• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zat Ekstraktif Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach Linn ) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Zat Ekstraktif Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach Linn ) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ZAT EKSTRAKTIF KULIT KAYU MINDI (Meylia azedarach Linn) DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT MORTALITAS

ULAT GRAYAK (Spodoptera litura Fab ) PADA TANAMAN TEMBAKAU DELI (Nicotina tobacco L )

HASIL PENELITIAN

Oleh :

SUNDARI FEBRINA 031203019

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul Penelitian : Zat Ekstraktif Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach Linn )

Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak

(Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)

Nama : Sundari Febrina

NIM : 031203019

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Departemen : Kehutanan

Disetujui oleh,

Komisi Pembimbing :

Ketua, Anggota,

Ridwanti Batubara, S.Hut, MP Afifuddin Dalimunthe, SP, MP

NIP. 132 296 841 NIP.132 302 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

(3)

ABSTRACT

Several extract concentrations of plant Meylia azedarach sprayed

ontobacco leaft seedling Spodoptera litura Fab larvae and after application the

mortality they caused was 100%, but it was signifycantly different between the

plants indications showed that the mortality was cause by failure during ecdysis,

paralysis or feeding deficieny.

The result grained from observation using the statistical test indicated that

solvent and concentration have no significant effect on larva mortality, and in

phytochemical test, it indicated that Meylia azedarach contained the highest

alcaloid (+) as found in mindi extract with methanol solvent.

Keywords : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L,

(4)

ABSTRAK

Beberapa konsentrasi ekstrak tumbuhan Meylia azedarach Linn yang

disemprotkan pada daun tembakau menyebabkan peningkatan mortalitas pada

larva Spodoptera litura Fab dan menurunkan kerusakan daun tersebut oleh larva

Spodoptera litura L. Pada 14 hari setelah perlakuan mindi menyebabkan

mortlaitas 100%, tetapi berbeda nyata antara satu sama lain maupun antara

konsentrasi yang dicoba. Terdapat indikasi bahwa mortalitas terjadi karena

kegagalan sewaktu ganti kulit, lumpuh atau mati karena kurang makan.

Hasil yang diperoleh dari pengamatan yang menggunakan uji statistika

diketahui bahwa pelarut dan konsntrasi tidak signifikan terhadap mortalitas larva,

dan didapat pada pengujian Fitokimia didapat bahwa Meylia azedarach Linn

mengandung alkoloid (+) terbanyak terdapat pada ekstrak mindi dengan

menggunakan pelarut metanol.

Kata Kunci : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L,

(5)

RIWAYAT HIDUP

SUNDARI FEBRINA, lahir di Binjai pada tanggal 11 Februari 1985

merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Sumpeno, SH dan

Syarifah Naisah, beragama Islam.

Tahun 1990 penulis memasuki Sekolah Dasar Negeri 020259 Binjai, tahun

1996 penulis memasuki Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Binjai, lulus pada

tahun 1999. Tahun 1999 penulis memasuki Sekolah Menengah Umum Swasta

Ahmad Yani Binjai, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis memasuki

Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, melalui jalur Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Sylva

(HIMAS), penulis pernah menjadi Bendahara (HIMAS) pada tahun 2006-2007,

dan menjadi anggota BKM pada tahun 2005. Penulis juga pernah menjadi asisten

di laboratorium Teknologi Hasil Hutan untuk mata kuliah Mekanika Kayu pada

tahun 2007. Pada tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan

Pengelolahan Hutan (P3H) di daerah Bandar Kalifah dan Tongkoh. Di akhir studi

penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) di HTI Toba Pulp Lestari, Tbk.

sektor tele, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Tanggal 6 Juni sampai 6 Agustus

2007 dan penulis melakukan penelitian dengan judul “Zat Ekstrak Kulit Mindi

(Meylia azedarach Linn) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat

Grayak (Spodoptera litura Hab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco

L)” dibawah bimbingan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP dan Bapak Afifuddin

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, atas berkat, rahmat,

dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan. Adapun

judul penelitian penulis yaitu “Zat Ekstrak Kulit Mindi (Meylia azedarach

Linn) Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura Fab) Pada Tanaman Tembakau Deli (Nicotina tobacco L)”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan baik moril

maupun materil, dukungan, semangat dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis dengan tulus menyampaikan penghargaan dan terimakasih

kepada :

1. Orang tua penulis Ayahanda (Sumpeno, SH) dan Ibunda (Syarifah Naisah)

atas doa yang telah diberikan, serta memberi dorongan, semangat baik moril

maupun materil, dan adik-adikku (Cory Aquiningrum, Nugroho Syahputro,

dan Teguh Prasetio) atas doa dan dukungannya selama ini.

2. Segenap keluarga Nek Abu Alm. H Sayed Hasan yang tidak dapat

disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, dorongan, semangat

baik moril maupun materil.

3. Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP, selaku Dosen Pembimbing Pertama dan

Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP, MP, selaku Dosen Pembimbing Kedua

yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama penyelesaian

skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. selaku Ketua Jurusan

(7)

5. Cut Nattaria dan Fitri Hayani, selaku teman satu penelitian yang telah

memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian

skripsi ini.

6. Teman-teman seangkatan 2003 khususnya THH, dan lainnya teman-teman

dari MNH dan BDH yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca

sekalian.

Medan, Juni 2009 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mindi ... 4

Kulit Kayu ... 7

Biologi Spodoptera litura ... 8

Gejala Serangan ... 10

Metode Ekstraksi dan Isolasi ... 12

Uji Fitokimia... 13

Pengendalian Hama Secara Alami ... 16

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Metode Penelitian ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraksi ... 27

Uji Fitokimia ... 28

Perkembangan Mortalitas Larva Selama 14 Hari ... 30

Uji Statistika ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan Zat Ekstraktif pada Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach)... 27

2. Hasil Uji Triterpenoida ... 28

4. Hasil Uji Saponin ... 28

5. Hasil Uji Flavonoida ... 29

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ulat Grayak ... 8

2. Kondisi Daun Tembakau akibat Serangan Ulat Grayak ... 11

3. Rumus Bangun Alkoloid ... 15

4.Rumus Bangun Triterpenoid ... 16

5.Serbuk Kulit Kayu Mindi ... 20

6. Proses Evaporasi ... 20

7. Pereaksi-Pereaksi yang digunakan dalam Pengujian Fitokimia ... 22

8. Perkembangan Mortalitas Ulat Dengan Pelarut Aseton ... 30

9. Perkembangan Mortalitas Ulat Dengan Pelarut Metanol ... 31

10. Perkembangan Mortalitas Ulat Dengan Pelarut Aquadest ... 32

11. Kondisi Ulat Grayak (Spodoptera litura) setelah Perlakuan ... 33

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Pengukuran Kadar Air (Moiseture Content / MC) ... 40

2. Model Rancangan Acak Lengkap 3 X 5 dengan 3 Kali Ulangan ... 40

3. Nilai Persentase Ulat Grayak Selama 14 Hari ... 41

(12)

ABSTRACT

Several extract concentrations of plant Meylia azedarach sprayed

ontobacco leaft seedling Spodoptera litura Fab larvae and after application the

mortality they caused was 100%, but it was signifycantly different between the

plants indications showed that the mortality was cause by failure during ecdysis,

paralysis or feeding deficieny.

The result grained from observation using the statistical test indicated that

solvent and concentration have no significant effect on larva mortality, and in

phytochemical test, it indicated that Meylia azedarach contained the highest

alcaloid (+) as found in mindi extract with methanol solvent.

Keywords : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L,

(13)

ABSTRAK

Beberapa konsentrasi ekstrak tumbuhan Meylia azedarach Linn yang

disemprotkan pada daun tembakau menyebabkan peningkatan mortalitas pada

larva Spodoptera litura Fab dan menurunkan kerusakan daun tersebut oleh larva

Spodoptera litura L. Pada 14 hari setelah perlakuan mindi menyebabkan

mortlaitas 100%, tetapi berbeda nyata antara satu sama lain maupun antara

konsentrasi yang dicoba. Terdapat indikasi bahwa mortalitas terjadi karena

kegagalan sewaktu ganti kulit, lumpuh atau mati karena kurang makan.

Hasil yang diperoleh dari pengamatan yang menggunakan uji statistika

diketahui bahwa pelarut dan konsntrasi tidak signifikan terhadap mortalitas larva,

dan didapat pada pengujian Fitokimia didapat bahwa Meylia azedarach Linn

mengandung alkoloid (+) terbanyak terdapat pada ekstrak mindi dengan

menggunakan pelarut metanol.

Kata Kunci : Meylia azedarach Linn, Spodoptera litura Fab, Nicotiana tobacco L,

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak krisis melanda bangsa Indonesia sekitar tahun 1997 mengakibatkan

melambungnya berbagai harga kebutuhan pangan dan sandang, termasuk sarana

produksi pertanian yaitu pupuk dan pestisida kimia. Harga bahan dasar dari sarana

produksi ini sebagian besar masih impor sehingga disesuaikan dengan nilai dolar.

Disamping itu subsidi dari sarana produksi sedikit demi sedikit dikurangi dan

akhirnya tanpa subsidi sama sekali terhadap sarana produksi. Dengan adanya hal

tersebut para petani, petugas dan para ahli pertanian berusaha mencari solusi

untuk memecahkan masalah pupuk dan pestisida kimiawi, dengan cara kembali ke

alam yaitu menggunakan bahan alami. Pupuk menggunakan pupuk alami seperti

serasah dan kotoran ternak, sedangkan untuk pestisida kimiawi dapat diganti

menggunakan pestisida bahan alami (Budiyono, 2005).

Selain sebagai pestisida alami kayu juga digunakan oleh manusia sebagai

bahan bangunan dan sebagai bahan baku industri disebabkan karena kayu

memiliki kelebihan, yaitu mudah diperoleh diseluruh dunia, mudah dibentuk dan

dikerjakan, sebagai isolator arus yang baik, dan memiliki sifat dekoratif yang

baik. Disamping memiliki kelebihan, kayu juga memiliki kelemahan, yaitu mudah

rusak oleh faktor-faktor biologis, mekanis dan kimia (Sastrodiharjo, 1990).

Kerusakan kayu yang disebabkan oleh faktor biologis lebih tinggi

dibandingkan faktor-faktor perusak lainnya. Faktor perusak terutama hama tidak

menyerang kayu karena memiliki zat ekstaktif yang bersifat racun. Zat ekstraktif

paling banyak terdapat pada kulit kayu. Zat ekstraktif juga memiliki peluang

(15)

Menurur Novizan (2002), perkembangan teknologi pengendalian hama

terkini yang sedang berkembang disebut dengan pengendalian hama terpadu

(PHT). Konsep PHT disusun berdasarkan prinsip-prinsip ekologi, seperti rantai

makanan. Hubungan timbal balik antara organisme perusak tanaman (OPT) dan

pemangsanya, tanaman dan lingkungan fisiknya (misalnya cuaca dan tanah), serta

OPT dengan lingkungan fisiknya sangat diperhatikan.

Dalam penelitian ini menggunakan kulit kayu mindi, ulat grayak dan daun

tembakau deli karena tanaman mindi kurang dikenal dan belum diketahui

manfaatnya terhadap pengendalian hama penyakit tanaman dan karena hama pada

tembakau deli ini belum dapat dikendalikan dalam jumlah banyak dan

perkembangannya yang relatif cepat menyerang tanaman khususnya tanaman

tembakau deli. Maka, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan dapat

memberikan informasi tentang manfaat kulit kayu mindi terhadap pengendalian

hama penyakit tanaman dan dapat memberikan nilai tambah terhadap tanaman

mindi itu sendiri.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif kayu

Mindi (Meylia azedarach Linn) dan pengaruhnya terhadap tingkat mortalitas ulat

grayak (Spodoptera litura Fab) pada tanaman tembakau deli (Nicotine tobacco L)

(16)

Manfaat Penelitian

1. Digunakan sebagai salah satu acuan untuk pengelolaan dan pemanfaatan lain

dari kayu mindi

2. Memberikan alternatif tambahan dalam penggunaan bahan pelarut atau

pestisida alami

3. Menaikkan nama kayu mindi sehingga menjadi lebih dikenal dan lebih

bermanfaat.

Hipotesis

1. Zat ekstraktif kulit kayu mindi berpengaruh terhadap mortalitas ulat grayak

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mindi (Meylia azedarach Linn)

Mindi diperkirakan dari India dan Birma. Di Jawa dikenal dengan nama

Geringging atau mindi, di Karo dikenal dengan nama Renceh. Jenis tumbuhan ini

termasuk jenis duku-dukuan (Budiyono, 2005). Pohon mindi atau geringging

(Meylia azedarach) merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan selalu hijau di

daerah tropis dan menggugurkan daun selama musim dingin, suka cahaya, agak

tahan kekeringan, toleran terhadap salinitas tanah dan subur dibawah titik beku.

Pada umur 10 tahun dapat mencapai tinggi bebas cabang 8 meter dan diameter

sekitar 40 cm (Djamin, 1991)

Tinggi pohon mencapai 45 m, tinggi bebas cabang 8 - 20 m, diameter

sampai 60 cm. Tajuk menyerupai payung, percabangan melebar, kadang

menggugurkan daun. Batang silindris, tegak, tidak berbanir, kulit batang

(papagan) abu-abu coklat, beralur membentuk garis-garis dan bersisik. Pada

pohon yang masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel; kayu gubal putih

pucat; kayu teras coklat kemerahan. Daun majemuk ganda menyirip ganjil, anak

daun bundar telur atau lonjong, pinggir helai daun bergirigi. Bunga majemuk

malai, pada ketiak daun, panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin

dua (biseksual) atau bunga jantan dan bungan betina pada pohon yang sama. Buah

bulat atau jorong, tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin,

berkulit kering keriput kulit dalam keras, buah muda hijau, buah masak kuning,

dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5 x 1,6 mm, lonjong,

(18)

Tanaman mindi tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi,

ketinggian 0 - 1200 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata per

tahun 600 - 2000 mm, dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Tumbuh subur

pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir, toleran

terhadap tanah dangkal, tanah asin dan basa (Sastrodiharjo, 1990).

Kayu teras berwarna merah coklat muda semu-semu ungu, gubal berwarna

putih kemerah-merahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat

lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53. Penyusutan dari keadaan basah

sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong

kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti merah dan kelas awet

IV-V. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai

15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan

melengkung. Pengeringan dalam dapur pengering dengan bagan pengeringan

yang dianjurkan adalah suhu 60-80 oC dengan kelembaban nisbi 40-80%

(Sastrodiharjo, 1990).

Daunnya majemuk, menyirip ganda, tumbuh berseling dengan panjang

20-80 cm. Anak daun bentuknya bulat telur sampai lanset, tepi bergerigi, ujung

runcing, pangkal membulat atau tumpul, permukaan atas daun berwarna hijau tua,

bagian bawah hijau muda, panjang 3-7 cm, lebar 1,5-3 cm. Bunga majemuk dalam

malai yang panjangnya 10-20 cm, keluar dari ketiak daun. Daun mahkota

berjumlah 5, panjangnya sekitar 1 cm, warnanya ungu pucat, dan berbau harum.

Buahnya buah batu, bulat, diameter sekitar 1,5 cm. Jika masak warnanya cokelat

kekuningan, dan berbiji satu. Perbanyakan dengan biji. Biji sangat beracun dan

(19)

dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Misalnya daun yang

dikeringkan di dalam buku bisa menolak serangga atau kutu (Kartasapoetra,

1987).

Mindi termasuk tanaman tahunan tergolong kedalam famili Meliaceae,

berwarna hitam, baunya tidak sedap serta rasanya pahit sekali. Biji dan daun

mindi mengandung senyawa glokosida flavonoid dengan aglikon quersetin yang

bersifat sebagai insektisida botanis (Nandini, 1989 dalam Sastrodihardjo, 1990).

Pada umumnya bahan aktif yang terkandung pada tumbuhan mindi

berfungsi sebagai antifeedan terhadap serangga dan menghambat perkembangan

serangga. Penelitian secara ilmiah mengenai potensi tumbuhan Meliaceae sudah

dimulai sejak tahun 1973, ketika Volkansky melakukan penelitian dengan

menggunakan ekstrak tumbuhan Melia azedarach (mindi) sebagai penolak

belalang (Schistocerta gregoria) (Gionar, 1990).

Menurut Fogoone dan Lauge (1981). Kematian larva oleh ekstrak daun

dan biji mindi ditandai tidak sempurnanya proses ekdisis yaitu terdapat larva yang

gagal melepas kutikula lamanya, terutama pada bagian kapsul kepalanya. Larva

ini kemudian mati karena gerakannya terhambat.

Tanaman mindi (Meylia azedarach) ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Class : Dicotyledonae

Ordo : Rutales

Family : Meliaceae

Genus : Azadirachta

(20)

Kulit kayu Mindi

Pada (Sutisna, 1998) kulit kayu dan kulit akar mindi mengandung

toosendanin dan komponen yang larut. Selain itu, juga terdapat alkaloid azaridine

(margosina), kaempferol, resin, tanin, n-triacontane, ß-sitosterol, dan triterpene kulinone. Kulit akar kurang toksik dibanding kulit kayu. Biji mengandung resin

yang sangat beracun, 60% minyak lemak terdiri dari asam stearat, palmitat, oleat,

linoleat, laurat, valerianat, butirat, dan sejumlah kecil minyak esensial sulfur.

Buah mengandung sterol, katekol, asam vanilat, dan asam bakayanat. Daun

mengandung alkaloid paraisina, flavonoid rutin, zat pahit, saponin, tanin, steroida,

dan kaemferol.

Menurut Sastrodihardjo (1990), kandungan kimia yang terdapat dalam

kulit kayu mindi antara lain Alkaloid margosina, nieldenim, nimbin, nimbinin,

sendanin, okhinin, okhininal, sikloeukalenol, sendanolakton, melianodiol, minyak

atsiri, dan zat samak yang dapat menghambat pertumbuhan organisme perusak

tanaman. Daun dan biji mindi telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida

nabati. Kandungan bahan aktif mindi sama dengan nimba (Azadirachta indica)

yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol. Namun kandungan bahan aktifnya

lebih rendah dibandingkan dengan mimba sehingga efektivitasnya lebih rendah

pula.

Biologi Spodoptera litura F

Ulat Spodoptera litura merupakan hama yag bersifat polifag, dengan

tanaman inang antara lain kangkung, bayam, tembakau, genjer dan beberapa jenis

(21)

grayak atau ulat tentara. Dahulu nama ilmiahnya adalah Prodenia litura dan telah

digantikan dengan nama ilmiah yang sering kita kenal yaitu Spodoptera litura.

Dalam beberapa tahun belakangan ini sering dilakukan pengendalian terhadap ulat

grayak Spodoptera litura.

Gambar 1. Ulat Grayak

Menurut Erwin (2000) hama ini diklasifikasikan sebagai berikut :

Phylum : Atrhropoda

Klass : Insekta

Ordo : Lepidoptera

Family : Noctudae

Genus : Spodoptera

Spesies : Spodoptera litura Fab

Telur Spodoptera litura berwarna putih merata dan berbentuk bulat

dengan diameter 0,5 mm. Telur berkelompok dan seperti diselimuti kain woll

(Harjono, 1996). Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2000 butir.

Telur diletakkan secara berkelompok sebanyak 30-400 butir/ kelompok pada

permukaan bawah daun. Telur berbentuk bulat dan berwarna merah kecoklatan.

(22)

Telur hama Spodoptera litura diletakkan dalam kelompok yang bentuknya

bermacam-macam ada yang berbentuk bulat, persegi, memanjang dan lain-lain.

Seekor imago betina mampu meletakkan telur sebanyak 200-300 butir/kelompok.

Telur menetas setelah 3-5 hari (Sudarmo, 1997).

Larva yang baru keluar dari telur berwarna kehijau-hijauan dengan sisi

samping berwarna coklat hitam (Sudarmo, 1997). Kepala larva yang baru keluar

dari telur berwarna kemerahan, tubuhnya putih transparan, tetapi ruas abdomen

pertama dan kedelapan berwarna kehitaman. Larva yang keluar dari telur akan

memakan epidermis daun bagian bawah sehingga daun kering (Adisarwanto,

2000).

Pada siang hari larva brsembunyi dekat permukaan atau didalam tanah dan

ditempat-tempat yang lembab, lalu kering pada malam hari. Stadium larva

berlangsung sekitar 13-16 hari. Larva yang lebih tua berwarna keabu-abuan, pada

tiap ruas abdomennya terdapat bentuk seperti bulan sabit. Pada abdomen ruas

pertama bentuk tersebut besar dan kadang-kadang bersatu. Panjang larva instar

terakhir dapat mencapai 50 mm (Sumadi, 1997).

Pupa berwarna coklat kemerahan berukuran 1,8-2 cm. Pupa terbentuk di

dalam tanah atau pasir dengan lama stadium 9-10 hari. Larva dewasa menjelang

pupa berada di dalam tanah atau lapisan bahan organik tanah dan menuju lubang

kemudian berubah menjadi pupa (Sudarmo, 1997).

Pada abdomen pupa jantan, segmen terakhir dijumpai dua titik yang agak

berjauhan. Titik yang ada disebelah atas adalah calon alat kelamin jantan

sedangkan titik dibawahnya calon anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang

(23)

Panjang tubuh imago betina kurang lebih 17 mm, sedangkan imago

jantannya kira-kira 14 mm. Warna imago abu-abu dengan tanda bintik-bintik pada

bagian sayapnya (Natawigena, 1990).

Imago dewasa adalah nocturnal. Pada siang hari tinggal di tempat-tempat

yang terlindung dan umumnya diam ditempat gelap. Imago hidup sekitar 5-10 hari

dan populasi terjadi segera setelah menjadi imago. Imago betina mulai

meletakkan telur 2-3 hari setelah menjadi imago (Natawigena, 1990).

Gejala Serangan

Sesaat setelah telur menetas ulat hidup bergerombol disekitar kelompok

telur sampai pada instar ketiga dan fase ini ulat memakan daun dengan gejala

transparan. Pada instar keempat ulat mulai menyebar kebagian tanaman atau

tanaman disekitarnya. Biasanya serangan ini muncul 20-30 hari setelah tanam

(Subandrijo, 1992).

Ulat tua memakan habis daun muda, sedangkan daun tua bila diserang

akan terpisah tulang daunnya. Tanaman muda yang terserang akan terhambat

pertumbuhannya dan pada serangan yang berat menyebabkan kematian pada

tanaman. Gejala serangan ulat adalah timbulnya lubang-lubang tidak beraturan

dan berwarna putih pada bekas gigitan. Serangan yang parah dapat menyebabkan

(24)

Gambar 2. Kondisi Daun Tembakau Akibat Serangan Ulat Grayak

Pada penelitian ini digunakan tanaman tembakau yang mana tanaman

tembakau ini merupakan salah satu tanaman inang Spodoptera litura. Tanaman

tembakau deli yang digunakan pada saat ini masih menjadi primadona tembakau

cerutu, kegunaanya lebih diutamakan untuk pembungkus cerutu, bahkan daun

tembakau deli lebih terkenal sebagai pembungkus cerutu nomor satu di dunia,

sehingga tetap dibutuhkan oleh pabrik penghasil cerutu berkualitas tinggi (Erwin,

2000).

Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun terakhir adalah

rendahnya produktivitas tembakau deli, meskipun berbagai upaya telah dilakukan,

volume produksi untuk lelang masih belum tercapai sesuai dengan permintaan

konsumen yang berkisar 8000-10000 bal per tahunnya. Penyebab tidak

terpenuhinya kebutuhan pasar tersebut cukup kompleks, antara lain akibat

serangan hama dan penyakit, disamping faktor lingkungan seperti iklim, terutama

curah hujan dan faktor tanah (Erwin, 2000).

Wajar jika harga jual tembakau deli cukup tinggi, namun harga yang tinggi

ini tidak ada artinya bila biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tembakau

(25)

hama dan penyakit. Pemeliharaan dan perawatan tanaman tembakau yang paling

penting adalah pencegahan kerusakan tanaman dari serangan hama sejak dari

pembibitan sampai pada saat tanaman di lapangan, karena akibat serangan hama

ini akan menjadikan daun-daun tembakau tidak utuh lagi, berlubang-lubang,

pecah dan bahkan daun dapat rusak keseluruhannya (Erwin, 2000).

Metode ekstraksi dan isolasi

Idealnya, jaringan tumbuhan segar, beberapa menit setelah dikumpulkan,

bahan tumbuhan itu harus dicemplungkan ke dalam alkohol mendidih.

Kadang-kadang, tumbuhan yang diteliti tidak tersedia dan bahan mungkin harus

disediakan oleh seorang pengumpul yang tinggal didaerah lain. Dalam hal ini,

jaringan yang diambil segar harus disimpan kering didalam plastik, dan biasanya

akan tetap dalam keadan baik untuk dianalisis setelah beberapa hari dalam

perjalanan dengan pos udara (Harbone, 1987).

Cara lain, tumbuhan dapat dikeringkan sebelum diekstraksi. Bila ini

dilakukan, pengeringan tersebut harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk

mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus

dikeringkan secepat mungkin, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan

aliran udara yang baik. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan

untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis. Analisis flavonoid,

alkaloid, kuinon, dan terpenoid, telah dilakukan dengan berhasil pada herbarium

yang telah disimpan bertahun-tahun (Harbone, 1987).

Pada analisis fitokimia, identitas botani tumbuhan harus dibuktikan

(26)

yang diakui. Begitu banyak kesalahan identitas telah terjadi pada waktu lampau

sehingga penentuan identitas bahan merupakan hal yang penting bila kita

melaporkan senyawa baru dari suatu tumbuhan, atau senyawa yang sudah dikenal

tetapi dari sumber tumbuhan baru. Identitas bahan harus tidak dapat diragukan

lagi.

Uji fitokimia Ekstraksi

Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan

kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang

diisolasi. Umumnya kita perlu membunuh jaringan tumbuhan untuk mencegah

terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis. Mencemplungkan jaringan daun segar

atau bunga, bila perlu dipotong-potong, kedalam etanol mendidih adalah suatu

cara yang baik untuk mencapai tujuan ini. Alkohol, adalah pelarut serba guna yang

baik untuk ekstraksi pendahuluan.

Selanjutnya bahan dapat dimaserasi dalam suatu pelumat, lalu disaring.

Bila mengisolasi senyawa dari jaringan hijau, keberhasilan ekstraksi dengan

alkohol berkaitan langsung dengan seberapa jauh klorofil tertarik oleh pelarut.

Bila ampas jaringan, pada ekstraksi ulang, sama sekali tak berwarna hijau lagi,

dapat dianggap semua senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi.

Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan

tumbuhan keringan (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan

(27)

pelarut secara berganti-ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan

klroform (untuk memisahkan lipid dan terpenoid).

Flavonoid

Menurut Harbone (1987) semua flavonoid, menurut strukturnya,

merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada

tumbuhan Primula, dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama.

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat

diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini

dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu

warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi senyawa tersebut mudah

terdeteksi pada kromatogram atau dalam larutan.

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi dan karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak,

flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

dan aglikon flavonoid yang manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan

dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu maka dalam

menganalisis flavonoid biasanya lebih baik bila kita memeriksa aglikon yang

terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum memperhatikan

kerumitan glikosida yang mungkin terdapat dalam ekstrak asal. Flavonoid

terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh tetapi beberapa kelas lebih tersebar

daripada yang lainnya, flavon dan flavonol terdapat semesta, sedangkan isoflavon

dan biflavonol hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan.

Cara yang populer untuk menelaah pola flavonoid dalam jaringan

(28)

dengan menggunakan asam asetat 5%. Untuk ekstraksi, serbuk kering jaringan

tumbuhan dapat diekstraksi dengan sedikit etanol 70% pada suhu kamar selama

8-24 jam, dan biasanya ekstrak ini dapat ditotolkan langsung pada pekat atau kertas

kromatografi.

Alkoloid

Tumbuhan yang mengandung alkoloida tersebar sangat luas, umumnya

terdapat melimpah pada tumbuhan dikotil (berkeping dua), alkoloida dalam

tanaman hampir selalu terdapat dalam bentuk garam-garam ialah terikat kepada

asam-asam sebagai asam oksalat, asam laktat, asam asetat, asam malat, asam

tartarat dan asam sitrat.

Gambar 3. Rumus Bangun Alkoloid

Alkoloida merupakan zat padat berbentuk kristal yang tak berwarna dan tidak

mudah menguap, sebagai basa bebas senyawa alkoloida sukar larut dalam air

tetapi mudah larut dalam pelarut organik seperti etanol, kloroform. Dapat

menimbulkan efek fisiologis pada hewan dan manusia, karena itu sering

digunakan sebagai obat-obat tradisional.

Triterpenoida

Senyawa triterpenoida yang dijumpai di alam yaitu yang terdapat pada

tumbuh-tumbuhan maupun hewan pada dasarnya dibedakan pada bentuk kerangka

(29)

senyawa tersebut juga dibedakan pada keadaan bebas dan terikat dengan senyawa

tersebut membentuk senyawa yang lebih kompleks.

Gambar 4. Rumus Bangun Triterpenoid

Senyawa triterpenoida merupakan salah satu dari golongan senyawa

triterpenoida. Didalam senyawa triterpenoida ini terdapat dalam bentuk asiklik

dan yang berbentuk siklik.

Saponin

Pembentukan busa yang baik sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau

waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya

saponin. Bila dalam tumbuhan terdapat banyak saponin, sukar untuk memekatkan

ekstrak alkohol air dengan baik, walaupun digunakan penguap putar. Karena itu,

uji saponin yang sederhana ialah mengocok ekstrak alkohol-air dari tumbuhan

dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa dengan baik,

walaupun digunakan penguap putar. Karena itu, uji tumbuhan dalam tabung reaksi

dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan.

Saponin dapat juga diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya

menghemolisis sel darah.

Pengendalian Hama Secara Alami

Rendahnya pemahaman pengelolaan hama terpadu (PHT) sebagai faktor

utama penyabab belum optimalnya peran musuh alami sebagai faktor mortalitas

pada tanaman. Penyemprotan insektisida hingga saat ini dianggap sebagai sebuah

(30)

mempertimbangkan populasi serangga hama dan peran musuh alaminya.

Meskipun masih dengan mempertahankan pemahaman pentingnya penyemprotan

insektisida botani ekstrak kulit mindi dan daun mindi dapat menjadi solusi cara

pengendalian serangga hama yang dapat mengkonservasi musuh alami, sehingga

musuh alami mendapat kesempatan berperan sebagai faktor mortalitas dalam

pengendalian serangga. Insektisida botani mindi efektif dalam menekan populasi

hama, aman terhadap musuh alami, dan dapat dibuat dengan tehnik ekstraksi

sederhana sampai dengan teknologi tinggi.

Sementara itu, telah diketahui bahwa kandungan zat ekstraktif dalam kayu

merupakan penyebab utama keawetan alami kayu yang digunakan. Konsep ini

pertama kali dikemukakan oleh Hawley dalam Scheffer dan Cawling (1966), yang

telah membuktikan bahwa :

a. Ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun terhadap organisme

pengganggu tanaman dibandingkan dengan ekstrak dari kayu gubal,

b. Keawetan alami kayu teras mengalami penurunan yang sangat cepat

setelah kayu tersebut diekstraksi dengan air panas maupun dengan pelarut

netral lainnya.

Menurut (Martono, 1997) usaha penggunaan bahan nabati dapat dimulai

dengan bahan-bahan ramuan obat atau empon-empon, bahan-bahan yang

menimbulkan rasa gatal, pahit, langu dan tidak disukai serangga serta

bahan-bahan yang memiliki racun juga bahan-bahan-bahan-bahan yang pernah dicoba ternyata mampu

mengendalikan hama atau penyakit. Bahan pengendali alami yang digunakan

(31)

diaplikasikan atau digunakan, tidak memiliki racun yang tinggi terhadap

jasad-jasad yang bukan sebagai hama dan tidak membahayakan si pengguna.

Lebih dari 2400 jenis tanaman yang masuk dalam 235 familia telah

dilaporkan mengandung bahan pestisida. Penggunaan pestisida bahan alam

sebagai alternatif/pengganti pestisida kimiawi, tetapi bila menggunakan berbagai

teknik-teknik pengendalian termasuk menggunakan pestisida bahan alami tidak

dapat mengendalikan hama maka menggunakan senjata akhir yaitu pestisida

kimiawi. Bahan alami dapat berperan sebagai insektisida, pemikat, rodentisida,

(32)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Polimer FMIPA USU, di

Areal Perkebunan Tembakau, dan untuk melakukan uji Fitokimia dilakukan di

Laboratorium Kimia Bahan Organik Universitas Sumatera Utara. Waktu

pelaksanaan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 – Maret 2009.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : blender untuk

menghaluskan serbuk, saringan dengan ukuran 40-60 mesh, stoples besar

(diameter ± 20 cm, tinggi ± 30 cm ), stoples kecil (diameter ± 7,5 cm, tinggi ± 13

cm), batang pengaduk untuk mengaduk larutan, labu erlemeyer, labu separator,

cawan petri, rotary evaporator, timbangan, oven, camera, kantungan plastik,

stoples plastik dan sprayer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kulit mindi

(Melya azedarach), ulat grayak (Spodoptera litura), daun tanaman tembakau deli

(N. tobacco), pelarut aseton, metanol, aquadest, kertas saring, aluminium foil,

asam asetat,asam sulfat pereaksi Liebermann-Burchard, 1 tetes HCl 2N, 5 ml etil

asetat, 5 ml eter minyak tanah, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendoff dan kertas

(33)

Metode Penelitian 1. Persiapan Bahan

Kulit batang mindi yang segar dikeringkan selama 7 hari dengan suhu

kamar untuk mendapatkan kering udara, kemudian dihaluskan atau ditumbuk

dengan menggunakan tumbukan atau blender, selanjutnya bahan disaring dengan

saringan ukuran 40-60 mesh dan dimasukkan ke dalam kantungan plastik yang

[image:33.595.235.424.276.403.2]

berukuran besar.

Gambar 5. Serbuk Kulit Kayu Mindi

2. Ekstraksi Kulit Kayu

Gambar 6. Proses Evaporasi

Serbuk kayu mindi yang telah kering diambil sebanyak 500 gram,

masing-masing diekstrak dengan pelarut aseton, metanol dan aquadest dengan metode

[image:33.595.222.401.496.621.2]
(34)

dan pelarut 1:3 dalam stoplest, campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam

dengan menggunakan spatula, hasil ekstraksi tersebut disaring dengan

menggunakan kertas saring, hasil saringan residu tersebut di masukkan ke dalam

botol dan direndam kembali selama 2 hari. Kegiatan perendaman dan penyaringan

ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil masing-masing ekstraksi tersebut kemudian

dievaporasi sampai volumenya 100 mililiter. Diambil 10 mililiter, kemudian

dievaporasi sampai kering setelah itu baru dioven untuk mengetahui kadar

ekstraknya.

Kadar ekstrak =

raksi ebelumekst ingserbuks

Bobot

ingekstrak Bobot

ker

ker

X 100 %

3. Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Penyemprotan

Tahap selanjutnya setelah melakukan ekstraksi bertahap dan diperoleh

padatan ekstraktif yang dilakukan adalah pengeringan oven pada suhu 35oC

adalah pembuatan konsentrasi larutan zat ekstraktif dengan menggunakan pelarut

aseton, metanol dan aquadest.

Masing-masing hasil ekstraksi (aseton, metanol, dan aquadest) dibuat 5

taraf konsentrasi larutan bahan penyemprotan ekstraktif, yaitu : 0, 1, 2, 3, 4%.

Penentuan konsentarsi larutan berdasarkan volume semprot.

4. Penyemprotan pada ulat grayak (S. litura) yang telah diinfeksi pada tanaman tembakau

Pada tahap penyemprotan ini sebelum dilakukan aplikasi penyemprotan

ulat grayak (S. litura) sebanyak 50 ekor dan daun tembakau diletakkan pada

(35)

dengan larutan dan konsentrasi larutan yang berbeda berdasarkan masing-masing

pelarut (aseton, metanol, dan aquadest) yang dibuat 5 taraf konsentari yaitu : 0, 1,

2, 3, 4 %.

5. Perhitungan Ulat grayak yang mati

Perhitungan ulat grayak yang mati dilakukan setiap dua hari setelah

dilakukan penyemprotan, dan diamati selama 14 hari. Perhitungan nilai

mortaslitas dilakukan setiap dua hari setelah penyemprotan dengan menggunakan

rumus Schneider- Orelli yaitu :

Ki =

50

Mi

X 100 %

Ki = Persen kematian ulat grayak pada contoh uji Mi = Jumlah mortalitas ulat grayak pada contoh uji.

(Hennarti Purba)

6. Uji Fitokimia

[image:35.595.236.387.508.607.2]

Adapun prosedur pengujian fitokimia yang dilakukan adalah :

Gambar 7. Pereaksi-pereaksi yang Digunakan dalam Pengujian Fitokimia.

a. Pengujian Triterpenoida

Sebelum melakukan uji triterpenoida sebaiknya kita menyiapkan larutan

(36)

dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat, setelah selesai melakukan

pelarutan maka kita melakukan pengujian triterpenoida yaitu :

Sebanyak 1 gr serbuk dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, kemudian

disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya

ditambahkan 2 tetes peraksi Liebermann-Burchard (20 tetes asam asetat anhidrat

dan 1 tetes asam sulfat pekat). Apabila terbentuk warna merah atau merah ungu

menunjukkan adanya triterpenoida.

b. Pengujian Saponin

Sebanyak 0,5 gr serbuk dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian

tambahkan air panas 10 ml kemudian didinginkan. Kocok kuat-kuat selama 10

detik bila terdapat senyawa saponin akan terbentuk buih stabil kurang lebih 10

menit, dengan ketinggian buih 1-10 cm dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1

tetes HCl 2N.

c. Pengujian Flavonoid

Sebanyak 0,5 gr serbuk disaring dengan 10 ml metanol, direfluks selama 10

menit, kemudian disaring, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah

dingin ditambahkan 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan.

Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. sisa dilarutkan dalam 5

ml etil asetat, kemudian disaring. Filtrat digunakan untuk uji flavonoida dengan

cara :

1. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya

dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 95 % lalu ditambahkan 0,5 gr serbuk seng

(37)

ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat, jika dalam 2-5 menit terjadi

perubahan warna merah intensif menunjukan adanya flavonoida.

2. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya

dilarutkan dalam 1 ml etanol 95 % lalu ditambah 0,1 gr magnesium dan 10

tetes asam kolorida pekat. Jika terjadi perubahan warna jingga sampai

merah ungu menunjukkan adanya flavonoida.

d. Pengujian Alkaloid

Serbuk ditimbang sebanyak 0,5 gr, kemudian ditambah 1 ml asam klorida

2N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit

didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :

1. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Mayer, akan

terbentuk endapan menggumpal berwarna putih / kuning.

2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendoff,

akan terbentuk warna merah / jingga.

3. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat,

akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

Alkoloida (+) jika terjadi endapan / kekeruhan paling sedikit 2 reaksi dari 3

percobaan diatas.

Analisa Data

Analisa data dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan

pelarut dan perbedaan konsentrasi dengan menggunakan statistik Rancangan Acak

(38)

Faktor 1 : jenis pelarut (P) yang digunakan terdiri dari :

P1 = aseton

P2 = metanol

P3 = aquadest

Faktor 2 : Konsentrasi (K) bahan pelarut yang dibuat menjadi 5 taraf terdiri dari :

K1 = 0% K4 = 3%

K2 = 1% K5 = 4%

K3 = 2%

Dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 45 satuan percobaan

Kombinasi perlakuan yang dibuat adalah sebagai berikut :

P1K1 P1K2 P1K3 P1K4 P1K5

P2K1 P2K2 P2K3 P2K4 P2K5

P3K1 P3K2 P3K3 P3K4 P3K5

Model analisa yang digunakan dalam percobaan ini adalah :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Σijk

Yijk = nilai pengamatan bahan pelarut ke-i, dengan konsentrasi ke-j, dan pada ulangan ke-k

μ = rata-rata umum

αi = pengaruh akibat jenis pelarut ke-i

βj = pengaruh akibat konsentrasi larutan ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara jenis pelarut ke-i dengan konsentrasi ke-j

Σijk = pengaruh acak (galad) percobaan bahan pelarut ke-i dan

konsentrasi larutan ke-j serta pada ulangan ke-k

i = pelarut ekstrak

j = taraf konsentrasi ekstraktif

(39)

Hipotesis yang digunakan adalah :

1. Pengaruh utama pelarut ekstrak

H0 = Pelarut ekstrak tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat

grayak

H1 = Pelarut ekstrak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat grayak

2. Pengaruh utama taraf konsentrasi ekstrak

H0 = Taraf konsentrasi zat ekstraktif tidak berpengaruh nyata terhadap

mortalitas ulat grayak

H1 = Taraf konsentrasi zat ekstraktif berpengaruh nyata terhadap mortalitas

ulat grayak

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap mortalitas ulat

grayak dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung ≤ F tabel

maka H0 ditolak. Untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengruh nyata

diantara faktor perlakuan (taraf konsentrasi ekstrak dan pelarut ekstrak) maka

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Zat Ekstraksi

Kandungan zat ekstraktif pada kulit kayu Mindi yang diteliti rata-rata

berkisar 3,27 %, dengan kadar air serbuk sebelum di ekstrak 23,63 %. Dapat

diketahui bahwa kandungan zat ekstraktif tertinggi diperoleh dari jenis pelarut

Metanol, dan yang terendah diperoleh dari jenis pelarut Aquadest. Secara lengkap

kandungan zat ekstratif dari jenis kulit kayu Mindi tersebut dapat dilihat pada

[image:40.595.128.509.353.506.2]

Tabel 1

Tabel 1. Kandungan Zat Ekstraktif pada Kulit Kayu Mindi (Meylia azedarach L )

Ekstrak Berat padatan (gram)

Persentase Padatan Ekstraktif terhadap Serbuk Kayu

(%)

Aseton

Metanol

Aquadest

16,15

17,7

15,23

3,23

3,54

3,04

Rata-rata 3,27

Kandungan zat ekstraktif yang dapat diekstrak dari dalam kayu tergantung

dari berbagai macam faktor yaitu jenis pelarut, berat serbuk, ukuran serbuk, dan

kadar air serbuk. Namun karena dalam pelaksanaan penelitian menggunakan jenis

kulit kayu yang sama, berat serbuk yang sama, ukuran serbuk sama, kadar air

serbuk dalam kondisi yang sama. Maka satu-satunya faktor yang membedakan

adalah jenis pelarut yang digunakan.

Jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai fungsi yang

(41)

jenis pelarut netral yang sering digunakan untuk memfraksi zat kimia pada

tanaman, yaitu Aseton yang sering digunakan untuk mengekstraksi serbuk kayu

untuk pestisida alami, begitu juga dengan Metanol, dan Aquadest.

Uji Fitokimia

Hasil pengujian fitokimia yang dilakukan dengan beberapa pengujian

dengan ekstrak kulit kayu mindi (Meylia azedarach Linn) diperoleh hasil seperti

[image:41.595.129.516.346.435.2]

pada Tabel 2, 3, 4, dan 5.

Tabel 2. Hasil Uji Triterpenoida

No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa Hasil Pengujian

1. Metanol Coklat kehitaman Merah atau merah

ungu

-

2. Aseton Coklat muda Merah atau merah

ungu

-

3. Aquades kuning Merah atau merah

ungu

-

Keterangan: - = tidak ada, + = ada

Hasil pengujian Uji Triterpenoida, pada ekstrak dengan pelarut Metanol,

Aseton, dan Aquadest diperoleh hasil tidak adanya zat triterpenoida.

Tabel 3. Hasil Uji Saponin

No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa Hasil Pengujian

1. Metanol Tidak ada busa Buih/busa -

2. Aseton Ada sedikit busa Buih/busa +

3. Aquades Tidak ada busa Buih/busa -

Keterangan: - = tidak ada, + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil pengujian Uji Saponin, pada ekstrak dengan pelarut Metanol, Aseton

dan Aquadest yaitu tidak ditemukannya Zat Saponin. Pada pelarut ekstrak dengan

[image:41.595.127.513.550.654.2]
(42)
[image:42.595.131.515.90.238.2]

Tabel 4. Hasil Uji Flavonoida

No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan Hasil Pengujian

1. Metanol FeCl3 (1%) Endapan biru tua -

MG-HCl (encer) Larutan coklat muda -

2. Aseton FeCl3 (1%) Larutan coklat kehijauan -

MG-HCl (encer) Larutan coklat muda -

3. Aquades FeCl3 (1%) Endapan abu-abu -

MG-HCl (encer) Endapan putih kekuningan -

Keterangan: - = tidak ada, + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil pengujian Flavonoida pada ekstrak yang menggunakan pelarut

Aseton, Metanol, dan Aquadest diperoleh tidak adanya zat Flavonoida.

Tabel 5. Hasil Uji Alkaloida

No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan Hasil Pengujian

1. Metanol Bouchardart Endapan coklat +++

Meyer Endapan putih kekuningan ++

Dragendorff Endapan merah

kecoklatan

+++

2. Aseton Bouchardart Endapan coklat +++

Meyer Endapan putih kekuningan +

Dragendorff Endapan merah

kecoklatan

+++

3. Aquades Bouchardart Endapan coklat +++

Meyer Endapan putih kekuningan +

Dragendorff Endapan merah

kecoklatan

+++

Keterangan: - = tidak ada, + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil pengujian Alkoloida pada ekstrak yang menggunakan pelarut

Aseton, Metanol, dan Aquadest terdapat sedikit-banyak Zat Alkoloida. Dengan

dilakukannya uji identifikasi zat kimia dalam kulit kayu Mindi dapat disimpulkan

bahwa zat kimia yang ditemukan dalam kulit kayu Mindi adalah zat alkoloida. Zat

ini ditemukan pada setiap jenis pelarut dalam jumlah yang dominan banyak. Zat

Alkoloida bersifat aktif terhadap larva, yang menghasilkan aroma yang tidak enak

[image:42.595.132.516.331.526.2]
(43)

adanya zat alkoloida ini menyebabkan penurunan aktifitas konsumsi bagi larva

sehingga mengakibatkan larva mati karena kelaparan, dan alkoloida ini

berpengaruh pada terlambatnya larva berubah menjadi instar berikutnya yaitu

berupa pupa.

Perkembangan Mortalitas Larva Selama 14 Hari

a. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aseton

Data yang diperoleh dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa

perkembangan kematian larva yang menggunakan ekstrak aseton terjadi pada hari

kedua setelah perlakuan, kemudian dapat dilihat bahwa pada setiap hari

pengamatan berikutnya mortalitas ulat grayak semakin banyak, dengan kematian

larva mencapai 100% untuk konsentrasi 4% pada perlakuan selama 10 hari setelah

aplikasi, sedangkan untuk konsentrasi 0%, 1%, 2%, dan 3% kematian larva terjadi

pada hari ke-14. Hal ini dapat disebabkan karena semakin banyak ekstrak yang

disemprotkan maka semakin besar pula perkembangan mortalitas larva.

Perkembangan mortalitas larva pada pelarut aseton dapat dilihat pada Gambar 8.

Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak pada Pelarut Aseton 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12 14

[image:43.595.166.484.523.712.2]

Hari Aplikasi M or tal it as U lat 0 1 2 3 4

(44)

b. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol

Data yang diperoleh dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa

perkembangan kematian larva yang menggunakan ekstrak metanol terjadi pada

hari ke-2 setelah perlakuan, kemudian dapat dilihat pada Gambar 9. Untuk pelarut

metanol dengan konsentrasi 4% kematian larva mencapai 100% telah terjadi pada

hari ke-12, sedangkan untuk konsentrasi 0%, 1%, 2%, dan 3% kematian larva

terjadi pada hari ke-14. Perkembangan mortalitas larva pada pelarut metanol dapat

dilihat pada Gambar 9.

Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak pada Pelarut Metanol 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12 14

[image:44.595.179.475.321.495.2]

Hari Aplikasi M or tal it as U lat 0% 1% 2% 3% 4%

Gambar 9. Perkembangan Mortlitas Ulat Grayak Pada Pelarut Metanol

c. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aquadest

Data yang diperoleh dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa

perkembangan kematian larva yang menggunakan ekstrak aquadest terjadi pada

hari ke-2 setelah perlakuan, tetapi untuk konsentrasi 0% terjadi pda hari ke-4,

kemudian dapat dilihat bahwa pada setiap dua hari pengamatan berikutnya

mortalitas ulat grayak semakin banyak, dengan kematian larva mencapai 100%

(45)

terjadi pada hari ke-14 kematian larva mencapai 100%, sedangkan pada

konsentrasi 0% dan 1% kematian larva tidak mencapai 100% untuk pelarut

aquadest. Dan perkembangan mortalitas larva pada pelarut aquadest dapat dilihat

pada Gambar 10.

Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12 14

[image:45.595.157.467.207.389.2]

Hari aplikasi M or tal it as U lat 0% 1% 2% 3% 4%

Gambar 10. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest

Berdasarkan hasil pengujian pada penelitian ini diduga bahwa jenis kulit

kayu Mindi ini mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun. Hal ini dibuktikan

setelah melakukan uji fitokimia, dari hasil uji fitokimia yang dilakukan

menunjukkan adanya zat alkoloid (+) yang bersifat racun terhadap serangga dan

organisme lainnya.

Selanjutnya yang membuktikan hal tersebut, setelah hasil yang diperoleh

dari masing-masing jenis pelarut selanjutnya diuji sifat toksisitasnya melalui

pengujian terhadap tingkat mortalitas ulat grayak ( S. Litura) pada daun tembakau

deli (N. tobacco).

Mortalitas larva menunjukkan bahwa mortalitas larva S. litura terjadi

(46)

Aseton cepat memberikan efektifitas peracunan (terhadap mortalitas larva),

ekstrak Mindi dengan konsentrasi yang rendah juga memberikan efek peracunan

hal ini disebabkan faktor konsumsi larva, banyaknya daun yang dikonsumsi pada

perlakuan, sehingga mortalitasnya lebih cepat. Hal ini juga didukung oleh

penelitian (Purba, 1996) mortalitas terus mengalami kematian sampai 12 hari

setelah aplikasi, dengan konsentrasi mindi yang lebih banyak menyebabkan

mortalitas larva yang lebih banyak.

Jika diamati dari ketiga jenis pelarut yang digunakan, ekstrak Mindi

dengan Aquadest menunjukkan tingkat mortalitas larva yang lebih rendah

dibandingkan dengan tingkat mortalitas ekstrak Mindi dengan Metanol dan

Aseton. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekstrak mindi dengan Metanol lebih

banyak larva yang mati dan lebih cepat kematiannya, sedangkan dengan ekstrak

Aseton mortalitas larva lebih rendah dibandingkan pelarut Metanol sedangkan

yang terendah dengan menggunakan ekstrak Aquadest

[image:46.595.241.384.498.593.2]

Gambar 11. Kondisi Ulat Grayak (Spodoptera litura) setelah Perlakuan

Hal ini dapat disebabkan karena kandungan senyawa Mindi yang

mengandung alkoloida yang terbanyak pada ekstrak Mindi dengan Metanol.

Adanya senyawa yang bersifat racun didalam ekstrak dengan aroma yang tidak

(47)

konsentrasi ekstrak yang diberikan, menyebabkan mortalitas larva terus

meningkat. Selain alkoloida dengan adanya senyawa aglikon quersetin didalam

kulit kayu mindi yang menyebabkan aroma yang tidak enak.

Pada Aquadest dengan konsentrasi 0% didapat hasil pupa cacat sebanyak

5-6 pada hari ke-2 dan semakin meningkat dengan bertambahnya hari aplikasi

sampai hari ke-12. Hal ini menyebabkan mindi dengan konsentrasi yang lebih

tinggi akan menyebabkan perkembangan larva abnormal. Menurut Fagoone dan

Lauge (1981) dalam Hennarti Purba (1996) senyawa Quersetin pada tanaman

mindi menyebabkan tidak sempurnanya proses eksidisis atau pergantian instar

[image:47.595.217.406.361.484.2]

sehingga larva melepas kutikulanya lama, terutama pada bagian kepala.

Gambar 12. Kondisi Ulat Grayak setelah Aplikasi dengan Pelarut Metanol

Uji Statistika

Hasil pengamatan dengan menggunakan uji statistika diperoleh bahwa

dengan menggunakan 3 jenis pelarut yang berbeda yaitu aseton, metanol dan

dengan menggunakan aquadest maka menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda

nyata secara signifikan, begitu juga dengan jenis konsentrasi yang digunakan

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mortalitas ulat

(48)

0 50 100 150 200 250 300 % M or tal it as

0 1 2 3 4

Konsentrasi (% ) Mortalitas Ulat Grayak

As eton

Metanol

[image:48.595.170.466.86.219.2]

Aquades t

Gambar 13. Persentase Mortalitas Ulat Grayak

Kandungan senyawa Mindi yang mengandung alkoloida yang terbanyak

pada ekstrak Mindi dengan Metanol. Adanya senyawa yang bersifat racun

didalam ekstrak dengan aroma yang tidak enak menyebabkan larva mengurangi

konsumsi makannya. Semakin banyak konsentrasi ekstrak yang diberikan,

semakin tinggi mortalitas larva. Selain alkoloida, adanya senyawa aglikon

quersetin didalam kulit kayu mindi yang menyebabkan aroma yang tidak enak

(Purba, 1996).

Menurut Gionar (1990) dalam Purba (1996) bahan aktif yang terkandung

pada tumbuhan Mindi berfungsi sebagai antifeedan terhadap serangga dan

menghambat perkembangan serangga. Ekstrak Mindi dengan jenis pelarut

Metanol, Aseton dan Aquadest merupakan insektisida yang dapat digunakan

untuk menghambat perkembangan larva S. litura dan konsentrasi yang diberikan

pada insektisida ini sangat mempengaruhi cepat lambatnya mortalitas larva yang

terjadi.

Mortalitas larva ditandai dengan perubahan warna tubuh larva menjadi

kecoklatan dan tidak adanya kemampuan larva melepas kutikulanya yang

mengakibatkan terganggunya pertumbuhan larva. Jumlah larva yang mati tidak

(49)

mengecil. Kematian larva lainnya ditandai dengan gagalnya proses ganti kulit,

kelaparan dan mengecilkan ukuran tubuh dan berwarna gelap pada bagian

anusnya.

Larva biasanya mengalami 8-9 instar dengan lama stadia 49-51 hari

(Desmier de Chenon,1982) dalam Purba (1996). Pupa terbentuk sebelum larva

selesai mengalami pergantian instar. Ini bisa disebabkan karena lingkungan

sekitarnya tidak mendukung bagi pergantian instar sehingga larva terpaksa

mempercepat perubahan. Hasil pengamatan larva tidak berubah bentuk menjadi

pupa, sehingga ukuran tubuh larva menjadi kecil, tidak sesuai dengan ukuran

normalnya, terdapat warna hitam dibagian abdomennya hal ini tejadi karena larva

memakan daun tembakau yang sudah disemprotkan dengan ekstrak Aseton,

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kandungan zat ekstraktif kulit kayu mindi pada pelarut Aseton 3,23%,

pelarut Metanol 3,54%, dan pelarut Aquadest 3,04%.

2. Hasil penelitian diperoleh adanya zat Alkoloida yang bersifat racun

terhadap larva (S. litura Fab).

3. Pengaruh pelarut dan interaksi tidak signifikan terhadap mortalitas

larva sedangkan konsentrasi signifikan terhadap mortalitas larva pada

penelitian ini.

Saran

Dalam penelitian ini yang menggunakan ekstrak dari kulit kayu mindi

sudah menunjukkan hasil yang baik, perlu dilakukan penelitian lanjutan di

lapangan yang menggunakan bahan yang sama yang sehingga dapat digunakan

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2000. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah dan Lahan Kering, Penebar Swadaya. Jakarta.

Djamin, H.A. 1985. Pengendalian Hama Secara Hayati. FP UISU Medan

Djamin, A. Dan C.U. Ginting. 1991. Sifat Biologi dan Kandungan Kimia

Azadirachta indica sebagai sumberPestisida Botanis. Buletin Manggar Pusat

Penelitian Perkebunan Bandar Kuala.

Erwin, M.S. 2000. Hama dan Penyakit Tembakau Deli. Balai Penelitian Tembakau Deli, PTPN II Persero. Medan

Faagoone, I. Dan Lauge. 1981. Effects of Azadirachtin and of a.Neem on Food Utilization by Crocidolomia binotalis Proc. 2nd Int. Neem Conf.

Ranischolzhausen

Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun cara Modern Menganalisis Tumbuhan, ITB. Bandung

Hennarti, Purba. 1996. Efikasi Ekstrak Nimba (Azadirachta indica A. Juss) Dan Mindi (Meylia azedarach Linn) Terhadap Setothosa asigna van Eeka Pada Kelapa Sawit Di Laboratorium. Fakultas Pertanian USU. Medan

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crot in Indonesia. Revised and Trannslated by P.A.Van der Laan. PT Ichtisar Baru. Jakarta

Kartasapoetra, H.G. 1987. Hama Tanaman dan Perkebunan. Bina Aksara Jakarta.

Natawigena. 1990. Entomologi Pertanian, Orba Sakti, Bandung.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida, Agro Media Pustaka. Jakarta.

Sastrodihardjo. 1990. Memanfaatkan Pproduk alami dari Nimba, Mindi dan Kulit Jambu Mete dalam Proteksi Tanaman. Kongres I HPTI, Jakarta.

Suharto Budiyono. 2005. Bahan Alami Pengendalian Hama. Bidang Bina PTPH

D.I.Yogyakart

(52)

Sumadi, W. 1997. Pengendalian Hama Tanaman Pangan dengan Mengenali Jenis Serangga Hama, Aneka. Solo.

(53)

Lampiran 1. Data pengukuran Kadar Air (Moiseture Content / MC)

Ulangan Berat awal (gram)

Berat Kering Oven (gram)

MC (%) Rataan (%)

1 2 3 4 5 30,28 30,11 29,48 29,40 27,79 23,14 23,48 22,50 22,63 20,59 23,57 22,02 23,67 23,02 25,90 23,63

Lampiran 2. Model rancangan acak lengkap 3 X 5 dengan 3 kali ulangan

Pelarut (P)

Konsentrasi (K)

Ulangan

1 2 3

Aseton (P1) K0 K1 K2 K3 K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4 Metanol (P2) K0

K1 K2 K3 K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4

P2K0 P2K1 P2K2 P2K3 P2K3 Aquadest (P3) K0

K1 K2 K3 K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4

P3K0 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4

(54)

Lampiran 3 : Nilai Persentase Ulat Grayak Selama 14 Hari

NILAI PERSENTASE ULAT GRAYAK

JENIS PELARUT

(P) ULANGAN

KONSENTRASI

(K) TOTAL

RATA-RATA

0% 1% 2% 3% 4%

ASETON

(P1) 1 46 100 100 100 100 446 89.2

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 300 300 300 300 1360 272

METANOL

(P2) 1 46 100 100 100 100 446 89.2

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 300 300 300 300 1360 272

AQUADEST

(P3) 1 46 92 100 100 100 438 87.6

2 52 100 100 100 100 452 90.4

3 62 100 100 100 100 462 92.4

TOTAL 160 292 300 300 300 1352 270.4

TOTAL 480 892 900 900 900 4072 814.4

Analisis Sidik Ragam Mortalitas Ulat Grayak

SK JK DB KT F Hitung F

Tabel Perlakuan

K 15536.355 4 3884.089 2680.074* 2.69

P 2.844 2 1.422 0.098 3.22

KxP 11.378 8 1.422 0.098 2.27

(55)
(56)

Lampiran 4. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aseton

Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 20 44 62,67 76 88 96,67 100

1% 25,33 48,66 68,66 84,66 93,32 99,98 100

2% 25,33 51,33 71,99 87,32 93,98 99,98 100

3% 28 53,33 72,66 86,66 97,12 99,78 100

4% 32,66 55,99 74,65 87,31 99,97 112,63 0

Lampiran 5. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Metanol

Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 29.33 52 72 85.33 92 97.33 100

1% 25.33 45.99 57.32 73.99 80.65 93.31 100

2% 30.66 51.32 68.65 81.98 89.31 93.31 100

3% 28.66 53.99 67.32 79.32 91.32 95.32 100

4% 28 48 64 78.66 86.66 100 0

Lampiran 6. Perkembangan Mortalitas Ulat Grayak Pada Pelarut Aquadest

Konsentrasi

/ Hari 2 4 6 8 10 12 14

0% 2.67 9.34 18.67 27.34 38.67 48 53.33

1% 34 54 65.33 75.33 83.33 87.99 97.32

2% 26.66 47.32 58.65 71.98 81.98 91.31 100

3% 30 55.33 72.66 85.99 95.32 99.98 100

Gambar

Gambar 1. Ulat Grayak
Gambar 2. Kondisi Daun Tembakau Akibat Serangan Ulat Grayak
Gambar 5. Serbuk Kulit Kayu Mindi
Gambar 7. Pereaksi-pereaksi yang Digunakan dalam Pengujian Fitokimia.
+7

Referensi

Dokumen terkait

This research aim to to know influence giving of water extort of red ginger rimpang (Zingiber Officinale Rosc.) to caterpillar mortalitas of grayak (Litura F Spodoptera.), and also

litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp pada persemaian tembakau deli.. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap 2 faktorial

Dari Berbagai Media Tumbuh Terhadap Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)(Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau Di Rumah Kasa ” yang merupakan salah

Mekanisme Infeksi Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpLtMNPV) Pada Sel Line Epithel Usus Ulat Grayak (Spodoptera litura) Dra Mahanani Tri Asri, M Si Guntur Trimulyono,

Pengaruh Berbagai Konsentrasi Jenis Dekok Organ Pepaya (Carica papaya) Terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F) Hama Tanaman Jagung (Zea mays) Sebagai

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas.. litura menyerang

Tanaman selada yang ditanam di Ciwidey sering terserang hama, salah satunya yaitu ulat grayak (Spodoptera litura). Ulat grayak menyerang tanaman dengan memakan

Larva ulat grayak Spodoptera litura F yang sudah mati dapat dilihat dengan gejala yang tidak memberikan respon jika disentuh menggunakan alat bantu seperti pinset, tubuh larva lembek,