• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F) SECARA IN-VITRO

N/A
N/A
Jaka pehaganta Sembiring

Academic year: 2024

Membagikan "UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F) SECARA IN-VITRO"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK

(Spodoptera litura F) SECARA IN-VITRO

LENNI SIRINGORINGO CAA 118 034

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

2022

(2)

ii

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK

(Spodoptera litura F) SECARA IN-VITRO

LENNI SIRINGORINGO CAA 118 034

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Jurusan Budidaya Pertanian

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

2022

(3)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya susun, sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian merupakan karya tulis saya sendiri. Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya peroleh dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, apabila dikemudia hari ditemukan adanya plagiasi dalam skripsi ini.

Palangka Raya, Oktober 2022

LENNI SIRINGORINGO CAA 118 034

(4)

iv

LEMBAR PERSETUJUAN

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK

(Spodoptera litura F) SECARA IN-VITRO

Lenni Siringoringo CAA 118 034

Program Studi Agroteknologi Jurusan Budidaya Pertanian

Disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ici Piter Kulu, M.P. Prof. Dr. Ir. Salampak, M.S.

NIP: 19590217 198701 1 001 NIP: 19640406 198803 1 002

Mengetahui:

Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertania Dekan, Ketua,

Dr. Ir. Sosilawaty, M.P. Ir. Robertho Imanuel, M.P.

NIP:19660326 199303 2 008 NIP. 19640308 198903 1 002

(5)

v

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Uji Efektivitas Ekstrak Buah Bintaro (Cerbera manghas L.) Terhadap Mortalis Ulat Grayak (Spodoptera litura F) Secara In-vitro

Nama Mahasiswa : Lenni Siringoringo

NIM : CAA 118 034

Jurusan / Prodi : Budidaya Pertanian / Agroteknologi

Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Pada:

Hari : Jumat

Tanggal : 14 Oktober 2022 Pukul : 09.00 WIB - Selesai

Tempat : Ruang Kuliah Hama Penyakit Tanaman (HPT)

TIM PENGUJI

1. Dr. Ir. Ici Piter Kulu, M.P Pembimbing I (………..)

2. Prof. Dr. Ir. Salampak, M.S Pembimbing II (………..)

3. Dewi Saraswati, S.P., M.P Pembahas I (………..)

4. Pandriyani, S.P., M.Si Pembahas II (………..)

(6)

vi RINGKASAN

LENNI SIRINGORINGO, CAA 118 034. Uji Efektivitas Ekstrak Buah Bintaro (Cerbera manghas L.) Terhadap Mortalis Ulat Grayak (Spodoptera litura F) Secara In-vitro. Dibawah Bimbingan Bapak Dr. Ir. Ici Piter Kulu, M.P dan Bapak Prof. Dr. Ir. Salampak, M.S.

Ulat Grayak (Spodoptera litura F) termasuk family Noctuidae, Ordo Lepidoptera, ulat grayak bersifat polifag. Kerusakan daun akibat serangan larva ulat grayak mengganggu proses asimilasi dan pada akhirnya menyebabkan kehilangan hasil panen hingga mencapai 85%, bahkan dapat menyebabkan gagal panen (puso).

Pengendalian ulat grayak sampai saat ini masih mengandalkan insektisida kimia yang diaplikasikan secara terjadwal/teratur. Penggunaan ekstrak buah bintaro merupakan salah satu insektisida nabati pengendali ulat grayak. Tanaman bintaro memiliki efek antifungi dan insektisida. Pada buah bintaro terdapat senyawa cerberin yang merupakan golongan alkaloid yang berperan terhadap kematian larva ulat grayak (Spodoptera litura F). Senyawa cerberin dapat menyebabkan toksisitas pada larva (Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera) sehingga mengganggu kelangsungan hidup larva. Cerberine berbahaya bagi serangga karena dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung.

Rancangan penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 5 perlakuan sebagai berikut: B0 = Kontrol, B1 = 30% (30 ml ekstrak buah bintaro + 70 ml air), B2 = 50% (50 ml ekstrak buah bintaro + 50 ml air), B3 = 70% (70 ml ekstrak buah bintaro + 30 ml air), B4 = 90% (90 ml ekstrak buah bintaro + 10 ml air). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B3 (30 ml ekstrak buah bintaro + 70 ml air) dengan persentase nilai efikasi (daya bunuh) sebesar 52 % diikuti oleh perlakuan B4 (90 ml ekstrak buah bintaro + 10 ml air) memiliki daya bunuh (efikasi) dengan presentase 56%

(7)

vii ABSTRACT

THE EFECTIVENESS OF BINTARO (Cerbera manghas L.) FRUIT EXTRACT TO MORTALITY OF GRAYAK PESTS (Spodoptera litura F)

IN-VITRO

LENNI SIRINGORINGO

This study aims to determine the efficacy of bintaro fruit extract on the mortality rate of armyworm larvae (Spodoptera litura F) in vitro, the right concentration in increasing mortality of armyworm larvae (Spodoptera litura F) in vitro. The design used in this study was a completely randomized design (CRD), which consisted of 5 treatments, namely: B0 = Control, B1 = 30% bintaro fruit extract (30 ml bintaro fruit extract + 70 ml water), B2 = Bintaro fruit extract 50% (50 ml bintaro fruit extract + 50 ml water), B3 = 70% bintaro fruit extract (70 ml bintaro fruit extract + 30 ml water), B4 = 90% bintaro fruit extract (90 ml bintaro fruit extract + 10 ml water ) and repeated 5 times, in order to obtain 25 experimental units. Each experimental unit used 10 armyworm larvae (Spodoptera litura F) with instar III, so there were 250 armyworm larvae (Spodoptera litura F) used for the experiment. The results showed that the vegetable insecticide bintaro fruit extract in treatment B4 (90 ml bintaro fruit extract + 10 ml water) with a mortality percentage of 56% and had the best killing power (efficacy) with a percentage of 56% followed by treatment B3 (70 ml fruit extract). bintaro + 30 ml of water) with a presentation of 52%.

Keywords: Armyworm larvae (Spodoptera litura F), bintaro fruit extract

(8)

viii ABSTRAK

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F)

SECARA IN-VITRO LENNI SIRINGORINGO

Penelitian ini bertujuan untuk menegetahui efikasi ekstrak buah bintaro terhadap tingkat mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F) secara in-vitro dan konsentrasi yang tepat meningkatkan mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F) secara in-vitro. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari 5 perlakuan, yaitu: B0 = Kontrol, B1

= Ekstrak buah bintaro 30% (30 ml ekstrak buah bintaro + 70 ml air), B2 = Ekstrak buah bintaro 50% (50 ml ekstrak buah bintaro + 50 ml air), B3 = Ekstrak buah bintaro 70% (70 ml ekstrak buah bintaro + 30 ml air), B4 = Ekstrak buah bintaro 90% (90 ml ekstrak buah bintaro + 10 ml air) dan diulang sebanyak 5 kali, sehingga diperoleh 25 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan menggunakan 10 larva ulat grayak (Spodoptera litura F) dengan instar III, sehingga terdapat 250 ekor larva ulat grayak (Spodoptera litura F) yang digunakan untuk percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida nabati ekstrak buah bintaro pada perlakuan B4 (90 ml ekstrak buah bintaro + 10 ml air) dengan presentase mortalitas sebesar 56% dan memiliki daya bunuh (efikasi) terbaik dengan presentase 56%

diikuti oleh perlakuan B3 (70 ml ekstrak buah bintaro + 30 ml air) dengan presentasi sebesar 52%.

Kata kunci: Ulat grayak (Spodoptera litura F), ekstrak buah bintaro

(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

Lenni Siringoringo adalah putri dari pasangan Rivai Siringoringo dan Lasria Marbun, anak pertama dari tujuh bersaudara. Dilahirkan di Simbolon, 08 Mei 2000.

Pendidikan formal pertama pada tahun 2006 di Sekolah Dasar Negeri 173730 Desa Sigaol Simbolon Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir, kemudian melanjutkan Pendidikan ke Sekolah Menegah Pertama pada tahun 2012 di SMP NEGERI 1 PALIPI Kabupaten Samosir, kemudian pada tahun 2015 melanjutkan Sekolah Menengah Kejuruan di SMK NEGERI PERTANIAN BATU XX dengan kompetensi keahlian Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura (ATPH) dan lulus pada tahun 2018. Pada tahun yang sama melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Palangka Raya, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agroteknologi dan terdaftar sebagai mahasiswa dengan bidang minat Ilmu Hama Penyakit Tanaman.

Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) pada 05 Agustus – 05 September di Desa Hurung 1 Kecamatan Kahayan Tengah Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Pada tahun yang sama, penulis telah melaksanakan kegiatan magang selama 3 bulan mulai 11 Oktober 2021 – 11 Januari 2022 di Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Banjarbaru Kalimantan Selatan. Penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yaitu pada tahun 2020 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Dasar.

Penulis aktif dalam organisasi Mahasiswa Peduli Api (MASPA) pada tahun 2021 dan menjabat sebagai bendahara.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH BINTARO (Cerbera manghas L.) TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F) SECARA IN-VITRO”. Disusun sebagai skripsi penelitian di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimahkasih kepada:

1. Orang tua saya, Ayah tercinta Rivai Siringoringo dan Ibu tersayang Lasria Marbun yang telah memberikan seluruh tenaga, pikiran, dorongan dan materi kepada saya sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Ici Piter Kulu, M.P. selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Bapak Prof. Dr. Ir. Salampak, M.S. selaku Dosen Pembimbing Kedua sekaligus pembimbing akademik yang tulus telah banyak memberikan bimbingan, dukungan dan masukan dalam penyusan skripsi ini.

3. Ibu Dewi Saraswati, SP., M.P. selaku Dosen Pembahas Pertama dan Bapak Pandriyani, SP., M.Si. selaku Dosen Pembahas kedua yang telah memberikan saran dan arahan.

4. Dekan Fakultas Universitas Palangka Raya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S-1 Agroteknologi di Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.

5. Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya Bapak Ir. Robertho Imanuel, M.P. atas bantuan dan pelayanannya selama mulai kuliah sampai hingga dengan selesainya penulisan skripsi di Jurusan Budidaya Pertanian.

6. Ketua program studi Agroteknologi Ibu Wahyu Widyawati,SP. M,Si yang telah memberikan bantuan baik berupa moral, saran, dan juga kritikan yang membangun dalam penyusunan skripsi ini.

(11)

xi

7. Seluruh dosen dan staf tata usaha Jurusan Budidaya Pertanian yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu penulis selama perkuliahan sampai dengan penyelesaian penulisan skripsi ini.

8. Saudara-saudara saya, Irmauli Siringoringo, Tria Siringoringo, Odor Marito Siringoringo, Togi Irene Siringoringo, Desrani Siringoringo, dan Ampuan Siringoringo yang telah memberi saran serta dukungan kepada saya.

9. Keluarga saya, Oppung Lenni Siringoringo Doli, Oppung Lenni Siringoringo Boru, Amangboru Brielle Pakpahan, Bou Brielle Siringoringo, Tulang Malau, Nantulang Simarmata yang sangat saya sayangi dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan saran dan motivasi pada penulis.

10. Support Sytem saya, Febri Arif Siahaan yang selalu memotivasi, memberi semangat, koreksi, kritis dan materi kepada penulis.

11. Teman-teman satu perjuangan saya, Niki Nengsi Simbolon, S.Pd., Pije Marlomak Simbolon, S.Hut., Junita Marbun, S.Pi., Royanti Simbolon, S.Pi., Martha Limbong, Melpi Yanne Marbun, S.Hut, Tiolita Sitohang, S.Pd., Rielina Cindy Simbolon dan Dewi Irene Sihite.

12. Team penelitian saya, Joneri Permadi Pakpahan, Rijal Walaviat Munthe, Tutiana Nainggolan, Marta Sitorus, Novanda Manullang, Suryati Hutasoit, Gresia Pasaribu, dan Maju Siagian yang sudah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

13. Mahasiswa Agroteknologi Angkatan 2018, dan teman-teman lainnya yang selalu memotivasi, memberikan semangat, koreksi dan kritis kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan agar skripsi ini menjadi lebih sempurna. Sebagai kata penutup penulis mengucapkan terimah kasih.

Palangka Raya, Oktober 2022 Penulis,

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RINGKASAN ... vi

ABSTRACT ... vii

ABSTRAK ... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Hipotesis ... 4

1.5. Mamfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Pestisida Nabati ... 5

2.2. Aktivitas Biologi Pestisida Nabati ... 6

2.2.1. Aktivitas Penghambat Makan (Antifeedants) ... 6

2.2.2. Aktivitas Penolakan Makan (Relevan) ... 7

2.2.3. Penarik Serangga (Antractans) ... 7

2.2.4. Penundaan Peneluran (Oviparitas) ... 8

2.2.5. Kematian (Mortalis) ... 8

2.3. Tanaman Bintaro (Cerbera manghas L.) ... 9

2.3.1. Kandungan Bintaro (Cerbera manghas L.) ... 11

2.4. Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 12

2.4.1. Klasifikasi Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 12

2.4.2. Morfologi Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 13

2.4.3. Nutrisi Pertumbuhan Spodoptera litura F... 17

III. BAHAN DAN METODE ... 19

3.1. Waktu dan Tempat ... 19

3.2. Bahan dan Alat ... 19

(13)

xiii

3.3. Metode Penelitian ... 19

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 20

3.4.1. Pembuatan Tempat Pemeliharaan (Rearing) Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 20

3.4.2. Pengambila Ulat Grayak Dari Lapangan ... 21

3.4.3. Perbanyakan Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 21

3.4.4. Persiapan Ekstrak Buah Bintaro ... 22

3.4.5. Aplikasi Ekstrak Buah Bintaro ... 22

3.5. Variabel Pengamatan ... 23

3.5.1. Mortalitas Total ... 23

3.5.2. Uji Efikasi (Daya Bunuh) ... 23

3.6. Analisis Data ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Mortalitas Harian Larva Ulat Grayak ... 25

4.2. Efikasi (Daya Bunuh) Ekstrak Buah Bintaro ... 28

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

5.1. Kesimpulan ... 30

5.2. Saran ... 30 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rata-rata Persentase Mortalitas Harian Ulat Grayak (Spodoptera litura F) (Spodoptera litura F) Pengamtan Hari Ke-1 Sampai Hari Ke-8 (HSA) ... 24

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Bintaro ... 10

Gambar 2. Telur Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 13

Gambar 3. Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F)... 14

Gambar 4. Pra Pupa dan Pupa Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 15

Gambar 5. Imago Ulat Grayak (Spodoptera litura F) ... 15

Gambar 6. Serangan S. litura pada tanman bawang daun ... 16

Gambar 7. Larva S.litura Sehat dan Mati ... 25

Gambar 8. Grafik Tingkat Efikasi Ekstrak Buah Bintaro ... 26

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Satuan Tata Letak Percobaan ... 35

Lampiran 2. Tabel Data Mortalitas Harian (%) ... 36

Lampiran 3. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 1 HSA ... 38

Lampiran 4. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 2 HSA ... 39

Lampiran 5. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 3 HSA ... 40

Lampiran 6. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 4 HSA ... 41

Lampiran 7. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 5 HSA ... 42

Lampiran 8. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 6 HSA ... 43

Lampiran 9. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 7 HSA ... 44

Lampiran 10. Tabel Data Analisis Ragam Mortalitas Harian 8 HSA ... 45

Lampiran 11. Tabel Data Suhu dan Kelembaban Ruangan ... 46

Lampiran 12. Pembuatan Tempat Pemeliharaan Ulat Grayak ... 47

Lampiran 13. Pengambilan Larva Ulat Grayak Dari Lapangan ... 48

Lampiran 14. Rearing Ulat Grayak ... 49

Lampiran 15. Menimbang Pakan ... 50

Lampiran 16. Pembuatan Ekstrak Buah Bintaro ... 51

Lampiran 17. Konsentrasi Ekstrak Buah Bintaro ... 52

Lampiran 18. Aplikasi Ekstrak Buah Bintaro ... 53

Lampiran 19. Larva Ulat Grayak yang Terinfeksi Buah Bintaro... 54

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman Bintaro (Cerbera manghas L.) memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendali serangga karena didalamnya terdapat kandungan kimia yang bersifat bioaktif yaitu senyawa cerberin. Produk dari tanaman ini efektif, ramah lingkungan, mudah diurai oleh mikroorganisme, murah, tersedia di berbagai tempat di dunia, dan bersifat selektif (Su dan Mulla, 1999). Tanaman bintaro berpotensi sebagai insektisida (Yan et al., 2011). Ekstrak kasar buah bintaro menunjukkan aktivitas antifeedant yang kuat (Somsroi dan Chaiyong, 2016).

Sejalan dengan Penerapan teknik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai dengan Inpres No. 3 Tahun 1986 tentang perlindungan tanaman, maka alternatif yang perlu dikembangkan adalah pestisida nabati yang merupakan produk alam yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan residu. Pestisida nabati tidak mengganggu keseimbangan alam dikarenakan memiliki sifat resurjensi dan resistensi yang lebih rendah dibandingkan pestisida kimia, tidak menimbulkan kematian dan toksisitas terhadap serangga berguna seperti penyerbuk, mudah dibudidayakan, dan residu pestisida nabati rendah serta mudah terurai di alam. Hal inilah yeng membuat pestisida nabati tergolong ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem (Glio, 2015).

Menurut Marwoto dan Suharsono, (2008), hama dan penyakit merupakan faktor penyebab rendahnya produksi pertanian di Indonesia. Impor tanaman pangan menempati 74% dari total impor yang dilakukan pemerintah. Sedangkan impor peternakan, holtikultura, dan perkebunan sebesar 8 – 9%. Pada Desember 2013, ekspor perkebunan meliputi minyak sawit, kelapa, karet dan gula tebu sebesar 96%.

Namun produk perkebunan yang diekspor merupakan bahan mentah dan sebagian impor merupakan bahan jadi. Impor dilakukan sebagian besar untuk konsumsi, bukan untuk proses produksi. Hal ini menunjukkan sangat tergantungnya pemenuhan konsumsi domestik terhadap impor.

(18)

Serangga merupakan organisme yang paling beragam jenisnya dan selalu mendominasi sehingga berpotensi menjadi hama berbagai tanaman, baik yang dibudidayakan maupun gulma (Parker, 2010). Salah satu hama potensial yang merusak tanaman pangan ialah ulat grayak (Harpenas dan Darmawan 2009).

Ulat grayak (Spodoptera litura F) termasuk family Noctuidae, ordo Lepidoptera. Di luar negeri serangga ini dikenal dengan berbagai macam nama:

Common cutworm, Tobacco cutworm, Cotton bowlworm, dan Armyworm.

Armyworm mula-mula dialih bahasakan menjadi ulat tentara kemudian diubah menjadi ulat grayak. Ulat grayak bersifat polifag, tanaman inang yaitu bawang, kacang tanah, kacang hijau, tembakau, cabai, ubi jalar, buncis, kacang panjang, bayam, kedelai dan talas. Ulat grayak tersebar luas di Indonesia meliputi 22 provinsi dengan luas serangan rata-rata mencapai 11.161 Ha/Tahun (Haryani, 2005) Ulat grayak (Spodoptera litura F) merupakan ulat daun yang memiliki tubuh berbintik hitam dan pada sisi badannya terdapat garis-garis dengan warna kekuningan (Mulyono, 2006). Spodoptera litura F menyerang pada fase vegetatif dengan memakan daun tanaman hingga tinggal tulang daun saja (Laoh et al., 2003).

Rusaknya bagian daun tanaman dapat menghambat proses fotosintesis sehingga produksi tanaman menurun (Setiawan, 2017). Serangan ulat grayak (Spodoptera litura F) meresahkan masayarakat pertanian karena mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman dan bahkan kegagalan panen (Syah & Purwanti, 2016).

Kerusakan daun (defoliasi) pada tanaman daun bawang akibat serangan larva ulat grayak (Spodoptera litura F) mengganggu proses asimilasi dan pada akhirnya menyebabkan kehilangan hasil panen hingga mencapai 85%, bahkan dapat menyebabkan gagal panen (puso). Pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F) sampai saat ini masih mengandalkan insektisida kimia yang diaplikasikan secara teratur/terjadwal. Oleh sebab itu frekuensi aplikasi insektisida perlu diperhitungkan agar secara ekologi dan ekonomi tindakan pengendalian tidak merugikan karena penggunaan insektisida kimia terjadwal dan berlebihan serta secara terus menerus dapat mematikan populasi musuh alami seperti parasitoid dan predator. Disamping itu, akan menimbulkan masalah resistensi dan resurjensi baik

(19)

hama utama maupun hama lainnya serta mencemari lingkungan (Trisnaningsih, 2009).

Pengendalian Spodoptera litura F dapat dilakukan secara mekanik yang pengendaliannya menggunakan bantuan alat maupun tidak, seperti pengambilan hama menggunakan tangan maupun dengan bantuan alat dan pemasangan alat perangkap (Sudarmo, 2014).

Kelebihan utama penggunaan insektisida alami adalah mudah terurai atau tergradasi secara cepat. Proses penguraiannya dibantu oleh komponen alam, seperti sinar matahari, udara dan kelembaban. Dengan demikian insektisida alami yang disemprotkan beberapa hari sebelum panen tidak meninggalkan residu (Sukrasno, 2003).

Utami (2010), melaporkan bahwa kandungan zat aktif antara biji bintaro dengan bagian daging buah bintaro berbeda konsentrasinya, sehingga memberikan hasil berbeda pula. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikaji efektivitas dari ekstrak buah bintaro yang mengambil bagian daging dan kulit buah bintaro (Cerbera manghas L.) terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura F) untuk membuktikan apakah ekstrak buah bintaro dapat mengendalikan hama dengan efektif.

Penelitian ini menggunakan organ buah dengan hanya mengambil bagian daging dan kulit buahnya, karena ekstrak daging dan kulit buah bintaro dapat dijadikan alternatif untuk mengendalikan hama serangga dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai insektisida nabati. Agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi peneliti, maka dilakukan upaya penginformasian hasil penelitian.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian, yaitu:

1. Bagaimana efektivitas ekstrak buah bintaro terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F)?

2. Tingkat konsentarsi berapa yang efektif terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F)?

(20)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang menjadi tujuan tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

1. Untuk mengetahui efektivitas ekstrak buah bintaro terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F)

2. Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak buah bintaro yang efektif terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F)

1.4. Hipotesis

1. Pemberian ekstrak buah bintaro sebagai pestisida nabati efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura F)

2. Pemberian ekstrak buah bintaro dengan konsentrasi tertentu efektif terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura F)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai:

1. Sumber ilmu pengetahuan di bidang pertanian tentang pengendalian hama yang berwawasan ramah lingkungan.

2. Bagi masyarakat, khususnya untuk petani dalam budidaya tanaman yang terserang ulat grayak (Spodoptera litura F).

3. Informasi tentang pestisida nabati dari ekstrak buah bintaro dapat mengendalikan larva ulat grayak (Spodoptera litura F).

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pestisida Nabati

Umumnya, petani melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida sintetik (kimia) dengan asumsi bahwa pestisida sintetik lebih efektif untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Padahal jika dikaji lebih dalam penggunaan pestisida kimia mempunyai dampak negatif bagi kehidupan baik tanaman, hewan, manusia maupun lingkungan. Hal ini dikarenakan pestisida sintetik (kimia) dapat menimbulkan dampak residu dan mengakibatkan terjadinya pencemaran pada tanah, air dan udara (Sukorini, 2006).

Pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan dasarnya diperoleh dari mahluk hidup seperti organisme laut dan tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa yang berasal dari tumbuhan dapat menyebabkan berbagai macam aktivitas biologi pada serangga seperti penghambat dan penolakan makan, penolakan penularan, mematikan telur (ovisida), menunda proses pergantian kulit, mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan, menyebabkan kematian atau mortalitas (Setiawan, 2017).

Bahan aktif pestisida nabati merupakan produk alam yang berasal dari tanaman yang mengandung metabolit sekunder, yang diperoleh dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, biji, akar dan buah (Setiawan dkk., 2008). Molekul biotoksin yang aktif sebagai biosida digolongkan menjadi dua yaitu: a) golongan alkaloid yang terdiri dari (nikotin, nornikotin, anabasin, solanin, atropin dll.; b) golongan metabolit sekunder yang terdiri dari (pyrethrum kompleks, pirethroid sintetik, rotenon dan rotenoid, quassin, ryanin, phytolaccin, azadirachtin dll.

Keuntungan menggunakan pestisida nabati adalah mudah terurai atau tergradasi secara cepat. Proses penguraiannya dibantu oleh komponen alam, seperti sinar matahari, udara dan kelembaban. Dengan demikian pestisida nabati yang disemprotkan beberapa hari sebelum panen tidak meninggalkan residu (Setiawan, 2017).

Insektisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang, buah atau biji. Bahan-

(22)

bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk, anatar lain berbentuk tepung, ekstrak atau resin. Insektisida nabati merupakan pestisida yang mempunyai fungsi sebagai pengendalin hama dan penyakit yang menyerang tanaman (Organisme Pengganggu Tanaman) karena dari organ tumbuhan tersebut terdapat suatu senyawa tertentu yang dapat mengurangi ataupun menghalau serangga untuk memakan tanaman yang diaplikasikan insektisida nabati atau bahkan dapat mematikan serangga hama tersebut. Pada tahun 40-an sebagian petani di Indonesia telah memamfaatkan bahan nabati sebagai pestisida, diantaranya menggunakan daun sirsak untuk mengendalikan berbagai macam hama yang menyerang tanaman yang dapat dikendalikan secara alami karena tidak menyebabkan racun terhadap organisme yang bukan sasarannya. Pestisida nabati adalah pestisida yang ramah lingkungan serta tanaman-tanaman penghasilnya mudah untuk di budidayakan seperti tanaman serai dan tanaman jahe yang dibuat menjadi bentuk minyak tanaman (Kardinan, 2004).

Insektisida merupakan semua bahan kimia yang dapat membunuh serangga dan menurut perundang-undangan mencakup bahan kimiawi lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku serangga, pertumbuhan, perkembangan, sistem pencernaan, dan sistem hormon yang berujung pada kematian serangga (Gandahusada dkk., 1998).

Cara masuk insektisida nabati ke dalam tubuh serangga ada 3 yaitu: a).

Melalui dinding badan, kulit (kutikula); b). Melalui mulut dan saluran makanan (racun perut); c). Melalui jalan nafas (spirakel) misalnya dengan fumigant (Kardinan, 2003).

2.2. Aktivitas Biologi Pestisida Nabati

2.2.1. Aktivitas penghambat makan (Antifeedants)

Pemilihan inang oleh serangga pemakan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh kadungan senyawa kimia dari tumbuhan tersebut. Serangga dapat mengenali dan merasakan keberadaan senyawa kimia dalam jumlah yang sangat sedikit dalam inang atau makanannya (Rumape dkk., 2018). Senyawa penghambat makan serangga (antifeedant) menurut Ferry dkk., (1997) dalam Rumape dkk., (2018)

(23)

senyawa antifeedant adalah zat kimia yang menyebabkan penolakan makan serangga tidak harus sampai 100% tapi cukup membuat serangga menolak untuk memakan tanaman tersebut. Beberapa senyawa antifeedant merupakan senyawa metabolit sekunder diantaranya alkaloid, terpenoid, quinon, dan flavonoid (Harborne, 1988 dalam Rumape dkk., 2018).

2.2.2. Aktivitas penolakan makan (Revelen)

Para ahli entomologi telah melakukan penelitian mengenai tanggapa rangsangan dan perilaku efek fisiologi saraf terhadap penolakan makan serangga.

Dari hasil penelitian yang dilakukan menjelaskan bahwa serangga memiliki reseptor termasuk kemoreseptor pada antenna, bagian mulut dan tarsus yang dapat mengenali senyawa kimia. Alkaloid spartein menghambat respon gula pada sensila galael Entomoscelis amaricana (Coleopatra: Chrysomelidae) (Mitchell & Sutcliffe 1984 dalam Rumape dkk., 2018), rambut maksila larva Pieris brassicae (Lepidoptera: Pieridae) memiliki reseptor penolak tehadap berbagai macam alkaloid dan terpenoid. Dengan adanya senyawa antifeedant berupa alkaloid akan merangsang reseptor penolak yang menyebabkan serangga menolak untuk makan (Schoonhoven, 1986 dalam Rumape dkk., 2018).

2.2.3. Penarik serangga (Attractants)

Terdapat beberapa jenis zat kimia yang dapat menarik serangga, dimana bau alami dari zat tersebut akan menuntun serangga untuk mencari makan, melakukan perkawinan atau sebagai tempat tinggal. Zat penarik ini dapat digunakan untuk menarik serangga masuk ke dalam perangkap serangga. Ada beberapa jenis zat penarik yang mulai dikembangkan untuk mengendalikan serangga diantaranya feromon, makanan pemikat dan pemikat peneluran (Metcalf & Metcal, 1975 dalam Rumape dkk., 2018).

(24)

2.2.4. Penundaan peneluran (Oviparitas)

Pemilihan tanaman inang yang tepat bagi serangga pemakan tumbuhan (fitopag) untuk peletakan telurnya merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk kelangsungan hidup keturunannya. Dalam pemilihan inang tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik (morfologi) dan faktor kimia tumbuhan. Serangga dapat mengenali tumbuhan tertentu karena adanya senyawa kimia pada tumbuhan tersebut, pada tumbuhan yang sesuai senyawa metabolit sekunder akan merangsang serangga untuk meletakkan telurnya dan pada tanaman yang tidak sesuai atau terdapat senyawa yang tidak diketahui pada tanaman inang akan menghangai serangga untuk meletakkan telurnya (Tabashink, 1985 dalam Rumape dkk., 2018).

Kemampuan imago betina dalam mencari inang untuk meletakkan telur tidak hanya dipengaruhi oleh senyawa kimia dari bagian luar tumbuhan tapi juga dipengaruhi oleh senyawa yang dihasilkan serangga pada kunjungan pertama.

Beberapa senyawa kimia terpenoid memiliki potensi untuk menghambat peneluran Plutella xylostella contohnya poliglodial (Qiu dkk., 1998 dalam Rumape dkk., 2018). Penghambat peneluran serangga tidak hanya dari senyawa asli tapi juga dari ekstatrak tanaman. Ekstrak Azadirachta indica memiliki kemampuan untuk menghambat aktivitas peneluran Plutella xylostella, ekstrak tanaman ini juga dapat menghambat aktivitas peneluran lalat buah Bactroera dorsalis (Diptera:

Tephritidae) (Wiyantono, 1998 dalam Rumape dkk., 2018). Penghambat atau penolakan peneluran serangga dapat mengurangi populasi serangga pada keturunan selanjutnya sehingga populasi serangga hama dapat terus menurun (Rumape dkk., 2018).

2.2.5. Kematian (Mortalitas)

Mortalitas menyatakan kematian individu-individu suatu populasi. Angka kematian ekologik (angka kematian nyata) adalah matinya individu-individu dalam keadaan lingkungan tertentu sedangkan angka kematian minimum menyatakan kematian individu-individu dalam keadaan yang ideal (Dadang dan Prijono,2008).

Angka kematian minimum tersebut terutama disebabkan karena individu- individunya sudah berumur tua. Dalam keadaan yang ideal angka pertumbuhan

(25)

suatu populasi akan mencapai r-max yang menyatakan potensi biotiknya. Nilai ini dapat berguna dalam membandingkan bagaimana strategi suatu spesies dalam reproduksinya. Nilai r-max yang rendah menunjukkan angka kematian yang rendah, sedangkan r-max yang tinggi dalam keadaan alami mungkin berarti bahwa populasi tersebut akan menderita angka kematian yang tinggi (Sunjaya dan Widayanti, 2009).

Ekstrak tumbuhan dapat mengandung senyawa yang bersifat menghambat aktivitas makan serangga atau senyawa yang bersifat toksik. Ada juga tumbuhan yang mengandung dua sekaligus dari senyawa tersebut baik yang bersifat menghambat aktivitas makan dan juga bersifat toksik. Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif piretrin, nikotin dan rotenone diantaranya piretrum, tembakau dan akar tuba. Senyawa aktif piretrin bekerja dengan mengganggu ion channe pada saraf pusat serangga, senyawa aktif retenon bekerja sebagai racun pernafasan, memblokir transport electron di ubiquinone serta dapat mencega proses oksidasi NADPH. Senyawa nikotin menyebabkan keracunan dan kematian yang cepat karena mengganggu sistem respirasi serangga yang mengakibatkan kelumpuhan lalu mati (Rumape dkk., 2018).

2.3. Tanaman Bintaro (Cerbera manghas L.)

Tanaman bintaro memiliki nama latin Cerbera manghas L., termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar dan kepulauan sebelah barat Samudra pasifik. Bintaro adalah tanaman non-pangan atau tidak untuk makan. Disebut Cerbera dikarenakan biji dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang dapat menghambat saluran ion yang disebut Cerberin. Tingkat kematangan buah bintaro memiliki hubungan erat dengan jumlah racun yang terkandung. Buah bintaro pada tingkat kematangan mature atau matang yaitu penampakan warna kulit buah telah lebih dari 50% berwarna merah memiliki kandungan racun yang telah berkurang dibandingkan saat buah masih mentah (Gaillard et al. 2004).

(26)

Menurut Gaillard et al. (2004) taksonomi pada pohon bintaro antara lain adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Sub kingdom : Viridiplantae Infrakingdom : Steptophyta Super divisi : Embryophyta Divisi : Tracheophyta Sub divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Super ordo : Asteranae Ordo : Gentianales Famili : Aphocynaceae Genus : Cerbera L.

Spesies : Cerbera manghas

Gambar 1. (a). Tanaman Bintaro; (b). Buah Bintaro (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tanaman ini memiliki ketinggian mencapai 10-20 meter. Pohon bintaro merupakan tanaman yang memiliki batang tegak, berkayu serta berbintik-bintik hitam. Daun bintaro memiliki ciri-ciri antara lain daun tunggal, berbentuk lonjong tepi daun rata, ujung pangkalnya meruncing dengan ukuran panjang 15-20 cm, lebar 3-5 cm dan berwarna hijau. Bintaro memiliki buah mirip seperti manga kecil saat masih hijau dengan serat batok hijau menutupi biji bulat (Gambar 1) berukuran 2 cm x 1.5 cm dan terdiri dari 2 bagian buah (Hidayat dan Napitupulu, 2015).

a b

(27)

Tanaman bintaro memiliki banyak sekali manfaat walaupun bintaro mengandung racun ceberin yang berbahaya. Ekstrak daun bintaro dapat digunakan sebagai penghambat aktivitas jamur Candida ablican. Ampang kering buah bintaro (daging dan biji buah) dapat diolah menjadi briket arang dan pupuk kompos.

Menurut Yan dkk (2011) bintaro berpotensi sebagai antifungi, insektisida, antioksidatif dan anti tumor. Di dalam ekstrak daun Cerbera manghas L. di duga juga mengandung metabolit sekunder yaitu senyawa fenol dimana senyawa fenol tersebut memiliki fungsi sebagai penolak makan serangga namun bisa juga berfungsi sebagai penstimulir makan pada serangga lain. Buah bintaro juga sering dimanfaatkan sebagai tanaman peneduh jalan (Sa`diyah dkk., 2013).

Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan akan menyebabkan semakin banyak senyawa yang bersifat toksik yang dapat masuk sebagai racun perut dan racun kontak. Konsentrasi berbanding lurus dengan perkembangan, semakin tinggi konsentrasi maka perkembangan serangga uji akan semakin terhambat (Sa‘diyah dkk, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa aktif di antaranya saponim, polifenol, dan tanim yang terkandung pada ekstrak bintaro diduga mampu meracuni dan menghambat metabolisme hama, sehingga menyebabkan kematian hama. Hal ini di dukung oleh penelitian Utami, (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji, buah dan daun bintaro pada kadar terendah 0,125% mengakibatkan mortalitas larva Eureme spp. Sebesar 36,67%. Penelitian Juliati et al., (2016) menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun bintaro 20 g/l air merupakan konsentrasi yang terbaik dalam mengendalikan ulat jengkal dengan hasil waktu awal kematian serangga uji tercepat yaitu 3,00 jam, waktu tercepat mematikan 50% ulat jengkal yaitu 11,25 jam dan mortalitas total sebesar 92,50%.

2.3.1. Kandungan Buah Bintaro (Cerbera manghas L.)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gokok, (2017), tanaman bintaro memiliki efek antifungi dan insektisida. Pada buah bintaro terdapat senyawa cerberin yang merupakan golongan alkaloid yang berperan terhadap kematian larva ngengat Spodoptera litura F senyawa cerberin dapat menyebabkan toksisitas pada

(28)

larva (Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera) sehingga mengganggu kelangsungan hidup larva. Cerberine berbahaya bagi serangga karena dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung (Rohimatun & Sondang, 2011).

Terdapat beberapa zat yang terkandung dalam buah bintaro, diantaranya ialah cerberin yang merupakan senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin.

Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah bintaro memiliki sifat antibakteri, sitotoksik, dan sebagai depresan sistem saraf pusat karena adanya zat alkaloid (Ahmed, et al., 2008). Senyawa saponin yang terapat pada buah bintaro bersifat toksik pada serangga dan dapat menghambat aktivitas makan serangga (Utami, 2010).

Saponin menyebabkan gangguan pada pertumbuhan larva dengan cara menghambat proses pergantian eksoskeleton larva sehingga tidak dapat berkembang ke fase selanjutnya (Chaieb, 2010). Tanin yang terkandung dalam buah bintaro dapat menghambat proses pencernaan makanan karena mengganggu penyerapan dengan mengikat protein di saluran cerna sehingga pertumbuhan dan perkembangan serangga akan terganggu karena kurangnya nutrisi yang dibutuhkan, terutama protein. Hal ini terjadi karena tanin dapat menurunkan aktivitas enzim digestif seperti protease dan amilase (Gokok , 2017).

2.4. Ulat Grayak (Spodoptera litura F)

2.4.1. Klasifikasi Ulat Grayak (Spodoptera litura F)

Ulat grayak (Spodoptera litura F) merupakan salah satu serangga hama yang menyerang berbagai jenis tanaman (Soenandar & Tjachjono, 2012).

Spodoptera litura F merupakan hama pada berbagai tanaman pangan seperti kacang tanah, ketela rambat, cabai, bawang merah, kacang hijau, dan jagung (Pitojo, 2004).

Biasanya dalam jumlah besar ulat grayak bersama-sama pindah dari tanaman yang telah habis dimakan daunnya ke tanaman lainnya (Pracaya, 2005). Ulat grayak termasuk dalam keluarga Noctuidae. Ulat dan ngengat ulat grayak hanya keluar pada malam hari dan bersembunyi pada waktu siang hari (Pracaya, 2008).

(29)

Adapun sistematika klasifikasi Spodoptera litura F adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Sub kingdom : Bilateria Phylum : Arthropoda Sub phylum : Hexapoda Class : Insecta Sub class : Pterygota Order : Lepidoptera Super family : Noctuoidea Family : Noctuidae Subfamily : Noctuinae Genus : Spodoptera

Species : Spodoptera litura F (Sumber: ITIS, 2016).

2.4.2. Morfologi Ulat Grayak (Spodoptera litura F)

Ulat grayak (Spodoptera litura F) merupakan hama yang menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman budidaya. Fase-fase Spodoptera litura F adalah sebagai berikut:

1. Telur Spodoptera litura F

Gambar 2. a). Telur yang berkelompok ditutupi oleh bulu Spodoptera litura F betina;

b). Telur Spodoptera F yang siap menetas (Sumber: Agpest, 2006)

Marwoto dan Suharsono, (2008) menyebutkan bahwa seekor ngengat betina dapat meletakkan 2000-3000 telur. Telur ulat grayak berbentuk hampir bulat yang berukuran sekitar 0,5 mm dengan bagian dasar melekat pada daun dan terkadang tersusun atas dua lapis, berwarna coklat kekuningan, dan diletakkan berkelompok masing-masing 25-500 butir (Mustikawati, 2012). Tiap kelompok telur tertutup

(30)

bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina seperti pada Gambar 2b Lama stadium telur ulat grayak yakni berkisar antara 3-4 hari (Fattah & Ilyas, 2016).

2. Larva (Spodoptera litura F)

(a) (b)

Gambar 3. a). Larva yang baru menetas; b). Larva instar V (Sumber: Edible, 2001)

Fase stadia larva dari ulat grayak terdiri atas 5 instar, dimana stadium larva ini berlangsung kurang lebihnya 22 hari (Lestari dkk, 2013). Larva menggulung diri pada tanaman dengan benang sutra, dalam keadaan istirahat larva berbentuk huruf C (Suryanto, 2010). Larva yang baru muncul sangat aktif bergerak sambil makan dengan cara meraut bagian hijau pada ujung daun dan beristirahat pada tepi daun muda yang digulung sehingga tidak mudah ditemukan. Seperti pada Gambar 3a Instar I mempunyai tubuh berwarna hijau kekuningan, panjang berkisar antara 2,00-2,74 mm (BPTP Jawa Barat, 2015).

Pada larva instar II, tubuh berwarna hijau dengan panjang berkisar antara 3,75-10,00 mm, bulu-bulu tubuh mulai tereduksi dan pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam. Pada bagian dorsal terdapat garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua. Larva instar III memiliki panjang tubuh yang berkisar antara 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh.

Instar keempat dan kelima agak sulit dibedakan. Untuk panjang tubuh instar IV 20-35 mm, pada larva instar IV warna pada ulat grayak dapat bervariasi. Larva instar V memiliki panjang tubuh sampai dengan 50 mm (Balitbang, 2006).

3. Pupa (Spodoptera litura F)

(31)

(a) (b)

Gambar 4. a). Pra – pupa Spodoptera litura F; b). pupa Spodoptera litura F (Sumber: Sa’diyah et al., 2016)

Larva instar terakhir masuk ke dalam tanah, kemudian akan menjadi larva yang tidak aktif (Pra pupa) (Gambar 4.a). Pupa berada dalam tanah dengan ke dalaman 0-3 cm (Rukman, 2003) dan warna coklat kemerahan yang beratnya berkisar 0,341 g per pupa. Pupa berbentuk meruncing ke ujung dan tumpul pada bagian kepala (Mardiningsih & Barriyah., 1995).

4. Imago (Spodoptera litura F)

Gambar 5. Imago Spodoptera litura F (Sumber: Funet, 1995)

menunjukkan bahwa stadium imago berkisar 5-6 hari. Pupa yang ada dalam tanah akan berubah ke fase berikutnya menjadi serangga kupu-kupu (Imago) . Siklus hidup Spodoptera litura F mulai dari telur sampai imago sekitar 30-60 hari (Marwoto dan Suharsono, 2008). Sedangkan Javar et al. (2013), siklus hidup Spodoptera litura F sekitar 29-35 hari.

Ulat grayak (Spodoptera litura F) merupakan salah satu hama daun yang penting karena hama ini bersifat polifag atau memiliki kisaran inang yang luas meliputi tanaman kedelai, tanaman kacang tanah, tanaman kubis, tanaman ubi jalar,

(32)

tanaman kentang dan tanaman lainnya. Hama ini sering mengakibatkan penurunan produktivitas bahkan kegagalan panen karena menyebabkan daun menjadi robek, terpotong-potong dan berlubang. Bila tidak segera diatasi maka daun tanaman di areal pertanian akan habis. Larva yang masih muda yaitu instar1 sampai instar 3 merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa pada epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Berbeda halnya dengan instar 4 sampai instar 6, gejala serangan pada daun tidak meninggalkan transparan atau sisa-sisa bagian epidermis pada bagian atas dan tulang daun, melainkan berbentuk lubang-lubang pada daun dapat dilihat pada Gambar. 6. Jenis tanaman inang sangat mempengaruhi perkembangan populasi dan lama hidup S. litura. Tanaman inang yang sesuai akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta kelangsungan hidup serangga.

Sebaliknya tanaman inang yang tidak sesuai akan meningkatkan mortalitas. Hal ini sesuai hasil penelitian Lestari (2013), lama hidup dalam satu generasi S. litura lebih tinggi pada tanaman murbei (36,99 hari) dibandingkan pada tanaman kacang hijau (33,64 hari). Varietas Willis dan L17 mengandung nutrisi yang tinggi, sehingga memberi laju pertumbuhan relatif (RGR) yang maksimum pada instar 6 ulat grayak.

Gambar 6. Serangan S. litura pada tanaman bawang daun (Sumber: Fattah, 2016).

Ulat grayak yang masih muda yaitu instar 1 sampai instar 3 berwarna kehijauan, sedangkan ulat grayak instar 4 sampai instar 6 berwarna kecoklatan atau abu-abu gelap dan berbintik-bintik hitam serta bergaris keputihan. Stadium telur pada serangga ini adalah selama 3 hari kemudian dilanjutkan dengan larva instar I yang ditandai dengan tubuh larva yang berwarna kuning dengan terdapat bulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2 -0,3 mm, lama instar I adalah 5-6 hari. Dilanjutkan dengan larva instar II yang ditandai dengan tubuh berwarna hijau

(33)

dengan panjang 3,75 – 10 mm, bulu-bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal, terdapat garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua, instar II ini berlangsung selama 3-5 hari. Larva instar III memiliki panjang tubuh 8-15 mm dengan lebar kepala 0,5 -0,6 mm. pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh, instar III ini berlangsung selama 3-6 hari. Mulai instar IV warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan, hijau kekuningan, atau hijau keunguan. Panjang tubuh 13 -20 mm dan berlangsung selama 3-5 hari (Lestari, 2013).

2.4.3. Nutrisi pertumbuhan Spodoptera litura F

Spodoptera litura F merupakan serangga polifag, perbedaan morfologi dan zat kimia antara tanaman inang kemungkinan dapat mengganggu biologi dan perilaku Spodoptera litura F. Perbedaan jenis pakan akan berpengaruh terhadap kinerja serangga. Kinerja maksimum serangga herbivora, khususnya larva pemakan daun sangat berhubungan dengan kualitas dan kuantitas pakannya. Kualitas makanan ditentukan oleh metabolit sekunder dan nutrisi (protein, lipid, karbohidrat,abu, serat kasar, air dan nitrogen). Perbedaan ukuran tubuh Spodoptera litura F dipengaruhi oleh tanaman inang yang berbeda dan mungkin saja dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Montezano et al., (2014) melaporkan bahwa perkembangan imago S. eridania dipengaruhi oleh jenis tanaman inang dan pakan buatan.

Pannizi dan Parra (2009), menyebutkan bahwa serangga membutuhkan nutrisi dari pakannya untuk berkembang secara normal sampai imago sehingga nutrisi sangat penting pada saat larva instar I. Serangga menunjukkan kinerja yang lebih baik apabila pakan yang mengandung protein dan karbohidrat mudah dicerna serta seimbang dan melebihi konsentrasi tinggi (Gall & Behmer, 2014).

Serangga membutuhkan karbohidrat, protein dan serat secukupnya untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Karbohidrat bisa teroksidasi untuk menghasilkan energi, polimernya berperan sebagai molekul penyimpanan energi

(34)

dan turunannya ditemukan dalam sejumlah molekul biologis termasuk koenzim dan asam nukleat (Hasan et al., 2011). Kebutuhan karbohidrat pada tahap imago adalah kunci penting untuk meningkatkan umur imago untuk spesies Lepidoptera. (Kursar et al., 2006) menyebutkan bahwa pertumbuhan lepidoptera lebih lambat apabila diberi daun yang jumlah serat kasarnya lebih tinggi dan proteinnya kurang. Kualitas makanan disebut sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stadia perkembangan sampai imago (Esperk et al., 2007). Selain itu imago bergantung pada sumber nutrisi tambahan seperti gula, protein, karbohidrat dan lipid untuk memaksimalkan pertumbuhannya dan kemampuan reproduksinya (Milano et al., 2010).

Kekurangan nutrisi pada saat larva akibat kandungan nutrisi tanaman yang tidak mencukupi bagi larva dapat mempengaruhi pertumbuhan dan umur larva.

Namun, setelah imago muncul, imago diberi larutan madu yang dapat menggantikan kekurangan nutrisi (Cabezas et al., 2013). Perbedaan waktu perkembangan disebabkan oleh perbedaan tanaman inang yang dikonsumsi oleh larva yang mungkin juga berbeda pada metabolit primer dan sekunder (Samira et al., 2011). Menurut Xue et al. (2010), larva yang diberi makan tanaman inang dapat mempengaruhi ukuran pupa. Apabila larva diberi makan tanaman inang yang sama atau tanaman inang yang berbeda ukuran pupa jantan dan betina secara signifikan akan berbeda.

(35)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni 2022 yang di laboratorium Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buah bintaro, larva ulat grayak, kapas, aquades, kertas tisu, pasir dan madu. Sedangkan alat yang digunakan yaitu blender, stoples, saringan, botol plastik, alat tulis, kain furing, kamera ponsel, timbangan analitik, gelas ukur, pinset, kayu balok, gergaji, paku, penggaris, martil, jarring kelambu, spanduk bekas, karet gelang, parang, lem perekat dan hand sprayer.

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), Konsentrasi ekstrak buah bintaro yang digunakan yaitu:

B0 = Kontrol

B1 = Ekstrak buah bintaro 30% (30 ml ekstrak buah bintaro + 70 ml air) B2 = Ekstrak buah bintaro 50% (50 ml ekstrak buah bintaro + 50 ml air) B3 = Ekstrak buah bintaro 70% (70 ml ekstrak buah bintaro + 30 ml air) B4 = Ekstrak buah bintaro 90% (90 ml ekstrak buah bintaro + 10 ml air)

Jumlah total satuan percobaan sebanyak 25 dengan kontrol, di dapat dari 5 perlakuan kemudian di ulang sebanyak 5 kali.

(36)

Model linear aditif:

Yij = μo + αj + ∑ ij Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i yang mendapat perlakuan ekstrak buah bintaro pada taraf ke-j

µo = Pengaruh nilai tengah (NT)

αj = Pengaruh perlakuan ekstrak buah bintaro taraf ke-j

Ʃij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan taraf ke-j dan ulangan ke-i

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Tempat Pemeliharaan (Rearing) Ulat Grayak (Spodoptera litura F)

Tahapan pembuatan tempat pemeliharaan ulat grayak (Spodoptera litura F) adalah sebagai berikut:

1. Kayu balok dipotong sesuai ukuran yang digunakan (Panjang 100 cm; lebar 70 cm; tinggi 100 cm)

2. Merakit kayu menjadi bentuk kotak. Setelah kerangka kotak selesai di lapisi menggunakan jaring kelambu pada sisi atas dan sisi samping kotak sedangkan pada sisi bawah dilapisi menggunakan spanduk bekas dan memberi satu celah pintu pada salah satu sisi kotak agar memudahkkan tangan keluar masuk pada pemberian pakan pada larva maupun imago.

(37)

3.4.2. Pengambilan ulat grayak (Spodoptera litura F) dari lapangan

Larva ulat grayak (Spodoptera litura F) terlebih dahulu di cari di lapangan.

Larva Spodoptera litura F di ambil dari tanaman bawang daun di Jl. Misik Desa Kalampangan Kecamatan Sebangau Kota Palangka Raya. Larva Spodoptera litura F di cari sebanyak-banyaknya, kemudian diberi pakan bawang daun agar tidak mati sebelum di uji dimasukkan kedalam stoples kemudian di tutup menggunakan kain kasa dan direkatkan menggunakan karet gelang.

3.4.3. Perbanyakan ulat grayak (Spodoptera litura F)

Perbanyakan ulat grayak (Spodoptera litura F) dilakukan dengan beberapa tahap yaitu:

1. Kotak diisi dengan pasir yang sudah diayak terlebih dahulu dengan ketinggian 5 cm kemudian dilapisi dengan kertas tissu di atasnya.

2. Larva Spodoptera litura F di masukkan kedalam kotak dan diberikan pakan bawang daun setiap harinya serta mengganti pakan apabila pakan hampir habis serta mengganti alas kertas tissu apabila kertas basah atau terlalu lembab.

3. Jika larva Spodoptera litura F akan menjadi pupa, maka larva akan berhenti makan dan larva akan masuk kedalam pasir halus yang ada di bawah kertas.

Jika Spodoptera litura F sudah masuk kedalam pasir maka sisa pakan yang ada di dalam kotak perlu dibersihkan dan mengangkat/sisihkan kertas tissue penutup pasir.

4. Pada hari ke tujuh-sepuluh setelah ulat masuk kedalam pasir pupa akan berubah menjadi ngengat. kotak di beri kapas yang telah berikan cairan madu. Imago S.litura nantinya akan terbang ke kapas yang sudah di aplikasikan madu.

5. Memasukkan pakan sebagai tempat imago Spodoptera litura F menyimpan telurnya. Jika imago sudah bertelur, maka telur dipindahkan kedalam stoples agar memudahkan dalam pengamatan dan diberikan pakan bawang daun. Saat larva Spodoptera litura F sudah memasuki instar III, siap untuk diberi perlakuan.

(38)

3.4.4. Persiapan Ekstrak Buah Bintaro

Buah bintaro yang berwarna hijau, berukuran sedang dengan beratrata-rata 110, 51 gram, belum memiliki serat seperti serabut kelapa dan segar di petik langsung dari pohonnya, kemudian di bersihkan dan dibiarkan sehari agar getah yang terdapat pada buah berkurang. Kemudian buah bintaro di pisahkan bagian daging buah dan biji. Daging buah bintaro di timbang sebanyak 500 gram, kemudian dipotong kecil-kecil dan di haluskan menggunakan blender. Buah bintaro di blender menggunakan air sebanyak 500 ml kemudian dimasukkan kedalam toples plastik dan ditutup, kemudian diendapkan selama 24 jam. Setelah 24 jam pisahkan ampas dengan larutan ekstrak menggunakan kain saring. Kemudian masing-masing ekstrak dibagi berdasarkan konsentrasi perlakuan yang diperlukan lalu di campur dengan air aquades.

3.4.5. Aplikasi Ekstrak Buah Bintaro

Ekstrak buah bintaro yang sudah dipisahkan dari ampas dicampur sesuai konsentrasi yang digunakan yaitu 0% (kontrol), 30%, 50%, 70%, 90%. Kemudian di aplikasikan dengan cara disemprot sebanyak 3 kali (2 ml) pada pakan bawang daun (20 gram). Jika bawang daun sudah diaplikasikan pestisida nabati kemudian larva Spodoptera litura F dimasukkan kedalam stoples. Masing-masing perlakuan menggunakan 10 ekor larva Spodoptera litura F instar III yang dipuasakan terlebih dahulu selama 1 jam serta di ulang sebanyak 5 kali dengan 5 perlakuan jumlah keseluruhan ulat grayak 250 ekor larva Spodoptera litura F. Aplikasi insektisida nabati dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu 2 hari sekali. Pengaplikasian pestisida nabati dilakukan pada jam 08.00 WIB. Pengamatan dilakukan dilakukan setiap 24 jam setelah aplikasi.

(39)

3.5. Variabel Pengamatan 3.5.1. Mortalitas

Menurut Puntener dalam Martono E (1999) mortalitas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

M= 𝑎

𝑏 𝑥 100%

Keterangan:

M :Mortalitas

a : Jumlah larva yang mati dalam setiap perlakuan b : Jumlah setiap larva dari setiap perlakuan

3.5.2. Uji Efikasi (Daya Bunuh)

Efikasi suatu jenis pestisida di tentukan oleh kemampuannya dalam membunuh hama sasaran. Data hasil pengamatan digunakan untuk menghitung efikasi insektisida yang di uji (Laba, 2012) yaitu:

EI = 𝑏−𝑘

100−𝑘 x 100 % Keterangan:

EI= Efikasi Insektisida

b = Jumlah Persentase individu yang mati pada perlakuan k= Persentasi individu yang mati pada control

Untuk menentukan keefektifan insektisida nabati ditentukan berdasarkan kriteria nilai efikasi. Jika nilai efikasi insektisida ≥50% maka insektisida bersifat efektif terhadap hama sasaran, sebaliknya tidak efektif bila nilainya <50% (Laba, 2012).

(40)

3.6. Analisis Data

Data yang di peroleh di analisis dengan analisis ragam (Anova) dengan menggunakan uji F taraf α = 5%, apabila terdapat beda nyata di lanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf α = 5% untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan.

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Mortalitas Harian Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F)

Berdasarkan hasil analisis ragam (Anova) dengan menggunakan uji F taraf α = 5% menunjukkan berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap mortalitas hama ulat grayak (Spodoptera litura F). Pada hari pertama, ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5 menunjukkan tidak berpengaruhnyata pada terhadap mortalitas hama ulat grayak (Spodoptera litura F) akan tetapi pada hari ke-6, ke-7 dan ke-8 menunjukkan berpengaruh nyata dan sangat nyata. Rata-rata presentase mortalitas larva ulat grayak (Spodoptera litura F) pada hari ke-1 sampai hari ke-8 setelah aplikasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Persentase Mortalitas Harian Ulat Grayak (Spodoptera litura F) (Spodoptera litura F) Pengamatan Hari Ke-1 Sampai Hari Ke-8 (HSA)

Perlakuan Mortalitas Ulat Grayak (%)

1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA 7 HSA 8 HSA

B0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 a 0,00 a 0,00 a

B1 0,00 4,00 4,00 6,00 12,00 16,00 ab 24,00 ab 38,00 b

B2 0,00 2,00 2,00 8,00 16,00 26,00 ab 32,00 ab 44,00 b

B3 4,00 10,00 12,00 20,00 24,00 32,00 ab 38,00 b 52,00 b B4 0,00 16,00 16,00 26,00 32,00 40,00 b 48,00 b 56,00 b

BNJ 5% - - - - - 34,34 32,56 32,17

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% menurut Uji BNJ

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ α = 5% pada pengamatan ke-6 setelah aplikasi dapat dilihat pada perlakuan B0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan B1, B2, B3 akan tetapi berbeda nyata pada perlakuan B4. Pada pengamatan ke-7 setelah aplikasi dapat dilihat bahwa perlakuan B0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan B1 dan perlakuan B2, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan B3 dan B4. Pada pengamatan ke-8 setelah aplikasi dapat dilihat bahwa antar perlakuan ekstrak buah bintaro B1, B2, B3 dan B4 tidak berbeda nyata. Berdasarkan data pengamatan pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa presentase mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura F) tertinggi terdapat pada perlakuan B4 pada hari ke-8 dengan presentase mortalitas sebesar 56%. Hal ini terjadi dikarenakan larva kekurangan nutrisi yang diperlukan

(42)

untuk memenuhi siklus hidupnya serta efek yang diakibatkan dari senyawa yang terkandung didalam ekstrak buah bintaro yang dapat merusak saluran pencernaan larva tersebut.

Maka berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui bahwa semakin tinggi jumlah konsentrasi ekstrak buah bintaro yang diberikan maka akan mempercepat dan memperbanyak jumlah kematian (mortalitas) larva S.litura. Sehingga hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak buah bintaro dapat dijadikan sebagai insektisida.

Menurut Yulianti (2018) efektivitas pestisida nabati dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu dan kelembaban. Disamping itu perkembangan larva S.litura tergantung pada kondisi lingkungannya. Menurut (Amin dkk, 2016) suhu optimum larva ulat grayak bertahan hidup yaitu dengan suhu minimum 15 0C, suhu optimum yaitu sebesar 25 0C dan suhu maksimum yaitu sebesar 45 0C. Dari hasil pengukuran suhu ruangan penelitian bahwa suhu ruangan berada diatas 27 oC dan di bawah 32 oC. Ulat grayak dikenal memiliki ketahanan yang baik terhadap kelembaban yang tinggi. Menurut (Amin dkk, 2016) kelembaban optimum untuk larva ulat grayak yaitu 80%. Dari hasil pengukuran kelembaban ruangan bahwa rata-rata kelembaban ruangan per hari 53% - 67%. Dapat disimpulkan bahwa suhu dan kelembaban ruang penelitian tidak mempengaruhi tingkat mortalitas S.litura.

(43)

Gambar 7. a). Larva S.litura sehat; b). Larva S.litura mati (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Larva ulat grayak (Spodoptera litura F) yang sudah mati dapat dilihat dengan gejala yang tidak memberikan respon jika disentuh menggunakan alat bantu seperti pinset, tubuh larva lembek, jika disentuh mudah pecah dan mengeluarkan cairan dengan aroma yang sangat menyengat dari bagian dalam tubuh larva dan warna pada larva berubah menjadi coklat kehitaman dapat dilihat pada Gambar 7b.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gokok (2017), tanaman bintaro memiliki efek antifungi dan insektisida. Pada buah bintaro terdapat senyawa cerberin yang merupakan golongan alkaloid yang berperan terhadap kematian larva ngengat Spodoptera litura F senyawa cerberin dapat menyebabkan toksisitas pada larva (Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera) sehingga mengganggu kelangsungan hidup larva. Cerberine berbahaya bagi serangga karena dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung (Rohimatun dan Sondang, 2011).

24 jam setelah pengaplikasian ekstrak buah bintaro gejala yang dapat diamati pada larva S.litura yang sudah mati adalah tidak bergerak ketika diberikan ransang dan tubuh menjadi lebih gelap (coklat kehitaman) dari sebelumnya serta terkadang tubuh mengeluarkan cairan dengan aroma yang sangat menyengat.

a a

b a

(44)

4.2. Efikasi (Daya Bunuh) Ekstrak Buah Bintaro

Berdasarkan data hasil dari mortalitas bahwa keefektifan ekstrak buah bintaro sangat efektif untuk membunuh larva ulat grayak (Spodoptera litura F) seperti yang disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8. Grafik Tingkat Keefektivan Ekstrak Buah Bintaro Terhadap Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F) (B0- = 0%; B1 = 38%; B2 = 44%;

B3 = 52%; B4 = 56%)

Berdasarkan Gambar 8., nilai efikasi (daya bunuh) ekstrak buah bintaro didapatkan dengan cara menghitung presentase mortalitas pada kontrol dan presentasi mortalitas pada masing-masing perlakuan. Pada umumnya nilai presentasi efikasi yang dianggap baik berada diatas 50%. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi mortalitas larva ulat grayak maka semakin tinggi konsentrasi ekstrak buah binatro yang di aplikasikan. Pengamatan terhadap efikasi ekstrak buah bintaro dilakukan selama 8 hari. Gejala pada ulat grayak (Spodoptera litura F) setelah pemberian/pengaplikasian ekstrak buah bintaro mulai terlihat pada 12 jam setelah aplikasi. Gejala larva ulat grayak (Spodoptera litura F) yang terinfeksi ekstrak buah bintaro ditandai dengan kulit larva menjadi sangat rapuh dan menjadi lunak, pergerakan larva mulai kurang aktif dan lambat, dan selera makan larva yang berkurang bahkan akan berhenti makan, warna pada kulit larva berubah menjadi hitam sehingga terlihat gosong, larva akan mudah pecah saat tersentuh, dan

0.00

38.00

44.00

52.00

56.00

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

EFIKASI (%)

B0- B1 B2 B3 B4

Ef ik asi (% )

PERLAKUAN (KONSENTRASI)

(45)

bangkai larva semakin lama semakin mengering. Dan semakin besar larva mati pada hari ke-8 setelah aplikasi. Perlakuan B4 mengalami kematian larva ulat grayak tertinggi dengan presentase sebesar 56% dan diikuti perlakuan B3 dengan persentase sebesar 52%.

Sejalan dengan Penerapan teknik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai dengan Inpres No. 3 Tahun 1986 tentang perlindungan tanaman, maka alternatif yang perlu dikembangkan adalah pestisida nabati yang merupakan produk alam yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan residu. Pestisida nabati lebih tidak mengganggu keseimbangan alam dikarenakan memiliki sifat resurjensi dan resistensi yang lebih rendah dibandingkan pestisida kimia, tidak menimbulkan kematian dan toksisitas terhadap serangga berguna seperti penyerbuk, mudah dibudidayakan, dan residu pestisida nabati rendah serta mudah terurai di alam (Mitra Agro Melodi, 2005). Hal inilah yeng membuat pestisida nabati tergolong ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem (Glio, 2015).

(46)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Ekstrak buah bintaro efektif dalam mengendalikan larva ulat grayak (Spodoptera litura F) skala in-vitro dengan persentase nilai efikasi (daya bunuh) sebesar 56%.

b. Konsentrasi yang efektif terhadap mortalitas larva ulat grayak yaitu pada perlakuan B4 sebesar 56%

5.2. Saran

Disarankan perlu adanya uji lanjut penelitian skala laboratorium dengan menggunakan bahan perekat alami yang dapat menambah keefektifan ekstrak buah bintaro agar tidak mudah menguap terhadap mortalitas ulat grayak.

Gambar

Gambar 1. (a). Tanaman Bintaro; (b). Buah Bintaro  (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 2. a). Telur yang berkelompok ditutupi oleh bulu Spodoptera litura F betina;
Gambar 3. a). Larva yang baru menetas; b). Larva instar V  (Sumber: Edible, 2001)
Gambar 4. a). Pra – pupa Spodoptera litura F; b). pupa Spodoptera litura F  (Sumber: Sa’diyah et al., 2016)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena biji bengkuang mengandung bahan insektisida dan aman bagi lingkungan maka dilakukan penelitian untuk melihat mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura F.) dalam

Adapun judul skripsi ini adalah “Daya Predasi Cecopet (Forficula auricularia) (Dermaptera : Nisolabididae) Pada Berbagai Instar Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

BEBERAPA PESTISIDA NABATI YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENGENDALIKAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura) PADA TANAMAN TEMBAKAUA.

Mekanisme Infeksi Spodoptera litura Multiple Nucleopolyhedrosis Virus (SpLtMNPV) Pada Sel Line Epithel Usus Ulat Grayak (Spodoptera litura) Dra Mahanani Tri Asri, M Si Guntur Trimulyono,

grayak yaitu dengan cara mengamati jumlah rata-rata larva ulat grayak yang mati setelah diberikan perlakuan selama 7 hari dan dihitung persentasenya.. Intensitas

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul : Pemanfaatan Limbah Batang Tembakau Untuk Pengendalian Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F.),

Tanaman selada yang ditanam di Ciwidey sering terserang hama, salah satunya yaitu ulat grayak (Spodoptera litura). Ulat grayak menyerang tanaman dengan memakan

Efektivitas pengaruh ekstrak daun bintaro terhadap ulat grayak dilakukan dengan mengamati waktu berhenti makan (time of stop feeding) dan mortalitas (tingkat