KEAWETAN ALAMI LIMA JENIS KAYU HTI YANG
TUMBUH DI SUMATERA UTARA TERHADAP SERANGAN
MARINE BORER
SKRIPSI
ALENDO LIUNARTA BUDIMAN
051203026/TEKNOLOGI HASIL HUTAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Keawetan Alami Lima Jenis Kayu HTI yang Tumbuh di Sumatera Utara Terhadap Serangan Marine Borer Nama Mahasiswa : Alendo Liunarta Budiman
NIM : 051203026
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Evalina Herawati S. Hut, M. Si Ridwanti Batubara S. Hut, MP
Menyetujui,
Ketua Departemen Kehutanan
Alendo Liunarta Budiman Natural durability of Five Species of HTI Wood
Whoes Grew Up in North Sumatera on Marine Borer. Supervised by Evalina Herawati S. Hut, M. Si and Ridwanti Batubara S. Hut, MP.
ABSTRACT
The objective of this research to know the species of Marine Borer and to know the natural durability of five species of HTI (Plant Forest Industry) wood which has grown in North Sumatera on Marine Borer. The study was conducted at seashore harbour at the ocean of Belawan Medan using wood samples measuring 30 cm length, 5 cm width, and 2.5 cm height. The samples were randomly arranged using rope immersed in the shore and observed after three months. Wood feed in seashore harbour for three months in deeps 0 metre, 1 metre and 2 metre underneath at the ocean moment low decrease with distance between of connection ten centimetre. The result of research indicates that all of sample attack by marine borers. The Marine Borers, found at Belawan seashore Medan consist of family Ballonoidae species Balanus sp, family Potamididae species Telescopoium, family Portunidae species Cardisoma carnifex dan family Nereididae species Nereis sp.
Alendo Liunarta Budiman Keawetan Alami Lima Jenis Kayu HTI yang
Tumbuh di Sumatera Utara Terhadap Serangan Marine Borer. Di bawah bimbingan Evalina Herawati S. Hut, M. Si dan Ridwanti Batubara S. Hut, MP.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis penggerek kayu di laut yang menyerang lima jenis kayu HTI (Hutan Tanaman Industri) yang tumbuh di Sumatera Utara dan mengetahui keawetan alami lima jenis kayu tersebut. Masing-masing jenis kayu (mahoni, sengon, karet, pinus, ekaliptus) dibuat contoh uji berukuran 2,5 cm x 5 cm x 25 cm, dengan tiga ulangan, dirangkai menggunakan tali. Kayu diumpankan di perairan pelabuhan laut Belawan Medan selama tiga bulan pada kedalaman 0 meter, 1 meter, dan 2 meter di bawah permukaan laut pada saat surut terendah dengan jarak antar rangkaian sepuluh sentimeter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua contoh uji mendapat serangan ringan. Nilai intensitas serangan terkecil terdapat pada kayu ekaliptus, sedangkan nilai intensitas serangan paling besar terdapat pada kayu karet. Penggerek kayu yang ditemuka n terdiri atas famili Ballonoidae jenis Balanus sp, famili Potamididae jenis Telescopoium, famili Portunidae jenis Cardisoma carnifex dan famili Nereididae jenis Nereis sp.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 Januari 1987 dari ayahanda
(Alm) Syafli Adri dan ibunda Siti Umi kulsum. Penulis merupakan anak kedua
dari empat bersaudara.
Pendidikan formal yang ditempuh selama ini :
1. Pendidikan Dasar di SD Negeri Cilendek I Bogor, lulus tahun 1999
2. Pendidikan Lanjutan di SLTP Negeri 7 Bogor, lulus tahun 2002
3. Pendidikan Menengah di SMA Negeri 10 Bogor, lulus tahun 2005
4. Tahun 2005 lulus ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis pernah melakukan Praktik Pengenalan Pengolahan Hutan (P3H)
pada 2 lokasi yang berbeda yaitu di Hutan Mangrove Batubara dan Hutan
Pegunungan Lau Kawar (Sinabung). Selain itu penulis juga pernah melaksanakan
Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten KPH
Banten dan diakhir kuliah penulis melaksanakan penelitian dengan judul
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkah dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini tepat pada waktu
yang telah ditentukan dan shalawat beriring salam kepada Rasulullah SAW
semoga di hari kelak kita mendapatkan syafaatnya. Judul dari penelitian ini adalah
Keawetan Alami Lima Jenis Kayu HTI yang Tumbuh di Sumatera Utara Terhaadap Serangan Marine borer.
Dalam penyusunan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak sehingga
memberikan kesan yang berarti di hati penulis. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda tercinta (Alm) Syafli Adri yang telah banyak memberikan arti
kehidupan, semangat, kasih sayang dan motivasi kepada penulis dan
Ibunda tercinta Siti Umi Kulsum yang telah membimbing penulis selama
ini dan memberikan semangat, dorongan baik secara material dan spiritual
serta Kakak Aprilio Biliun Nuron dan Adinda Meidisa Tri Utami dan Dea
Nitami Syafira yang telah menjadi motivasi penulis untuk segera
menyelesaikan pendidikan S-1 penulis.
2. Paman Kol (Purn) drg. Shenides Yustizam dan Bibi tercinta Prof. drg. Lina
Natamiharja SKM yang telah memberikan bantuan baik secara moril
maupun materil.
2. Ibu Evalina Herawati, S.Hut, M.Si dan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP
masukan yang sangat bermanfaat selama penulis menyelesaikan penelitian
dan penulisan skripsi ini.
Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membutuhkannya dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Medan, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Tinjauan Jenis Kayu Penelitian... 8
Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq) ... 8
Sengon (Parasianthes falcataria (L) Nielsen) ... 9
Karet (Hevea brasiliensis) ... 10
Pinus (Pinus merkusii jungh. Et de Vriese) ... 11
Ekaliptus (Eucalyptus urophylla ST. Blake) ... 12
Selulosa dan Silika pada Kayu ... 14
Pengukuran Kerapatan Contoh Uji ... 17
Pengumpanan Contoh Uji ... 18
Pengamatan dan Pengumpulan Data ... 18
yang Tumbuh di Sumatera Utara Terhadap Serangan Marine Borer ... 27
Intensitas Serangan ... 28
Hubungan Intensitas Serangan dengan Kerapatan... 30
Hubungan Intensitas Serangan Penggerek Kayu di Laut dengan Kadar Silika dan Kadar Selulosa... 32
Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Penggerek Kayu di Laut... 35
Salinitas ... 35
Suhu ... 36
Gerakan air ... 36
Cahaya ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 39
Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Intensitas Serangan Organisme Penggerek Kayu di Laut ... 19
2. Nilai rata-rata Intensitas Serangan Penggerek Kayu di Laut pada
Kedalaman yang Berbeda ... 29
3. Kerapatan Lima Jenis Kayu yang Diuji ... 31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Lokasi Pengumpanan Contoh Uji di Perairan Belawan Medan ... 16
2. Skema Rangkaian Contoh Uji dalam Proses Pengumpanan ... 18
3. Balanus sp ... 21
4. Serangan Balanus sp pada Kayu Contoh Uji... 21
5. Telescopium ... 23
6. Serangan Telescopium pada Kayu Contoh Uji ... 23
7. Cardisoma carnifex ... 24
8. Nereis sp ... 26
9. Bentuk serangan Nereis sp ... 26
10. Hubungan Kadar Silika dengan Intensitas Serangan ... 33
LAMPIRAN
Alendo Liunarta Budiman Natural durability of Five Species of HTI Wood
Whoes Grew Up in North Sumatera on Marine Borer. Supervised by Evalina Herawati S. Hut, M. Si and Ridwanti Batubara S. Hut, MP.
ABSTRACT
The objective of this research to know the species of Marine Borer and to know the natural durability of five species of HTI (Plant Forest Industry) wood which has grown in North Sumatera on Marine Borer. The study was conducted at seashore harbour at the ocean of Belawan Medan using wood samples measuring 30 cm length, 5 cm width, and 2.5 cm height. The samples were randomly arranged using rope immersed in the shore and observed after three months. Wood feed in seashore harbour for three months in deeps 0 metre, 1 metre and 2 metre underneath at the ocean moment low decrease with distance between of connection ten centimetre. The result of research indicates that all of sample attack by marine borers. The Marine Borers, found at Belawan seashore Medan consist of family Ballonoidae species Balanus sp, family Potamididae species Telescopoium, family Portunidae species Cardisoma carnifex dan family Nereididae species Nereis sp.
Alendo Liunarta Budiman Keawetan Alami Lima Jenis Kayu HTI yang
Tumbuh di Sumatera Utara Terhadap Serangan Marine Borer. Di bawah bimbingan Evalina Herawati S. Hut, M. Si dan Ridwanti Batubara S. Hut, MP.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis penggerek kayu di laut yang menyerang lima jenis kayu HTI (Hutan Tanaman Industri) yang tumbuh di Sumatera Utara dan mengetahui keawetan alami lima jenis kayu tersebut. Masing-masing jenis kayu (mahoni, sengon, karet, pinus, ekaliptus) dibuat contoh uji berukuran 2,5 cm x 5 cm x 25 cm, dengan tiga ulangan, dirangkai menggunakan tali. Kayu diumpankan di perairan pelabuhan laut Belawan Medan selama tiga bulan pada kedalaman 0 meter, 1 meter, dan 2 meter di bawah permukaan laut pada saat surut terendah dengan jarak antar rangkaian sepuluh sentimeter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua contoh uji mendapat serangan ringan. Nilai intensitas serangan terkecil terdapat pada kayu ekaliptus, sedangkan nilai intensitas serangan paling besar terdapat pada kayu karet. Penggerek kayu yang ditemuka n terdiri atas famili Ballonoidae jenis Balanus sp, famili Potamididae jenis Telescopoium, famili Portunidae jenis Cardisoma carnifex dan famili Nereididae jenis Nereis sp.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu merupakan hasil hutan dari sumber kekayaan alam, merupakan
bahan mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai kemajuan
teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus, yang tidak dapat ditiru oleh
bahan-bahan lain. Pengertian kayu disini adalah sesuatu bahan, yang diperoleh
dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan, yang merupakan bagian dari pohon
tersebut, setelah diperhitungkan bagian-bagian mana yang lebih banyak dapat
dimanfaatkan untuk sesuatu tujuan penggunaan, baik berbentuk kayu
pertukangan, kayu industri maupun kayu bakar (Dumanauw, 1990).
Beberapa sifat kayu yang menguntungkan adalah tersedia hampir di
seluruh bagian dunia, mudah diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran, relatif
mudah pengerjaannya, serta sangat dekoratif penampilannya. Akan tetapi kayu
juga memiliki kelemahan yaitu dapat dirusak oleh berbagai faktor baik biologis,
fisik, mekanis maupun kimia. Kenyataan menunjukkan dari keempat faktor
tersebut ternyata yang paling banyak menimbulkan kerusakan terhadap kayu
adalah jamur, bakteri, serangga dan binatang laut (marine borer). Jasad hidup
tersebut merusak karena mereka menjadikan kayu sebagai tempat tinggal (shelter)
atau sebagai makanannya (Haygreen and Bowyer, 1989).
Pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) merupakan salah satu
program pembangunan kehutanan Indonesia yang diprioritaskan dan bertujuan
untuk memenuhi permintaan pasar kayu yang tidak mungkin lagi terpenuhi
dengan hanya mengandalkan pasokan kayu yang berasal dari hutan alam saja.
dalam program HTI, mengingat pertumbuhannya yang cepat dan kegunaannya
sebagai bahan baku industri pulp, kertas, dan rayon. Selain itu kayu-kayu tersebut
juga juga dapat digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan, antara lain untuk
bangunan dibawah atap, kusen pintu dan jendela, serta kayu lapis. Jenis kayu lain
yang dikembangkan dalam program Hutan Tanaman Industri ialah Mahoni dan
Karet. Kayu Mahoni dan Karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan
rumah, kayu lapis, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah
tangga (Sitepu, 2008).
Keawetan suatu jenis kayu ditentukan oleh berbagai hal antara lain lokasi
dimana kayu tersebut digunakan. Sebagai contoh, jenis kayu yang sama apabila
dipakai di dataran rendah dan dataran tinggi maka keawetannya berbeda.
Keawetan yang digunakan di bawah atap dan di luar sangat berbeda, begitu pula
kayu yang dipakai di darat dan di laut. Perbedaan ini terjadi karena jenis
organisme yang menyerangnya berlainan. Suatu jenis kayu yang awet terhadap
rayap belum tentu awet pula terhadap organisme laut penggerek kayu. Sebagai
contoh Jati (Tectona grandis L.f) yang diuji secara kubur (graveyard) dan secara
laboratorium termasuk kelas awet II yang dapat tahan sampai 7 tahun. Akan tetapi
apabila diuji di laut, dalam waktu 3 bulan sudah tampak adanya serangan
organisme perusak kayu, perbedaan tersebut terjadi akibat adanya zat ekstraktif
dalam kayu Jati yang dapat menolak rayap (Muslich dan Sumarni, 1989).
Kota Medan yang memiliki pelabuhan laut di daerah Belawan otomatis
banyak juga menggunakan kayu-kayu di pelabuhan untuk konstruksi pelabuhan
dan kapal. Kayu-kayu yang digunakan juga kayu-kayu yang digunakan dalam
melakukan penelitian tentang keawetan lima jenis kayu yang banyak ditanam di
HTI terhadap Marine borer (penggerek kayu di laut).
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui jenis-jenis penggerek kayu di laut yang menyerang lima jenis
kayu HTI yang tumbuh di Sumatera Utara.
2. Mengetahui keawetan alami lima jenis kayu HTI yang tumbuh di Sumatera
Utara terhadap serangan Marine borer.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian adalah :
1. Tersedianya data keawetan alami lima jenis kayu dari Hutan Tanaman
Industri (HTI) terhadap serangan Marine borer.
2. Data jenis-jenis perusak kayu atau penggerek kayu di laut, khususnya yang
terdapat di Pelabuhan Belawan.
3. Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan atau bagi para
pengguna kayu, terutama dalam memilih jenis kayu yang akan dipakai untuk
TINJAUAN PUSTAKA
Keawetan Alami Kayu
Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah
terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi
organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu berhubungan erat dengan
pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai yang lama.
Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak
kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian terasnya, sedangkan kayu
gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pakainya
(Nugroho, 2007)
Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam
konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan
berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan
kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila
konstruksi tersebut akan dipakai beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut
diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut
dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan
kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi meskipun suatu jenis kayu
memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas
awetnya rendah (Febrianto, dkk
Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaian. Kayu dikatakan awet
apabila mempunyai umur pakai lama dan mampu menahan berbagai faktor
perusak kayu. Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap
keawetannya, karena bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu tersebut,
penggunaan sebagai bahan bangunan tidak akan berarti jika keawetannya rendah
(Dumanauw, 1990).
Tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada kayu oleh faktor-faktor perusak
dapat dilihat dari adanya cacat-cacat berupa lubang gerek (bore holes), pewarnaan
(staining), pelapukan (decay), rekahan (brittles), pelembekan (softing), dan
lain-lain perubahan yang semuanya merupakan penurunan kualitas dan bahkan
kuantitas karena ada juga yang benar-benar memakan habis kayu. Setiap
tanda-tanda kerusakan yang terlihat merupakan gejala spesifik dari salah satu faktor
penyebab. Sedangkan adanya tanda serangan itu sendiri sekaligus merupakan
kriteria bahwa kayu atau hasil hutan bersangkutan telah terserang hama, penyakit
atau penyebab lainnya (Martawijaya dan Iding, 1990).
Pengetahuan tentang keawetan kayu serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya merupakan hal yang sangat penting diketahui, mengingat
kaitannya dengan pengawetan. Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu faktor karakteristik kayu dan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu
kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan
teras), dan kecepatan pertumbuhan. Sedangkan faktor lingkungan yaitu tempat
dimana kayu tersebut dipakai, jenis organisme penyerang, keadaan suhu,
kelembaban udara dan lain-lainnya (Martawijaya dan Iding, 1990).
Ketahanan kayu terhadap serangga dan perusak kayu khususnya yang
bersentuhan dengan laut disebabkan oleh kandungan zat ekstraktifnya. Zat
sehingga perusak tersebut tidak bisa masuk dan tinggal dalam kayu tersebut
(Hunt dan Garrat, 1986).
Organisme Perusak Kayu di Laut
Organisme perusak kayu di laut sering disebut dengan marine borer.
Organisme ini dapat menyebabkan kerusakan yang luas pada bagian-bagian
tiang-tiang dan kayu-kayu dermaga yang bersentuhan dengan air asin atau setengah asin
dan perahu-perahu yang terbuat dari kayu. Binatang ini tersebar luas di sebagian
besar perairan asin di dunia dan lebih banyak merusak di daerah-daerah tropis
daripada di daerah sub tropis (Hunt dan Garrrat, 1986).
Di daerah tropis organisme ini dapat berkembang dengan cepat dan
dijumpai sepanjang tahun. Pada umumnya organisme ini hidup pada perairan yang
mempunyai salinitas sekitar 10 – 40 per mil. Aktifitas perkembangan penggerek
kayu di laut dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, arus, pasang surut, gerakan
ombak dan lain sebagainya (Muslich dan Sumarni, 2004).
Adapun penggerek kayu di laut yang sering dijumpai dan banyak
menimbulkan kerusakan pada kayu terdiri dari dua golongan yaitu Crustaceae dan
Mollusca. Kedua golongan ini masing-masing mempunyai karakteristik yang
berbeda, demikian pula cara menyerangnya. Dua tipe serangan yang dikenal
adalah shipworn dan gribble (Muslich dan Sumarni, 1988).
Beberapa genera terpenting dari kelas Mollusca yaitu Bankia, Teredo,
Martesia dan Xylophaga. Bankia dan Teredo termasuk dalam famili Teredinidae
sedangkan Martesia dan Xylophaga termasuk dalam famili Pholadidae. Teredo
dan Bankia sering disebut teredine borer atau shipworn. Binatang ini dapat hidup
lain dari Mollusca adalah Martesia dan Xylophaga. Martesia striata Linne
merupakan salah satu species yang dijumpai di perairan pantai yang mempunyai
bentuk seperti buah pear. Kerusakan yang ditimbulkan dapat mudah diketahui,
berupa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang-lubang yang dangkal.
Sedangkan Xylophaga dorsalis selain merusak kayu juga merusak kabel kawat
yang ada di laut. Jenis ini mempunyai panjang tidak lebih dari 40 mm
(Muslich dan Sumarni, 1987).
Kelas Crustaceae memiliki tiga genera yang penting yaitu Limnoria,
Chelura dan Shpaeroma. Ketiga genera ini memperbanyak diri dengan bertelur.
Limnoria disebut juga gribble merusak kayu dengan cara mengebor dan membuat
serambi kecil untuk tempat tinggalnya. Serangan Limnoria terlihat seperti bunga
karang. Besar kecilnya gerakan air laut dapat mempengaruhi aktifitas dari
Limnoria, semakin besar gerakan air laut akan semakin besar dorongan Limnoria
membuat lubang untuk tempat berlindungnya, sehingga akan memperluas
kerusakan kayu. Jenis lain dari kelas Crustaceae adalah Chelura dan Sphaeroma.
Chelura mempunyai ukuran sedikit lebih besar dari Limnoria. Biasanya hidup
bersama-sama dalam satu sarang dengan Limnoria dan hidup bersimbiosis.
Sedangkan Sphaeroma mempunyai ukuran lebih panjang dan lebih gemuk.
Sphaeroma ini terdapat di berbagai perairan dan berkembang dengan baik di
perairan tropis dan dapat membuat lubang kurang lebih dengan diameter 10 mm
Tinjauan Jenis Kayu Penelitian
Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq)
Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq), merupakan tanaman yang berasal dari
keluarga Meliaceae, tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan jati dan
tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai. Ada juga yang ditanam di tepi-tepi jalan
sebagai pohon perindang. Tanaman asal India Barat ini dapat tumbuh subur di
pasir payau (Perum Perhutani Unit II Jatim, 2005).
Pohon yang tingginya antara 5-25 meter ini berakar tunggang, batang
bulat, banyak cabang dan kayunya bergetah. Daunnya majemuk menyirip genap
dengan helaiannya berbentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing, bagian tepi
rata, tulang menyirip, dan panjangnya 3-15 cm. Daun muda berwarna merah dan
setelah tua warnanya hijau. Bunganya majemuk tersusun dalam karangan yang
keluar dari ketiak daun. Tangkai bunga silindris dan warnanya coklat muda
(Abdurahman dan Hadjib, 2006)
Kelopak bunga pohon yang nama daerahnya Mahagoni, Maoni atau Moni
ini lepas satu sama lain, bentuknya seperti sendok, dan warnanya hijau. Mahkota
silindris, kuning kecoklatan dengan benang sari melekat pada mahkota dan kepala
sari putih atau kuning kecoklatan. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun.
Bentuk buahnya bulat telur, berlekuk lima, warnanya coklat. Biji pipih, warnanya
coklat atau hitam (Paimin, dkk, 2003)
Kayu mahoni memiliki serat yang padat dan jarang mata kayunya. Sifat
kayu ini sedang dalam pengerjaanya, kembang susutnya sedang, tekstur dan daya
sebagai perabot rumah tangga, kayu lapis, barang kerajinan dan perpatungan,
panel pintu, komponen alat musik.
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Sengon dalam bahasa latin disebut (Paraserianthes falcataria (L)
Nielsen), termasuk famili Mimosaceae, keluarga petai – petaian. Di Indonesia,
sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut : Jeunjing (Sunda), Kalbi,
Sengon landi, Sengon laut, atau Sengon sabrang (Jawa), Seja (Ambon), Sikat
(Banda), Tawa (Ternate), dan Gosui (Tidore) (Iskandar, 2006).
Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung dengan rimbun daun
yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan
anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus,
berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan
karbon dioksida dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup
kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun
dan tidak menonjol kepermukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi untuk
menyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah disekitar pohon sengon menjadi
subur (Barly, 2006).
Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman sengon
adalah kayunya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 meter dengan
diameter batang sekitar 70 – 80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak
berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak
mengelupas. Kayu teras berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti
agak kasar dan merata dengan arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu.
Permukaan kayu agak licin atau licin dan agak mengkilap (Atmosuseno, 1999).
Kayu yang masih segar berbau petai, tetapi bau tersebut lambat laun
hilang jika kayunya menjadi kering. Kayu sengon termasuk kelas awet IV-V
dengan berat jenis 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai
penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2,5 persen dan 5,2
persen (basah sampai kering tanur). Kayunya mudah digergaji, tetapi tidak
semudah kayu meranti merah dan dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat
yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah kayunya melengkung atau
memilin. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas,
peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas
dan lain-lain (Martawijaya dan Kartasujana, 1973).
Karet (Hevea brasiliensis)
Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) termasuk famili
Euphorbiaceae dan sering disebut para atau balam (Heyne dalam Martawijaya,
1972). Penyebaran kayu karet ini meliputi pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa
dalam perkebunan milik pemerintah atau perkebunan rakyat. Sedangkan Rachman
(1989) menyatakan bahwa kayu karet setelah berumur 25-30 tahun, pohon tidak
lagi menghasilkan lateks secara produktif sehingga perlu diremajakan.
Tanaman karet adalah tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur
30 tahun. Habitus tanaman ini merupakan pohon dengan tinggi tanaman dapat
mencapai 15 – 20 meter. Modal utama dalam pengusahaan tanaman ini adalah
itu fokus pengelolaan tanaman karet ini adalah bagaimana mengelola batang
tanaman ini seefisien mungkin (Safitri, 2003)
Tanaman karet memiliki sifat gugur daun sebagai respon tanaman terhadap
kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (kekurangan air/kemarau). Pada
saat ini sebaiknya penggunaan stimulan dihindarkan. Daun ini akan tumbuh
kembali pada awal musim hujan.Tanaman karet juga memiliki sistem perakaran
yang ekstensif menyebar cukup luas sehingga tanaman karet dapat tumbuh pada
kondisi lahan yang kurang menguntungkan. Akar ini juga digunakan untuk
menyeleksi klon-klon yang dapat digunakan sebagai batang bawah pada
perbanyakan tanaman karet (Sutigno dan Mas’ud, 1989).
Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese)
Pinus mempunyai nama ilmiah Pinus merkusii Jungh. et de Vriese yang
diklasifikasikan ke dalam famili Pinaceae. Pinus memiliki nama lokal : Tusam
(Indonesia.); Son song bai (Thai); Merkus pine (perdagangan); Mindoro pine
(Philipina); Tenasserim pine (Inggris).
Berdasarkan habitatnya, jenis pinus ini tersebar antara 23o LU – 2o LS dan
tumbuh pada ketinggian 200-1.700 meter dari permukaan laut (mdpl). Namun
demikian, jenis pinus ini kadang-kadang ditemui pada daerah dengan ketinggian
tempat kurang dari 200 m dan pada daerah dekat pantai. Pinus tersebut tumbuh
pada daerah dengan curah hujan tahunan rata-rata 3.800 mm (di Filipina) hingga
1.000-1.200 mm (Thailand dan Burma). Pada umumnya, pinus tumbuh dengan
baik pada daerah dengan tipe iklim basah sampai agak kering dengan tipe hujan A
merkusii adalah Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan
Indonesia (Muhtar dan Santoso, 1987)
Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi
30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm.
Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit
pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum
dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin
tunggal. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian
bawah tajuk (Suhaendi, 2006).
Kayunya untuk berbagai keperluan, konstruksi ringan, mebel, pulp, korek
api dan sumpit. Tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) sering disadap
getahnya. Pohon tua dapat menghasilkan 30-60 kg getah, 20-40 kg resin murni
dan 7-14 kg terpentin per tahun. Cocok untuk rehabilitasi lahan kritis, tahan
kebakaran dan tanah tidak subur (Departemen Kehutanan, 2001).
Ekaliptus (Eucalyptus urophylla ST. Blake)
Marga ekaliptus terdiri atas 500 jenis yang kebanyakan endemik di
Australia. Hanya 2 jenis tersebar di wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa
Tenggara dan Filiphina) yaitu Eucalyptus urophyllla dan Eucalyptus deglupta.
Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian utara menuju Malesia bagian
timur. Keragaman terbesar di daerah-daerah pantai New South Wales dan
Australia bagian Baratdaya. Pada saat ini beberapa jenis ditanam di luar daerah
penyebaran alami, misalnya di kawasan Malesia, Benua Asia, Afrika Eropa
Hampir semua jenis ekaliptus berdaptasi dengan iklim muson. Beberapa
jenis bahkan dapat bertahan hidup di musim yang sangat kering, misalnya
jenis-jenis yang telah dibudidayakan yaitu Eucalyptus alba, Eucalyptus camaldulensis,
Eucalyptus citriodora, Eucalyptus deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada
habitat hutan hujan dataran rendah dan hutan pegunungan rendah, pada
ketinggian hingga 1800 meter dari permukaan laut, dengan curah hujan tahunan
2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 230 dan maksimum 310 di dataran
rendah, dan suhu minimum rata-rata 130 dan maksimum 290 di pegunungan.
Tanaman ekaliptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar,
tingginya 60-87 m. Batang utamanya berbentuk lurus, dengan diameter hingga
200 cm. Permukaan pepagan licin, berserat berbentuk papan catur. Daun muda
dan daun dewasa sifatnya berbeda, daun dewasa umumnya berseling
kadang-kadang berhadapan, tunggal, tulang tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip
atau sejajar, berbau harum bila diremas. Perbungaan berbentuk payung yang
rapat kadang-kadang berupa malai rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul,
kering dan berdinding tipis. Biji berwarna coklat atau hitam. Marga ekaliptus
termasuk kelompok yang berbuah kapsul dalam suku Myrtaceae dan dibagi
menjadi 7-10 anak marga, setiap anak dibagi lagi menjadi beberapa seksi dan seri
(Nuryawan, 2007).
Kayu ekaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah atap,
kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus, korek apai, bubur kayu
(pulp), kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi. Daun dan
cabang dari beberapa jenis ekaliptus menghasilkan minyak yang merupakan
parfum, sabun, ditergen, disinfektan dan pestisida. Bunga beberapa jenis lainnya
menghasilkan serbuk sari dan nektar yang baik untuk madu. Beberapa jenis
ditanam sebagai tanaman hias (Sitepu, 2008).
Selulosa dan Silika pada Kayu
Kayu terbentuk dari tiga unsur utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan
lignin serta unsur tambahan yaitu zat ekstraktif dan zat silika. Selulosa merupakan
zat utama pembentuk dinding sel kayu yang merupakan makanan utama bagi
rayap. Lignin berfungsi sebagai pengikat antar dinding sel kayu. Hemiselulosa
berfungsi sebagai pendukung selulosa untuk membentuk matrik dinding sel.
Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi. Daun
kering mengandung 10-20% selulosa, kayu 50% dan kapas 90%. Selulosa
membentuk komponen serat dari dinding sel tumbuhan. Molekul selulosa
merupakan rantai-rantai atau mikrofibril yang terikat satu sama lain oleh ikatan
hidrogen (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006)
Zat ekstraktif merupakan faktor yang menentukan tingkat keawetan alami
kayu, sedangkan zat silika menentukan tingkat kekerasan alami kayu. Zat
ekstraktif yang semakin beracun akan mengakibatkan tingkat keawetan alami
kayu semakin tinggi. Kandungan silika yang tinggi mengakibatkan kekerasan
pada kayu. Kualitas kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, berat jenis kayu, umur,
posisi kayu di dalam batang, dan musim penebangan kayu. Intensitas serangan
penggerek kayu di laut tergantung dari keawetan jenis kayu yang diserang.
Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak
kayu seperti jamur, serangga dan penggerek di laut. Keawetan kayu dipengaruhi
gubal), kecepatan tumbuh dan lainnya. Selain itu, keawetan kayu dipengaruhi juga
tempat dimana kayu itu digunakan, asal pohon, varietas, jenis pohon, perlakuan
silvikultur, demikian juga faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban
(Nugroho, 2007)
Menurut Martawidjaya (1971) dalam Rohadi (1992), keawetan kayu tidak
berhubungan dengan berat jenis, melainkan lebih banyak ditentukan oleh
kandungan zat ekstraktifnya, seperti : phenol, tanin, alkaloid, saponine, chinon
dan damar yang kesemuanya dapat bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu.
Tobing (1977) menyatakan bahwa keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan
kayu terhadap serangan faktor perusak kayu dari golongan biologis. Southwell
dan Bultman (1971) dalam Muslich dan Sumarni (1988) menambahkan bahwa,
kandungan silika, kerapatan atau kekerasan tinggi dan kandungan zat ekstraktif
yang bersifat racun dapat mendukung ketahanan terhadap serangan Teredinidae,
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ketahanan kayu terhadap penggerek kayu di laut,
dilakukan di perairan atau areal PT (Persero) Pelabuhan I Cabang Belawan,
Medan Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai
dengan bulan April 2010.
Gambar 1. Lokasi Pengumpanan Contoh uji di Perairan Belawan Medan
Alat dan Bahan Penelitian Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : tali, timbangan, oven,
pipa paralon, kalkulator, alat tulis, kamera, paku, kipas angin dan pemberat (botol
aqua dan pasir).
Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima jenis kayu
yaitu Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq) umur 15 tahun, Sengon (Paraserianthes
Ekaliptus (Eucalyptus urophylla ST. Blake) umur 5 tahun, Karet (Hevea
brasiliensis) umur 20 tahun dengan ukuran tebal, lebar dan panjang 2,5 cm x 5 cm
x 25 cm.
Prosedur Penelitian
1. Pembuatan Contoh uji
Ukuran kayu dalam pembuatan contoh uji adalah kayu dengan ukuran
tebal, lebar dan panjang adalah 2,5 cm x 5 cm x 25 cm dengan tiga kali ulangan
pada setiap kedalaman 0 meter, 1 meter dan 2 meter di bawah permukaan laut.
Kemudian contoh uji dikeringkan dengan oven pada suhu 103±2 0C sampai kadar
air kering oven hingga konstan.
KA =
Kayu percobaan sebelum diumpankan ditimbang terlebih dahulu dalam
kondisi kering oven untuk mendapatkan berat awal.
3. Pengukuran kerapatan contoh uji
Kayu yang digunakan dalam pengujian kerapatan berukuran 2 cm x 2 cm x
2 cm untuk masing-masing contoh uji, setelah ditimbang beratnya kemudian
dilakukan pengukuran volume sehingga diperoleh kerapatannya.
Kerapatan (ρ) =
v m
4. Pengumpanan Contoh Uji
Kayu diumpankan di areal Perairan Pelabuhan Belawan Medan selama
tiga bulan di kedalaman 0 meter, 1 meter dan 2 meter di bawah permukaan laut
pada saat surut terendah dengan jarak antar rangkaian 10 cm. Posisi kayu
diletakkan vertikal serta diberi pemberat (Gambar 2).
a
c
b d
Gambar 2. Skema Rangkaian Contoh Uji dalam Proses Pengumpanan
Keterangan :
a. Contoh Uji b. Pipa paralon
c. Tali
d. Pemberat
5. Pengamatan dan Pengumpulan Data
Setelah pengumpanan selama tiga bulan dilakukan pengangkatan contoh
uji, lalu contoh uji dibersihkan dan diamati kerusakannya serta organisme yang
menyerang (telur atau organisme yang tinggal pada kayu). Contoh uji ditimbang
pada kondisi kering oven untuk mendapatkan berat akhir. Setelah contoh uji
ditimbang dan didapatkan berat akhirnya, selanjutnya diidentifikasi
organisme/marine borer yang menyerang contoh uji dengan melakukan
pengamatan secara visual dan disesuaikan dengan literatur. a
b
c
Menurut Saputra (2007) pengukuran intensitas serangan dilakukan dengan
melihat kehilangan berat kayu sebelum pengumpanan dan sesudah pengumpanan.
Dihitung dengan menggunakan rumus:
Kehilangan berat =
1 2 1
W W W −
Dimana : W1 = Berat awal kayu (kondisi kering oven) W2 = Berat akhir kayu (kondisi kering oven)
Analisis Data
Data intensitas serangan penggerek kayu di laut dianalisis dengan
menggunakan standar N. W. P. C (Nordic Wood Preserves Council) No.
1.4.2.2/73, dalam M. Muslich dan G. Sumarni (2004) seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Intensitas Serangan Organisme Penggerek Kayu di Laut
Sumber : Nordic Wood Preservation Council (NWPC) No. 1.4.2.2/73
Kondisi Contoh Uji Nilai Intensitas Serangan
Tidak ada serangan 0 = < 1%
Serangan ringan 1/3 = 2% - 33%
Serangan sedang 2/3 = 34% - 66%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Penggerek Kayu di Laut
Beberapa jenis organisme penggerek kayu di laut yang ditemukan di
perairan pelabuhan Belawan Medan yang berhasil diidentifikasi adalah Balanus
sp., Telescopium sp., Cardisoma carnifex, Nereis sp.
Balanus sp
Balanus sp merupakan biota avertebrata yang menempel pada kayu dan
benda-benda keras lain di laut dan perairan payau yang menjadi habitat tempatnya
menempel dan mencari makanan. Hal ini dapat menimbulkan masalah bagi
aktivitas di laut. Kerusakan bangunan pantai dan kapal juga disebabkan adanya
serangan binatang laut atau organisme penempel (biofouling) pada bagian
lambung kapal seperti Balanus sp. Pereira et.al. (2002) menyebutkan walaupun
penempelan organisme merupakan proses alami, tetapi organisme penempel bisa
berkoloni pada struktur-struktur buatan manusia sehingga menimbulkan
permasalahan, misalkan perubahan permukaan. Serangan yang disebabkan oleh
Balanus sp disajikan pada Gambar 3.
Adapun klasifikasi Balanus sp adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Invertebrata
kelas : Crustaceae
Ordo : Thoraciceae
Famili : Ballonoidae
Genus : Balanus
Gambar 3. Balanus sp Keterangan:
1 kotak = 1 mm2
.
Balanus sp merupakan jenis dari kelas Crustacea dengan ciri berwarna
putih dengan coklat kemerah-merahan. Pada setiap cangkangnya terdapat 3-4 strip
putih yang terbentuk dari zat kapur, mempunyai sisi yang lembut dan di bagian
atas menganga yang tumpul. Dominasi Balanus sp disebabkan senyawa
arthropodine yang dikeluarkannya sehingga spesies Balanus sp yang sama akan
berkumpul dan tumbuh hingga terjadi penumpukan (Boesono, 2008).
Gambar 4. Serangan Balanus sp. pada Kayu Contoh Uji
Gambar 4 menunjukkan bahwa banyaknya koloni Balanus sp. yang
menempel pada kayu contoh uji dan meninggalkan bekas berwarna putih pada
permukaan kayu dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada kayu yang
diujikan. Balanus sp menjadikan kayu contoh uji sebagai substrat yang dapat
ditinggalkan sebagai sarang menempel. Sedangkan pada kayu Sengon serangan
Balanus sp menyebabkan permukaan kayu menjadi lapuk dan disertai bekas
penempelan berwarna putih. Nelson (2003) menyebutkan bahwa penempelan
organisme dapat berlangsung dengan cepat. Perbedaan ini disebabkan ketahanan
kayu terhadap serangan perusak kayu oleh susunan kimianya.
Hasil penelitian menunjukkan serangan Balanus sp tidak menimbulkan
perubahan warna yang disebabkan zat kapur pada cangkang Balanus sp terhadap
kayu contoh uji. Bekas putih zat kapur yang menempel pada permukaan kayu
dapat dibersihkan dalam kondisi kayu kering.
Telescopium sp
Telescopium sp merupakan salah satu spesies yang dijumpai di perairan
pantai. Kerusakan yang disebabkan Telescopium sp dapat dengan mudah
diketahui dimana terdapat beberapa pengikisan bagian luar kayu dengan
lubang-lubang yang dangkal.
Adapun klasifikasi Telescopium sp adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Molusca
kelas : Gastropoda
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Potamididae
Genus : Telescopium
Gambar 5. Telescopium sp Keterangan:
1 kotak = 1 mm2
Bentuk serangan Telescopium sp
Gambar 6. Serangan Telescopium sp pada kayu contoh uji
Gambar 5 menunjukkan bentuk umum keong dari kelas molusca ini
menyerupai kerucut. Bagian cangkang yang menyempit pada spesies ini adalah
bagian depan (anterior), sedangkan bagian yang melebar merupakan pangkal
cangkang yang merupakan bagian belakang cangkang. Tubuh spesies ini terletak
di dalam cangkok, bentuknya menggulung, keras, permukaan cangkoknya ada
yang licin dan kasar, abdomennya tidak terlindungi dan warnanya beraneka
ragam. Tipe penyerangan spesies ini memiliki kemiripan pada genus senobita
yaitu penyerangan dengan tipe shipworn, kerusakan dapat dengan mudah
diketahui dimana terdapat beberapa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang-
Cardisoma carnifex
Cardisoma carnifex hidup di daerah pantai, bakau dan tinggal di dalam
lubang yang digalinya sendiri. Lubangnya ditutupi dengan tumpukan tanah yang
cukup tinggi. Biasanya disebut dengan nama kepiting merah, yang sering juga
membuat lubang pada bangunan di sekitar pantai dan perahu. Tipe
penyerangannya adalah tipe shipworn, kerusakan yang disebabkan Cardisoma
carnifex pada kayu mudah terlihat dengan adanya lubang dan bekas gigitan pada
permukaan kayu (Dahuri,2003).
Adapun klasifikasi Cardisoma carnifex adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustaceae
Ordo : Brachyura
Famili : Portunidae
Genus : Cardisoma
Spesies : Cardisoma carnifex
Gambar 7. Cardisoma carnifex Keterangan:
1 kotak = 1 mm2
Hasil penelitian menunjukan spesies ini dijumpai pada kayu contoh uji
pada permukaan kayu tidak merata serta menjadikan kayu contoh uji sebagai
tempat bersarang sementara. Seperti halnya Telescopium sp., Cardisoma carnifex
bersarang didalam rongga-rongga yang terdapat pada kayu contoh uji. Selain itu
kayu contoh uji diduga tidak mudah diserang dan dirombak oleh Cardisoma
carnifex.
Sifat umum kelas crustaceae seperti Cardisoma carnifex ialah adanya
embelen tubuh yang bersendi dan bebas dari bulu-getar. Gambar 7 menunjukkan
tubuh Cardisoma carnifex yang masih muda memiliki panjang sekitar 1 cm,
dengan 6 kaki dengan panjang 1 cm, memiliki 2 buah capit yang besar dengan
panjang 1,5 cm dan berwarna merah. Bentuk tubuhnya simetris bilateral dan
tubuhnya terdiri dari ruas yang tersusun secara linear berurutan. Pada
masing-masing ruas atau beberapa ruas melekat embelan tubuh. Crustacea pada arthopoda
yang sebagian besar hidup di laut dan bernafas dengan insang dan tubuhnya
terbagi dalam kepala, dada, dan abdomen (Romimohtarto dan Juwana, 2009).
Nereis sp
Nereis sp merupakan cacing yang hidup di laut, di dalam liang pasir dan
hanya menyembulkan kepala di atas permukaan pasir atau berenang di dalam laut.
Tubuhnya jelas mempunyai capuz dan alat-alat tambahan, terbagi menjadi banyak
segmen. Segmen pertama disebut peristonium dan pada tiap bagian lateral
terdapat 2 pasang tentakel. Termasuk dalam kelas polychaeta yang berarti
berambut banyak. Pada bagian anterior terdapat kepala yang dilengkapi dengan
mata, tentakel serta mulut berahang. Tubuh berwarna menarik yaitu merah
Adapun klasifikasi Nereis sp adalah sebagai berikut :
Phylum : Annelida
Class : Polychaeta
Ordo : Umicolae
Famili : Nereididae
Genus : Nereis
Spesies : Nereis sp
Gambar 8. Nereis sp Keterangan :
1 kotak = 1 mm2
Gambar 9. Bentuk Serangan Nereis sp
Cacing jenis ini mempunyai lapisan otot memanjang maupun otot
melingkar. Ususnya hampir lurus merentang dari depan ke belakang. Terdapat
sebelah atas saluran pencernaan. Panjang tubuh antara 5 – 10 cm dengan diameter
2 – 10 mm. Fertislisasi bersifat internal membentuk larva. Bergerak dengan
menggunakan parapodia dan sudah memiliki coelom yang sebenarnya, yang
suda h di batasi oleh epithelium mesodermal. Masing-masing ruas terdapat
sepasang parapodia. Tubuh memiliki banyak rambut pada parapodia. Cacing ini
bersifat karnifora dan dapat dibedakan antara jantan dan betina (Romimohtarto
dan Juwana, 2009).
Penelitian sebelumnya di yang dilakukan oleh Saputra (2007), penggerek
kayu yang ditemukan di perairan laut Belawan Medan terdiri dari famili
Pholadidae jenis Martesia striata, Famili Teredinidae jenis Toredo sp dan Bankia
syriaca, dan dari famili Lymnaeidae adalah Lymnaea stagnicola. Kayu-kayu yang
diuji pada penelitian Saputra (2007) ialah meranti merah, nangka, merbau, damar
dan cengal.
Adanya perbedaan jenis penggerek kayu yang ditemukan di perairan
Belawan dikarenakan komponen kimia pada tiap kayu berbeda. Kadar silika,
kekerasan atau kerapatan dan kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun dapat
menekan serangan penggerek kayu di laut (Muslich dan Sumarni, 2004)
Keawetan Alami Lima Jenis Kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang Tumbuh di Sumatera Utara Terhadap Serangan Marine Borer.
Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah
terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi
organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu berhubungan erat dengan
keawetan alami kayu tersebut ialah dengan melihat intensitas serangan pada kayu
tersebut, hubungan intensitas serangan dengan kerapatan dan hubungan intensitas
serangan penggerek kayu di laut dengan kadar silika dan kadar selulosa kayu
(Nugroho, 2007).
Intensitas Serangan
Contoh uji yang direndam selama tiga bulan di perairan PT. (Persero)
Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan cenderung diserang oleh famili
Ballonoidae, Potamididae, Portunidae dan Nereididae dengan tingkat serangan
organisme perusak kayu di laut relatif rendah. Nilai intensitas serangan kayu
karet, sengon, ekaliptus, dan pinus di kedalaman 2 meter lebih tinggi
dibandingkan di kedalaman 0 dan 1 meter. Dapat dilihat pada Tabel 2 intensitas
serangan pada kayu contoh uji cenderung makin tinggi kedalaman air maka makin
tinggi pula intensitas serangan organismenya. Hal ini terjadi karena organisme
yang menyerang kayu-kayu tersebut adalah tidak suka atau tidak tahan terhadap
cahaya matahari sehingga intensitas serangan lebih dominan di kedalaman 2 meter
daripada di kedalaman 0 meter dan 1 meter.
Pada kayu mahoni sendiri pada kedalaman 2 meter mendapat intensitas
serangan paling rendah yaitu sebesar 0.2. Hal ini disebabkan saponin yang
merupakan zat yang tidak disukai oleh hewan berdarah dingin seperti organisme
Marine borer dan kelas awet yang dimiliki kayu mahoni itu sendiri yaitu termasuk
kelas awet III, sedangkan untuk kelas awet yang lain berkisar antara kelas awet
masing-masing contoh uji pada kedalaman nol meter, satu meter dan dua meter
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rata-rata Intensitas Serangan Penggerek Kayu di Laut pada Kedalaman yang Berbeda.
Keterangan :
SR = Serangan ringan
Adapun kayu karet sendiri yang mendapatkan intensitas serangan paling
besar pada kedalaman 0 meter, 1 meter, dan 2 meter dikarenakan memiliki kadar
pati yang tinggi sehingga disukai penggerek kayu di laut dan pada dasarnya kayu
karet termasuk kelas awet V sehingga memudahkan organisme penggerek kayu
untuk menyerang, Semakin tinggi kedalaman air maka intensitas cahaya matahari
akan semakin berkurang, organisme yang menyerang pun akan semakin banyak.
Intensitas serangan penggerek kayu di laut tergantung dari keawetan jenis
kayu yang diserang. Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap
organisme perusak kayu seperti jamur, serangga dan penggerek di laut. Keawetan
kayu dipengaruhi oleh umur pohon, kandungan zat ekstraktif, letak kayu dalam
batang (teras dan gubal), kecepatan tumbuh dan lainnya. Selain itu, keawetan
Contoh
Organisme Penyerang yang ditemukan
Ket
Cardisoma carnifex Balanus sp Cardisoma carnifex
SR
Ekaliptus 0.03 0.03 0.06 Balanus sp Bursa sp
Balanus sp Balanus sp Cardisoma carnifex
SR
Pinus 0.02 0.09 0.24 Nereis sp Telescopium sp
Cardisoma Carnifex Balanus sp Telescopium sp
SR
Karet 0.05 0.29 0.36 Telescopiuma sp Balanus sp
Telescopium sp Balanus sp Telescopium sp
kayu dipengaruhi juga tempat dimana kayu itu digunakan, asal pohon, varietas,
jenis pohon, perlakuan silvikultur, demikian juga faktor lingkungan seperti suhu
dan kelembaban (Nugroho, 2007).
Menurut Martawidjaya (1971) dalam Rohadi (1992), keawetan kayu tidak
berhubungan dengan berat jenis, melainkan lebih banyak ditentukan oleh
kandungan zat ekstraktifnya, seperti : phenol, tanin, alkaloid, saponine, chinon
dan damar yang kesemuanya dapat bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu.
Tobing (1977) menyatakan bahwa keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan
kayu terhadap serangan faktor perusak kayu dari golongan biologis. Southwell
dan Bultman (1971) dalam Muslich dan Sumarni (1988) menambahkan bahwa,
kandungan silika, kerapatan atau kekerasan tinggi dan kandungan zat ekstraktif
yang bersifat racun dapat mendukung ketahanan terhadap serangan Teredinidae,
tetapi tidak menghalangi serangan Pholadidae.
Hubungan Intensitas Serangan dengan Kerapatan
Kerapatan kayu yang tinggi menunjukkan bahwa molekul-molekul dalam
kayu cukup tinggi dan sangat rapat, sehingga dimungkinkan akan sangat
menyulitkan larva organisme penggerek kayu di laut untuk menempel dan
melakukan pengeboran pada jenis kayu tersebut (Firdaus, 1996). Hal ini sesuai
dengan Takahashi dan Kishima (1973) dalam Muslich 1989 yang menyimpulkan
adanya kecenderungan bahwa semakin besar kerapatan kayu makin tinggi
ketahanan alamiahnya meskipun tidak terbebas sama sekali dari serangan
organisme penggerek kayu di laut, hanya mungkin memakan waktu yang relatif
Tabel 3. Kerapatan Lima Jenis Kayu yang Diuji No Jenis Kayu Kerapatan
1 Mahoni 0. 62
2 Karet 0. 60
3 Sengon 0. 46
4 Ekaliptus 0. 58
5 Pinus 0. 46
Berdasarkan hasil pengujian kerapatan (Tabel 3) dan nilai intensitas
serangan organisme penggerek kayu di laut (Tabel 2) dapat disimpulkan bahwa
besarnya intensitas serangan penggerek kayu di laut pada lima jenis kayu yang
diujikan tidak tergantung dari besarnya kerapatan kayu tersebut, melainkan
ditentukan zat ekstraktif yang terkandung dalam kayu tersebut. Zat ekstraktif yang
terdapat pada kayu tersebut merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi ketahanan ketahanan kayu terhadap serangan organisme. Zat
ekstraktif ini merupakan penyebab utama keawetan alami kayu yang
bersangkutan. Namun demikian, sifat racun zat ektraktif tersebut terhadap
organisme perusak kayu bersifat selektif, misalnya suatu jenis kayu yang tahan
terhadap terhadap jamur belum tentu tahan terhadap serangan organisme lain
(Febrianto, dkk
Jenis kayu berpengaruh terhadap intensitas serangan penggerek kayu di
laut. Kayu Ekaliptus memiliki intensitas serangan yang paling rendah dan
intensitas serangan terbesar didapatkan pada kayu Karet. Perbedaan intensitas
serangan ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah kandungan dan
mengatakan bahwa keawetan kayu tidak berhubungan dengan berat jenis,
melainkan lebih banyak ditentukan oleh kandungan zat ekstraktifnya, seperti :
phenol, tanin, alkaloid, saponine, chinon dan damar yang kesemuanya bersifat
racun terhadap makhluk perusak kayu. Adapun zat ekstraktif yang terkandung
pada kayu contoh uji memiliki sifat racun seperti pada pinus adanya terpentin.
Pada kayu mahoni sendiri terdapat saponin yang merupakan zat yang tidak disukai
oleh hewan berdarah dingin seperti organisme Marine borer.
Hubungan Intensitas Serangan Penggerek Kayu di Laut dengan Kadar Silika dan Kadar Selulosa
Kandungan silika dalam kayu sangat berpengaruh terhadap serangan
penggerek kayu di laut. Pada Tabel 4 disajikan kadar silika dan kadar selulosa
lima jenis kayu yang diujikan.
Tabel 4. Kadar Silika dan Kadar Selulosa Lima Jenis Kayu yang Diuji
Jenis Kayu Selulosa Silika
Mahoni 46.8% 0.34%
Sengon 49.4% 0.13%
Ekaliptus 51.0% 0.20%
Pinus 54.9% 0.20%
Karet 28,32% 0.16%
Sumber : Atlas Kayu Indonesia (1981)
Hasil penelitian kerapatan kayu yang didapat pada Tabel 3 dan
dibandingkan dengan data yang disajikan pada Tabel 4 diatas diperoleh bahwa
rendahnya intensitas serangan organisme penggerek kayu di laut terhadap kayu
yang memiliki kadar silika tinggi seperti pada kayu ekaliptus karena silika
kayu di laut, sedangkan pada kayu Karet yang memiliki kadar silika rendah,
intensitas serangan organisme penggerek kayu di laut relatif tinggi. Walaupun
demikian, tidak berarti bahwa kayu yang memiliki kadar silika tinggi akan
terbebas dari serangan organisme penggerek kayu di laut, tetapi hanya
membutuhkan waktu yang relatif lama hingga kadar silika dalam kayu tidak
dalam jumlah yang optimum lagi.
Hubungan intensitas penggerek kayu di laut dengan kadar silika kayu pada
kedalaman 0 meter yang ditunjukkan dengan persamaan regresi Y = 0.004x +
0.018 dengan R – sq = 0.266, kedalaman 1 meter ditunjukkan dengan persamaan
regresi Y = -1.216x + 0.336 dengan R – sq = 0.473 dan kedalaman 2 meter
ditunjukkan dengan persamaan regresi Y = -1.5x + 0.43 dengan R- sq = 0.462, ini
berarti ketiga persamaan dari peubah bebas silika kayu dapat menjelaskan peubah
tak bebas intensitas serangan penggerek kayu di laut dan korelasi antara keduanya
bersifat negatif, yaitu semakin tinggi kadar silika kayu makin rendah intensitas
serangan penggerek kayu di laut.
Gambar 10 . Hubungan Kadar Silika dengan Intensitas Serangan
Hubungan kadar selulosa dengan intensitas serangan penggerek kayu di
laut pada kedalaman 0 meter ditunjukkan dengan persamaan regresi Y = -0.001x
+ 0.081 dengan R – sq = 0.882, kedalaman 1 meter ditunjukkan dengan
persamaan regresi Y = -0.008x + 0.526 dengan R – sq = 0.797 dan kedalaman 2
meter ditunjukkan dengan persamaan regresi Y = -0.008x + 0.570 dengan R – sq
= 0.501, ini berarti ketiga persamaan dari peubah bebas selulosa kayu dapat
menjelaskan peubah tak bebas intensitas penggerek kayu di laut dan korelasi
antara keduanya positif yaitu semakin tinggi kadar selulosa makin rendah juga
intensitas penggerek kayu di laut.
Gambar 11 . Hubungan Kadar Selulosa dengan Intensitas Serangan
Keterangan :
: 0 Meter, : 1 Meter, : 2 Meter
Pada penelitian ini didapatkan bahwa kayu yang memiliki kadar selulosa
paling rendah seperti kayu Karet mendapat serangan organisme penggerek kayu di
laut paling tinggi dalam waktu tiga bulan. Hal ini juga disebabkan karena kadar
silika yang rendah pada kayu tersebut. Dengan demikian, dari hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar selulosa pada kayu maka
intensitas serangan penggerek kayu tersebut juga akan semakin tinggi dan
sebaliknya intensitas serangan penggerek kayu di laut akan relatif rendah apabila
kayu memiliki kadar selulosa yang rendah pula.
Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Penggerek Kayu di Laut
1. Salinitas
Salinitas merupakan persen atau kadar garam yang terdapat di perairan air
laut. Salah satu cara untuk mencegah serangan organisme penggerek kayu di laut
adalah dengan secepat mungkin memindahkan kayu ke tempat lain yang
mempunyai perbedaan yang mencolok (Miller, 1926 dalam Turner 1966).
Salinitas perairan laut Belawan dari data yang diperoleh sebesar 30 per mil.
Sehingga nilai intensitas seranga penggerek kayu di laut relatif kecil pada kayu
yang diumpankan dikarenakan organisme seperti Balanus sp. dan Nereis sp.
banyak mengeluarkan cairan tubuh untuk mengimbangi kadar garam melalui
osmosis.
Organisme biofouling seperti Balanus sp., Telescopium sp., Nereis sp.,
dan Cardisoma carnifex dapat hidup dari perairan estuaria sampai laut terbuka
dimana salinitas pada perairan estuaria antara 5-30 per mil sedangkan salinitas
pada laut terbuka dapat mencapai 41 per mil. Organisme penggerek kayu di laut
tidak dapat semua hidup di kadar garam yang tinggi, melainkan mereka memiliki
ketahanan untuk hidup di kadar garam tertentu dengan menyesuaikan dengan
2. Suhu
Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1998). Begitu juga dalam
mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme penggerek kayu di laut
faktor suhu sangat menentukan. Menurut Muslich (1998) pada perairan tropis
suhu perairan tidak terlalu berfluktuasi sehingga memungkinkan organisme
penggerek kayu di laut berkembang sepanjang tahun.
Dari hasil penelitian suhu pada perairan laut Belawan berkisar antara
290C-300C. Perairan belawan termasuk daerah tropis yang mana intensitas
serangan terhadap semua jenis kayu oleh organisme penggerek kayu di laut adalah
serangan relatif ringan. Hasil penelitian menunjukkan kerusakan yang terjadi pada
papan contoh kayu yang diuji tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
Organisme laut umumnya bersifat polikilotermik sehingga penyebarannya
mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografis, Organisme biofouling seperti
Balanus sp., Telescopium sp., Nereis sp., dan Cardisoma carnifex dapat hidup dari
perairan dengan perubahan suhu berkisar antara 15-30°C atau dari perairan
eustarina sampai laut terbuka. Air mempunyai daya muat panas yang lebih tinggi
daripada daratan. Akibatnya untuk menaikan suhu sebesar 10C, air akan
membutuhkan energi yang lebih besar daripada yang dibutuhkan oleh daratan
dalam jumlah massa yang sama (Boesono, 2008).
3. Gerakan Air
Air laut selalu dalam keadaan bergerak. Gerakan-gerakan air laut
laut, pengadukan karena perbedaan suhu air dari dua lapisan, perbedaan tinggi
permukaan laut, pasang surut dan lain-lain. Gerakan air laut ini dikenal sebagai
arus, gelombang, permukaan massa air (Romimohtarto & Juwana, 2001).
Perangin-angin (1993) menyatakan pasang surut harian murni dengan ciri
umum pasang dan surut terjadi satu kali dalam periode 24 jam. Kecepatan arus
juga dapat mempengaruhi penempelan larva organisme penggerek kayu di laut.
Kesempatan penempelan larva akan lebih mudah pada gerakan arus yang kecil
dan air yang datang juga membawa larva organisme penggerek kayu di laut
sehingga larva dapat dengan mudah menempel dan membuat lubang untuk tempat
tinggal dan mencari makan. Gerakan arus di perairan pelabuhan laut Belawan
tidak begitu besar pada pagi hari sedangkan pada siang sampai tengah malam
gerakan arus cukup besar yang memungkinkan larva organisme penggerek kayu
di laut menempel pada kayu, penempelan organisme tersebut banyak terjadi pada
siang hari.
4. Cahaya
Intensitas cahaya, kualitas dan lama penyinaran merupakan faktor yang
mempengaruhi aktivitas organisme penggerek kayu di laut. Saputra (2007)
menyatakan bahwa kisaran cahaya pada perairan laut Belawan adalah 3000-3800
kkal/m2/hari. Banyaknya cahaya yang menembus permukaan laut dan menerangi
permukaan laut setiap hari dan perubahan intensitas dengan bertambahnya
kecerahan memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan
fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya matahari mempunyai pengaruh terbesar
tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup karena menjadi sumber bahan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis penggerek kayu di laut yang ditemukan di sekitar perairan pelabuhan
Belawan yang berhasil teridentifikasi adalah Balanus sp., Telescopium sp.,
Cardisoma carnifex, Nereis sp..
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua contoh uji mendapat serangan
ringan. Nilai intensitas serangan terkecil terdapat pada kayu ekaliptus,
sedangkan nilai intensitas serangan paling besar terdapat pada kayu karet.
Saran
Perlu dilakukan penelitian dengan waktu yang lebih lama agar lebih
DAFTAR PUSTAKA
Atmosuseno, BS. 1999. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Penebar Swadaya. Jakarta.
Barly. 2006. Pemanfaatan Kayu Sengon Untuk Rumah Sederhana. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 149-161. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor
Boesono, H. 2008. Pengaruh Lama Perendaman Terhadap Organisme Penempel dan Modulus Elastisitas pada Kayu. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 13 (3) : 177 –180. Universitas Diponegoro.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2006. Petunjuk Teknis Perawatan Benda Cagar Budaya Bahan Kayu. Direktorat Peninggalan Purbakala. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2001. Informasi Singkat Benih Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.
Dumanauw, J.F. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Bogor.
Febrianto, F., Syafii, W., Barata, A. 2000. Keawetan Alami Kayu Jati (Tectona grandis L. F) pada Berbagai Kelas Umur. Jurnal Teknologi Hasil Hutan Vol. VIII No.2. Fakultas Kehutanan Institiut Pertanian Bogor. Bogor.
Haygreen, J. and Bowyer, J. L. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari : Forest Product dan Wood Science, and Introduction.
Hunt, G. M, dan Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan Jusuf, M. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo.
Iskandar, M. I. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Sengon (Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen) Untuk Kayu Rakitan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 183-195. Bogor.
Kartasujana, I dan Martawijaya, A. 1973. Sifat dan Kegunaan Kayu Perdagangan Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Martawijaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K.., Prawira, S. A. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Martawijaya, A., dan Kartasujana, I. 1990. Ciri Umum, Sifat dan Kegunaan Jenis-Jenis Kayu Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Mukhtar, A.S. dan E. Santoso. 1987. Beberapa Aspek Ekologi Pinus merkusii Galur Kerinci di Cagar Alam Bukit Tapan, Kerinci, Jambi. Buletin Penelitian Hutan 489. Bogor.
Muslich, M dan G. Sumarni. 1987. Pengaruh Salinitas Terhadap Serangan Penggerek Kayu di Laut Pada Beberapa Jenis Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Bogor, 4 (2) :46-49. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
---. 1988. Pengaruh Lingkungan Terhadap Serangan Penggerek Kayu di Laut. Jurnal Penelitian Hasil Bogor, 4 (2) :46-49. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
---. 2004. Ketahanan 62 Jenis Kayu Indonesia Terhadap Penggerek Kayu di Laut. Vol 22, No 3, Halaman 183-191. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Bogor.Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor. Bogor.
---. 2008. Standardisasi Mutu Kayu Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Penggerek di Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor
Nelson, Peter A. 2003. Marine Fish Assemblages Associated With Fish Aggregating Devices (FADs): Effects of Fish Removal, FAD Size, Fouling Communities, and Prior Recruits. Fisheries Bulletin 101: 835-850.
Nugroho, A. 2007. Perubahan Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Beberapa Jenis Kayu Akibat Serangan Penggerek Kayu Laut di Perairan Pulau Rambut. [Skripsi] Mahasisswa Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nuryawan, A. 2007. Sifat Fisis dan Mekanis Oriented Strand Board dari Kayu Akasia, Ekaliptus dan Gmelina Berdiameter kecil. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nybaken, J. W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Paimin, Sukresno dan Mashudi. 2003. Dinamika Komunitas Vegetasi Hutan Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla). Jurnal Pengelolaan DAS Dinamika Komunitas Vegetasi Surakarta Vol. IX, 3.
Pereira, R. C., Carvalho, A. G. V., Gama, B. A. P. & Coutinho, R. 2002. Field Experimental Evaluation of Secondary Metabolites From Marine Invertebrates As Antifoulants. Brazilian J. Biol. 62 (2) : 311-320.
Perum Perhutani Unit II Jatim. 2005. Manfaat Mahoni. KPH Jember. Jawa Timur.
Rohadi, R. 1992. Konsumsi dan Pemanfaatan Kayu Kelapa (Cocos nucifera L.) (Studi Kasus di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Sleman). [Skripsi] Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.
Safitri, E. S. 2003. Analisis Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Hasil Klon. [Skripsi] Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Saputra, J. 2007. Keawetan Alami Lima Jenis Kayu Yang Banyak Diperdagangkan di Kota Medan terhadap Marine Borer (Penggerek Kayu Di Laut). [Skripsi] Departemen Kehutanan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sitepu, O. L. 2008. Keawetan Alami dan Keterawetan Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) Umur 7 Tahun dari Areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, TBK. [Skripsi] Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Suhaendi, H. 2006. Kajian Teknik Konservasi Pinus Merkusii Strain Kerinci. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Sulastiningsih, I.M., Wardani, M dan Sutigno, P. 1999. Pengembangan Jenis Andalan Setempat untuk Menunjang Industri Kayu Lapis. Prosiding Lokakarya Kayu Lapis, Hlm. 84−205. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Sutigno, P. dan Mas’ud, A. F. 1989. Alternatif Pengolahan Kayu Hutan Tanaman
Industri Karet. hlm. 259−269. Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet
Sutisna, U., Kalima, T dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Disunting oleh Soetjipto, N.W dan Soekotjo. Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat diklat Pegawai & SDM Kehutanan. Bogor.