WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI
DALAM PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 2007
TESIS
Oleh
MARIA N SIHOMBING
097011062/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI
DALAM PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 2007
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Ilmu pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARIA N SIHOMBING
097011062/MKn
Â
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada
Tanggal 14 Juli 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. DR. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Prof. DR. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi
2. DR. T. Keizerina Devi A, SH, CN. MHum
3. Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
ABSTRAK
Direksi adalah organ yang diberi kepercayaan (fiduciary) untuk menjalankan dan mengelola perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan Direksi mengendalikan operasi kegiatan perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Direksi sebagai organ penting dalam Perseroan selaku pengurus dan perwakilan perseroan, harus bertindak secara hati-hati, patut dan bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan anggaran dasar perseroan sebagaimana dengan maksud dan tujuan perseroan yang dipimpinnya. Apabila dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya, serta wewenang, Direksi melakukan perbuatan melawan hukum yang mengandung benturan kepentingan atas kepentingan pribadi dan kpentingan perseroan, Direksi tersebut harus lebih mendahulukan kepentingan perseroan. Direksi dapat mengambil kepentingan tersebut, sepanjang tidak merugikan perseroan, artinya tidak ada menimbulkan kerugian terhadap perseroan atas tindakan yang diperbuat oleh Direksi.
Berkaitan dengan hal-hal yang diatas objek permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana wewenang dan tanggung jawab Direksi dalam Prinsip Corporate
Opportunity yang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, bagaimana penerapan prinsip, batasan-batasan dan pembuktian
Corporate Opportunity tersebut.
Dalam rangka membahas masalah tersebut, jenis penelitian tesis yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perusahaan dan bersifat deskriptif analistis, yakni mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.
Seorang direksi dikategorikam melakukan pengelolaan perseroan yang salah, apanila seorang direksi melakukan pelanggaran Code Of Conduct dalam RUPS, tidak melaksanakan Duty Of Care dan Duty Of Loyalty yang terdapat dalam prinsip perusahaan dan Direksi tersebut memiliki itikad buruk dan melakukan korupsi dalam pengelolaan perseroan. Batasan âbatasan prinsip Corporate Opportunity mencakup,
Code of Conduct, Standar of Care dan Fiduciary Duty yang didalamnya termasuk duty of care dan duty of loyalty. Sedangkan penerapan prinsip Corporate Opportunity
terhadap wewenang dan tanggung jawab Direksi tersebut mencakup Duty of Skill and
Care, Duty of Loyalty, dan Duty of Disclosure.
peluang bisnis dianggap milik perseroan, jika peluang bisnis tersebut berhubungan erat dengan aktifitas perseroan atau prospek aktifitas perseroan. (3) The fairness test, dimana pengadilan akan mempertimbangkan semua fakta untuk melihat bahwa orang dalam perseroan dengan tidak fair mengambil alih peluang bisnis perseroan. (4)
Combination test, dimana beberapa pengadilan menerapkan test dua tahap yaitu
kombinasi antara the line of business test dan fairness test).
Permasalahan tirnbul ketika keputusan bisnis yarng diambil Direksi ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi telah melakukan dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul prinsip business judgement rule yang merupakan salah satu prinsip yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yatrg mempunyai itikad baik. Penerapannya, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan dalam mengambil keputusan bisnis.
Dengan adanya doktrin business judgement rule memberikan suatu pembelaan terhadap direksi, apabila direksi telah dikatakan: (1) Menaati semua ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) tersebut; (2) Menaati semua ketentuan bisnisnya dan telah sesuai dengan Standar Of Conduct yang tertuang didalam RUPS; (3) Code Of
Conduct telah terpenuhi dengan baik apabila telah terpenuhnya fiduciary duty dan
terlaksananya duty of care and duty of loyalty yang terdapat dalam prinsip atau teori
business judgement rule, yaitu kebijakan yang dibuat direksi yang didasarkan dengan
prinsip yang rasional, kebijakan tersebut terbaik untuk perusahaan dan tidak mengandung benturan kepentingan. Maka, apabila hal tersebut telah dilaksanakan dengan itikad baik, direksi dianggap bebas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan, kecuali korupsi.
Â
ABSTRACT
Managing director is an organ who is given a trust (fiduciary) to run and manage a company in accordance with the mission and purpose of the company. The director leads the daily operational activities of the company within the limits determined in Law No. 40/2007 on Limited Liability Company, Statutes and General Meeting of Shareholders (RUPS) as well as under the supervision of Board of Commissioners. Director as an important organ in a company in his capacity as the management and companyâs representative must act carefully, properly with good intention and full of responsibility in accordance with the statutes of the company which is in line with the mission and purpose of the company he manages. If when performing his duty, responsibility and authority, the director does something against the law related to any conflict between vested interest and companyâs interest, the director must prioritizes the companyâs interest. The director can take the interest as long as it does not inflict loss to the company meaning that what has been done by the director does not inflict any loss to the company.
Related to the information above, the research problems in this thesis were what directorâs authority and responsibility in the Principle of Corporate Opportunity are if viewed from Law NO.40/2007 on Limited Liability Company, and how the principle, limitations and authentication of the Corporate Opportunity are applied.
The data for this normative juridical study were based on the regulation of legislation, theories, and the concepts which were related to the legal aspect of company. As an analytical descriptive study, this study described a population or certain area, nature, characteristics or factors systematically, factually, and accurately.
A director is categorized to have done a wrong company management, if he violates the Code of Conduct in General Meeting of Shareholders, does not perform Duty of Care and duty of Loyalty found in the principle of company and the director does not have good intention and does a criminal act of corruption when managing the company. The definition of the principle of Corporate Opportunity covers Code of Conduct, Standard of Care and Fiduciary Duty including duty of care and duty of loyalty. While the application of the principle of Corporate Opportunity to the authority and responsibility of the Director includes Duty of Skill and Care, Duty of Loyalty and Duty of Disclosure.
unfairly takes over the business opportunity of the company, (4) Combination test where several courts of law apply a two-stage test as the combination between the line of business test and fairness test.
The problem emerges when the business decision taken by the Director inflicts loss to the company, whereas the Director has done it honestly and with good intention. To protect the Directors with good intention, the principle of business judgment rule which is one of the very popular principles to guarantee justice for the directors with good intention is issued. Its application is related to obtain justice especially for the directors of a company in taking a business decision.
With the doctrine of business judgment rule, a defense is given to the directors if they: (1) obey all of the stipulations found in Article 97 Paragraph 5; (2) obey all of the business stipulations in accordance with the Standard of Conduct stated in the RUPS; (3) Code of Conduct has been well met if fiduciary duty has been met and duty of care and duty of loyalty found in the principle or theory of business judgment rule have been implemented. Business judgment rule is a policy made by a director based on a rational principle. This policy without conflict of interest is the best for the company. Therefore, if the interest has been implemented with good intention, the director is regarded being free from any responsibility for the loss inflicted except corruption.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, oleh Rahmat
dan Kasih KaruniaNya sehingga dapat melakukan dan menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis ini dengan baik. Banyak hal yang terjadi dialami saat menyelesaikan
penulisan tesis ini.
Adapun tujuan dibuat penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian
syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul tesis ini adalah: WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
DIREKSI DALAM PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG
PERSEROAN TERBATAS.
Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan
yang bersifat masukan yang membangun demi melengkapi kesempurnaan dalam
penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
dan penyelesaian tesis ini terutama kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. DR. Runtung, S.H,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. DR. M. Yamin, S.H,M.S,C.N, selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku
Anggota Komisi Penguji yang telah memberikan saran dan kritik dalam penelitian
tesis ini;
4. Ibu DR. T. Keizerina Devi A, S.H,C.N,M.Hum, selaku Sekretaris Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus
Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dukungan, serta saran
dan kritik dari awal penelitian, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan;
5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Komisi Pembimbing Utama
yang telah memberikan bimbingan dukungan, serta saran dan kritik dari awal
penelitian.
6. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H, M.Li selaku Komisi Pembimbing yang
dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan kontribusi
pemikiran, bimbingan serta arahan yang sangat tepat dalam penyusunan tesis ini;
7. Bapak Notaris Syafnil Gani, S.H,M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji yang
telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan arahan dalam penyelesaian
8. Para Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Progran Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses
perkuliahan;
9. Orangtuaku yang ku cintai dan ku banggakan, H. Sihombing dan P.br Siagian
yang selalu menemaniku dalam doa dan memberikan dorongan, baik berupa
materil maupun moril dengan harapan agar suatu saat penulis dapat menjadi
teladan bagi adik â adiknya dalam mencapai pendidikan yang tinggi untuk bekal
masa depan nantinya.
10.Seluruh Rekan Staf dan Pegawai Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan informasinya yang
diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan hingga
penelitian tesis ini;
11.Para sahabat seperjuangan Kelas Reguler A, B dan C Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2009.
12.Seluruh Keluarga Op. Halomoan Sihombing Lumbantoruan dan Op. Masita
Siagian, terima kasih atas doa dan dukungannya selama masa pendidikan dan
perjalanan studi ini.
13.Sahabat-Sahabatku, Israfenny Simangunsong, Candra Siagian, Ketrin
Pangaribuan, Nurita Simarmata, Gank Gerobak Jambi, Komunitas SMU Negeri 2
Balige Medan dan Sekitarnya, Kostan Juanda, terima kasih buat dukungan dan
14.Buat Abangku Edward Alvonso beserta seluruh keluarga, thanks buat motivasi
dan curhatannya selama ini ya abangku!
15.Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Akhirnya, penulis mengharapkan agar tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia
pendidikan dalam pengembangan keilmuan terutama bagi penulis dalam memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan hukum di masa mendatang.
Dari semua ucapan terima kasih yang penulis ucapkan, hanya kepada Tuhan
Yesus Kristus karena atas KehendakNya lah, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Terimakasih. Tuhan Memberkati.
Medan, Juni 2011
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : Maria N Sihombing
Tempat/Tanggal Lahir : Balige/ 30 Desember 1985
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Mulia Raja Gang Mawar No. 12 Kompleks
Tanah Lapang Sisingamangaraja Balige
Kabupaten Toba Samosir 22311
Alamat Domisili : Jalan Ir. H. Juanda Baru No. 77 A Medan
E-mail : lumbantoruan.maria_85@yahoo.com
Nama Ayah : Hasudungan Sihombing
Nama Ibu : Purnama Siagian
Anak : Ke- 4 dari 7 bersaudara
No. Handphone : +6281366394261
B. Pendidikan
1992 - 1998 : SD HKBP NO. 2 BALIGE di Balige
1998 â 2001 : SLTP NEGERI 1 BALIGE di Balige
2001 â 2004 : SMU NEGERI 2 BALIGE di Balige
2004 â 2008 : STRATA SATU (S-1) FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI di Jambi
2009 â 2011 : STRATA DUA (S-2) MAGISTER
KENOTARIATAN UNIVERITAS SUMATERA
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR ISTILAH ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... x
KATA PENGANTAR... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian... 11
F. Kerangka Teori... 12
1. Kerangka Teori... 12
2. Kerangka Konsepsi ... 19
G. Metodologi Penelitian ... 20
1. Jenis Penelitian... 20
2. Sumber Data Penelitian... 21
3. Teknik Pengumpulan Data... 22
5. Analisis Data ... 26
BAB II PENERAPAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG TERHADAP DIREKSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Â A. Organ-Organ Perseroan Terbatas... 27
a. Rapat Pemegang Umum Saham... 27
b. Direksi ... 32
c. Dewan Komisaris ... 40
B. Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Yang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 46
a. Wewenang Direksi Perseroan ... 46
b. Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas ...55
C. Penerapan Prinsip Corporate Opportunity Terhadap Direksi Yang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 65
a. Duty Of Skill And Care ...66
b. Duty Of Loyalty ...68
BAB III BATASAN-BATASAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
A. Prinsip-Prinsip Hukum Perseroan dan Pengaturannya
Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas ...71
a. Fiduciary Duty ...71
b. Corporate Opportunity ...72
c. Business Judgement Rule ...72
d. Piercing The Corporate Veil ...73
e. Derivative Action ...75
f. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas ...76
g. Ultra Vires ...77
h. Self Dealing ...78
i. Corporate Ratification ...79
B. Pengertian dan Pengaturan Prinsip Corporate Opportunity Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007... 81
C. Batasan â Batasan Prinsip Corporate Opportunity Dalam Hukum Indonesia yang Ditinjau dari UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 89
a. Code Of Conduct... 91
b. Standar of Care ... 95
BAB IV PEMBUKTIAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY TERHADAP DIREKSI DALAM MENGELOLA PERSEROAN TERBATAS YANG DITINJAU DARI UNDANGâUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
A. Kriteria dan Larangan Prinsip Corporate Opportunity... 106
B. Beberapa Kasus tentang Oportunitas
Perseroan (Corporate Opportunity) ...112
C. Pembuktian Prinsip Corporate Opportunity terhadap Direksi
Dalam Mengelola Perseroan Terbatas Yang Ditinjau Dari Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ...113
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 131
B. Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA ... 134
DAFTAR ISTILAH
Artifical Person : Manusia Semu.
Beneficiary : Pihak yang memberikan kepercayaan yang harus
dipegang untuk kepentingannya.
Best Interest : Yang terbaik bagi perseroan
Business Judgement Rule : Keputusan bisnis oleh direksi mengenai aktivitas
perseroan yang tidak boleh diganggu gugat oleh
siapapun meskipun putusan tersebut salah atau merugikan perseroan
Conflict of Interest : Konflik kepentingan
Code of Conduct : Pedoman perilaku yang mengedepankan etika profesi
Corporate Opportunity : Oportuitas perseroan
Derivative Action : Gugatan dervatif dalam perseroan terbatas
Dubius : Penafsiran mendua
Duty of Care : Kehati-hatian
Duty of Loyalty : Kewajiban untuk loyal
Duty of Skill : Kewajiban memiliki keahlian
Fiduciary Duty : Prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang
dipercayakan kepada orang atau pihak lain (perseroan)
kepada Direksi baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi.
Fraud : Kecurangan
Good Faith : Itikad baik
Gross Negligence : Kelalaian berat
Library Research : Penelitian kepustakaan
Mandatory : Kewajiban
Personal Standi in Judicio : Subjek hukum mandiri
Piercing The Corporate Veil : Penyingkapan tirai perseroan
Sel Dealing : Transaksi dengan perseroan
Stakeholder : Pihak yang berkepentingan
ABSTRAK
Direksi adalah organ yang diberi kepercayaan (fiduciary) untuk menjalankan dan mengelola perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan Direksi mengendalikan operasi kegiatan perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan Dewan Komisaris. Direksi sebagai organ penting dalam Perseroan selaku pengurus dan perwakilan perseroan, harus bertindak secara hati-hati, patut dan bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan anggaran dasar perseroan sebagaimana dengan maksud dan tujuan perseroan yang dipimpinnya. Apabila dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya, serta wewenang, Direksi melakukan perbuatan melawan hukum yang mengandung benturan kepentingan atas kepentingan pribadi dan kpentingan perseroan, Direksi tersebut harus lebih mendahulukan kepentingan perseroan. Direksi dapat mengambil kepentingan tersebut, sepanjang tidak merugikan perseroan, artinya tidak ada menimbulkan kerugian terhadap perseroan atas tindakan yang diperbuat oleh Direksi.
Berkaitan dengan hal-hal yang diatas objek permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana wewenang dan tanggung jawab Direksi dalam Prinsip Corporate
Opportunity yang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, bagaimana penerapan prinsip, batasan-batasan dan pembuktian
Corporate Opportunity tersebut.
Dalam rangka membahas masalah tersebut, jenis penelitian tesis yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perusahaan dan bersifat deskriptif analistis, yakni mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.
Seorang direksi dikategorikam melakukan pengelolaan perseroan yang salah, apanila seorang direksi melakukan pelanggaran Code Of Conduct dalam RUPS, tidak melaksanakan Duty Of Care dan Duty Of Loyalty yang terdapat dalam prinsip perusahaan dan Direksi tersebut memiliki itikad buruk dan melakukan korupsi dalam pengelolaan perseroan. Batasan âbatasan prinsip Corporate Opportunity mencakup,
Code of Conduct, Standar of Care dan Fiduciary Duty yang didalamnya termasuk duty of care dan duty of loyalty. Sedangkan penerapan prinsip Corporate Opportunity
terhadap wewenang dan tanggung jawab Direksi tersebut mencakup Duty of Skill and
Care, Duty of Loyalty, dan Duty of Disclosure.
peluang bisnis dianggap milik perseroan, jika peluang bisnis tersebut berhubungan erat dengan aktifitas perseroan atau prospek aktifitas perseroan. (3) The fairness test, dimana pengadilan akan mempertimbangkan semua fakta untuk melihat bahwa orang dalam perseroan dengan tidak fair mengambil alih peluang bisnis perseroan. (4)
Combination test, dimana beberapa pengadilan menerapkan test dua tahap yaitu
kombinasi antara the line of business test dan fairness test).
Permasalahan tirnbul ketika keputusan bisnis yarng diambil Direksi ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi telah melakukan dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul prinsip business judgement rule yang merupakan salah satu prinsip yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yatrg mempunyai itikad baik. Penerapannya, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan dalam mengambil keputusan bisnis.
Dengan adanya doktrin business judgement rule memberikan suatu pembelaan terhadap direksi, apabila direksi telah dikatakan: (1) Menaati semua ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) tersebut; (2) Menaati semua ketentuan bisnisnya dan telah sesuai dengan Standar Of Conduct yang tertuang didalam RUPS; (3) Code Of
Conduct telah terpenuhi dengan baik apabila telah terpenuhnya fiduciary duty dan
terlaksananya duty of care and duty of loyalty yang terdapat dalam prinsip atau teori
business judgement rule, yaitu kebijakan yang dibuat direksi yang didasarkan dengan
prinsip yang rasional, kebijakan tersebut terbaik untuk perusahaan dan tidak mengandung benturan kepentingan. Maka, apabila hal tersebut telah dilaksanakan dengan itikad baik, direksi dianggap bebas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan, kecuali korupsi.
Â
ABSTRACT
Managing director is an organ who is given a trust (fiduciary) to run and manage a company in accordance with the mission and purpose of the company. The director leads the daily operational activities of the company within the limits determined in Law No. 40/2007 on Limited Liability Company, Statutes and General Meeting of Shareholders (RUPS) as well as under the supervision of Board of Commissioners. Director as an important organ in a company in his capacity as the management and companyâs representative must act carefully, properly with good intention and full of responsibility in accordance with the statutes of the company which is in line with the mission and purpose of the company he manages. If when performing his duty, responsibility and authority, the director does something against the law related to any conflict between vested interest and companyâs interest, the director must prioritizes the companyâs interest. The director can take the interest as long as it does not inflict loss to the company meaning that what has been done by the director does not inflict any loss to the company.
Related to the information above, the research problems in this thesis were what directorâs authority and responsibility in the Principle of Corporate Opportunity are if viewed from Law NO.40/2007 on Limited Liability Company, and how the principle, limitations and authentication of the Corporate Opportunity are applied.
The data for this normative juridical study were based on the regulation of legislation, theories, and the concepts which were related to the legal aspect of company. As an analytical descriptive study, this study described a population or certain area, nature, characteristics or factors systematically, factually, and accurately.
A director is categorized to have done a wrong company management, if he violates the Code of Conduct in General Meeting of Shareholders, does not perform Duty of Care and duty of Loyalty found in the principle of company and the director does not have good intention and does a criminal act of corruption when managing the company. The definition of the principle of Corporate Opportunity covers Code of Conduct, Standard of Care and Fiduciary Duty including duty of care and duty of loyalty. While the application of the principle of Corporate Opportunity to the authority and responsibility of the Director includes Duty of Skill and Care, Duty of Loyalty and Duty of Disclosure.
unfairly takes over the business opportunity of the company, (4) Combination test where several courts of law apply a two-stage test as the combination between the line of business test and fairness test.
The problem emerges when the business decision taken by the Director inflicts loss to the company, whereas the Director has done it honestly and with good intention. To protect the Directors with good intention, the principle of business judgment rule which is one of the very popular principles to guarantee justice for the directors with good intention is issued. Its application is related to obtain justice especially for the directors of a company in taking a business decision.
With the doctrine of business judgment rule, a defense is given to the directors if they: (1) obey all of the stipulations found in Article 97 Paragraph 5; (2) obey all of the business stipulations in accordance with the Standard of Conduct stated in the RUPS; (3) Code of Conduct has been well met if fiduciary duty has been met and duty of care and duty of loyalty found in the principle or theory of business judgment rule have been implemented. Business judgment rule is a policy made by a director based on a rational principle. This policy without conflict of interest is the best for the company. Therefore, if the interest has been implemented with good intention, the director is regarded being free from any responsibility for the loss inflicted except corruption.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya, sistem hukum itu ada hubungannya timbal balik dengan
lingkungannya, sehingga bersifat terbuka, berubah dan mudah diserang, tetapi karena
struktur yang memberi ciri pada sistem, maka dapat bertahan sebagai kesatuan.1
Pada awalnya, Perseroan Terbatas diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD), yakni Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36
sampai dengan Psal 56 berikut segala perubahaannya, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971, kemudian diikuti dengan keluarnya Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan perubahannya terakhir dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007, maka segala
ketentuan yang mengenai ketentuan mengenai Perseroan Terbatas dalam KUHD, UU
No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, sebagaimana disebutkan di atas
dinyatakan tidak berlaku lagi dan telah dicabut, sebagaimana yang disebutkan dalam
Ketentuan Penutup Pasal 160 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
       1
Pengertian Perseroan Terbatas (naamloze vennootschap), menurut Pasal 1
ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah:
âbadan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.â
Badan Hukum adalah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari
anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum mempunyai tanggung jawab
dan memiliki hak-hak serta kewajiban seperti yang dimiliki seseorang. Pribadi hukum
ini memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau pengelola dan dapat
bertindak sendiri sebagai pihak di dalam suatu perjanjian.2
Perseroan Terbatas sebagai himpunan modal (capital asssosiaties)
memerlukan peratuRan yang lengkap dan sangat kompleks, maka dengan memiliki
hukum perseroan yang memadai dapat menjawab tantangan itu.3 Perseroan Terbatas
lahir dari suatu proses hukum secara mutlak, perseroan harus berdasarkan Keputusan
Pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak dan Hak asasi Manusia, sehingga
perseroan yang didirikan mendapatkan pengesahan dari Menteri sebagai status badan
hukum yang sah. Dalam Pasal 7 ayat (2) UndangâUndang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan :
       2
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, (Jakarta : Rajawali, 1953), hal. 51.
3
âPerseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.â
Kedudukannya sebagai badan hukum dibuktikan berdasar Akta pendirian
yang dibuat dengan akta otentik dihadapan Notaris yang didalamnya terdapat
anggaran dasar (AD) Perseroan, bila anggaran dasar (AD) tersebut telah mendapat
pengesahan oleh Menteri maka Perseroan yang didirikan menjadi subjek hukum
korporasi.
Dengan status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, maka sejak saat itu
hukum memperlakukan pemilik atau pemegang saham dan pengurus atau Direksi,
terpisah dari PT itu sendiri yang dikenal dengan istilah âseparate legal personalityâ
yaitu sebagai individu yang berdiri sendiri.4
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:
âOrgan Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham; Direksi; dan
Dewan Komisaris.â
Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang melaksanakan
fungsi perseroan.5 Direksi merupakan organ yang bertindak untuk melakukan
pengurusan dan pengawasan suatu perseroan yang berkewajiban untuk meningkatkan
nilai ekonomis suatu perseroan termasuk pengurusan sehari-hari, sehingga Direksi
       4
I. G. Rai Widjaja, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-Undang di Bidang Usaha Hukum Perusahaan, (Bekasi: Megapoin, 2006), hal. 131.
5
harus diberikan kewenangan-kewenangan yang mendukung untuk tercapainya hasil
yang ingin dicapai dalam Perseroan, dan juga diembankan tanggung jawab selaku
wakil dan salah satu pengurus Perseroan.
Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan.6 Tugas dan fungsi utama Direksi, menjalankan dan
melaksanakan âpengurusanâ Perseroan. Jadi, Perseroan diurus, dikelola dan dimanage
oleh Direksi.7
Direksi ini bertindak untuk dan atas nama Perseroan, sehingga bertanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan dan
sebagai wakil dari Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
anggaran dasar (AD).
Berdasarkan Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Direksi sebagai pengurus perseroan bukan hanya sekedar
pelaksana dari peseroan sebagaimana yang dimuat dalam RUPS, namun juga
mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh terhadap perseroan.
Sebagai salah satu organ perseroan seperti layaknya manusia yang
mempunyai kedudukan, kewenangan dan kapasitas yang telah ditentukan dalam
anggaran dasar (AD) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UU PT). Dalam menjalankan tugas sebagai perwakilan Perseroan dan tugas
       6
Munir Fuady (Munir Fuady I), Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 52.
7
pengurusan, Direksi Perseroan harus melakukan tugas dan tanggung jawabnya
dengan cara-cara yang baik, layak dan beritikad baik dan penuh tanggung jawab.
Manusia yang pada hakekatnya merupakan subjek dan objek pembangunan
guna terwujudnya cita-cita masyarakat adil dan makmur tentu saja mempunyai tugas,
peran dan tanggung jawab yang besar guna perwujudan cita-cita termaksud. Karena
pada akhirnya, manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, orang lain
dan akhirnya pada lingkungannya demi kebaikan dan kepentingan bersama.8
Walau tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan
Direksi dalam suatu perseroan, yang jelas, Direksi merupakan badan perseroan yang
paling tinggi, karena Direksi berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan,
bertindak untuk dan atas nama perseroan (baik di dalam maupun di luar pengadilan)
dan bertanggung jawab atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan
dan tujuan perseroan.9
Tugas-tugas yang bersumber kepada perundang-undangan yang berlaku,
sejauh merupakan hukum memaksa (madatary law, dwingend recht) wajib dilakukan
oleh Direksi. Dalam hal ini, pihak Direksi dianggap bersalah jika terjadi 3 (tiga)
kategori sebagai berikut:
1. Tidak melakukan yang diharuskan oleh perundang-undangan.
2. Melakukan apa yang dilarang oleh perundang-undangan.
       8
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Semarang : Mandar Maju, 2000), hal. 101.
9
3. Melakukan secara tidak sempurna, yakni tidak seperti yang dipersyaratkan
oleh perundang-undangan.10
Ketika kesalahan atau kelalaian itu datang, maka resiko harus dapat
dipertanggungjawabkan. Setiap orang yang hidup pasti akan mengalami dan akan
menghadapi risiko atas hidupnya sendiri, hal ini diakibatkan ketidaktahuannya
mengenai peristiwa yang akan ia alami secara pasti. Sehingga, manusia itu harus
dapat mempertanggungjawabkan dan mencari jalan keluar atas kejadian yang
mengakibatkan resiko yang terjadi atas hidupnya sendiri atau atas perbuatan yang
telah dilakukan.
Menurut L. Athearn, risiko merupakan aspek utama dari kehidupan pada
umumnya dan merupakan faktor utama yang penting dalam asuransi. Sebab risiko itu
merupakan kemunginan penyimpangan harapan yang tidak menguntungkan, yakni
ketidakpastian suatu peristiwa yang tidak diinginkan.11
Tanggung jawab pribadi Direksi adalah keadaan dimana Direksi tidak
melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan perseroan
dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi menjadi patokan
batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta milik pribadi Direksi
dapat juga terikut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.12 Dipandang
       10
Munir Fuady (Munir Fuady II), Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 60.
11
Sri Rejeki Hartono (1), Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), hal. 60.
12
secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa Direksi harus mengelola
perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya sebagaimana halnya para
pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian.13
Keberadaan Direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan.
Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya Direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada
Direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan Direksi bagi perseroan
terbatas sangat penting.14
Berkenaan dengan masalah penerapan kewajiban berhati-hati (duty of care)
dalam pelaksanaan pengurusan Perseroan, perlu dikemukakan prinsip yang berlaku
umum, yang disebut dengan ârisiko pertimbangan bisnisâ (business judgement
risk).15 Maksudnya, bila Direksi benar-benar jujur dan memiliki itikad baik dalam
melaksanakan tanggung jawab pengurusan Perseroan, dan dapat membuktikannya
maka Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan tersebut. Hal
ini berhubungan dengan prinsip Corporate Opportunity dalam Hukum Perseroan
Terbatas yang diatur dalam Pasal 97 ayat (2) yang menyatakan:
âPengurusan sebagimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.â
Dan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang menyebutkan:
       13
Bismar Nasution, âPertanggungjawaban Direksi,â http://bismar.wordpress.com/2009/12/23, diakses tanggal 20 Pebruari 2011.
14
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung : Alumni, 2004), hal. 131.Â
15
âAnggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila:
a. terjadi perkara di Pengadilan dengan anggota Direksi yang bersangkutan;
b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan.â
Direksi dapat digugat secara pribadi ke pengadilan negeri jika perseroan
mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannnya, misalnya
dalam hal terjadinya suatu kepailitan perseroan yang diakibatkan oleh kesalahan dan
kelalaian Direksi, pertanggungjawaban Direksi terjadi secara tanggung renteng atas
kerugian dan kepailitan perseroan bila harta kekayaan perseroan tidak mencukupi
untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut.
Corporate Opportunity merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa
seorang direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham
utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan
pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan
perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya
itu. Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan
(opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, Direksi tidak boleh
mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya.16
Transaksi kesempatan perseroan (Corporate Opportunity) mengajarkan
bahwa bahwa akibat dari adanya fiduciary duty dari Direksi, maka Direksi haruslah
       16
terlebih dahulu mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi.
Dengan demikian, jika perusahaan mempunyai kesempatan (opportunity) untuk
melakukan suatu transakasi yang sama dengan pihak ketiga sementara pihak Direksi
juga ingin melakukan transaksi yang sama dengan pihak ketiga, maka pihak Direksi
perusahaan harus mengutamakan kepentingan perseroan terlebih dahulu dengan
mempersilahkan perusahaan untuk melakukan transaksi tersebut, dan Direksi harus
mengalah untuk itu. Dengan kepentingan perseroan (sehingga harus lebih
diutamakan) oleh Direksi dimaksudkan adalah setiap hak (right), kekayaan
(property), kepentingan (interest), dan pengharapan (expectancy) yang dimiliki oleh
perseroan atau yang menurut prinsip keadilan seharusnya kepunyaan perseroan.17
Pelanggaran terhadap Corporate Opportunity Doctrine mengakibatkan
perseroan memperoleh ganti rugi seimbang dengan kehilangan keuntungan yang
diharapkan seandainya perseroan memperoleh peluang bisnis tersebut.18
Dengan adanya pengaturan prinsip oportunitas perusahaan ini (Corporate
Opportunity), seorang Direksi harus dapat menunjukan kepengurusan dan
pelaksanaan kegiatan usaha dengan itikad baik dan tindak kehati-hatian dalam
menjalankan perseroan, namun tidak memberikan kejelasan sejauh mana penerapan
prinsip tindakan itu dibenarkan atau dikatakan sebagai itikad baik dan telah hati-hati
dalam menjalankan perseroan yang dipegang oleh Direksi Perseroan? Dan bagaimana
       17
Ibid, hal. 63. 18
tindakan oportunitas perusahaan yang dilarang oleh hukum sesuai dengan tinjauan
aturan hukum yang telah dibentuk oleh pemerintah?
Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka untuk dapat lebih
mengetahui tanggung jawab Direksi , maka perlu untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan membuat penelitian yang berjudul âWEWENANG DAN TANGGUNG
JAWAB DIREKSI DALAM PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG
PERSEROAN TERBATASâ.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, perumusan
masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan Prinsip Corporate Opportunity Terhadap Direksi Dalam
Mengelola Perseroan Yang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas?
2. Bagaimana Batasan-Batasan prinsip Corporate Opportunity Yang Ditinjau Dari
UndangâUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
3. Bagaimana Pembuktian Corporate Opportunity Terhadap Direksi Perseroan Yang
Ditinjau Dari UndangâUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas?
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari
penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip Corporate Opportunity terhadap
Direksi dalam mengelola perseroan yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
2. Untuk mengetahui bagaimana batasan-batasan prinsip Corporate Opportunity
yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
3. Untuk mengetahui bagaimana pembuktian Corporate Opportunity terhadap
Direksi perseroan yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada
tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu
hukum dan juga masukan bagi penyempurnaan pranata hukum khususnya dalam
lapangan hukum perusahaaan dan hukum bisnis yang berlaku di Indonesia yaitu
mengenai Penerapan Prinsip Corporate Opportunity Terhadap Direksi dalam
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada para penegak hukum dan
pembuat peraturan perundangâundangan untuk menyempurnakan kembali
peraturan-peraturan di bidang hukum perusahaan, agar tercipta suatu unifikasi
hukum di dalam masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang di dapat dari penelusuran kepustakaan di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang âWewenang Dan
Tanggung Jawab Direksi Dalam Prinsip Corporate Opportunity Yang Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatasâ, belum pernah
ditemukan judul atau penelitian tentang judul diatas sebelumnya. Dengan demikian
penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipetanggungjawabkan.
Ada beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan prinsip hukum perusahaan yang
dibahas yang pernah dilakukan, antara lain:
1. T. Suhaimi, NIM : 077005060, mahasiswa Magister Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul,â Penentuan Kategori
Mala Inse dan Mala in Prohibita dalam ketentuan Undang-Undang Nomomr 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,â dengan perumusan masalah yang
dibahas:
1. Bagaimana ketentuan fiduciary duty dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2. Bagaimana pengaturan pengelolaan perseroan dan Business Judgement Rule
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
3. Bagaimana penentuan standar kaeori Mala Inse dan Mala In Prohibita bagi
tindakan Direksi dalam pengelolaan perseroann menurut Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
2. Rudi Dogar Harahap, NIM : 067005078, mahasiswa Magister Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul âPenerapan Business
Judgement Rule dalam pertanggungjawaban Direksi Bank yang berbadan hukum
Perseroan Terbatasâ, dengan perumusan masalah yang dibahas:
1. Bagaimana pengelolaan Bank dikaitkan dengan manajemen risiko?
2. Bagaimana batasan Businesss Judgement Rule dalam pengelolaan Perseroan
Terbatas oleh Direksi?
3. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip Business Judgement Rule dalam
pertanggungjawaban direktur bank Direktur Terbatas?
Jika diperbandingkan dengan penelitian yang dilakukan dengan penelitian ini,
baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Dengan demikian, maka
penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Kata teori pada dasarnya banyak digunakan, sebanyak seperti dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya menurut kamus Concise Oxford Dictionary sebagai
suatu indikator dari makna sehari-hari, anggapan yang menjelaskan tentang suatu,
khususnya yang berdasarkan pada prinsip-prinsip independen suatu fenomena dan
lain â lain yang perlu dijelaskan. Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan
yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria
tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan
teori yang lebih umum.19
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran/butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan
perbandingan, Pemegangan teoristis.20 Seiring dengan perkembangan masyarakat
pada umumnya, peraturan hukum juga mengalami perkembangan kontinuitas
perkembangan ilmu hukum selain bergantung pasca metodelogi, aktivitas penelitian
dan imajinasi penelitian.21
Dalam pengelolaan perseroan atau perusahaan, para anggota Direksi dan
komisaris sebagai salah satu organ vital dalam perusahaan tersebut merupakan
pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya
pemegang kepercayaan.22
       19
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal. 23.
20
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 27. 21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2005), hal. 6.
22
Sebagai badan hukum atau artificial person, perseroan terbatas mampu
bertindak melakukan perbuatan hukum melalui âwakilnyaâ. Untuk itu ada yang
disebut âagentâ yaitu orang yang mewakili Perseroan serta bertinndak untuk dan atas
nama Perseroan. Karena itu perseroan juga merupakan subjek hukum, yaitu subjek
hukum yang mandiri. Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan
hukum sama seperti manusia biasa atau natural person atau naturalijke persoon, dia
bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak
dan kewajiban, utang-piutang, mempunyai kekayaan seperti layaknya manusia.23
Allots memandang bahwa hukum sebagai sistem merupakan proses
komunikasi, oleh karena itu hukum menjadi subjek bagi persoalan yang sama dalam
memindahkan dan menerima pesan, seperti sistem komunikasi yang lain. Ciri yang
membedakan hukum adalah keberadaan sebagai fungsi yang otonom dan
membedakan kelompok sosial atau masyarakat politis. Ini dihasilkan/dikenakan oleh
mereka yang mempunyai kompetensi dan kekuasaan yang sah itu. Suatu sistem
hukum tidak hanya terdiri dari norma-norma tetapi juga lembaga-lembaga termasuk
fasilitas dan proses. 24
Dalam kaitan teori yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah teori organ
yakni teori yang lahir sebagai reaksi terhadap teori fiksi yang dikemukakan oleh Otto
Von Gierke. Pada pokoknya teori ini mengemukakan bahwa badan hukum
merupakan suatu badan yang membentuk suatu kehendaknya melalui perantaraan
       23
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 50. 24
alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau
pengurusnya, seperti manusia melakukan segala perbuatannya dengan organ-organ
tubuhnya. Menurut teori ini, badan hukum benar-benar ada, berfungsi sama seperti
manusia, dan perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan badan hukum itu
sendiri. Tujuan badan hukum adalah tujuan yang kolektif, terlepas dari tujuan
individu-individu yang menjadi organ-organnya.25
Perseroan Terbatas merupakan badan hukum namun tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum dengan sendirinya tanpa organ-organ perseroan yang
bertindak untuk dan atas nama perseroan dan tanggung jawab badan hukum.
Perseroan ini memiliki organ â organ selayaknya manusia untuk melakukan tujuan
pendiriannya, sehingga dapat mencapai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha ynag
ingin dicapai oleh Perseroan. Organ â organ Perseroan mencakup 3 (tiga) bagian,
yaitu:
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang â Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang
yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/ atau anggaran dasar.
2. Direksi
       25
Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang â Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Direksi adalah organ perseroan yang berwewenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
3. Dewan Komisaris
Menurut Pasal 1 ayat (6) UndangâUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/ atau khusus sesuai dengan anggaran
dasar serta memberikan nasihat kepada Direksi.
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang
bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi
seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan
atasan-bawahan sesaat.25
Doktrin fiduciary duty berasal dari sistem hukum Common Law yang berasal
dari Inggris dan hingga kin mempengaruhi sistem hukum negara-negara bekas
jajahannya dan juga dianut di Amerika Serikat. Karena hubungan hukum antara
perseroan dan Direksi didasarkan pada doktrin fiduciary duty, maka berdasarkan
doktrin ini Direksi dalam menjalankan kepengurusan mempunyai duty of care dan
duty of loyalty terhadap perseroan.26
       25
Bismar Nasution, Op. Cit, diakses tanggal 17 Februari 2011. 26
Perseroan Terbatas sebagai salah satu subjek hukum (recht person) memiliki
status, kedudukan,dan kewenangan yang dipersamakan dengan subjek hukum lainnya
seperti manusia yang memiliki maksud dan tujuan dalam proses pendiriannya namun
tidak dapat bertindak secara sendiri. Keberadaan Perseroan Terbatas sebagai status
badan hukum diperoleh ketika Perseroan Terbatas tersebut telah memperoleh
pengesahan dan pejabat yang berwenang, yang memberikan hak-hak, kewajiban serta
harta kekayaan sendiri bagi Perseroan tersebut, terpisah dari hak, kewajiban, dan
harta kekayaan para pendiri Perseroan Terbatas, para pemegang saham dan para
pengurus Perseroan Terbatas.
Hak dan kewajiban tiap anggota badan hukum ditetapkan dalam
peraturan-peraturan yang menjadikan badan hukum atau perkumpulan tersebut didirikan atau
diakui, menurut akta pendirian sendiri, perjanjian sendiri, atau peraturan
perundang-undangan. Para anggota badan hukum sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab
atas perjanjian-perjanjian perkumpulannya. Semua hutang perkumpulan itu hanya
dapat dilunasi dengan harta benda perkumpulan.27
Dengan kata lain pertanggungjawaban tersebut adalah pertanggungjawaban
terbatas atau tanggung jawab terbatas berkaitan dengan tindakan pengurus, pemegang
saham maupun perseroan terbatas itu sendiri. Jadi makna terbatas itu sekaligus
mengandung arti keterbatasan, baik dari sudut perseroan terbatas, penanam modal
maupun pengurus perseroan terbatas. Oleh karena itulah tanggung jawab terbatas
       27
mengandung arti penting sebagai umpan pendorong agar orang bersedia ikut serta
menanamkan modal. Jadi dengan pertanggungjawaban terbatas itu sudah dapat
diramalkan seberapa besar maksimal resiko kerugian yang mungkin diderita.28
Dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa:
âSetiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).â
Perseroan dan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas) merupakan suatu sistem keberadaan organ-organ
Perseroan yang melakukan kegiatan usaha. Keberadaan organ-organ Perseroan ini
memiliki fungsi dan kedudukan yang telah ditentukan, serta memiliki hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi dan dilakasanakan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab. Sehingga, wewenang dan tanggung jawab organ-organ Perseroan,
Direksi dapat dibenarkan atau dipersalahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya.
Teori Business Judgement Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat
populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai itikad baik.
Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan,
khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu
       28
keputusan bisnis, artinya tidak terdapat kepentingan pribadi yang dilakukan oleh
Direksi dalam menjalankan perusahaan.
Menurut Plato, keadilan adalah:
âapabila seorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya.â
Setiap anggota masyarakat mempunyai tugas-tugasnya sendiri yang khusus dan
hendaknya membatasi pekerjaannya kepada pelaksanaan dari tugas-tugas tersebut.29
Dalam mengurus Perseroan, anggota Direksi tidak boleh âsembronoâ
(carelessly) dan lalai (negligence). Apabila ia sembrono dan lalai melaksanakan
kepengurusan, menurut hukum ia telah melanggar kewajiban berjhati-hati (duty care)
atau bertentangan dengan âprudential dutyâ. Apabila patokan kehati-hatian ini
diabaikan oleh anggota Direksi dalam menjalankan Perseroan, dia dianggap bersalah
melanggar kewajiban mesti melaksanakan pengurusan penuh dengan tanggung jawab.
Tiada maaf bagi seseorang yang menduduki jabatan anggota Direksi dengan gaji dan
tunjangan yang cukup besar, tetapi tidak hati-hati melaksanakan pengurusan
Perseroan.30
Dalam praktek agak sulit untuk membedakan mana suatu perbuatan yang
benar-benar dilakukan dengan itikad baik dan makna perbuatan yang memang sudah
sewajarnya dalam menjalankan tugas yang diembannya, Pada umumnya, setelah
       29
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 256. 30
terjadi perseroan menderita kerugian yang merupakan suatu akibat, barulah dapat
diketahui baik atau buruknya perbuatan seseorang.31
Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata,
Direksi (artinya semua anggota Direksi) secara pribadi dapat ikut
dipertanggungjawabkan atas kerugian yang diderita pihak ketiga karena perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan.32
2. Kerangka Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut operational definition.33
Dalam pemberian suatu konsep atau pengertian merupakan salah satu unsur
pokok yang penting dalam suatu penelitian hukum, sehingga untuk menghindari
terjadinya salah pengertian atau salah tafsir dan pemahaman yang berbeda mengenai
tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini. Pentingnya defenisi konsepsional
adalah untuk menghindari perbedaan pengertian dan penafsiran mendua (dubius) dari
suatu istilah yang dipakai.34
Maka perlu diuraikan beberapa konsep yang menjadi pemegangan dalam
proses penelitian, yakni :
       31
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Djambatan, 2007), hal. 86. 32
Ningrum Natasya Sirait, Modul Hukum Perusahaan I, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 12.
33
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3. 34
1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.35
2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang saham, Direksi, dan
Komisaris.36
3. Direksi adalah organ perseroan yang berwewenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.37
4. Corporate Opportunity adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang
direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham
utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan
pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan
perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan
bisnisnya itu. Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan
kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, Direksi
tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya.38
       35
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.
36
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.
37
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.
38
G. Metodologi Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis
penelitian tesis yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif. Pemilihan jenis penelitian ini mengingat telaah terhadap
permasalahan ini bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori,
serta konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perusahaan . Beranjak dari jenis
penelitian tersebut, diharapkan dapat memperoleh suatu prinsip yang jelas dengan
memberikan kepastian hukum bagi Direksi, sehingga terjadi hubungan yang
seimbang dalam wewenang dan tanggung jawab Direksi tersebut.
Sifat penelitian penulisan ini yaitu deskriptif analistis. Bersifat deskriptif
maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan
sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Penelitian ini pada umumnya bertujuan
untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu populasi
atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor
tertentu.39 Analistis dimaksudkan berdasarkan gambaran fakta yang diperoleh akan
dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.40
2. Sumber Data Penelitian
       39
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 1997), hal. 35.
40
Dalam penelitian ini, bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah
menggunakan data sekunder, antara lain;
b. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat
bagi pihak â pihak yang berkepentingan, yaitu berupa Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,, serta peraturan lainnya yang ada
kaitannya dengan materi yang akan dibahas dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap
bahan hukum primer yaitu buku-buku ilmu hukum, tesis, disertasi, jurnal hukum,
laporan hukum, makalah dan media cetak atau elektronik.
d. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan dan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk
melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu kamus umum, kamus hukum,
majalah, internet, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan dengan
tesis ini guna melengkapi data.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan
penelitian kepustakaan bertujuan untuk menghimpun data-data yang berasal dari
buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah maupun majalah-majalah
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang diteliti. Dan penelitian
dengan pendekatan konseptual perundangâundangan (conceptual approach), serta
pendekatan kasus hukum (case law approach) yaitu dengan mempelajari dan
menelaah bahan pustaka, aturan perundang-undangan mengenai perusahaan
khususnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
kasus-kasus yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan studi dokumen, yaitu dengan mempelajari serta menganalisa bahan
pustaka (data sekunder).
5. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisa kualitatif, yaitu melakukan analisis
terhadap peraturanâperaturan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan
masalah yang dibahas. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dengan cara :
a. menginterprestasikan semua peraturan perundangâundangan yang sesuai dengan
masalah yang dibahas;
b. menelaah dan menilai bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang
c. mengevaluasi perundangâundangan yang berhubungan masalah yang dibahas
dalam tesis ini.
Sehingga pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkritnya,
sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir
secara deduktif yakni dari yang bersifat umum ke khusus, serta dapat dipresentasikan
BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PRINSIP
CORPORATE OPPORTUNITY YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
A. ORGAN PERSEROAN TERBATAS
Ketentuan-ketentuan yang memuat persyaratan konstitutif badan hukum dapat
ditemukan dalam anggaran dasar dan/ atau peraturan perundang-undangan yang
menunjuk orang-orang yang mana yang dapat bertindak untuk dan atas nama
tanggung jawab badan hukum.41 Orang-orang tersebut disebut sebagai organ badan
yang merupakan suatu esensial organisasi itu.42
Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:
âOrgan Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham; Direksi; dan
Dewan Komisaris.â
Jadi, Organ Perseroan Terbatas terbagi atas 3 (tiga) bagian antara lain sebagai berikut:
a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dimaksud dapat dilihat dalam
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang menyatakankan:
       41
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, (Yogyakarta : FH UII Press, 2006), hal. 49. 42
âRapat Pemegang Umum Saham yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ
perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan undang-undang ini dan/ atau
anggaran dasar.â
1. Kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang
tidak diberikan kepada Direksi atau komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
undang-undang perseroan dan anggaran dasar. Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan
perseroan dari Direksi dan atau komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
diadakan ditempat kedudukan perseroan atau tepat perseroan melakukan kegiatan
usahanya, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar, tempat tersebut harus
terletak di wilayah Negara Republik Indonesia.43
Setiap pemegang saham mempunyai hak untuk menghadiri Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Undang-Undang Perseroan pada masa modern mengatur
ketentuan yang mengatur ketentuan yang menegaskan hak tersebut. Begitu juga
dengan Anggaran Dasar (AD) Perseroan, mengatur ketentuan Perseroan harus
mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) paling tidak satu kali satu
tahun. Pada dasarnya, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pemegang
saham melakukan kontrol atas jalannya kepengurusan Perseroan yang dilakukan
       43