• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL

PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

TESIS

Oleh

DEWI AYU LARASATI

NIM. 097009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL

PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

DEWI AYU LARASATI

NIM. 097009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Nama Mahasiswa : Dewi Ayu Larasati

Nomor Pokok : 097009008

Program Studi : Linguistik

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) (Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph. D) (Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 12 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

Anggota : 1. Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.

2. Dr. Eddi Setia, M.Ed., TESP.

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI

KARYA UMAR KAYAM

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya

sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil

karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai

dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini

bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya

bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan

sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 12 Juli 2011

(6)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama Lengkap : Dewi Ayu Larasati

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl. Lahir : P. Berandan/3 Mei 1979

Alamat : Komplek TASBI Blok AA NO. 26, Medan

Agama : Islam

Telp. : 0812 640 4498

Email : dewiayularasaty@yahoo.com

II. Riwayat Pendidikan

SD : SD Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1991)

SMP : SMP Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1994)

SMA : SMA Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1997)

S1 : Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara

(Tamat 2001)

S2 : Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Bicara mengenai etika adalah suatu hal yang tak terhindarkan bagi suatu

masyarakat plural yang mau mencari orientasi nilai. Tesis ini berjudul Etika

Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam; yang mana

memfokuskan analisis terhadap etika kekuasaan dalam budaya Jawa yang terdapat

dalam sebuah karya sastra.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU).

Dengan diselesaikannya tesis ini, penulis berharap dapat memberikan suatu

kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah

ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjembatani harapan dan

keinginan banyak pihak untuk ‘menghidupkan’ dan ‘menghidupi’ nilai-nilai kearifan

dalam budaya Jawa, khususnya dalam hal etika untuk mencapai dan menjalani

kekuasaan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna

dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca: melainkan

merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan

(8)

konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di

lain waktu.

Medan, Juli 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur tercurah sepenuhnya kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini yang berjudul ‘Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi karya Umar

Kayam.’ Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, tauladan

terbaik bagi seluruh umat manusia.

Dengan terselesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya dan hormat atas segala bimbingan, pengarahan, serta

dorongan yang telah diberikan kepada penulis, dan disertai doa semoga amal beliau

diterima Allah SWT sebagai amalan yang shaleh kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc., (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. dan Dr. Nurlela, M. Hum selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, MSi. dan Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.

(10)

5. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP, dan Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku penguji

yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

7. Orang tua penulis, Bapak H. Iman Soeryadhie. S dan Ibu Hj. Sari Mas Bulan,

serta Ibu mertua, Yohani Yanuar.

8. Suami penulis, Fadlan Lubis.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak

bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, semoga tesis ini membawa manfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan. Amin.

Medan, Juli 2011

(11)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR…...i

UCAPAN TERIMA KASIH...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR BAGAN...x

DAFTAR GAMBAR...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

GLOSARIUM...xiii

ABSTRAK...xvii

ABSTRACT………...xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...1

1.2 Identifikasi Masalah...8

1.3 Batasan Masalah...9

1.4 Perumusan Masalah...9

1.5 Tujuan Penelitian...9

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoretis...10

(12)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka………11

2.2 Konsep 2.2.1 Definisi Etika 2.2.1.1 Etika Jawa………16

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup………...18

2.2.2 Kekuasaan Jawa 2.2.2.1 Hakikat Kekuasaan………..20

2.2.2.2 Perspektif Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa………23

2.3 Landasan Teori………28

2.4 Model Penelitian………..31

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………...34

3.2 Sumber Data dan Data……….35

3.3 Teknik Pengumpulan Data………..35

3.4 Teknik Analisis Data………...36

BAB IV ANALISIS DATA 4.1 Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………...40

(13)

4.1.2 Kharisma………..73

4.1.3 Wewenang………...80

4.1.4 Kemampuan Khusus………88

4.2 Analisis Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………...91

4.2.1 Membangun Wibawa Kepemimpinan……….92

4.2.1.1 Menguasai Ilmu………...93

4.2.1.2 Bersikap Ksatria………106

4.2.2 Upaya Mendapatkan Kharisma………..113

4.2.2.1 Laku Badaniah………...117

4.2.2.2 Laku Kehendak………..118

4.2.2.3 Laku Jiwa………...119

4.2.2.4 Laku Religius...120

4.2.3 Menjalankan Wewenang Secara Optimal...122

4.2.3.1Bersikap Alus………..124

4.2.3.2Memenuhi Tanggung Jawab………...131

4.2.4 Memberdayakan Kemampuan...131

(14)

5.2 Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya

Umar Kayam...138

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan...142

6.2 Saran………...143

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama ………..166

(16)

DAFTAR BAGAN

No. Judul Halaman

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat...26

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Biografi Pengarang………156

2. Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam………158

3. Kulit Sampul Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam………165

4. Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel

(19)

GLOSARIUM

No. Istilah Definisi

1 Anteng meneng sugeng jeneng tenang, halus, indah, tapi berbobot

2 Becik ketitik sing ala ketara,

titenana wong cidra mangsa

langgenga, sura dira jayaningrat

lebur dening pangastuti

kebatilan pada akhirnya akan

dikalahkan oleh kebenaran. Teguhlah

pada pendirianmu

3 Berbudi bawa leksana berwatak konsekuen terhadap kata

atau tindakan

4. Cegah dhahar lawan guling mengurangi makan dan tidur

5. Desa mawa cara, negara mawa

tata

lain ladang lain belalang, lain lubuk

lain ikannya. Sadarlah situasi

dimanapun kau berada.

6. Drajat-pangkat-semat derajat-pangkat-harta

7. Eling marang sapadha-padha ingat pada sesama manusia

8. Eling sangkan paraning dumadi ingat asal mula kehidupan

9. Empan papan sesuai dengan situasi, keadaan,

waktu dan tempat

10. Hadiluhung tinggi mutunya

(20)

bersih, baik, suci, indah, cantik

12. Kasar alusing rasa sikap batin yang halus

13. Kawruh sangkan paraning dumadi pengetahuan tentang asal dan tujuan

dari segala apa yang diciptakan

14. Kawruh jumbuhing kawula gusti bersatunya hamba atau manusia

dengan Tuhan

15. Satataning panembah menuju ketenangan jiwa dan

ketentraman hati

16. Jugar genturing tapa menahan hawa nafsu

17. Jagad gedhe makrokosmos, jasad manusia, alam

lahir

18. Jagad cilik mikrokosmos, dunia batin

19. Jagad Dewa Bathara, ora jagad

pramudita

mengutamakan kepentingan orang

banyak diatas kepentingan pribadi

20. Mampir ngombe mampir minum

21. Memayu hayuning bawana mempercantik (memelihara)

kelestarian dunia

22. Nastiti teliti

23. Nandhing sarira sikap untuk suka

membanding-bandingkan ‘aku’ dengan orang lain,

(21)

rendah dalam pengkajian diri

24. Ngelmu kasunyatan bagaimana seseorang “legowo”

menjalani kenyataan dan tidak

berputus asa terhadap apa yang ia

peroleh sampai hari ini

25. Ningrat membumi (ning” atau “ana ing” =

berada di; rat = bumi)  

26. Pathet susunan nada dalam suatu laras yang

dapat menimbulkan nuansa tertentu.

Tiga macam pathet dalam laras

selendro pathet sanga (9), selendro

pathet nem (6) dan selendro pathet

manyura.

27. Pitutur nasihat

28. Piweling pengingat

29. Samadya sesuai kemampuan diri (tidak

memaksakan diri)

30. Taraf mulat sarira taraf pengendalian diri

31. Tembang lagu

32. Tepa sarira tenggang rasa

(22)

berbahasa

34. Wadhag kasar, jasmani, kasat mata, berzat

35. Wiku sapta ngesthi tunggal tahun Jawa 1877

(23)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika.

(24)

ABSTRACT

The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis.

(25)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika.

(26)

ABSTRACT

The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis.

(27)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat

dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat

mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan dengan

pendapat Wellek & Austin Warren (1989:134-135) yang mengemukakan bahwa

sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang

terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan

pemikiran-pemikiran hebat.

Sudah sejak lama (sejak zaman Yunani) sastra diperlakukan sebagai wahana

pengungkapan dan pencetusan gagasan-gagasan filsafat. Banyak filsuf sekaligus

sastrawan mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filosofisnya ke dalam

sastra. Albert Camus, Sartre, Khalil Gibran, dan Muhammad Iqbal, misalnya, banyak

mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filsafatnya ke dalam novel-novel

dan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk

mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.

Malahan sebenarnya setiap sastra yang baik selalu menyajikan dan

menyuguhkan soal-soal filosofis. Hassan (1988:64) bahkan menegaskan bahwa

dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak

(28)

Darma (1984: 52) juga menegaskan bahwa setiap karya sastra yang baik selalu

berfilsafat meskipun karya sastra bukan sebuah karya filsafat. Mangunwijaya

(1988:3) menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu menyajikan

permenungan-permenungan sekaligus relung-relung terdalam tentang manusia.

Dari pandangan-pandangan tersebut terlihat bahwa semua karya sastra yang

bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, baik menyangkut sikap dan

pandangan hidup tokoh yang digambarkannya maupun tema karya sastra itu sendiri.

Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya.

Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya

akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba

mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra

picisan.

Umar Kayam (1932-2002) adalah sastrawan sekaligus filsuf Nusantara,

khususnya Jawa, yang cukup terkenal dan berpengaruh sehingga karya-karyanya

banyak dipelajari dan diminati sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar

negeri. Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk

merekam dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan.1 Sebagai salah satu wahana

ekspresi, baginya novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat,

dibanding apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra itu dibangun oleh

pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatannya terhadap

       1

(29)

realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang itu hidup dan

bermasyarakat. Oleh karena itu, sastra yang bermutu, bagi Umar Kayam adalah karya

sastra yang banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan

(Kayam, 1981:88).

Novel Para Priyayi (2000) merupakan novel pertama Umar Kayam yang sarat

dengan muatan filsafat. Dalam hal ini Umar Kayam cenderung mengangkat filsafat

lokal yaitu Jawa. Kejawaannya itu sendiri terlihat pada simbol-simbol dunia

pewayangan, serta karya sastra yang dihasilkan para pujangga keraton diselusupkan

ke dalam dialog maupun lakuan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan apa yang

diungkapkan Mahayana (2007:288) “…saratnya novel Para Priyayi dengan filsafat

Jawa dan simbol-simbol dunia pewayangan, serta sejumlah ungkapan yang khas

mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, menjadikan novel ini sangat bernuansa

Jawa; sangat menjawa”.

Pada dasarnya, pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba

memberikan jawaban menyeluruh terhadap hakikat kebenaran yang

sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Nilai-nilai filsafat ini

merupakan jagad batin orang Jawa yang hadiluhung dan hadiningrat, mendalam serta

yang sangat luas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa adalah berfikir

tentang sesuatu secara sistematis dan mendalam, terus menerus sampai menemukan

jawaban atau hakekat kebenaran hidup. Karena itu, melalui filsafat dapat diketahui

(30)

Filsafat Jawa tersebut juga didasari atas pola-pola pemikiran yang universal

sebagai usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan. Jadi filsafat Jawa bukan hanya

diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin

mempelajarinya. Oleh karena itu, pada era reformasi dan demokratisasi, pola-pola

yang universal itu bisa dipastikan tetap ada.

Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan

kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas

dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral,

dan teologi moral.2 Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma

yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhuk individu, makhluk sosial,

dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini

memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.3

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu

konsepsi kepemimpinan yang tumbuh dari kultural masyarakat Jawa, nilai-nilai yang

hidup di masyarakat Jawa (Anshoriy, 2008:7). Nilai-nilai luhur itu merupakan

ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan, dan keluhuran. Apalagi di

tengah kondisi sosial politik dan kekuasaan di Indonesia dewasa ini yang sedang

memasuki fase yang amat mengkhawatirkan. Etika kekuasaan berbasis kebudayaan

sesungguhnya bisa dijadikan acuan nilai yang relevan bagi para politisi sekarang agar

       2

Telusuri http://arjana-stahn.blogspot.com/2010/01/pembinaan-moral-dalam-kajian-filsafat.html 

3

(31)

segala kebijaksanaan yang dirumuskan tetap mempunyai akar sejarah, berbudaya, dan

memanusiakan manusia. Umar Kayam menegaskan ‘perkembangan kebudayaan

Indonesia modern harus tetap memberikan ruang gerak bagi kebudayaan tradisional’

(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/06/26/0043.html). Oleh karena itu

kebudayaan tradisional yang ditransformasikan ke kebudayaan modern pada akhirnya

dapat membentuk nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian, etika kekuasaan Jawa

merupakan konsep yang berpengaruh terhadap upaya menumbuhkan demokrasi

modern di tengah masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada

umumnya.

Isu kekuasaan menjadi hal yang sangat krusial dalam novel Para Priyayi

mengingat kaum priyayi identik dengan orang-orang birokrat yang menggunakan

statusnya untuk menguasai orang lain. Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah

peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan (Faruk dalam

Salam, 1998:xxxiii). Bahkan menurut Koentjaraningrat, sebutan priyayi dalam

masyarakat Jawa khususnya, menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi,

bahkan cenderung sangat eksklusif.4

Para priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit

birokrasi pemerintah. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan

menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi

      

4 

Lihat Koentjaraningrat. 1987. Meningkatkan Kinerja BUMN: Antisipasi Terhadap Kompetisi dan

Kebijakan Deregulasi . Yogyakarta: JKAP.

(32)

pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan

digolongkan kaum priyayi.

Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja

atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja).5 Akan

tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka

memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus

memiliki darah bangsawan (Kartodirdjo, 1987:10). Kepada golongan elit inilah

sesungguhnya Indonesia berkiblat.

Namun masih banyak golongan priyayi yang belum memahami benar makna

kepriyayiannya itu dalam masyarakat. Selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan

orang-orang birokrat yang berjiwa anti-sosial dan arogan. Banyak nilai-nilai luhur

priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi lebih mengutamakan status

sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi. Akibatnya sering terjadi

penyalahgunaan legitimasi kekuasaan. Umar Kayam menggambarkan kondisi itu

sebagai berikut.

…negara ini tidak dibuat sekali jadi…kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat…namun yang terjadi, kekuasaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan, maka yang brutal yang ‘menang’. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama-sama dengan baik…(Refleksi Umar Kayam di atas pembaringan beberapa hari sebelum wafat dalam Luthfi, 2007:82).

       5

(33)

Novel Para Priyayi dianggap sebagai kritik Umar Kayam sebagai priyayi

cendekiawan terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi

yang luhur. Bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan ‘priyayi’ yaitu seorang

yang telah mencapai kekuasaan di masyarakat dapat menggunakan kekuasaannya itu

berdasarkan etika kekuasaan, moral politik, dan cara-cara yang indah dalam

melakukan pengabdian kepada masyarakat sehingga betul-betul untuk kepentingan

publik atau masyarakat yang diwakili. Mochtar Pabottingi (dalam Rahmanto,

2004:73) memberi komentar ‘Priyayi Kayam adalah priyayi yang inklusif dan

egaliter, tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, tetapi dengan

kemanusiaan.’

Keunikan priyayi dalam novel Para Priyayi adalah munculnya priyayi yang

datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi lewat

suatu proses pengabdian. Seperti yang diungkapkan Moertono dalam Rahmanto

(2004:91) ‘golongan ini menjadi priyayi bukan karena warisan turun-temurun, tetapi

lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian yang berhasil mereka

kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu proses panjang pengabdian.’

Lewat kekayaan imajinasi dan keluasan pengetahuan, Umar Kayam berhasil

menggambarkan dan memaparkan struktur kompleks kehidupan para tokohnya dalam

menjalani kehidupan dan usaha membangun struktur dinasti priyayi. Mulai dari nol

(34)

status sosialnya sebagai perintis. Tidak saja bagi dirinya sendiri akan tetapi juga bagi

garis keturunannya.6

Berdasarkan hal tersebut, novel Para Priyayi sangat menarik untuk dikaji

karena mengandung nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan etika kekuasaan

Jawa. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan,

keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan

moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya pujangga agung

serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.

Novel Para Priyayi juga dapat dijadikan salah satu rujukan bagaimana

nilai-nilai humanisme telah dijadikan pegangan hidup oleh seorang priyayi dalam

mendapatkan kekuasaan, mengelola dan menggunakan kekuasaannya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah di atas,

penulis dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep etika Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam?

2. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

3. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam?        6

(35)

1.3 Batasan Masalah

Masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis tidak dapat dibahas semua

mengingat keterbatasan penulis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini dibatasi

pada beberapa pokok permasalahan saja, yaitu:

1. Konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel

Para Priyayi karya Umar Kayam.

2. Etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

1.4 Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu

rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

2. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam?

1.5 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh

utama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

2. Mendeskripsikan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar

(36)

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang

terfokus pada unsur ekstrinsik, dalam hal ini menghubungkan sastra dengan

pemikiran.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah

pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia, khususnya karya-karya

Umar Kayam.

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Membantu masyarakat untuk memahami etika kekuasaan Jawa.

2. Menegakkan prinsip-prinsip kekuasaan yang menempatkan kebenaran, moral,

dan etika kekuasaan sebagai sumber legitimasi.

3. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan

(37)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN

Di dalam Bab II ini diuraikan tentang (i) kajian pustaka, (ii) konsep, (iii)

landasan teori dan (iv) model penelitian. Berikut adalah uraiannya.

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian

sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku.

Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Rahmanto, tahun 1994 pernah menulis tentang novel Para Priyayi dalam

tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi

Karya Umar Kayam: Analisis Semiotik. Ia menyimpulkan bahwa lewat

tokoh-tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan Lantip ditampilkan masalah

penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam

transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang,

kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Penghambaan yang mirip dengan pola

penghambaan Sumantri tampak pada penghambaan Atmokasan,

Sastrodarsono, dan Lantip ketika masih muda. Penghambaan Kumbakarna

tampak pada Noegroho, Harjono, Hardoyo, dan Lantip setelah dewasa, sedang

(38)

penghambaan Lantip yang tulus, tanpa pamrih, tahu membalas budi, dan

rendah hati, serta menekankan usaha menumbuhkembangkan pengabdian

kepada masyarakat (rakyat kecil) tanpa pamrih merupakan gabungan dari

ketiga sifat penghambaan ketiga tokoh wayang tersebut.

2. Rahmanto juga menulis buku yang berjudul Umar Kayam: Karya dan

Dunianya pada tahun 2004. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh

cerpen dan novel Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seribu

Kunang-Kunang di Manhattan (1972), Istriku, Madame Schlitz, dan Sang

Raksasa (1967), Sybil (1967), Secangkir Kopi dan Sepotong Donat (1986),

Chief Sitting Bull (1986), There Goes Tatum (1986), Kimono Biru buat Istri

(1986), Para Priyayi (1992), Jalan Menikung (1999), serta kumpulan cerpen

Lebaran di Karet, di Karet…(2002). Dari buku tersebut diperoleh pengakuan

Kayam bahwa penulisan novel Para Priyayi berawal dari kekecewaannya

terhadap penafsiran yang keliru mengenai dunia priyayi Jawa oleh

orang-orang non-Jawa dan para pakar asing. Dengan novel itulah Kayam ingin

memahami dunia priyayi dari dalam dan ingin juga menggambarkan

bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang ingin menjadi priyayi.

Kayam juga menjelaskan pilihan novel itu didasari keyakinan terhadap

efektivitas novel sebagai sarana memahami kehidupan.

3. Selanjutnya, Najid tahun 2000 menulis tentang novel Para Priyayi dalam

tesisnya yang berjudul Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para

(39)

historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenbalt yang memandang

kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi

segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Kebaruan pemikiran yang

ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran

permaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada

optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran

priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Penelitian ini

bermanfaat bagi penulis dalam memahami konsep priyayi yang ditawarkan

oleh Umar Kayam.

4. Tanggapan terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui artikel,

dimulai dari Damono di Majalah Tempo pada tanggal 20 Juni 1992 lewat

“Album Kehormatan Orang Jawa”. Menurut Damono, novel Para Priyayi

menggambarkan proses menjadi priyayi yang dialami oleh sebuah keluarga

besar dari generasi pertama priyayi. Priyayi yang digambarkan dalam novel

tersebut adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam

masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Dalam hal ini Umar Kayam telah

menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priyayi.

Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian,

terungkaplah berbagai segi kehidupan priyayi di bidang agama, seks, politik,

kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan lainnya.

5. Mohamad juga memberikan komentarnya di Majalah Tempo pada tanggal 29

(40)

‘membongkar’ mitos yang menjerat masyarakat Jawa selama ini. Novel

tersebut menunjukkan bahwa kelas yang disebut ndoro itu, pada dasarnya

punya sesuatu yang sama seperti orang dusun -- atau siapa pun yang hidup di

Jawa yang dirundung kekacauan sejak abad ke-17 ini: semuanya punya rasa

cemas untuk mengambil risiko, ekspresi dari ‘the moral economy of the

peasant’. Tak aneh para priyayi, kecil atau besar, punya genesis yang sama

dari orang ‘kebanyakan’. Ternyata di halaman-halaman yang menyimpan

kenangan yang umumnya datar dan biasa-biasa saja itu ada sebuah cerita

besar, meskipun tak mengejutkan: tidakkah ini kisah sebuah masyarakat yang

terus menerus berpose, mengharapkan kelanggengan, tapi seharusnya

bersyukur dengan perubahan.

6. Berikut Pabottingi memberikan ulasan terhadap novel Para Priyayi Umar

Kayam di Majalah Tempo 3 Oktober 1992 dalam “Pertandingan Priyayi”.

Novel Umar Kayam ini telah memberi gambaran yang hidup tentang alam

priyayi. Di sini priyayi memang tetap ditampilkan menjarak dari ortodoksi

Islam, bertahan pada praktek olah-batin leluhur, mencintai kehalusan dan

pewayangan, tapi tetap tegas menolak disebut bukan muslim. Tapi, berbeda

dengan alam priayi pada karya Clifford Geertz, alam priyayi pada Kayam

lebih merupakan sasaran mobilitas sosial dan lebih peka pada kepentingan

wong cilik. ‘Priyayi’ Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter. Ia tak

bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, melainkan dengan

(41)

7. Selanjutnya, Anshoriy pernah menulis tentang budaya Jawa dalam bukunya

yang berjudul Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,

terbit tahun 2008. Buku ini layak dijadikan referensi karena berisikan

butir-butir kearifan lokal warisan nenek moyang mengenai etika kekuasaan yang

dikaji dan digali dengan pendekatan ilmiah.

8. Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa

Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) menguraikan konsep kekuasaan Jawa

yang bertentangan dengan B.R.O’G Anderson dalam “The Idea of Power in

Javanese Culture” (1972). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa serupa

dengan pemimpin dalam semua masyarakat di dunia, seorang pemimpin

dalam suatu masyarakat yang berkebudayaan Jawa juga perlu

memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang

pemimpin secara universal. Ia juga perlu memiliki semua sifat yang

diperlukan sebagai syarat pemimpin yang bermutu. Hal itu dapat kita pelajari

dengan membaca secara seksama buku-buku tradisional Jawa mengenai

syarat-syarat kepemimpinan. Konsep inilah yang menjadi rujukan bagi

penulis untuk menganalisis konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi bacaan pendukung bagi penulis terkait

dengan objek penelitian. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan

(42)

Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan teori

hubungan kesusastraan dengan pemikiran. Konsep kekuasaan Jawa yang digunakan

dalam penelitian ini adalah berdasarkan empat komponen kekuasaan yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:

Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) yaitu wibawa, kharisma,

wewenang dan kemampuan khusus.

2.2 Konsep

2.2.1 Definisi Etika

2.2.1.1 Etika Jawa

Etika merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008:6). Tinggi

rendahnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing

warganya bertindak sesuai dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh

karena produktifitas dan kreatifitas masyarakatnya akan terus berlanjut, tanpa ada

hambatan yang berarti. Dengan mentaati norma dan etika, maka tingkah laku serta

hubungan antar manusia akan berjalan secara wajar, yang memungkinkan untuk

melakukan aktifitas secara efektif dan efisien.

Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap,

cara berfikir, watak kesesuaian atau adat (Bertens, 1993:4). Ethos identik dengan

moral, yang dalam Bahasa Indonesia berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung

makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah

(43)

Kata ‘etika’ dalam arti yang sebenarnya berarti ‘filsafat mengenai bidang

moral’ (Bertens, 1993:6). Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik

mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Suseno

(1996:6) mempergunakan istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai

‘keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang

bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan

kehidupannya’; jadi di mana mereka menemukan jawaban pertanyaan: bagaimana

saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya

kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil.

Suseno membedakan antara pengertian ajaran moral dengan etika.7 Ajaran

moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan,

kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana

manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumbernya

bisa guru, orang tua, pemuka agama atau orang bijak seperti pujangga Empu Kanwa,

Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Manoguna,

Empu Prapanca, Empu Tantular, Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana IV, Sri

Mangkunegara IV, Kyai Sindusastra, Kyai Kusumadilaga, Ki Padmasusastra, Ki

Ageng Suryamentaram dan Ki Nartasabda.

Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan

filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan

pandangan-       7

(44)

pandangan moral (Suseno, 1992:42). Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran.

Etika dan ajaran moral tidak setingkat. Yang mengatakan bagaimana seseorang harus

hidup adalah ajaran moral, bukan etika. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus

mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap

yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1997 :

14). Tanggung jawab moral sangat penting dalam kehidupan kolektif.

Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan

oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya

manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 1984:6).

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup

Bagi masyarakat Jawa etika itu kerap disebut dengan istilah pepali,

unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk,

pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga

prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam

bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal

unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa.

Para pemimpin Jawa terutama raja dan punggawanya sejak dulu kala

memahami benar tentang arti penting etika. Kehidupan berbangsa dan bernegara

memang perlu diatur berdasarkan hukum yang memadai. Berhubung dengan itu,

(45)

mengikat semua penduduknya. Etika Jawa ini disusun berdasarkan nilai-nilai historis,

sosiologis dan filosofis yang telah mengakar dalam masyarakat.

Dalam etika Jawa terdapat aliran yang mengandung nilai eudaemonisme

theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaemoni, artinya

kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu

tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan (Mudhofir, 1988: 26).

Selanjutnya aliran theologi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut bermoral jika

tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan buruk yaitu yang

tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuntutan moral yang baik dalam hal ini telah

digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci dari masing-masing agama

(Suseno, 1997: 83). Bagi orang Jawa pada umumnya memang ditekankan keselarasan

antara makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Aliran

eudaemonisme theologis ini terdapat dalam ungkapan Serat Wedhatama yaitu agama

ageming aji, bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang

hakiki.

Pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam

masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang

dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat

dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat.

Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing

(46)

melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya

dalam kosmos.

Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam

masyarakat dan kosmos, sehingga ia ‘mengerti’, bahwa ia harus memenuhi

kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam

rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin

bersatu ia dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.

2.2.3 Kekuasaan Jawa

2.2.3.1 Hakikat Kekuasaan

Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang

kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan

masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa)

yang lain sudah barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh

perbedaan latar belakang sosial budaya dan pandangan hidupnya.

Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa

dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai

kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memulai analisis mengenai konsep

kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa aspek dan

sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa konsep

(47)

politik, yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini

disebabkan karena konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada

umumnya, dan ilmu politik pada khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik

(politics) diangggap tidak lain dari sebuah kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan

ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan tetap merupakan gejala yang

sangat sentral dalam ilmu politik.8

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi

kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh ‘sikap jiwa

pribadi’ dari pembahas yang bersangkutan. Apalagi jika yang dibahas itu gejala yang

sensitif, seperti halnya gejala yang menyangkut masalah kemanusiaan.9

Perbedaan dalam menganalisa kekuasaan sebagai sesuatu gejala sosial sudah

mulai nampak, kalau kita memperhatikan bagaimana kekuasaan itu diartikan. Ada

satu kelompok pendapat yang mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi

(dominance), dan ada yang pada hakekatnya bersifat ‘paksaan’ (coercion). Sebagai

contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe, yang merumuskan kekuasaan sebagai

‘kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada orang lain’. Pendapat senada

dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan: ‘Kekuasaaan itu adalah

dominasi yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain

       8

Lihat Miriam Budiardjo, ‘Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan’, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 9. 

9

(48)

menentang’. Demikian pula Harold D. Laswell menganggapnya, ‘tidak lain dan tidak

bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat’ (Budiardjo, 1984:31).

Suatu pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan

karangan Talcott Parsons, Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok

yang kedua ini, pengertian pokok dari kekuasaan adalah ‘pengawasan’ (control).

Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus selalu merupakan paksaan. Untuk

Parsons umpamanya, kekuasaan adalah ‘pemilikan fasilitas untuk mengawasi’. Akan

tetapi keperluannya ialah untuk ‘pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat

sebagai suatu sistem, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan

ditentukan secara mengikat oleh umum’. Seiring dengan ini, Robert Lynd

mengumumkan bahwa: ‘kekuasaan sebagai suatu sumber sosial (social resource)

yang utama untuk mengadakan pengawasan dapat beralih wujud dari suatu paksaan

sampai dengan suatu kerja sama secara sukarela, tergantung daripada perumusan

ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan, diubah dan dipelihara dalam suatu

masyarakat tertentu’. Akhirnya, Marlon Levy menjelaskan bahwa: ‘penggunaan

kekuatan fisik hanyalah merupakan suatu bentuk ekstrem dari cara penggunaan

diktator dan pengawasan atas tindakan-tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).

Dengan perkataan lain, persoalan pokok untuk kelompok paham terakhiri ini,

ialah ‘legitimasi’ (legitimacy) atau ‘pembenaran’ dari ‘dasar’ kekuasaan.

Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: ‘legitimasi dari pengawasan demikian itu

mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam

(49)

menjelaskan, bahwa ‘kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung

jawab, yang berarti pertanggungan jawab dari individu terhadap

individu-individu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan

tindakan- tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).

Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan

tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa

kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain

sedemikian rupa sehingga tingkah-laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari

pelaku yang mempunyai kekuasaan (Budiardjo, 1984:9).

Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang

terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep

kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Laswell, Kaplan, dan Parson.

Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat

dan timur (Indonesia-Jawa) memang dimungkinkan ada perbedaan.

2.2.3.2 Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa

Anderson10, Indonesianis dari Cornell University yang melakukan penelitian

lapangan di Jawa, menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa

       10

(50)

kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi

etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ia juga

semata-mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa, melalui sejumlah

perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak

semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam

pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah

kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka.

Kesalahan Anderson itu ‘dimanfaatkan’ oleh Koentjaraningrat, yang

menyanggah gagasan Anderson bahwa kadigjayan sebagai satu-satunya komponen

yang diperlukan untuk melaksanakan kekuasaan itu, ibarat kekuatan energi bersifat

sakti serta keramat yang dengan sendirinya dapat digunakan.11 Selanjutnya,

Koentjaraningrat berpendapat bahwa, seperti halnya pemimpin lain dari semua

masyarakat dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat berkebudayaan Jawa

perlu juga memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang dibutuhkan oleh

seorang pemimpin secara universal.

Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).

      

dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan

Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 51-52.  11

(51)

Dengan hasil pengontrasan semacam itu, Koentjaraningrat menilai bahwa

Anderson telah kehilangan kemampuannya untuk melihat gejala-gejala yang

ditelitinya (konsep kekuasaan masyarakat Jawa) secara proporsional. Lebih lanjut,

Anderson dianggap berlebihan dalam memandang konsep kekuasaan masyarakat

Jawa. Anderson tidak cukup memahami orang Jawa dengan menganggap cerita-cerita

dan ujaran, upacaranya sebagai suatu realitas. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa

sering mengekspresikan diri dalam perilaku yang simbolis, termasuk konsep

kekuasaan yang keramat dan sakti itu juga sebagai bagian dari konsepsi yang

simbolis.

Menurut Koentjaraningrat, kesakten hanyalah salah satu syarat bagi pemimpin

Jawa, tetapi bukan satu-satunya. Sebagai jalan keluarnya Prof. Koentjaraningrat

menawarkan model kepemimpinan yang lebih universal dengan mengacu kepada data

etnografi kebudayaan di Afrika, Asia dan daerah lautan Pasifik. Dalam menyusun

kerangka teoritisnya, Koentjaraningrat mengkategorikan konsep kekuasaan dan

kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat

kecil dan masyarakat sedang, masyarakat negara-negara kuno, dan masyarakat negara

kontemporer. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat:

wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian:12

       12

(52)

Masyarakat Sederhana Masyarakat Tradisional Masyarakat Masa Kini

Wibawa Kharisma Wibawa

Wewenang Wewenang Wewenang

Kharisma Wibawa Kharisma

Kemampuan khusus Kemampuan khusus Kemampuan khusus

Gambar 1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat

(1984:128-143)

Dalam masyarakat kecil atau sedang (disebut kerangka I) disimpulkan bahwa

komponen-komponen yang menjadi landasan kekuasaan seorang pemimpin adalah

kewibawaan, wewenang dan kekuasaan dalam arti khusus , serta sifat-sifat yang

menjadi syarat bagi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin. Kewibawaan yang

dimaksud dikarenakan: kepandaian (berburu, bertani, berkebun), keterampilan

berpidato, kemahiran berdiplomasi, sifat-sifatnya sesuai dengan cita-cita dan

keyakinan masyarakatnya. Wewenang diperoleh karena kemampuannya untuk

melakukan upacara intensifikasi. Sementara kharisma muncul karena dianggap

memiliki kekuatan sakti.

Selanjutnya, komponen kekuasaan yang harus ada dalam masyarakat negara

kuno (kerangka II) antara lain kharisma, kewibawaan, wewenang atau kekuasaan

dalam arti khusus serta syarat-syarat yang memungkinkan seseorang menjadi raja

atau pemimpin kelompok masyarakat ini. Kharisma diperoleh dengan klaim memiliki

(53)

kekuatan sakti, mempunyai keturunan sah, mampu melaksanakan upacara

intensifikasi dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Semenatar kewibawaan diperoleh

karena memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakat.

Dalam masyarakat negara kontemporer (kerangkan III) komponen-komponen

kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tetap sama seperti pada masyarakat

sedang dan negara kuno, hanya saja tata urut pentingnya telah berubah. Hal itu

dikerenakan sumber kekuasaannya adalah masyarakat itu sendiri, bukan dewa atau

Tuhan. Kewibawaan diperoleh karena popularitas dan kemampuan seseorang untuk

memecahkan masalah sosial ekonomi dan politik (kecendiakawanan), serta memiliki

sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan kepercayaan masyarakat. Wewenang

diperoleh melalui prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan. Sementara kharisma diperoleh karena memiliki lambang-lambang

kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Unsur-unsur kekuasaan tersebut

juga bisa digunakan untuk membedakan antara pimpinan formal dan informal.

Menurut Koentjaraningrat, pimpinan formal memiliki empat komponen kekuasaan,

yaitu kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan fisik. Sementara itu

kekuasaan informal hanya memiliki tiga komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan,

kharisma dan kekuatan fisik.

Penelitian tentang etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya

Umar Kayam ini bertolak dari pandangan Koentjaraningrat di atas tentang konsep

kekuasaan Jawa yang meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang,

(54)

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan hubungan teori sastra dan pemikiran (filsafat)

yang dikemukakan oleh Wellek & Austin Warren terjemahan Budianta

(1989:134-135).

‘Sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Meskipun sekarang ilmuwan sudah jenuh mengorek-ngorek hal-hal yang ilmiah dari karya sastra, sampai sekarang karya sastra masih sering dibahas sebagai karya filsafat…karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.’

Filsafat sebagai salah satu ilmu bantu sastra tentu relevan dalam pengkajian

suatu karya sastra. Ilmu filsafat dapat digunakan sebagai optik untuk melihat

anasir-anasir dari suatu karya sastra yang menjadi titik temu antara sastra dan filsafat.

Hubungan simbiosis antara sastra dengan filsafat bukanlah suatu hal yang asing

dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu filsafat sendiri. Bahkan Ulrici, peneliti

karya-karya Shakespeare dari Jerman, menyatakan hubungan sastra dengan filsafat secara

gamblang (Wellek dan Austin Warren, 1989: 34). Ia mengatakan sastra dapat dilihat

dalam bentuk filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang terbungkus.

Pernyataan Ulrici di atas ada kebenarannya. Apabila kita mensejajarkan antara

sejarah sastra dengan sejarah pemikiran atau filsafat akan terlihat jelas hubungannya.

Ini dikarenakan secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya,

(55)

hubungan yang dominan pada zamannya, atau paling tidak mengetahui garis besar

ajaran paham-paham tersebut (Wellek dan Austin Warren, 1980: 38). Oleh karena

adanya hubungan antara sastra dengan filsafat mendorong penulis untuk mengkaji

suatu karya sastra dari sudut pandang filosofis.

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral

prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian

aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari

kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai

moral itu sendiri (Bertens, 2007:6). Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari

manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berprilaku dengan

kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak.

Seorang akademisi dan rohaniwan Suseno (1992:42) mengatakan bahwa etika

adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Yang memberi kita norma tentang

bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya

melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut atau kita juga bisa

mengatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang

bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan

pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai. Keduanya

mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana

kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung

(56)

harus mempersoalkan; apakah saya harus melangkah dengan cara itu dan mengapa

harus dengan cara itu?

Etika dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan sering kali

meliputi suatu sistem nilai dan norma sosial, dan etika selalu berlaku dalam suatu

konteks budaya yang tertentu (Bertens, 2001:12). Etika Jawa merupakan keseluruhan

norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk

mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno,

2003:6).

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu

konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa,

nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. 13 Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi

kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan

hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa

kuno karya para pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun

temurun.

       13

(57)

2.4 Model Penelitian

Berikut adalah bagan model penelitian:

INTRINSIK

-TOKOH UTAMA (SASTRODARSONO)

ETIKA

ETIKA JAWA

1. WIBAWA

2. KHARISMA

3. WEWENANG

4. KEMAMPUAN

KHUSUS

ETIKA KEKUASAAN JAWA EKSTRINSIK

- PEMIKIRAN

(FILSAFAT) 

SASTRA

(Novel Para Priyayi karya Umar Kayam)

(58)

Keterangan:

: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.

: tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.

Penjelasan Model:

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dibahas menurut konsep pendekatan

yang dipelopori oleh Wellek dan Austin Warren (1989), yakni pendekatan intrinsik

dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji

penokohan, dalam hal ini tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono),

sedangkan pada pendekatan instrinsik dikaji melalui hubungan sastra dan pemikiran

(filsafat).

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral

prilaku manusia. Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang

dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana seharusnya

manusia menjalankan kehidupannya.

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu

konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa,

nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. Etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam

penelitian ini bersumber dari konsep kepemimpinan atau kekuasaan Jawa yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:

Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” tahun 1984. Konsep kekuasaan Jawa

(59)

kemampuan khusus. Keempat komponen kekuasaan tersebut terdapat dalam tokoh

utama novel Para Priyayi (2000) karya Umar Kayam yaitu Sastrodarsono (nama tua

Soedarsono).

Adapun etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi:

membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan

(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

Di dalam Bab III ini diuraikan secara berurutan tentang metode penelitian

yang mencakup: (i) rancangan penelitian, (ii) sumber data dan data, (iii) teknik

pengumpulan data, dan (iv) teknik analisis data. Berikut uraiannya.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan

hermeneutika merujuk kepada proses interpretasi atau penafsiran teks-teks.

Pendekatan hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala,

peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan

lainnya, yang muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia

tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau

simbol nonverbal, karya seni, tari-tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan

hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia

lainnya (Kaelan, 2005:80).

Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang

terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia,

melalui pemahaman dan interpretasi. Dalam ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan

(61)

pembaca mungkin tidak akan mengerti atau menangkap jiwa zaman di mana

kesusastraan itu dibuat (Muhadjir, 2002:314).

Dalam pandangan hermeneutika, konvensi keutuhan adalah dominan, semua

bagian saling bertalian sehingga dimungkinkan untuk diadakan interpretasi. Adapun

interpretasi teks bagian khusus ke umum dan pemahaman umum ke khusus.

3.2 Sumber Data dan Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam

yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti cetakan ketujuh bulan November tahun

2000 setebal 308 halaman dengan soft cover. Dipilihnya novel tersebut karena

mengandung unsur etika kekuasaan budaya Jawa dalam penceritaannya.

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah data kutipan yang berupa teks

atau wacana yang berhubungan dengan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para

Priyayi karya Umar Kayam. Di samping itu, data sekunder dalam penelitian ini

diperoleh dari artikel-artikel dalam media massa maupun internet, baik yang

berhubungan dengan pengarang maupun novelnya, dan bersifat mendukung data-data

dalam objek penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berfungsi untuk

mempertajam analisis data.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis

(62)

teks sastra perlu diperoses secara sistematis, menggunakan teori yang telah dirancang

sebelumnya, (b) teks tersebut dicari unit-unit analisis dan dikategorikan sesuai acuan

teori, (c) proses analisis harus mampu menyumbangkan ke pemahaman teori, (d)

proses analisis mendasarkan pada deskripsi, (e) analisis dilakukan secara kualitatif

(Endraswara, 2008:162).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. membaca novel Para Priyayi secara cermat dan berulang-ulang;

2. menuliskan temuan data dalam kartu ikhtisar dan dibagi ke dalam unit-unit

kecil sesuai klasifikasinya; kemudian data yang berwujud teks tersebut

dicuplik dan dikumpulkan dalam kartu atau tabel.

3. pada saat yang bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara

mengabaikan data-data yang tidak relevan dengan konstruk penelitian.

Sedangkan data yang relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar

memudahkan peneliti menentukan indikator;

4. data-data yang telah direduksi atau diseleksi kemudian dilakukan pencatatan

dalam kartu ikhtisar.

3.4 Teknik Analisis Data

Menurut Bungin (2007:78), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan

antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi

(63)

bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan

teknik analisis data.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah analisis

isi (content analysis). Analisis isi merupakan model analisis yang digunakan untuk

mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Dalam karya sastra, isi

yang dimaksud adalah pesan-pesan yang akan disampaikan oleh penulis melalui

karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang

bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada

pembacanya. Hal yang penting adalah pesan-pesan yang terangkum dalam isi karya

sastra itu dipahami secara keseluruhan (Endraswara, 2008:160).

Menurut Bungin (2007:156) dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan

pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada

bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol,

memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Lebih lanjut

Bungin (2007:156) mengatakan bahwa penggunaan analisis isi untuk penelitian

kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada

fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu

dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindakan harus

didasarkan pada tujuan tersebut. Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis

yang akan dikaji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran analisis (Bungin,

Gambar

Gambar 2. Skema sangkan paraning dumadi
Tabel 1   Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan tanaman melati air sebagai filter biologi pada pemeliharaan ikan maanvis tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan oksigen terlarut,

Blowout preventer – tekanan tinggi katup (bertempat di bawah tanah pengilangan atau pada dasar laut) yang memperkuat aliran tekanan tinggi pengeboran dan mengurangi tekanan

LAPORAN SEMESTER I REKAP PERSEDIAAN BARANG PAKAI HABIS DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL KABUPATEN LOMBOK BARAT SAMPAI DENGAN 31 JUNI TAHUN 2016.. NO Tgl/bln/Thn

diperkirakan bukan pohon yang dapat tahan pada lingkungan roof garden, hal ini ditinjau dari bentuk trikoma yang kurang mendukung pohon untuk hidup di lingkungan roof garden

dan smartphone Proses pelatihan google meet dan zoom meeting dilakukan di pendopo dan diikuti oleh peserta yang belum mampu menjalankan aplikasi tersebut saja.

Jika dilihat dari tingkat ketuntasan belajar siswa diketahui bahwa hasil belajar yang menggambarkan kemampuan Strategi belajar sesuai gaya belajar terendah adalah

Pada tahap refleksi awal ini, kegiatan yang dilakukan adalah deskripsi situasi dan materi dari catatan tentang hasil belajar siswa di kelas. Dari deskripsi ini

bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka perlu meninjau kembali Kedudukan,