• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gulung Lengan Baju

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gulung Lengan Baju"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

1

Gulung Lengan Baju, Negara Hukum Proyek yang Belum Selesai

Irvin Sihombing

Mendirikan negara hukum tidak sama dengan memancangkan sebuah papan

nama dan sim-salabim semuanya selesai. Itu baru awal dari pekerjaan besar

membangun sebuah proyek raksasa bernama negara hukum. Tanpa memahaminya

sebagai demikian, kita akan mengalami kekecewaan, bahkan mungkin rasa frustasi.

Disebut proyek raksasa, oleh karena yang kita hadapi adalah sebuah pekerjaan yang

melibatkan begitu banyak sektor kehidupan, seperti hukum, ekonomi, politik, sosial

dan yang tidak kalah penting adalah perilaku kita sendiri. Dengan demikian, sejak pagi

hari kita perlu bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan yang memakan waktu lama,

membutuhkan kecerdasan, kearifan, keuletan, kesabaran dan tentu saja pengerahan

energi yang amat besar.

Diproyeksikan kepada potret raksasa tersebut di atas, maka akan menjadi terlalu

kecil apabila Negara hukum itu (hanya) kita pahami sebagai usaha agar perkara-perkara

diselesaikan secara hukum. Negara hukum yang ingin kita bangun adalah jauh lebih

besar daripada itu. Kita dapat menyimaknya pada Undang-Undang Dasar yang

bertujuan “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan bangsa”. Maka

Negara hukum memikul beban yang sangat berat, yakni sebagai pemandu bangsa ini

menuju kehidupan yang bahagia.

Kutipan diatas memberi tahu, bahwa diperlukan suatu pemahaman mendasar

tentang hukum, fungsi hukum dan sebagainya, agar proyek raksasa tersebut dapat

diselesaikan dengan baik. Memang ideal, apabila persiapan tersebut bisa dibicarakan

secara habis-habisan terlebih dahulu sebelum kita memasuki proyek membangun

Negara hukum tersebut. Mengalami karut-marut kehidupan hukum sekarang ini

menyadarkan kepada kita, bahwa ada sesuatu yang perlu direnungkan kembali tentang

hal-hal mendasar tersebut. Jadi, sepertinya kita memilih jalan “trial and errors” dalam

membangun Negara hukum kita.

Sekarang, lebih dari setengah abad sejak Negara hukum Indonesia didirikan,

(2)

2

sehingga Negara hukum kita sekarang ini masih jauh daripada menjadi rumah yang

membahagiakan bagi para penghuninya.

Ternyata, memisahkan hukum dari kemanusiaan harus dibayar mahal.

Keasyikan kita untuk menata substansi hukum, sistem hukum dan lain-lain

kelengkapan rasional, telah meminggirkan pemahaman bahwa hukum adalah lebih

merupakan masalah manusia daripada undang-undang, prosedur dan sebagainya.

Sebaiknya kita mulai menata kembali cara-cara kita berhukum seperti tersebut

di atas, oleh karena hasilnya kurang memuaskan. Bahkan barangkali kita harus

melongok kembali ke dalam dapur yang menghasilkan para professional hukum.

Fakultas-fakultas hukum memang dituntut untuk menghasilkan lawyers handal secara

professional, tetapi apabila melihat pengalaman di negeri kita, itu saja belum cukup.

Meminjam perumpaan yang dibuat oleh Gerry Spence, seorang advokat senior

Amerika Serikat yang sangat peduli dengan kualitas penyelenggaraan hukum di

negerinya, “sepatu kuda seharga sepuluh ribu dollar.” Kelemahan lawyers Amerika

bukan disebabkan karena professionalismenya, melainkan disebabkan kualitasnya

sebagai manusia (their incompetence begins not as lawyers, but as human beings).

Pendidikan hukum Indonesia sebaiknya juga tidak hanya mengejar produksi sepatu

kuda yang mahal, melainkan lebih daripada itu, juga kuda-kuda yang berharga jauh

lebih mahal daripada sepatunya.

Faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk lebih

memberi tempat kepada hukum. Satjipto Rahardjo dengan hukum progresif nya

mengatakan bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum

berfungsi memberi panduan dan tidak membelenggu. Manusia-manusialah yang perlu

berperan lebih penting.

Kita sering menyatakan kebanggaan diri kita sebagai bangsa yang berbudi

luhur, bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan, dan lain sebagainya. Tetapi, itu

tidak tembus sampai ke kultur hukum kita. Kultur itu malah lebih cenderung ke

individualisme. Sekalian moralitas itu belum menjadi social capital (SC) kita.

Pada dasarnya, hukum tetap membutuhkan SC-nya sendiri. Saat terjun ke

(3)

3

Malangnya, kita tidak mampu menunjukkan SC dan baru sampai pada omongan,

kendati sudah didorong proyek sosialisasi empat pilar dan segala macam yang bernilai

miliaran rupiah. Misalnya, orang berbicara mengenai hubungan Perburuhan-Pancasila

sampai “berbusa-busa”. Tetapi yang muncul adalah “Marsinah.”“buruh dijemur”, atau

banyak pihak berbicara tentang keadilan sosial namun yang terjadi adalah “Salim

Kancil dibunuh”. Akhirnya kehidupan hukum kita seakan tidak memiliki tulang

belakang yang amat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan bernegara hukum.

Jepang dan AS memiliki SC masing-masing sebagai pendukung Negara

hukumnya. Jepang menekankan moral kolektivisme seperti kita. AS berada pada

individualisme dan liberalisme. Hubungan Industrial Pancasila yang

didengung-dengungkan di Indonesia malah muncul di Jepang yang sama sekali tidak mengetahui

tentang Pancasila.

Orang AS amat rasional dalam menjalankan hukum, sedang Jepang

menggunakan nuraninya. Diceritakan ada dua orang (AS dan Jepang) akan

menyeberang jalan tetapi tertahan lampu merah. Ketika sudah tidak ada kendaraan

lewat, orang AS mengajak menyeberang. Tetapi si Jepang mengatakan, “kalau saya

menyeberang, sedangkan lampu masih merah, muka saya mau ditaruh dimana?” itulah

perbedaan dalam SC yang membawa kepada perilaku dan kultur yang berbeda.

Dalam perilaku sosial yang otentik itu sudah termasuk kecintaan dan

kepeduliaan terhadap bangsa sendiri. Perilaku itu merupakan modal amat penting,

sebelum kita berbicara tentang hukum. Tanpa perubahan cara bernegara hukum seperti

itu, hukum hanya akan menjadi permainan kepentingan dan gagal membawa bangsa

ini kepada kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Wahai bangsa

tercinta, marilah membangun perilaku kita secara otentik dan baik lebih dahulu,

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik menerima informasi dari guru tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan materi yang memiliki keterkaitan dengan materi sebelumnya.. Peserta didik

ProfileActivty.java import android.app.ProgressDialog; import android.content.Context; import android.content.Intent; import android.net.Uri; import android.os.Bundle;

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data atau informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung (dengan cara meng-import-nya dari format-format perangkat lunak SIG

seksama tembok-tembok Yerusalem,” yang merupakan satu bagian dari pencapaian sasaran yakni pembangunan kembali kota Yerusalem yang telah hancur. Para pemimpin sejati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas dan efisiensi adsorpsi terbesar dihasilkan oleh adsorben H yang terbuat dari ampas tebu dengan aktivasi asam (ATA).. Pada nisbah

platynota di Sumber Belajar Ilmu Hayati (SBIH) Ruyani yang nantinya akan dilepas di area konservasi kampus UNIB, aklimasi ini dilakukan untuk melihat bagaimana

Dengan asumsi load cell tidak menyebabkan ketidakpastian acak terhadap hasil pengukuran, maka hitunglah (dengan tingkat keyakinan 95%) :. Standar deviasi dan ketidakpastian acak

Bahan yang digunakan sebagai variabel percobaan adalah konsentrasi pelarut etanol dan waktu perendaman pada ekstraksi maserasi jahe emprit (Zingiber officinale Rosc.) dan