• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH (STUDI DI KECAMATAN TANJUNGRAYA KABUPATEN MESUJI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH (STUDI DI KECAMATAN TANJUNGRAYA KABUPATEN MESUJI)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION BY LAW OF NUMBER 09 YEAR 2011 ABOUT SYSTEM MANAGEMENT OF DEVELOPMENT PARTISIPATIVE of AREA

( Study At District Of Tanjungraya Sub-Province of Mesuji ) By

Indra Saputra

The objective of this research was to find implementation By Law Of Number 09 year 2011

about System Management Of Partisipative Development. There are several things becoming

parameter in measuring implementation, namely integrity of used sumberdaya, quality of

execution of step of planning, relation pattern between stakeholder and also constraints faced in

course of implementation. This is study very useful to evaluate execution of Perda Number 09

year 2011. In this research of researcher use method qualitative with descriptive analysis that is

with planning process from Deliberation Planning Of Development Of Orchard

(Musrenbangdus), Special Deliberation of Woman (MKP), Deliberation Planning of

Development of Countryside (Musrenbangdes) and Deliberation Planning of Development of

District (Musrenbangcam) The conclusion of this research is that Deliberation of Development

Planning in Orchard still be carried out and less be maximal. If document RPJM- Des,

Musrebangdus needn't is again executed. In this deliberation is dominant of its role is KPMD.

Special Deliberation of woman (MKP) have been executed by according to Perda Number 09

year 2011. Dominant stakeholder is Fasilitator PNPM-MPD, because concept MKP of result of

adoption from PNPM-MPD. Just only which still become the constraint is not yet its his maximal

is sterelisasi of forum MKP from men circle. Deliberation of Development Planning in

Countryside have been executed by according to Perda Number 09 year 2011. In

(2)

defrayal element. Dominant stakeholder is countryside head of because as organizer and

knowing a lot of information. about defrayal source. Deliberation of Development Planning in

Subdistrict have been executed by according to Perda Number 09 year 2011. In Musrenbang

subdistrict, have been conducted by compilation of priority scale from entire defrayal element.

Dominant stakeholder is countryside head, elite figure and woman group of because those who

majority as courier. Courier giving assessment to all proposal, so that priority scale shall no

longger be intervenced by the Sub-Regency chief and member DPRD, but have more

partisipative

(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF DAERAH

(Studi Pada Kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji) Oleh

Indra Saputra

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah

Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan

Partisipatif.Terdapat beberapa hal yang menjadi parameter dalam mengukur

implementasi, yakni keterpaduan sumberdaya yang digunakan, kualitas

pelaksanaan tahapan perenanaan, pola hubungan antar stakeholder serta

kendala-kendala yang dihadapi dalam proses implementasi. Kajian ini sangat bermanfaat

untuk mengevaluasi pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 tersebut. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif

yaitu dengan mendeskripsikan tahapa perencanaan yang dimulai dari Musyawarah

Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus), Musyawarah Khusus

Perempuan (MKP), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa

(Musrenbangdes) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan

(Musrenbangcam). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Dusun masih diselenggarakan dan

kurang maksimal. Jika dokumen RPJM- Des, Musrebangdus tidak perlu lagi

dilaksanakan. Dalam musyawarah ini yang dominan perannya adalah

(4)

Nomor 09 tahun 2011. Pihak yang dominan adalah Fasilitator PNPM-Mpd, karena

konsep MKP hasil adopsi dari PNPM-MPd. Hanya saja yang masih menjadi

kendala adalah belum maksimalnya sterelisasi forum MKP dari kalangan

laki-laki. Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Desa sudah dilaksanakan sesuai

Perda Nomor 09 tahun 2011. Dalam Musrenbangdes, sudah dilakukan

penyusunan skala prioritas dari seluruh unsur pembiayaan. Pihak yang dominan

adalah kepala desa karena sebagai penyelenggara dan yang mengetahui banyak

informasi tentang sumber pembiayaan. Musyawarah Perencanaan Pembangunan

di Kecamatan sudah dilaksanakan sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011. Dalam

Musrenbang kecamatan, sudah dilakukan penyusunan skala prioritas dari seluruh

unsur pembiayaan. Pihak yang dominan adalah kepala desa, tokoh masyarakat dan

kelompok perempuan karena mereka yang mayoritas sebagai utusan. Utusan yang

memberikan penilaian terhadap semua usulan, sehingga skala prioritas tidak lagi

diintervensi Camat dan anggota DPRD, tapi sudah lebih partisipatif.

(5)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF DAERAH

(Studi Pada Kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji) ( Tesis )

Oleh

Indra Saputra

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(6)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF DAERAH

(Studi Pada Kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji)

Oleh

Indra Saputra

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister Ilmu Pemerintahan

Pada

Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)
(8)
(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis ( Indra Saputra), dilahirkan di Kota Pangkal Pinang Provinsi

Bangka Belitung, pada tanggal 31 Juli 1983, sebagai putra pertama dari

tiga bersaudara pasangan Ayahanda Sudirman Nagararaja dan Ibunda

Syarifah.

Penulis mulai merintis dunia pendidikan formal di SD I Negararatu

Lampung Utara tahun 1989. Selanjutnya penulis meneruskan sekolah ke

jenjang SLTP Negeri 3 Sungkai Utara Kabuptaen Lampung Utara tahun

1995. Tahun 1998, penulis melanjutkan ke jenjang SMU Negeri 2 Kota

Bumi Kabupaten Lampung Utara dan Insya Allah penulis akan

menyelesaikan studi di Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Di Kampus, penulis aktif di organisasi. Organisasi yang pertama penulis

ikuti adalah HMJ Ilmu Pemerintahan dab BEM FISIP Unila. Sedangkan

Organisasi eksternal yang penulis arungi adalah Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI). Sedangkan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti penulis

adalah sebagai berikut LKTM-TD, LKTM-PMBasic Training (LK I) di

HMI, Intermediate Training (LK II) di HMI,

Pasca mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, penulis bekerja sebagai

(11)

Kupersembahkan Karya Ilmiah ini Kepada :

Mamak yang saya muliakan “Syarifah” dan

Bapakku “Sudirman Nagaraja”, yang telah membesarkan penulis

dengan ketulusan dan doanya yang tak pernah putus

(12)

MOTTO

Saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan

sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan

pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar

terhadap ummatnya…”

(Imam Syahid Hasan Al-Banna)

“Jika Anda Ingin Membuat Sesuatu, Anda akan Mencari Jalan Jika Anda Tidak Mau Membuat Sesuatu, Anda Akan Mencari Alasan”

(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... i

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perencanaan Partisipatif (Perencanaan Pembangunann

Berorientasi Masyarakat... 11

B. Partisipasi Masyarakat: Masyarakat menjadi Subjek Pembangunan . 14

C. Pengembangan Sistem Pembangunan Yang Terpadu: PNPM

Integrasi sebagai Solusi ... 19

D. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan ... 22

E. Penerapan Keadilan Gender dengan Memposisikan Perempuan

Sebagai Subjek Pembangunan ... 27

F. Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Sistem

Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah ... 34

G. Kerangka Pikir... 36

III. METODE PENELITIAN

(14)

C. Penentuan Informan... 41

D. Jenis dan Sumber Data ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Teknik Analisis dan Interprestasi Data ... 44

IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Penduduk ... 46

B. Gambaran Umum Pendidikan ... 48

C. Gambaran Umum Kesehatan ... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Musyawarah dusun sebagai wujud partisipasi di level Akar rumput ... 51

B. Implementasi Musyawarah Khusus Perempuan Dalam Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 64

C. Implementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa sebagai Wujud Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 75

D. Implementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan sebagai Wujud Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 87

E. Analisis Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 97

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 109

B. Saran ... 110

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Jumlah Penduduk per Desa di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 ... 46

2. Mata Pencaharian Penduduk di di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 ... 47

3. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 . 48 4. Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 ... 49

5. Partisipasi Masyarakat Kecamatan Tanjung Raya Pada Pelaksanaan Kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus) PNPM Mandiri... 53

6. Contoh Daftar Masalah dan Potensi Kalender Musi... 58

7. Pelaksanaan PKD di Desa-Desa Kecamatan Tanjungraya pada saat penyusunan RPJM-Des tahun 2010... 60

8. Peran Stakholder dalam Musrenbangdus... 62

9. Tingkat partisipasi perempuan dalam MKP tahun 2012 ... 67

10. Peran Stakholder dalam Tahapan Musyawarah Khusus Perempuan ... 71

11. Tingkat partisipasi dalam Musrenbangdes tahun 2012 ... 79

12. Dinamika Stakholder dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa ... 84

13. Tingkat Partisipasi dalam Musrenbang Kecamatan tahun 2012 ... 91

14. Tingkat Partisipasi dalam Musrenbang Kecamatan tahun 2011 ... 92

(16)

iv

16. Pelaksanaan Musrenbangdus dalam Perda Nomor 09 tahun 2011

Model Brian dan Lewis... 99

17. Pelaksanaan MKP dalam Perda Nomor 09 tahun 2011

Model Brian dan Lewis... 101

18. Pelaksanaan Musrenbangdes dalam Perda Nomor 09 tahun 2011

Model Brian dan Lewis... 103

(17)

SANWACANA

Tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Tuhan Raja di Raja Alam Semesta

Ilahi Rabbi Allah SWT yang Maha berkuasa terhadap apa yang Dia kehendaki.

Adanya penulis di muka bumi ini merupakan bukti kekuasaan-Nya dan hanya

dengan proses berpikir, maka penulis tahu dan sadar bahwa penulis adalah ada

dan sekarang sedang berikhtiar bagaimana membuktikan bahwa penulis adalah

ada. Penulis yakin bahwa terselesainya penulisan tesis ini tak lepas dari intervensi

sang Khalik, khususnya dalam menuntun proses berpikir yang rediks, holistik,

jernih dan penuh pertimbangan Ilahiyah hingga menemui kebenaran yang penulis

cari dalam proses penelitian ini.

Penulis bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasul Allah SWT. Sang ummi

yang mampu menabur pencerahan ilmu dan peradaban di muka bumi, sang

mustadafin yang sangat dermawan dengan kekayaan pribadinya, sang penyayang

yang sangat keras melawan musuh Allah di medan perang, sang lemah lembut

yang membuat gentar lawan bicaranya, sang pemalu yang sangat lantang terhadap

raja-raja kafir. Beliau adalah sang idola yang hati ini tak terbendung rindu tuk

(18)

xi

1. Drs. Agus Hadiawan, M.Si., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Lampung;

2. DR. Ari Darmastuti, M.A, Selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana

Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas

Lampung;

3. Drs. Yana Ekana, M.S.i, Selaku Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana

Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas

Lampung sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Pembantu yang telah

memberikan banyak arahan, bimbingan dan masukan serta kesempatan

waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam

menyelesaikan tesis ini;

4. Dr. Feni Rosalia, selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan

banyak arahan, bimbingan dan masukan serta kesempatan waktunya dengan

penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis

ini;

5. Dr. Dedy Hermawan, M.S.i. selaku Penguji tesis penulis yang telah

memberikan banyak arahan, bimbingan dan masukan serta kesempatan

waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam

menyelesaikan tesis ini;

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Magister Ilmu Pemerintahan dan Para

Pegawai dan Petugas FISIP Unila, sumbangsih pengabdianmu tercatat

dalam lembaran pembangunan FISIP Unila dan amal ibadah untuk

(19)

xii

7. Seluruh rekan-rekan seangkatan dan kawan-kawan MIP yang selalu

menjadi sahabat dalam menjalani proses akademik, kawan diskusi hingga

berbagi informasi untuk mengkaji pengalaman baru yang lebih prosfektif.

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Integrasi Horizontal ... 20

2. Titik Temu Integrasi ... 21

3. Model proses implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horm ... 25

4. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (a frame work for implementation anlysis) ... 26

6. Bagan Kerangka Pikir ... 37

7. Sketsa desa ... 57

8. Diagram Kelembagaan ... 59

9. Alur pelaksanaan Musrenbangdus sebelum Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 63

10. Alur pelaksanaan Musrenbangdus sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011 .... 64

11. Alur pelaksanaan MKP sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 73

12. Bagan substansi proses Musrenbangdes sebelum pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 85

13. Bagan substansi proses Musrenbangdes pasca pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 85

14. Bagan substansi proses Musrenbang Kecamatan sebelum pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 96

(21)

DAFTAR SINGKATAN

1. APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2. APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 3. BKAD : Badan Kerjasama Antar Desa

4. BLM : Bantuan Langsung Masyarakat

5. BPD : Badan Permusyawaratan Desa

6. FK-P/ T : Fasilitator Kecamatan Bagian Pemberdayaan/ Teknik 7. KPMD : Kader Pemberdayaan Masyarakat

8. MAD : Musyawarah Antar Desa

9. MKP : Musyawarah Khusus Perempuan 10. MDP : Musyawarah Desa Perencanaan 11. PAGAS : Penggalian Gagasan

12. PNPM-MPd : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan 13. TPK : Tim Pelaksana Kegiatan

14. POKMAS : Kelompok Masyarakat

15. RPJM-Des : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa 16. SDM : Sumberdaya Manusia

(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan

ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan terjadinya perubahan

secara total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan,

tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun

kelompok sosial untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba

lebih baik, secara material maupun spiritual.

Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang

menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai

suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada

tahun 60-an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi

dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Di

Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD 1945

yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga negara, dan

(23)

2

Presiden Suharto sejak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat

dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde

baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “

top-down”. Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya.

Masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu

dana maupun tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi

yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model

ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan

secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa

tidak memiliki dan tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan itu.

Sistem pemerintahan yang sentralistik di masa orde baru menyebabkan

terabaikannya aspirasi dan kreatifitas masyarakat lokal dan daerah, karena terjadi

pembatasan terhadap kemampuan atau keberdayaan dari masyarakat

daerah-daerah serta masyarakat lokal. Pembatasan ini dilakukan secara sistematis oleh

pemerintah pusat dan selanjutnyaberimplikasi pada pembangunan yang tidak

sesuai (incompatible) dengan kebutuhan masyarakat di daerah.

Orde Reformasi melahirkan konsep otonomi daerah dan konsep pembangunan

yang terdesentralisasi dalam bentuk pola pembangunan bottom-up. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu

landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam

Undang-Undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi pada daerah

(24)

3

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan

potensi dan keaneka ragaman daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah

kabupaten/kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata

dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya

pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan dan pemanfaatan

sumber daya nasional yang berkeadilan serta pertimbangan keuangan pusat dan

daerah. Sehingga diharapkan penerapan konsep desentralisasi dapat mengatasi

kesenjangan pembangunan daerah, pemerataan pembangunan serta dalam bentuk

yang lebih opersional adalah maksimalisasi program-program penanggulangan

kemiskinan

Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. PNPM Mandiri Perdesaan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Mesuji sebagai

(25)

4

Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan.

Selain undang-undang nomor 32 tahun 2004, peraturan yang secara sektoral

memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya undang-undang nomor 25

tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Peraturan tersebut pada intinya memberikan ruang yang sangat luas pada

partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya.

Perlunya keterlibatan masyarakat ini dianggap sangat penting, karena

pembangunan yang terlalu menekankan peranan pemerintah birokrasi (bercirikan

top down) mendapat kritikan tajam, karena kurang peka terhadap kebutuhan lokal.

Pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan masyarakat dalam pelaksanaan

program-program pembangunan, berarti memberikan peluang seluas-luasnya

kepada masyarakat untuk mengarahkan sumber daya, potensi, merencanakan serta

membuat keputusan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pembangunan.

Perencanaan pembangunan di daerah, khususnya di level desa dan kecamatan

masih mengalami banyak kendala dan kelemahan. Sebagai contoh, ketika

pelaksanaan perencanaan pada program PNPM-Mpd, banyak tahapan

musyawarah-musyawarah yang harus dilaksanakan dalam satu tahun anggaran,

(26)

5

berikutnya, sehingga kondisi ini berdampak terhadap kejenuhan masyarakat untuk

hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan musyawarah. Masyarakat berpikir

percuma hadir dalam musyawarah, yang dibahas atau diusulkan “itu-itu saja”,

selagi yang diusulkan belum terpenuhi, maka usulan masyarakat akan tetap terus

disampaikan.

Selain musyawarah perencanaan di PNPM-Mpd, masyarakat juga sering diundang

dalam musyawarah perencanaan reguler (musyawarah perencanaan pembangunan

desa/ Musrenbangdes dan musyawarah perencanaan pembangunan kecamatan/

Musrencam). Kemudian pada program lain, baik program skala nasional maupun

daerah, masyarakat kembali diundang untuk melakukan musyawarah perencanaan

pembangunan. Tingginya intensitas musyawarah-musyawarah perencanaan

mencerminkan bahwa pola perencanaan yang ada di daerah, khususnya di desa

belum efektif bahkan kadangkala sering tumpang tindih.

Masalah lain adalah tidak terpadunya usulan kegiatan antara usulan yang didanai

APBD dengan usulan kegiatan yang bersumber dari biaya-biaya lainnya, sehingga

sering ditemui kasus, usulan yang sama, diusulkan pada dua sumber pembiayaan.

Misalkan, desa A mengusulkan kegiatan pembangunan jalan, diusulkan ke

PNPM-MPd dan diusulkan juga pada sumber pembiayaan APBD. Seandainya

usulan desa A tersebut disetujui baik di PNPM maupun APBD, maka kondisi ini

dianggap melanggar ketentuan karena double anggaran. Konsekuensinya adalah,

salah satunya harus membatalkan kegiatan tersebut.

Respon terhadap berbagai kelemahan tersebut memunculkan kebutuhan untuk

(27)

6

dengan mengintegrasikan seluruh tahapan perencanaan program-program yang

ada di desa dan kecamatan kedalam sistem pembangunan Reguler. Hal ini

mendorong Pemerintah meluncurkan Pilot Project Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP ).

Tujuan Umum P2SPP adalah untuk mengintegrasikan model sistem pembangunan

partisipatif ke dalam sistem pembangunan daerah. Sedangkan tujuan khususnya

adalah meningkatkan keterpaduan antar program/kegiatan penanggulangan

kemiskinan di daerah, kemudian meningkatkan keterpaduan pembangunan dalam

aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian oleh masyarakat,

pemerintah daerah dan pemerintah. Kemudian tujuan yang lain adalah

meningkatkan keterlibatan serta penguatan kapasitas masyarakat, terutama

kelompok miskin dalam pengelolaan pembangunan daerah, meningkatkan

kapasitas lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan desa dalam pengelolaan

pembangunan berkelanjutan, mengintegrasikan model pembiayaan bantuan

langsung masyarakat ke dalam sistem penganggaran pemerintah daerah dan desa,

meningkatkan pendampingan masyarakat oleh pemerintah daerah melalui

pendayagunaan setrawan.

Keterlibatan kalangan perempuan dalam partisipasi perencanaan pembangunan

juga menjadi isu yang penting dalam pelaksanaan pembangunan partisipatif.

Selama ini kalangan perempuan hanya dianggap sebagai objek pembangunan.

Sekarang, kalangan perempuan harus difasilitasi, sehingga tidak lagi menjadi

objek pembangunan, namun mampu menjadi subjek pembangunan, artinya adalah

(28)

7

keputusan, terlibat dalam pelaksanaan pembangunan dan juga ikutserta dalam

evaluasi dan pelestarian hasil pembangunan. Sehingga pembangunan yang

partisipatif tidak hanya terintegrasi secara kelembagaan, namun juga terintegrasi

dari seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan program P2SPP tersebut, Pemerintah Kabupaten Mesuji, DPRD

Kabupaten Mesuji dan Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Perdesaan

mengimplementasikan konsep perencanaan partisipatif dan integrasi proses

perencanaan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 09 tahun 2011

Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah.

Perda tersebut merupakan regulasi yang diharapkan dapat memberi arah atau

pedoman bagi pemerintah dan masyarakat untuk dapat mensukseskan

pembangunan daerah melalui pendekatan partisipatif dengan mengoptimalkan

hasil perencanaan masyarakat desa dalam dokumen RPJM desa serta melibatkan

masyarakat dalam proses pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian hasil

pembangunan.

Peraturan Daerah Nomor 09 tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan

Pembangunan Partisipatif Daerah memuat tentang partisipasi masyarakat dalam

perencanaan pembangunan bahwa setiap orang baik individu maupun kelompok

berkewajiban berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang

teknis pengaturannya diatur dalam petunjuk teknis operasional.

Proses yang dilakukan dalam partisipasi yaitu menyampaikan masalah-masalah

(29)

8

prioritas pembangunan daerah, menyampaikan usul, saran atau aspirasi untuk

menjadi agenda prioritas pembangunan daerah, kemudian terlibat secara aktif

dalam proses pengambilan keputusan tentang rencana pembangunan daerah.

Penyampaian masalah-masalah, usul dan saran harus disertai dengan alasan-alasan

yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkansesuai dengan mekanisme

penyaluran aspirasi publik melalui proses musrenbang secara berjenjang.

Perda ini mulai diimplementasikan pada tahun 2011. Dalam pelaksanaanya tentu

masih mengalami berbagai kendala, karena konsep ini memang sesuatu hal yang

baru dalam pola perencanaan pembangunan, sehingga membutuhkan proses

sosialisasiyang massif serta kerjasama yang terpadu antar banyak pelaku atau

stakeholder.

Peneliti tertarik untuk meneliti implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ini,

khususnya dalam hal pengelolaan sistem perencaaan yang partisipatif, karena

sangat dimungkinkan ketika Perda ini diterapkan atau diimplementasikan akan

terjadi persoalan-persoalan. Sebagai contoh, sejauhmana sosialisasi Perda No 09

tahun 2011 ke seluruh stakeholder. Jika ada ketimpangan pemahaman antara

stakholder tentu berdampak terhadap ketidaksinergisan di lapangan. Contoh yang

lain, dalam implementasi Perda, dapat terjadi gesekan atau benturan kepentingan

antara pihak satu dengan pihak lainnya, karena dengan adanya pembangunan

partisipatif, bisa jadi akan ada kepentingan pihak tertentu yang “terganggu”

Kemudian persoalan sumber pembiayaan, jika kegiatan perencanaan dilakukan

(30)

9

dapat berdampak terhadap kerawanan, karena pengelolaan dana dengan setiap

stakholder berbeda-beda.

Penelitian dilakukan di kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji. Alasan

kecamatan Tanjungraya yang dijadikan sebagai objek penelitian karena

kecamatan ini relatif dekat dengan pusat pemerintahan di kabupaten Mesuji.

Penelitian mengenai implementasi Perda ini dibatasi pada implementasi

pembangunan partisipatif dalam tahapan perencanaan, yakni pada perencanaan

ditingkat dusun/suku, perencanaan ditingkat desa atau yang dalam hal ini di

disebut kampung, kemudian perencanaan dalam forum musyawarah kelompok

perempuan dan terakhir perencanaan dalam musyawarah tingkat kecamatan.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi rumusan masalah

Adalah bagaimana implementasi Perda Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Sistem

Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah serta kendala-kendala yang

dihadapi?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis implementasi

Perda Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan

Partisipatif Daerah dengan pendekatan teori implementadi kebijakan serta

(31)

10

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis, hasil penelitian dapat menambah pengetahuan dan kajian ilmu pemerintahan khususnya dalam hal kebijakan perencanaan

partisipatif yang dewasa ini menjadi model pembangunan di berbagai

daerah.

b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi Pemerindah Daerah Kabupaten Mesuji dan program pembangunan di

daerah dalam mengevaluasi pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 yang

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perencanaan Partisipatif (Perencanaan Pembangunan Berorientasi Masyarakat)

Pembangunan berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan

dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat setempat, selain itu juga

resiko atau cost yang akan ditimbulkan oleh upaya pembangunan ini akan ditanggung juga oleh masyarakat setempat. Dengan demikian tidak hanya benefit yang harus diketahui semenjak program pembangunan ini direncanakan tetapi

juga cost-nya.

Berbagai bentuk partisipasi masyarakat di dalam perencanaan program

pembangunan dapat dibentuk atau diciptakan. Hal ini sangat tergantung pada

kondisi masyarakat setempat, baik kondisi sosial, budaya, ekonomi maupun

tingkat pendidikannya. Di beberapa daerah bentuk partisipasi masyarakat dalam

pembangunan telah terjadi, di mana wadah serta mekanisme partisipasinya telah

terbentuk dengan baik.

Riyadi Supriyadi Bratakusumah (2004: 321) dalam bukunya mengatakan terdapat

beberapa langkah dalam mengajak peran serta masyarakat secara penuh di dalam

pembangunan dapat dilakukan dengan jalan :

1. Merumuskan dan menampung keinginan masyarakat yang diwujudkan

(33)

12

2. Dengan dibantu oleh pendamping atau nara sumber atau lembaga advokasi

masyarakat, dibuatkan alternatif perumusan dari berbagai keinginan

tersebut.

3. Merancang pertemuan seluruh masyarakat yang berminat dan

berkepentingan, yang membicarakan cost dan benefit dari pelaksanaan pembangunan ini.

4. Memilih tokoh masyarakat atau perwakilan masyarakat untuk turut serta

dalam proses selanjutnya.

5. Proses pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan pembangunan serta

rencana pelaksanaan pembangunan dilangsungkan beberapa kali dan

melibatkan seluruh instansi maupun pelaku pembangunan yang terkait, di

samping tokoh atau wakil masyarakat dan DPRD.

6. Mendapatkan sejumlah usulan program pembangunan yang sudah

disepakati.

7. Melaksanakan program pembangunan, disertai dengan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan. ( Riyadi supriyadi Bratakusumah, 2004 : 323-324 )

Selanjutnya bila diperlukan perubahan atau perbaikan atas kesepakatan yang telah

diambil, rangkaian proses ini harus diulangi lagi sehingga seluruh masyarakat

merasa hasratnya telah ditampung dan pada akhirnya mereka merasa memiliki

pembangunan tersebut. Dengan melakukan berbagai langkah di atas, diharapkan

peran serta masyarakat sebagai subjek pembangunan akan semakin meningkat,

(34)

13

Sistem pembangunan di Indonesia, secara umum dapat ditelaah melalui empat

tahap perencanaan pembangunan, di mana satu sama lain saling berkaitan. Yakni :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, pada tahap ini perencanaan

yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai

kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan

nasional.

2. Tahap perencanaan program pembangunan, pada tahapan ini

perencanaan pembangunan sudah lebih khusus mencerminkan

langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk

program-program pemerintah (eksekutif).

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, dalam tahapan ini

perencanaan pembangunan mulai terfokus pada sektor-sektor

pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi

teknis.

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, di sini perencanaan

pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan

detail pelaksanaannya. Tahapan ini biasanya sudah dibuat pola dalam

bentuk tahunan.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa pada dasarnya konsep perencanaan

yang disusun baik di tingkat pusat maupun di daerah, mulai dari rencana

pembangunan (renbang) sampai dengan rencana strategis (renstra) bahkan hingga

APBN/APBD akan memiliki alur yang konsisten bila keseluruhan proses tersebut

(35)

14

dan makro (luas) dipertajam dan dispesifikasikan pada tahap-tahap berikutnya

sampai akhirnya akan menemukan tahapan praktis operasional/teknis yang lebih

bersifat spesifik dan implementatif serta aplikatif.

B. Partisipasi Masyarakat: Masyarakat menjadi Subjek Pembangunan

Pretty dalam Daniel (Girsang, 2011:8) menyatakan bahwa partisipasi adalah

proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri

masalah yang dihadapinya. Pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian atau

pengikutsertaan. Dengan demikian, pengertian partisipatif adalah pengambilan

bagian/pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan

proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai pada monitoring dan evaluasi (controlling).

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai ikut sertanya

masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, ikut serta memanfaatkan, dan

menikmati hasil-hasil pembangunan. Mubyarto (dalam Suhendra, 2010:22)

mengemukakan bahwa arti partisipasi adalah kesediaan untuk membantu

berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa

mengorbankan kepentingan diri sendiri. Masyarakat dapat berpartisipasi secara

baik apabila terdapat tiga syarat, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk ikut dalam

pembangunan; (2) adanya kemauan dari masyarakat untuk memanfaatkan

kesempatan yang ada; dan (3) adanya kemauan anggota untuk berpartisipasi.

Partisipasi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan, motivasi, struktur, dan

(36)

15

memenuhi kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan, dan

meningkatkan statusnya. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi

kehidupan manusia. Pendidikan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu

pengetahuan yang sangat berguna bagi diri dan kehidupannya maupun bagi

pelaksanaan tugas sehari-hari. Pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara

merasa, dan cara bertindak seseorang.

Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara sederhana adalah

keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan.

Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara

individu atau kelompok masyarakat dalam pembangunan, yang mencakup

partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan

kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil

pembangunan.

Partisipasi juga diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat

sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah.

Selain itu, partisipasi juga dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam

penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh

pemerintah, serta keterlibatan masyarakat dalam memikul dan memetik hasil atau

manfaat pembangunan.

Pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum

mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan

masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan

(37)

16

Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dan

dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan

proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol

secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak,

kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar.

Nasdian juga memaparkan bahwa partisipasi dalam pengembangan komunitas

harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang

dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan

masyarakat.

Partisipasi diidentifikasikan sebagai: (1) partisipasi dalam pengambilan

keputusan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan program dan proyek-proyek

pembangunan; (3) partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi program dan

proyek-proyek pembangunan; serta (4) partisipasi dalam berbagai manfaat

pembangunan.

Dengan demikian partisipasi dapat dibagi kedalam beberapa tahapan, yaitu

sebagai berikut (dalam Suhendra, 2010:32):

1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan melalui keikutsertaan

masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang

dimaksud adalah pada perencanaan suatu kegiatan.

2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam

pembangunan, karena inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya.

Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu

partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi,

(38)

17

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan

partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program.

Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek

pembangunan, maka semakin besar manfaat program dirasakan, berarti

program tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap

ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan

pelaksanaan program selanjutnya.

Partisipasi masyarakat menggambarkan terjadinya pembagian ulang kekuasaan

yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan

gradasi, derajat wewenang, dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses

pengambilan keputusan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat antara lain, sebagai

berikut (dalam Cahyani, 2011:7):

1. Faktor internal, yaitu yang mencakup karakteristik individu yang dapat

mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

Karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban

keluarga, jumlah pendapatan, dan pengalaman berkelompok.

2. Faktor eksternal, yaitu hubungan yang terjalin antara pihak pengelola

proyek dengan sasaran yang dapat mempengaruhi partisipasi. Sasaran akan

dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola

positif dan menguntungkan mereka. Selain itu, bila didukung dengan

(39)

18

sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu untuk berpartisipasi dalam

proyek tersebut.

Menurut penelitian Kurniantara dan Pratikno (dalam Cahyani, 2011:8), efektivitas

partisipasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Basis informasi yang kuat. Sumber informasi dan fasilitas komunikasi

yang memadai pada suatu daerah akan menunjang masyarakat dalam

memperoleh informasi tentang pembangunan yang dilaksanakan di

desanya. Sumber informasi dan fasilitas komunikasi telah ada sejak jaman

pemerintahan sentralisasi, tetapi perkembangan tajam terjadi pasca krisis

atau di masa otonomi desa. Penguasaan informasi memungkinkan

masyarakat bersikap kritis, mampu berinisiatif, berkreasi, dan dinamis

serta mampu mengikuti proses perubahan yang terjadi.

2. Kepemimpinan Kepala Desa. Kepemimpinan Kepala Desa memberikan

pengaruh yang besar terhadap ketersediaan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pembangunan desa. Kepala Desa akan menentukan

tipe dan pola kepemimpinan yang digunakan untuk menjalankan

pemerintahan.

3. Peranan organisasi lokal. Peranan organisasi lokal juga berpengaruh dalam

pembangunan desa.

4. Peranan Pemerintah Desa. Peranan pemerintah desa mengalami perubahan

pada masa sentralistik dan masa desentralistik. Pada masa otonomi desa,

pemerintah lebih mengembangkan pola hubungan yang fasilitatif dengan

memberikan ruang publik bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Kesediaan

(40)

19

masyarakat kepada pemerintah supra desa, serta menyerap dan

menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi tingkat kemauan masyarakat

untuk berpartisipasi adalah motif, harapan, needs, rewards, dan penguasaan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi

adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial,

budaya lokal, kepemimpinan, sarana, dan prasarana. Sedangkan faktor yang

mendorong adalah pendidikan, modal, dan pengalaman yang dimiliki.

Namun demikian, menurut Penulis, bahwa terdapat pula faktor-faktor eksternal

yang juga mempengaruhi partisipasi perempuan, yakni penafsiran agama, dan

kultur patriarkhi dalam masyarakat. Sebagaimana yang diutarakan Fakih

(2004:134), bahwa tafsir agama erat kaitannya dengan aspek ekonomi, politik,

kultural, dan juga ideologi. Sementara ekonomi, politik, kultural, dan ideologi

berkait dan bergantung pada hegemoni kultural serta dominasi kekuasaan yang

ditopang kebijakan politik pemerintah. (Fakih, 2004:64)

C. Pengembangan Sistem Pembangunan Yang Terpadu: PNPM Integrasi Sebagai Solusi

Titik temu antara PNPM Mandiri Perdesaan dengan Musyawarah Perencanaan

Pembangunan Desa (Musrenbangdes) disebut dengan istilah teknis Integrasi

Program. Intisari pemikiran Integrasi Program adalah ikatan sistemik yang

berhubungan secara timbal balik sebagai praktek teratur berdasarkan kondisi

otonomi relatif dan ketergantungan relatif antara sistem perencanaan partisipatif

dalam PNPM Mandiri Perdesaan dengan sistem perencanaan partisipatif dalam

(41)

20

1. Meningkatkan efektivitas perencanaan pembangunan desa melalui

integrasi.

2. Meningkatkan kualitas proses dan hasil perencanaan.

3. Menyelaraskan perencanaan teknokratis, politis dengan partisipatif.

4. Mendorong terwujudnya pembagian wewenang dan penyerahan urusan

pemkab kepada pemerintah desa.

(42)

21

Bagan 2. Titik temu integrasi

Manfaat Integrasi Horizontal adalah sebagai berikut:

1. Good practices perencanaan partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan memperkuat Musrenbangdes & Musrenbang Kecamatan.

2. Perencanaan partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan mendapatkan

kekuatan legal untuk diterapkan ke dalam pelbagai program/proyek

pembangunan desa dikarenakan masuk dalam sistem Musrenbangdes.

3. Terjadi penataan ulang prosedur kerja perencanaan partisipatif di dalam

(43)

22

D. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan 1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Menurut Kamus Webster dalam Solichin Abdul Wahab (2004:64) merumuskan

secara pendek bahwa: “To implement (mengimplementasikan) berarti to provide

the means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”.

Implementasi Kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses

kebijakan. Menurut Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (2004:59), mengatakan

bahwa:

“The execution of policies is as important if not more important than policy -making. Policies will remain dream or blue prints file jackets unless they are implemented”. (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan)

Dalam buku yang sama, Van Meter dan Van Hom dalam Wahab (2004:65),

merumuskan proses implementasi ini sebagai:

“Those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”. (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Selanjutnya Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab (2004:65),

(44)

23

Implementation is the carrying out of a basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executive orders or court decisions. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, stuctures the implementation process…”.

(Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam

bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan….

2. Model-Model Implementsi Kebijakan

Solichin Abdul Wahab (2004:70-78) mengemukakan model yang dapat digunakan

untuk keperluan penelitian atau implementasi kebijakan.

a. Model yang di kembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn Untuk dapat mengimplementasikan Kebijakan Pemerintah secara sempurna diperlukan syarat-syarat antara lain:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksanaan tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

2. Untuk melaksanakan program tersedia waktu dan sumber yang cukup

memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

4. Kebijakan yang diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal.

5. Hubungan kausalitas yang bersifat langsung dan hanya sedikit mata

rantai penghubung.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

(45)

24

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10.Pihak-pihak yang mewakili wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan.

b. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (a model of the policy implementation process)

Kedua ahli ini menawarkan suatu model untuk menghubungkan antara isu

kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan

kebijakan dengan prestasi kerja (performent). Mereka menegaskan bahwa:

Perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Permasalahanan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dan organisasi? Seberapa jauhkah tingkat efektivitas mekanisme kontrol pada setiap jenjang-jenjang struktur? Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi? Sedangkan jalan untuk menghubungkan variabel-variabel bebas yang saling berkaitan:

1) Ukuran untuk tujuan kebijakan 2) Sumber-sumber kebijakan

3) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana

4) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

5) Sikap para pelaksana dan

(46)

25

Gambar 3. Model proses implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horm

c. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (a frame work for implementation anlysis)

Variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada

keseluruhan proses implementasi ada tiga katagori besar, yaitu:

1) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap/dikendalikan.

2) Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi dan

3) Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana

Ukuran dan tujuan kebijakan

Prestasi kerja

Ciri Badan Pelaksana

Sumber-sumber kebijakan

Lingkungan ekonomi, sosila dan politik

Pelaksana sikap

(47)

26

Gambar 4. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (a frame work for implementation anlysis)

A. Mudah/tidaknya masalah dikendaliakan

 Kesukaran-kesukaran teknis

 Keragaman perilaku kelompok sasaran

 Prosentase kelompok sasaran dibandingkan jumlah penduduk

 Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

D. Tahap-tahap dalam proses implementasi (variabel tergantung)

Output kebijakan kesediaan dampak dampak output perbaikan

Badan-badan klp sasaran nyata kebijakan mendasar

(48)

27

Dalam penelitian ini, model implementasi kebijakan yang digunakan adalah

model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn. Model

ini relevan untuk digunakan sebagai metode analisis implementasi kebijakan

dalam Perda Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan

Partisipatif Daerah.

Model ini mengharuskan adanya sebuah sinergisasi antar lembaga untuk

melaksanakan sebuah program, sehingga sumber daya yang harus dipergunakan

untuk melaksanakan sebuah program dapat didayagunakan dari banyak

stakeholder.

E. Penerapan keadilan Gender dengan memposisikan perempuan sebagai subjek pembanguan

1. Pengertian Peran Gender(Gender Role)

Sebelum membahas mengenai peran gender, ada baiknya bila diutarakan secara ringkas apa yang dimaksud dengan maskulinitas dan feminitas. Karena keduanya

berkaitan dengan stereotip peran gender. Peran gender ini dihasilkan dari pengkategorisasian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu

representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi kita.

Nauly (2002) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan maskulin adalah

sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi

laki-laki. Sedangkan feminin adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan

(49)

28

Dengan demikian, Ward (Hurlock,1992) merumuskan peran gender dengan pernyataan bahwa peran jenis kelamin yang ditentukan secara budaya

mencerminkan perilaku dan sikap yang umumnya disetujui sebagai maskulin atau

feminin dalam suatu budaya. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Berk

(1980) dan Ruble & Ruble, yang menerangkan bahwa peran gender saling berkaitan dengan stereotip jenis kelamin yang membedakan secara jelas bahwa

peran perempuan berlawanan dengan peran laki-laki yang mengacu pada

kepercayaan yang dianut masyarakat luas tentang karakteristik masing-masing

jenis kelamin (Supriyantini.2002.http://library.usu.ac.id/download/fk/

psiko-sri.pdf. diakses tanggal 14 November 2014).

Sedangkan menurut Myers (1996), peran gender merupakan suatu set perilaku-perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan.

Bervariasinya peran gender diantara berbagai budaya serta jangka waktu menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender (Nauly.2002.Konflik Peran Gender pada Pria.http://library.usu.ac.id/ download/fk/psikologi-meutia.pdf. Diakses tanggal 14 November 2014).

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan peran gender(gender role) adalah peran laki-laki dan perempuan yang dirumuskan oleh masyarakat berdasarkan polarisasi stereotype seksual maskulinitas-feminitas atau sekumpulan pola-pola tingkah laku atu sikap-sikap

yang dituntut oleh lingkungan dan budaya tempat individu itu berada untuk

(50)

29

2. Perempuan dan Politik

Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo (2009 :

13) mengatakan bahwa:

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistim politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sitim politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Lebih lanjut menurut Dewayanti (2004), politik dalam cakupan yang luas adalah

pola hubungan dan jaringan kekuasaan (power relation) yang melibatkan tawar menawar dari kedua pihak yang berkuasa dan dikuasai. Pola hubungan kekuasaan

tersebut dapat diterapkan dalam berbagai konteks budaya, sosial, ekonomi dan

politik dalam arti yang lebih sempit tentang bagaimana kenegaraan dipraktekan.

Dalam konteks yang beragam ini, pola hubungan dan jaringan tersebut sangat

dipengaruhi oleh tingkat kesadaran yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Secara

umum pola hubungan tersebut didasarkan pada dua kelompok yaitu yang berkuasa

dan dikuasai, Negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) serta dalam kadar tertentu mencakup laki-laki dan perempuan. Kesadaran yang melandasi pola

hubungan tersebut dipasok ideologi tertentu yang menetapkan suatu standar

kehormatan bagi kedua pihak.

Konvensi tentang hak sipil dan politik tanggal 16 Desember 1966 yang

dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada butir 25, menyatakan bahwa setiap

warga Negara mempunyai hal dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun, untuk

(51)

30

melalui wakil-wakil yang mereka pilih secara bebas. Ia pun berhak untuk memilih

dan dipilih dalam pemilihan-pemilihan berkala umum.

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan dalam pasal 7 memuat bahwa Negara-negara peserta wajib membuat

peraturan-peraturan yang tepat untuk penghapusan diskriminasi terhadap

perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya,

khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan pria, hak:

1. untuk memilih dan dipilih;

2. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanan pemerintah dan

implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan

melaksanakan segala fungsi pemerintahan disemua tingkat;

3. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan

perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan

masyarakat dan politik Negara.

Perkembangan tuntutan politik kaum perempuan telah terjadi dalam empat tahap:

pertama, isu tentang perempuan dibawa karena politik yang akan menyebabkan

partai dipaksa untuk memberi respon; kedua, untuk menghindari tuduhan bahwa

gerakan perempuan adalah gerakan yang seksionalis, maka perempuan mencoba

merubah isu tuntutan perempuan kedalam dimensi yang lebih luas, yaitu masalah

hak asasi manusia, dan dalam hal ini partai dapat merespon lebih lanjut dalam tiga

bentuk tindakan, yaitu rethoric, affirmative action, atau positive discrimination; ketiga, gerakan perempuan mengambil strategi ganda, yaitu bekerja dengan

(52)

laki-31

laki; dan keempat, perempuan memberi perhatian lebih dekat terhadap aturan

main politik yang berarti merubah hubungan gender dari dalam partai yaitu

merubah struktur dan program partai. Secara singkat selalu akan terjadi hubungan

yang dinamis antara tuntutan perwakilan politik perempuan dengan tanggapan

dari partai-partai.

Kemudian Murniati (2004 :79) menyatakan ada empat faktor yang menjadi

kendala partisipasi perempuan dalam urusan public, yaitu:

1) Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran produktif, didalam maupun diluar rumah. Adanya beban ganda ini, serta terbatasnya kontrol perempuan terhadap kehidupan reproduktifnya, membatasi waktu dan pilihan-pilihan perempuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas lain, yang bisa mengganggu beban ganda mereka. 2) Perempuan memiliki pendidikan relatife lebih rendah daripada laki-laki.

Akibatnya jumlah perempuan yang tidak dapat mengakses informasi tentang peluang-peluang bisnis, kesempatan kerja dan partisipasi dalam kehidupan politikpun menjadi tinggi.

3) Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi gerak perempuan. Selain itu, pembatasan terhadap mobilitas perempuan yang didasarkan pada pertimbangan keamanan, juga merupakan hambatan yang sering muncul.

4) Adanya hambatan legal bagi perempuan, seperti larangan kepemilikan tanah, atau larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program keluarga berencana, tanpa persetujuan dari suami atau ayahnya.

3. Partisipasi Politik Perempuan

Dalam analisa politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang

penting, yang banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan

Negara-negara yang sedang berkembang (Miriam Budiardjo, 1980: 1). Dalam bukunya

yang berjudul “Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai”, Miriam

(53)

32

Kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)”. Kegiatan ini mencakup tindakan yang memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting)

dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya”.

Hal yang diteropong terutama adalah “tindakan-tindakan yang bertujuan untuk

mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah” sekalipun fokus sebenarnya

lebih luas tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi nilai

secara otoritatif untuk masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).

Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik

ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang melaksanakannya melalui

kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat

itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan

untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik adalah merupakan suatu

pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.

Dalam kehidupan setiap manusia maka tidak akan terlepas dari budaya-budaya

yang mengikat manusia itu sendiri, salah satu yang menjadi penyebab minimnya

partisipasi politik perempuan adalah akibat budaya yang dianut oleh sebagian

masyarakat yaitu budaya patriarkhi, dimana budaya tersebut yaitu budaya

kelelakian yang cenderung menguntungkan bagi kebanyakan laki-laki, karena

dalam budaya ini laki-laki mempunyai peran utama dibandingkan dengan

(54)

33

Budaya inilah yang dijadikan alat untuk mengekang partisipasi perempuan dalam

politik, yang menganggap bahwa perempuan tidak cocok untuk ikutserta dalam

politik, dimana keikutsertaan perempuan tersebut dianggap sebagai hal yang

negative. Kostruksi sosial budaya tentang politik akhirnya berimplikasi pada

terciptanya dominasi laki-laki atas perempuan dalam politik. Dominasi ini

menyebabkan segala tatanan kehidupan didefinisikan berdasarkan standar yang

dipakai oleh laki-laki. Tidak gampang bagi perempuan untuk turun dalam dunia

politik, tidak hanya karena politik dianggap sebagai wilayah laki-laki, namun

lebih dari itu, lingkungan sosial tidak sepenuhnya memperbolehkan perempuan

untuk ikut serta.

Hal tersebutlah yang kemudian mempengaruhi partisipasi perempuan dalam

politik, bahkan bisa dikatakan berpengaruh secara personal, sebab timbul

keengganan dari perempuan untuk aktif dalam aktivitas-aktivitas politik. Karena

telah terbiasa dengan budaya yang ada, sehingga sulit untuk merubahnya. Bisa

juga dikatakan bahwa budaya politik yang ada pada perempuan saat ini adalah,

parokial partisipan, sebagian masyarakatnya turut serta aktif dalam

pemerintahan/politik negaranya, sedangkan sebagian lainnya tidak peduli.

Sebagian yang tidak perduli itu, mungkin dikarenakan sudah jenuh, sebab hasil

yang mereka inginkan ternyata tidak sesuai harapan, bahkan merasa tidak

(55)

34

F. Peraturan Daerah No 09 Tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah

Bab III Pengelolaan Pembangunan Partisipatif

Bagian Kesatu Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan

Pasal 3

1. Setiap orang baik individu maupun kelompok berkewajiban berpartisipasi

dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang teknis pengaturannya

diatur dalam petunjuk teknis operasional.

2. Partisipasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dalam hal :

a. menyampaikan masalah-masalah prioritas yang dihadapi dan dialami

masyarakat untuk dikaji menjadi agenda prioritas pembangunan daerah;

b. menyampaikan usui, saran atau aspirasi untuk menjadi agenda prioritas

pembangunan daerah:

c. terlibat,secara aktif dalam proses pengambilan keputusan tentang

rencana pembangunan daerah;

3. Petunjuk teknik operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan

penjelasan lebih lanjut tentang pelaksanaan SP3D yang diberi nama Program

Sai Bumi Serasan Segawe yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

4 . Penyampaian masalah-masalah, usul dan saran sebagaimana dimaksud ayat (2)

harus disertai dengan alasan-alasan yang rasional dan dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan mekanisme penyaluran aspirasi publik

melalui proses musrenbangsecara berjenjang.

5. Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui:

(56)

35

b. forum sosialisasi tingkat Kecamatan;

c. forum sosialisasi tingkat Kampung/Kelurahan;

d. forum penggalian gagasan tingkat Suku/Lingkungan;

e. forum musyawarah khusus perempuan tingkat KampungiKelurahan;

f. forum musrenbang tingkat Kampung/Kelurahan;

g. forum musrenbang tingkat Kecamatan

h. forum SKPD tingkat Kabupaten;

i. forum diskusi SKPD-DPRD/ Semiloka DPRD; dan

j. forum musrenbang Kabupaten.

Pasal 4

1. Pemerintah daerah melalui SKPD, berkewajiban memberikan kesempatan

Kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan perencanaan

pembangunan.

2. Pemberian kesempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui

cara:

a. merespon, menilai dan mengevaluasi agenda pembangunan yang

diusulkan masyarakat melalui forum musyawarah tingkat

Kampung/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten sesuai dengan

dokumen RPJM Kampung/Renstra kelurahan dan RKP

Kampung/Kelurahan tahun berjalan;

b. mengakomodir kebutuhan prioritas masyarakat hasil musrenbang

kecamatan untuk menjadr usulan program prioritas masing-masing

SKPD pada forum musrenbang kabupaten sesuai dengan persyaratan

Gambar

Gambar 3. Model proses implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horm
Gambar 4. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A.
Gambar5. Bagan Kerangka Pikir
Tabel 1. Jumlah Penduduk per Desa di Kecamatan Tanjungraya Tahun 2012
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian golongan senyawa metabolit sekunder pada ekstrak etanol biji buah A.integer (Thunb) Merr)

Manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial-spriritual memiliki banyak kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dari kebutuhan yang paling dasar seperti

berdasarkan pedoman penyelenggaraan kelas imersi Provinsi Jawa Tengah tahun 2008. Penempatan guru imersi pada angkatan pertama dan kedua langsung ditunjuk dari

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor kinerja organisasi yang meliputi terbatasnya kemampuan SDM yang tersedia, rendahnya komitmen

Berdasarkan berbagai persoalan di atas, diperlukan sebuah upaya guna memper- mudah akses masyarakat dalam memenangi persaingan di pasar bebas regional ASEAN, yakni: 1) dalam

Pembinaan prestasi olahraga dengan berbagai cara telah dilakukan sejak zaman Olimpiade modern hingga sekarang. Pembinaan tersebut tidak hanya terpaku pada satu

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, implikasi hasil penelitian dapat diuraikan, variabel lingkungan kerja (X) merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap

Strategi pemaaran produk iB Hasanah Card BNI Syariah melakukan pendekatan anggota peranggotaan dalam memasrkan produk-produknya dalam hal service (pelayanan), yaitu