• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Efisiensi Dan Efektifitas Jaringan Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Pertanian Di Namu Sira-Sira

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evaluasi Efisiensi Dan Efektifitas Jaringan Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Pertanian Di Namu Sira-Sira"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS JARINGAN

IRIGASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI

PERTANIAN DI NAMU SIRA-SIRA

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian Sarjana Departemen Teknik Sipil

Oleh :

WIDI KUNTARA MP 050404052

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

(2)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian sangat berperan penting dalam menunjang kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu sistem dan segala aspek yang mendukung bidang tersebut perlu diberdayakan agar dapat memperoleh hasil yang masksimal, salah satunya adalah sistem irigasinya. Sistem irigasi di Namu Sira-Sira merupakan salah satu bagian penunjang yang vital dalam produksi padi di Sumatera Utara, untuk itu maka dilakukan kajian evaluasi dan efisiensi terhadap jaringan irigasi tersebut dan diharapkan kegiatan ini nantinya dapat membantu meningkatkan produksi pertanian.

Untuk itu perlu dilakukan perhitungan efisiensi penyaluran air irigasi di daerah tersebut. Efisiensi penyaluran air irigasi adalah perbandingan antara jumlah air yang digunakan oleh tanaman dengan jumlah air yang tersedia dinyatakan dalam persentase. Pada saat penyaluran air mulai masuk dari pintu air sampai ke petakan sawah terjadi kehilangan air pada saluran primer, sekunder dan tersier yang disebabkan oleh evaporasi, rembesan maupun perkolasi.

Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi debit air yang tersedia harus cukup untuk disalurkan ke setiap saluran sampai ke petakan sawah. Oleh karena itu diperlukan pengukuran debit agar penyaluran air dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Dari perhitungan didapat Efisiensi penyaluran total sebesar 52.25%.

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Evaluasi Efisiensi dan Efektifitas Jaringan Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Pertanian Di Namu Sira-Sira”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Strata I (S1) di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari semua pihak. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah, motivasi dan doa yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada :

1. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng, selaku Dosen Pembimbing sekaligus orang tua bagi penulis yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

(5)

4. Bapak Bapak Dr. Ir. Ahmad Perwira Mulia, M.Sc, Bapak Ivan Indrawan, ST, Ir. Boas Hutagalung, M.Sc., selaku Dosen Pembanding/Penguji yang telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Ayahanda Irwan Muladi, Ibunda Sasti Yogiswarin, adik-adikku Kresna Wijaya, Tantri Cahya yang selalu mendukung, membimbing, dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

7. Abang/ Kakak pegawai Jurusan kak Lince, bg Zul, bg Mail, bg Edi, bg Amin, kak Dina.

Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, dan atas dukungan yang telah diberikan penulis ucapkan terima kasih. Akhirnya, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2011 Hormat Saya

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR NOTASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Umum ... 1

I.2 Latar Belakang ... 12

I.3 Permasalahan ... 14

I.4 Tujuan Penulisan ... 14

1.5 Pembatasan Masalah ... 15

1.6 Metodologi Penulisan ... 15

1.7 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 19

II.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Irigasi ... 19

II.1.1 Curah Hujan ... 19

II.1.2 Curah Hujan Efektif ... 20

II.1.3 Keadaan dan Jenis Tanah ... 20

II.1.4 Iklim dan Cuaca ... 21

II.1.5 Jenis Tanaman ... 21

II.2 Evapotranspirasi ... 22

(7)

II.2.2 Transpirasi ... 23

II.2.3 Evapotranspirasi ... 24

II.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Evapotranspirasi... 24

II.3.1 Faktor Meteorologi ... 24

II.3.2 Tanah ... 25

II.3.3 Faktor Tanaman ... 26

II.3.4 Metode Irigasi ... 26

II.4 Metode-Metode Empiris untuk Mengestimasi Evapotranspirasi (ETo)... 27

II.4.1 Metode Penman (Penman Methode) ... 27

II.4.2 Metode Blaney-Criddle ... 29

II.4.3 Metode Makkink ... 29

II.4.4 Metode Evaporasi (Pan Metode) ... 30

II.4.5 Metode Humidity ... 30

II.5 Kajian Mengenai Free Intake Existing ... 30

II.5.1 Analisa debit pengaliran menggunakan beberapa rumus ... 30

II.6 Profil Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Serta Kondisi Eksistingnya. ... 33

II.6.1 Letak Geografis ... 33

II.6.2 Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kiri ... 33

II.6.2.1 Panjang Saluran dan Panjang Jalan Inspeksi Namu Sira-Sira Kiri ... 33

(8)

II.6.4 Pertanian Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kabupaten Langkat ... 37

II.6.5 Permasalahan Umum Daerah Irigasi Namu Sira-Sira ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

III.1. Lokasi Penelitian ... 39

III.2. Metode Pengumpulan Data ... 39

III.3. Menghitung Debit pada Saluran ... 40

III.4. Menghitung Tingkat Efisiensi dan Efektifitas ... 40

III.5. Studi Kelayakan ... 41

1. Metode Net Present Value (NPV) ... 41

2. Metode Benefit Cost Ratio (BCR) ... 42

3. Metode Internal Rate of Return (IRR) ... 42

4. Metode Payback Period ... 43

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN... 44

IV.1 Analisa Data Klimatologi dan Curah hujan serta Perhitungan Kebutuhan Air ... 44

IV.1.1 Data Penyinaran Matahari Rata-rata Bulanan... 44

IV.1.2 Data Kelembapan Udara Rata-rata Bulanan ... 45

IV.1.3 Data Temperatur Udara Rata-rata Bulanan ... 46

IV.1.4 Data Kecepatan Angin Rata-rata Bulanan ... 46

IV.1.5 Data Expose Surface... 47

(9)

IV.2 Analisa Curah Hujan Dengan Menggunakan Metode Thiessen ... 49

IV.3 Perhitungan Efisiensi Saluran ... 51

IV.3.1 Pengumpulan data efisiensi saluran ... 53

1. Metode Pengumpulan data ... 53

2. Hasil perhitungan. ... 55

IV.4 Perhitungan Efektivitas Saluran ... 59

BAB V ANALISA EKONOMI ... 60

V.1. Latar Belakang. ... 60 V.2. Analisa Ekonomi ... 62 1. Metode Net Present Value (NPV) ... 63

2. Metode Internal Rate of Return (IRR) ... 63

3. Metode Payback Period ... 64

4. Metode Benefit Cost Ratio (BCR) ... 64

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

VI.1 Kesimpulan ... ... 65

VI.2 Saran ... ... 66

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data penyinaran matahari rata-rata bulanan. ... 45

Tabel 4.2 Data kelembaban udara rata-rata bulanan. ... 45

Tabel 4.3 Data Temperatur Udara Rata-rata Bulanan ... 46

Tabel 4.4 Data kecepatan angin rata-rata bulanan. ... 47

Tabel 4.5 Data expose surface. ... 47

Tabel 4.6 Data curah hujan rata-rata bulanan. ... 48

Tabel 4.7 Data perhitungan curah hujan thiessen. ... 50

Tabel 4.8 efisiensi saluran irigasi ... 51

Tabel 4.9 Daftar saluran sekunder dengan tingkat kerusakan berat. ... 52

Tabel 4.10 Efisiensi saluran irigasi Di Namu Sira-Sira ... 55

Tabel 4.11 Luas areal pertanian di Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kiri ... 57

Tabel 4.12 Luas areal pertanian di Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kanan ... 57

Tabel 5.1 Sebelum Rehabilitasi ... 61

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 contoh grafik Payback period ... 43 Gambar 4.1. DAS dengan perhitungan curah hujan polygon Thiessen ... 50

DAFTAR NOTASI

Eto : Evaporasi acuan (mm/hari)

c : Faktor koreksi terhadap perbedaan cuaca antara siang dan malam W : Faktor koreksi temperatur terhadap radiasi

f(u) : Faktor pengaruh kecepatan angin (km/hari) Rn : Radiasi netto (mm/hari)

ea : Tekanan uap jenuh (mbar) ed : Tekanan uap nyata (mbar) R80 : curah hujan efektif (mm)

n : jumlah tahun pengamatan curah hujan

T : temperatur rata-rata dalam bulan pengamatan (˚C) P : persentase lama siang hari rata-rata pertahun

c : faktor koreksi yang tergantung kepada Rhmin, lamanya penyinaran matahari dan angin

Epan : evaporasi Pan yang merupakan rata-rata harian selama pengukuran Kp : koefisien Pan

P : perkolasi

(12)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian sangat berperan penting dalam menunjang kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu sistem dan segala aspek yang mendukung bidang tersebut perlu diberdayakan agar dapat memperoleh hasil yang masksimal, salah satunya adalah sistem irigasinya. Sistem irigasi di Namu Sira-Sira merupakan salah satu bagian penunjang yang vital dalam produksi padi di Sumatera Utara, untuk itu maka dilakukan kajian evaluasi dan efisiensi terhadap jaringan irigasi tersebut dan diharapkan kegiatan ini nantinya dapat membantu meningkatkan produksi pertanian.

Untuk itu perlu dilakukan perhitungan efisiensi penyaluran air irigasi di daerah tersebut. Efisiensi penyaluran air irigasi adalah perbandingan antara jumlah air yang digunakan oleh tanaman dengan jumlah air yang tersedia dinyatakan dalam persentase. Pada saat penyaluran air mulai masuk dari pintu air sampai ke petakan sawah terjadi kehilangan air pada saluran primer, sekunder dan tersier yang disebabkan oleh evaporasi, rembesan maupun perkolasi.

Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi debit air yang tersedia harus cukup untuk disalurkan ke setiap saluran sampai ke petakan sawah. Oleh karena itu diperlukan pengukuran debit agar penyaluran air dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Dari perhitungan didapat Efisiensi penyaluran total sebesar 52.25%.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN I.1 Umum

Letak geografis daerah Namu Sira-sira berada pada kisaran 3’ 31’ LU dan 98’ 27’ BT. Mencakup empat bagian kecamatan yaitu kecamatan Sei Binge, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, dan Kecamatan Binjai Selatan. Kecamatan yang paling luas mendapat pelayanan dari irigasi Namu Sira – Sira adalah Kecamatan Sei Binge.

Daerah irigasi Namu Sira – Sira digagas sejak tahun 70an. Studi kelayakannya diselesaikan pada bulan maret 1978 yang didanai oleh pemerintah inggris (Overseas Development Administration), sedang desain teknisnya selesai pada tahun 1980. Kedua dokumen perencanaan tersebut dikaji ulang dan disempurnakan pada tahun 1982.

Pada tanggal 4 juni 1992 Daerah Irigasi Namu Sira-Sira diresmikan oleh presiden Soeharto di Bah Bolon . Sumber air irigasi Namu Sira – sira berasal dari Sungai Bingei dan memiliki dua saluran primer, yaitu saluran primer kanan dan saluran primer kiri.

(14)

adalah suatu usaha manusia untuk membuang kelebihan air yang merugikan tanaman. Peranan irigasi dalam meningkatkan dan menstabilkan produksi pertanian tidak hanya bersandar pada produktifitas saja tetapi juga pada kemampuannya untuk meningkatkan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang berhubungan dengan input produksi. Irigasi mengurangi resiko kegagalan panen karena ketidak-pastian hujan dan kekeringan, membuat unsur hara yang tersedia menjadi lebih efektif, menciptakan kondisi kelembaban tanah optimum untuk pertumbuhan tanaman, serta hasil dan kualitas tanaman yang lebih baik.

Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat yang cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada realitas sistem irigasi yang telah ada.

(15)

terdapat gabungan dari berbagai faktor, yaitu faktor fisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola, dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada.

Dengan pemahaman tersebut maka akan dapat memandu kita untuk membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi harus berbasis pada berbagai faktor di atas. Begitu juga dalam membahas pembagian peran (role sharing) dalam pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu membangun kesepahaman bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat yang secara langsung meningkatkan efektivitas pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi.

Kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di sisi lain ketersediaan pangan terbatas sehubungan dengan terbatasnya lahan yang ada untuk bercocok tanam, teknologi, modal, dan tenaga kerja, sehingga defisit penyediaan bahan pangan masih sering terjadi.

(16)

Sudjarwadi (1990) mendefinisikan irigasi merupakan salah satu faktor penting dalam produksi pangan. Sistem irigasi dapat diartikan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya penyediaan, pembagian, pengelolaan, dan pengaturan air dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Beberapa komponen dalam sistem irigasi diantaranya adalah :

a. Siklus hidrologi (iklim, air atmosfer, air permukaan, air bawah permukaan)

b. Kondisi fisik dan kimiawi (topografi, infrastruktur, sifat fisik, dan kimiawi lahan)

c. Kondisi biologis tanaman

d. Aktivitas manusia (teknologi, sosial, budaya, ekonomi)

Selain itu pengembangan sistem irigasi di masa lalu dilaksanakan bila beberapa syarat dapat dipenuhi antara lain.: adanya lahan, sumber air yang cukup, tenaga penggarap, jalan masuk, input usaha pertanian, pemanfaat / pasar dan dana pembangunan yang memadai. Pengembangan umumnya memanfaatkan aliran air sungai (run off water) dengan membangun bendung melintang sungai atau waduk-waduk kecil. Efisiensi pemanfaatan air belum mendapatkan perhatian sepenuhnya.

(17)

pembahasan irigasi telah dikemukakan antara lain oleh Ismindarwati (1983), Arief (1996), sedangkan dari aspek sosial ekonomi dan kelembagaan antara lain dibahas oleh Pasandaran (1995), Sumaryanto (2001), Saptana, dkk (2001), Purwoto, dkk (1998). Pentingnya jaringan irigasi ini ditunjukkan pula dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP), antara lain PP No 77/2001 yang diperbaharui dengan PP. No.20 /2006 Tentang Irigasi.

Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer, sekunder dan tersier. Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam ke dalam petakan sawah adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter serta bangunan pelengkapnya.

(18)

lebih tinggi dari permukaan air di saluran sekunder. Disamping itu ditengarai oleh Arief (1996), bahwa menurunnya kapasitas lahan irigasi bisa juga disebabkan karena rancang bangun jaringan irigasi yang kurang baik.

Di dalam pengelolaan jaringan irigasi ini, terdapat tiga kegiatan utama yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (Ismindarwati, 1983). Selanjutnya Kast dan Rosenweig (1985), mengemukakan bahwa tolak ukur keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas. Dalam hal ini efisiensi teknis diukur dari tiga indikator yaitu Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR). Sedangkan efektivitas ditunjukkan oleh indeks luas areal (IA).

Pengembangan sumber daya air secara terpadu dalam skala besar untuk berbagai kepentingan dilaksanakan dengan membangun bendungan/waduk oleh karena itu faktor efisiensi pemanfaatan air tidak dapat di abaikan lagi. Irigasi umumnya merupakan pemanfaat terbesar dalam pengembangan sumber daya air satuan wilayah sungai, berkisar antara 70% sampai 90%. Peningkatan efisiensi penggunaan air akan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan lain terutama pada kondisi iklim yang sangat kering.

(19)

Sumber daya irigasi juga tidak hanya mempengaruhi produktivitas, tetapi juga mempengaruhi spektrum pengusahaan komoditas pertanian. Oleh karena itu kinerja irigasi bukan hanya berpengaruh pada pertumbuhan produksi pertanian tetapi juga berimplikasi pada strategi pengusahaan komoditas pertanian dalam arti luas.

Di masa mendatang, seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan terhadap air irigasi untuk memproduksi pangan (padi) akan terus meningkat. Hal ini terkait dengan fakta bahwa pertumbuhan produktivitas usahatani padi mengalami kemandegan sehingga peningkatan luas panen padi masih tetap merupakan salah satu tumpuan pertumbuhan produksi padi. Kemandegan produktivitas itu terkait dengan menurunnya kualitas lahan sawah akibat dari sindroma over-intensifikasi pada lahan sawah dan penurunan kualitas irigasi (Simatupang, 2001). Sindroma over-intensifikasi terkait dengan dosis pemupukan yang cenderung melebihi kebutuhan optimal (Adiningsih, 1997), sedangkan turunnya kualitas irigasi merupakan akibat dari degradasi kinerja jaringan irigasi (Arif, 1996:Sumaryanto et al, 2006).

Di sisi lain, permintaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, dan untuk memelihara keberlanjutan fungsi sumber daya air itu sendiri (misalnya penggelontoran sungai), semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perluasan perkotaan. Dengan demikian, kompetisi penggunaan air antarsektor meningkat.

(20)

Jawaban terhadap kelangkaan tersebut adalah peningkatan efisiensi irigasi. Untuk meningkatkan efisiensi, dibutuhkan perbaikan sistem pengelolaan irigasi dalam semua level, bukan hanya di tingkat akuisisi, distribusi, maupun drainase, tetapi juga di tingkat usaha tani. Kesemuanya itu membutuhkan perbaikan secara simultan dalam aspek teknis di bidang irigasi maupun usaha tani, peningkatan kapasitas pembiyaan, dan penyempurnaan sistem kelembagaan dalam pengelolaan irigasi.

Bagi negara-negara berkembang, meningkatnya kelangkaan sumber daya air diprediksikan akan menyebabkan turunnya tingkat produksi pangan. Hal ini disebabkan karena :

a. kemampuan untuk melakukan perluasan lahan irigasi makin terbatas disebabkan kendala anggaran dan investasi irigasi semakin mahal. b. sumber daya lahan dan air yang secara teknis dan air yang secara

teknis dan ekonomi layak dikembangkan sebagai lahan pertanian beririgasi semakin sedikit.

c. kebutuhan air untuk sektor lain (rumah tangga, industri) semakin tinggi.

d. pada sistem irigasi yang telah ada, terjadi kemunduran kinerja manajemen sistem irigasi dalam skala yang luas.

(21)

kondisi seperti itu terbentuk, maka instrument ekonomi dapat diterapkan untuk mendorong motivasi petani menggunakan air irigasi secara lebih efisien.

Pertumbuhan produksi pangan sendiri sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi. Sampai dengan dasawarsa 1990-an, dari seluruh lahan di dunia yang dapat digarap, sekitar 237 juta hektar atau 18 persen diantaranya adalah lahan pertanian beririgasi yang menghasilkan lebih dari 33 persen produk pertanian dunia. Dari keseluruhan areal pertanian beririgasi tersebut, sekitar 71 persennya berada di negara-negara berkembang dimana 60 persen diantaranya berlokasi di Asia.

Secara historis juga dapat dilihat bahwa pasca perang dunia II, upaya sebagian besar negara-negara berkembang dalam memenuhi kebutuhan pangan domestiknya ditempuh melalui investasi pendayagunaan sumber daya air untuk pertanian secara besar-besaran. Ini berlangsung secara konsisten sampai tahun 1978. Akan tetapi sejak tahun 1979, laju perluasan lahan irigasi cenderung turun, bahkan dalam periode 20 tahun terakhir ini diperkirakan berkurang sekitar 6 persen.

(22)

lembaga-1978-1992 rata-rata pinjaman World Bank untuk proyek irigasi turun sekitar 50 persen (Wichelns, 1998).

Pengembangan sektor pertanian saat ini lebih diarahkan pada usaha intensifikasi daripada ekstensifikasi mengingat makin terbatasnya lahan pertanian akibat terbatasnya lahan pertanian, akibat meningkatnya konversi lahan menjadi area terbangun. Pembangunan sistem jaringan irigasi merupakan salah satu bentuk intensifikasi dalam rangka mengoptimalkan produktivitas lahan pertanian, sehingga diperoleh cara-cara eksploitasi dan pemeliharaan yang efektif dan efisien. Sebagai tindak lanjutnya, maka pemerintah perlu membantu menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan melihat potensi sumber daya alam yang ada.

Sesungguhnya permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam bidang penyediaan air irigasi bukan hanya biaya investasi yang makin mahal, tetapi juga kinerja irigasi yang telah ada ternyata semakin menurun. Kemunduran kinerja tersebut disebabkan oleh degradasi fungsi infrastruktur dalam sistem irigasi maupun manajemen operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi. Degradasi fungsi infrastruktur antara lain disebabkan oleh kerusakan infrastruktur, sedimentasi di dalam jaringan irigasi, meluasnya tanaman pengganggu di saluran-saluran drainase, serta perubahan permukaan air tanah yang berlebihan.

(23)

a. desain kelembagaan irigasi tidak sesuai dengan dengan aspirasi pengguna.

b. sistem kelembagaan tidak efisien karena perilaku free rider dan praktek-praktek rent seeking.

c. degradasi kemandirian komunitas petani dalam pengelolaan irigasi akibat kooptasi yang berlebihan dari pemerintah dalam pengembangan irigasi. Degradasi fungsi irigasi tersebut cenderung berlanjut jika kemampuan petani untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi tidak dikembangkan. Ini dilatarbelakangi fakta bahwa di sebagian besar negara berkembang, anggaran riil yang dapat disediakan pemerintah untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi semakin menurun (Rosegrant et al, 2002).

Beranjak dari fenomena empiris terkini, tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam bidang irigasi dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, bagaimana meningkatkan efisiensi dalam penggunaan atau produktivitas air irigasi. Kedua, bagaimana memberdayakan petani agar dapat meningkatkan kontribusinya dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Kedua tantangan itu berkaitan dan jawabannya membutuhkan pendekatan yang sistematis dan simultan.

Urgensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi terkait dengan kondisi empiris berikut, yaitu :

(24)

b. potensi untuk meningkatkan efisiensi cukup terbuka karena sampai saat ini tingkat efisiensi yang dicapai masih sangat rendah.

c. dampak positif peningkatan efisiensi irigasi terhadap ketersediaan air untuk kepentingan yang lebih luas akan sangat nyata karena pangsa penggunaan air untuk irigasi sangat besar (sekitar 80 persen).

d. perluasan lahan irigasi baru (new construction) hanya dapat dilakukan dalam skala yang sangat terbatas.

Secara umum, sejak sepuluh tahun terakhir ini, kinerja ketersediaan air irigasi di Indonesia semakin tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan produktivitas usahatani yang tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena semakin meluas (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1999). Menurunnya kinerja irigasi pada umumnya terlihat dari :

a. pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi cenderung menyusut dari tahun ke tahun.

b. rentang waktu kecukupan air semakin pendek.

(25)

keduanya. Sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang tidak memadai tersebut antara lain disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang tersedia.

Penurunan sumber pasokan air irigasi terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi sungai yang dicirikan oleh stabilitas debit yang semakin rendah. Hal ini terkait dengan degradasi lingkungan daerah tangkapan air (cacthment area) yang ternyata sampai saat ini masih sulit.

I.2 Latar Belakang

Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun mendatang banyak negara berkembang yang diprediksikan akan mengalami kelangkaan air yang gawat. Tanpa upaya serius dan sistematis, maka akan terjadi kelangkaan air bersih, ketahanan pangan melemah, frekuensi konflik meningkat, dan kemiskinan meluas (Gleick, 2000).

(26)

Tahun 1995 meningkat menjadi 60 DAS yang kritis, bahkan 20 diantaranya termasuk kategori sangat kritis. Khususnya di Pulau Jawa, menurut Soenarno dan Syarief (1994) meskipun secara agregat air yang tersedia masih cukup tetapi ada 3 DAS yang telah mengalami defisit air yaitu DAS Cisadane-Ciliwung, DAS Citarum Hilir dan DAS Brantas Hilir.

Fenomena umum yang terjadi di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika menunjukkan lebih dari 75 persen air digunakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat efisien penggunaan yang rendah sangat rendah. Oleh sebab itu, peningkatan efisiensi irigasi dapat berperan sebagai salah satu cara yang sangat strategis untuk memecahkan masalah kelangkaan air, baik di sektor pertanian itu sendiri maupun sektor lain yang terkait (Rosegrant et al, 2002; Seckler et al, 1998).

Secara garis besar ada tiga simpul strategis yang tercakup dalam peningkatan efisiensi irigasi. Pertama, pengembangan persepsi publik bahwa air irigasi adalah barang ekonomi yang berharga. Kedua, berdasarkan prinsip itu dikembangkan insentif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut atau optimasi pola pengusahaan komoditas pertanian berdasarkan air yang tersedia. Ketiga, kebijakan yang ditujukan untuk mengantisipasi dampak negatif yang terjadi karena implikasinya terhadap pasokan pangan tidak selalu sinergis dengan upaya pengurangan kemiskinan (Postel, 1994).

(27)

memelihara tetap berfungsinya sumber air dan jaringan irigasi bagi pertanian. Dalam rangka usaha meningkatkan pembangunan di sektor pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan khususnya beras, salah satu upaya pemerintah Indonesia adalah menempatkan pembangunan di sektor irigasi.

Mengingat pentingnya efisiensi jaringan irigasi sehubungan dengan pengaruhnya terhadap produksi pertanian, maka dalam tugas akhir ini saya mengambil topik kajian tentang “EVALUASI EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS JARINGAN IRIGASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN DI NAMU SIRA-SIRA”

I.3 Permasalahan

Irigasi merupakan prasarana untuk meningkatkan produktifitas persatuan lahan dan persatuan waktu (ha/tahun). Mengingat begitu pentingnya irigasi bagi tanaman padi maka perlu diadakan pengkajian tentang irigasi agar persoalan – persoalan irigasi yang beragam dapat terselesaikan.Selain itu umur bangunan yang sudah lama mengakibatkan banyak kerusakan di sana sini sehingga efisiensi jaringan menjadi berkurang. Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana mengevaluasi jaringan irigasi di Namu Sira – Sira dengan rehabilitasi saluran serta membuat studi kelayakan rehabilitasi tersebut menggunakan analisa ekonomi sederhana.

I.4 Tujuan Penulisan

(28)

1. Untuk mengevaluasi jaringan irigasi di Namu Sira-Sira dengan adanya rehabilitasi saluran.

2. Untuk mengetahui apakah rehabilitasi tersebut layak dilakukan dengan menggunakan analisa ekonomi sederhana dengan membandingkan peningkatan produksi pertanian yang terjadi.

3. Meninjau kondisi eksisting jaringan irigasi serta produksi pertanian sebelum rehab.

4. Mengetahui tingkat efektifitas bendung sebelum dan sesudah rehab dan pengaruhnya terhadap peningkatan produksi pertanian.

1.5 Pembatasan Masalah

Permasalahan pada tugas akhir ini dibatasi pada : 1. Studi kasus pada konstruksi bendung Namu Sira - Sira. 2. Debit banjir sungai Bingei.

3. Kebutuhan air untuk petak persawahan

4. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui efektifitas Bendung Namu Sira-Sira sebelum dan sesudah Rehab.

5. Peningkatan produksi pertanian yang terjadi serta studi kelayakan rehabilitasi yang dilakukan.

1.6 Metodologi Penulisan

(29)

1. Mencari dan mengumpulkan data-data, jurnal, ataupun artikel yang terkait dengan proses Pembangunan Rehabilitasi Namu Sira - Sira.

2. Mencari dan mengumpulkan data tentang dimensi dan ukuran bangunan intake dan saluran irigasi di Namu Sira – Sira Serta menghitung debit pada saluran dengan menggunakan rumus :

a. SCRW (Standard Contracted Rectangular Weir) Francis formula Q =1.84L 0,2H 3 / 2

b. Standard Trapezoidal (Cipolletti) Weir : Q = 1,86 L H 3/ 2

3. Melakukan penelitian dan pengamatan kondisi bangunan intake dan saluran irigasi di Namu Sira - Sira.

4. Melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, khususnya instansi Dinas Pengairan dan Irigasi Propinsi Sumatera Utara dalam pengumpulan data-data.

5. Melakukan pengujian lapangan guna melengkapi data-data apabila diperlukan.

6. Mencari dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan bendung dan jaringan irigasi yang telah terangkum dalam buku dan telah diteliti kebenarannya oleh para ahli (sebagai informasi pembanding).

7. Menghitung Efisiensi dan Efektifitas.

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. (a) Tingkat efisiensi akan diukur dari nilai Pasok Irigasi per Area (PIA),

(30)

(a.1) PIA =

Kaidah keputusannya adalah : Semakin kecil nilai PIA, PIR dan PAR, maka pengelolaan irigasi semakin efisien.

(b) Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut:

Dalam hal ini, semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi.

(31)

9. Melakukan Studi Kelayakan Rehabilitasi.

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran garis besar penulisan tugas akhir ini, maka isi tugas akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I . PENDAHULUAN Terdiri dari Umum, Latar Belakang, Tujuan, Pembatasan Masalah, Metodologi, dan Sistematika Penulisan.

Bab II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Terdiri dari Sumber Daya Air (irigasi) di Namu Sira - Sira Sebagai Suatu Lokalitas dan Kesatuan. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Irigasi dan Evapotranspirasi serta membahas profil Daerah Irigasi Namu Sira-Sira dan kondisi eksisting di D.I tersebut. Bab III. METODOLOGI PENELITIAN (Metode-Metode Empiris

Untuk Mengetahui Analisa debit pada saluran, evaluasi efisiensi, studi kelayakan.)

BabIV. Analisa dan pembahasan mengenai EVALUASI EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS JARINGAN IRIGASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN DI NAMU SIRA-SIRA

Bab V. ANALISIS MENGENAI PENINGKATAN HASIL

(32)

STUDI KELAYAKAN TERHADAP REHABILITASI TERSEBUT.

(33)
(34)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

II.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Irigasi

Air yang diperlukan oleh tanaman dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu curah hujan, kontribusi air tanah dan air irigasi. Sementara kehilangan air dari daerah akar (root zone) tanaman adalah berupa evapotranspirasi dan perkolasi.

Apabila jumlah air yang diperoleh dari curah hujan dan kontribusi air tanah tidak mencukupi kebutuhan air yang diperlukan tanaman selama masa pertumbuhannya maka penyediaan air dengan sistem irigasi diperlukan sebagai alternatif penanggulangannya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya air yang perlu disediakan dengan sistem irigasi adalah :

1. curah hujan

2. kontribusi air tanah 3. evapotranspirasi 4. perkolasi

II.1.1 Curah Hujan

(35)

II.1.2 Curah Hujan Efektif

Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi tidak seluruhnya bisa dimanfaatkan oleh tanaman, karena sebagian akan hilang oleh run off, perkolasi, dan evaporasi. Hujan deras atau curah hujan yang tinggi hanya sebagian saja yang dapat tersimpan di daerah akar tanaman dan efektifitasnya cukup rendah. Curah hujan yang rendah dengan frekuensi yang tinggi yang ditampung langsung oleh daun tanaman mendekati efektifitas 100%.

Curah hujan efektif adalah curah hujan yang diharapkan akan jatuh pada areal pertanian selama masa tumbuh tanaman dan dapat langsung menambah kebutuhan air selama masa tumbuhnya.

Perkiraan curah hujan efektif dihitung berdasarkan keadaan 80% tahun kering (R80). Untuk menentukan tahun dasar (basic year), digunakan metode empiris menurut persamaan :

R80 = n + 1 5

dimana : R80 : curah hujan efektif (mm)

n : jumlah tahun pengamatan curah hujan

n +1 : rangking curah hujan efektif dari urutan terkecil 5

II.1.3 Keadaan dan Jenis Tanah

(36)

yang miring menyebabkan alternatif pemilihan trase saluran terbatas sehingga sistem pemberian air ke masing-masing unit irigasi juga terbatas yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah dan teknik pemberian air pada areal persawahan tersebut.

Jenis tanah akan mempengaruhi besar perkolasi, seepage dan kemampuan kapilarisasi rongga pada lapisan tanah. Di dalam memperhitungkan jumlah air yang diperlukan untuk suatu areal irigasi, disamping kehilangan air akibat perkolasi dan seepage juga perlu diperhitungkan kontribusi air tanah yang mungkin ada pada areal irigasi tersebut.

Untuk mengetahui besarnya kontribusi air tanah pada suatu areal irigasi tertentu diperlukan suatu eksperimen yang mendetail.

II.1.4 Iklim dan Cuaca

Keadaan iklim dan cuaca suatu daerah mempengaruhi besarnya evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi.

Iklim pada umumnya sudah tertentu pada suatu daerah dimana hal ini dipengaruhi oleh letak lintang daerah tersebut. Cuaca erat kaitannya terhadap iklim, karena iklim adalah hasil informasi cuaca pada waktu yang cukup lama di suatu wilayah tertentu.

II.1.5 Jenis Tanaman

(37)
(38)

II.2 Evapotranspirasi II.2.1 Evaporasi

Evaporasi merupakan faktor penting dalam studi pengembangan sumber-sumber daya air. Evaporasi sangat mempengaruhi debit sungai, besarnya kapasitas waduk, besarnya kapasitas pompa untuk irigasi, penggunaan konsumtif untuk tanaman dan lain-lain.

Bila penguapan alamiah dipandang sebagai suatu proses pertukaran energi, maka dapat dapat diperkirakan bahwa radiasi matahari merupakan faktor terpenting dalam analisa evaporasi. Evaporasi adalah suatu proses dimana cairan langsung berubah menjadi uap. Air akan menguap dari tanah, baik tanah gundul atau yang tertutup oleh tanaman dan pepohonan, permukaan tidak tembus air sepeti atap atau jalan raya, air bebas dan air mengalir. Laju evaporasi atau penguapan akan ubah-ubah menurut warna dan sifat pemantulan permukaan (albedo) dan juga akan berbeda untuk permukaan yang langsung tersinari oleh matahari dengan permukaan yang terlindungi dari sinar matahari.

Pertumbuhan tanaman, misalnya tanaman padi sangat tergantung pada keadaan air dan suhu, dimana hal ini diatur oleh interaksi yang rumit antara energi dan neraca air di daerah lingkungan tanaman padi itu. Sejumlah besar fraksi radiasi sinar matahari yang mengenai suatu areal tanaman digunakan untuk penguapan air dari tumbuhan dan tanah atau permukaan air.

(39)

angka tersebut dapat mencapai 200 cm per tahun jika terdapat curah hujan yang banyak dan 10 cm per tahun jika tidak ada curah hujan dalam waktu yang lama. II.2.2 Transpirasi

Semua jenis tanaman memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya dan masing-masing jenis tanaman berbeda-beda kebutuhan airnya. Hanya sebagian kecil saja air yang tinggal di dalam tubuh tumbuh-tumbuhan, sedangkan sebagian besar lagi setelah diserap lewat akar-akar dan dahan-dahan akan ditranspirasikan lewat bagian daun tumbuh-tumbuhan. Proses ini membentuk suatu fase penting dari siklus hidrologi, dimana hujan yang jatuh ke tanah dikembalikan ke atmosfer.

Jumlah air yang ditranspirasikan dapat bertambah besar, misalnya pada pohon besar yang daunnya lebat dan akar-akarnya sangat dalam menembus tanah. Proses transpirasi berjalan terus hampir sepanjang hari di bawah pengaruh sinar matahari dan angin. Pada malam hari pori-pori daun yang disebut stomata menutup dan mengakibatkan terhentinya proses transpirasi dengan drastis. Kejadian ini dapat diterangkan sebagai berikut. Air yang terserap melalui akar akan berpindah melalui pohon ke ke ruang diantara sel di dalam daun-daunnya. Udara memasuki daun melalui stomata yang terbuka pada permukaan daun. Chloroplast di dalam daun menggunakan karbondioksida dari udara dan sebagian kecil air untuk mengolah karbohidrat guna proses pertumbuhannya (foto sintesis).

(40)

II.2.3 Evapotranspirasi

Dalam kondisi lapangan sulit sekali untuk membedakan antara evaporasi dengan transpirasi jika tanahnya tertutup oleh tumbuh-tumbuhan. Kedua proses tersebut saling berkaitan sehingga berkaitan sehingga dinamakan evapotranspirasi. Jadi evapotranspirasi adalah gabungan antara penguapan dari tanah dan tanaman. Evapotranspirasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi pertanian di suatu wilayah. Taksiran mengenai besarnya evapotranspirasi yang mendekati kenyataan sangat penting bagi para ahli agronomi dan pihak lain yang berkecimpung dalam bidang perencanaan pertanian.

II.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Evapotranspirasi II.3.1 Faktor Meteorologi

a. Penyinaran matahari

Penyinaran matahari ini secara langsung akan mempengaruhi besar kecilnya evapotranspirasi. Makin lama penyinaran matahari per harinya maka makin besar pula evapotranspirasi dan sebaliknya. Evapotranspirasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini terjadi hampir tanpa berhenti di siang hari dan kerap kali terjadi di malam hari. Perubahan wujud dari keadaan cair menjadi gas memerlukan input energi yang berupa panas laten. Proses tersebut sangat aktif jika ada penyinaran langsung dari matahari. Awan merupakan penghalang radiasi matahari dan akan menghambat proses evapotranspirasi.

(41)

Seperti disebutkan di atas suatu input energi sangat diperlukan agar evapotranspirasi berjalan terus. Jika suhu udara dan tanah semakin tinggi, maka proses evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat dibandingkan jika suhu udara dan tanah rendah, karena adanya energi panas yang tersedia.

Kemampuan udara untuk menyerap uap air akan naik jika suhunya naik, maka suhu udara mempunyai efek ganda terhadap besarnya evapotranspirasi, sedangkan suhu tanah, daun tumbuhan dan suhu air hanya mempunyai efek tunggal.

c. Kadar lengas relatif (relative humidity)

Jika kelembapan relatif udara naik, maka kemampuan untuk menyerap uap air akan berkurang sehingga laju evaporasi akan menurun. Manakala stomata daun tanaman terbuka, diffusi uap udara yang keluar dari daun tergantung pada perbedaan antara tekanan uap air di dalam rongga sel dan tekanan air pada atmosfer.

d. Angin

Jika air menguap ke atmosfir maka lapisan batas antara tanah dengan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses evapotranspirasi terhenti. Agar proses tersebut berjalan terus maka lapisan jenuh itu harus diganti dengan udara kering. Pergantian itu dapat terjadi hanya kalau ada angin. Jadi kecepatan angin memegang peranan dalam proses evapotranspirasi, karena makin cepat angin berhembus maka semakin besar evapotranspirasi.

(42)

Letak lintang akan mempengaruhi iklim suatu daerah seperti lamanya penyinaran matahari, temperatur, angin, dan lain-lain, sehingga mempengaruhi besar evapotranspirasi.

II.3.2 Tanah

Apabila kandungan air (moisture content) tanah dipermukaan berada di bawah ambang batas, maka evaporasi tidak akan ditentukan oleh keadaan iklim, tetapi ditentukan oleh karakteristik tanah itu sendiri, terutama konduktivitas hidrolis dari tanah. Dalam tahap ini evaporasi kumulatif cenderung bertambah sebesar akar dari waktu untuk suatu jenis tanah tertentu.

Setiap jenis tanah mempunyai moisture content yang berbeda, jadi untuk tanah yang poreous kemampuannya untuk menyimpan air rendah sekali sehingga air yang tersimpan dalam tanah cepat berkurang.

Air yang tersedia di dalam lapisan tanah adalah selisih antara kandungan air pada keadaan kapasitas lapangan dengan kandungan air pada keadaan tanah kering. Secara umum ketersediaan air dapat diidentifikasi sebagai berikut :

- tanah dengan heavy texture : 200 mm air/m dalam tanah - tanah dengan medium texture : 140 mm air/m dalam tanah - tanah dengan texture : 60 mm air/m dalam tanah

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besarnya air yang diserap oleh tanaman adalah : temperatur tanah dan konsentrasi garam dalam tanah.

II.3.3 Faktor Tanaman

(43)

Adapun evapotranspirasi untuk setiap masa pertumbuhan berbeda-beda disebabkan karena perbedaan koefisien pertumbuhan tanaman.

II.3.4 Metode Irigasi

Cara pemberian air irigasi juga akan mempengaruhi besarnya evapotranspirasi. Cara pemberian air erat kaitannya dengan besarnya evaporasi dari tanah.

Irigasi permukaan akan mengakibatkan besarnya evaporasi dari permukaan tanah jika tanah tersebut belum ditutupi oleh daun tanaman, sedangkan irigasi pancaran akan mengakibatkan transpirasi berkurang cukup banyak selama pemberian air tetapi akan dikompensasikan oleh evaporasi dari daun yang basah dan permukaan tanah. Kombinasi dari kedua dampak tersebut tidak akan mengakibatkan evapotranspirasi berbeda jauh dari besaran yang diperkirakan.

II.4 Metode-Metode Empiris untuk Mengestimasi Evapotranspirasi Acuan (ETo)

Sulit sekali menentukan metode yang paling tepat untuk menghitung kebutuhan air untuk tanaman (crop water requirement) karena kesulitan mendapatkan pengukuran yang akurat di lapangan. Suatu metode sering dipergunakan pada daerah yang mempunyai iklim dan keadaan agronomis yang berbeda dengan asal metode tersebut dikembangkan.

(44)

2. Metode Blaney-Criddle (Temperature Methode) 3. Metode Makkink (Radiation Methode)

4. Metode Evaporasi (Pan Evaporation) 5. Metode Humiditi (Humidity Methode) II.4.1 Metode Penman (Penman Methode)

Metode Penman dapat dirumuskan sebagai berikut : Eto = c. [W. Rn + (1-W0. f (u). (ea-ed)]

dimana : Eto : Evaporasi acuan (mm/hari)

c : Faktor koreksi terhadap perbedaan cuaca antara siang dan malam W : Faktor koreksi temperatur terhadap radiasi

f(u) : Faktor pengaruh kecepatan angin (km/hari) Rn : Radiasi netto (mm/hari)

ea : Tekanan uap jenuh (mbar) ed : Tekanan uap nyata (mbar)

Metode ini menggunakan data iklim harian rata-rata, karena perbedaan cuaca pada siang dengan malam hari mempengaruhi evapotranspiras, dan pengaruh tersebut telah diperhitungkan.

Berbagai parameter dalam Metode Penman adalah : a.Faktor kecepatan angin f(u)

f(u) = [0,27 (1+ u )]

100

b. Faktor koreksi temperatur terhadap radiasi W W =

δ

(45)

dimana : T = 0,386 P (mbar/˚C)

L

L = 595 – 0,51t (cal/gr)

t = mean temperatur (˚C)

δ = 2 (0,00738t + 0,8072)

-

0,00116 (mbar/˚C) dimana n = 7

Pa = 1013 – 0,1055E

E = elevasi dari muka laut (m)

II.4.2 Metode Blaney-Criddle

Penggunaan metode ini disarankan untuk daerah yang hanya mempunyai data temperatur. Rumus ini didasarkan atas pengukuran dari penggunaan air konsumtif bagi tanaman yang diairi dengan air irigasi dan tumbuh-tumbuhan alam pada kondisi lapangan di bagian Barat Amerika Serikat yang merupakan hasil studi atas field plot dan lysimeter.

Eto = c [ p (0,46 T + 8 )] (mm/hari)

dimana : ETo : evapotranspirasi acuan untuk bulan pengamatan T : temperatur rata-rata dalam bulan pengamatan (˚C) p : persentase lama siang hari rata-rata pertahun

c : faktor koreksi yang tergantung kepada Rhmin, lamanya penyinaran matahari dan angin

(46)

Dikenal dengan metode radiasi yang dipublikasikan pada tahun 1957. Penggunaan metode ini direkomendasikan untuk daerah yang mempunyai data iklim berupa data temperatur dan penyinaran matahari, awan atau radiasi, tetapi tidak mempunyai data tentang angin dan kadar lengas.

(47)

II.4.4 Metode Evaporasi (Pan Metode)

Panci evaporasi dipergunakan untuk mengukur pengaruh integrasi antara radiasi, angin, temperatur dan kadar lengas terhadap evaporasi dari suatu permukaan air yang spesifik.

Eto = Kp. Epan

dimana : Epan : evaporasi Pan yang (mm/hari) merupakan rata-rata harian selama pengukuran

Kp : koefisien Pan

II.4.5 Metode Humidity

Etp = CdL (qmax – qmin)

dimana : qmax dan min : kadar lengas absolut yang berkaitan dengan temperatur udara max dan min

dL : pecahan yang menggambarkan jumlah jam siang hari tahunan

C : 1 untuk Etp dalam mm/bulan

II.5 Kajian Mengenai Free Intake Existing

II.5.1 Analisa debit pengaliran dengan menggunakan beberapa rumus : 1. SCRW (Standard Contracted Rectangular Weir)

Francis formula :

(48)

dengan : Q (m3/det), L: lebar ambang (m) H: beda elevasi antara ambang dengan muka air pada weir pool (m).

Standar Trapezoidal (Cipolleti) Weir : Q = 1,86 L H 3/ 2/1.2

Standard 90 0 V-notch Weir (Thompson)

Q = 8/15 Cd √2g H 5 / 2

/1.3

Umumnya nilai Cd = 0,592, sehingga: Q ฀฀฀฀฀฀฀฀H 5 / 2.../1.4.a

atau dalam satuan Q (liter/detik) dan H (cm), maka : Q = 0,014 H 5 / 2/1.4.b

Perkiraan kebutuhan air irigasi dapat dihitung dengan rumus : NFR = Etc + P + WLR – Re

dimana :Etc : evapotranspirasi (mm/hari) P : perkolasi (mm/hari) WLR : penggantian lapisan air (mm/hari) Re : curah hujan effektif (mm/hari)

Perhitungan kebutuhan pengambilan (IR) adalah besarnya kebutuhan air yang diambil dari sumbernya dan dapat dirumuskan menjadi :

(49)

Perumusan kebutuhan total air irigasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

KAI = (ETC + IR + RW + P – ER) x A

IE

dimana :ETc : evapotranspirasi (mm/hari),

IR : kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari), RW : kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari), P : perkolasi (mm/hari),

(50)

II.6 Profil Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Serta Kondisi Eksistingnya. II.6.1 Letak Geografis

Letak geografis daerah Namu Sira-sira berada pada kisaran 3’ 31’ LU dan 98’ 27’ BT. Mencakup empat bagian kecamatan yaitu kecamatan Sei Binge, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, dan Kecamatan Binjai Selatan. Kecamatan yang paling luas mendapat pelayanan dari irigasi Namu Sira – Sira adalah Kecamatan Sei Binge.

II.6.2 Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kiri

Saluran primer kiri memiliki dua saluran sekunder utama yaitu Saluran Sekunder Raja Tengah dan Saluran Sekunder Namu Ukur Kiri. Saluran Sekunder Namu Ukur Kiri memiliki dua cabang saluran sekunder yaitu Saluran Sekunder Bela Rakyat dan Saluran Sekunder Suka Tani. Saluran Sekunder Bela Rakyat memiliki beberapa cabang saluran sekunder berukuran pendek dan satu cabang berukuran panjang yaitu Saluran Sekunder Tumaninah.

Pada saat perencanaan di Saluran Primer Kiri terdapat petak tersier seluas 2.182 ha yang terbagi dalam 47 petak tersier. Deskripsi penyebaran petak tersier yang terdapat pada Saluran Primer Kiri adalah :

(51)

II.6.2.1 Panjang Saluran dan Panjang Jalan Inspeksi Namu Sira-Sira Kiri 1.) Panjang Saluran Primer : 6.929,60 m

2.) Panjang Saluran Sekunder : 28.623,77 m a. BNU 1 s/d BNU4 : 3.240,20 m b. BNU 1 s/d BRT 1-4 : 3.343,98 m c. BNU 4 s/d BST 1-6 : 8.876,30 m d. BNU 4 s/d BBR 1-10 : 8.015,53 m e. BBR 6 s/d BTN 1-4 : 3.671,91 m f. BBR 3 s/d BBK 1-2 : 921,93 m g. BBR 5 s/d BBR 5M : 554,00 m 3.) Jalan Inspeksi : 36.918,00 m

Inventarisasi Jaringan pada Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kiri adalah sebagai berikut :

- Bangunan Bendung : 1 Unit - Bangunan Bagi : 5 Unit - Bangunan Bagi Sadap : 25 Unit

- Talang : 5 Unit

- Sypon : 6 Unit

- Gorong-gorong : 12 Unit

- Jembatan : 29 Unit

(52)

- Pelimpah : 9 Unit

- Pembilas : - Unit

II.6.3 Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kanan

Saluran Primer Kanan memiliki dua cabang utama saluran sekunder yaitu Saluran Sekunder Namu Tating dan Saluran Sekunder Namu Ukur Kanan. Saluran Namu Tating memiliki satu cabang yaitu Saluran Sekunder Sampai Gunung. Saluran Sekunder Namu Ukur Kanan memiliki dua cabang yaitu Saluran Sekunder Sei Bingei dan Saluran Sekunder Lao Tengis, Saluran Sekunder Sei Bingei ini mempunyai satu cabang lagi yaitu Saluran Sekunder Marcapada sedangkan Saluran Sekunder Lao Tengis memiliki dua buah cabang saluran sekunder.

Pada saat perencanaan di Saluran Primer Kanan terdapat Petak Tersier seluas 4.097,5 ha yang terbagi dalam 65 petak tersier. Deskripsi penyebaran petak tersier yang terdapat pada Saluran Primer Kanan adalah :

(53)

II.6.3.1 Panjang Saluran dan Panjang Jalan Inspeksi Namu Sira-Sira Kanan 1.) Panjang Saluran Primer : 2.648,13 m

2.) Panjang Saluran Sekunder : 61.597,51 m a. BNS 1 s/d BNU 9 : 10.653,20 m b. BNU 2 s/d BNU 2M : 1.741,70 m c. BNU 4 s/d BMC 7 : 8.374,84 m d. BMC 1 s/d BSB 4 : 5.845,40 m e. BNU 8 s/d BLT 2 : 2.704,23 m f. BLT 1 s/d BLT 1M : 2.007.23 m g. BNS 1 s/d BNT 6 : 24.099,20 m h. BNT 1 s/d BSG 6 : 6.153,51 m 3.) Panjang Saluran Suplesi : 5.350 m a. Suplesi Lau Tenges : 2700 m b. Suplesi Lau Puyuh : 1450 m c. Suplesi Beguldah : 800 m d. Suplesi Sei Sekil : 400 m 4.) Jalan Inspeksi : 38.500,00 m

Inventarisasi Jaringan pada Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kanan adalah sebagai berikut :

(54)

- Sypon : 1 Unit - Gorong-gorong : 21 Unit

- Jembatan : 22 Unit

- Bangunan Terjun : 228 Unit - Gorong-gorong Miring : 14 Unit

- Pelimpah : 3 Unit

- Alur Pembuang : 13 Unit - Bangunan tempat cuci : 43 Unit

II.6.4 Pertanian Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kabupaten Langkat

Pola tanam yang umum dilakukan adalah Palawija-Padi atau Padi-Palawija-Palawija. Pilihan pola tanam ini ditentukan oleh kesepakatan antara Dinas Pertanian dengan Dinas Pengairan, yaitu terkait dengan ketersediaan air atau kecukupan air pertanian. Jika air cukup untuk menanam padi maka petani akan menanam padi, namun jika dirasa kebutuhan air tidak mencukupi untuk bertanam padi maka petani akan menanam palawija.

II.6.5 Permasalahan Umum Daerah Irigasi Namu Sira-Sira

Secara umum permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan meliputi dari empat aspek yaitu :

1. Aspek Kelembagaan

(55)

fungsinya. Kepengurusan tidak lengkap serta kapasitas pengurus yang terbatas, Legalitas P3A sudah kadaluarsa, terjadi masalah moralitas dan kriminalitas pengurus, air tidak tersedia, jaringan tidak berfungsi serta partisipasi/keswadayaan anggota masih minim.

2. Aspek Teknik Irigasi

Kondisi saluran primer dan sekunder sebahagian dalam kondisi rusak dan kurang terawat, adanya sadap liar yang tidak terukur dalam saluran irigasi.

3. Aspek Teknik Usaha Tani

Rendahnya efisiensi ekonomi usaha tani dan terjadinya alih jenis komoditi di daerah Namu Sira-Sira.

4. Aspek Pembiayaan

(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di daerah irigasi Namu Sira- Sira di Kabupaten Langkat yaitu Kecamatan Sei Bingei, Lokasi Bendung Namu Sira- Sira berjarak ± 11 km sebelah barat Kotamadya Binjai.

Letak geografis Kecamatan Sei Bingei berada pada kisaran 3’ 14’ LU dan 97’ 52’ BT. Daerah Kecamatan Sei Binge mempunyai iklim hujan tropis dan curah hujan rata – rata berkisar antara 2000 – 3500 mm per tahun. Temperatur udara rata – rata 26,8 C, rata – rata kelembaban nisbi sekitar 85%, lama penyinaran 58%, dan kecepatan angin rata – rata 1,9m per detik.

III.2. Metode Pengumpulan Data

(57)

III.3. Menghitung Debit pada Saluran.

Perhitungan debit pada saluran dihitung dengan menggunakan rumus : a. SCRW (Standard Contracted Rectangular Weir) Francis formula

Q = 1.84

(

L 0,2H

)

H 3 / 2

b. Standard Trapezoidal (Cipolletti) Weir : Q = 1,86 L H 3/ 2

III.4. Menghitung Tingkat Efisiensi dan Efektifitas

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. (a) Tingkat efisiensi akan diukur dari nilai Pasok Irigasi per Area (PIA),

(58)

Kaidah keputusannya adalah : Semakin kecil nilai PIA, PIR dan PAR, maka pengelolaan irigasi semakin efisien.

(b) Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut:

Dalam hal ini, semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi.

III.5. Studi Kelayakan

Dalam melakukan studi kelayakan terhadap proyek Rehabilitasi Namu Sira- Sira, menggunakan metode berikut ini.

1. Metode Net Present Value (NPV)

(59)

definisikan sebagai selisih antara Present Value antara komponen manfaat dan komponen biaya. Secara matematis di tuliskan sebagai berikut :

NPV = Σ Bt/1+dt - Σ Ct/1+dt

=Σ Bt-ct/1+dt

2. Metode Benefit Cost Ratio (BCR)

Prinsip dasar metode ini adalah mencari indeks yang menggambarkan tingkat efektifitas pemanfaatan biaya terhadap manfaat yang diperoleh. Indeks ini dikenal sebagai indeks Benefit Cost Ratio, yang secara matematis ditulis :

BCR = ΣBt/1+dt ΣCt/1+dt

3. Metode Internal Rate of Return (IRR)

IRR atau internal rate of return adalah besaran yang menunjukkan harga discount rate pada saat NPV = 0. Dalam hal ini IRR dapat di anggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, dan secara matematis ditulis:

(60)

4. Metode Payback Period

Metode payback period adalah metode yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi dihitung dari aliran kas bersih. Dalam hal ini menggunakan BEP dan B/C rasio.

Gambar 3.1 contoh grafik Payback period

(61)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

IV.1 Analisa Data Klimatologi dan Curah hujan serta Perhitungan Kebutuhan Air

Dari data – data klimatologi dan curah hujan yang ada akan dianalisa faktor –faktor yang menentukan dalam pengelolaan irigasi di Namu Sira – Sira tersebut.

Di dalam analisa dan pembahasan ini data curah hujan yang dipakai berasal dari 3 stasiun curah hujan yang ada di Namu Sira - Sira, yaitu : Stasiun BPP kecamatan Sei Bingei, Stasiun BPP kecamatan Selesai, serta Stasiun BPP kecamatan Kuala. Data Klimatologi diambil dari stasiun klimatologi Sampali dikarenakan tidak adanya stasiun klimatologi yang memadai yang tersedia di daerah Namu Sira-Sira

IV.1.1 Data Penyinaran Matahari Rata-rata Bulanan

(62)

Tabel 4.1 Data penyinaran matahari rata-rata bulanan.

IV.1.2 Data Kelembapan Udara Rata-rata Bulanan

Data kelembapan udara diperoleh dari stasiun klimatologi Sampali. Kelembapan udara minimum sebesar 83.00 % terjadi pada bulan Juni dan Juli, sedangkan kelembapan maksimum sebesar 87.00 % terjadi pada bulan Oktober dan Nopember.

(63)

IV.1.3 Data Temperatur Udara Rata-rata Bulanan

Temperatur setiap bulannya sedikit bervariasi sepanjang tahun khususnya di pertengahan bulan. Temperatur udara rata-rata bulanan minimum adalah 25.50

0

C pada bulan Januari, sedangkan temperatur udara rata-rata bulanan maksimum adalah 27.20 0C pada bulan Mei.

Tabel 4.3 Data Temperatur Udara Rata-rata Bulanan

IV.1.4 Data Kecepatan Angin Rata-rata Bulanan

(64)

IV.1.5 Data Expose Surface Tabel 4.5 Data expose surface.

Bulan Expose Surface ( % )

(65)

IV.1.6 Data Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Rata-rata lamanya Hujan Per Bulan

Curah hujan adalah banyaknya hujan yang jatuh pada suatu tempat. Curah hujan juga mempengaruhi debit dan aliran permukaan pada suatu sungai. Intensitas turunnya hujan juga merupakan faktor penting, sehingga intensitas rata-rata lamanya hujan juga harus diperhitungkan.

(66)

IV.2 Analisa Curah Hujan Dengan Menggunakan Metode Thiessen

Metode ini digunakan apabila dalam suatu wilayah stasiun pengamatan curah hujannya tidak tersebar merata. Curah hujan rata-rata dihitung dengan mempertimbangkan pengaruh tiap-tiap stasiun pengamatan, yaitu dengan cara menggambar garis tegak lurus dan membagi dua sama panjang garis penghubung dari dua stasiun pengamatan.

Kemudian dibuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn

akan terletak pada suatu poligon tertentu An. Dengan menghitung perbandingan

luas untuk setiap stasiun yang besarnya = An/A, dimana A adalah luas daerah

penampungan atau jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi curah hujannya. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

A

d = Tinggi curah hujan rata-rata areal d1, d2, d3,...dn = Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n

(67)

Gambar IV-1. DAS dengan perhitungan curah hujan polygon Thiessen.

Hasil perhitungan dengan rumus polygon thiessen lebih teliti dibandingkan perhitungan dengan rumus lainnya yang sejenis.

Penghitungan curah hujan di DAS Namu Sira - Sira dengan metode Thiessen pada tugas akhir ini menggunakan data curah hujan dari 3 stasiun curah hujan yang ada, yaitu : Stasiun Sei Bingei, Stasiun Kuala, Stasiun Selesai.

Tabel 4.7 Data perhitungan curah hujan thiessen.

No

Stasiun Curah Hujan

Luas Catchment Area

(km2) Faktor Thiessen

1 Sei Bingei 373.891 0.493878504

2 Kuala 144.699 0.284200849

3 Selesai 167.382 0.221920647

(68)

Debit andalan dari hasil perhitungan F. J . Mock dapat diasumsikan sebagai debit yang memiliki probabilitas 80%. Debit dengan probabilitas 80% adalah debit yang memiliki kemungkinan terjadi di bendung sebesar 80% dari 100% kejadian. Jumlah kejadian yang dimaksud adalah jumlah data yang digunakan untuk menganalisis probabilitas tersebut. Jumlah data minimum yang diperlukan untuk analisis adalah lima tahun dan pada umumnya untuk memperoleh nilai yang baik data yang digunakan hendaknya berjumlah 10 tahun data.

Dalam tugas akhir ini menggunakan data debit bulanan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 di Daerah Irigasi Namu Sira - Sira..

Debit andalan yang dipakai adalah debit minimum berdasarkan pola tanam di Daerah Irigasi Namu Sira – Sira yaitu 38,60 m3/detik

IV.3 Perhitungan Efisiensi Saluran

Pada saluran irigasi dalam kondisi normal, tingkat efisiensi yang ada adalah sekitar 65%, secara terperinci ditunjukkan pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.8 efisiensi saluran irigasi

Jaringan efisiensi Kehilangan air

Saluran tersier 80 % 15 - 22.5 %

Saluran sekunder 90 % 7.5 – 12.5 %

Saluran primer 90 % 7.5 – 12.5 %

(69)

Namun pada kenyataannya kondisi saluran di daerah irigasi Namu sira – sira sudah tidak memadai karena faktor usia pakai yang memang sudah cukup lama. Maka dari itu perlu ditinjau ulang efisiensi saluran pada daerah irigasi tersebut.

Dari pengumpulan data dari masyarakat, didapat bahwa ada beberapa saluran yang mengalami kerusakan parah seperti tergambar dalam tabel berikut : Tabel 4.9 Daftar saluran sekunder dengan tingkat kerusakan berat.

No Saluran Permasalahan

1 BNU2-BNU3 Sisi talud amblas 10m , saluran perlu dilining sepanjang

30m

2 BNU3ka Talud saluran sekunder longsor

3 BMC2 Banyak sampah sehingga air tak mengalir dengan baik

4 BNU9 Terimbun tanah sehingga tidak berfungsi lagi

5 BNT1 Lining talud hancur

6 BNT2 Dasar saluran bangunan terjun hancur

7 BSG1 Dinding talud jatuh

8 BSG2 Dinding saluran hancur

9 BSG3 Dinding saluran hancur

10 BSG4 Lining dinding saluran hancur sepanjang 2m

11 BNT6 Saluran ditutup, warga mendirikan bangunan diatasnya

12 BBR5 Sedimentasi tinggi

13 BBR5-BBR6 Sadap liar, lining talud hancur sepanjang 6m

14 BBR6-BBR7 Perlu dilining sepanjang 150m

15 BBR7-BBR8 Sedimentasi tinggi, perlu dilining sepanjang 200m

16 BBR8-BBR9 Gorong - gorong sering tersumbat

17 BTN1 Perlu dilining sepanjang 100m di sebelah kiri saluran

18

BMC5-BMC6

Sadap liar, saluran ditumbuhi semak, saluran perlu dilining sepanjang 300m hingga bangunan sadap, sedimentasi

tinggi

19 BMC4 Lining jebol sepanjang 4m

20 BSB4 Sadap liar, sedimentasi tinggi, lining saluran rusak

21 BBK1-BBK2 Perlu dilining

22 BBR3 Perlu dililing

23 BST 2 Saluran dijadikan tempat ternak ikan dan mandi kerbau

(70)
(71)

IV.3.1 Pengumpulan data efisiensi saluran 3. Metode Pengumpulan data

Metode yang saya gunakan untuk mengumpulkan data efisiensi di daerah irigasi Namu Sira Sira menggunakan 2 metode yaitu melakukan survey teknis dan mewawancara masyarakat sekitar.

a. Survey Teknis

Survey ini dilakukan dengan melakukan penelitian langsung pada saluran irigasi menggunakan pelampung untuk dengan menggunakan rumus debit pada saluran terbuka yaitu :

Q = V. A

Karena perhitungan efisiensi merupakan perbandingan antara debit yang masuk dengan debit yang keluar, dan diasumsikan luas penampang basah (A) sama pada tiap – tiap saluran maka rumus diatas bisa disederhanakan menggunakan persamaan :

Efisiensi = V1/V2  V = T.S = T2/T1

Dimana S = 6m

(72)

Walaupun begitu penulis menyadari bahwa keakuratan data tersebut kurang karena perubahan dimensi pada saluran diakibatkan oleh rusaknya dinding saluran serta perubahan kedalaman yang terjadi karena penyebaran sedimen yang tidak merata. Pengukuran yang akurat tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan biaya sehingga kesalahan pengukuran diminimalisir dengan cara melakukan survey kecepatan V1 dan V2 diusahakan pada kondisi dimensi yang sama.

Data percobaan diambil dengan mengukur waktu pada ujung dan pangkal saluran sekunder yaitu sebesar jarak 6 meter.

(73)

b. Wawancara.

Survey dengan wawancara ini dilakukan untuk mencari efisiensi saluran tersier karena panjang total saluran tersier tidak diketahui dan keterbatasan saya dalam pengambilan data baik secara materi maupun waktu.

Wawancara dilakukan ke masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai petani dengan menanyakan langsung berapa perkiraan air yang hilang mulai dari petak tersier sampai ke sawah. Dari data wawancara didapat efisiensi sebesar 60-70% karena banyaknya kerusakan.

4. Hasil perhitungan

Jadi pada dearah irigasi NAMU SIRA SIRA mempunyai efisiensi sebagai berikut

Tabel 4.10 Efisiensi saluran irigasi Di Namu Sira-Sira

Jaringan efisiensi Kehilangan air

Saluran tersier 65% 7.5 – 35 %

Saluran sekunder 65 % 7.5 – 35 %

Saluran primer 91 % 7.5 – 12.5 %

Jumlah 38.448% 61.542%

(74)

tersebut. Adapun dari keterangan mereka didapat bahwa efisiensi saluran sekunder mencapai 60-70% karena banyaknya kerusakan.

Dari data perhitungan didapat bahwa efisiensi keseluruhan saluran adalah 38.448%. Kebutuhan air untuk tanaman padi diambil 1,66L/det Ha.

(75)

(a.3) PAR/RWS =

Luas areal pertanian di Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kiri

N

Sumber: Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Proponsi Sumut, Unit Pelaksana Namu Sira-sira Kiri, 2009

Tabel 4.12

Luas areal pertanian di Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kanan

(76)

N

Sumber: Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Proponsi Sumut, Unit Pelaksana Namu Sira-sira Kanan, 2009

(77)
(78)

IV.4 Perhitungan Efektivitas Saluran

Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut:

IA =

Rancangan Luas

Terairi Areal

Luas

X 100 %

IA =

Ha 6300

Ha 5217

X 100 %

(79)

BAB V

ANALISA EKONOMI

V.1. Latar Belakang.

Analisa ekonomi dilakukan pada proyek rehabilitasi yang dilakukan pada Daerah irigasi Namu sira-sira yaitu Participatory Irrigation Rehabilitation and Improvement Management Project (PIRIMP) dimulai pada tahun 2009, di[aksanakan di beberapa provinsi, salah satunya adatah Sumatera Utara. PIRIMP merupakan proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Parisipatif, di mana petani/ketompok P3A diharapkan mampu berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemeliharaan irigasi yang mereka gunakan.

Proyek PIRIMP terdiri dari 2 komponen, yaitu:

1. Rehabititasi jaringan (saat ini baru diaplikasikan pada saluran sekunder).

2. Perbaikan operasi dan pemeliharaan janngan irigasi dengan pemberdayaan P3A dan penguatan kelembagaan O&P pemerintah, pengelolaan air tingkat usaha tani dan pengelolaan aset jaringan irigasi.

Dengan demikian diharapkan dengan adanya analisa ekonomi yang bertumpu pada studi kelayakan ini dapat dievaluasi secara garis besar kelayakan proyek tersebut. Adapun anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk rehabilitasi saluran sekunder periode 2009-2011 yaitu sebesar :

(80)

Jumlah Total : Rp. 47.573.000.000,-

(Sumber : Badan wilayah sungai II Sumatera Utara)

Dengan adanya rehabilitasi ini diasumsikan terjadi kenaikan efisiensi saluran sekunder menjadi seperti pada bangunan baru yaitu 90%. Sehingga terjadi perubahan efisiensi total saluran seperti pada tabel berikut :

Sebelum Rehabilitasi

Jaringan efisiensi Kehilangan air

Saluran tersier 65% 7.5 – 35 %

Saluran sekunder 65 % 7.5 – 35 %

Saluran primer 91 % 7.5 – 12.5 %

Jumlah 38.448% 61.542%

Sesudah Rehabilitasi

Jaringan efisiensi Kehilangan air

Saluran tersier 65% 7.5 – 35 %

Saluran sekunder 90 % 7.5 – 10 %

Saluran primer 91 % 7.5 – 12.5 %

Gambar

Gambar I.1. Peta Lokasi Daerah Irigasi Namu Sira-Sira
Gambar 3.1 contoh grafik Payback period
Tabel 4.1 Data penyinaran matahari rata-rata bulanan.
Tabel 4.3 Data Temperatur Udara Rata-rata Bulanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

sekunder serta skema bangunan irigasi, data debit sungai di bendung Banjaran, data hujan, data debit pengambilan (intake) di bendung, saluran primer/induk dan saluran

Untuk mengetahui dimana teknologi Hasil Kajian BPTP Sumatera Utara diuji dan diterapkan, untuk menganalisis tingkat penerapan teknologi padi sawah di Kecamatan Lubuk Pakam dan

Untuk mengetahui dimana teknologi Hasil Kajian BPTP Sumatera Utara diuji dan diterapkan, untuk menganalisis tingkat penerapan teknologi padi sawah di Kecamatan Lubuk Pakam dan

Rusydatulhal, 2004.Analisis Keragaan Teknis dan Ekonomis Irigasi Gravitasi Padi Sawah Pada Jaringan Irigasi Ramonia Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.. Kajian Potensi

Efisiensi penyaluran air irigasi di kawasan sungai ular daerah irigasi bendang kabupaten serdang bedagai.. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Pada Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat tidak ada kerusakan luas lahan beririgasi dan kerusakan areal panen (Tabel 3) serta luas

“ Evaluasi Kinerja Jaringan Irigasi Ujung Gurap untuk Meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi Pengolahan Air Irigasi”.. Universitas Sumater

sekunder serta skema bangunan irigasi, data debit sungai di bendung Banjaran, data hujan, data debit pengambilan (intake) di bendung, saluran primer/induk dan saluran