Subcomandante Marcos: Bayangan
Welfare State
dalam
Sebuah Negara Despotis
(Sebuah Studi Diskursus Ideologi Politik Subcomandante Marcos)
D I S U S U N
Oleh
Jenius Efesus Berutu
070906041
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
JENIUS EFESUS BERUTU (070906041)
SUBCOMANDANTE MARCOS: BAYANGAN WELFARE STATE DALAM SEBUAH NEGARA DESPOTIS
(SEBUAH STUDI DISKURSUS IDEOLOGI POLITIK SUBCOMANDANTE MARCOS)
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pemberontakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang dikomandani oleh Subcomandante Insurgente Marcos. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan menggunakan teori diskursus sebagai sebuah teori gerakan sosial baru yang dalam pembahasannya terfokus kepada seorang tokoh pemberontak Marcos yang mampu menciptakan, membangun, dan mentransformasikan ideologi politiknya melalui hegemonic discourse yang dikonstruksikan oleh Subcomandante Marcos kepada petani adat di Chiapas pada khususnya. Landasan pemberontakan EZLN yang tidak jauh berbeda dengan gerakan sosial lainnya yaitu ingin mendapatkan apa yang menjadi hak-hak petani adat Chiapas sehingga Marcos menyerukan demokrasi, keadilan, dan kebebasan sebagai sebuah tujuan yang harus dicapai.
Tindakan despotis yang diperlihatkan oleh pemerintah membuat gerakan pemberontak EZLN meluapkan kekesalannya dengan melakukan serangan ke pusat-pusat kota di Meksiko Tenggara. EZLN yang telah berusaha menawarkan kesepakatan damai tetapi pemerintah tidak menanggapi tawaran itu dengan serius dan bahkan pemerintah melakukan penyerangan kepada gerakan pemberontak EZLN.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Dia, saya sebagai penulis diberikan kesempatan dan kesehatan sehingga mampu manyelesaikan penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk menyelesesaikan studi di Departemen Ilmu Politik FISIP USU. Adapun Judul Skripsi ini adalah Subcomandante Marcos: Bayangan Welfare State Dalam Sebuah Negara Despotis (Sebuah Studi Diskursus Ideologi Politik Subcomandante Marcos)
Skripsi ini menjelaskan bagaimana seorang subcomandante Marcos mampu membangun kerangka wacana untuk meraih simpati dari petani adat di Chiapas pada khususnya, kesenjangan ekonomi, pengingkaran hak-hak petani adat dan tidak adanya kebebasan menjadi faktor utama yang mendasari gerakan pemberontakan EZLN kepada pemerintah Meksiko. EZLN menyadari bahwa dengan melakukan pemberontakan maka akan mengurangi legitimasi pemerintah Meksiko.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam peneyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini saya sangat berterimah kasih kepada Bpk. Ahmad Taufan Damanik, MA. Disamping kesibukan yang sangat padat, bapak sebagai dosen pembimbing telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian skripsi saya. Begitu juga dengan Ibu. Dra. Rosmery Sabri, M.A Selaku dosen pembaca saya.
Saya juga mengucapkan banyak terimah kasih kepada : 1. Bpk Prof Badarudin, selaku Dekan FISIP USU
2. Ibu Dra. T. Irmayani, M,Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP
USU
3. Seluruh Dosen Ilmu Politik USU
4. Kepada Staff pegawai FISIP USU
5. Kepada kedua Orang Tua tercinta saya, R. Berutu dan M. Br. Manullang
yang selalu sabar menghadapi anaknya yg bandal ini dan telah
memberikan kasih sayang yang begitu besar. Panjang umur ya. I Love U
6. Kepada keluarga Kak Rosa dan Silih Manik beserta bere-bereku Rika,
Niko, dan Kaleb (semangat kalian ya bere yang sekolah itu). Thanks
kak/silih buat bantuannya selama ini, ga kan kulupakan itu. Tuhan
Memberkati Kalian.
7. Kepada keluarga bg Ades/kak Tari (thanks bg buat kebaikan dan
dukungannya selama ini), bg Janti (semoga keluarga abg diberi kelancaran
dalam menjalankan usaha, jaga kesehatan kalian bg), bg Novel/kak Ana
(semoga keluarga baru kalian cepat mendapatkan momongan dan
mudah-mudahan selalu harmonis bg, btw kapan dulu kita makan BPK bg?
hahaha), kak Vinna (jaga kesehatan kak dan sering2 kasi kabar yak. GBU),
kak Butet (hahaha, jarang2 awak panggil kak Anna, kapan nikahnya kak,
semoga betah kerja di desa perjaga tahe? Hahaha)
8. Buat saudara-saudara aku, Tanteku yang cantik, semua Tulangku yang
baik, sepupuku, Ganda, Batoni, Siti, Cinda, Cynthia, Cellin, Vandi, Kezia,
Deby, Robby, dan yang lainnya. I love u all.
9. Teman-temanku yang gokil Reymon Cibro (kawan awak dari TK), alm.
Anton Pakpahan (semoga kau tenang di sana bro), bg jhonny, bg Ivan, bg
Doni Vendra, Dion, Rikky, Adolf Hitler, Timbul, Alex, dll (anak dolomite
camp). Thanks buat dukungan kalian bray.
10.Buat my special one, Ruth Cindy Lawver. Thanks ya iban awak buat
semangatnya, kau datang di saat yang tepat (sadap).
11.Semua teman-temanku di Departemen Ilmu politik FISIP USU. Abed (Lae
awak), Doni, Arthur, Pipin, Rizki, Daniel, Adel, William, Desi, Eka, Rani,
12.Teman-teman GmnI cabang Medan Raya, Sarinah Tika, bung Tatang
(appara), bung Bernad, bung Okto, bung Erik, bung Anwar Lubis, bung
Anwar Saragih, dan masih banyak juga yg ga bisa disebutin satu per satu.
GmnI Jaya !!! Marhaen Menang !!! lanjutkan perjuangan teman-teman.
Akhir kata penulis, masih merasa memiliki banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan maupun isi skripsi.oleh karenanya penulis dengan senang hati menerima setiap saran dan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, 25 Januari 2012
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 5
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 6
1.3.2. Manfaat Penelitian ... 6
1.4.Kerangka Teoritis ... 7
Teori Diskursus ... 7
1.4.1. Antagonisme, Ekuivalensi dan Pembedaan ... 9
1.4.2. Imagined Communities ... 14
1.4.3. Revolusi Demokratik ke arah Welfare State ... 16
1.4.4. Hegemoni ... 20
1.5.Metode Penelitian ... 26
1.5.1. Jenis Penelitian ... 26
1.5.2. Metode Pengumpulan Data ... 26
1.5.3. Analisis Data ... 26
BAB II EMILIANO ZAPATA, TENTARA PEMBEBASAN NASIONAL ZAPATISTA, DAN SUBCOMANDANTE MARCOS ... 27
2.1. Emiliano Zapata ... 27
2.2. Sejarah Tentara Pembebasan Nasional Zapatista/EZLN ... 31
2.2.2. Struktur EZLN ... 41
2.3. Subcomandate Insurgente Marcos ... 42
BAB III PENCIPTAAN WELFARE STATE DALAM SEBUAH NEGARA DESPOTIS ... 45
3.1. Meksiko Demokratis dan Berkeadilan: Konstruksi Wacana Subcommandante Marcos ... 45
3.2. Tindakan Despotis Pemerintah Meksiko dan Deklarasi Rimba Raya Lacandon Zapatista ... 46
3.3. Eksistensi dan Peran Suku Indian Dalam Kemerdekaan Meksiko ... 52
3.4. Dari “yang Lokal” ke “Nasional” (Transisional ke Arah Sosialisme) ... 56
3.5. The New Mexico ... 64
BAB IV KESIMPULAN ... 67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
JENIUS EFESUS BERUTU (070906041)
SUBCOMANDANTE MARCOS: BAYANGAN WELFARE STATE DALAM SEBUAH NEGARA DESPOTIS
(SEBUAH STUDI DISKURSUS IDEOLOGI POLITIK SUBCOMANDANTE MARCOS)
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pemberontakan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang dikomandani oleh Subcomandante Insurgente Marcos. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan kualitatif dan menggunakan teori diskursus sebagai sebuah teori gerakan sosial baru yang dalam pembahasannya terfokus kepada seorang tokoh pemberontak Marcos yang mampu menciptakan, membangun, dan mentransformasikan ideologi politiknya melalui hegemonic discourse yang dikonstruksikan oleh Subcomandante Marcos kepada petani adat di Chiapas pada khususnya. Landasan pemberontakan EZLN yang tidak jauh berbeda dengan gerakan sosial lainnya yaitu ingin mendapatkan apa yang menjadi hak-hak petani adat Chiapas sehingga Marcos menyerukan demokrasi, keadilan, dan kebebasan sebagai sebuah tujuan yang harus dicapai.
Tindakan despotis yang diperlihatkan oleh pemerintah membuat gerakan pemberontak EZLN meluapkan kekesalannya dengan melakukan serangan ke pusat-pusat kota di Meksiko Tenggara. EZLN yang telah berusaha menawarkan kesepakatan damai tetapi pemerintah tidak menanggapi tawaran itu dengan serius dan bahkan pemerintah melakukan penyerangan kepada gerakan pemberontak EZLN.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi telah mengakibatkan ‘pemaksaan diri’ bagi negara-negara
berkembang, namun hai itu tidak terlepas dari peran pemerintah yang seharusnya
berfikir ulang dalam mengambil sebuah keputusan atau paling tidak bersikap
demokratis yaitu dengan mengajak semua elemen-elemen masyarakat untuk
berdialog dan mencari duduk permasalahan dan resolusinya sehingga dapat
dikatakan bahwa pemerintah sedikit banyaknya telah melakukan apa yang
menjadi tugasnya dalam rangka menciptakan ruang demokratis dan dapat
memenuhi kepentingan rakyat. Tetapi hal demikian tidak terjadi di Mexico karena
pemerintah bertindak sepihak hanya demi kepentingan elit pemerintah semata.
Hal itu terlihat ketika pemerintah menyetujui perdagangan bebas Amerika Utara
(NAFTA/North American Free Trade Agreement). NAFTA yang ditanda tangani
tahun 1992 antara Presiden Amerika Serikat George Bush, Perdana Menteri
Kanada Brian Mulroney, dan Presiden Meksiko Carlos Salinas. Itu adalah sebuah
perjanjian untuk membentuk zona/wilayah bebas perdagangan tanpa adanya
batasan di antara negara-negara yang bersepakat. NAFTA ini terdiri dari tiga
perjanjian: Antara Amerika Serikat dan Kanada, antara Meksiko dan Amerika
Serikat, dan antara Kanada dan Meksiko. Kesepakatan yang timpang karena tidak
dilandaskan dengan akal sehat yang pada akhirnya akan membawa dampak yang
Bagi Meksiko, kedudukan NAFTA itu sungguh menentukan karena
sebelum penandatanganan NAFTA, 75% dari ekspor Meksiko disalurkan ke
Amerika Serikat dan 69% impor Meksiko berasal dari Amerika Serikat. Padahal
jika diamati, Meksiko tidaklah kompetitif berhadap-hadapan dengan Amerika
Serikat dan Kanada dalam produksi gandum tidak juga dalam ternak atau kayu,
tetapi kompetitif dalam produksi buah-buahan dan sayuran (yang hanya memakai
8,6 persen dari seluruh tanah garapan Meksioko), serta kopi dan gula tebu (yang
menggunakan 7,4 persen tanah). Jadi, dengan penandatanganan NAFTA,
pemerintah Meksiko mengorbankan mayoritas sektor pertaniannya, demi ekspor
buah-buahan, sayuran, kopi, dan gula tebu. Keikutsertaan Meksiko dalam
perdagangan bebas NAFTA tentu menghasilkan pihak yang menang dan yang
kalah. Pihak yang menang adalah para industrialis dan yang kalah adalah para
produsen kecil, pekerja perusahaan milik Negara dan penduduk pertanian yang
sebelumnya bergantung pada harga-harga yang ditetapkan pemerintah. Nah tentu
bagi rakyat petani yang kebanyakan hidup di pedesaan, akibat dari reformasi
model neoliberal seperti itu sangat tampak jelas membuat kemerosotan hidup dan
keresahan sosial dan itu dirasakan oleh kebanyakan dari kelas menengah
tradisional Meksiko 1
Adalah Emiliano Zapata yang menjadi sumber inspirasi bagi pergerakan
Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN/Ejército Zapatista de Liberación
Nacional) – Zapatista yang berarti pengikut Zapata . Zapata dianggap sebagai
pahlawan pergerakan revolusi di Meksiko (1879-1919) yang memperjuangkan
hak tanah dan kebebasan (Tierra y Libertad). Pada intinya perjuangan Zapata
1
tertulis lewat manifesto politik yang berjudul Plan de Alaya.2
Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) adalah sebuah gerakan
perlawanan petani adat di negara bagian Chiapas, Meksiko Tenggara yang
melancarkan pemberontakan pertamanya pada malam tahun baru 1 Januari 1994,
bertepatan dengan diberlakukannya Zona Perdagangan Bebas Amerika Utara
(NAFTA). EZLN yang dipimpin oleh Subcomandante Marcos memiliki basis
anggota yang sebagian besar adalah masyarakat adat, tapi mereka juga
mempunyai pendukung dari wilayah perkotaan seperti halnya dukungan jaringan
internasional. Seluruh comandante berasal dari suku Maya Indian Amerika.
Gerakan Zapatista segera menuai perhatian dari seluruh dunia karena daya
inspirasi yang mereka sebar sejak awalnya. Berbasiskan pada penduduk adat
Indian, gerakan Zapatista sadar akan paradoksnya sendiri: merekalah gerilyawan
yang mengatasnamakan “minoritas rakyat” bukan “mayoritas rakyat” Zapata telah
menciptakan hasil yang signifikan terkait dengan reforma agraria dimana hasilnya
adalah suatu bentuk kepemilikan bersama baru yang dinamakan ejido yaitu suatu
bentuk kepemilikan bentang tanah komunal yang relatif luas (misalnya 50 hektar)
yang diberikan oleh pemerintah kepada sekelompok petani yang tidak bisa
diganggu gugat dan itu diatur dalam konstitusi Meksiko tepatnya pada Pasal 27
UUD 1917. Pergerakan revolusinya terjadi pada tahun 1910 melawan
pemerintahan Porfirio Diaz. Zapata yang pada akhirnya ditembak mati pada 10
April 1919 oleh Kolonel Jesús Guajardo.
2
sebagaimana retorika revolusioner klasik. Tapi justru inilah poin yang ingin
mereka tekankan dalam perjuangannya yaitu mereka berjuang demi sebuah dunia
yang adil terhadap kaum minoritas apapun, sebuah dunia yang bisa memberi
tempat terhadap segala perbedaan, sebuah dunia yang menampung segala yang
kecil, remeh, tak dihiraukan (dalam kasus Chiapas: masyarakat adat, ditempat
lain: orang jompo, waria, pemulung, dsb), sebuah dunia yang tidak bersandar pada
sebuah logika besar menang dan kecil kalah, melainkan sebuah dunia yang
mementingkan dialog dan kesepakatan.3 Zapatista menunjukkan sebuah
perbedaan yang cukup kontras dengan gerilyawan lain sebelumnya yang tujuan
utamanya adalah tidak lebih dari hanya mendapatkan kekuasaan semata dan
mereka-mereka yang menginginkan kekuasaan tersebut tidaklah dapat dikatakan
sebagai revolusioner sejati semisal Francisco Madera dan Venustiano Carranza
karena yang layak menyandang predikat tersebut hanyalah dua tokoh besar yaitu
emiliano Zapata dan Subcomandante Insurgente Marcos yang memiliki loyalitas
tinggi.4
3
Subcomandante Marcos, Kata adalah Senjata (Yogyakarta: Resist Book , 2005, hal. iv-v)
4
Subcomandante Marcos, Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan (Yogyakarta: Resist Book ,
2005, hal. xxix-xxx)
Marcos dengan lantang mengatakan bahwa yang membedakan mereka
dengan gerilyawan lainnya adalah dasar politik mereka dimana di dalam
pergerakannya, mereka selalu berjuang untuk demokrasi, kebebasan, dan
keadilan. Maka dari itu dia mengatakan bahwa dasar politik merekalah yang
paling radikal baik di Meksiko maupun di dunia. Mereka ingin menciptakan ruang
demokratis bagi siapa pun termasuk antara pemerintah dengan rakyatnya karena
mereka tidak ingin diperintah ataupun diperlakukan secara tidak layak artinya
pemerintah haruslah sensitif terhadap permasalahan yang sedang berkembang dan
keputusan maka mereka menganggap bahwa langkah dialogis adalah sebuah
langkah yang cukup baik.5
1.2Perumusan Masalah
Namun langkah-langkah sebagaimana yang dimaksudkan oleh para
Zapatista itu tidak terdapat pada pemerintah terlebih pada masa Ernesto Zedillo
yang berasal dari Partai Revolusioner Institusional (PRI) menggantikan Presiden
Carlos Salinas de Gortari. Pada masa pemerintahannya bukan tidak sedikit
menimbulkan permasalahan baru yang bertentangan dengan harapan EZLN –
mewakili suara orang yang tertindas haknya. Pembicaraan pemerintah dan EZLN
berpuncak pada Dialog San Andres (1996) yang mengabulkan otonomi dan
hak-hak khusus bagi penduduk masyarakat adat. Akan tetapi Presiden Ernesto Zedillo
mengabaikan perjanjian dan malah meningkatkan kehadiran jumlah militer di
Chiapas, tindakan tersebut pun dianggap sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah
dalam mengakomodir kepentingan masyarakat yang justru menumbuhkan
kemarahan dari tentara pemberontakan.
Dengan menggunakan pendekatan diskursus maka penelitian ini memiliki
sebuah rumusan masalah yaitu bagaimana upaya yang dilakukakan oleh
Subcomandante Marcos untuk dapat membangun pembentukan identitas
politiknya dalam konteks sosial yaitu dalam menggerakkan sebuah golongan
masyarakat petani adat di Chiapas sebagai sebuah hegemoni atas masyarakat
dalam mewujudkan identitas/ideologi politiknya tersebut?
5
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Secara garis besar tujuan penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui bagaimana antagonisme-antagonisme, sistem
persamaan dan perbedaan serta political frontier itu dibentuk
oleh Subcomandante Marcos.
b. Mengetahui bagaimana hegemonic discourse terbentuk
khususnya pada masyarakat petani adat di Chiapas.
c. Mengetahui bagaimana seorang Subcomandante Marcos dapat
membangun sebuah wacana pembentukan identitas
politik/imagined communities masyarakat petani adat di Chiapas.
d. Mengetahui faktor-faktor yang mendasari terjadinya
pemberontakan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan
Nasional Zapatista (EZLN) terhadap pemerintahan.
1.3.1. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat penelitian adalah:
• Penelitian ini bisa dijadikan sebagai rujukan atau referansi dan
juga bisa dijadikan sebagai bahasan yang dapat menambah
wawasan bagi pembaca terutama bagi orang yang meminati
1.4Kerangka Teoritis
Teori Diskursus
Diskursus memperlihatkan ketidaksambungan dengan konteks yang
normal. Idealnya, diskursus mengharuskan adanya “penyingkiran kendala-kendala
tindakan” menyingkirkan seluruh motif selain keinginan untuk mencapai
kesepakatan rasional – dan suatu “penangguhan validitas klaim” – suatu keinginan
untuk menyerahkan penilaian pada situasi dan kondisi tertentu (klaim itu bisa jadi
sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan) atau pada kebenaran norma-norma
tertentu (klaim itu bisa atau tidak bisa dijustifikasi sesuai norma). Dalam bahasa
Habermas, diskursus adalah bentuk komunikasi yang aneh dan tidak nyata di
mana partisipan mengikatkan diri mereka pada kekuatan argumen yang lebih baik
tanpa ada paksaan, dengan tujuan mencapai kesepakatan tentang kevalidan atau
ketidakvalidan klaim-klaim yang jadi persoalan. Dalam kesepakatan ini
diandaikan kalau dia mewakili suatu konsensus rasional, yaitu kesepakatan
dicapai bukan karena keistimewaan yang dimiliki partisipan tertentu atau
keistimewaan situasi yang tengah mereka hadapi namun semata-mata karena
mereka semua terikat dengan bukti dan kekuatan yang terkandung dalam
argumen-argumen yang diajukan. Kesepakatan dipandang valid bukan hanya
“bagi kita” (partisipan sebenarnya) namun juga dipandang valid “secara objektif”,
valid bagi semua subjek rasional (sebagai partisipan potensial).6
Apabila dilihat dari pandangan Laclau dan Mouffe mengenai teori
diskursus, mereka berasumsi bahwa semua obyek dan tindakan memiliki makna,
6
dan maknanya merupakan produk dari sistem-sistem partikular yang memiliki
perbedaan-perbedaan signifikan yang bersifat spesifik secara historis. Teori ini
menelaah bagaimana praktek-praktek sosial mengartikulasikan dan
mengkontestasikan diskursus-diskursus yang membentuk realitas sosial.
Praktek-praktek ini menjadi mungkin karena sistem-sistem pemaknaan bersifat contingent
dan tidak pernah secara penuh/tetap (fixed) menuntaskan wilayah yang sosial dari
pemaknaan. Diskursus dalam ranah pemikiran teoritik Laclau dan Mouffe
dijelaskan sebagai “totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktek artikulasi”.
Dalam teorisasi mereka, teori diskursus meliputi seperangkat pemahaman luas
terhadap yang politik (the political) yang tak semata-mata dibatasi oleh
lembaga-lembaga (institusi-institusi), namun lebih dari itu, the political dipahami sebagai
sesuatu yang bersifat konstitutif terhadap (makna) yang sosial (the social) dan
secara parsial (contingent) pemaknaannya ditetapkan (fixed) dalam
konstruksi-konstruksi sosial, Laclau kemudian memberikan tekanan bahwa
diskursus-diskursus bersifat contingent dan produk dari konstruksi historis, yang akan selalu
rentan terhadap kekuatan politik yang dieksklusi dari yang diproduksi.7
Jadi dalam teori diskursus, peran seorang subjektif adalah dapat dikatakan
sebagai fokus kajian dari seorang peneliti – tentu memahaminya itu dengan
menggunakan sumber data seperti tulisan teks-teks, komunike-kumunike, atau
pidato yang ia buat – dimana suatu hal yang menjadi menarik adalah bagaimana
subjek tersebut dapat membentuk konstruksi wacana di dalam memenangkan hati
dan pikiran dari partisipannya, terlepas dari masalah benar tidaknya
argumen-argumen yang dia bangun tersebut adalah masalah lain, namun selama argumen-argumen
7
Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Yogyakarta: Resist Book,
yang dia bangun tersebut bersifat mengikat dan di dalam pernyataan-pernyataan
yang dia serukan memiliki relasional antara satu dengan lainnya maka dapat
dikatakan bahwa dia berhasil.
1.4.1. Antagonisme, Ekuivalensi dan Pembedaan
Antagonisme menjadi sebuah praktek untuk menjauhkan diri dari pusat,
tetapi upaya untuk penjauhan diri dari pusat ini hanya mungkin jika melalui suatu
pusat yang membentuknya, karena struktur tidak pernah sepenuhnya berada dalam
keseimbangan. Akhirya, representasi tidak bisa sepenuhnya transparan karena hal
ini akan mengakibatkan hilangnya hubungan representasi itu sendiri. Dengan kata
lain, agar representasi ini bisa berhasil untuk menampilkan yang
direpresentasikan, ia harus membentuk suatu kekaburan tertentu.8
Pertama, dalam setiap masyarakat, setiap agen sosial adalah lokus bagi
multiplisitas dari relasi-relasi sosial – bukan hanya relasi sosial produksi, tetapi
juga relasi-relasi sosial seperti seks, ras, nasionalitas dan lingkungan. Semua
hubungan-hubungan sosial ini mendeterminasi personalitas atau posisi subyek,
karena itu setiap agen sosial merupakan lokus dari sejumlah posisi subyek dan
tidak dapat direduksi hanya kepada satu posisi. Subyektivitas seseorang bukanlah
konstruksi yang hanya berdasarkan pada hubungan produksi. Terlebih dari itu,
setiap posisi sosial, setiap posisi subyek masing-masing di dalamnya merupakan Laclau dan Mouffe melihat gerakan sosial dalam konteks hubungan
antagonistik dalam masyarakat. Dalam argumen mereka, setidaknya ada empat
posisi teoritik dalam melihat hubungan agen dan gerakan sosial, yaitu:
8
lokus dari kemungkinan berbagai konstruksi, sesuai dengan perbedaan diskursus
yang dapat mengkonstruksi posisi tersebut.9
Kedua, menolak pandangan ekonomi mengenai evolusi sosial yang diatur
oleh satu logika ekonomi, pandangan yang memahami bahwa kesatuan formasi
sosial sebagai hasil dari “akibat-akibat yang bersifat niscaya” yang diproduksi
dalam superstruktur politik dan ideologi oleh infrastruktur ekonomi. Pandangan
ini mengasumsikan bahwa ekonomi dapat berjalan atas logikanya sendiri, dan
mengikuti logika tersebut. Logika yang secara absolut independen dari
hubungan-hubungan yang akan dilihat determinan. Lain dari itu, Mouffe mengajukan
konsepsi bahwa masyarakat sebagai suatu perangkat yang kompleks dari
hubungan-hubungan sosial yang heterogen, dan memiliki dinamikanya sendiri.
Kesatuan suatu formasi sosial merupakan produk dari artikulasi-artikulasi politik,
yang pada gilirannya kemudian, merupakan hasil dari praktek-praktek sosial yang
memproduksi sebuah formasi hegemonik.10
Ketiga, “formasi hegemonik” adalah seperangkat format-format sosial
yang stabil, materialisasi dari suatu artikulasi sosial di mana hubungan-hubungan
sosial yang berbeda bereaksi secara timbal balik untuk, baik masing-masing saling
menyediakan kondisi-kondisi eksistensi secara mutual, atau juga setidaknya
menetralisir potensi dari efek-efek destruktif dari suatu hubungan-hubungan sosial
dalam arena reproduksi hubungan-hubungan lain yang sejenis. Suatu formasi
hegemonik selalu berpusat di antara hubungan-hubungan sosial tertentu. Dalam
kapitalisme, misalnya adanya hubungan produksi – yang tidak mesti dijelaskan
sebagai akibat dari struktur – di mana sentralitas dari hubungan-hubungan
9
Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Yogyakarta: Resist Book,
2008, hal. xxxv)
10
produksi sudah diberikan kepada kebijakan yang hegemonik. Meskipun demikian,
hegemoni tidak akan pernah mapan (bersifat rapuh). Terlebih lagi, perkembangan
kapitalisme merupakan subyek dari perjuangan politik yang berlangsung
terus-menerus, yang secara periodik memodifikasi format-format sosial, melaui
hubungan-hubungan sosial produksi yang memberikan garansi bagi sentralitas
dari perjuangan tersebut.11
Keempat, semua hubungan-hubungan sosial dapat menjadi lokus
antagonisme, sejauh hubungan tersebut dikonstruksi sebagai
hubungan-hubungan subordinasi. Banyak format subordinasi yang berbeda dapat menjadi
asal mula konflik dan juga perjuangan. Ini eksis dalam masyarakat sebagai potensi
multisiplitas antagonisme, dan antagonisme kelas hanyalah satu dari sekian
banyak. Tidaklah mungkin untuk mereduksi semua format subordinasi dan
perjuangan tersebut pada satu ekspresi logika tunggal yang ditempatkan pada
ekonomi. Reduksifikasi ini tidak dapat juga diabaikan dengan memposisikan
sebuah mediasi antara antagonisme-antagonisme sosial dengan ekonomi. Ada
banyak bentuk-bentuk kekuasaan dalam masyarakat yang tidak dapat direduksi
atau dideduksi dari satu asal-muasal atau satu sumber saja.12
Antagonisme memainkan peran penting dalam teori diskursus Laclau dan
Mouffe. Menurut Laclau dan Mouffe, antagonisme merupakan “a failure of
difference” semenjak adanya keterbatasan-keterbatasan dalam obyektivitas sosial.
Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan
hegemoni, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi penciptaan musuh
yang akan menjadi sesuatu yang penting bagi terbentuknya political frontier yang
11
Ibid., hal. xxxvi
12
dikotomik. Antagonisme sosial membuat setiap makna sosial berkontestasi dan
tidak akan pernah menjadi penuh/tetap (fixed), yang kemudian memunculkan
political frontier. Setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan
antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka. Formasi
hegemonik selalu memerlukan yang dibentuk di luar dirinya yang memiliki relasi
antagonistik. Antagonisme sosial terjadi jika agen-agen hegemonik tidak mampu
menjaga identitas mereka dan mengkonstruksi musuh mereka. Dalam hal ini,
antagonisme menguak perbatasan dari batas-batas politik sustu formasi sosial
sebagaimana ditunjukkan pada point di mana identitas tidak dapat lagi distabilkan
dalam pemaknaan utuh dari suatu system of differences, tetapi dikontestasikan
oleh kekuatan yang berdiri pada batasan tatanan tersebut. Menurut Laclau dan
Mouffe, dalam hal identitas kolektif, akan selalu menghadapi penciptaan “kita”
yang hanya dapat eksis hanya jika ada demarkasi dari “mereka”. Mouffe
menekankan bahwa relasi ini tidak perlu untuk selalu dilihat sebagai satu dari
relasi kawan/lawan, yakni suatu relasi yang antagonistik. Tetapi hal tersebut harus
diakui, dalam kondisi-kondisi tertentu selalu dimungkinkan dimana relasi
kita/mereka ini dapat menjadi antagonistik, yakni itu dapat berubah menjadi suatu
relasi kawan/lawan.13
Syarat bagi terciptanya keberadaan yang utuh ialah adanya suatu ruang
tertutup dimana setiap posisi subyek yang berbeda menempati posisinya secara
fixed sebagai suatu momen yang spesifik dan tak tergantikan. Jadi, syarat pertama
bagi subversi atas ruang itu, bagi kegagalan menutupnya totalitas diskursif ialah
bahwa isi spesifik dari masing-masing posisi harus dicoret. Logika ekuivalensi
13
merupakan suatu logika simplifikasi ruang politik, sementara logika pembedaan
merupakan suatu logika perluasan dan penguatan kompleksitas ruang politik.
Dengan mengambil contoh komparatif dari tradisi linguistik, kita bisa katakan
bahwa logika pembedaan cenderung memperluas kutub sintagmatik dari bahasa,
yaitu jumlah posisi-posisi yang bisa menciptakan relasi kombinasi dan relasi
kontinuitas satu sama lain, sementara logika ekuivalensi memperluas kutub
paradigmatik – elemen-elemen yang bisa saling dipertukarkan satu sama lain –
sehingga meredusir jumlah posisi-posisi yang mungkin bisa saling
dikombinasikan.14
Jelaslah bahwa antagonistik terlihat dengan terbentuknya dikotomi antara
‘kami’ dan ‘mereka’ di mana ‘kami’ adalah kami dan ‘mereka’ adalah mereka dan
fenomena sosial ini digambarkan sebagai sebuah keterbelahan (dislocatory) dalam
struktur sosial artinya bahwa ada kelompok sosial yang keluar dari sistem karena
sebagaimana yang diketahui bahwa representasi itu tidak bersifat tetap dan
tunggal, nah pengkonstruksian ‘kami’ sebagai kawan dan ‘mereka’ sebagai lawan
tentu menciptakan garis demarkasi yang akan sangat jelas memperlihatkan
identitas ‘kami’ dan ‘mereka’ yaitu dengan pembentukan logika persamaan dan
logika pembedaan. Logika persamaan yang diciptakan akan sangat kompleks dan
itu akan sangat bertumpu pada subyek dimana subyek tidak mencerminkan dari
satu sudut pandang atau satu posisi saja, memang akan menjadi kabur
kelihatannya tetapi memang kekaburan itulah yang menjadi penting dalam hal
representatif. Tidak seperti dalam pandangan Marx yang membuat simplifikasi
kelas pekerja/proletar. Logika pembedaan lebih mengarah kepada pelepasan
14
hubungan kebersamaan yaitu hubungan kebersamaan dari ‘mereka’ yang
dianggap tidak dapat merepresentasikan ‘kami’.
1.4.2. Imagined Communities
Sebagaimana dalam pandangan Anderson yang mendefenisikan nation
(bangsa) sebagai komunitas politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat
terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang
terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan
takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan
mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.
Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah
bayangan tentang kebersamaan mereka. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu
yang pada hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar
pun yang anggotanya mungkin semilyar manusia memiliki garis-garis perbatasan
yang pasti memiliki elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak
satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi.
Para nasionalis yang paling mendekati sikap ‘juru selamat’ pun tidak
mendambakan datangnya hari agung di mana seluruh anggota spesies manusia
bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti pada zaman-zaman
tertentu, orang-orang Kristen memimpikan sebuah planet yang seutuhnya orang
lahir dalam kurun waktu di mana pencerahan dan revolusi memporak-porandakan
keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri.15
Konsep itu beranjak matang di masa para pengikut paling setia pun dari
agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan agama-agama
universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme antara masing-masng
klaim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya yang terbatas, maka dari
itu bangsa-bangsa bermimipi tentang kebebasan dan andai pun di bawah
lindungan Tuhan secara langsung tanpa perantara. Panji-panji kebebasan ini
adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah
komunitas, sebab tidak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang
mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami
sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada
akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan
begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa
orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang
terbatas itu.
16
Konsep komunitas terbayang juga akan kembali kepada pernyataan bahwa
representasi itu tidak bersifat tetap. Pada dasarnya dalam sebuah sistem, semua
elemen masyarakat memiliki ikatan emosional yang kuat yang dalam pandangan
Anderson sebuah kebersatuan dalam bentuk nasionalisme tetapi ikatan emosional
itu pun menjadi luntur sehingga timbul sebuah formasi sosial baru yang dianggap
lebih baik dan representatif. Kemunculan komunitas terbayang bisa saja terjadi
akibat kesamaan suku, agama, ras, dan wilayah. Dari pemahaman tersebut jelas
15
Benedict Anderson, Imagined Communities (Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 2002, hal.
8-10)
16
bahwa identitas bersifat dinamis yang dalam pandangan Laclau mengatakan
bahwa identitas bisa terbentuk dalam sebuah wacana sosial.
1.4.3. Revolusi Demokratik ke arah Welfare State
Istilah gerakan-gerakan sosial baru mengelompokkan secara
bersama-sama beranekaragam perjuanangan seperti: perjuangan perkotaan, ekologis,
anti-otoritarian, anti-institusional, feminis, anti rasis, etnik, minoritas-minoritas
kedaerahan atau gender. Denominator umum yang sama-sama dimiliki oleh
semua perjuangan itu adalah dalam hal pembedaan mereka dari
perjuangan-perjuangan buruh yang dianggap sebagai perjuangan-perjuangan-perjuangan-perjuangan ‘kelas’. Tak ada
gunanya bersikukuh terhadap gagasan ‘kelas’ yang sangat problematik itu.
Gagasan itu hanya menghimpun sederetan perjuangan-perjuangan yang sangat
berbeda pada level ‘antagonisme-antagonisme baru’ (new antagonism) dari
relasi-relasi produksi yang berbeda karena alasan-alasan yang jelas-jelas
mempertahankan secara gigih suatu diskursus yang didasarkan pada status
istimewa dari ‘kelas-kelas’. Namun, apa yang menarik dari gerakan-gerakan sosial
baru ini bukanlah ide tentang pengelompokan secara arbriter semua perjuangan itu
ke dalam suatu kategori yang bertentangan dengan kategori kelas, namun
mengenai peran baru yang dimainkan oleh perjuangan-perjuangan itu dalam
mengartikulasikan ketersebaran konflik sosial menjadi relasi-relasi yang lebih
beragam lagi, dan inilah yang merupakan ciri karakteristisk dari
masyarakat-masyarakat industrial maju saat ini.17
17
Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Yogyakarta: Resist Book,
2008, hal. 235)
Dua aspek kontinuitas dan diskontinuitas penting juga untuk diketahui
sebagai landasan perjuangan-perjuangan/gerakan sosial. Aspek kontinuitas pada
dasarnya melibatkan fakta bahwa konversi ideologi liberal-demokratik menjadi
‘pikiran kolektif’ (common sense) masyarakat-masyarakat Barat merupakan dasar
fondasi bagi munculnya tantangan yang bersifat progresif terhadap prinsip
hirarkis yang disebut Tocqueville sebagai ‘ekualisasi kondisi-kondisi’. Sifat
permanen dari imajinari egalitarian inilah yang memungkinkan untuk membangun
suatu kontinuitas di antara perjuangan-perjuangan pada abad ke-19 melawan
ketimpangan-ketimpangan yang diwariskan oleh rejim lama (ancient regime)
dengan gerakan-gerakan sosial masa kini. Dari sudut pandang yang kedua,
berbicara mengenai diskontinuitas yang karena ada banyak subyek politik baru
yang terbangun akibat relasi antagonistik mereka terhadap bentuk-bentuk
subordinasi yang ada, dan perbanyakan ini bersumber dari proses penciptaan dan
perluasan relasi-relasi produksi yang kapitalis dan semakin meningkatnya
intervensi oleh negara. Terhadap relasi-relasi subordinasi yang baru inilah dan
terhadap antagonisme-antagonisme yang terbangun di dalamnya itulah, menjadi
mengarahkan perhatian.18
Intervensi negara pada level-level reproduksi yang lebih luas ini diiringi
dengan meningkatnya birokratisasi praktek-praktek negara. Berbarengan dengan
komodifikasi, birokratisasi ini menjadi salah satu sumber fundamental dari
ketimpangan-ketimpangan dan konflik-konflik. Di seluruh domain dimana negara
menjalankan intervensinya, politisasi atas relasi-relasi sosial menjadi basis
munculnya sejumlah antagonisme baru. Transformasi ganda dalam relasi-relasi
18
sosial ini yang diakibatkan oleh gerak perluasan relasi-relasi produksi kapitalis
dan meluasnya bentuk-bentuk negara birokratik, berbeda-beda kombinasinya di
negara industri maju. Dampaknya secara umum saling memperkuat satu sama
lain, meski tidak selalu demikian. Namun yang sangat menjadi perhatian adalah
bagaimana melacak jejak-jejak konsekuensi-konsekuensi dari proses birokratisasi
yang mendasari antagonisme-antagonisme baru ini. Fakta pentingnya di sini
adalah pemaksaan berbagai bentuk pengawasan dan regulasi terhadap relasi-relasi
sosial yang sebelumnya telah dianggap sebagai bagian dari domain privat.
Pergeseran garis demarkasi antara ‘yang publik’ (the public) dan ‘yang privat’
(the private) ini punya efek-efek dua sisi. Di satu sisi, pergeseran itu
menyingkapkan watak politik (dalamk artian luas) dari relasi-relasi sosial, dan
fakta bahwa relasi-relasi sosial tersebut selalu merupakan hasil dari modus-modus
institusi yang memberi bentuk dan maknanya, di sisi lain karena sifat birokratik
dari intervensi negara penciptaan ‘ruang-ruang publik’ ini tidak berlangsung
dalam bentuk demokratisasi yang sejati, namun lewat penerapan secara paksa
bentuk-bentuk baru subordinasi. Di sinilah, kita harus menengok dataran tempat
berlangsungnya sejumlah perjuangan muncul melawan bentuk-bentuk kekuasaan
negara yang birokratik. 19
Fakta bahwa ‘antagonisme-antagonisme baru’ ini merupakan ekspresi dari
bentuk-bentuk perlawanan terhadap komodifkasi, birokratisasi dan semakin
meningkatnya homogenisasi kehidupan sosial menjelaskan mengapa
antagonisme-antagonisme baru itu sering termanifestasi lewat proses
berkembangbiakknya partikularisme-partikularisme, dan terkristalisasi menjadi
19
suatu tuntutan akan otonomi diri. Karena alasan ini juga terdapat suatu tendensi
yang teramati ke arah penghormatan terhadap ‘perbedaan-perbedaan’ dan
penciptaan identitas-identitas baru yang cenderung mengistimewakan kriteria
‘kebudayaan’ (pakaian-pakaian, musik, bahasa, tradisi kedaerahan, dan
seterusnya). Di antara dua tema gambaran demokratis – yaitu kesetaraan dan
kebebasan – kesetaraanlah yang secara tradisional lebih mengemuka dan karena
itulah tuntutan-tuntutan akan otonomi menjadi semakin memainkan suatu peran
sentral melebihi kebebasan. Pandangan Laclau yang terkait dengan kesetaraan dan
kebebasan itu senada juga dengan prinsip keadilan dalam pandangan Rawls
dimana dia mengatakan bahwa ada dua prinsip keadilan. Pertama, setiap orang
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi
mesti diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan
semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.20 Tentu
apabila hal-hal yang telah diutarakan di atas tidak termanifestasi maka akan
memunculkan benturan dalam masyarakat itu sendiri yang oleh Habermas
dikatakan sebagai krisis legitimasi – yang hanya bisa diprediksi kalau
harapan-harapan tidak bisa dipenuhi, baik oleh kuantitas nilai yang tersedia atau, biasanya
oleh penghargaan yang diciptakan secara sistematis dan yang menyesuaikan
dengan sistem.21
Karena alasan ini pula, banyak dari bentuk-bentuk perlawanan ini yang
termanifestasi bukan dalam bentuk-bentuk perjuangan kolektif, namun lewat
semakin meningkatnya paham individualisme. (kaum kiri tentu saja tak siap betul
20
John Rawls, A Theory of Justice (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 72)
21
untuk menganggap penting perjuangan-perjuangan ini yang pada saat ini semakin
meninggalkan cap ‘liberal’nya. Akibatnya, ada bahaya bahwa
perjuangan-perjuangan itu akan diartikulasikan oleh suatu diskursus kanan yang membela
hak-hak istimewa). Namun apapun halnya, dan apapun orientasi politik yang
membentuk kristalisasi antagonisme (hal ini akan bergantung pada rantai-rantai
ekuivalensi yang mengkonstruknya), bentuk antagonisme itu identik dalam semua
kasus. Dengan kata lain, bentuk antagonisme itu selalu terdiri atas konstruksi
suatu identitas sosial – suatu posisi subyek yang teroverdeterminasi – di atas basis
ekuivalensi antar sekelompok elemen atau nilai dengan mencoret atau
mengecualikan sekelompok elemen-elemen atau nilai-nilai lain yang bertentangan
dengannya. Sekali lagi, kita menemukan diri kita berhadapan dengan
keterbelahan ruang sosial.22
Hegemoni pada dasarnya bersifat metonimik: efek-efeknya selalu muncul
dari suatu kelebihan makna yang disebabkan oleh suatu operasi pergeseran makna
(sebagai contoh, suatu organisasi serikat buruh atau keagamaan mungkin Gerakan-gerakan sosial yang menuntut kebebasan (liberty), kesetaraan
(equality), dan keadilan (justice) merupakan langkah yang benar. Logika
persamaan dan logika pembedaan yang terbentuk dari proses antagonisme akan
menciptakan sebuah gerakan revolusi yang demokratik atas fenomena sosial yang
diskriminatif dimana disparitas sosial secara jelas tampak dan peran negara tidak
berfungsi sebagaiman mestinya.
1.4.4.Hegemoni
22
Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Yogyakarta: Resist Book,
menjalankan fungsi-fungsi organisasi dalam suatu komunitas yang melampaui
praktek-praktek tradisionalnya, dan yang ditentang dan dilawan oleh
kekuatan-kekuatan penentangnya). Tak ada identitas sosial yang terbentuk begitu saja
secara total – sebuah fakta yang menjadikan momen artikulatoris-hegemonik
memiliki posisi yang sentral. Jadi syarat bagi posisi sentral ini ialah runtuhnya
suatu garis batas yang tegas antara yang internal dan yang eksternal, antara yang
contingen dan yang niscaya. Namun, hal ini akan membawa kita pada suatu
kesimpulan yang terelakkan: tak ada logika hegemoni yang bisa
memperhitungkan totalitas ranah sosial dan membentuk pusatnya karena dalam
konteks tersebut, suatu tenunan baru akan tercipta dan konsep hegemoni pun akan
lenyap. Maka, keterbukaan dari ranah sosial merupakan prasyarat bagi setiap
praktek hegemonik. Nah, hal ini secara niscaya membawa pada suatu kesimpulan
formasi hegemonik, sebagaimana yang dipahami, tak bisa dirujukkan pada logika
kekuatan sosial tunggal tertentu. Setiap blok historis – atau formasi hegemonik –
terkonstruksi lewat regularitas dalam ketersebaran dan ketersebaran ini mencakup
suatu perkembangbiakan dari elemen-elemen yang sangat berbeda: sistem-sistem
pembedaan-pembedaan yang secara parsial menentukan identitas-identitas yang
bersifat secara relasional, rantai-rantai ekuivalensi-ekuivalensi yang mengubah
identitas-identitas relasional namun yang tak bisa dipulihkan kembali secara
transformasional karena ruang oposisi menjadi teratur dan dengan demikian,
menciptakan suatu pembedaan baru, bentuk-bentuk overdeterminasi yang
mengkonsentrasikan kekuasaan atau bentuk-bentuk perlawanan yang
berbeda-beda terhadap overdeterminasi itu.23
23
Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis (Yogyakarta: Resist Book,
Agar ada hegemoni, momen artikulatoris saja tak cukup. Artikulasi itu
sendiri harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan praktek-praktek
artikulatoris yang antagonistik – dengan kata lain, bahwa hegemoni akan muncul
dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonisme-antagonisme dan karena
itu megandaikan adanya fenomena ekuivalensi dan efek-efek garis perbatasan.
Namun, sebaliknya tidak setiap antagonisme mengandaikan praktek-praktek
hegemonik. Jadi ada dua syarat dari suatu artikulasi hegemonik, yaitu keberadaan
kekuatan-kekuatan antagonistik dan ketidakstabilan garis-garis batas yang
memisahkan kekuatan-kekuatan tersebut. Hanya ketika ada suatu wilayah luas
elemen-elemen yang mengambang dan kemungkinan untuk mengartikulasikan
elemen-elemen tersebut terhadap kubu-kubu yang bertentangan – dan ini
mengimplikasikan proses redefenisi terus-menerus atas kubu-kubu yang
bertentangan – yang bisa membentuk dataran-dataran yang bisa kita sebagai suatu
praktek yang bersifat hegemonik. Tanpa ada ekuivalensi dan tanpa ada garis-garis
perbatasan, tak mungkin ada hegemoni. 24
Subyek-subyek politik feminis atau ekologis misalnya, sampai titik
tertentu, seperti halnya identitas sosial yang lain, merupakan floating signifier
(penanda mengambang) dan merupakan suatu ilusi yang berbahaya untuk
berpandangan bahwa subyek-subyek itu terbentuk sekali untuk selamanya, bahwa
dataran yang membentuk kondisi-kondisi diskursif keberadaannya tak bisa
disubversi. Persoalan hegemoni yang akan mengancam otonomi dari
gerakan-gerakan tertentu karenanya merupakan problem yang diajukan secara buruk.
Secara tegasnya, ketidakcocokan antar subyek ini hanya ada jika gerakan-gerakan
2008, hal. 214)
24
sosial itu merupakan unit-unit tunggal (monad) yang tak saling berkaitan satu
sama lain, namun jika identitas dari setiap gerakan tak pernah bisa terbangun
sekali untuk selamanya, maka identitas dari suatu gerakan tak bisa mengabaikan
terhadap apapun yang berlangsung di luar dirinya.25
Sebenarnya sifat struktur sosial yang tidak bisa dipastikan inilah yang
membangkitkan antagonisme. Antagonisme adalah landasan politik, dan politik
adalah yang menjaga agar struktur sosial tetap terbuka. Setiap tindak politik
(sebuah contoh kekontingenan) hanya bisa berjalan dalam kaitannya dengan
sekumpulan praktek-praktek yang sudah “mengendap”. Praktek-praktek yang
sudah mengendap ini adalah unsur keniscayaan yang tanpanya kehidupan sosial
akan jatuh pada ke-contingen-an total, yaitu ketidaktentuan. Politik mengubah
praktek sosial, tetapi agar politik itu ada haruslah ada praktek-praktek yang sudah
mengendap yang relatif tidak berubah – yang diwariskan oleh sejarah dan
tradisi.
26
Lebih lanjut Gramsci merumuskan pandangannya terkait dengan
hegemoni, dimana dia menyimpulkan bahwa hegemoni merupakan sebuah
konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran
dan persetujuan dengan unsur tertentu dalam masyarakat. Gramsci tidak secara
spesifik melihat tipe dan macam konsensus apa yang secara determinan
menentukan situasi hegemonis. Konsensus menurut Gramsci lebih mewujudkan
suatu hipotesis bahwa terciptanya karena ada dasar persetujuan. Dalam tatanan
sosial yang teratur harus ada dasar persetujuan (substratum of agreement) yang
kuat yang dapat melawan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan yang muncul
25
Ibid., hal. 212
26
dari perbedaan-perbedaan kepentingan. Konsensus dalam arti ini berada dalam
hubungan dengan objek-objek tertentu, pribadi, kepercayaan nilai-nilai,
lembaga-lembaga maupun yang lain. 27
Dengan menggunakan analisis wacana sebagai sebuah teori diskursus,
maka dalam melihat ideologi politik yang dibentuk oleh seorang subyek akan
terlihat dari proses di mana dia membuat sebuah antagonisme yaitu sebuah
dikotomi ‘kami’ dan ‘mereka’ yang tentu ‘kami’ akan eksis jika ada ‘mereka’ dan
‘mereka’ dianggap sebagai musuh dan ‘kami’ adalah sebagai kawan yang keluar
dari struktur sosial membentuk a new imagined communities yang representatif
dan memiliki visi yang sama sehingga daripada itu terlihat sebuah political
frontier di mana akan ada system of equivalence dan system of difference yang
memperkuat kebersatuan sebuah komunitas terbayang tersebut, namun tentu
penciptaan tersebut tidak terlepas dari bagaimana seorang subyek mampu
membangun konstruksi hegemonic discourse pada partisipannya dan membentuk
Persetujuan kolektif merupakan jalan menuju keberhasilan sebuah
hegemoni, nah persetujuan kolektif tersebut bisa dicapai dalam berbagai cara,
Gramsci mengatakan bahwa persetujuan kolektif terjadi karena pengorganisasian
persetujuan yaitu proses yang dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang
tersubordinasi dikonstruksi tanpa harus melakukan cara-cara kekerasan atau
koersi. Maka dari itu proses merepresentasikan berbagai identitas menjadi satu
identitas universal adalah fokus kajian subyek dan subyek juga harus mampu
membuat antagonisme antara partisipan dengan ‘mereka’ yang dikonstruksikan
sebagai lawan.
27
Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka
identitas universal dari kemajemukan partisipannya yaitu dari berbagai identitas.
Sebuah komunitas//kelompok tidak akan berarti apa-apa jika tidak membuat
sebuah gerakan-gerakan sosial/tekanan-tekanan sosial, maka dari itu revolusi
demokratik menjadi suatu upaya khususnya bagi seorang subyek untuk mampu
mengimplementasikan ideologi politiknya apalagi tuntutannya mengarah kepada
keadilan (justice), kebebasan (liberty), dan kesetaraan (equality). Jika redistribusi
dan rokognisi adalah sebuah upaya yang mengarah kepada welfare state, maka
kondisi yang disparitas sosialnya sangat jelas tampak tidak seharusnya tampak
1.5Metode Penelitian 1.5.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif yakni sebuah
metode yang menganalisis sebuah fenomena sosial berdasarkan studi-studi
teks/literatur yang kemudian menghasilkan sebuah interpretasi baru akan sesuatu
objek yang diditeliti.
1.5.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini akan menitik beratkan kepada studi kepustakaan/
literatur sebagai data utamanya, sumber-sumber seperti buku-buku, artikel-artikel,
jurnal, komunike-komunike, dan media elektronik – internet atau website yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
1.5.3. Analisis Data
Teknik analisis data dalam penulisan penelitian ini adalah dengan
memberikan deskripsi terkait dengan peran dan strategi subyektifitas melaui
komunike-komunike, retorika, teks-teks dan tulisan-tulisan lainnya yang
menggambarkan karakter ataupun pandangan dari pihak yang terkait yang tentu
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan teoritis sebagai tinjauan
analisisnya. Tulisan-tulisan ataupun teks-teks tersebut sebagai bahan mentah akan
dikaji dengan menggunakan konsep hegemoni yang kemudian menciptakan logic
of equivalence dan logic of difference sebagai buah dari antagonisme, selanjutnya
akan dieksplorasi juga mengenai langkah yang lebih daripada itu yakni dengan
sebuah gerakan sosial demokratik dalam mewujudkan sebuah imagined
BAB II
Emiliano Zapata, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, dan Subcomandante Marcos
2.1. Emiliano Zapata
Zapata adalah salah seorang tokoh revolusioner pada awal abad 20, yang
memperjuangkan hak-hak penduduk Indian terutama dalam hal redistribusi tanah,
Ia lahir di Morelos pada 8 Agustus 1879 sebagai seorang mestizo (keturunan
campuran Indian – Spanyol). Ayah Zapata adalah pemilik perkebunan kecil dan
keluarga tersebut dikenali dengan perjuangannya di masa lalu melawan kelompok
konservatif di Meksiko dan bangsa Perancis, keluarga Zapata tercatat ikut
mempertahankan wilayah pendudukan para bandit.28 Zapata dianggap sebagai
pahlawan Meksiko karena perlawanan yang dilakukannya terhadap pemerintah
yang dianggap diskriminatif terhadap penduduk Indian di Morelos pada khusunya,
sistem hacienda29
Secara esensial pasukan Zapatista – adalah pengikut Zapata –
menginginkan tanah; sekali mereka memperoleh tanah, semua isu lain tampak tak
berharga. Fokus sempit ini, sering menjadi keengganan Zapatista untuk
memperluas operasi militer mereka keluar dari Morelos, membatasi pengaruh
mereka pada orang-orang Meksiko lainnya yang kondisi dan latar belakangnya
berbeda dengan mereka. Zapata tidak memperhatikan perlunya (atau tertarik pada) yang diberlakukan oleh para tuan tanah menunjukkan disparitas
di wilayah itu dan ketidakadilan yang luar biasa hebatnya.
28
Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah (Yogyakarta: Insist Press , 2003, hal. xv)
29
buruh industri dan tak pernah tahu bagaimana cara mendapatkan dukungan
mereka. Akibatnya Zapatista Cuma sedikit memahami perjuangan nasionalis
Meksiko yang memperjuangkan martabat nasional. Meksiko di bawash
kungkungan pengaruh negara dan modal asing. Ketika Zapatista menyadari itu
tahun 1917, dia sudah terlambat untuk mencegah kekalahan Zapatista dari tangan
orang-orang berpandangan lebih luas dan berkemampuan lebih besar dalam
membangun koalisi-koalisi yang lebih kuat.30
Pada revolusi Meksiko awal abad 20, ada 5 tokoh yang disebut sebagai
tokoh utamanya: Francisco Madero, Venustiano Carranza, Francisco Villa, Alvaro
Obregon, dan Emiliano Zapata. Madero menumbangkan diktator Porfirio Diaz
untuk menggantikannya berkuasa, sementara Carranza menggulingkan Victoriano
Huerta. Tapi dari keduanya tidak didapati program tentang kaum tani dan kaum
urban. Villa dan Obregon adalah pemberontak sekaligus reformis sosial.
Pemerintahan Obregon menerapkan reformasi bidang agraria, perburuhan, dan
pendidikan, sementara Villa merencanakan koloni militer-industri yang
merangkap warga sebagai tentara sekaligus pekerja. Cuma Zapata seorang yang
revolusioner sejati. Ia menulis manifesto politik berjudul Plan de Alaya.
31
“Ketahuilah! Bahwa tanah, hutan dan air yang telah dirampas oleh para penguasa hacienda, cientifico, atau cacique melaui tirani kekuasaan dan tipuan hukum, akan dikembalikan dengan segera pada rakyat atau warga yang berhak atas kekayaan itu sebelum mereka dirampok melalui kejahatan
Dalam
Plan de Ayala-nya itu dia menyatakan:
30
Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah (Yogyakarta: Insist Press , 2003, hal. xvii)
31
Subcomandante Marcos, Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan (Yogyakarta: Resist Book ,
para penindas. Mereka mesti mempertahankan harta itu dengan sepenuh hati melalui kekuatan bersenjata.”32
Perlawanan terhadap presiden penguasa semakin memanas semenjak
Francisco I. Madero, pemimpin oposisi peserta pemilu dipenjara oleh Porfirio
Diaz, presiden berkuasa. Selanjutnya Madero melarikan diri ke Texas, Amerika
Serikat, dan di sana ia menyerukan ajakan perlawanan terhadap Diaz kepada
rakyat Meksiko. Beberapa pasukan gerilya di Meksiko melakukan perlawanan
terhadap pemerintahan Diaz. Zapata sendiri memimpin tentaranya di Morelos
(Ejército Libertador del Sur – Tentara Pembebasan Selatan) yang bersemboyan
“Reforma, Liberta Justica y ley.” Berbagai kebijakan yang sudah dikeluarkan
Puncak perjuangan revolusi yang dilakukan oleh Zapata dilakukan
tepatnya pada tahun 1910 melawan presiden berkuasa Porfirio Diaz, Diaz adalah
seorang presiden diktator, bisa dibayangkan bagaimana pemimpin yang diktator,
dia menciptakan pemusatan kekuasaan pada negara, semua aspek-aspek negara
berada di bawah kontrol Diaz, seperti aspek sosial, ekonomi, hukum, politik, dan
pertahanan dan keamanan. Sehingga bisa dikatakan bahwa sangat kecil
kemungkinan untuk bisa merubah sistem yang monopolistik tersebut mengingat
kekuatan militer juga di bawah kontrol Diaz. Namun Zapata mempunyai
komitmen untuk itu, untuk merubah sistem dan tata kelola pemerintahan yang
tidak demokratis tersebut, perlawanan-perlawanan sebetulnya sudah dilakukan
oleh Zapata semenjak terjadinya sistem hacienda oleh tuan tanah di wilayah
kelahirannya Morelos, tetapi puncak dari gerakan revolusinya itu terjadi pada
1910 yaitu ketika diketahui telah terjadi kecurangan dalam pemilu yang dilakukan
oleh Porfirio Diaz.
32
oleh Diaz ditolak oleh mayoritas penduduk Meksiko yang sehingga melemahkan
legitimasi dari pemerintahan Diaz tersebut, dan hal tersebut tidak terlepas dari
peran sentral Zapata yang menjadi garda depan gerakan perlawanan terhadap
pemerintahan Diaz.
Diaz akhirnya dikalahkan dan Madero menjadi presiden pada 6 November
1911. Dalam pemerintahan baru Madero, aturan baru agraria diberlakukan, namun
Zapata kurang puas terhadap kebijakan Madero dalam pertanahan tersebut. Ia
mendeklarasikan penolakan atas kepemimpinan Madero dan mendukung Pascual
Orozco, pemimpin pemberontakan yang menjadi jenderal Madero. Zapata juga
menegaskan bahwa revolusi yang berlangsung merupakan revolusi agraris dan
sistem hacienda tidak boleh menguasai tanah lagi, melainkan tanah harus dimiliki
oleh kota dan warga negara. Hal-hal tersebut dituangkan dalam dokumen yang
disebut Plan de Ayala. Akhirnya, setelah Madero menunjuk gubernur yang lebih
mendukung tuan tanah dan dinilai Zapata tidak dapat membenahi masalah
pertanahan, Zapata menggerakkan tentaranya kembali.
Pada 18 Februari 1913, Madero digulingkan oleh Victoriano Huerta, yang
lalu memberikan amnesti kepada Diaz dan menekan gerakan rakyat untuk
pembebasan tanah. Hal ini mengakibatkan bertambahnya pendukung Zapata, dan
di utara muncul pula gerakan Villistas yang dipimpin Pancho Villa. Oposisi
terhadap Huerta yang dipimpin Venustiano Carranza akhirnya berhasil. Carranza
menjadikan dirinya sendiri kepala negara pada tanggal 15 Juli 1914, mengundang
reaksi penolakan dari pihak Zapata di selatan maupun Villistas di utara. Gerilya
kaum Villistas lalu diberantas, dan rezim Carranza menawarkan hadiah bagi yang
mengundang Zapata untuk bertemu dan menyatakan bermaksud untuk bergabung
dengan kaum revolusioner. Zapata memenuhi undangan tersebut, namun ternyata
Guajardo dan pengikutnya menjebak Zapata dan Zapata terbunuh pada 10 April
1919.
2.2. Sejarah Tentara Pembebasan Nasional Zapatista/EZLN
Setelah perang saudara, Meksiko diperintah oleh Partai Revolusioner
Institusional (PRI) tanpa terputus sejak digulingkannya diktator Porfirio Diaz
pada 1911. Banyak orang Meksiko telah menjadi makin kecewa terhadap sistem
yang didominasi oleh PRI, akibat penerapan sistem politik otoriter dimana
dibatasinya kebebasan untuk mengajukan protes, menyatakan setuju atau tidak
setuju dan usaha untuk mengadakan perubahan, meskipun demikian PRI tetap
menjadi – dapat dikatakan sebagai – partai tunggal yang berjaya di Meksiko. Hal
tersebut membuat kejenuhan dari penduduk Meksiko pada umumnya yang
kemudian menciptakan gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemerintah.
Sistem politik yang diterapkan oleh pemerintah PRI – saya katakan
pemerintah PRI dan bukan pemerintah Meksiko adalah karena dominasi dan masa
kepemimpinannya yang sudah sampai 72 tahun lamanya menjabat sebagai
pemerintah Meksiko mulai dari presiden Emilio Portes Gil (1928) hingga Ernesto
Zedillo (2000) – yang sifatnya neoliberal, tidak terlepas dari peran Amerika
Serikat yang sangat mendukung paham tersebut di balik partai PRI, padahal
sistem yang digunakan itu tidak lah cocok dengan reaitas kehidupan Meksiko
di dalamnya negara bagian Chiapas. Sebuah sistem yang hanya bertopengkan
wajah demokrasi tetapi sebetulnya memiliki mindset penggemblengan/otoriter.
Tak ada yang tahu persis sejarah EZLN kecuali tentu para pendirinya.
Dinas rahasia dan militer Meksiko membuat serangkaian dugaan awal dan
penyelidikan “asal jadi” yang malah memperkeruh kejelasannya. Awalnya para
sejarawan dan jurnalis hanya bisa mengumpulkan data dari wawancara dengan
komandan-komandan EZLN serta dari sejarah politik Chiapas itu sendiri. Namun
perlahan sumber-sumber baru terkuak dan dibukukan, dan sedikit banyak kini bisa
mendapat gambaran jelas bagaimana EZLN dulu dibentuk. Upaya serius pertama
untuk melacak pendirian EZLN dilakukan oleh Carlos Tello dalam bukunya La
rebelion de las Canadas. Barangkali lewat ayahnya yang pejabat tinggi, Tello bisa
menembus arsip rahasia negara. Risetnya berhasil menyediakan bahan-bahan
penting perihal sejarah awal EZLN, namun sepertinya ia sengaja mengabaikan
transformasi internal EZLN dari kepemimpinan gerilyawan urban menjadi
kepemimpinan masyarakat adat. Barangkali Tello memang tidak sepenuhnya
independen. La rebelion de las Canadas terbit pada bulan Februari 1995 persis
saat Presiden Ernesto Zedillo (pengganti Salinas de Gortari) melancarkan
serangan militer baru di tengah-tengah perundingan damai. Pemerintah Zedillo
memakai buku Tello sebagai alat propaganda dengan terus menyebutkan bahwa
EZLN bukan gerakan adat namun ‘dikendalikan orang-orang kulit putih dari
universitas. 33
EZLN tidaklah produk langsung jadi artinya bahwa sebelum terbentuknya
kelompok ini ada kelompok lain yaitu sebagai kelompok awal yang kemudian
33
Subcomandante Marcos, Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan (Yogyakarta: Resist Book ,
berevolusi menjadi EZLN, kelompok ini bernama Tentara Pemberontakan
Meksiko (Ejercito Insurgente Mexicano atau EIM) yang didirikan seorang jurnalis
terkemuka di akhir tahun ’60-an. Kelompok ini muncul sebagai akibat dari
kesewenang-wenangan pemerintah Meksiko pada saat itu, kelompok ini berjuang
karena masih marak diskriminasi terhadap masyarakat adat serta kemiskinan yang
masih massif/tidak ada kesejahteraan. Sebagaimana yang diketahui bahwa
gerakan-gerakan pemberontakan yang terjadi di Meksiko kebanyakan hanya
memperjuangkan kepentingan kelompok dan bukan kepentingan nasional, seperti
EIM yang terdiri dari kalangan mahasiswa yang dimana kelompok ini nantinya
akan berubah nama menjadi Tenaga pembebasan Nasional (Fuerzas de
Liberacion National atau FLN) yang dibentuk pada Agustus 1969 dan juga
anggota dari kelompok ini sebagiab besarnya adalah para mahasiswa.
Kerja utama FLN tidaklah seperti kegiatan mahasiswa pada umumnya
yang selalu berdemonstrasi menuntut pendidikan murah dan lain sebagainya tetapi
kegiatan dalam kelompok ini adalah menumpuk senjata dan mencari
tempat-tempat persembunyian yang nantinya digunakan sebagai alat untuk memberontak.
Namun mereka tak mau ikut-ikutan merampok bank sebagaimana yang sering
dilakukan gerilyawan urban lainnya sesudah pembantaian militer terhadap
demonstrasi damai mahasiswa UNAM tahun 1968.
Secara ideologis FLN mengikuti jalur Che Guevara dan anti komunisme
Soviet. Pimpinan mereka seorang dosen hukum Universitas Nuevo Leon berusia
26 tahun yang bernama Cesar German Yanez. Adiknya, Fernando Yanez,
nantinya akan berperan besar dalam pembentukan EZLN maupun sebagai
klandestin FLN dan merazia markasnya di Nuevo Leon tahun 1971. Cesar yang
kini memakai nama perang Pedro, berhasil lolos bersama beberapa kawannya,
pada awal 1972 mereka kembali ke Chiapas. Tahun 1974 aparat kembali
menggerebek tempat persembunyian FLN di Monterrey. Dua anggotanya
tertangkap dan pengakuan mereka membuahkan penggerebekan markas FLN
dekat Mexico City. Lima orang terbunuh. Pukulan telak tiba ketika tentara federal
menyerbu kamp pelatihan di Hutan Lacandon dan membunuh Pedro serta empat
rekan lainnya.34
Komandan perempuan Elisa – salah seorang yang berhasil selamat dari
serbuan tentara tahun 1974 – menangani program kesehatan masyarakat DESMI
(Pembangunan Sosial-Ekonomi Penduduk Adat Meksiko). Bulan November 1983 FLN harus kembali ke Chiapas karena di sanalah mereka paling kuat
berakar. Tapi di Chiapas sudah ada kelompok lain yang dalam beberapa hal
sejalan dengan mereka dan dalam beberapa hal lain sangat bertentangan, yakni:
Gereja Katolik. Keuskupan San Cristobal de Las Casas, di bawah kepemimpinan
progresif Uskup Samuel Ruiz, sudah aktif mengorganisir komunitas-komunitas
adat sejak awal 1970-an. Ruiz adalah salah seorang peserta Konsili Vatikan II
yang menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dalam doktrin Gereja. Ia juga
ikut merumuskan lahirnya teologi pembebasan dalam Konfrensi Medellin. Prinsip
Ruiz berbeda dengan ideologi yang di usung oleh FLN dimana Ruiz tidak pernah
menerima gerakan bersenjata sedangkan FLN adalah sebalikya, Ruiz lebih
menyukai sebuah pergerakan perubahan melalui cara damai yaitu melalui
mobilisasi massal demokratis.
34
kepemimpinan nasional FLN tiba di Chiapas dan siap membentuk aparat militer
mereka. Sesuai tekad ini maka diadakan pembubuhan nama perang baru.
Fernando Yanez menjadi Comandante German untuk mengormati kakaknya yang
tewas. Juan menjadi Rodrigo. Dan bersama mereka turut datang Kapten Zakarias
yang masih muda dan luar biasa cerdas. Zakarias inilah yang nanti akan berganti
nama menjadi Marcos.35
Di bawah kepemimpinan Elisa, Marcos naik pangkat menjadi
Subcomandante bersama dua kapten lainnya, Daniel dan Pedro. Sambil terus
melebarkan unit-unit pertahanan ini, mereka mulai aktif meyusun pasukan tempur Jumlah anggota FLN pun semakin hari semakin bertambah sehingga
memiliki basis struktur organisasi yang besar dan kuat, FLN juga membentuk
sebuah sub organisasi yang dikenal dengan Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista (EZLN). EZLN bertugas sebagai rekrutmen anggota serta sebagai
sebuah organisasi yang memberikan pelatihan bersenjata bagi para anggota FLN.
EZLN juga mejadi sebuah basis kekuatan militer FLN dalam melakukan
perlawanan bersenjata, serta dalam pengembangan jaringan FLN di tiap-tiap kota.
EZLN pun dikonseptualkan sebagai sayap bersenjata struktur tripartit FLN
yang bertugas menghubungkan FLN dengan massa kaum buruh di pedesaan
seraya memberlakukan langkah-langkah dan aturan lokal yang menguntungkan
rakyat zona itu. Yang terpenting, EZLN harus membebaskan wilayah tempatnya
beroperasi guna mendirikan otoritas revolusioner rakyat di zona-zona dimaksud.
Tujuan terakhir ini baru bisa tercapai 14 tahun kemudian, saat
Kotapraja-Kotapraja Otonom Zapatista diresmikan tahun 1997.
35
EZLN. Periode penggalangan komunitas inilah yang nanti akan menimbulkan
perubahan mendalam baik dalam struktur organisasi maupun konsepsi-konsepsi
gerakan Zapatista mengenai demokrasi.
Lebih dari sekali Marcos mengatakan dalam pelbagai wawancara bahwa
komunitas adat lah yang mengubah budaya politik EZLN. “Kami coba bangun
partai politik yang berawal dari EZLN, yang akan menggarap penugasan
komunitas-komunitas adat. Tapi tak jalan, mengapa? Sebab ada budaya lain, cara
lain dalam mempraktikkan politik. Orang-orang ini sama sekali tidak buta politik.
Mereka punya cara lain dalam berpolitik.36
“Itulah dulu asal muasal EZLN: sekelompok “kaum tercerahkan” yang datang dari kota untuk “membebaskan” kaum tertindas. Namun tatkala dihadapkan pada realitas komunitas adat, mereka terlihat lebih mirip bohlam putus ketimbang “kaum tercerahkan”. Butuh berapa lama sampai kami sadar bahwa kami harus belajar mendengar, dan sesudahnya , bicara? Aku tidak begitu pasti, … tapi aku hitung-hitung sekitar dua tahun setidaknya. Berarti bahwa apa yang dulunya perang gerilya revolusioner klasik di tahun 1984 (pemberontakan massa bersenjata, merebut kekuasaan, pemberlakuan sosialisme dari atas, banyak patung dan nama para pahlawan serta martir dimana-mana…), pada tahun 1986 sudah menjadi kelompok bersenjata yang sebagian besarnya orang adat, menyimak penuh perhatian dan mencelotehkan kata-kata pertamanya bersama seorang guru baru: Penduduk Indian.”
37
36
Wawancara dengan Samuel Blixen dan Carlos Fazio, diambil dari harian Uruguay, Brecha.
Lihat Bayang Tak Berwajah, Hal. 347
37
Subcomandante Marcos, Kata Adalah Senjata (Yogyakarta: Resist Book , 2006, hal. 145)