Tinjauan Pustaka
Manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Aktivitasnya mempengaruhi lingkungannya, dan sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Huungan timbal balik demikian terdapat antara manusia sebagai individu atau kelompok atau masyarakat dan lingkungan alamnya. Hal tersebut senada dengan yang diucapkan oleh Dubos dalam bukunya berjudul “Only One Earth”, sebagaimana dikutip oleh Daud Silalahi1, yakni :”man inhabits two worlds. One is the natural words of plants and animals, of soils, and airs, and waters which proceeded him by billions of years and of which he is a part. The other is the world of social institutions and artifacts he builds for himself, using his tools and engines, his science and his dreams to fashion an environment obedient to human purposes and direction”.
Sistem Insentif dan Disinsentif
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (selanjutnya akan disebut UULH 82) memuat ketentuan bahwa yang mewajibkan pemerintah untuk: “menggariskan kebijakan tindakan yang ‘mendorong’ ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan linkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Dalam Penjelasan Pasal tersebut dijelaskan bahwa untuk “memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tertentu, misalnya dalam bidang perpajakan sebagai insentif guna lebih meningkatkan pemeliharaan lingkungan dan disinsentif untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Selanjutnya dikemukakan dalam penejelasan bahwa “kebijaksaaan dan tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal ini dapat pula diarahkan kepada pemberian penghargaan kepada setiap orang yang amat berjasa dalam pelestarian kemampaun lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.”
Bentuk-bentuk insentif dan disinsentif lainnya dilakukan melalui mekanisma perkreditan (jasa perbankan). Misalnya; (1). kredit untuk proyek-proyek perumahan tidak akan diberikan untuk lokasi atau kawasan yang tidak sesuai dengan prinsip pelestarian lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan2; (2). Untuk mendorong adanya minat mengimpor alat pengendalian dan pencegahan pencemaran dapat pula diberikan keringanan pajak impor, atau pemberian kredit jangka panjang atau bentuk kemudahan lainnya kepada pengusaha 3; (3). Keharusan untuk mengasuransikan akbat dari kegaitan tertentu yang sangat besar dampaknya dengan lingkungan dapat juga sebagai bentuk disinsentif.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) huruf c UULH 82 diatur pula bentuk disinsentif yakni peraturan pajak dan retribusi lingkungan. Penjelasan Pasal tersebut yakni “wewenang pengaturan sebagaimana tersebut dalam ayat (3)
1 Daud Silalahi, Cetakan ke-1, 1992, Hukum Lingkungan, Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, hlm.9
pasal ini antara lain meliputi tata ruang yang merupakan sistem pengaturan ruang sebagai upaya sadar untuk mengatur hubungan antar berbagai kegiatan dan fungsi guna mencapai keserasian dan keseimbangan.”
Pencemaran
Pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk environmental impairment, adanya gangguan, perubahan atau perusakan bahkan adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function). Setiap kegiatan manusia akan menambah materi atau energi pada lingkungan. Jika materi atau energi itu membahayakan, atau mengancam kesehatan manusia, miliknya atau sumber daya, baik langsung maupun tidak, dikatakan terjadi pencemaran. Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pencemaran adalah suatu kegiatan yang dikehendaki dapat pula menghasilkan atau menimbulkan pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki.4
Apabila arti dan sejarah pencemaran ditelusuri dalam bentuknya yang paling tua hingga pada zaman modern, pencemaran dalam arti kontaminasi yang terjadi pada makanan dan air oleh organisme patogenik (pathogenic organism) dianggap merupakan salah satu pencemaran yang sudah tua usianya. Menurut Munadjat Danusaputro dalam bukunya hukum lingkungan klasik sebagaimana dikutip oleh Daud Silalahi5, pada tahap ini, upaya pengendalian pencemaran ditujukan pada pencemaran biologis yang terjadi terutama di kota-kota (urbanisasi) karena ledakan penduduk yang menyebabkan sampah domestik meningkat, terjadinya perubahan tataguna tanah serta masalah irigasi. Dalam periode ini, persepsi tentang pencemaran dapat berkisar pada masalah sanitasi, kesehatan lingkungan (public health) yang menghasilkan hukum lingkungan yang klasik (sanitary law).
Pengertian pencemaran baru dipersoalkan pada permulaan abad ke-20, dimana terjadi pergeseran sifat pengaturan dari tahap sanitary law ke tahap pollution law. Dalam perkembangan ini terjadi pergeseran dari sifat kaidah hukumnya dari hukum perdata ke hukum publik disebabkan makin besarnya turut campur tangan pemerintah (conventional principles of civil law to public law for pollution control), dualistic structure. Dalam tahap pollution law dilakukan pendekatan mikro, dan tekanan yang besar pada aspek teknis, lingkungan fisik sehingga pada tahap ini, pencemaran lingkungan belum dikaji dalam arti yang menyeluruh (comprehensive). Yang dimaksud dengan aspek perdata adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran, dan aspke publik, misalnya upaya mengendalikan pencemaran (pollution control) dan tata caranya. 6
4 Ibid, hlm.125. 5 Ibid.