 900 ribu hektar setiap

tahunnya yang disebabkan oleh kegiatan perluasan perkebunan (500 ribu

ha/tahun), kegiatan proyek-proyek pembangunan (250 ribu ha/tahun), kegiatan

logging (80 ribu ha/tahun), dan kebakaran (70 ribu ha/tahun) (Haeruman, 1989).

Menurut data selama sepuluh tahun (1987-1998) angka degradasi dan deforestasi

adalah 1,6 juta ha/tahun sebagai akibat penebangan liar, pencurian kayu,

perambahan hutan, kebakaran hutan, lahan dan kebun serta sistem pengelolaan

hutan yangkurang tepat (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Selama kurun waktu tersebut, kebakaran hutan memberikan kontribusi terbesar

terhadap tingginya tingkat deforestasi dan degradasi, yaitu seluas + 3,2 juta ha

merupakan kebakaran hutan pada tahun 1997 di Kalimantan Timur

(Badan Planologi Kehutanan & Perkebunan, 1998).

Sumber daya hutan yang telah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi.

Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan,

mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya

dukung, produktifitas, dan peranan hutan sebagai ekosistem penyangga kehidupan

tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan

kondisi spesifik biofisik. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam identifikasi awal

(9)

dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem

informasi geografis. Hasil identifikasi adalah informasi luas kawasan hutan dan

lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi, serta informasi lokasi dan sebarannya

yang disajikan dalam bentuk peta indikasi RH.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi luasan dan tingkat

kekritisan lahan pada kawasan hutan Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara,

dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.

Manfaat Penelitian

Tersedianya data luas dan peta tingkat kekritisan lahan dalam upaya

rehabilitasai Hutan dan Lahan pada Kabupaten Asahan yang tersebar di setiap

(10)

TINJAUAN PUSTAKA

DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara

harafiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air (Putro et

al, 2003). Daerah Aliran Sungai adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung

gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh

punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai kecil ke

sungai-sungai kecil ke sungai-sungai utama (Asdak 1995).

Fungsi DAS dapat didasarkan dari tiga aspek hutan (vegetasi, kondisi

tanah dan penggunaan lahan) yang saling berhubungan untuk mempengaruhi

aliran dan kualitas air. Tiga aspek itu adalah :

1. Vegetasi

• Pohon dan tumbuhan bawah akan meminimumkan penutupan

lahan

• Pohon berperan dalam proses transpirasi sepanjang tahun

dibandingkan dengan kebanyaka vegetasi dan konsumsi air

tahunan sering melebihi vegetasi lain

• Kanopi pohon mengintersep curah hujan dibandingkan dengan

vegetasi lain dan curah hujan ini dikembalikan secara langsung

melalui evaporasi langsung

2. Kondisi Tanah

Tanah hutan dengan berbagai tipe memiliki rata-rata infiltrasi yang

(11)

(aktivitas biologi tanah dan penjalaran akar)

3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang memperhitungkan konservasi dan adanya

permukaan bumi yang tidak rata dapat berfungsi sebagai penyedia

air sementara dan sebagai penghambat sedimen.

Selanjutnya fungsi hutan terhadap peranan DAS ada tiga yaitu :

a. Memelihara kualitas air

b. Mengatur kuantitas air

c. Memelihara keseimnangan sedimentasi dalam DAS

Menurut FAO, 1988 hal penting dalam sektor DAS yang berpengaruh

adalah penutupan lahan. Hutan tidak hanya penting bagi sektor ekonomi, tetapi

hal yang lebih penting adalah memelihara keseimbangan ekologi dan air, mencgah

terjadinya banjir dan kekeringan, erosi air dan angin serta memelihara kelestarian

pada hutan tanaman. Adapun tujuan utama dari penutupan lahan adalah

mengintersepsi curah hujan, menjaga tanah melalui penutupan serasah,

memelihara struktur tanah, meminimumkan keterbukaan lahan dan memberi

ruang bagi air dengan adanya penetrasi dan aktifitas akar. Dengan demikian

tujuan utama yang harus dijaga adalah tidak menggangu penutupan lahan yang

beragam.

Klasifikasi Kesesuaian Lahan FAO 1. Penggunaan lahan

Evaluasi kesesuaian lahan melibatkan hubungan antara kualitas lahan

masing-masing satuan peta lahan bagi penggunaan lahan yang spesifik yang

(12)

kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum,

seperti pertanian, tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan,

atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan

untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau (reconaissance).

2. Tipe penggunaan lahan

Tipe penggunaan lahan (land utilization type) merupakan penggunaan

lahan yang diuraikan secara lebih terperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis

untuk suatu daerah yang keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu, yaitu

menyangkut pengelolaan masukan yang diperlukan, dan keluaran yang

diharapkan secara spesifik.

Tipe penggunaan lahan yang tergolong ganda (multiple) terdiri atas

lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak

pada suatu areal yang sama dari suatu bidang lahan. Tipe penggunaan lahan

yang tergolong majemuk terdiri atas lebih dari satu jenis penggunaan

(komoditas) yang diusahakan pada areal-areal satu bidang lahan dimana untuk

tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis

penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini

ditanam secara rotasi atau secara serentak (berbarengan) tetapi pada areal yang

berbeda pada satu bidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang

sama.

3. Kualitas lahan

Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau attribute yang bersifat kompleks dari

satu bidang lahan. Setiap kulitas lahan mempunyai keragaan (perfomance)

(13)

lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi

pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976).

Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau negatif terhadap

penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan

positif adalah yang sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan lahan.

Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaannya akan

merugikan (merupakan kendala) terhadap penggunaan tertentu, sehingga

merupakan faktor penghambat atau pembatas.

4. Karateristik Lahan

Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diduga.

Menurut FAO (1976), karakteristik lahan terdiri atas:

a. Karakteristik tunggal, misalnya total curah hujan, kedalaman tanah, lereng

dan lain-lain.

b. Karakteristik majemuk, misalnya permeabilitas tanah, drainase, kapasitas

tanah menahan air, dan lain-lain.

Lahan Kritis di Indonesia

Lahan kritis di Indonesia telah menacpai 28 juta hektar yang terdapat di

kawasan hutan dan non hutan. Namun, pendekatan berdasarkan daerah aliran

sungai mempunyai potensi baik untuk dijadikan basis pengelolaan lahan kritis itu.

Hal ini beranjak dari kenyataan bahwa terjadinya erosi umumnya bisa diketahui

dengan perubahan pela aliran sungai (Rahim, 2000).

Pada mulanya lahan-lahan di tanah air umumnya merupakan hutan tropika

yang subur dan lebat. Lahan hutan yang subur itu dapat kita jumpai di

(14)

diperolehnya hasil hutan yang beraneka ragam jenisnya, hutan merupakan habitat

dari kehidupan baik tumbuhan maupun binatang yang beranekaragam.

Bertambahnya penduduk menyebabkan bertambahnya pula kebutuhan mereka

ragam.

Masalah lahan kritis sebetulnya tidak bisa dipisahkan dengan kualitas

pengelolaan lahan dan/ atau tanaman. Dan memang telah banyak bukti

menunjukkan bahwa lahan yang tidak dikelola sebagaimana mestinya pasti

mengalami pemunduran kesuburannya. Pemunduran itu selain melalui pengurasan

unsur hara melalui pembakaran pada waktu pembukaan lahan, juga sering terjadi

melalui erosi tanah oleh air hujan, angin, dan/ atau di beberapa negara oleh salju.

Pemunduran oleh kedua penyebab tersebut nyata-nyata menurunkan produktivitas

tanah.

Kehilangan unsur hara sesungguhnya memang menurunkan produktivitas

lahan. Bila suatu lahan produktivitasnya telah rendah maka lahan itu akan

ditinggalkan dan selanjutnya secara berlahan-lahan berubah menjadi semak

belukar. Lahan seperti ini tergolong tidak produktif. Lahan yang tidak produktif

dan telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia, dan/atau biologis merupakan

istilah yang digunakan untuk lahan kritis.

Metode kerja yang dilakukan untuk analisa lahan kritis adalah berdasarkan

atas Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis tahun 2004 oleh

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dan Surat

Direktur Jenderal RLPS No. S.296/V-SET/2004 tanggal 5 Oktober 2004. Pada

dasarnya teknik yang digunakan dalam analisa ini adalah dengan metoda

(15)

memungkinkan analisa yang lebih luas untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan

lahan, maka skoring kekritisan lahan dalam SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998

perlu diperluas mencakup seluruh fungsi hutan dan di luar kawasan hutan sebagai

berikut;

o Total skor untuk kawasan hutan lindung dapat disetarakan untuk Kawasan

Hutan Lindung dan kawasan hutan konservasi

o Total skor untuk kawasan budidaya pertanian dapat disetarakan untuk areal

penggunaan lain (di luar kawasan hutan)

o Total skor untuk Kawasan Budidaya Kehutanan dapat disetarakan untuk

kawasan hutan produksi (hutan produksi tetap/produksi yang dapat

dikonversi dan hutan produksi terbatas).

Memperhatikan efektifitas penerapan kriteria inventarisasi lahan kritis

berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 terutama

untuk sub kriteria erosi dan singkapan batuan, maka telah dilakukan kajian

terhadap metoda pendukung identifikasi sub kriteria tersebut berdasarkan

data-data yang mudah diakses dan tersedia di seluruh Indonesia. Metoda pendukung

tersebut diharapkan dapat dijadikan sumber informasi utama untuk memfokuskan

survei lapangan untuk identifikasi erosi aktual dan outcrop. Salah satu sumber

informasi yang dapat digunakan adalah tingkat erosi berdasarkan land system dari

proyek Regional Physical Planning Program for Transmigration yang petanya

dalam skala 1:250.000 telah meliputi seluruh (100%) wilayah Indonesia. Kajian

komprehensif mengenai pemanfaatan data dari RePPProT telah dilakukan oleh

(16)

peta-peta lampiran di RePPProT dapat dimanfaatkan untuk penentuan kekritisan

lahan. (Junun, 1998).

Peta

Peta merupakan bagian yang dikehendaki dari hasil-hasil suatu

inventarisasi. Akan kecil artinya untuk mengetahui banyaknya kayu di dalam

hutan kecuali orang tahu di mana tempatnya, dan suatu sajian pelukisan menjadi

penting untuk tujuan ini (Hurch,1987).

Peta-peta juga dibutuhkan didalam survei-survei hutan dengan satu atau

lain alasan; untuk menetapkan rencana penerbangan guna pemotretan udara; untuk

menetapkan pola pencuplikan lapangan terhadap keadaan hutan; untuk

memungkinkan regu survei mencari areal yang diseleksi sebagai cuplikan; dan

akhirnya untuk melayani sebagai peta-peta dasar supaya tegakan-tegakan hutan

yang beragam dapat diklasifikasikan menurut ragam tipe, umur dan seterusnya

untuk dapat digambarkan (Yuliadji et al, 1994).

Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh dalam lingkup luas berarti setiap metodologi yang

digunakan untuk mempelajari karakteristik objek dari jarak jauh. Penglihatan,

penciuman, pendengaran manusia merupakan contoh bentuk penginderaan jarak

jauh. Banyak diatara sensor yang dibincangkan merekam data citra secara

elektronik, yang menyebabkan data ini dapat diproses dengan komputer.

Kemampuan sitem ini untuk melihat atau mengindera energi di luar bagian

tampak spektrum dan menyajikan data citra dalam bentuk digital, sangat

(17)

jauh (Wolf, 1993).

Teknologi penginderaan jauh telah berkembang dengan cepat sejak

manusia semakin sadar akan keseimbangan yang layak antara perkembangan

sumber daya dan pemeliharaan lingkungan. Sekarang penginderaan jarak jauh

merupakan cara yang praktis untuk memantau secara berulang dan cermat atas

sumber daya bumi secara menyeluruh. Data yang diperoleh dari penginderaan

jauh menyajikan informasi penting untuk memuat keputusan yang mantap dan

perumusan kebijaksanaan bagi berbagai penerapan pengembangan sumber daya

dan penggunaan lahan. Teknik penginderaan jauh juga telah dipergunakan untuk

penerapan khusus. Untuk kepentingan penelitian geologi, menentukan letak

kebakaran hutan, mendeteksi pohon dan tanaman yang terserang penyakit,

memantau pertambahan penduduk, menentukan lokasi dan bentang tumpahan

minyak dan pencemaran air yang lain, hanya merupakan beberapa contoh

penerapan penginderaan jauh yang bermanfaat bagi kemanusiaan (Wolf, 1993).

Sistem Informasi Geografis (SIG) Konsep Dasar dan Pemanfaatan SIG

Sistem informasi dapat dikelompokkan dalam sistem informasi

berdasarkan pada manajemen dan pada geografis, yang kemudian dapat dirinci

lagi ke dalam sistem manual dan sistem dengan menggunakan komputer. Sistem

Informasi Geografis (SIG) meliputi kegiatan-kegiatan yang pengelompokannya

terstruktur dengan komputer dan prosedur kerjanya meliputi masukan,

penyimpanan dan manipulasi, presentasi dan pemanggilan kembali data yang

berdasarkan dan berkaitan secara spasial. Sistem Informasi Geografis menangani

(18)

(Yuliadji et al, 1994).

Sistem informasi Geografik (SIG) terdiri dari seperangkat alat dan

digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menginterpretasi dan merekam

informasi geografik. Sistem informasi geografis membantu mengurangi kesalahan

oleh manusia dan menghilangkan beberapa pekerjaan dalam tugas-tugas pemetaan

dan penggambaran, dan sistem ini cepat dan efisien dalam memberikan informasi

spasial, termasuk beberapa jenis peta (Burrough, 1986).

Data sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah besar jarang yang telah

siap dalam bentuk untuk dimasukkan ke dalam komputer dan berujukan geografis

secara tepat dan otomatis. Penggunaan setiap SIG akan tergantung terutama pada

jenis, ketelitian, dan detil masukan data yang dimiliki (Howard, 1996)

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah suatu

sistem untuk mendayagunakan dan menghasilgunakan; pengolahan dan analisis

data spasial (keruangan) serta data non spasial (tabular), dalam memperoleh

berbagai informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan, baik yang

berorientasi ilmiah, komersil, pengelolaan maupun kebijaksanaan

(Yuliadji et al, 1994).

GIS singkatan dari GeographicInformation System atau Sistem Informasi

Geografis. GIS merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola

(input, manajemen, proses, dan output) data spasial atau data yang bereferensi

geografis. Setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut

sebagai data spasial bereferensi geografis. Misalnya data kepadatan penduduk

suatu daerah, data jaringan jalan suatu kota, data distribusi lokasi pengambilan

(19)

grafis dan data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan

bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular

adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut

(Nuarsa, 2005).

Komponen dasar dalam penggunaan SIG

Menurut Anam (2005), komponen yang membangun SIG ada lima bagian

yaitu :

1. Perangkat Lunak (Software)

Komponen software ini mencakup didalamnya adalah software GIS dan

juga perangkat software pendukung lainnya yaitu operating system dan

software database lainnya seperti oracle.

2. Perangkat Keras (Hardware)

Hardware komputer ini digunakan untuk mendukung bekerjanya GIS.

Dan juga komponen hardware pendukung lainnya diantaranya adalah

plotter, printer, scanner dan digitizer.

3. Sumberdaya Manusia

Untuk menjalankan GIS diperlukan operator komputer GIS, untuk

pembuatan aplikasi GIS dibutuhkan ahli programmer, untuk mendesain

suatu sistem GIS diperlukan ahli analisis system GIS.

4. Data

Komponen ini sangat menentukan kualitas informasi dari output GIS.

Pemahaman sistem data, termasuk didalamnya adalah sistem referensi

(20)

5. Metode

Metode adalah prosedur atau ketentuan pembangunan GIS.

Penafsiran Citra Secara Visual Dasar Teori

Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk

mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam

citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya ( Howard,

1991 ). Penafsiran citra merupakan kegiatan yang didasarkan pada deteksi dan

identifikasi obyek dipermukaan bumi pada citra satelit landsat TM7+. Dengan

mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsure-unsur utama spectral dan spasial

serta kondisi temporalnya.

Teknik penafsiran

Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat

melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil

penafsiran pada tingkat keakuratan dan kelengkapan yang baik. Menurut Sutanto,

teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan

komponen penafsiran yang meliputi:

1. data acuan

2. kunci interpretasi citra atau unsur diagnostic citra

3. metode pengkajian

(21)

1. Data acuan

Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan

seorang penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi

daerah, peta, dan yang terpenting disini data diatas dapat meningkatkan

local knowledge pemahaman mengenai lokasi penelitian.

2. Kunci interpretasi citra atau unsur diagnostic citra

Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Untuk

itu identitas dan jenis obyek pada citra sangat diperlukan dalam analisis

memecahkan masalah yang dihadapi. Karakteristik obyek pada citra dapat

digunakan untuk mengenali obyek yang dimaksud dengan unsur

interpretasi. Unsur interpretasi yang dimaksud disini adalah :

Rona / warna

Rona dan warna merupakan unsur pengenal utama atau primer

terhadap suatu obyek pada citra penginderaan jauh. Fungsi utama

adalah untuk identifikasi batas obyek pada citra. Penafsiran citra

secara visual menuntut tingkatan Rona bagian tepi yang jelas, hal ini

dapat dibantu dengan teknik penajaman citra (enhacement) . Rona

merupakan tingkat / gradasi keabuan yang teramati pada citra

penginderaan jauh yang dipresentasikan secara hitam-putih.

Permukaan obyek yang basah akan cenderung menyerap cahaya

elektromagnetik sehingga akan nampak lebih hitam disbanding

(22)

Warna

Warna merupakan wujud yang yang tampak mata dengan

menggunakan spectrum sempit, lebih sempit dari spectrum

elektromagnetik tampak (Sutanto, 1986). Contoh obyek yang

menyerap sinar biru dan memantulkan sinar hijau dan merah maka

obyek tersebut akan tampak kuning. Dibandingkan dengan Rona,

perbedaaan warna lebih mudah dikenali oleh penafsir dalam

mengenali obyek secara visual. Hal inilah yang dijadikan dasar untuk

menciptakan citra multispektral.

Bentuk

Bentuk dan ukuran merupakan asosiasi sangat erat. Bentuk

menunjukkan konfigurasi umum suatu obyek sebagaimana terekam

pada citra penginderaan jauh . Bentuk mempunyai dua makna yakni :

a. bentuk luar / umum

b. bentuk rinci atau sususnana bentuk yang lebih rinci dan spesifik.

Ukuran

Ukuran merupakan bagian informasi konstektual selain bentuk dan

letak. Ukuran merupakan atribut obyek yang berupa jarak , luas ,

tinggi, lereng dan volume (Sutanto, 1986). Ukuran merupakan

cerminan penyajian penyajian luas daerah yang ditempati oleh

kelompok individu.

Tekstur

Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra

(23)

unit kenampkan yang kecil, tekstur sering dinyatakan kasar, halus,

ataupun belang-belang (Sutanto, 1986). Contoh hutan primer

bertekstur kasar, hutan tanaman bertekstur sedang, tanaman padi

bertekstur halus.

Pola

Pola merupakan karakteristik makro yang digunakan untuk

mendiskripsikan tata ruang pada kenampakan di citra. Pola atau

susunan keruangan merupakan ciri yang yang menandai bagi

banyak obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Hal

ini membuat pola unsur penting untuk membedakan pola alami dan

hasil budidaya manusia. Sebagai contoh perkebunan karet , kelapa

sawit sanagt mudah dibedakan dari hutan dengan polanya dan jarak

tanam yang seragam.

Bayangan

Bayangan merupakan unsur sekunder yang sering membantu untuk

identifikasi obyek secara visual , misalnya untuk mengidentifikasi

hutan jarang, gugur daun, tajuk (hal ini lebih berguna pada citra

resolusi tinggi ataupun foto udara)

Situs

Situs merupakan konotasi suatu obyek terhadap faktor-faktor

lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan atau keberadaan

suatu obyek. Situs bukan ciri suatu obyek secara langsung, tetapi

(24)

bersitus pada pantai tropic, ataupun muara sungai yang

berhubungan langsung dengan laut (estuaria) (Sutanto, 1986).

Asosiasi (korelasi )

Asosiasi menunjukkan komposisi sifat fisiognomi seragam dan

tumbuh pada kondisi habitat yang sama. Asosiasi juga berarti

kedekatan erat suatu obyek dengan obyek lainnya. Contoh

permukiman kita identik dengan adanya jaringan transportasi jalan

yang lebih kompleks dibanding permukiman pedesaan. Konvergensi

bukti dalam proses penafsiran citra penginderaan jauh sebaiknya

digunakan unsur diagnostic citra sebanyak mungkin. Hal ini perlu

dilakukan karena semakin banyak unsur diagnostic citra yang

digunakan semakin menciut lingkupnya untuk sampai pada suatu

kesimpulan suatu obyek tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Sub-sistem SIG

Yuliadji (1994) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis pada

dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu :

1. Input Data

Input data dalam SIG terdiri dari data grafis atau data spasial dan data

atribut. Kumpulan data tersebut disebut database. Database tersebut meliputi data

tentang posisinya di muka bumi dan data atribut dari kenampakan geografis yang

disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau vektor, area dan piksel atau grid.

Sumber database untuk SIG secara konvensional dibagi dalam tiga kategori :

a. Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data sensus,

(25)

b. Data grafis atau data spasial, berasal dari peta analog, foto udara dan citra

penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas.

c. Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh dari

satelit (Landsat, SPOT, NOOA).

2. Pemrosesan Data

Pemrosesan terdiri dari manipulasi dan analisis data. Fungsi dari

manipulasi dan analisis data dilakukan untuk kepentingan geometrik yang

digunakan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pencarian lokasi

atau luas areal yang sesuai dengan kriteria tertentu atau dapat pula dalam

pencarian informasi yang ada dalam suatu tempat tertentu. Manipulasi dilakukan

dengan rotasi, pengubahan dan penskalaan koordinat, konversi koordinat geografi,

registrasi, analisis spasial dan statistik. Analisis data yang ada pada database

dilakukan dengan menggunakan overlaying beberapa layer tematik yang

berkaitan.

3. Output Data

Output dari SIG dapat berupa peta hasil cetak warna, peta digital, dan data

tabuler. Peta hasil cetak dapat berupa peta garis (dengan menggunakan plotter)

maupun peta biasa (dengan menggunakan printer).

(26)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan penelitian lapangan

dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara.

Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai dengan

Oktober 2007.

Bahan dan Alat Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Peta digital penunjukan kawasan hutan yang sudah ditetapkan dengan SK

Menteri Kehutanan No. 44 tahun 2005, skala 1:50000.

2. Citra satelit (landsat TM) Kabupaten Asahan tahun 2005

3. Data digital DAS Asahan yang bersumber dari BPDAS Barumun,

Pematangsiantar

4. Peta digital administrasi Kabupaten Asahan

5. Peta kelerengan lahan

6. Peta bahaya Erosi

Alat

Alat yang digunakan adalah PC beserta kelengkapannya dengan perangkat

lunak (software) , ArcView 3.3 dan printer untuk mencetak peta. Alat yang

(27)

Metode Penelitian 1. Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah jenis data spasial. Data

spasial adalah data yang berbentuk peta digital yaitu Citra Satelit Landsat TM

tahun 2005 dan peta digital penunjukan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh

Badan Planologi Digital Kehutaan, peta digital DAS Asahan dan peta digital

administrasi kabupaten Asahan yang dikeluarkan oleh Balai Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai (BPDAS) Barumun, Pematangsiantar.

2. Pengolahan citra

Sebelum Citra landsat TM tahun 2005 diinterpretasi terlebih dahulu

dilakukan pengkombinasian band (Stacking). Pemilihan kombinasi band ini akan

mempengaruhi penampakan warna citra. Tahap selanjutnya melakukan klasifikasi

penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan dengan interpretasi

visua yakni dengan mengamati unsur-unsur yang terdapat dalam citra. Unsur

interpretasi yang dimaksud disini yaitu; rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola,

bayangan, dan asosiasi. Pengklasifikasi ini dilakukan dengan terlebih dahulu

mendeliniasi penggunaan lahan berdasarkan analisis visual sehingga

mengelompokkan yang lebih mewakili kedalam beberapa kelas penggunaan

lahan.

3. Input Data Spasial (Parameter Lahan Kritis).

Data spasial lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa

(28)

penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998

meliputi:

• kondisi tutupan vegetasi

• kemiringan lereng

• tingkat bahaya erosi dan

• kondisi pengelolaan (manajemen)

Data spasial lahan kritis dapat disusun apabila data spasial ke 5 (lima)

parameter tersebut di atas sudah disusun terlebih dahulu. Data spasial untuk

masing-masing parameter harus dibuat dengan standar tertentu guna

mempermudah proses analisis spasial untuk menentukan lahan kritis. Standar data

spasial untuk masing-masing parameter meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi

3.1 Data Spasial Tutupan Lahan

Informasi tentang liputan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra

penginderaan jauh Citra satelit TM tahun 2005 yang dimiliki BPDAS Barumun,

Pematangsiantar.

Dalam penentuan kekritisan lahan, parameter liputan lahan mempunyai

bobot 50%, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara

skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi tutupan lahan dan skor untuk

(29)

Tabel 1. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoringnya

Kelas Skor Skor x Bobot (50)

Sangat Baik 5 250

Baik 4 200

Sedang 3 150

Buruk 2 100

Sangat Buruk 1 50

3.2 Data Spasial Kemiringan Lereng.

Data spasial kemiringan lereng disusun dari hasil pengolahan data kontur

dalam format digital. Klasifikasi kemiringan lereng dan skor untuk

masing-masing kelas ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2. Klasifikasi Lereng dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis.

Kelas Kemiringan Lereng(%) Skor

Datar < 8 5

Landai 8 - 15 4

Agak Curam 16 - 25 3

Curam 26 - 40 2

Sangat Curam > 40 1

3.3 Data Spasial Tingkat Erosi.

Data spasial tingkat erosi diperoleh dari pengolahan data spasial sistem

lahan (land system). Klasifikasi Tingkat Erosi dan skor untuk masing-masing

(30)

Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis.

Kelas Besaran / Deskripsi Skor

Ringan Tanah dalam:

<25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m

Tanah dangkal:

25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m

5

Sedang Tanah dalam:

25 – 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m

Tanah dangkal:

25 – 50 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20 - 50 m

4

Berat Tanah dalam:

Lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal:

Semua lapisan tanah atas hilang >25 % lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m

2

Tanah dangkal >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi

1

Untuk menyesuaikan data pengkelasan tingkat erosi dengan yang

sebelumnya maka kelas tingkat erosi dibagi menjadi 5 (lima) kelas yaitu mulai

(31)

3.4 Kriteria Manajemen.

Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk

menilai kekritisan lahan di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan

kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan,

pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Data

tersebut diperoleh melalui checking lapangan dengan sistem sampling. Data hasil

survei tersebut diolah untuk dijadikan sebagai updateting data yang sudah ada.

Sesuai dengan karakternya, data tersebut juga merupakan data atribut. Seperti

halnya dengan kriteria produktivitas, manajemen pada prinsipnya merupakan data

atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen.

Klasifikasi manajemen dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan

pada tabel beikut.

Tabel 4. Klasifikasi Manajemen dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis

Kelas Besaran / Deskripsi Skor

Skor x Bobot - Pengamanan pengawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan

4. Analisis Spasial.

Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah metode skoring.

Setiap parameter penentu kekritisan lahan diberi skor tertentu seperti telah

(32)

skor tersebut kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya

diklasifikasikan untuk menentukan tingkat kekritisan lahan. Klasifikasi tingkat

kekritisan lahan berdasarkan jumlah skor parameter kekritisan lahan seperti

ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Total Skor

Total Skor Pada:

Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Hutan

Lindung Kawasan Budidaya Kehutanan

120 - 180 110 - 200 Sangat Kritis

181 - 270 201 - 275 Kritis

271 - 360 276 - 350 Agak Kritis

361 - 450 351 - 425 Potensial Kritis

451 - 500 426 - 500 Tidak Kritis

Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan lahan kritis dengan

bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView dapat

dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing.

Uraian secara rinci tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

Tumpangsusun (overlay) Data Spasial. Dengan menggunakan bantuan perangkat

lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView dapat dilakukan overlay dengan

mudah. Software tambahan (extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam

Software ArcView sangat berperan dalam proses ini. Didalam extension ini

terdapat beberapa fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti; union, dissolve,

(33)

Gambar 1. Kotak Dialog untuk Memilih Teknik Overlay .

Proses overlay ini dilakukan secara bertahap dengan urutan mulai overlay

theme Vegetasi dengan kelas kemiringan lereng kemudian hasil overlay tersebut

dioverlaykan kembali dengan theme erosi. Proses ini dilakukan untuk

theme-theme berikutnya dengan cara yang sama sebagaimana terlihat pada diagram

(34)
(35)

Gambar 3. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan Budidaya Kehutanan

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN PETA DASAR

Data-data dasar yang digunakan dalam penelitian ini berupa data digital

yang sama yang digunakan BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai),

Pematangsiantar, sehingga dengan adanya dukungan data yang sesuai maka

pengelolaan analisis yang dilakukan dalam penelitian dapat membantu dalam

menghasilkan informasi yang tepat.

Peta dasar lokasi penelitian merupakan hasil turunan dari peta dasar

administrasi Kab. Asahan dan peta tematik lainnya, yaitu peta kondisi tutupan

vegetasi ,kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop),

serta peta kondisi pengelolaan (manajemen). Pengelolaan peta dan data dasar

merupakan kegiatan yang dilakukan melalui proses pemotongan sesuai dengan

wilayah penelitian (DAS Asahan), sehingga peta dasar yang dihasilkan

merupakan peta dasar yang hanya memprioritaskan wilayah penelitian pada

Kabupaten Asahan.

Peta dasar yang telah dikumpulkan dari dinas-dinas kehutanan Sumatera

Utara, masih dalam satuan DAS ataupun Sub-DAS. Oleh karena itu untuk

mendapatkan peta tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Asahan, terlebih dahulu

harus dilakukan penumpangtindihan (overlay) antara peta administrasi Kabupaten

(37)

BANDAR PULAU

Peta Lokasi Sumatera Utara Skala 1: 10.000.000

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Administrasi Kab. Asahan

Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Asahan

Data Base Penggunaan Lahan di Kabupaten Asahan

Dari data base penggunaan lahan diperoleh dari hasil interpretasi secara

visual. Analisis visual merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan

mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra. Adapun

(38)

520000

Sumber Peta : 1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Hasil Interpretasi Citra Satelit Landsat E TM+ skala 1:750.000

Keterangan :

Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 10.000.000 PETA PENGGUNAAN LAHAN

KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:750.000

kombinasi band 453 (false color), hal ini bertujuan untuk mendapatkan Informasi

tentang liputan lahan/ penutupan vegetasi. Peta penggunaan lahan hasil

interpretasi di Kabupaten Asahan dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:

(39)

Tutupan lahan di Kabupaten Asahan hasil interpretasi Citra satelit

(landsat-TM) tahun menunjukkan tutupan lahan di Kabupaten Asahan didominasi

oleh kebun campuran seluas ±105.957,77ha (33,86%), kemudian disusul tutupan

hutan seluas ±84.664,57ha (27,06%), rawa seluas ±34.487,37ha (11,02%)

sedangkan belukar ±24.861,08ha (7,94%), selebihnya terbagi habis dengan

tutupan lahan lainnya seperti ladang, sawah, perkebunan, pemukiman dan

mangrove. Adapun secara rinci tutupan lahan di Kabupaten Asahan dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 6. Jenis Tutupan Lahan di Kabupaten Asahan

Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Luas (%)

Belukar 24.861,08 7,94

Hutan 84.665,57 27,06

Kebun Campuran 105.957,77 33,86

Madang 20.911,98 6,68

Mangrove 2.980,72 0,95

Perkebunan 17.119,45 5,47

Rawa 34.487,37 11,02

Sawah 18.640,81 5,96

Pemukiman 3.291,02 1,05

TOTAL 312.919,77

Data Base Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan

Kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK No.

(40)

Peta Digital Penunjukan Kawasan Hutan

Peta Lokasi Sumatera Utara Skala 1: 000.000

PETA KAWASAN HUTAN KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:800.000

untuk Kabupaten Asahan terdiri dari lima fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung

(HL), Hutan Produksi (HP), Hutan produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi

Terbatas (HPT) dan Luar Kawasan Hutan (LKWHT).

(41)

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penggunaan Lahan

BANDAR PULAU BANDAR PAS IR BANDOGE

SEI KEPAYANG

Peta Lokasi Kabupaten Asahan Skala 1: 55.000

PETA TUTUPAN TAJUK DI KAWASAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

INPUT DATA SPASIAL (PARAMETER LAHAN KRITIS)

Data Spasial Tutupan Lahan

Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan prosentase tutupan tajuk pohon

dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas tutupan lahan

selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Dalam penentuan

kekritisan lahan, parameter liputan lahan pada Hutan Lindung (HL) dan Kawasan

Budidaya Kehutanan (KBK), mempunyai bobot 50, sehingga nilai skor untuk

(42)

520000

Keterangan : Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 10.000.000

Sumber Peta : 1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penggunaan Lahan

Baik Skala 1:300.000

N

PETA TUTUPAN TAJUK DI KAWASAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

Gambar 8. Peta Penutupan Tajuk di Kawasan Budidaya Kehutanan

Tutupan lahan merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam analisa

data spasial lahan kritis, ini ditunjukkan dengan besar bobot yang diberikan yaitu

sebesar 50 pada arahan fungsi kawasan hutan lindung, dan pada Kawasan

Budidaya Kehutanan. Dalam analisa, tutupan lahan pada kawasan Hutan Lindung

dan Kawasan Budidaya Kehutanan klasifikasi tutupan lahan dan skor untuk

(43)

Tabel 7. Klasifikasi Tutupan Lahan

Kondisi tutupan lahan diperoleh berdasarkan pengkelasan nilai Cp

(pengelolaan tanaman dan pengkonservasian lahan) dari hasil interpretasi citra.

Klasifikasi kelas kerapatan tajuk di Kabupaten Asahan mulai dari pada Hutan

Lindung (HL) maupun pada Kawasan Budidaya Kehutanan, di dominasi oleh

tingkat kerapatan “sangat baik”. Untuk arahan fungsi lahan Hutan Lindung diikuti

oleh tingkat kerapatan “sangat buruk”, 0,44% dari luas keseluruhan kawasan

Hutan Lindung. Sementara untuk arahan fungsi lahan Kawasan Budidaya

Kehutanan diikuti oleh tingkat kerapatan “baik” yakni sebesar 40,63% dari luas

keseluruhan Kawasan Budidaya Kehutanan.

Data Spasial Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak

vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat

dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan

0

(44)

512000

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penunjukan Kawasan

BANDAR PULAU BANDAR PAS IR BANDOGE

SEI KEPAYANG

Peta Lokasi Kabupaten Asahan Skala 1: 55.000

4. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:50.000 PETA KELERENGAN DI KAWASAN

HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:300.000

data ketinggian garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta

rupabumi. Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan

lereng dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer

apabila telah tersedia data kontur dalam format digital. Kemiringan lereng di

DAS Asahan Kabupaten Asahan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi

(45)

520000

Keterangan : Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 000.000

4. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:50.000

Sumber Peta : 1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penunjukan Kawasan PETA KELERENGAN PADA KAWASAN

BUDIDAYA KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:750.000

Gambar 10. Peta Kelerengan di Kawasan Budidaya Kehutanan

Berdasarkan hasil yang ditampilkan oleh Gambar 9 dan Gambar 10, maka

berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng dapat diketahui sebaran luas arahan

fungsi lahan. Sebaran luas arahan fungsi lahan berdasarkan klasifikasi kemiringan

(46)

Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng

Kelas Kemiringan Lereng (%)

Skor

Luas (Ha) Luas (%)

HL KBK HL KBK

Datar < 8 5 84,3 35.847,43 0.24 41.08

Landai 8 - 15 4 843,24 15.015,24 2.42 17.21

Agak Curam 16 - 25 3 7.051,35 15.676,66 20.27 21.40

Curam 26 - 40 2 4.682,95 11.682,68 13.46 13.39

Sangat Curam > 40 1 22.110,34 6.024,29 63.58 6.91

Faktor kelerengan berperan besar terhadap penentuan kelas kekritisan

lahan. Semakin tinggi kemiringan lereng, maka pengaruhnya terhadap kekritisan

lahan juga akan semakin besar. Faktor kelerengan untuk arahan fungsi kawasan

Hutan Lindung lebih berpengaruh besar dibandingkan dengan arahan fungsi

Kawasan Budidaya Kehutanan. Hal ini terlihat dari besarnya nilai bobot yang

diberikan pada arahan fungsi kawasan pada Hutan Lindung sebesar 20. Sedangkan

untuk arahan fungsi KBK sebesar 10.

Berdasarkan klasifikasi tersebut keadaan topografi Kabupaten Asahan

untuk arahan fungsi lahan Hutan Lindung kelas kemiringan lereng yang paling

mendominasi adalah kelas “sangat curam” yakni dengan luasan sebesar

22.110,34Ha atau 63,58 % dari keseluruhan luas Hutan Lindung di Kabupaten

Asahan. Untuk arahan fungsi areal Kawasan Budidaya Kehutanan., kelas

kemiringan lereng “datar” yang paling banyak dijumpai yakni sebesar

(47)

Data Spasial Tingkat Erosi

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah

dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Erosi

menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk

pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan

menahan air. Secara umum, terjadinya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim

(terutama intensitas hujan), topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah,

dan tata guna lahan.

Data spasial tingkat erosi diperoleh dari pengolahan data spasial sistem

lahan (land system). Setiap poligon (unit pemetaan) land system mempunyai data

atribut yang salah satunya berisikan informasi tentang bahaya erosi. Adapun luas

secara rinci masing-masing kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada peta dan

(48)

Peta Lokasi Kabupaten Asahan Skala 1: 55.000

Sumber Peta :

Keterangan :

BANDAR PULAU BANDAR PAS IR BANDOGE

SEI KEPAYANG

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta tematik intensitas curah hujan

4. Peta Tematik Jenis Tanah 5. Peta Tematik Penggunaan Lahan 6. Peta tematik Kelerengan

512000

PETA BAHAYA EROSI DI KAWASAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

N

(49)

KAB. HUMBANG

Peta Lokasi Sumatera Utara Skala 1: 10.000.000

4. Peta Tematik Jenis Tanah 5. Peta Tematik Penggunaan Lahan 6. Peta tematik Kelerengan 1. Peta Tematik DAS Asahan

2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta tematik intensitas curah hujan Sumber Peta :

PETA BAHAYA EROSI PADA KAWASAN BUDIDAYA KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:800.000

(50)

Tabel 9. Klasifikasi Tingkat Erosi

Dari hasil tabulasi diatas kelas tingkat erosi di Kabupaten Asahan masih

termasuk kelas erosi “ringan”. Pada arahan fungsi lahan Kawasan Budidaya

Kehutanan yang mengalami erosi sangat berat adalah seluas 50.320,11Ha atau

7.38% dari luas total Kawasan Budidaya Kehutanan. Sedangkan pada arahan

fungsi lahan kawasan Hutan lindung terdapat 569,03Ha termasuk kelas erosi “ Sangat Berat”.

Kriteria Manajemen.

Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk

menilai kekritisan lahan di kawasan hutan, yang dinilai berdasarkan kelengkapan

aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan

pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Data tersebut diperoleh

melalui checking lapangan dengan sistem sampling. Data hasil survei tersebut

diolah untuk dijadikan sebagai updateting data yang sudah ada. Sesuai dengan

karakternya, data tersebut juga merupakan data atribut. Manajemen pada

prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek

(51)

manajemen kawasan hutan di Kabupaten Asahan akan tetapi Balai Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pematangsiantar, manajemen pengelolaan untuk

Das Asahan masit tergolong sedang, atau dalam besarannya dikatakan tidak

lengkap. Bobot yang diberikan untuk penunjukan fungsi Kawasan Budidaya

Kehutanan bobot yang diberikan lebih besar yakni 30 dibandingkan untuk

penunjukan fungsi Hutan Lindung sebesar 10.

TINGKAT KEKRITISAN LAHAN.

Menurut Direktorat Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan Kritis (1997), lahan

kritis didefenisikan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga

kehilangan atau berkurang fungsinya sampai batas yang ditentukan/ diharapkan

(Dinas Kehutanan dan Perkebunan Labuhan Batu, 2002). Sedangkan Mahfudz

(2001) menyataka secara umum ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan

gersang dan bahkan batuan-batuan dipermukaan tanah, topografi lahan pada

umumnya berbukit atau berlereng curam.

Berdasarkan peta penunjukan kawasan, secara keseluruhan luas total

kawasan hutan Kabupaten Asahan yakni ±119092Ha. Untuk kawasan hutan

tingkat kekritisan di Kabupaten Asahan didominasi oleh tingkat kekritisan lahan

potensial kritis pada arahan fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan seluas

±59.795,03Ha. Jika lahan kritis merupakan kelompok dari kelas kekritisan agak

kritis, kritis, hingga sangat kritis maka luas lahan kritis yang terbesar terdapat di

arahan fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan, yaitu sebesar ±13872.13ha atau

±16.44% dari total luas KBK. Pada arahan fungsi hutan lindung, luas lahan kritis

(52)

520000

Sumber Peta : 1. Peta Tematik Kelas Kelerengan 2. Peta Tematik Behaya Erosi 3 Peta Tematik Penutupan Lahan 4. Peta Tematik Manajemen

Agak Kritis

Kritis

Potensial Kritis

Sangat Kritis Tidak Kritis

Keterangan : Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 10.000.000 PETA TINGKAT KEKRITISAN KAWASAN HUTAN

KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:650.000

A P L

(53)

Adapun secara rinci tingkat kekritisan lahan pada Kawasan hutan di

Kabupaten Asahan secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Klasifikasi Kekritisan Lahan Secara Keseluruhan untuk Kawasan Hutan

Kabupaten Asahan.

Total 34747.46 29141.54 21923.09 33279.92

Dari hasil tabulasi tingkat kekritisan lahan potensial kritis merupakan yang

mendominasi untuk tingkat kekritisan Kawasan Hutan Kabupaten Asahan secara

keseluruhan. Sementara itu areal fungsi Hutan Produksi Konservasi (HPK)

merupakan kawasan hutan terluas (33279.92Ha), akan tetapi lahan kritis terluas

berada di kawasan areal fungsi Hutan Produksi Terbatas yakni seluas 5.625,28Ha,

4.72% dari total luas Kawasan hutan Kab. Asahan yang terdiri dari HL, HP, HPK,

dan HPT. Dari hasil kalkulasi total lahan kritis di areal hutan Kab. Asahan sebesar

(54)

Pada umumnya, penduduk yang tinggal di kawasan hutan relatif miskin

hal ini disebabkan pemberdayaan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan

masalah kemiskinan penduduknya, tingginya kepadatan populasi, kecilnya luas

lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang terdegradasi. Oleh karena

itu perlu diterapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan melibatkan penduduk

dan kelembagaan (Mahfudz, 2001). Meluasnya lahan kritis disebabkan oleh

beberapa hal antara lain tekanan penduduk, perluasan areal pertanian yang tidak

sesuai, perladangan berpindah, padang penggembalaan yang berlebihan,

pengelolaan hutan yang tidak baik, dan pembakaran yang tidak terkendali

(Mahfudz, 2001).

Fujisaka dan Carrity (1989) dalam Mahfudz (2001) mengemukakan bahwa

masalah utama yang dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah

tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara.

Permasalahan yang diperkirakan masih dihadapi dalam pembangunan

kehutanan pada tahun 2007 adalah: (1) masih lemahnya kapasitas kelembagaan

pengelola sumber daya hutan khususnya di tingkat lapangan sehingga pengelolaan

hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management/SFM) masih belum

dapat dilaksanakan dengan baik; (2) belum optimalnya pemanfaatan aneka fungsi

hutan karena pengelolaan hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu; (3) masih

belum selesainya restrukturisasi industri kehutanan sehingga permintaan bahan

baku kayu dari industri dalam negeri jauh melebihi kemampuan penyediaan yang

berkelanjutan; (4) masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran UU

dan peraturan yang terkait dengan kehutanan sehingga kasus-kasus pembalakan

(55)

pembakaran hutan, konversi kawasan hutan , dll masih sering terjadi; (5)

kurangnya pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, antara

lain karena tidak jelasnya pelaksanaan aturan kerjasama pemerintah dan

masyarakat, serta kondisi kemiskinan masyarakat sehingga cenderung mudah

dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan ilegal; (6) kurang efektifnya

pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, perlindungan dan

konservasi, penatagunaan kawasan hutan, dan lain-lain. Keseluruhan

permasalahan tersebut juga berlaku untuk Kaupaten Asahan oleh karena itu perlu

adanya upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan, serta rekomendasi

kegiatan-kegiatan pengolahan lahan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi

(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Luas penggunaan lahan kawasan hutan di Kabupaten asahan dengan

pembagian fungsi kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 21.511,84Ha,

Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 37907.77Ha dan Hutan Produksi

Terbatas (HPT) seluas 21.967,53, Hutan lindung (HL) seluas 347.47,46Ha

dan areal penggunaan lain (APL) seluas 592.425,05ha.

2. Tingkat kekritisan lahan potensial kritis merupakan yang mendominasi

untuk tingkat kekritisan Kawasan Hutan Kabupaten Asahan secara

keseluruhan yakni seluas 99306.96Ha atau 85,5% dari luas total kawasan

hutan yang ad di Kabupaten Asahan.

3. Luas lahan kritis pada fungsi kawasan Hutan Lindung seluas ±167.22ha

atau ±0.48% dari total keseluruhan luas kawasan hutan lindung menurut

SK MenHut No.44/MenHut-II/2005.

4. Luas lahan kritis pada fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan seluas

6279.32Ha yang terbagi berdasarkan fungsi penunjukan kawasannya yakni

Hutan Produksi (HP) seluas 340.47Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK)

seluas 3279.37Ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2659.48Ha.

(57)

1. Adapun kegiatan identifikasi lahan kritis ini bersifat umum karena

bergantung pada ketersediaan data yang sangat terbatas. Hasil identifikasi

ini nantinya dapat disempurnakan dengan data yang lebih akurat, dan

komprehensif.

2. Tehadap penunjukan fungsi di luar kawasan hutan atau areal penggunaan

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Burrough, P. A. 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clanrendon Press. Oxford.

FAO, 1976. A Framework for Land Evaluation. Di dalam Luthfi Rayes (2006) Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit ANDI. Yogyakarta

Howard, J. A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumber Haya Hutan: Teori dan Aplikasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Remote Sensing of Forest Resources: Theory and Application

Huch,B.1987. Perencanaan Invenventarisasi Hutan. Diterjemahkan oleh: Agus Setyarso.Judul asli; Planning A Forest Inventory

Lahjie, A.M. 2004. Teknik Agroforesti. Universitas Mulawarman. Samarinda

Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nuarsa I Wayan. 2005. Belajar Sendiri Menganalisis Data Spasial Dengan ArcView GIS 3.3 untuk Pemula. PT Alex Media Computindo. Jakarta

Rayes, Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit ANDI. Yogyakarta

Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sagala, P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Yuliadji,. R W.,G. F. Suryono dan A. Ruben. 1994. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Informasi Pembangunan. Di dalam Agus W, R Djamaludding,G Hendrarto, editor.Remote Sensing & Geographic information Systems. Year Book 93/94. BPPT. Jakarta

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoringnya
Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoringnya Untuk Penentuan
Tabel 4. Klasifikasi Manajemen dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis
Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Total Skor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ahli Ekonomi Islam (Ulama yang pakar Ekonomi) telah Ijma’ tentang keharaman bunga

Pengunjung yang datang berenang dan membawa barang bawaan datng ke loker dan menitipkannya. Bertambahnya pengunjung yang mempercayakan barang – barang mereka di loker yang kami

Valitsin tähän tutkimukseen henkilöitä, joilla oli kokemusta tutkimuksen kohteena olevasta ilmiöstä eli he olivat omaishoitajia ja olivat osallistuneet

Untuk Leverage lebih besar dari satu, maka perubahan nilai spread yang diakibatkan oleh perubahan waktu sampai jatuh tempo adalah tidak searah, sehingga spread semakin

Penentuan yang dimaksud disini adalah penentuan secara komputerisasi, yaitu dengan cara seorang pakar memberikan informasi berupa data- data tentang gejala beserta nilai

 Rule of law   merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologi yang khas dan akar budaya yang khas pula. Rule of law    juga merupakan legalisme yaitu suatu

Dengan ini memberikan ijin kepada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar selaku penyelenggara Kompetisi Video Edukasi (KVE) untuk menggunakan karya

Mata kuliah ini bertujuan membekali mahasiswa tentang pembelajaran pemecahan masalah matematika di SD yang meliputi: perspektif baru dalam pembelajaran matematika,