PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PADA SISWA
KELAS VIII DI SMP TAMAN SISWA GEDONGTATAAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013
(Skripsi)
Oleh Esti Prihantini
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Fisika
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan
Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PADA SISWA
KELAS VIII DI SMP TAMAN SISWA GEDONGTATAAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Oleh
Esti Prihantini
Rendahnya hasil belajar fisika siswa kelas VIII SMP Taman Siswa Gedong Tataan
disebabkan oleh kurangnya minat belajar siswa. Pembelajaran yang monoton atau
yang hanya menggunakan metode ceramah di kelas, siswa tidak dilibatkan secara
aktif dalam kegiatan pembelajaran membuat siswa kurang menyukai pelajaran
fisika. Penelitian ini difokuskan pada upaya peningkatan motivasi dan hasil belajar
siswa melalui penerapan model pembelajaran kontekstual. Penelitian ini
dilaksanakan di salah satu SMP di Gedong tataan.
Dengan diterapkannya model pembelajaran kontekstual dapat memberikan
pengalaman bagi siswa agar dapat benar-benar memahami materi yang diberikan.
Pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan motivasi belajar karena membawa
siswa kepada fenomena nyata. Motivasi belajar siswa diukur dengan mengarah
pada empat kondisi motivasional yaitu perhatian (attention), relevansi (relevance),
Gedong Tataan Tahun Pelajaran 2012/2013.
Pada penelitian ini, motivasi dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Hal
ini terlihat pada pertemuan dari siklus I sampai siklus III yang mengalami
peningkatan. Nilai rata-rata motivasi siswa selama pembelajaran pada siklus I
adalah 60 dengan kategori rendah, pada siklus II meningkat sebesar 10,00 menjadi
70,00 dengan kategori sedang, dan pada siklus III motivasi siswa kembali
meningkat sebesar 5,00 menjadi 75,00 dengan kategori Tinggi.
Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I adalah 59,32 dengan kategori tidak
tuntas atau tidak mencapai KKM yaitu 65. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada
siklus II adalah 62,12. Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II meningkat
sebesar 2,72 dibandingkan dengan siklus I. Rata-rata hasil belajar siswa pada
siklus III lebih tinggi dibandingkan dengan siklus-siklus sebelumnya. Rata-rata
hasil belajar siswa pada siklus III ini adalah 76 yang meningkat sebesar 13,88 dari
siklus sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kontekstual dapat
meningkatkan hasil dan membangkitkan motivasi belajar siswa.
Kata Kunci: Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning),
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……….. xii
DAFTAR TABEL ……….. xiv
DAFTAR GAMBAR ………. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ………... 3
C. Tujuan Penelitian ………. 4
D. Manfaat Penelitian ……….. 4
E. Ruang Lingkup Penelitia ………. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori ……….. 6
1. Pembelajaran Kontekstual ……… 6
2. Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual di Kelas . 9 3. Tahap Pembelajaran Kontekstual ... 19
B. Pengetian Belajar Dan Hasil Belajar ……… 20
1. Pengertian Belajar ………. 20
2. Pengertian Hasil Belajar ……… 21
xiii
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian ………. 29
B. Setting Penelitian ……….. 31
C. Faktor Yang Diselidiki ………. 31
D. Sumber Data ………. 31
E. Teknik Pengumpulan Data ……… 31
F. Teknik Analisis Data ………. 33
G. Prosedur Penelitian ... 35
H. Instrumen Penelitian ... 38
I. Teknik Analisis Data ... 38
J. Indikator Kinerja ... 39
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAAN A. Hasil Penelitian ... 40
B. Pembahasan ... ... 50
V. KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 57
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan pembelajaran yang
wajib diperoleh untuk siswa tingkat SMP. Maka dari itu, pada pembelajaran
IPA diperlukan penyajian materi yang menarik serta melibatkan pengalaman
siswa. IPA (Fisika) bukan hanya penguasaan sekumpulan pengetahuan yang
berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga
merupakan suatu proses penemuan. (Permendiknas no.22, 2007)
Kemampuan kognitif siswa merupakan hal yang penting untuk ditingkatkan
dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan pengalaman peneliti selama mengajar di SMP Taman Siswa
Gedong Tataan, pada umumnya siswa menganggap IPA merupakan
pembelajaran yang sulit dipahami dan tidak menarik. Hal ini disampaikan
siswa karena banyaknya konsep-konsep IPA yang perlu dipelajari siswa,
sedangkan pembelajaran yang dilaksanakan monoton karena proses KBM
hanya menggunakan metode ceramah, sehingga kurang melibatkan
pengalaman belajar siswa. Hal ini mengakibatkan motivasi dan hasil belajar
2
Untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa yang masih rendah,
diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat, yang dapat mengoptimalkan
proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan selama ini masih
terpusat pada guru. Siswa belum terbiasa menyelesaikan suatu permasalahan.
Model pembelajaran yang diharapkan untuk mengatasi permasalahan di atas,
adalah model pembelajaran yang lebih melibatkan siswa dan mengedepankan
aktivitas siswa.
Pada pelaksanaan proses pembelajarn IPA (fisika) diharapkan menggunakan
model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif adalah
dengan menerapkan model pembelajar kontekstual. Pembelajaran Kontekstual
adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan
antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pada kelas-kelas
tinggi para guru mendorong siswa untuk membaca, menulis dan berpikir,
dengan cara kritis dan meminta siswa untuk fokus pada persoalan-persoalan
kontroversial di lingkungan atau masyarakat (misalnya melakukan penelitian
di perpustakaan, melakukan survey lapangan dan mewawancarai pejabat).
pengajaran secara kontekstual juga dapat memotivasikan pelajar, untuk
membuat perkaitan antara pengetahuan dengan aplikasinya dalam kehidupan
harian mereka, sebagai ahli keluarga, warga masyarakat dan pekerja.
Landasan filosofi pendekatan kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu filisofi
mengkonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru
lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
Tiap orang harus mengkontruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus
menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan
dalam perkembangan pengetahuannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer
begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan
sendiri oleh masing-masing orang.
Dari latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, membuat penulis
tertarik untuk melakukan penelitian penerapan model pembelajaran
kontekstual pada pembelajaran fisika untuk melihat pengaruhnya terhadap
aktivitas dan kemampuan kognitif belajar siswa khususnya pada bahasan
tekanan hidrostatik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di kemukakan diatas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah peningkatan motivasi belajar siswa setelah diterapkan
model pembelajaran kontekstual?
2. Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkanya model
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Meningkatkan motivasi belajar fisika siswa setelah diterapkan model
pembelajaran kontekstual pada materi tekanan hidrostatik.
2. Meningkatkan hasil belajar siswa setelah diterapkan model pembelajaran
kontekstual.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu:
1. Bagi guru, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dalam
pemelihan model pembelajaran yang sesuai dan dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran yang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa.
2. Bagi peneliti lain, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
masukan dan kajian untuk penelitian lebih lanjut.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Agar penelitian ini lebih terarah dan memberikan gambaran yang jelas
mengenai masalah yang diteliti, maka ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam
hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya. Yaitu, pada saat
pembelajaran dimulai guru mengemukan masalah yang digali dari siswa
yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diperoleh siswa dari
artikel melalui penugasan dari guru. Dan guru memberikan pertanyaan
2. Motivasi belajar pada penelitian ini hanya menganalisis motivasi hasil
belajar siswa yang merupakan gambaran motivasi dari siswa dengan
menggunakan angket motivasi setelah perlakuan diberikan. Indikator
motivasi yang diukur, yaitu (a) frekuensi kegiatan, (b) persistensinya pada
tujuan kegiatan, (c) ketabahan, keuletan dan kemampuanya dalam
menghadapi rintangan dan kesulitan untuk mencapai tujuan, (d) devosi
(pengabdian) dan pengorbanan untuk mencapai tujuan, (e) tingkat
aspirasinya (maksut, rencana, cita-cita dan sasaran).
3. Hasil belajar adalah nilai yang diperoleh siswa setelah mengikuti
pembelajaran menggunakan pembelajaran kontekstual yang dicerminkan
pada hasil tes pada setiap akhir siklus yang dibatasi pada aspek kognitif.
4. Materi pembelajaran yang diberikan pada penelitian tindakan kelas ini
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Pembelajaran Kontekstual
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and
Learning merupakan konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata
pelajaran dengan situasi dunia nyata dan motivasi siswa membuat hubungan
antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja (Trianto, 2007:101).
Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami
apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia
nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai
anggota keluarga, warga Negara, siswa dan tenaga kerja (Trianto,2007:102).
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan
yang erat dengan pengalaman sesungguhnya (Trianto, 2007:10).
Pembelajaran kontekstual menekankan pada berfikir tingkat lebih tinggi,
transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan
Disamping itu, telah di identifikasi enam unsur kunci kontekstual seperti
berikut ini (Trianto,2007:102)
a. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari.
Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan hidup mereka.
b. Penerapan Pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana apa yang dipelajari diterapkan dalam tatanan-tatanan lain dan fungsi-fungsi pada
masa sekarang dan akan datang.
c. Berfikir tingkat lebih tinggi: siswa dilatih untuk menggunakan berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu atau
memecahkan suatu masalah.
d. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: konten pengajaran berhubungan dengan suatu rentang dan beragam standar local, negara
bagian, nasional, asosiasi dan/atau industri.
e. Responsive terhadap budaya: pendidik harus memahami dan menghormati nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan siswa, sesama
rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka mendidik. Berbagai macam
budaya perorangan dan kelompok mempengaruhi pembelajaran.
Budaya-budaya ini, mempengaruhi bagaimana pendidik mengajar. Paling tidak
empat perspektif seharusnya dipertimbangkan: individu siswa, kelompok
siswa, tatanan sekolah, dan tatanan masyarakat yang lebih besar.
f. Penilaian autentik: penggunaan berbagai macam strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar yang sesungguhnya yang
8
proyek dan kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubric, ceklis, dan
panduan pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada siswa
ikut aktif berperan-serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan
penggunaan untuk memperbaiki keterampilan menulis mereka.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu
guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya
dengan kehidupan nyata mereka, dengan konsep ini, hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Sesuatu yang baru datang dari menemukan
sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola
dengan pendekatan kontekstua (Direktorat PSMP, 2007:3).
Beberapa model pembelajaran yang berkaitan dengan pembelajaran
kontekstual (C-STARS : College Education, 2001) meliputi :
1. Authentic Instruction, yaitu model pembelajaran yang memungkinkan para
siswa untuk belajar dalam konteks yang bermakna. Pembelajaran
kontekstual mendorong keterampilan berpikir dan memecahkan masalah
yang penting dalam lingkungan hidup nyata.
2. Pembelajaran berbasis inkuiri (Inquary Based Learning), pembelajaran
semacam ini memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Siswa
dilibatkan dalam penyelidikan langsung baik di dalam kelas maupun di luar
3. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), pembelajaran
ini menggunakan permasalahan nyata sebagai sesuatu konteks bagi siswa
untuk belajar berpikir kritis maupun belajar memecahkan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial.
4. Service Learning (SL), merupakan model pengajaran yang
menggabungkan pelajaran masyarakat dengan kesempatan baik berbasis
suatu sekolah yang berstruktur untuk refleksi tentang pelayanan maupun
hubungan antar pengalaman pelayanan dan pembelajaran akademik.
5. Pembelajaran Berbasis Kerja (Work Based Learning), merupakan model
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam praktek langsung di lapangan,
sehingga ilmu yang diperoleh merupakan teori yang langsung
dipraktekkan di tempat kerja.
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari,
dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni:
Kontruktivisme(constructivism),inkuiri(inquiry),bertanya(questioning),
masyarakat belajar(learning community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection) dan penilaian yang sebenarnya (authentic assestment).
2. Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual di Kelas
Secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas sebagai
10
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan reflekasi diakhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
a. Teori Belajar Penemuan (inquiry)
(Dahar, 1989) disebutkan bahwa salah satu model instruksional kognitif
yang sangat berpengaruh adalah model dari (Bruner, 1996) yang dikenal
dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap,
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif
oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik,
berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan
yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna.
Dalam pembelajaran, siswa hendaknya belajar dengan berpartisipasi
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka
memiliki pengalaman dan melakukan eksperimen untuk menemukan
menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan
menunjukkan kebaikan, antara lain:
1. Pengetahuan itu bertahan lebih lama dibandingkan dengan
pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara yang lain;
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik
daripada hasil belajar lainnya. Artinya, bahwa konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah
diterapkan pada situasi-situasi baru;
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa
dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.
b. Teori Belajar Konstruktivisme
Dalam teori belajar konstruktivisme pengetahuan dikonstruksi dalam
pikiran anak. Pembelajaran merupakan proses aktif, artinya pengetahuan
baru tidak terbentuk dengan diberikan pada siswa dalam ”bentuk jadi”
tetapi pengetahuan dibentuk oleh siswa sendiri dengan berinteraksi
terhadap lingkungannya melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Konstruktivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang
menyusun atau membangun pemahaman mereka dari
pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka
(Direktorat PSMP,2007:5). Ide pokoknya adalah siswa secara aktif
membangun pengetahuan mereka sendiri, dimana otak siswa sebagai
mediator yaitu memproses masukan dari dunia luar dan menentukan apa
12
Dasar pemikiran konstruktivisme dalam proses belajar yaitu:
a. Murid-murid tidak menerima begitu saja pengetahuan yang didapatkan
dan menyimpannya di kepala, melainkan mereka juga menerima
informasi dari sekelilingnya. Kemudian siswa membangun sendiri
pandangan-pandangan terhadap ilmu yang mereka dapatkan.
b. Semua pengetahuan disimpan dan digunakan kembali oleh setiap
orang untuk memperbaharui pengalaman dan pengetahuannya.
Pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan pembelajaran yang
memandang bahwa siswa belajar sains dengan cara mengkonstruksi
pengertian atau pemahaman baru tentang fenomena dari pengalaman yang
telah dimiliki sebelumnya. Pada pendekatan pembelajaran konstruktivisme
ditekankan bahwa siswa belajar sains melalui keaktifan untuk membangun
pengetahuannya sendiri, membandingkan informasi baru dengan
pemahaman yang telah dimiliki dan menggunakan semua pengetahuan
atau pengalaman itu untuk bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada
pada pengetahuan baru dan lama untuk mencapai pemahaman baru.
Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah memfasilitasi
proses pembelajaran dengan:
1. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri,
3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran konstruktivis merupakan pembelajaran yang dikemas
menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam
proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka
melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran
dirancang dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih
secara fisik, mendemonstrasikan, menciptakan gagasan, dan sebagainya.
c. Bertanya (Questioning).
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap
individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan
seseorang dalam berpikir (Sanjaya, 2005:120).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya.
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran kontekstual. Bertanya
dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Depdiknas (2002:14) dijelaskan kegiatan bertanya berguna untuk: (1)
Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. (2) Mengecek
pemahaman siswa. (3) Membangkitkan respon kepada siswa. (4)
Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.(5) Memfokuskan perhatian
14
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. (7) Untuk menyegarkan kembali
ingatan siswa.
Melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan
siswa untuk menemukan setiap materi yang disampaikan dalam
pembelajaran kontekstual. Kemampuan guru untuk bertanya sangat
diperlukan, karena dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan
bertanya selalu digunakan.
d. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar dalam kontekstual menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Kerjasama
itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar
secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah
(Sanjaya, 2005:120). Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sarring
dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu
memberitahu yang sudah tahu, yang punya pengalaman berbagi
pengalaman dengan orang lain. Masyarakat belajar adalah masyarakat
yang saling membagi.
Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa
menjadi sumber belajar, dan berarti setiap orang akan sangat kaya dengan
pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik
learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
adalah: (1) Pembentukan kelompok kecil; (2) Pembentukan kelompok
besar; (3) Mendatangkan ahli ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter,
perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu, dsb); (4) Bekerja
dengan kelas sederajat; (5) Bekerja dengan kelompok dengan kelas di
atasnya; (6) Bekerja dengan masyarakat.
e. Permodelan (Modeling)
Permodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2005:121).
Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan
sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru
olahraga memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat mosik, guru
biologi memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer dan
sebagainya.
Pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu memerlukan model
yang dapat ditiru. Dalam pendekatan kontekstual guru bukan satu-satunya
model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat
didatangkan dari luar. Seorang penutur asli bahasa inggris sekali waktu
dapat dihadirkan dikelas untuk menjadi model cara berujar, cara bertutur
kata, gerak tubuh ketika bicara, dan sebagainya. Penggunaan model akan
16
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir
kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan pada masa yang lalu.
Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru yang baru atau revisi dari pengetahuan
sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima (Depdiknas, 2002:12).
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang
diperoleh diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian
diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru.
Sehingga siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya
tentang materi yang dipelajarinya. Pengetahuan itu mengendap dibenak
siswa, kemudian mempelajarinya, maka siswa akan memperoleh ide-ide
baru.
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari
yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilakukannya. Melalui refleksi,
pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa
yang pada akhirnya akan menjadi bagian pengetahuan yang dimilikinya
(Sanjaya, 2005:122). Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru
dalam rangka penerapan komponen refleksi adalah: (1) Perenungan atas
pengetahuan sebelumnya; (2) Perenungan merupakan respons atas
kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diperolehnya; (3)
Perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang
baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat,
atau unjuk kerja.
Refleksi dapat membuat siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna
bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Kunci dari semua itu
adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap di benaknya. Kesadaran
seperti ini perlu ditanamkan kepada siswa agar bersikap terbuka terhadap
pengetahuan baru. Biarkan siswa secara bebas menafsir pengalamannya
sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang penagalaman belajarnya.
g. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
(Sanjaya, 2005: 122) menjelaskan penilaian nyata atau sebenarnya adalah
proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang
perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak. Apakah
pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa
Gambaran perkembangan pengalaman belajar siswa perlu diketahui guru
setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses pembelajaran
siswa. Prinsip-prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika
18
1. Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan belajar siswa.
2. Penilaian autentik dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil.
3. Guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluator) yang dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks belajar.
4. Penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian sesama (peer assesment).
5. Penilaian autentuk mengukur keterampilan dan peformansi dengan kriteria yang jelas (peformant-based).
6. Penilaian autentik dilakukan dengan berbagai alat secara berkesinambungan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
7. Penilaian autentik dapat dimanfaatkan oleh siswa, orang tua dan sekolah untuk mendiagnosis kesulitan belajar, umpan balik pembelajaran, dan/ atau untuk menentukan prestasi siswa.
Karakteristik anthentic assessment dalam (Depdiknas, 2002:20) adalah:
(1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlansung; (2)
Bisa digunakan untuk formatif dan sumatif; (3) Yang diukur keterampilan
dan performansi, bukan mengingat fakta; (4) Berkesinambungan; (5)
Terintegral; (6) Dapat digunakan sebagai feed back.
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa dalam
penilaian autentik adalah: Proyek/kegiatan dan laporan, PR, kuis, karya
wisata, presentasi atau penampilan siswa, demontrasi, laporan, jurnal, hasil
tes tulis, dan karya tulis. Penilaian yang autentik dilakukan secara
terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian dilakukan secara terus
3. Tahap Pembelajaran Kontekstual
Terdapat beberapa tahap dalam pembelajaran kontekstual, yaitu tahap kontak,
tahap kuriositi, tahap elaborasi, tahap dekontekstualisasi,dan evaluasi.
(Nenwigh, 2007:10).
a. Tahap kontak (Contact Phase), merupakan tahap dimana dikemukakan suatu wacana, isu atau masalah yang digali dari siswa yang terkait dengan pokok bahasan, topik, atau konsep yang akan dibahas. Isu tersebut biasanya diperoleh siswa dari artikel melalui penugasan dari guru.
b. Tahap kuriositi (Curiosity Phase), merupakan tahap dimana siswa diberikan pertanyaan yang dapat membangkitkan kuriositi atau keingintahuan siswa tentang masalah atau fenomena yang terjadi pada masyarakat, sesuai dengan pokok bahasan, topik atau konsep yang akan dibahas.
c. Tahap Elaborasi (Elaboration Phase), pada tahap ini terdiri dari eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi konsep dan pemantapan konsep. Pada tahap eksplorari dan pembentukan konsep, guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pilihan strategi belajar tertentu sesuai dengan pedagogi materi subjek atau pedagogi materi pelajarannya.
d. Tahap Dekontekstualisasi (Nexus Phase), pada tahap ini konsep yang telah dipahami siswa melalui suatu konteks, selanjutnya digunakan untuk menganalisis konteks lainnya.
20
Siswa menganalisis hasil praktikum
Secara skematis, tahap-tahap pembelajaran kontekstual digambarkan
[image:28.595.164.462.145.533.2]dalam bagan berikut:
Gambar 2.1. Tahap-tahap Pembelajaran kontekstual
B. Pengetian Belajar dan Hasil Belajar
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri didalam interaksi dengan lingkungannya Guru mengemukakan masalah yang digali dari siswa
yang berhubungan dengan pokok bahasan
Guru memberikan pertanyaan yang dapat
membangkitkan keinginan siswa
Guru melaksanakan pembelajaran, siswa melakukan
eksperimen/praktikum untuk mengaplikasikan konsep
(Aunurrahman, 2009:35). Siswa itu sendiri yang mencari pengalamannya,
sehingga belajar bukanlah pewarisan pasif dari guru kepada siswa tetapi
pencarian yang bermakna oleh siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Gagne
bahwa :
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman yang merupan interaksi antara individu dengan lingkungannya, dengan demikian belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertianya dikembangkan (Dahar, 1989:11).
Belajar menurut Jersild (Sagala, 2010:112) adalah “ Modification of behafior
trough experience and training” yaitu perubahan tingkah laku dalam
pendidikan karena pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan.
2. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar berupa kapabilitas setelah belajar orang memiliki keterampilan,
pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilaitas tersebut adalah dari
(1). Stimulasi yang berasal dari lingkungan; (2). Proses kognitif yang
dilakukan oleh pembelajar. Dengan demikian belajar adalah seperangkat
proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati
pengolahan informasi, menjadi kapasitas baru (Damyati, 99:10)
Penilaian hasil belajar memberikan informasi sejauh mana keberhasilan
seorang siswa dalam belajar. Bloom (Arikunto, 2003:117) mengklasifikasikan
tingkah laku siswa sebagai hasil belajar yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan
22
a. Ranah Kognitif
Ranah kognitif yaitu sekelompok tingkah laku yang dipengaruhi oleh
kemampuan berfikir sehingga, ranah kognitif juga dapat disebut sebagai
bidang kemampuan intelektual. Hasil belajar ranah kognitif berkenaan dengan
hasil belajar intelektual, yang dinyatakan dengan nilai yang diperoleh siswa
setelah menempuh tes. (Munaf, 2001:68) menyatakan bahwa domain kognitif
ini sebagai gambaran kemampuan intelektual, meliputi :
1. Knowledge (hafalan/ C1)
Hafalan merupakan kemampuan menyatakan atau mengingat kembali
fakta, konsep, prinsip, prosedur atau istilah yang telah dipelajari. Tingkatan
ini merupakan tingkatan yang paling rendah namun menjadi persyaratan
bagi tingkatan yang selanjutnya. Kemampuan yang dimiliki hanya
kemampuan menangkap informasi kemudian menyatakan kembali
informasi tersebut tanpa harus memahaminya. Contoh kata kerja yang
digunakan yaitu menyebutkan, mendefinisikan, mengingat, mengenal, dan
menggambarkan.
2. Comprehension (Pemahaman/C2)
Pemahaman merupakan salah satu jenjang kemampuan dalam proses
berfikir dimana siswa dituntut untuk memahami, yang berarti mengetahui
sesuatu hal dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pada tingkatan ini,
selain hafal siswa juga harus memahami makna yang terkandung
didalamnya serta dapat menjelaskan konsep dengan kata-kata
sendiri. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menyajikan, membedakan,
menentukan, menjelaskan, dan menginterpretasikan.
3. Application (Penerapan/C3)
Penerapan merupakan kemampuan menggunkan konsep dalam situasi baru
atau pada situasi konkret atau diterapkan untuk menyelesaikan suatu
masalah. Tingkatan ini merupakan jenjang yang lebih tinggi dari
pemahaman. Kemampuan yang diperoleh berupa kemampuan untuk
menerapkan prinsip, konsep, teori, hukum maupun metode yang
dipelajarinya untuk menyelesaikan suatu maslah. Contoh kata kerja yang
digunakan yaitu mengaplikasikan, menghitung , dan menunjukan.
4. Analisys (Analisis/C4)
Analisis merupakan kemampuan untuk menganalisa atau merinci suatu
situasi atau pengetahuan menurut komponen yang lebih kecil atau lebih
terurai dan memahami hubungan diantara bagian yang satu dengan bagian
yang lain. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menganalisa,
membandingkan, mengaplikasikan, menggunakan, menerapkan,
mengeneralisasi, menghubungkan, memilih, menghitung, menemukan,
dan mengembangkan.
5. Synthesis (Sintesis/C5)
Sintesis merupakan kemampuan untuk memproduksi atau menghasilkan
sesuatu yang baru dari bagian-bagian yang terpisah sehingga menjadi suatu
keseluruhan yang terpadu, atau menggabungkan bagian-bagian sehingga
terbentuk pola yang berkaitan secara logis, atau mengambil kesimpulan dari
peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya satu dengan yang lainnya.
24
Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menilai, menafsirkan, menaksir,
dan memutuskan.
b. Ranah Afektif
Pada ranah afektif berkaitan dengan perkembangan emosional individu
misalnya sikap, apresiasi, dan motivasi. Ranah afektif dibagi kedalam lima
kategori yaitu:
1. Penerimaan (receiving)
Mengacu pada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan terhadap
stimulus yang tepat. Misalnya siswa mampu mendengarkan penjelasan
dari guru secara seksama tanpa memberikan respon yang lebih dari itu.
Contoh kata kerja yang digunakan yaitu memilih, mengikuti, memberi,
dan mematuhi.
2. Pemberian Respon (Responding)
Mengacu pada partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran. Kemampuan ini
meliputi keinginan dan kesenangan menangggapi sesuatu stimulus.
Misalkan dalam pembelajaran, siswa memberikan pertanyaan terhadap
hal-hal yang belum dipahaminya, siswa menjawab pertanyaan guru dan
mau bekerja sama dalam penyelidikan. Contoh kata kerja yang digunakan
yaitu menjawab, membantu, megajukan, menyambut dan mendukung.
3. Nilai (Valuing)
Mengacu pada nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimuls tertentu.
Reaksi-reaksi yang dapat muncul seperti menerima, menolak, atau tidak
menghiraukan. Contoh sikap yang ditunjukan misalnya siswa dapat
kegiatan pembelajaran. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu meyakini,
melengkapi, dan memperjelas.
4. Pengorganisasian (Organizing)
Meliputi konseptualisasi nilai-nilai menjadi suatu system nilai. Sikap-sikap
yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal
dan membentuk suatu sistem nilai internal. Sikap yang ditunjukan misalnya
kemampuan dalam menimbang dampak positif dan negatif dalam sutu
perlakuan. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu menganut, megubah,
menata, dan mengklasifikasikan.
5. Karakteristik (Characterizing)
Mengacu pada keterpaduan semua system nilai yang dimiliki seseorang
mempengaruhi pola kepribadian atau tingkah lakunya. Misalnya mau
mengubah pendapatnya jika pendapat tersebut tidak sesuai dengan bukti-
bukti yang ditunjukan. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu
mempengarui, mendengarkan, dan melayani.
c. Ranah Psikomotorik
Ranah Psikomotorik berkaitan dengan keterampilan manual fisik (skill).
Ranah Psikomotorik dibagi menjadi lima kategori, yaitu :
1. Peniruan (Imitation)
Kemampuan ini dimulai dengan mengamati atau gerakan kemudian
memberikan respon serupa dengan yang diamati. Misalnya kemampuan
26
Contoh kata kerja yang digunakan yaitu mengaktifkan, menyesuaikan, dan
menggabungkan.
2. Manipulasi (Manipulation)
Kemampuan inimerupakan kemampuan mengikuti pengarahan intruksi,
penampilan, gerakan-dan gerakan pilihan yang menetapkan suatu
penampilan. Misalkan mampu melakukan kegiatan penyelidikan sesuai
dengan prosedur yang dibacanya. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu
mengoreksi, merancang, dan memilah.
3. Ketelitian (Prencision)
Kemampuan ini lebih menekankan pada kecermatan, proporsi dan
kepastian yang lebih tinggi.
Misalkan pada saat menggunakan alat ukur, memperhatikan skala alat
ukur yang digunakan dan satuan yang digunakan juga dalam mengambil
data. Orang yang memiliki ketepatan biasanya melakukan pengamatan
berulang kali untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti. Contoh kata kerja
yang digunakan yaitu menyusun dengan tepat, mengaduk, mengatur, dan
membuat bagan.
4. Artikulasi (Articulation)
Merupakan kemampuan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan
membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau
konsistensi internal diantara gerakan-gerakan yang berbeda. Contoh yang
ditunjukan menulis dengan rapih dan jelas, mengetik dengan cepat dan
tepat dan menggunakan alat-alat sesuai dengan ketentuannya. Contoh kata
5. Pengalamiahan (Naturalization)
Menekankan pada kemampuan yang lebih tinggi secara alami, sehingga
gerakan yang dilakukan dapat secara rutin dan tidak memerlukan
pemikiran terlebih dahulu. Contoh kata kerja yang digunakan yaitu
mengalihkan , menggantikan, memindahkan dan mendorong.
Hasil belajar aspek psikomotorik dapat diukur melalui pengamtan langsung
dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran
berlangsung dengan menggunakan lembar observasi. Lembar observasi adalah
lembar yang digunakan untuk mengobservasi kemunculan aspek-aspek
keterampilan yang diamati. Lembar observasi berbentuk daftar periksa/ check
list atau skala penilaian (rating scale).
3. Motivasi Belajar
Motivasi belajar adalah kondisi-kondisi yang memberi dorongan pada
individu dalam belajar untuk mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
Motivasi dalam kegiatan belajar dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya
penggerak di dalam diri seseorang yang menimbulkan kegiatan belajar,
menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada
kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar dapat
tercapai. Seseorang yang memiliki motivasi belajar yang kuat akan
menghadapi tugas dengan tabah dan penuh semangat (Sardiman, 2010).
Menurut Sardiman (2007) hasil belajar akan menjadi optimal,kalau ada
28
pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha
belajar bagi siswa. Bukti bahwa seseorang telah belajar adalah adanya
perubahan tingkah laku pada orang tersebut dari tidak mengerti menjadi
mengerti dan dari tidak tahu tahu. Hasil dari proses pembelajaran tersebut
disebut hasil belajar. Hasil belajar seorang siswa ditunjukkan oleh nilai rapor
yang dapat diketahui pada setiap akhir semester. Hasil belajar pada seorang
siswa tidak hanya dipengaruhi dari segi kepintaran tetapi dari ketiadaan
motivasi terhadap siswa tersebut.
Motivasi juga dapat dikatakan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan
kondisi-kondisi tertentu, sehingga mau dan ingin melakukan sesuatu dan bila
tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan
perasaan tidak suka itu, jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari
luar, tetapi motivasi itu adalah tumbuh didalam diri seseorang. (Sardiman,
2010). Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas.
Wiraatmaja (2008:12) menjelaskan bahwa penelitian tindakan kelas adalah
sebuah bentuk inkuiri reflektif yang dilakukan secara kemitraan mengenai
situasi sosial tertentu untuk meningkatkan rasionalitas dan keadilan dari: a)
kegiatan praktek sosial pendidikan mereka; b) pemahaman mereka mengenai
kegiatan-kegiatan praktek pendidikan; c) situasi yang memeungkinkan
terlaksananya kegiatan praktek ini. Secara ringkas menurut Wiraatmaja
(2008:13), penelitian tindakan kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat
mengorganisasikan kegiatan praktek pembelajaran mereka, dan belajar dari
mereka sendiri, dapat mencobakan suatu gagasan perbaikan dalam praktek
pembelajaran mereka, dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu.Penelitian
tindakan sebagai upaya refleksi dari para praktisi untuk meningkatkan
30
Karakteristik penelitian kualitatif:
a. Berlangsung dalam latar alamiah, tempat kejadian dan perilaku manusia
berlangsung.
b. Teori atau hipotesis tidak secara apriori diharuskan
c. Peneliti adalah instrumen utama penelitian dalam pengumpulan data
d. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif, dalam kata-kata
e. Fokus diarahkan kepada persepsi dan pengalaman partisipan
f. Proses sama pentingnya dengan produk, perhatian peneliti diarahkan
kepada pemahaman bagaimana berlangsungnya kejadian.
g. Perhatian kepada partikular, bukan membuat generalisasi
h. Memunculkan desain, peneliti mencoba merekonstruksikan penafsiran dan
pemahaman dengan sumber data manusia
i. Data tidak dikuntifikasi karena apresiasi terhadap nuansa dari majemuknya
keadaan
j. Objektivitas dan kebenaran dijunjung tinggi.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Tahap pelaksanaan PTK (tim pelatih proyek PGSM, 1999:26):
a. Pengembangan fokus masalah penelitian
b. Perencanaan tindakan perbaikan
c. Pelaksanaan tindakan perbaikan, obserfasi dan interpretasi
d. Analisas dan refleksi
Banyak sedikitnya jumlah siklus dalam PTK tergantung pada terselesaikanya
masalah yang diteliti dan munculnya faktor-faktor lain yang berkaitan dengan
masalah itu (tim pelatih proyek PGSM, 1999:46)
B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII SMP Taman Siswa Gedong Tataan
semester genap tahun pelajaran 2012-2013, dengan jumlah siswa 25 orang
yang terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan.
C. Faktor yang Diselidiki
Untuk menjawab permasalahan di atas, ada beberapa faktor yang harus
diselidiki. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor siswa: dengan melihat peningkatan motivasi belajar dan hasil
belajar siswa
2. Faktor guru: untuk mengukur apakah pelaksanaan pembelajaran telah
sesuai dengan teori yang ada.
D. Sumber Data
1. Siswa sebagai sumber data motivasi belajar dan hasil belajar siswa.
2. Guru sebagai sumber data keterlaksanaan model pembelajaran
32
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan untuk
memperoleh data-data empiris yang dapat dipergunakan untuk dapat mencapai
tujuan penelitian. Sedangkan alat yang digunakan untuk memperoleh data
disebut instrument penelitian. Instrument yang digunakan pada penelitian ini
adalah tes hasil belajar, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan lembar observasi.
Instrument yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Tes Hasil Belajar
Menurut Arikunto (2001: 127) tes adalah serentetan pertanyaan atau
latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok. Tes digunakan untuk mengukur hasil belajar
siswa pada ranah kognitif. Aspek kognitif yang akan di ukur berdasarkan
taksonomi Bloom. Instrumen tes yang digunakan adalah tes tertulis dalam
bentuk pilihan ganda yang disusun berdasarkan indikator sesuai Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Langkah-langkah penyusunan instrumen hasil belajar ranah kognitif adalah
sebagai berikut:
a. Menentukan konsep dan sub konsep berdasarkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran fisika
c. Membuat soal berdasarkan kisi-kisi instrumen yang telah dibuat
d. Membuat kunci jawaban dan penskoran
e. Melakukan Judgement terhadap instrumen penelitian yang telah dibuat
f. Melakukan revisi soal
g. Uji coba intrumen penelitian terhadap siswa.
2. Observasi
Observasi dilakukan oleh beberapa observer, terdiri dari dua jenis
observasi, observasi aktivitas belajar siswa dan observasi keterlaksanaan
model pembelajaran kontekstual.
3. Diskusi
Diskusi antara guru dengan observer mengenai kegiatan pembelajaran
yang telah dilaksanakan dalam kegiatan refleksi.
F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan di analisis secara deskriptif, ditentukan persentase
masing-masing indikator keberhasilan yang telah ditetapkan.
1. Aktivitas belajar siswa: di analisis apakah jumlah siswa yang aktif telah
menunjukan ketercapaian indikator keberhasilan pada setiap aspek
34
2. Prestasi belajar siswa: di analisis apakah jumlah siswa memperoleh nilai
mencapai KKM untuk kompetensi yang di ujikan telah menunjukan
ketercapaian indikator keberhasilan atau belum, disusun profil peningkatan
prestasi belajar setiap individu siswa.
a. Penilaian prestasi belajar siswa
Prestasi belajar siswa ditentukan dengan cara berikut:
) 100 0 ( 100 skala x soal jumlah benar dijawab yang soal jumlah Nilai Arifin (2009:232)
b. Rata-rata nilai kelas
Rata-rata diperoleh dengan menjumlahkan seluruh nilai dibagi dengan
banyaknya subjek. Secara sederhana rumusnya adalah
N X X
_
X Rata rata
_
;
N=Banyaknya subjek; X jumlah seluruh nilai
c. Ketuntasan hasil belajar kelas
Ketuntasan secara klasikal dihitung dengan menggunakan rumus:
Ketuntasan x 100% tes
mengikuti yang
siswa
KKM mencapai
yang siswa
(Mulyasa, 2004:102)
3. Keterlaksanaan model pembelajaran Kontekstual: dipersentasekan
komponen yang terpenuhi terhadap seluruh komponen yang seharusnya
terlaksana.
G. Prosedur Penelitian
1. Siklus Pertama
a. Perencanaan
1) Melakukan observasi awal di SMP Taman Siswa Gedong Tataan
2) Rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) materi ”Tekanan”.
3) Skenario pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun.
4) Menyusun Lembar Kerja Siswa (LKS) sesuai RPP dan skenario
pembelajaran.
5) Alat bantu pembelajaran, berupa alat dan bahan yang digunakan untuk
percobaaan dan media pembelajaran.
36
Lembar observasi aktivitas belajar siswa yang telah dibimbingkan
dengan dosen pembimbing skripsi.
Lembar observasi keterlaksanaan kegiatan pembelajaran
kontekstual oleh guru yang telah dibimbingkan dengan dosen
pembimbing skripsi.
b. Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan dalam tahap ini adalah melaksanakan RPP dan skenario
pembelajaran yang telah direncanakan dikelas yang menjadi tempat
penelitian tindakan kelas dilakukan.
Langkah yang dilakukan pada pembelajaran kontekstual adalah sebagai
berikut:
1. Kegiatan Awal
Tahap Kontak
Pada kegiatan ini guru mengemukakan suatu wacana, isu atau
masalah yang digali dari siswa terkait dengan pokok bahasan, topik
atau konsep yang akan dibahas.
2. Kegiatan Inti
Tahap kuriositi
Guru memberikan pertanyaan untuk membangkitkan keingintahuan
siswa tentang masalah atau fenomena yang terjadi pada masyarakat
Guru memancing siswa untuk berdiskusi dan menjawab pertanyaan.
Guru mengaitkan jawaban dengan materi yang diberikan.
Tahap Elaborasi
Guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pilihan
strategi belajar tertentu sesuai dengan pedagogi materi subjek atau
pedagogi materi pelajaranya. Guru membagi siswa kedalam beberapa
kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3-4 orang. Siswa
melakukan praktikum untuk menemukan jawaban.
Tahap Dekontekstualisasi (nexus)
Siswa melakukan diskusi untuk membahas hasil praktikum guru
mengarahkan dan membimbing siswa. Siswa mempresentasikan hasil
diskusi,
3. Kegiatan Akhir
Evaluasi
Guru merefleksikan hasil kegiatan belajar mengajar. Guru
mengadakan post test untuk melihat keberhasilan siswa.
2. Siklus Kedua
Pada dasarnya tahap demi tahap pembelajaran pada siklus kedua sama dengan
siklus pertama. Pelaksanaan siklus II ini diawali dengan perbaikan dan
38
3. Siklus Ketiga
Tahap demi tahap yang dilaksanakan pada siklus ketiga tidak jauh berbeda
dengan siklus-siklus sebelumnya hanya mengadakan pembaharuan pada
kegiatan yang dirasakan kurang pada siklus sebelumnya dan dilakukan
penekanan pada aspek yang masih rendah ketercapaiannya pada siklu-siklus
sebelumnya untuk ditingkatkan lagi.
H. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah:
1. Lembar Kerja Kelompok (LKK) yang digunakan untuk membantu guru
dalam proses pembelajaran.
2. Lembar observasi aktivitas belajar untuk mengetahui aktivitas belajar
siswa.
3. Lembar tes hasil belajar untuk mendapatkan nilai hasil belajar siswa.
4. Lembar observasi guru mengajar untuk evaluasi guru dari siklus I ke
siklus berikutnya.
I. Teknik Analisis Data
Setelah data penelitian diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis data sebagai
berikut:
1. Motivasi belajar siswa: dianalisis apakah jumlah siswa yang termotivasi
telah menunjukkan ketercapaian indikator keberhasilan pada setiap aspek
2. Hasil belajar siswa: dianalisis apakah jumlah siswa memperoleh nilai
mencapai KKM untuk kompetensi yang diujikan telah menunjukkan
ketercapaian indikator keberhasilan atau belum, disusun profil peningkatan
prestasi setiap individu siswa.
J. Indikator Kinerja
Indikator kinerja pada penelitian ini adalah:
1. Meningkatnya motivasi dan hasil belajar siswa terhadap pelajaran fisika
setelah diterapkannya model pembelajaran kontekstual.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan bahwa penerapan
model pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:
1. Motivasi siswa ditingkatkan dengan cara memberi kesempatan kepada
siswa untuk memecahkan masalah melalui eksperimen yang diberikan
oleh guru. Motivasi siswa secara umum meningkat dari siklus ke siklus.
Nilai rata-rata motivasi siswa selama pembelajaran pada siklus I adalah 60
dengan kategori rendah, pada siklus II meningkat sebesar 10,00 menjadi
70,00 dengan kategori sedang, dan pada siklus III motivasi siswa kembali
meningkat sebesar 5,00 menjadi 75,00 dengan kategori Tinggi.
Berdasarkan hasil pengolahan data angket akhir motivasi dapat diperoleh
bahwa rata-rata skor motivasi belajar siswa secara keseluruhan adalah
75,00 yang termasuk kategori tinggi.
2. Hasil belajar fisika siswa pada setiap siklusnya mengalami peningkatan,
hasil ini dicapai melalui penyelesaian masalah-masalah IPA. Pada siklus I
rata-rata hasil belajar siswa adalah 59,32 dengan kategori “Tidak Tuntas”,
kategori ”Tidak Tuntas” pada siklus III rata-rata hasil belajar kembali
menigkat sebesar 13,88 menjadi 76 dengan kategori ”Tuntas”
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan bagi guru
atau guru peneliti yang akan menerapkan model pembelajaran kontekstual
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Guru harus lebih memahami sintak pada model pembelajaran
kontekstual yang digunakan agar proses pembelajaran berjalan dengan
lancar.
2. Guru harus mampu menyesuaikan pengelolaan waktu dengan RPP,
agar pembelajaran berlangsung dengan baik.
3. Guru harus lebih memotivasi siswa untuk menyelesaikan tugas dengan
baik sehingga siswa dapat memanfaatkan kehadiran guru sebagai
fasilitator.
4. Guru dapat menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsmi. (2001).Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfebeta
Bruner, J. (1996). Vygotsky: An historical and conceptual perspective. Culture,
communication, and cognition: Vygotskian perpectives, 21-34. London:
Cambridge University Press.
C-Stars, College of Education, University of Washington August 2001- April
2002. Indonesia Teacher Training Project- The Washington State
Consortium for CTL.
Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Depdiknas. (2004). Silabus Kurikulum 2004. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Direktorat Menengah.
Depdiknas. (2002). Pedoman Penyusunan Usulan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Jakarta: Depdiknas.
Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Munaf, S. (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UPI.
Nentwigh, P. (2007). “Chemie im Context-from Situated Learning and relevant
contexts to a systematic development of basic chemical concepts”. Makalah Simposium Internasional IPN-UYSEG, Kiel Jerman.
Sagala, S. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, W. (2005). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: Kencana Prenada Medis Group.
Sardiman, A.M. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sudjana, N. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Semarang: Unipress.
Wiraatmaja, R. (2008). Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Program Pascasarjana UPI dan ROSDA