• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT KABUPATEN PRINGSEWU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT KABUPATEN PRINGSEWU"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA

TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN

KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT DAERAH

KABUPATEN PRINGSEWU

Oleh

MUHAMMAD RIZA FAHLEVY

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

MAGISTER MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENGARUH PROFESIONALITAS DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAN

DIKLAT KABUPATEN PRINGSEWU Oleh

MUHAMMAD RIZA FAHLEVY PRATAMA

Rendahnya kualitas pelayanan publik yang ditandai oleh prosedur berbelit ketika harus mengurus suatu urusan tertentu, serta ditemuinya beberapa hal yang mencerminkan adanya masalah kualitas pelayanan yaitu 1). Lebih cepat dan mudahnya proses pelayanan yang diberikan bagi pegawai yang memiliki unsur kekerabatan dengan pejabat; 2). Lebih cepat dan mudahnya proses pelayanan yang diberikan bagi pegawai yang memberikan imbalan; serta 3). Adanya informasi yang tidak dipublikasikan secara terbuka mengenai hal-hal khusus yang berkaitan dengan pengurusan administrasi kepegawaian, menuntut keberadaan sumber daya aparatur Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional dan berkompeten. Mempertimbangkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profesionalitas dan Budaya Kerja Terhadap Kualitas Pelayanan Pada Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu.”

Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis pengaruh profesionalitas dan budaya kerja terhadap kualitas pelayanan. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda, dengan menggunakan uji t dan uji F.

Hasil analisis kualitatif menunjukkan pada variabel profesionalitas (X1) indikator responsifitas menjadi kekuatan dominan, sedangkan indikator kreatifitas menjadi kelemahan; Pada variabel budaya kerja (X2) indikator dialog memiliki kontribusi yang lebih dominan, sedangkan kesenangan merupakan kelemahan; Dan pada variabel kualitas pelayanan (Y) kekuatan terbesar teletak pada indikator kepedulian, sedangkan yang menjadi kelemahan adalah kehandalan. Secara parsial maupun simultan/bersama-sama profesionalitas (X1) dan budaya kerja (X2) berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan (Y) pada BKD Kabupaten Pringsewu. Kesimpulan ini diperoleh dari nilai Fhitung yang diperoleh sebesar 8,644 lebih besar dari nilai Ftabel sebesar 3,255, serta nilai thitung (X1)= 2,396 dan 3,063 (X2) yang lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel sebesar 2,040.

(3)

MUHAMMAD RIZA FAHLEVY PRATAMA

meningkatkan sikap responsifitas, kemampuan dialog, kepedulian pegawai serta parameter lainnya dalam meningkatkan profesionalitas, budaya kerja dan kualitas pelayanan; (2) Secara bertahap merubah mind set atau pola pikir pegawai sebagai pelayan publik melalui pemberian pemahaman kepada pegawai untuk dapat mengubah paradigma yang selama ini terbentuk menjadi paradigma baru yang lebih sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat. (3) Menjadikan visi dan misi organisasi sebagai acuan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi pelayanan kepada masyarakat secara responsif dan inovatif ; dan (4) Budaya kerja pegawai sebagai faktor kritis internal sebaiknya lebih di tumbuh kembangkan lagi melalui sistem penilaian prestasi kerja yang mengacu pada sistem reward and punishment atau imbalan terhadap prestasi kerja dan hukuman terhadap pelanggaran atau kesalahan yang lebih jelas dan terarah.
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Bergulirnya otonomi daerah di Indonesia pada satu dekade terakhir telah

membawa perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia. Nuansa ini tidak saja dirasakan oleh Pemerintah Pusat, namun juga pada

level Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beralihnya sistem

sentralisasi menjadi sistem desentralisasi yang ditandai dengan perubahan UU Nomor

5 tahun 1974 ke UU Nomor 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU Nomor

32 Tahun 2004, mengubah sistem pemerintahan dari monolitik sentalistik di

Pemerintah Pusat menjadi lokal demokrasi di Pemerintah Daerah.

Bertambahnya wewenang pemerintahan yang diterima Pemerintah Daerah

pada satu sisi merupakan suatu bentuk pemberdayaan Pemerintah Daerah, disisi lain

juga menuntut kesiapan dari Pemerintah Daerah dalam menerima wewenang tersebut.

Konsekuensi inipun harus diterima secara bersama-sama sebagai bentuk kemandirian

daerah, bukan saja kewenangan tapi juga tanggungjawab pengelolaannya.

Berbagai isyu telah menghadang kemandirian daerah untuk dapat diakomodir

dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Bukan saja menyangkut sumber daya saja,

(9)

2

terbentuknya kelembagaan yang kuat, pengembangan sumber daya manusia yang

berkualitas dan adanya prosedur kerja yang sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Sumber daya manusia sebagai salah satu isu strategis otonomi daerah

memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan kemandirian daerah dengan

sifatnya yang dimanis dan aktif. Di dalam pemerintahan, sumber daya manusia ini

tercermin pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparat (aktor) pelaksana

pemerintahan. Sehingga pemberdayaan PNS juga menjadi hal yang penting dalam

pelaksanaan otonomi daerah.

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

memberikan pengaruh terhadap tugas dan tanggung jawab Pegawai Negeri Sipil.

Sebagai manifestasi dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam

rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna

dan berhasil guna, diperlukan keberadaan pegawai negeri sipil yang profesional.

Untuk itu diperlukan kesiapan sumber daya manusia dalam hal pengetahuan,

keahlian, dan perilaku di tempat kerja sehingga yang bersangkutan bertanggung

jawab, dan memiliki keunggulan kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Untuk mendapatkan kualitas pegawai negeri sipil yang demikian ini

perlu dilakukan pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan pada perpaduan sistem

prestasi kerja dan sistem karier yang obyektif.

Perubahan-perubahan disegala bidang yang terjadi sebagai akibat dari

pemberlakuan otonomi daerah mendorong untuk dilakukannya penyelarasan

(10)

3

upaya yang dilakukan adalah pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan

struktural. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2002

tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Peraturan

Pemerintah tersebut ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan pembinaan Pegawai

Negeri Sipil dalam jabatan struktural daerah, yang pada akhirnya akan mendorong

pemerintah daerah lebih mampu membina pegawai yang didasarkan pada prestasi

kerja. Kenyataan yang ditemui dihampir semua elemen masyarakat mengatakan

bahwa di negara kita belum terjadi reformasi birokrasi untuk mendukung

pemerintahan yang kita harapkan. Birokrasi yang ada masih dianggap kelanjutan

pemerintahan yang lama.

Adanya masalah serius dalam proses birokrasi yang dirasakan oleh

masyarakat seperti pelayanan yang cenderung lambat, mahal, tidak tepat waktu dan

prosedur yang panjang serta berbelit-belit. Oleh karena itu pegawai negeri sipil

sebagai aparatur negara dan sebagai abdi masyarakat harus mampu menjawab

tuntutan masyarakat tersebut. Sejalan dengan tuntutan perubahan tersebut, maka

pemerintah daerah harus meningkatkan kemampuan dan profesionalitas pegawai

dibarengi dengan kualitas pelayanan dan budaya kerja yang kondusif. Sebaliknya

peran yang besar itu justru akan menjadi bumerang bila tidak dibarengi dengan

perbaikan kinerja.

Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur pemerintah yang memiliki peran

strategis dalam melaksanakan dan mengembangkan tugas umum pemerintahan,

(11)

4

mudah memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Kemampuan tersebut merupakan bagian dari kinerja yang dapat diberikan

pegawai kepada organisasinya. Namun pada kenyataannya tantangan yang

dihadapi aparatur negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada

aparatur negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh

sebab itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya

kesejahteraan dan pelayanan masyarakat yang baik.

Untuk kelancaran pelayanan administrasi kepegawaian dan manajemen

pegawai negeri sipil daerah, dibentuklah Badan Kepegawaian dan Diklat yang

merupakan salah satu organisasi lembaga teknis daerah di Kabupaten Pringsewu.

Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu sebagai lembaga teknis

yang mengelola pelayanan bidang administrasi kepegawaian pada Pemerintah

Kabupaten Pringsewu, menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan Keputusan

Presiden Nomor 159 Tahun 2000, tentang Pedoman Pembentukan Badan

Kepegawaian dan Diklat (BKD), yang dipertegas dengan Peraturan Peraturan Daerah

Kabupaten Pringsewu Nomor : 8 Tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan

daerah Nomor 3 tahun 2010 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja

Lembaga Tekhnis Daerah Kabupaten Pringsewu, dan Peraturan Bupati Pringsewu

Nomor : 38 Tahun 2012 tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian

dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu.

Di lingkungan Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu

seperti halnya dengan lembaga publik lainnya, juga memiliki kondisi kualitas

(12)

5

sangat dipengaruhi oleh visi dan misi organisasi yang jelas dan terarah. Badan

Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu yang memiliki Visi

“Pringsewu Unggul, dinamis dan Agamis Berbasis Ekonomi Kerakyatan”, selalu

berusaha secara optimal untuk memenuhi tuntutan pegawai dalam mendapatkan

pelayanan yang terbaik apabila melakukan pengurusan administrasi kepegawaian di

Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu. (Renstra BKD

Kabupaten Pringsewu Tahun 2011-2015)

Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu sebagai

lembaga teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya memberikan pelayanan

kepada pegawai senantiasa mengedepankan azas pelayanan prima yang tepat waktu

dan tepat sasaran. Berbagai jenis pelayanan yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian

dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu dalam

Peraturan Bupati Pringsewu

Nomor : 38 Tahun 2012

yang didasarkan pada sub bidang dan struktur organisasi

antara lain meliputi :

1.

Pembuatan kartu pegawai

2.

Pembuatan kartu istri/Pembuatan kartu suami

3.

Penyusunan formasi PNS dan Pengadaan PNS

4.

Pembuatan duplikat SK CPNS dan SK PNS

5.

Pelaksanaan kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkat PNS

6.

Pembuatan duplikat SK kenaikan pangkat PNS

7.

Pelaksanaan ujian penyesuaian kenaikan pangkat

8.

Pelaksanaan ujian dinas

9.

Pelaksanaan tugas belajar dan izin belajar PNS

10.

Pelaksanaan seleksi calon Praja IPDN

11.

Pelayanan administrasi mutasi/alih tugas

12.

Pelaksanaan mutasi jabatan struktural

13.

Pelaksanaan pengangkatan PNS dalam jabatan fungsional

14.

Panduan pelaksanaan sisten informasi kepegawaian

15.

Pelayanan cuti PNS

16.

Pemberian penghargaa Satya Lencana Karya Satya

(13)

6

18.

Pemberian bantuan uang duka dan tunjangan cacat bagi PNS

19.

Pelaksanaan pemberhentian dan pensiunan PNS

20.

Pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin PNS

21.

Pemberian penghargaan bagi PNS yang memasuki masa purna bhakti.

22.

Pelaksanaan diklat struktural dan prajabatan

23.

Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional

Kualitas pelayanan yang masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk

diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu,

merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Hal ini juga

sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan

oleh masyarakat. Disamping itu, adanya kecenderungan ketidakadilan dalam

pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan

pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang berstatus sosial menengah ke atas dengan

sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan.

Langkah untuk memperbaiki pelayanan administrasi kepegawaian pada

Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten pringsewu sebagai implementasi

pelaksanaan Visi “Pringsewu Unggul, Dinamis dan Agamis Berbasis Ekonomi

Kerakyatan”, harus dilakukan oleh pegawai dengan cara meningkatkan kualitas

pelayanan dan menciptakan budaya kerja yang kondusif. Kurang optimalnya kualitas

pelayanan pegawai disamping akibat profesionalitas dan budaya kerja yang kurang

optimal dan kondusif, juga disebabkan oleh factor antara lain masalah kurangnya

sarana dan prasarana yang memadai, pengawasan yang kurang, penempatan pegawai

yang belum sesuai dengan keahliannya, keadaan lingkungan baik internal dan

(14)

7

penghambat bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menciptakan peningkatan kualitas

pelayanan pada Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

Luas dan banyaknya dimensi pelayanan yang diberikan Badan Kepegawaian

dan Diklat Kabupaten Pringsewu, serta keterbatasan kemampuan dan waktu yang

penulis miliki, maka penulis hanya menfokuskan penelitian pada 2 bidang yaitu

bidang pendidikan dan latihan serta bidang mutasi dan kepangkatan pegawai, yang

menjalankan 3 (tiga) dimensi atau aspek layanan yaitu : pelayanan izin belajar,

pelayanan alih tugas dan pelayanan kenaikan pangkat yang dilakukan oleh pegawai

Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu (Populasi I) terhadap pegawai

Sekretariat Daerah Kabupaten Pringsewu (Populasi II) sebagai objek penelitian.

Tabel 1.1 Klasifikasi dan Jumlah Pegawai Penerima Pelayanan Izin Belajar

Pelayanan Alih Tugas dan Pelayanan Kenaikan Pangkat

Periode

Golongan

Izin Belajar

Alih Tugas

Kenaikan

Pangkat

Jumlah

Januari 2012

Mei 2013

I

0

0

17

17

II

63

78

217

358

III

35

115

353

503

IV

0

47

198

245

Jumlah

98

240

785

1123

Sumber : Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu (2013)

Tabel 1.1 memperlihatkan jumlah pegawai di lingkungan Pemerintah

Kabupaten Pringsewu yang menerima pelayanan izin belajar, alih tugas dan

kenaikan pangkat dari Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

Jumlah total pegawai yang menerima pelayanan periode Januari 2012 sampai

(15)

8

menerima pelayanan izin belajar, 240 pegawai penerima pelayanan alih tugas, dan

785 pegawai penerima pelayanan kenaikan pangkat.

Mengingat kompleksitas dan pluralitas kondisi pegawai di lingkungan

Pemerintah Kabupaten Pringsewu, maka pegawai Badan Kepegawaian dan Diklat

Kabupaten Pringsewu dalam melaksanakan tugas harus senantiasa meningkatkan

kualitas moral, akhlak, iman dan tentunya juga diikuti peningkatan profesionalitas

dan komitmen yang didasari dengan semangat pengabdian yang berlandaskan

kejujuran dan keikhlasan dalam pelayanan publik. Faktor lain yang akan

mempengaruhi pelayanan administrasi kepegawaian adalah budaya kerja yang

merupakan faktor pendukung terciptanya pelayanan prima.

Aparat birokrasi perlu menciptakan pelayanan yang baik dengan menghindari

diskriminasi dalam upaya melakukan pelayanan. Beberapa hal yang ditemui dan

mencerminkan adanya indikasi diskriminasi adalah : 1). Lebih cepat dan mudahnya

proses pelayanan yang diberikan bagi pegawai yang memiliki unsur kekerabatan

dengan pejabat; 2). Lebih cepat dan mudahnya proses pelayanan yang diberikan bagi

pegawai yang memberikan imbalan; serta 3). Adanya informasi yang tidak

dipublikasikan secara terbuka mengenai hal-hal khusus yang berkaitan dengan

pengurusan administrasi kepegawaian.

Guna mengatasi kondisi demikian, perlu adanya peningkatan kemampuan

pegawai melalui sikap responsifness, akuntabilitas profesionalisme pada pemberi

pelayanan publik dalam penerapan etika pelayanan publik. Aparat birokrasi

(16)

9

hati tanpa adanya tindakan diskriminatif. Jika kondisi demikian diterapkan melalui

penerapan variabel kualitas pelayanan yang baik dan benar kepada pegawai, maka

pelayanan administrasi kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten

Pringsewu dapat berjalan sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan dan akan

dicapai.

Sejalan dengan dengan tuntutan tersebut, dalam meningkatan kualitas

pelayanan langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menganalisis serta

mengukur tingkat kualitas pelayanan yang telah dilakukan, untuk selanjutnya

dijadikan dasar dalam menganalisis sekaligus memutuskan apa saja yang perlu

diubah; dan mengembangkan serta mengimplementasikan strategi perubahan

tersebut. Dekonstruksi kualitas pelayanan tersebut dapat terbentuk jika seluruh

komponen di BKD Kabupaten Pringsewu bersedia mengubah dirinya dalam konstruk

budaya kerja yang kondusif, serta dukungan pimpinan puncak untuk memudahkan

penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada terciptanya pegawai negeri sipil

profesional, bermoral dan bertanggung jawab serta memiliki persepsi tepat terhadap

pekerjaannya, dengan demikian kualitas pelayanan yang baik secara objektif dapat

tercapai. Aparatur di BKD Kabupaten Pringsewu perlu menciptakan pelayanan yang

baik dengan menghindari diskriminasi dalam upaya melakukan pelayanan.

Untuk mengetahui kondisi riil pegawai di Badan Kepegawaian dan Diklat

Kabupatn Pringsewu, berikut data mengenai karakteristik pegawai berdasarkan data

golongan dan esselon sampai dengan 31 Mei 2013 berjumlah 40 orang, dengan

(17)

10

Tabel 1.2 Karakteristik Pegawai Pada BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan

Golongan s.d. 31 Mei 2013

JML 0 1 1 1 4 5 3 18 0 3 4 0 0 0 0 0 40

Sumber : BKD Kabupaten Pringsewu Per 31 Mei 2013 (data diolah)

Tabel 1.2 memperlihatkan jumlah total pegawai di BKD Kabupaten

Pringsewu berdasarkan golongan per 31 Mei 2013 sebanyak 40 pegawai, dengan

mayoritas pegawai memiliki golongan III/a sejumlah 18 pegawai.

Tabel 1.3 Karakteristik Pegawai Pada BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan

Esselon s.d. 31 Mei 2013

No

JENIS JABATAN

GRAND TOTAL Eselon

II a

Eselon II b

Eselon III a

Eselon III b

Eselon IV a

Eselon

IV b Fungsional Pelaksana

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

JML 0 1 1 3 9 0 0 26 40

Sumber : BKD Kabupaten Pringsewu Per 31 Mei2013 (data diolah)

Tabel 1.3 memperlihatkan jumlah total pegawai di BKD Kabupaten

Pringsewu berdasarkan esselon sampai dengan 31 Mei 2013 sebanyak 40 pegawai,

dengan mayoritas pegawai memiliki esselon IV/a sejumlah 9 pegawai dan jumlah

pegawai terkecil memiliki esselon II/b dan III/a sejumlah 1 orang pegawai.

Tabel 1.4 memperlihatkan jumlah total pegawai di BKD Kabupaten

Pringsewu berdasarkan pendidikan sampai dengan 31 Mei 2013 sebanyak 40

pegawai, dengan mayoritas pegawai memiliki pendidikan sarjana sejumlah 30

(18)

11

Tabel 1.4 Karakteristik Pegawai BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Pendidikan

S.d. 31 Mei 2013

No JENJANG PENDIDIKAN GRAND TOTAL 0 1 S D S ed er aj at 0 2 S L T P U M U M 3 S L T P K E JU R U A N 0 4 S L T A U M U M 0 5 S L T A K E JU R U A N 0 6 S L T A K E G U R U A N 0 7 D IP L O M A I 0 8 D IP L O M A I I 0 9 D IP L O M A I II 1 0 D IP L O M A I V 1 1 S A R JA N A 1 2 A K T A I V P E N D ID IK A N 1 3 P A S C A S A R JA N A 1 4 S P E S IA L IS I 1 5 D O K T O R

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

JML 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 30 0 7 0 0 40

Sumber : BKD Kabupaten Pringsewu Per 31 Mei 2013 (data diolah)

Hasil identifikasi terhadap beberapa aspek penilaian kualitas pelayanan

yang dipengaruhi oleh variabel-variabel profesionalitas dan budaya kerja antara

lain adalah standar-standar yang dipergunakan dalam memberikan pelayanan,

antara lain bukti langsung (

tangible

), kehandalan (

reliability

), daya tanggap

(

responsiveness

), jaminan (

assurance

) dan kepedulian (

empati

). Semua faktor

tersebut sejatinya juga dipengaruhi oleh cara, kondisi, dan peristiwa-peristiwa

yang terjadi di lingkungan sosio politik, hukum, ekonomi, teknologi, fisik dan

lainnya dimana penelitian dilakukan. Selain itu budaya kerja yang berjalan belum

mendukung pelayanan yang ada, hal ini ditandai dengan aspek inisiatif pada pegawai

Badan Kepegawaian Daerah yang belum tumbuh dengan sendirinya, masih

menunggu arahan, perintah dan dukungan dari pimpinan pada levelnya

masing-masing. Namun demikian, hingga saat ini belum banyak diketahui tentang

bagaimana pengaruh faktor profesionalitas dan budaya terhadap kualitas pelayanan.

Oleh karena itu, penekanan dan pemahaman secara komprehensif terhadap pengaruh

(19)

12

merupakan prasyarat dalam memahami dengan baik cara lingkungan mempengaruhi

organisasi. Dalam hal ini, penilaian profesonalitas terkait permasalahan tersebut

dipandang sebagai suatu proses sosial dan proses komunikasi daripada hanya sebagai

alat pengukur yang bersifat psiko atau ekonometrik, sehingga akan menjawab

pertanyaan seberapa penting peran profesionalitas dan budaya kerja terhadap

peningkatan kualitas pelayanan.

Mempertimbangkan hal tersebut, penulis menganggap perlu untuk melakukan

pengamatan langsung terhadap Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten

Pringsewu sebagai pelaksana pelayanan administrasi kepegawaian di Kabupaten

Pringsewu, dan penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul

“Pengaruh

Profesionalitas dan Budaya Kerja Terhadap Kualitas Pelayanan Pada Badan

Kepegawaian dan Diklat (BKD) Kabupaten Pringsewu.”

1.2

Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, secara teoritis profesionalitas dan budaya

kerja dapat mempengaruhi kualitas pelayanan. Adanya persepsi yang terbentuk pada

sebagian pegawai tentang prosedur pelayanan Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD)

Kabupaten Pringsewu yang terkesan : (1) Rumit dan berbelit-belit dalam pengurusan

administrasi kepegawaian; (2) Bersifat manual dan sulit diakses; (3) Adanya ketidak

transparanan pelayanan; (4) kurangnya sarana dan prasarana yang memadai; (5)

(20)

13

keahliannya; dan (7) keadaan lingkungan baik internal dan eksternal yang kurang

mendukung mendasari penulis untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh

profesionalitas dan budaya kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan pada Badan

Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

1.2.2

Perumusan Masalah Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah, maka permasalahan yang akan dibahas

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.

Apakah profesionalitas berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan pada

Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu ?

2.

Apakah budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan pada

Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu?

3.

Apakah profesionalitas dan budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kualitas

pelayanan pada Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu ?

1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah ;

1.

Untuk mengetahui pengaruh profesionalitas dan budaya kerja terhadap kualitas

pelayanan pada BKD Kabupaten Pringsewu, dan bagaimana tingkat

signifikansinya;

2.

Untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi kualitas pelayanan

pegawai ditinjau dari variabel profesionalitas dan budaya kerja di BKD

(21)

14

1.4

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1.

Sebagai masukan dan pertimbangan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten

Pringsewu dalam menerapkan nilai-nilai profesionalitas, budaya kerja dan

kualitas pelayanan di bidang administrasi kepegawaian dalam membentuk

persepsi positif pegawai Kabupaten Pringsewu tentang kinerja BKD;

2.

Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan pada umumnya dan

pengembangan sumber daya manusia pada khususnya;

3.

Sebagai masukan bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan penulisan

yang sejenis.

1.5

Kerangka Pemikiran

Penilaian kualitas pelayanan merupakan suatu kegiatan yang penting, karena

dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan atau tingkat pencapaian hasil oleh

seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi. Dekonstruksi kualitas

pelayanan tersebut hanya akan terbentuk dengan baik jika seluruh komponen bersedia

mengubah dirinya dalam konstruk budaya kerja baru, serta adanya dukungan

pimpinan puncak untuk memudahkan penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada

terciptanya pegawai negeri sipil yang profesional dan bertanggung jawab terhadap

pekerjaan.

Kualitas pelayanan erat kaitannya dengan profesionalitas maupun budaya

kerja pegawai. Baik tidaknya pelayanan yang diberikan akan terlihat dari tinggi

(22)

15

Semakin baik kualitas pelayanan yang dirasakan, semakin tinggi persepsi pegawai

tersebut terhadap rasa puas yang ia rasakan. Dalam konteks lokus penelitian ini

profesionalitas adalah sebagai kemampuan pegawai untuk bertindak secara

professional dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, dan

parameter yang digunakan adalah tingkat kreatifitas, inovasi dan responsifitas

pegawai. Sedangkan budaya kerja adalah cara pandang seseorang terhadap bidang

yang ditekuninya dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki, dan parameter yang

dipergunakan adalah inisiatif, kepercayaan, kesenangan, individualitas, kesetaraan,

dialog, hubungan kerja, dan pilihan tempat kerja

Profesionalitas dan budaya kerja dikatakan dapat mempengaruhi kualitas

pelayanan apabila mampu memberikan kontribusi maupun informasi yang tepat

kepada anggota kelompok/individu-individu dalam organisasi untuk dapat bekerja

lebih efektif dan efisien, tidak hanya bekerja sesuai dengan imbalannya, tetapi

diharapkan mampu bekerja melebihi apa yang seharusnya dilakukan secara optimal.

Identifikasi terhadap faktor-faktor profesionalitas dan budaya kerja kerja yang

mendasari penelitian ini adalah ditemuinya fakta pada sebagian pegawai di

lingkungan Pemerintah Kabupaten Pringsewu yang mempunyai persepsi

bahwasannya pegawai BKD dalam memberikan pelayanan cenderung berbelit, tidak

transparan, mendahulukan yang memberikan imbalan, dan lebih mendahulukan

pegawai yang memiliki unsur kekerabatan dengan unsur pimpinan. Guna mengatasi

hal ini diperlukan kemauan dari semua pihak untuk melakukan perubahan besar

dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif.

(23)

16

bagaimana kaitan langsung profesionalitas dan budaya kerja yang dimiliki pegawai

BKD Kabupaten Pringsewu terhadap kualitas pelayanan yang dirasakan pegawai di

lingkungan Pemerintah Kabupaten Pringsewu.

Berdasarkan uraian tersebut, maka skema kerangka pemikiran dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Ket :

= Pengaruh

Profesionalitas (X1)

1. Kreatifitas 2. Inovasi 3. Responsifitas

Budaya Kerja (X2) :

1.Inisiatif (Initiative) 2.Kepercayaan (Trust) 3.Kesenangan (Joy) 4.Individualitas

(Individuality) 5.Kesetaraan (Equality) 6.Dialog (Dialogue) 7.Hubungan Kerja

(Conectivity) 8.Pilihan Tempat Kerja

(Workplace Options)

Kualitas Pelayanan (Y) :

1. Bukti langsung (Tangibles)

2. Keandalan (Reliability) 3. Daya tanggap

(24)

17

1.5 Hipotesis

Hipotesis menurut Arikunto (2006:71) dapat diartikan sebagai ”suatu jawaban

yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui

data yang terkumpul”. Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1.

Profesionalitas berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan pada Badan

Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

2.

Budaya kerja berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan pada Badan

Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

3.

Profesionalitas dan budaya kerja berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan

pada Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Pringsewu.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen sumber daya manusia adalah suatu bidang yang khusus

mempelajari hubungan dan peranan manusia dalam suatu organisasi. Unsur

manajemen sumber daya manusia adalah manusia yang merupakan tenaga kerja

pada organisasi. Dengan demikian, fokus yang dipelajari manajemen sumber daya

manusia ini hanyalah masalah yang berhubungan dengan tenaga kerja

manusia saja.

Manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan

organisasi, karena manusia menjadi perencana, pelaku dan penentu terwujudnya

tujuan organisasi. Tujuan tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif karyawan

meskipun alat-alat yang dimiliki begitu canggihnya. Alat-alat canggih yang

dimiliki tidak ada manfaatnya bagi organisasi, jika peran aktif karyawan tidak

diikutsertakan.

Manajemen sumber daya manusia adalah bagian dari manajemen, oleh

karena itu teori-teori manajemen umum menjadi dasar dalam pengaturan peranan

manusia dalam mewujudkan tujuan yang optimal. Pengaturan ini meliputi

masalah perencanaan (human resources planning), pengorganisasian, pengarahan,

(26)

19 pemeliharaan, kedisiplinan dan pemberhentian tenaga kerja untuk membantu

terwujudnya tujuan organisasi, karyawan, dan masyarakat.

Menurut Flippo yang dikutip oleh Hasibuan, (2000) definisi manajemen

sumber daya manusia adalah sebagai berikut :

“Personel Management is the planning, organizing, directing and controlling of the procurement, development, compensation, integration, maintenance, and separation of human resources to the end that individual, organizational and societal objectives are accomplished”.

Artinya :

Manajemen personalia merupakan perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan dan pengendalian dari pengadaan, pengembangan, kompensasi,

pengintegrasian, pemeliharaan dan pemberhentian karyawan, dengan maksud

terwujudnya tujuan perusahaan, individu, karyawan dan masyarakat.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

manajemen sumber daya manusia adalah suatu fungsi operasional dalam

organisasi yang mengusahakan pengelolaan sumber daya manusia dalam rangka

mencapai tujuan individu, organisasi dan masyarakat secara seimbang.

Manusia adalah sumber daya yang paling penting dalam usaha mencapai

tujuan sebuah organisasi. Dimana sumber daya manusia merupakan satu-satunya

sumber daya yang dimiliki akal, perasaan keinginan, kemampuan, keterampilan,

pengetahuan, dorongan daya dan karya, sehingga betapapun sempurnanya aspek

kemajuan teknologi, berkembangnya informasi, tersedianya modal dan

memadainya bahan, namun jika tanpa sumber daya manusia, maka akan sulit bagi

organisasi dalam mencapai tujuan.

Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia, sebagaimana di

(27)

20 pekerjaan melalui orang lain” atau untuk saat ini pengertian itu lebih ditekankan

pada arti mengurus, mengatur, melaksanakan dan mengelola sehingga dalam arti

yang lebih luas manajemen ini dihadapkan pada kenyataan bahwa yang ditangani

itu adalah sumber daya manusia bukan material ataupun finansial yang berarti

memerlukan suatu strategi dengan pertimbangan yang diselaraskan dengan

nilai-nilai manusiawi (Human values) yang dikembangkan dalam melaksanakan

suatu aktivitas.

Menurut Flippo (Handoko, 2001) bahwa Manajemen Sumber Daya

Manusia, adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan

kegiatan, pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,

pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan

individu, organisasi dan masyarakat.

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat ditarik

kesimpulan bahwa pada dasarnya manajemen sumber daya manusia, mempunyai

sasaran-sasaran :

1. Mengatur mengenai pembagian tugas dalam melaksanakan pekerjaan dimana

para pimpinan harus mengarahkan para karyawan agar mereka bekerja dengan

efisien dan efektif.

2. Meningkatkan prestasi kerja yang dicapai oleh setiap karyawan sehingga

tercapai peningkatan produktivitas organisasi.

3. Mengatur manusia dalam fungsinya sebagai pelaksanaan dan penggerak

(28)

21

2.2. Fungsi-Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Pada dasarnya tujuan dari manajemen sumber daya manusia adalah

menyediakan tenaga kerja yang efektif bagi organisasi. Untuk pencapaian tujuan

ini, manajemen sumber daya manusia mempelajari bagaimana memperoleh,

mengembangkan, memanfaatkan, mengevaluasi dan mempertahankan tenaga

kerja dalam jumlah dan tipe yang tepat. Manajemen sumber daya manusia dapat

berhasil bila mampu menyediakan tenaga kerja yang efektif untuk melaksanakan

pekerjaan yang harus dilakukan.

Dalam menjalankan pekerjaan seharusnya organisasi memperhatikan

fungsi-fungsi manajemen dan fungsi operasional yang dikemukakan oleh

Flippo (1996) :

2.2.1 Fungsi-Fungsi Manajemen : a. Perencanaan (Planning)

Perencanaan mempunyai arti penentuan lebih lanjut mengenai program

tenaga kerja (meliputi penetapan jumlah dan kuantitas tenaga kerja) yang

akan mendukung pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan

atau organisasi.

b. Pengorganisasian (Organizing)

Setelah menetapkan rencana, maka perlu dibentuk suatu organisasi untuk

melaksanakannya. Organisasi dibentuk dengan merancang struktur

hubungan yang mengkaitkan antara pekerjaan, karyawan dan faktor-faktor

(29)

22

c. Pengarahan (Directing)

Pengarahan terdiri dari fungsi staffing dan leading penempatan

orang-orang dalam struktur organisasi dilakukan dalam fungsi staffing. Di

sini diperlukan adanya kejelasan tugas dan kualifikasi tenaga kerja yang

dibutuhkan. Dalam fungsi leading dilakukan pengarahan sumber daya

manusia agar dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Fungsi pengarahan ini berhubungan dengan cara memotivasi dan

mengarahkan pegawainya agar memiliki keamanan untuk bekerja dan

dapat mengerjakan pekerjaannya dengan efektif.

d. Pengawasan (Controlling)

Pengawasan adalah fungsi manajerial yang mengatur aktivitas-aktivitas

agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan organisasi sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai, bila terjadi penyimpangan dapat diketahui dan

segera dilakukan perbaikan.

2.2.2 Fungsi-Fungsi Operasional terdiri dari : a. Pengadaan (Procurement)

Pengadaan adalah usaha untuk memperoleh sejumlah pegawai dengan

jenis tenaga kerja yang sesuai den gan yang dibutuhkan terutama

berhubungan dengan penentuan kebutuhan tenaga kerja, penarikan,

seleksi, orientasi dan penempatan.

b. Pengembangan(Development)

Setelah mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan yang dibutuhkan maka

(30)

23 program pendidikan dan latihan atau training yang tepat agar karyawan

atau pegawai dapat melakukan tugasnya dengan baik. Aktivitas ini begitu

penting dan akan terus berkembang karena adanya perubahan teknologi,

penyesuaian pekerjaan dan meningkatnya tingkat kesulitan tugas manajer.

c. Kompensasi

Fungsi kompensasi diartikan sebagai usaha untuk memberikan balas jasa

atau imbalan yang memadai kepada pegawai sesuai dengan kontribusi

yang telah disumbangkan kepada perusahaan.

d. Integrasi (Integration)

Merupakan usaha untuk menyelaraskan kepentingan individu organisasi,

instansi maupun masyarakat, oleh karena itu harus dipahami sikap dan

prinsip-prinsip pegawai.

e. Pemeliharaan (Maintenance)

Setelah keempat fungsi dijalankan dengan baik maka diharapkan

organisasi instansi mendapatkan pegawai yang baik. Maka fungsi

pemeliharaan yang telah dicapai dengan memelihara sikap-sikap pegawai

yang menguntungkan organisasi atau instansi.

e. Pemutusan Hubungan Kerja (Separation)

Usaha terakhir dari fungsi operasional ini adalah tanggungjawab

organisasi atau instansi untuk mengembalikan pegawainya ke lingkungan

masyarakat dalam keadaan sebaik mungkin, bila organisasi atau instansi

(31)

24

2.3 Profesionalisme Pegawai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti profesionalisme yaitu perihal

profesi; keprofesian; kemampuan untuk bertindak secara professional.

Profesionalitas erat kaitannya dengan profesionalisme yang berhubungan dengan

istilah profesi dan profesional. Profesi berasal dari kata “proffesion” yang berarti

“mampu atau ahli dalam suatu pekerjaan. Profesionalisme terkait dengan sikap

atau prilaku seseorang sehubungan dengan profesi yang dimilikinya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1996:786) dinyatakan bahwa

profesionalisme berarti mutu, kualitas dan tindak-tanduk yang merupakan ciri

suatu profesi atau orang yang profesional.

Istilah profesional itu berlaku untuk semua personil mulai dari tingkat atas

sampai tingkat bawah. Profesional dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan

keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan

tingkatan masing-masing.

Terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan

tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian

dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh

sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan

pelayanan publik secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan

profesionalisme terhadap tujuan yang ingin dicapai.

Dalam pandangan (Tjokrowinoto,1996;191) dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan profesionalisme adalah sebagai berikut:

(32)

25 Menurut pendapat tersebut, kemampuan aparatur lebih diartikan sebagai

kemampuan melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi,

kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dengan mengacu

kepada misi yang ingin dicapai dan kemampuan dalam meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk tumbuh kembang dengan kekuatan sendiri secara efisien,

melakukan inovasi yang tidak terikat kepada prosedur administrasi, bersifat

fleksibel, dan memiliki etos kerja tinggi.

Pandangan lain seperti (Siagian, 2002;163) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan profesionalisme adalah :

Kehandalan dan kemampuan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat .

Terbentuknya aparatur profesional menurut pendapat diatas memerlukan

pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan

pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Dengan pengetahuan dan keterampilan

khusus yang dimiliki oleh aparat memungkinnya untuk menjalankan tugas dan

menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan

prosedur yang sederhana. Terbentuknya kemampuan dan keahlian juga harus

diikuti dengan perubahan iklim dalam dunia birokrasi yang cenderung bersifat

kaku dan tidak fleksibel.

Sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi aparat untuk bekerja secara

profesional serta mampu merespon perkembangan global dan aspirasi masyarakat

dengan mengedepankan nilai-nilai pelayanan yang responsif, inovatif, efektif, dan

mengacu kepada visi dan nilai-nilai organisasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh

(33)

26 Kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang cepat berubah dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mengacu kepada visi dan

nilai-nilai organisasi (control by vision dan values).

Kemampuan untuk beradaptasi menurut pendapat tersebut merupakan

jawaban terhadap dinamika global yang tumbuh dan berkembang secara cepat.

Pesatnya kemajuan teknologi merupakan salah satu diantara dinamika global yang

membuat birokrasi harus segera beradaptasi jika tidak ingin ketinggalan zaman

dan terbelakang dalam hal kemampuan. Kemampuan beradaptasi merupakan

jawaban bagi dinamika global yang tidak pasti sehingga dalam menjalankan

tugasnya, aparat tidak lagi terikat secara kaku kepada petunjuk dan teknis

pelaksanaan tapi terikat kepada apa yang ingin dicapai oleh organisasi

(organization-mission). Fleksibilitas aparat dalam menjalankan tugas dan

berorientasi kepada hasil dan visi yang ingin dicapai oleh organisasi merupakan

langkah positif untuk meninggalkan cara kerja yang kaku dan reaktif.

Setelah mencermati dan memahami berbagai pendapat dan pandangan

para pakar tentang konsep profesionalisme, maka dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa profesionalisme tidak hanya berbicara tentang soal kecocokan

antara keahlian dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang saja tetapi juga

menyangkut kemampuan dalam mengantisipasi segala perubahan lingkungan

termasuk kemampuan dalam merespon aspirasi publik dan melakukan inovasi

yang pada akhirnya membuat pekerjaan menjadi mudah dan sederhana.

2.3.1 Pengukuran Profesionalisme.

Upaya untuk mencari paradigma baru dalam meningkatkan

profesionalisme aparatur yang berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi

(34)

27 fenomena yang terjadi merupakan jawaban bagi permasalahan tersebut.

Pentingnya kemampuan aparatur dalam beradaptasi terhadap perubahan

lingkungan eksternal dan internal organisasi dijadikan tolak-ukur dalam melihat

profesionalisme birokrasi. Menurut (Ancok, 2000:68) dijelaskan tentang

pengukuran profesionalisme sebagai berikut; Kemampuan beradaptasi,

Kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan fenomena global dan fenomena

nasional; Mengacu kepada misi dan nilai (mission & values-driven

professionalism), Birokrasi memposisikan diri sebagai pemberi pelayanan kepada

publik dan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang berorientasi kepada hasil

yang ingin dicapai organisasi.

Profesionalisme diukur melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang

yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan organisasi kepada

seseorang. Alasan pentingnya kecocokan antara disiplin ilmu atau keahlian yang

dimiliki oleh seseorang karena jika keahlian yang dimiliki seseorang tidak sesuai

dengan tugas yang dibebankan kepadanya akan berdampak kepada in-efektifitas

organisasi.

Sedangkan dalam pandangan (Tjokrowinoto,1996;190) birokrasi dapat

dikatakan profesional atau tidak, diukur melalui kompetensi sebagai berikut;

a. Profesionalisme yang Wirausaha (Entrepreneurial-Profesionalism).

Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi peningkatan

pertumbuhan ekonomi nasional, keberanian mengambil risiko dalam

memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari

(35)

28 memberikan peluang bagi terciptanya lapangan kerja dan peningkatan

pendapatan nasional.

b. Profesionalisme yang Mengacu Kepada Misi Organisasi (Mission-driven

Profesionalism).

Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah langkah yang perlu

dan mengacu kepada misi yang ingin dicapai (mission-driven

professionalism), dan tidak semata mata mengacu kepada peraturan yang

berlaku (rule-driven professionalism).

c. Profesionalisme Pemberdayaan (Empowering-Profesionalism.)

Kemampuan ini diperlukan untuk aparatur pelaksana atau jajaran bawah

(grassroots) yang berfungsi untuk memberikan pelayanan publik (service

provider). Profesionalisme yang dibutuhkan dalam hal ini adalah

profesionalisme-pemberdayaan (empowering-prefesionalism) yang sangat

berkaitan dengan gaya pembangunan. Dalam konsep ini birokrasi berperan

sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh

berkembang dengan kekuatan sendiri (enabler), lihat (Osborne &

Gaebler,1990:23).

Menurut (Siagian, 2002:162) profesionalisme diukur dari segi

kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan mengacu kepada prosedur yang telah

disederhanakan. Menurut pendapat tersebut, konsep profesionalisme dalam diri

aparat dilihat dari segi;

a. Kreatifitas(creativity).

Kemampuan aparatur untuk menghadapi hambatan dalam memberikan

(36)

29 untuk mengakhiri penilaian miring masyarakat kepada birokrasi publik yang

dianggap kaku dalam bekerja. Terbentuknya aparatur yang kreatif hanya dapat

terjadi apabila; terdapat iklim yang kondusif yang mampu mendorong aparatur

pemerintah untuk mencari ide baru dan konsep baru serta menerapkannya

secara inovatif; adanya kesediaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan

antara lain melalui partisipasi dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut pekerjaan, mutu hasil pekerjaan, karier dan penyelesaian

permasalahan tugas.

b. Inovasi(innovasi),

Perwujudannya berupa hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan dan

menggunakan cara baru, metode kerja baru, dalam pelaksanaan tugasnya.

Hambatan yang paling mendasar dari perilaku inovatif adalah rasa cepat puas

terhadap hasil pekerjaan yang telah dicapai.

c. Responsifitas(responsivity).

Kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru,

perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru, birokrasi harus

merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan

fungsinya.

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalitas.

Salah satu faktor yang menghambat kelancaran dan efektifitas birokrasi

publik adalah tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik dalam menjalankan

fungsi dan tugas. Tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik Indonesia dapat

dilihat dari banyaknya temuan para pakar dan pengalaman pribadi masyarakat di

(37)

30 birokrasi dalam merespon aspirasi publik serta pelayanan yang terlalu prosedural

merupakan sedikit contoh diantara sekian banyak ketidakberesan dalam dunia

birokrasi publik Indonesia.

Menurut (Siagian,2002,164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya

aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan:

Profesionalisme aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan.

Pendapat tersebut meyakini bahwa sistem kerja birokrasi publik yang

berdasarkan juklak dan juknis membuat aparat menjadi tidak responsif serta juga

karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan

pemberdaya bagi bawahan.

Menurut (Tjokrowinotono,1996;193) menyatakan bahwa:

Profesionalisme tidak hanya cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh keahlian dan pengetahuan agar aparat dapat menjalankan tugas dan fungsi secara efektif dan efisien,akan tetapi juga turut dipengaruhi oleh filsafat-birokrasi, tata-nilai, struktur, dan prosedur-kerja dalam birokrasi

Untuk mewujudkan aparatur yang professional diperlukan political will

dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi birokrasi

publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan

kebutuhan publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam filsafat atau cara

pandang organisasi dalam mencapai tujuan yang dimulai dengan merumuskan visi

dan misi yang ingin dicapai dan dijalankan oleh organisasi, membangun struktur

yang flat dan tidak terlalu hirarkis serta prosedur kerja yang tidak terlalu terikat

(38)

31 Sedangkan menurut (Numberi, 2000:4) sebagai upaya untuk merespon

aspirasi publik yang juga sebagai bagian dari perubahan lingkungan maka perlu

diambil tindakan sebagai berikut:

Serangkaian tindakan yang perlu ditempuh pemerintah untuk merespon aspirasi publik dan perkembangan lingkungan dengan serangkaian tindakan efisiensi yang meliputi pemghematan struktur organisasi, penyederhanaan prosedur, peningkatan profesionalisme aparatur menuju peningkatan pelayanan publik.

Upaya untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan penerapan

manajemen modern untuk penataan kelembagaan sebagai salah satu

kecenderungan global.

Dalam pandangan (Osborne & Plastrik1997:16) dijelaskan : Bahwa untuk

membangun dan melakukan tranformasi sistem organisasi pemerintah secara

fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efisiensi,

dan kemampuan melakukan inovasi maka harus dicapai melalui: perubahan

tujuan, sistem insentif, pertanggung-jawaban, struktur kekuasaan, dan budaya

sistem serta organisasi pemerintah.

Menurut pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk

melakukan perubahan dalam organisasi dan meningkatkan profesionalisme

aparatur maka penting untuk meredefinisikan kembali apa yang hendak di capai

oleh organisasi, membangun sistem penggajian yang yang mengedepankan nilai

keadilan serta membangun struktur organisasi yang memungkinkan untuk

terjadinya proses pengambilan keputusan yang cepat.

Secara keseluruhan, dengan mendasarkan kepada kenyataan yang ada pada

dunia birokrasi yang diperkuat oleh argumen dan temuan para teorisi seperti diatas

(39)

32 profesionalisme aparatur antara lain yaitu budaya organisasi yang timbul dan

mengkristal dalam rutintas birokrasi, tujuan organisasi, struktur organisasi,

prosedur kerja dalam birokrasi, sistem insentif dan lain lain.

2.3.3 Konsep Responsifitas.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perubahan lingkungan yang terjadi

seperti perubahan sikap dan tuntutan masyarakat yang meningkat serta kemajuan

teknologi yang demikian pesatnya telah menimbulkan perubahan dalam berbagai

segi dan aspek kehidupan. Konsekuensi terhadap perubahan lingkungan tersebut

menuntut aparat untuk bekerja lebih profesional antara lain dengan cara merespon

dan mengakomodasi aspirasi publik kedalam kegiatan dan program pemerintah.

Menurut Lenvine dkk,1990 (Dwiyanto,1995:7) bahwa yang dimaksud

dengan responsifitas adalah:

Kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi publik.

Selanjutnya dijelaskan oleh (Dwiyanto,1995:7) bahwa responsifitas

berkaitan dengan kecocokan dan keselarasan antara program dan kegiatan

pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Sedangkan menurut (Siagian,2002;165) yang dimaksud dengan

responsifitas adalah:

Sebagai bentuk kemampuan birokrasi dalam mengantisipasi dan menanggapi aspirasi baru, kebutuhan baru dan tuntutan baru dari masyarakat.

Pentingnya mewujudkan apa yang telah direspon tersebut kedalam

program dan kegiatan pelayanan adalah merupakan bentuk dari kewajiban

(40)

33 kekecewaan masyarakat yang pada gilirannya mungkin berakibat kepada

timbulnya “krisis kepercayaan” kepada pemerintah.

Kesimpulan yang ditarik penulis adalah bahwa yang dimaksud dengan

responsifitas merupakan kemampuan aparatur dalam mencermati perubahan

lingkungan (perubahan kebutuhan dan tuntutan publik serta kemajuan teknologi)

dan merefleksikannya dalam bentuk program dan pelayanan yang berorientasi

kepada masyarakat.

2.4 Budaya Kerja

Ndraha (2003:346) berpendapat bahwa ”budaya (B) menunjukkan (=)

bagaimana suatu nilai (N) dinyatakan dengan menggunakan suatu cara atau alat

(simbol, vehicle, V), berulang-ulang, berkali-kali (X sebagai tanda perkalian,

bukan X sebagai abjad) sehingga N tersebut dapat dirasakan dan diamati”.

Kerja menurut Hasibuan (2005:76) yaitu ”Pengorbanan jasa jasmani dan

pikiran untuk menghasilkan barang atau jasa dengan memperoleh imbalan prestasi

tertentu”. Budaya kerja menurut Sedarmayanti (2007:77) merupakan ”sikap

hidup (budi+daya=budaya) serta cara hidup manusia yang didasari pandangan

hidup yang bertumpu pada nilai perilaku terpuji yang berlaku umum dan telah

menjadi sifat, kebiasaan serta kekuatan pendorong yang memberikan daya positif

pada manusia untuk senantiasa bekerja”. Budaya kerja merupakan modal sumber

daya manusia dan harus dijadikan sebagai pedoman dalam penilaian. Baik sebagai

perumus kebijakan maupun sebagai pengambilan keputusan dalam manajemen

sumber daya manusia. Budaya kerja juga sebagai sikap pembawaan diri dalam

berbagai kegiatan pelayanan. Triguno dalam Noorsyamsa Djumara (2007:4)

(41)

34 sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuasaan pendorong,

membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi,

kemudian tercermin dalam sikap menjadi perilaku, kepercayaan cita-cita,

pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja”.

Budaya kerja berkaitan erat dengan organisasi dan berperan penting dalam

mengelola suatu organisasi sehingga Siagian (2002:29) menyatakan bahwa

”Budaya organisasi merupakan persepsi yang sama tentang makna hakiki

kehidupan bersama organisasi” sedangkan Sedarmayanti (2007:75) berpendapat

bahwa ”Budaya organisasi adalah sebuah keyakinan, sikap dan nilai yang

umumnya dimiliki, yang timbul dalam organisasi, dikemukakan lebih sederhana

budaya adalah cara kita melakukan sesuatu, disini pola nilai, norma, keyakinan,

sikap dan asumsi ini mungkin tidak diungkapkan, tetapi akan membentuk cara

orang berperilaku dan melakukan sesuatu”. Moorhead dan Griffin dalam Eugene

McKenna & Nic Beech (1995:63) mengemukakan bahwa ” Budaya organisasi

merupakan seperangkat nilai, yang diterima selalu benar, yang membantu

tindakan seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana

yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima. Nilai-nilai ini

sering dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lain”.

Robbins dalam Sopiah (2008:128) mengatakan ”Budaya organisasi

mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya

dan yang membedakan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya”.

Selanjutnya Robins dalam Sopiah (2008:129) menyatakan ”ada 7 karakteristik

primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya organisasi yaitu

(42)

35 inovatif dan berani mengambil resiko. (2) Perhatian ke hal yang rinci, sejauhmana

para karyawan mau memperlihatkan kecermatan, analisis, dan perhatian kepada

rincian. (3) Orientasi hasil, sejauhmana manajemen fokus pada hasil, bukan pada

teknis dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil itu. (4) Orientasi

orang, sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada

orang-orang di dalam organisasi itu. (5) Orientasi tim, sejauhmana kegiatan kerja

diorganisasikan dalam tim-tim kerja bukan individu-idividu. (6) Keagresifan,

sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif bukan bersantai. (7)

Kemantapan, sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya

status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi”.

Gibson dalam Sopiah (2008;129) menyebutkan ”7 dimensi budaya yaitu

hubungan manusia dengan alam, individualisme versus kolektifisme, orientasi

waktu, orientasi aktivis, informalitas, bahasa dan kepercayaan.

Froggatt dalam Rudolf Hutauruk (2008 : 12) menyatakan bahwa delapan prinsip

dalam menerapkan budaya kerja yaitu :

1. Inisiatif (Initiative)

Prinsip ini menekankan perlunya inisiatif yang didukung keberanian untuk

menerima dan mengadaptasikan perubahan yang terjadi, agar jangan selalu

bertahan pada status quo sehingga tidak timbul pertanyaan yang mengatakan

”Kita telah melakukannya selama ini, jadi kenapa harus berubah ?”.

2. Kepercayaan (Trust)

Prinsip ini menekankan adanya kepercayaan terhadap orang lain dan

kepercayaan terhadap diri sendiri sehingga tidak timbul pertanyaan seperti

(43)

36 kalau saya produktif ?’. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan

metode pengukuran kinerja.

3. Kesenangan (Joy)

Prinsip ini menekankan untuk menghindari image bahwa pekerjaan yang

dilakukan merupakan suatu beban yang berat. Jadi, dalam bekerja diusahakan

agar setiap pekerja dapat menikmati pekerjaan yang dilakukan secara rileks dan

tidak terlalu terbebani. Pekerja yang mampu menikmati pekerjaannya seiring

dengan kehidupan pribadinya dapat memberikan pelayanan dan produktivitas

yang lebih baik.

4. Individualitas (Individuality)

Prinsip ini memberikan kebebasan bagi setiap pekerja/tiap individu untuk dapat

menemukan sendiri gaya kerja terbaik yang sesuai bagi mereka sendiri yang

tentunya juga memperhatikan jam kerja dan rutinitas pekerjaan sehari-hari di

kantor.

5. Kesetaraan (Equality)

Prinsip ini menekankan adanya kesetaraan bagi setiap pekerja untuk

mempermudah dan memperlancar arus komunikasi dan informasi yang terjadi.

Para pekerja tidak terperangkap dalam struktur hierarkhi perusahaan dan

kedudukan yang dapat membuat bawahan enggan berkomunikasi dengan atasan

ataupun sebaliknya.

6. Dialog (Dialogue)

Sejalan dengan prinsip kesetaraan, prinsip ini mementingkan adanya

(44)

37 saling bertukar pikiran, sehingga dapat terjalin hubungan yang erat di antara

mereka.

7. Hubungan kerja (Connectivity)

Prinsip ini mengatakan bahwa untuk menjalin suatu komunikasi tidak harus

selalu dilakukan dengan cara berinteraksi secara langsung, akan tetapi dapat

juga dengan memanfaatkan sarana-saran teknologi yang telah ada, seperti

telepon/handphone ataupun internet sehingga seluruh pekerja merasa seperti

berada dalam suatu komunitas yang sama.

8. Pilihan Tempat Kerja (Workplace Options)

Prinsip ini mengajak untuk berhenti berpikir tentang mencari lokasi pekerjaan

baru yang lebih menyenangkan, tetapi mulai belajar untuk berpikir secara

kreatif tentang bagaimana mengubah lingkungan kerja saat ini menjadi suatu

lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga pkerjaan yang

dilakukan dapat lebih dinikmati.

Budhi Paramita dalam Rudolf Hutauruk (2008: 7) mengemukakan bahwa

budaya kerja dapat dibagi menjadi :

1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan

kegiatan lain, seperti bersantai-santai, atau semata-mata memperoleh kepuasan

dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu

hanya untuk kelangsungan hidupnya.

2. Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab,

berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan

(45)

38 Menurut Rudolf Hutauruk (2008:7) Budaya kerja menjalankan sejumlah

fungsi dalam sebuah organisasi yaitu :

1. Budaya kerja mempunyai satu peranan dalam menetapkan tapal batas, artinya

budaya kerja akan menciptakan pembedaan yang jelas antara organisasi yang

satu dengan yang lainnya.

2. Budaya kerja akan membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota

organisasi.

3. Budaya kerja akan mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang

lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang .

4. Budaya kerja akan lebih meningkatkan kemantapan dalam sistem kerja dan

sistem sosial dalam suatu organisasi.

5. Budaya kerja akan berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna kendali yang

memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

Selanjutnya Rudolf Hutauruk (2008:8) mengemukakan tujuan budaya

kerja adalah :

1. Meningkatkan kualitas hasil kerja

2. Meningkatkan kualitas pelayanan

3. Menciptakan budaya kualitas

4. Meningkatkan profesionalitas

5. Mengurangi kelemahan birokrasi

Menurut Roland E.Wolseley dan Laurence R. Campbell dalam Rudolf

(46)

39

1. Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan menyukai kebebasan,

pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam

usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dalam

usaha untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dalam

keinsyafan dan daya imajinasi seteliti mungkin dan seobyektif mungkin.

2. Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memecahkan

permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode

ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis, kreatif, tidak

menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan.

3. Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan berusaha

menyesuaikan diri antara kehidupan pribadi dan kebiasaan sosialnya baik nilai

spiritual maupun standar etika yang fundamental untuk menyerasikan

kepribadian moral karakternya.

4. Orang yang terdidik dalam kelompok budaya kerja akan mempersiapkan

dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian khusus dalam mengelola

tugas atau kewajiban dalam bidangnya, demikian pula dalam hal berproduksi

dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.

5. Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan memahami dan

menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial politik, budaya dan

menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan

kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada.

6. Orang yang terlatih dengan kelompok budaya kerja akan berpartisipasi dengan

(47)

40 bangsanya, penuh tanggung jawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi

kemerdekaannya serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi

yang bereaksi dengan memegang kekuasaaan.

2.5 Konsep Pelayanan

2.5.1 Pengertian Pelayanan

Thoha dalam Sedarmayanti (2007:263) berpendapat bahwa ”pelayanan

masyarakat adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang dan atau kelompok orang

atau instansi tertentu untuk memberi bantuan dan kemudahan kepada masyarakat

dalam mencapai tujuan”. Sedangkan Albrecht dalam Sedarmayanti (2007:263)

mendefinisikan pelayanan adalah ” suatu pendekatan organisasi total yang

menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan

penggerak utama dalam pengoperasian bisnis”. Sedangkan pelayanan menurut

Moenir (2002:16) yakni ” proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang

lain yang langsung”.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25 Tahun

2004 mendefinisikan pelayanan umum sebagai “ Segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan

peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Ndraha (2003:65) berpendapat

bahwa “Konsep pelayanan meliputi proses, output (product) dan outcome

(manfaat). Hasil Pelayanan disebut layanan”. Ndraha (2003:63) menyatakan ada

dua hal yang dikaji yaitu ” kebijakan pelayanan (jasa publik dan layanan civil) dan

(48)

41 perundang-undangan, kelembagaan, manajemen, sampai pada teknologi

pelayanan. Sementara itu, budaya meliputi sistem-sistem nilai dan

metodik-didaktik penanamannya sedini mungkin”.

Pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan adalah

segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan

dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat,

Gambar

Tabel 1.1  Klasifikasi dan Jumlah Pegawai Penerima Pelayanan Izin Belajar Pelayanan Alih Tugas dan Pelayanan Kenaikan Pangkat
Tabel 1.3 Karakteristik Pegawai Pada BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan
Tabel 1.4 Karakteristik Pegawai BKD Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Pendidikan   S.d. 31 Mei 2013
Gambar 1.1  Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan dan kualitas produk terhadap kepuasan pelanggan, baik secara parsial maupun secar bersama – sama

- Melaksanakan perencanaan dan pengembangan karier pegawai secara obyektif sesuai dengan kompetensiyang dimiliki. - Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur melalui

diiringi dengan adanya disiplin kerja pegawai serta dukungan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pegawai akan meningkatkan kinerja pegawai dalam melaksanakan setiap tugasnya

Hasil penelitian ini dapat memberikan implikasi bahwa pemerintah perlu lagi meningkatkan pengawasan terhadap proses rolling pejabat yang , sebab berdasarkan pada

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PUBLIK, KINERJA PEGAWAI, DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KEPUASAN STAKEHOLDER PADA KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA (KPPN) PALEMBANG..

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Budaya Kerja Pegawai Pada Badan

Pada penerapan norma pegawai di dinas transmigrasi Kab Gowa juga meningkat guna untuk meningkatkan kualitas kondisi budaya organisasi yang berjalan pada lingkup

Upaya pelaksanaan budaya kerja dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Kantor Nagari Padang Lua Konsep yang digunakan dalam penelitian menggunakan konsep dari Aldri Frinaldi