ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL
PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM
TESIS
Oleh
DEWI AYU LARASATI
NIM. 097009008/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL
PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
DEWI AYU LARASATI
NIM. 097009008/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM
Nama Mahasiswa : Dewi Ayu Larasati
Nomor Pokok : 097009008
Program Studi : Linguistik
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr.Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) (Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph. D) (Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal 12 Juli 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
Anggota : 1. Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.
2. Dr. Eddi Setia, M.Ed., TESP.
PERNYATAAN
Judul Tesis
ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI
KARYA UMAR KAYAM
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya
sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil
karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai
dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini
bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 12 Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama Lengkap : Dewi Ayu Larasati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl. Lahir : P. Berandan/3 Mei 1979
Alamat : Komplek TASBI Blok AA NO. 26, Medan
Agama : Islam
Telp. : 0812 640 4498
Email : dewiayularasaty@yahoo.com
II. Riwayat Pendidikan
SD : SD Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1991)
SMP : SMP Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1994)
SMA : SMA Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1997)
S1 : Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara
(Tamat 2001)
S2 : Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Bicara mengenai etika adalah suatu hal yang tak terhindarkan bagi suatu
masyarakat plural yang mau mencari orientasi nilai. Tesis ini berjudul Etika
Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam; yang mana
memfokuskan analisis terhadap etika kekuasaan dalam budaya Jawa yang terdapat
dalam sebuah karya sastra.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU).
Dengan diselesaikannya tesis ini, penulis berharap dapat memberikan suatu
kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah
ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjembatani harapan dan
keinginan banyak pihak untuk ‘menghidupkan’ dan ‘menghidupi’ nilai-nilai kearifan
dalam budaya Jawa, khususnya dalam hal etika untuk mencapai dan menjalani
kekuasaan.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna
dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca: melainkan
merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan
konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di
lain waktu.
Medan, Juli 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur tercurah sepenuhnya kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini yang berjudul ‘Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi karya Umar
Kayam.’ Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, tauladan
terbaik bagi seluruh umat manusia.
Dengan terselesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya dan hormat atas segala bimbingan, pengarahan, serta
dorongan yang telah diberikan kepada penulis, dan disertai doa semoga amal beliau
diterima Allah SWT sebagai amalan yang shaleh kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc., (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. dan Dr. Nurlela, M. Hum selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, MSi. dan Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.
5. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP, dan Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku penguji
yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
7. Orang tua penulis, Bapak H. Iman Soeryadhie. S dan Ibu Hj. Sari Mas Bulan,
serta Ibu mertua, Yohani Yanuar.
8. Suami penulis, Fadlan Lubis.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu.
Akhirnya, semoga tesis ini membawa manfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Amin.
Medan, Juli 2011
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR…...i
UCAPAN TERIMA KASIH...iii
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL...ix
DAFTAR BAGAN...x
DAFTAR GAMBAR...xi
DAFTAR LAMPIRAN...xii
GLOSARIUM...xiii
ABSTRAK...xvii
ABSTRACT………...xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...1
1.2 Identifikasi Masalah...8
1.3 Batasan Masalah...9
1.4 Perumusan Masalah...9
1.5 Tujuan Penelitian...9
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoretis...10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka………11
2.2 Konsep 2.2.1 Definisi Etika 2.2.1.1 Etika Jawa………16
2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup………...18
2.2.2 Kekuasaan Jawa 2.2.2.1 Hakikat Kekuasaan………..20
2.2.2.2 Perspektif Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa………23
2.3 Landasan Teori………28
2.4 Model Penelitian………..31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………...34
3.2 Sumber Data dan Data……….35
3.3 Teknik Pengumpulan Data………..35
3.4 Teknik Analisis Data………...36
BAB IV ANALISIS DATA 4.1 Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………...40
4.1.2 Kharisma………..73
4.1.3 Wewenang………...80
4.1.4 Kemampuan Khusus………88
4.2 Analisis Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………...91
4.2.1 Membangun Wibawa Kepemimpinan……….92
4.2.1.1 Menguasai Ilmu………...93
4.2.1.2 Bersikap Ksatria………106
4.2.2 Upaya Mendapatkan Kharisma………..113
4.2.2.1 Laku Badaniah………...117
4.2.2.2 Laku Kehendak………..118
4.2.2.3 Laku Jiwa………...119
4.2.2.4 Laku Religius...120
4.2.3 Menjalankan Wewenang Secara Optimal...122
4.2.3.1Bersikap Alus………..124
4.2.3.2Memenuhi Tanggung Jawab………...131
4.2.4 Memberdayakan Kemampuan...131
5.2 Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya
Umar Kayam...138
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan...142
6.2 Saran………...143
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama ………..166
DAFTAR BAGAN
No. Judul Halaman
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat...26
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Biografi Pengarang………156
2. Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam………158
3. Kulit Sampul Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam………165
4. Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel
GLOSARIUM
No. Istilah Definisi
1 Anteng meneng sugeng jeneng tenang, halus, indah, tapi berbobot
2 Becik ketitik sing ala ketara,
titenana wong cidra mangsa
langgenga, sura dira jayaningrat
lebur dening pangastuti
kebatilan pada akhirnya akan
dikalahkan oleh kebenaran. Teguhlah
pada pendirianmu
3 Berbudi bawa leksana berwatak konsekuen terhadap kata
atau tindakan
4. Cegah dhahar lawan guling mengurangi makan dan tidur
5. Desa mawa cara, negara mawa
tata
lain ladang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya. Sadarlah situasi
dimanapun kau berada.
6. Drajat-pangkat-semat derajat-pangkat-harta
7. Eling marang sapadha-padha ingat pada sesama manusia
8. Eling sangkan paraning dumadi ingat asal mula kehidupan
9. Empan papan sesuai dengan situasi, keadaan,
waktu dan tempat
10. Hadiluhung tinggi mutunya
bersih, baik, suci, indah, cantik
12. Kasar alusing rasa sikap batin yang halus
13. Kawruh sangkan paraning dumadi pengetahuan tentang asal dan tujuan
dari segala apa yang diciptakan
14. Kawruh jumbuhing kawula gusti bersatunya hamba atau manusia
dengan Tuhan
15. Satataning panembah menuju ketenangan jiwa dan
ketentraman hati
16. Jugar genturing tapa menahan hawa nafsu
17. Jagad gedhe makrokosmos, jasad manusia, alam
lahir
18. Jagad cilik mikrokosmos, dunia batin
19. Jagad Dewa Bathara, ora jagad
pramudita
mengutamakan kepentingan orang
banyak diatas kepentingan pribadi
20. Mampir ngombe mampir minum
21. Memayu hayuning bawana mempercantik (memelihara)
kelestarian dunia
22. Nastiti teliti
23. Nandhing sarira sikap untuk suka
membanding-bandingkan ‘aku’ dengan orang lain,
rendah dalam pengkajian diri
24. Ngelmu kasunyatan bagaimana seseorang “legowo”
menjalani kenyataan dan tidak
berputus asa terhadap apa yang ia
peroleh sampai hari ini
25. Ningrat membumi (ning” atau “ana ing” =
berada di; rat = bumi)
26. Pathet susunan nada dalam suatu laras yang
dapat menimbulkan nuansa tertentu.
Tiga macam pathet dalam laras
selendro pathet sanga (9), selendro
pathet nem (6) dan selendro pathet
manyura.
27. Pitutur nasihat
28. Piweling pengingat
29. Samadya sesuai kemampuan diri (tidak
memaksakan diri)
30. Taraf mulat sarira taraf pengendalian diri
31. Tembang lagu
32. Tepa sarira tenggang rasa
berbahasa
34. Wadhag kasar, jasmani, kasat mata, berzat
35. Wiku sapta ngesthi tunggal tahun Jawa 1877
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.
Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika.
ABSTRACT
The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive.
The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.
Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika.
ABSTRACT
The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive.
The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat
mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan dengan
pendapat Wellek & Austin Warren (1989:134-135) yang mengemukakan bahwa
sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang
terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan
pemikiran-pemikiran hebat.
Sudah sejak lama (sejak zaman Yunani) sastra diperlakukan sebagai wahana
pengungkapan dan pencetusan gagasan-gagasan filsafat. Banyak filsuf sekaligus
sastrawan mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filosofisnya ke dalam
sastra. Albert Camus, Sartre, Khalil Gibran, dan Muhammad Iqbal, misalnya, banyak
mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filsafatnya ke dalam novel-novel
dan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk
mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.
Malahan sebenarnya setiap sastra yang baik selalu menyajikan dan
menyuguhkan soal-soal filosofis. Hassan (1988:64) bahkan menegaskan bahwa
dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak
Darma (1984: 52) juga menegaskan bahwa setiap karya sastra yang baik selalu
berfilsafat meskipun karya sastra bukan sebuah karya filsafat. Mangunwijaya
(1988:3) menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu menyajikan
permenungan-permenungan sekaligus relung-relung terdalam tentang manusia.
Dari pandangan-pandangan tersebut terlihat bahwa semua karya sastra yang
bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, baik menyangkut sikap dan
pandangan hidup tokoh yang digambarkannya maupun tema karya sastra itu sendiri.
Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya.
Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya
akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba
mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra
picisan.
Umar Kayam (1932-2002) adalah sastrawan sekaligus filsuf Nusantara,
khususnya Jawa, yang cukup terkenal dan berpengaruh sehingga karya-karyanya
banyak dipelajari dan diminati sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar
negeri. Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk
merekam dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan.1 Sebagai salah satu wahana
ekspresi, baginya novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat,
dibanding apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra itu dibangun oleh
pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatannya terhadap
1
realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang itu hidup dan
bermasyarakat. Oleh karena itu, sastra yang bermutu, bagi Umar Kayam adalah karya
sastra yang banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan
(Kayam, 1981:88).
Novel Para Priyayi (2000) merupakan novel pertama Umar Kayam yang sarat
dengan muatan filsafat. Dalam hal ini Umar Kayam cenderung mengangkat filsafat
lokal yaitu Jawa. Kejawaannya itu sendiri terlihat pada simbol-simbol dunia
pewayangan, serta karya sastra yang dihasilkan para pujangga keraton diselusupkan
ke dalam dialog maupun lakuan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan Mahayana (2007:288) “…saratnya novel Para Priyayi dengan filsafat
Jawa dan simbol-simbol dunia pewayangan, serta sejumlah ungkapan yang khas
mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, menjadikan novel ini sangat bernuansa
Jawa; sangat menjawa”.
Pada dasarnya, pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba
memberikan jawaban menyeluruh terhadap hakikat kebenaran yang
sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Nilai-nilai filsafat ini
merupakan jagad batin orang Jawa yang hadiluhung dan hadiningrat, mendalam serta
yang sangat luas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa adalah berfikir
tentang sesuatu secara sistematis dan mendalam, terus menerus sampai menemukan
jawaban atau hakekat kebenaran hidup. Karena itu, melalui filsafat dapat diketahui
Filsafat Jawa tersebut juga didasari atas pola-pola pemikiran yang universal
sebagai usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan. Jadi filsafat Jawa bukan hanya
diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin
mempelajarinya. Oleh karena itu, pada era reformasi dan demokratisasi, pola-pola
yang universal itu bisa dipastikan tetap ada.
Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan
kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas
dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral,
dan teologi moral.2 Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma
yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhuk individu, makhluk sosial,
dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini
memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.3
Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu
konsepsi kepemimpinan yang tumbuh dari kultural masyarakat Jawa, nilai-nilai yang
hidup di masyarakat Jawa (Anshoriy, 2008:7). Nilai-nilai luhur itu merupakan
ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan, dan keluhuran. Apalagi di
tengah kondisi sosial politik dan kekuasaan di Indonesia dewasa ini yang sedang
memasuki fase yang amat mengkhawatirkan. Etika kekuasaan berbasis kebudayaan
sesungguhnya bisa dijadikan acuan nilai yang relevan bagi para politisi sekarang agar
2
Telusuri http://arjana-stahn.blogspot.com/2010/01/pembinaan-moral-dalam-kajian-filsafat.html
3
segala kebijaksanaan yang dirumuskan tetap mempunyai akar sejarah, berbudaya, dan
memanusiakan manusia. Umar Kayam menegaskan ‘perkembangan kebudayaan
Indonesia modern harus tetap memberikan ruang gerak bagi kebudayaan tradisional’
(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/06/26/0043.html). Oleh karena itu
kebudayaan tradisional yang ditransformasikan ke kebudayaan modern pada akhirnya
dapat membentuk nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian, etika kekuasaan Jawa
merupakan konsep yang berpengaruh terhadap upaya menumbuhkan demokrasi
modern di tengah masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Isu kekuasaan menjadi hal yang sangat krusial dalam novel Para Priyayi
mengingat kaum priyayi identik dengan orang-orang birokrat yang menggunakan
statusnya untuk menguasai orang lain. Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah
peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan (Faruk dalam
Salam, 1998:xxxiii). Bahkan menurut Koentjaraningrat, sebutan priyayi dalam
masyarakat Jawa khususnya, menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi,
bahkan cenderung sangat eksklusif.4
Para priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit
birokrasi pemerintah. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan
menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi
4
Lihat Koentjaraningrat. 1987. Meningkatkan Kinerja BUMN: Antisipasi Terhadap Kompetisi dan
Kebijakan Deregulasi . Yogyakarta: JKAP.
pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan
digolongkan kaum priyayi.
Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja
atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja).5 Akan
tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka
memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus
memiliki darah bangsawan (Kartodirdjo, 1987:10). Kepada golongan elit inilah
sesungguhnya Indonesia berkiblat.
Namun masih banyak golongan priyayi yang belum memahami benar makna
kepriyayiannya itu dalam masyarakat. Selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan
orang-orang birokrat yang berjiwa anti-sosial dan arogan. Banyak nilai-nilai luhur
priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi lebih mengutamakan status
sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi. Akibatnya sering terjadi
penyalahgunaan legitimasi kekuasaan. Umar Kayam menggambarkan kondisi itu
sebagai berikut.
…negara ini tidak dibuat sekali jadi…kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat…namun yang terjadi, kekuasaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan, maka yang brutal yang ‘menang’. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama-sama dengan baik…(Refleksi Umar Kayam di atas pembaringan beberapa hari sebelum wafat dalam Luthfi, 2007:82).
5
Novel Para Priyayi dianggap sebagai kritik Umar Kayam sebagai priyayi
cendekiawan terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi
yang luhur. Bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan ‘priyayi’ yaitu seorang
yang telah mencapai kekuasaan di masyarakat dapat menggunakan kekuasaannya itu
berdasarkan etika kekuasaan, moral politik, dan cara-cara yang indah dalam
melakukan pengabdian kepada masyarakat sehingga betul-betul untuk kepentingan
publik atau masyarakat yang diwakili. Mochtar Pabottingi (dalam Rahmanto,
2004:73) memberi komentar ‘Priyayi Kayam adalah priyayi yang inklusif dan
egaliter, tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, tetapi dengan
kemanusiaan.’
Keunikan priyayi dalam novel Para Priyayi adalah munculnya priyayi yang
datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi lewat
suatu proses pengabdian. Seperti yang diungkapkan Moertono dalam Rahmanto
(2004:91) ‘golongan ini menjadi priyayi bukan karena warisan turun-temurun, tetapi
lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian yang berhasil mereka
kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu proses panjang pengabdian.’
Lewat kekayaan imajinasi dan keluasan pengetahuan, Umar Kayam berhasil
menggambarkan dan memaparkan struktur kompleks kehidupan para tokohnya dalam
menjalani kehidupan dan usaha membangun struktur dinasti priyayi. Mulai dari nol
status sosialnya sebagai perintis. Tidak saja bagi dirinya sendiri akan tetapi juga bagi
garis keturunannya.6
Berdasarkan hal tersebut, novel Para Priyayi sangat menarik untuk dikaji
karena mengandung nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan etika kekuasaan
Jawa. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan,
keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan
moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya pujangga agung
serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.
Novel Para Priyayi juga dapat dijadikan salah satu rujukan bagaimana
nilai-nilai humanisme telah dijadikan pegangan hidup oleh seorang priyayi dalam
mendapatkan kekuasaan, mengelola dan menggunakan kekuasaannya.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah di atas,
penulis dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep etika Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar
Kayam?
2. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama
dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?
3. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi
karya Umar Kayam? 6
1.3 Batasan Masalah
Masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis tidak dapat dibahas semua
mengingat keterbatasan penulis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini dibatasi
pada beberapa pokok permasalahan saja, yaitu:
1. Konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel
Para Priyayi karya Umar Kayam.
2. Etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
1.4 Perumusan Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu
rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama
dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?
2. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi
karya Umar Kayam?
1.5 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh
utama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
2. Mendeskripsikan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang
terfokus pada unsur ekstrinsik, dalam hal ini menghubungkan sastra dengan
pemikiran.
2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah
pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia, khususnya karya-karya
Umar Kayam.
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah:
1. Membantu masyarakat untuk memahami etika kekuasaan Jawa.
2. Menegakkan prinsip-prinsip kekuasaan yang menempatkan kebenaran, moral,
dan etika kekuasaan sebagai sumber legitimasi.
3. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
Di dalam Bab II ini diuraikan tentang (i) kajian pustaka, (ii) konsep, (iii)
landasan teori dan (iv) model penelitian. Berikut adalah uraiannya.
2.1 Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian
sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku.
Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Rahmanto, tahun 1994 pernah menulis tentang novel Para Priyayi dalam
tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi
Karya Umar Kayam: Analisis Semiotik. Ia menyimpulkan bahwa lewat
tokoh-tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan Lantip ditampilkan masalah
penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam
transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang,
kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Penghambaan yang mirip dengan pola
penghambaan Sumantri tampak pada penghambaan Atmokasan,
Sastrodarsono, dan Lantip ketika masih muda. Penghambaan Kumbakarna
tampak pada Noegroho, Harjono, Hardoyo, dan Lantip setelah dewasa, sedang
penghambaan Lantip yang tulus, tanpa pamrih, tahu membalas budi, dan
rendah hati, serta menekankan usaha menumbuhkembangkan pengabdian
kepada masyarakat (rakyat kecil) tanpa pamrih merupakan gabungan dari
ketiga sifat penghambaan ketiga tokoh wayang tersebut.
2. Rahmanto juga menulis buku yang berjudul Umar Kayam: Karya dan
Dunianya pada tahun 2004. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh
cerpen dan novel Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seribu
Kunang-Kunang di Manhattan (1972), Istriku, Madame Schlitz, dan Sang
Raksasa (1967), Sybil (1967), Secangkir Kopi dan Sepotong Donat (1986),
Chief Sitting Bull (1986), There Goes Tatum (1986), Kimono Biru buat Istri
(1986), Para Priyayi (1992), Jalan Menikung (1999), serta kumpulan cerpen
Lebaran di Karet, di Karet…(2002). Dari buku tersebut diperoleh pengakuan
Kayam bahwa penulisan novel Para Priyayi berawal dari kekecewaannya
terhadap penafsiran yang keliru mengenai dunia priyayi Jawa oleh
orang-orang non-Jawa dan para pakar asing. Dengan novel itulah Kayam ingin
memahami dunia priyayi dari dalam dan ingin juga menggambarkan
bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang ingin menjadi priyayi.
Kayam juga menjelaskan pilihan novel itu didasari keyakinan terhadap
efektivitas novel sebagai sarana memahami kehidupan.
3. Selanjutnya, Najid tahun 2000 menulis tentang novel Para Priyayi dalam
tesisnya yang berjudul Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para
historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenbalt yang memandang
kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi
segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Kebaruan pemikiran yang
ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran
permaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada
optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran
priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Penelitian ini
bermanfaat bagi penulis dalam memahami konsep priyayi yang ditawarkan
oleh Umar Kayam.
4. Tanggapan terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui artikel,
dimulai dari Damono di Majalah Tempo pada tanggal 20 Juni 1992 lewat
“Album Kehormatan Orang Jawa”. Menurut Damono, novel Para Priyayi
menggambarkan proses menjadi priyayi yang dialami oleh sebuah keluarga
besar dari generasi pertama priyayi. Priyayi yang digambarkan dalam novel
tersebut adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam
masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Dalam hal ini Umar Kayam telah
menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priyayi.
Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian,
terungkaplah berbagai segi kehidupan priyayi di bidang agama, seks, politik,
kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan lainnya.
5. Mohamad juga memberikan komentarnya di Majalah Tempo pada tanggal 29
‘membongkar’ mitos yang menjerat masyarakat Jawa selama ini. Novel
tersebut menunjukkan bahwa kelas yang disebut ndoro itu, pada dasarnya
punya sesuatu yang sama seperti orang dusun -- atau siapa pun yang hidup di
Jawa yang dirundung kekacauan sejak abad ke-17 ini: semuanya punya rasa
cemas untuk mengambil risiko, ekspresi dari ‘the moral economy of the
peasant’. Tak aneh para priyayi, kecil atau besar, punya genesis yang sama
dari orang ‘kebanyakan’. Ternyata di halaman-halaman yang menyimpan
kenangan yang umumnya datar dan biasa-biasa saja itu ada sebuah cerita
besar, meskipun tak mengejutkan: tidakkah ini kisah sebuah masyarakat yang
terus menerus berpose, mengharapkan kelanggengan, tapi seharusnya
bersyukur dengan perubahan.
6. Berikut Pabottingi memberikan ulasan terhadap novel Para Priyayi Umar
Kayam di Majalah Tempo 3 Oktober 1992 dalam “Pertandingan Priyayi”.
Novel Umar Kayam ini telah memberi gambaran yang hidup tentang alam
priyayi. Di sini priyayi memang tetap ditampilkan menjarak dari ortodoksi
Islam, bertahan pada praktek olah-batin leluhur, mencintai kehalusan dan
pewayangan, tapi tetap tegas menolak disebut bukan muslim. Tapi, berbeda
dengan alam priayi pada karya Clifford Geertz, alam priyayi pada Kayam
lebih merupakan sasaran mobilitas sosial dan lebih peka pada kepentingan
wong cilik. ‘Priyayi’ Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter. Ia tak
bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, melainkan dengan
7. Selanjutnya, Anshoriy pernah menulis tentang budaya Jawa dalam bukunya
yang berjudul Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,
terbit tahun 2008. Buku ini layak dijadikan referensi karena berisikan
butir-butir kearifan lokal warisan nenek moyang mengenai etika kekuasaan yang
dikaji dan digali dengan pendekatan ilmiah.
8. Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa
Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) menguraikan konsep kekuasaan Jawa
yang bertentangan dengan B.R.O’G Anderson dalam “The Idea of Power in
Javanese Culture” (1972). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa serupa
dengan pemimpin dalam semua masyarakat di dunia, seorang pemimpin
dalam suatu masyarakat yang berkebudayaan Jawa juga perlu
memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang
pemimpin secara universal. Ia juga perlu memiliki semua sifat yang
diperlukan sebagai syarat pemimpin yang bermutu. Hal itu dapat kita pelajari
dengan membaca secara seksama buku-buku tradisional Jawa mengenai
syarat-syarat kepemimpinan. Konsep inilah yang menjadi rujukan bagi
penulis untuk menganalisis konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi
karya Umar Kayam.
Penelitian-penelitian tersebut menjadi bacaan pendukung bagi penulis terkait
dengan objek penelitian. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan
Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan teori
hubungan kesusastraan dengan pemikiran. Konsep kekuasaan Jawa yang digunakan
dalam penelitian ini adalah berdasarkan empat komponen kekuasaan yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:
Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) yaitu wibawa, kharisma,
wewenang dan kemampuan khusus.
2.2 Konsep
2.2.1 Definisi Etika
2.2.1.1 Etika Jawa
Etika merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008:6). Tinggi
rendahnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing
warganya bertindak sesuai dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh
karena produktifitas dan kreatifitas masyarakatnya akan terus berlanjut, tanpa ada
hambatan yang berarti. Dengan mentaati norma dan etika, maka tingkah laku serta
hubungan antar manusia akan berjalan secara wajar, yang memungkinkan untuk
melakukan aktifitas secara efektif dan efisien.
Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap,
cara berfikir, watak kesesuaian atau adat (Bertens, 1993:4). Ethos identik dengan
moral, yang dalam Bahasa Indonesia berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung
makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah
Kata ‘etika’ dalam arti yang sebenarnya berarti ‘filsafat mengenai bidang
moral’ (Bertens, 1993:6). Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik
mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Suseno
(1996:6) mempergunakan istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai
‘keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya’; jadi di mana mereka menemukan jawaban pertanyaan: bagaimana
saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya
kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil.
Suseno membedakan antara pengertian ajaran moral dengan etika.7 Ajaran
moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan,
kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumbernya
bisa guru, orang tua, pemuka agama atau orang bijak seperti pujangga Empu Kanwa,
Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Manoguna,
Empu Prapanca, Empu Tantular, Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana IV, Sri
Mangkunegara IV, Kyai Sindusastra, Kyai Kusumadilaga, Ki Padmasusastra, Ki
Ageng Suryamentaram dan Ki Nartasabda.
Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan- 7
pandangan moral (Suseno, 1992:42). Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran.
Etika dan ajaran moral tidak setingkat. Yang mengatakan bagaimana seseorang harus
hidup adalah ajaran moral, bukan etika. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus
mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1997 :
14). Tanggung jawab moral sangat penting dalam kehidupan kolektif.
Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan
oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya
manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 1984:6).
2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup
Bagi masyarakat Jawa etika itu kerap disebut dengan istilah pepali,
unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk,
pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga
prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam
bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal
unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa.
Para pemimpin Jawa terutama raja dan punggawanya sejak dulu kala
memahami benar tentang arti penting etika. Kehidupan berbangsa dan bernegara
memang perlu diatur berdasarkan hukum yang memadai. Berhubung dengan itu,
mengikat semua penduduknya. Etika Jawa ini disusun berdasarkan nilai-nilai historis,
sosiologis dan filosofis yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dalam etika Jawa terdapat aliran yang mengandung nilai eudaemonisme
theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaemoni, artinya
kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu
tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan (Mudhofir, 1988: 26).
Selanjutnya aliran theologi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut bermoral jika
tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan buruk yaitu yang
tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuntutan moral yang baik dalam hal ini telah
digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci dari masing-masing agama
(Suseno, 1997: 83). Bagi orang Jawa pada umumnya memang ditekankan keselarasan
antara makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Aliran
eudaemonisme theologis ini terdapat dalam ungkapan Serat Wedhatama yaitu agama
ageming aji, bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang
hakiki.
Pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam
masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang
dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat
dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat.
Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing
melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya
dalam kosmos.
Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam
masyarakat dan kosmos, sehingga ia ‘mengerti’, bahwa ia harus memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam
rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin
bersatu ia dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.
2.2.3 Kekuasaan Jawa
2.2.3.1 Hakikat Kekuasaan
Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang
kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan
masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa)
yang lain sudah barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh
perbedaan latar belakang sosial budaya dan pandangan hidupnya.
Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa
dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai
kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memulai analisis mengenai konsep
kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa aspek dan
sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa konsep
politik, yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini
disebabkan karena konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada
umumnya, dan ilmu politik pada khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik
(politics) diangggap tidak lain dari sebuah kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan
ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan tetap merupakan gejala yang
sangat sentral dalam ilmu politik.8
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi
kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh ‘sikap jiwa
pribadi’ dari pembahas yang bersangkutan. Apalagi jika yang dibahas itu gejala yang
sensitif, seperti halnya gejala yang menyangkut masalah kemanusiaan.9
Perbedaan dalam menganalisa kekuasaan sebagai sesuatu gejala sosial sudah
mulai nampak, kalau kita memperhatikan bagaimana kekuasaan itu diartikan. Ada
satu kelompok pendapat yang mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi
(dominance), dan ada yang pada hakekatnya bersifat ‘paksaan’ (coercion). Sebagai
contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe, yang merumuskan kekuasaan sebagai
‘kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada orang lain’. Pendapat senada
dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan: ‘Kekuasaaan itu adalah
dominasi yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain
8
Lihat Miriam Budiardjo, ‘Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan’, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 9.
9
menentang’. Demikian pula Harold D. Laswell menganggapnya, ‘tidak lain dan tidak
bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat’ (Budiardjo, 1984:31).
Suatu pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan
karangan Talcott Parsons, Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok
yang kedua ini, pengertian pokok dari kekuasaan adalah ‘pengawasan’ (control).
Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus selalu merupakan paksaan. Untuk
Parsons umpamanya, kekuasaan adalah ‘pemilikan fasilitas untuk mengawasi’. Akan
tetapi keperluannya ialah untuk ‘pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat
sebagai suatu sistem, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan
ditentukan secara mengikat oleh umum’. Seiring dengan ini, Robert Lynd
mengumumkan bahwa: ‘kekuasaan sebagai suatu sumber sosial (social resource)
yang utama untuk mengadakan pengawasan dapat beralih wujud dari suatu paksaan
sampai dengan suatu kerja sama secara sukarela, tergantung daripada perumusan
ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan, diubah dan dipelihara dalam suatu
masyarakat tertentu’. Akhirnya, Marlon Levy menjelaskan bahwa: ‘penggunaan
kekuatan fisik hanyalah merupakan suatu bentuk ekstrem dari cara penggunaan
diktator dan pengawasan atas tindakan-tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).
Dengan perkataan lain, persoalan pokok untuk kelompok paham terakhiri ini,
ialah ‘legitimasi’ (legitimacy) atau ‘pembenaran’ dari ‘dasar’ kekuasaan.
Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: ‘legitimasi dari pengawasan demikian itu
mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam
menjelaskan, bahwa ‘kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung
jawab, yang berarti pertanggungan jawab dari individu terhadap
individu-individu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan
tindakan- tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).
Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan
tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa
kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain
sedemikian rupa sehingga tingkah-laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari
pelaku yang mempunyai kekuasaan (Budiardjo, 1984:9).
Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang
terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep
kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Laswell, Kaplan, dan Parson.
Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat
dan timur (Indonesia-Jawa) memang dimungkinkan ada perbedaan.
2.2.3.2 Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa
Anderson10, Indonesianis dari Cornell University yang melakukan penelitian
lapangan di Jawa, menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa
10
kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi
etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ia juga
semata-mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa, melalui sejumlah
perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak
semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam
pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah
kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka.
Kesalahan Anderson itu ‘dimanfaatkan’ oleh Koentjaraningrat, yang
menyanggah gagasan Anderson bahwa kadigjayan sebagai satu-satunya komponen
yang diperlukan untuk melaksanakan kekuasaan itu, ibarat kekuatan energi bersifat
sakti serta keramat yang dengan sendirinya dapat digunakan.11 Selanjutnya,
Koentjaraningrat berpendapat bahwa, seperti halnya pemimpin lain dari semua
masyarakat dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat berkebudayaan Jawa
perlu juga memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang dibutuhkan oleh
seorang pemimpin secara universal.
Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).
dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan
Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 51-52. 11
Dengan hasil pengontrasan semacam itu, Koentjaraningrat menilai bahwa
Anderson telah kehilangan kemampuannya untuk melihat gejala-gejala yang
ditelitinya (konsep kekuasaan masyarakat Jawa) secara proporsional. Lebih lanjut,
Anderson dianggap berlebihan dalam memandang konsep kekuasaan masyarakat
Jawa. Anderson tidak cukup memahami orang Jawa dengan menganggap cerita-cerita
dan ujaran, upacaranya sebagai suatu realitas. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa
sering mengekspresikan diri dalam perilaku yang simbolis, termasuk konsep
kekuasaan yang keramat dan sakti itu juga sebagai bagian dari konsepsi yang
simbolis.
Menurut Koentjaraningrat, kesakten hanyalah salah satu syarat bagi pemimpin
Jawa, tetapi bukan satu-satunya. Sebagai jalan keluarnya Prof. Koentjaraningrat
menawarkan model kepemimpinan yang lebih universal dengan mengacu kepada data
etnografi kebudayaan di Afrika, Asia dan daerah lautan Pasifik. Dalam menyusun
kerangka teoritisnya, Koentjaraningrat mengkategorikan konsep kekuasaan dan
kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat
kecil dan masyarakat sedang, masyarakat negara-negara kuno, dan masyarakat negara
kontemporer. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat:
wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian:12
12
Masyarakat Sederhana Masyarakat Tradisional Masyarakat Masa Kini
Wibawa Kharisma Wibawa
Wewenang Wewenang Wewenang
Kharisma Wibawa Kharisma
Kemampuan khusus Kemampuan khusus Kemampuan khusus
Gambar 1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat
(1984:128-143)
Dalam masyarakat kecil atau sedang (disebut kerangka I) disimpulkan bahwa
komponen-komponen yang menjadi landasan kekuasaan seorang pemimpin adalah
kewibawaan, wewenang dan kekuasaan dalam arti khusus , serta sifat-sifat yang
menjadi syarat bagi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin. Kewibawaan yang
dimaksud dikarenakan: kepandaian (berburu, bertani, berkebun), keterampilan
berpidato, kemahiran berdiplomasi, sifat-sifatnya sesuai dengan cita-cita dan
keyakinan masyarakatnya. Wewenang diperoleh karena kemampuannya untuk
melakukan upacara intensifikasi. Sementara kharisma muncul karena dianggap
memiliki kekuatan sakti.
Selanjutnya, komponen kekuasaan yang harus ada dalam masyarakat negara
kuno (kerangka II) antara lain kharisma, kewibawaan, wewenang atau kekuasaan
dalam arti khusus serta syarat-syarat yang memungkinkan seseorang menjadi raja
atau pemimpin kelompok masyarakat ini. Kharisma diperoleh dengan klaim memiliki
kekuatan sakti, mempunyai keturunan sah, mampu melaksanakan upacara
intensifikasi dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Semenatar kewibawaan diperoleh
karena memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakat.
Dalam masyarakat negara kontemporer (kerangkan III) komponen-komponen
kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tetap sama seperti pada masyarakat
sedang dan negara kuno, hanya saja tata urut pentingnya telah berubah. Hal itu
dikerenakan sumber kekuasaannya adalah masyarakat itu sendiri, bukan dewa atau
Tuhan. Kewibawaan diperoleh karena popularitas dan kemampuan seseorang untuk
memecahkan masalah sosial ekonomi dan politik (kecendiakawanan), serta memiliki
sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan kepercayaan masyarakat. Wewenang
diperoleh melalui prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Sementara kharisma diperoleh karena memiliki lambang-lambang
kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Unsur-unsur kekuasaan tersebut
juga bisa digunakan untuk membedakan antara pimpinan formal dan informal.
Menurut Koentjaraningrat, pimpinan formal memiliki empat komponen kekuasaan,
yaitu kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan fisik. Sementara itu
kekuasaan informal hanya memiliki tiga komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan,
kharisma dan kekuatan fisik.
Penelitian tentang etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya
Umar Kayam ini bertolak dari pandangan Koentjaraningrat di atas tentang konsep
kekuasaan Jawa yang meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang,
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan hubungan teori sastra dan pemikiran (filsafat)
yang dikemukakan oleh Wellek & Austin Warren terjemahan Budianta
(1989:134-135).
‘Sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Meskipun sekarang ilmuwan sudah jenuh mengorek-ngorek hal-hal yang ilmiah dari karya sastra, sampai sekarang karya sastra masih sering dibahas sebagai karya filsafat…karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.’
Filsafat sebagai salah satu ilmu bantu sastra tentu relevan dalam pengkajian
suatu karya sastra. Ilmu filsafat dapat digunakan sebagai optik untuk melihat
anasir-anasir dari suatu karya sastra yang menjadi titik temu antara sastra dan filsafat.
Hubungan simbiosis antara sastra dengan filsafat bukanlah suatu hal yang asing
dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu filsafat sendiri. Bahkan Ulrici, peneliti
karya-karya Shakespeare dari Jerman, menyatakan hubungan sastra dengan filsafat secara
gamblang (Wellek dan Austin Warren, 1989: 34). Ia mengatakan sastra dapat dilihat
dalam bentuk filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang terbungkus.
Pernyataan Ulrici di atas ada kebenarannya. Apabila kita mensejajarkan antara
sejarah sastra dengan sejarah pemikiran atau filsafat akan terlihat jelas hubungannya.
Ini dikarenakan secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya,
hubungan yang dominan pada zamannya, atau paling tidak mengetahui garis besar
ajaran paham-paham tersebut (Wellek dan Austin Warren, 1980: 38). Oleh karena
adanya hubungan antara sastra dengan filsafat mendorong penulis untuk mengkaji
suatu karya sastra dari sudut pandang filosofis.
Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral
prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian
aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari
kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai
moral itu sendiri (Bertens, 2007:6). Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari
manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berprilaku dengan
kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak.
Seorang akademisi dan rohaniwan Suseno (1992:42) mengatakan bahwa etika
adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Yang memberi kita norma tentang
bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya
melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut atau kita juga bisa
mengatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang
bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan
pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai. Keduanya
mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana
kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung
harus mempersoalkan; apakah saya harus melangkah dengan cara itu dan mengapa
harus dengan cara itu?
Etika dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan sering kali
meliputi suatu sistem nilai dan norma sosial, dan etika selalu berlaku dalam suatu
konteks budaya yang tertentu (Bertens, 2001:12). Etika Jawa merupakan keseluruhan
norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno,
2003:6).
Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu
konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa,
nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. 13 Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi
kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan
hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa
kuno karya para pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun
temurun.
13
2.4 Model Penelitian
Berikut adalah bagan model penelitian:
INTRINSIK
-TOKOH UTAMA (SASTRODARSONO)
ETIKA
ETIKA JAWA
1. WIBAWA
2. KHARISMA
3. WEWENANG
4. KEMAMPUAN
KHUSUS
ETIKA KEKUASAAN JAWA EKSTRINSIK
- PEMIKIRAN
(FILSAFAT)
SASTRA
(Novel Para Priyayi karya Umar Kayam)
Keterangan:
: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.
: tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.
Penjelasan Model:
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dibahas menurut konsep pendekatan
yang dipelopori oleh Wellek dan Austin Warren (1989), yakni pendekatan intrinsik
dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji
penokohan, dalam hal ini tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono),
sedangkan pada pendekatan instrinsik dikaji melalui hubungan sastra dan pemikiran
(filsafat).
Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral
prilaku manusia. Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana seharusnya
manusia menjalankan kehidupannya.
Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu
konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa,
nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. Etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam
penelitian ini bersumber dari konsep kepemimpinan atau kekuasaan Jawa yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:
Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” tahun 1984. Konsep kekuasaan Jawa
kemampuan khusus. Keempat komponen kekuasaan tersebut terdapat dalam tokoh
utama novel Para Priyayi (2000) karya Umar Kayam yaitu Sastrodarsono (nama tua
Soedarsono).
Adapun etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi:
membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan
BAB III
METODE PENELITIAN
Di dalam Bab III ini diuraikan secara berurutan tentang metode penelitian
yang mencakup: (i) rancangan penelitian, (ii) sumber data dan data, (iii) teknik
pengumpulan data, dan (iv) teknik analisis data. Berikut uraiannya.
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan
hermeneutika merujuk kepada proses interpretasi atau penafsiran teks-teks.
Pendekatan hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala,
peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan
lainnya, yang muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia
tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau
simbol nonverbal, karya seni, tari-tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan
hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia
lainnya (Kaelan, 2005:80).
Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang
terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia,
melalui pemahaman dan interpretasi. Dalam ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan
pembaca mungkin tidak akan mengerti atau menangkap jiwa zaman di mana
kesusastraan itu dibuat (Muhadjir, 2002:314).
Dalam pandangan hermeneutika, konvensi keutuhan adalah dominan, semua
bagian saling bertalian sehingga dimungkinkan untuk diadakan interpretasi. Adapun
interpretasi teks bagian khusus ke umum dan pemahaman umum ke khusus.
3.2 Sumber Data dan Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam
yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti cetakan ketujuh bulan November tahun
2000 setebal 308 halaman dengan soft cover. Dipilihnya novel tersebut karena
mengandung unsur etika kekuasaan budaya Jawa dalam penceritaannya.
Adapun data primer dalam penelitian ini adalah data kutipan yang berupa teks
atau wacana yang berhubungan dengan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para
Priyayi karya Umar Kayam. Di samping itu, data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari artikel-artikel dalam media massa maupun internet, baik yang
berhubungan dengan pengarang maupun novelnya, dan bersifat mendukung data-data
dalam objek penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berfungsi untuk
mempertajam analisis data.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
teks sastra perlu diperoses secara sistematis, menggunakan teori yang telah dirancang
sebelumnya, (b) teks tersebut dicari unit-unit analisis dan dikategorikan sesuai acuan
teori, (c) proses analisis harus mampu menyumbangkan ke pemahaman teori, (d)
proses analisis mendasarkan pada deskripsi, (e) analisis dilakukan secara kualitatif
(Endraswara, 2008:162).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
1. membaca novel Para Priyayi secara cermat dan berulang-ulang;
2. menuliskan temuan data dalam kartu ikhtisar dan dibagi ke dalam unit-unit
kecil sesuai klasifikasinya; kemudian data yang berwujud teks tersebut
dicuplik dan dikumpulkan dalam kartu atau tabel.
3. pada saat yang bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara
mengabaikan data-data yang tidak relevan dengan konstruk penelitian.
Sedangkan data yang relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar
memudahkan peneliti menentukan indikator;
4. data-data yang telah direduksi atau diseleksi kemudian dilakukan pencatatan
dalam kartu ikhtisar.
3.4 Teknik Analisis Data
Menurut Bungin (2007:78), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan
antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi
bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan
teknik analisis data.
Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah analisis
isi (content analysis). Analisis isi merupakan model analisis yang digunakan untuk
mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Dalam karya sastra, isi
yang dimaksud adalah pesan-pesan yang akan disampaikan oleh penulis melalui
karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang
bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada
pembacanya. Hal yang penting adalah pesan-pesan yang terangkum dalam isi karya
sastra itu dipahami secara keseluruhan (Endraswara, 2008:160).
Menurut Bungin (2007:156) dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan
pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada
bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol,
memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Lebih lanjut
Bungin (2007:156) mengatakan bahwa penggunaan analisis isi untuk penelitian
kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada
fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu
dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindakan harus
didasarkan pada tujuan tersebut. Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis
yang akan dikaji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran analisis (Bungin,