INOVASI DAN PENCIPTAAN KESEJAHTERAAN (WELFARE) DI NEGARA BERKEMBANG
Trihadi Pudiawan Erhan, SE, M.S.E. (erhan1202@yahoo.co.id)
PENDAHULUAN
Tidak mudah untuk dapat mendifinisikan welfare secara pasti. Banyak ekonom yang kemudian mengasosiasikan welfare dengan kualitas hidup. Manqiw N. Gregory, Quah Euston, dan Wilson
Peter (2008) menyatakan bahwa tingkat welfare suatau bangsa tergantung akan tergantung dari kemampuan bangsa tersebut untuk memproduksi barang dan jasa. Kemampuan memproduksi
suatu barang dan jasa dari suatu bangsa yang kemudian tercemin dari Produk Domestik Bruto
(PDB) yang dapat dihasilkan oleh negara tersebut.
Walaupun bukan merupakan satu-satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan, PDB adalah
merupakan sebuah pengukuran welfare yang saat ini masih sering digunakan. Kelemahan dari pengukuran dengan menggunakan PDB adalah pendekatan ini hanya mampu untuk welfare
materi saja. Pendekatan welfare dengan materi digunakan dengan menggunakan asumsi bahwa peningkatan welfare materi akan juga meningkatkan kualitas hidup.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah kemampuan berproduksi barang dan jasa kemudian akan
mempengaruhi kualitas hidup melalui welfare materi. Hal ini kemudian berarti sebuah bangsa harus dapat selalu mencari cara untuk memproduksi barang dan jasa dengan lebih baik
(kualitas) dan atau lebih banyak (kuantitas) untuk menjamin terjadinya peningkatan
kesejahteraan. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi tersebut dapat bersumber dari
peningkatan tenaga kerja, modal fisik, ataupun tenaga kerja.
Bagi negara berkembang, untuk mengejar pertumbuhan negara maju tidak cukup hanya dengan
mengandalkan penambahan tenaga kerja, modal fisik, ataupun tenaga kerja semata. Salah satu
cara yang dapat digunakan oleh negara-negara berkembang untuk mengejar kertinggalan
tersebut adalah dengan menggunakan inovasi. Inovasi adalah kekuatan yang paling penting
untuk mendorong terjadinya perubahan ekonomi (Fransman 1999). Inovasi dapat mendorong
negara berkembang untuk dapat mengejar ketertinggalan dengan negara berkembang karena
inovasi dapat mengungkit kemampuan berproduksi suatu negara tanpa harus menambah jumlah
Untuk dapat melihat hubungan antara kedua hal terbut, diperlukan pemahaman yang
komprehensif mengenai konsep inovasi, dan kesejahteraan. Pemahaman terhadap kedua konsep
tersebut dapat membantu kita untuk dapat mencoba melihat dampak dari terjadinya inovasi
terhadap welfare suatu negara, terutama negara berkembang. Tulisan ini akan mencoba meguraikan secara mendalam mengenai hubungan atara inovasi dengan penciptaan welfare di
negara-negara berkembang.
WELF ARE DI NEGARA BERKEMBANG
Apakah negara maju lebih sejahtera dari negara berkembang? Hal yang kita ketahui bersama,
negara berkembang adalah negra yang diklasifikasikan oleh World Bank berpenghasilan rendah dan menengah. Bila digabungkan, negara yang memiliki penghasilan rendah dan mengengah
(negara berkembang) menghasilkan pendapatan nasional sebesar enam triliun dolar, sementara
negara berpendapatan tinggi (negara maju) menghasilkan pendapatan nasional sebesar 25 triliun
dolar (Ray 2007). Dari fakta tersebut dapat kita lihat bahwa negara maju jauh lebih kaya dari negara berkembang, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “Apakah kekayaan adalah hal yang menentukan kesejahteraan?”. Untuk dapat menjawab pertaan itu maka terlebih dahulu kita harus tahu definisi dari kesejahteraan/welfare.
Pembahasan pada bagian ini akan dimulai dengan melihat definisi dari kesejateraan dari kamus
oxford. Kamus oxford mendefinisikan welfare sebagai: 1 kondisi sejahtera, kebahagiaan; kesehatan dan kemakmuran (dari individu, komunitas, dan lain-lain). 2 prosedur menurut
undang-undang atau usaha sosial yang dirancang untuk mendukung welfare dasar fisik dan materi dari orang-orang yang membutuhkan. Kata welfare menurut sejarah terasosiasi dengan
kebahagiaan dan kemakmuran, dimana pemahaman pertama dari istilah tersebut pertama kali
muncul pada abad ke 20 (Williams 1976).
Secara historis, konsep welfare sangat sulit untuk diuraikan. Hal ini dikarenakan dalam
perkembangannya banyak sekali timbul pemahaman yang berbeda-beda mengenai
kesejahteraan. Perbedaan tersebut timbul karena kosep wellfare mengandung banyak sekali elemen di dalamnya. Menurut Bent Greve (2008), welfare adalah relasi dari dan ide yang
berasal dari berbagai macam disiplin ilmu dan pendekatan, termasuk di dalamnya ekonomi,
Karena sulitnya mendefinisikan welfare secara pasti banyak yang kemudian mereduksi konsep
tersebut ke dalam format yang lebih terukur. Kesejahteraan sering sekali diasosiasikan dengan
kekayaan. Sulit untuk menyangkal pandangan tersebut, karena masyarakat yang hidup di negara
yang kaya pada umumnya memiliki kesejahteraan yang relatif lebih baik dari negara miskin.
Negara kaya memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai macam jenis barang dan jasa
yang memiliki nilaik yang tinggi. Kita juga tahu bahwa negara kaya memiliki cadangan devisa
besar yang mendasari kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam perdangan internasional
dan mendapatkan uang yang lebih banyak dari kegiatan tersebut yang selanjutnya akan
digunakan untuk memproduksi lebih banyak lagi barang dan jasa.
Walaupun kekayaan bukanlah merupakan pendekatan yang sempurna, banyak ahli yang
kemudian bersepakat bahwa kekayaan yang kemudian di ukur dengan menggunakan PDB
adalah merupakan indikator yang baik untuk melihat welfare. Akan tetapi, selain PDB harus juga dilihat beberapa indikator lain seperti kebahagiaan masyarakat, pengeluaran anggaran
publik, angka kemiskinan, dan pemerataan kekayaan. Setelah mengendalikan karakteristik
manyarakat dan negara, kekuatan makroekonomi telah menjadi tanda dan secara statistik kuat
untuk menunjukkan kesejahteraan. GDP mempengaruhi kebahagiaan sebuah negara (Tella,
MacCulloch, & Oswald 2003).
Bent Greve (2008) telah memfomulasikan cara untuk mengukur welfare dengan
mempertimbangkan indikator yang bersifat makro dan mikro. Indikator-indikator yang
digunakan adalah:
Tingkatan Makro: Produk Demestik Bruto (PDB) dan jumlah pengeluaran publik untuk
kebijakan welfare (indikator sumberdaya)
Tingkatan Mikro: Perasaan mengenai kebahagiaan yang bersifat subyektif dan jumlah rakyat
miskin (indokator dari manyasrakat yang baik dan penghindaran terhadap
kemiskinan)
Dari definisi dan indikator di atas dapat kita lihat apa saja yang kemudian menentukan tingkatan
welfare dari sebuah negara. Bila kemudian kita melihat kumpulan indikator makro dan mikro diatas, terdapat kesan bahwa indikator makro tidak memiliki hubungan yang erat dengan
indikator mikro. Esterlin (1974) menemukan bahwa tingkat pendapatan per kapita dalam skala
nasional tidak terlalu mempengaruhi rata-rata tingkat kebahagiaan, setidaknya untuk negara
tersebut senada dengan penelitian Bent Greve (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan
pendapatan tidak kemudian secara otomatis meningkatkan kebahagiaan (Greve 2008).
Peningkatan pendapatan tidak dengan serta merta menaikkan tingkatan kebagiaan dari
seseorang yang artinya pendapatan bukan merupakan pendekatan yang sempurna bagi welfare. Akan tetapi, tidak berarti pendekatan melalui pendapatan tidak dapat mengukur welfare. Data
dari Gallup World Poll dengan sampel 132 negara di tahun 2006 menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan riil perkapita dengan rata-rata tingkat kepuasan hidup. Korelasi
antara kedua variabel tersebut adalah sebesar 0,82.
Figur 1 Life Satisfaction and Real GDP per Capita
Sumber: Gallup World Poll, 2006
Data tersebut memang tidak kemudian dapat membantah pandangan bahwa pendapatan bukan
merupakan alat ukur dari welfare yang sempurna, tetapi setidaknya dapat memberikan masukan bahwa pendapatan memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam mempengaruhi welfare
suatu negara.
Melalui pembahasan dapat disimpulkan bahwa negara maju dapat digolongkan lebih sejahtera
dari pada negara berkembang. Untuk dapat mendapatkan welfare yang menyamai negara maju, negara berkembang harus dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Yang penting
tidak terlalu dipengaruhi oleh anugrah sumber daya alam yang dimiliki, akan tetapi lebih
diperngaruhi oleh besaran investasi yang dialokasikan untuk pembangunan modal fisik dan
modal manusia (Hayami & Godo 2005).
Investasi pada modal fisik dan modal manusia yang baik akan mendorong kemampuan sebuah
perekonomian untuk dapat meningkatkan kemampuannya memproduksi barang dan jasa dengan
lebih baik atau dengan kata lain perekonomian tersebut menjadi lebih produktif. Produktifitas
yang tinggi kemudian akan membantu negara tersebut untuk memiliki daya saing di dunia
internasional. Peningkatan produktifitas dapat diukur bukan hanya dari tingkat efisiensi
penggunaan sumber daya, akan tetapi juga nilai dari produk yang dihasilkan. Cara yang paling
tepat untuk meningkatkan produktifitas adalah dengan berinovasi.
KREATIFITAS, INVENSI DAN INOVASI
Kreatifitas dan invensi berbeda dengan inovasi, akan tetapi merupakan masukan yang penting
dalam proses berinovasi. Sebelum kita menelaah mengenai hibungan antara kreatifitas dan
invensi, telebih dahulu kita hatus tahu apa yang dimaksud dengan dua istilah tersebut. Menurut
kamus oxford kreatifitas adalah penggunaan imajenasi atau ide yang orisinil untuk menciptakan
sesuatu, sedangkan invensi adalah tindakan untuk menciptakan sesuatu yang pada umumnya
merupakan proses atau perangkat.
Bila dilihat dari definisinya dapat terlihat secara jelas perbedaan antara kreatifitas dan inovasi,
akan tetapi secara konsep sering sekali sulit untuk benar-benar membedakan anatara kedua
istilah tersebut karena mereka kerap digunakan secara beriringan. Hal yang kemudian sering
dijadikan pembeda antara kreatifitas dan invensi adalah kreatifitas sering diperlakukan sebagai
proses dan invensi adalah hasilnya. Bila demikian maka kreatifitas dan invensi adalah tahapan
yang berurut untuk menciptakan suatu proses atau peralatan berdasarkan imajenasi atau ide
yang orisinil.
Setelah melihat definisi dan posisi dari kreatifitas serta invensi dalam tulisan ini maka kita
sekarang dapat menggali peranan dari kedua konsep tersebut terhadap inovasi. Terdapat banyak
pendapat menganai definisi dari inovasi. Menurut Rubenstein (1994) inovasi adalah proses
dimana produk, proses, material, dan layanan yang baru dan telah dikembangkan dipindahkan
ke sebuah pabrik dan atau pasar yang telah mampu menampungnya. Seybold (2006)
(2009) menjelaskan inovasi sebagai penggunaan invensi secara komersial. Ketiga pendapat
tersebut memiliki kesamaan dalam melihat inovasi sebagai sesuatu yang harus dapat dipasarkan
atau memiliki fungsi komersial.
Swann (2009) menggambarkan hubungan antara kreatifitas, invensi, dan inovasi sebagai
berikut:
Bagan 1 Mode Linear Sederhana Dari Inovasi
Dengan melalui suatu proses, kreatifitas yang didukung oleh penelitian akan menghasilkan
invensi. Invensi yang dihasilkan tidak dapat kemudian secara serta-merta menjadi inovasi. Kata
kunci dari inovasi adalah bahwa ia harus memiliki nilai secara komersial, sehingga invensi yang
merupakan bahan baku dari inovasi harus kemudian melalui proses pengembangan dan desain
agar kemudian potensi komersial dalam sebuah invensi dapat dieksploitasi maksimal.
Inovasi tidak selalu hadir dalam bentuk produk. Joseph Schumpeter (1962) membagi inovasi ke
dalam 5 tipe, yakni:
1. Pengenalan barang baru.
2. Pengenalan metode produksi baru.
3. Pembukaan pasar yang baru.
4. Pencarian dari sumber bahan baku atau barang setengah jadi.
5. Penciptaan posisi monopoli di pasar atau penghancuran posisi monopoli yang ada.
Inovasi dapat menaikkan daya saing dari perusahaan yang memilikinya. Ketika suatu negara
memiliki banyak perusahaan yang mampu menciptakan inovasi, maka secara global negara
tersebut dapat memiliki kemungkinan lebih besar untuk dapat memiliki daya saing yang baik.
Dengan mengandalkan inovasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka
negara tersebut dapat memiliki pertumbuhan yang relatif besar tanpa harus bergantung hanya
pada akumulasi dari modal fisik ataupun pengeksploitasian sumber daya alam. Inovasi
memungkinkan suatu negara yang tidak memiliki karunia sumber daya alam dan modal kerja
yang tinggi untuk dapat menikmati pertumbuhan yang tinggi. Penelitian dan
Kreativitas Invensi
Desain dan
KAPABILITAS SOSIAL DAN INOVASI
Kemampuan sebuah bangsa untuk berinovasi akan sangat tergantung dengan kapabilitas sosial
mereka. Sulit untuk secara jelas mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kapabilitas sosial.
Abramovitz (1991) membagi kapabilitas sosial ke dalam dua kategori. Pertama, kemampuan
dasar masyarakat secara sosial dan institusi politik. Sedangkan yang kedua adalah kumpulan
karakteristik ekonomi dari msyarakat dan institusi yang memilik kemampuan untuk
mengeksploitasi teknologi moderen secara langsung. Secara khusus, kapabilitas sosial yang
memiliki hubungan dengan proses inovasi adalah kapabilitas sosial untuk industrialisasi.
Suehiro (2007) menyebutkan tiga elemen yang termasuk ke dalam kapabilitas sosial untuk
industrialisasi. Ketiga elemen tersebut adalah pemerintah, perusahaan, dan pekerja. Untuk dapat
mampu menghasilkan inovasi, ketiga elemen ini harus memiliki sekumpulan kapabilitas
tertentu. Tabel 1 akan menunjukkan kapabilitas apa saja yang harus dimiliki oleh masing
masing elemen untuk dapat menunjang proses inovasi.
Ketika semua kriteria dari kapabilitas tersebut dapat dipenuhi maka hal selanjutnya yang harus
dilakukan adalah menyatukan ketiga elemen tersebut untuk dapat menghasilkan inovasi. Aktor
utama yang akan memiliki peranan paling penting dalam proses penyatuan ketiga elemen
tersebut adalah pengusaha. Akan tetapi tidak semua pengusaha dapat melakukan hal tersebut.
Pengusaha yang mampu menyatukan ketiga elemen tersebut untukmembentuk inovasi adalah pengusaha yang memeiliki “entrepreneurial spirit”. Entrepreneurial spirit adalah kemampuan dari orang-orang yang bertanggung jawab atas aktifitas pengambilan keputusan perusahaan
yang membimbing perusahaan untuk dapat melakukan inovasi yang akan secara kreatif
menghancurkan struktur sosial-ekonomi yang ada dan membawa tahapan perkembangan yang
baru (Yonekura Seiichiro 1986).
KAPASITAS INOVASI NASIONAL DAN PERKEMBANGAN EKONOMI
Perusahaan dapat menciptakan daya saing dengan memahami atau menemukan cara yang baru
dan lebih baik dalam berkompetisi di dalam industri dan membawa cara tersebut ke pasar, yang
adalah peranan pokok dari inovasi (Porter 1990). Dengan mampu melakukan inovasi,
perusahaan dapat menciptakan mesin pertimbuhan yang baru sehingga akan dapat mendapatkan
keuntungan di atas rata-rata industri. Semakin banyak jumlah perusahaan yang mampu
berinovasi di dalam suatu akan mengindikasikan bahwa negara tersebut akan memetik manfaat
berupa pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih superior bila dibandingkan dengan negara yang
tidak memiliki perusahaan yang mampu berinovasi. Terdapat hubungan yang positif antara
kemampuan inovasi dari suatu negara dengan PDB yang mereka dapat hasilkan. Banyak
pendapat yang kemudian menaruh posisi inovasi sebagai penyebab utama dari subuah ekonomi
dapat masuk kedalam kelompok ekonomi maju.
Porter dan Stern (2001) telah mencipkan mekanisme untuk menganalisis kapasitas inovasi
nasional dan menggunakannya untuk membentuk innovative capacity index yang memungkinkan proses pengurutan peringkat dari negara-negara dalam hal kemampuan
berinovasi. Dengan menggunakan metode tersebut kemudian mereka membentuk grafik yang
menunjukkan hubungan antara kemampuan inovasi dari suatu negara dan PDB dari negara
Setelah melihat pentingnya inovasi untuk mendukung perbesaran ukuran dari sebuah perekonomian,
pertanyaan yang kemudian harus dijawab adalah “Bagaimana agar suatu negara memiliki kapasitas untuk berinovasi?“. Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, inovasi berawal dari sebuah kreativitas yang kemudian ditindak lajuti oleh proses riset dan pengembangan. Maka hal pertama
yang harus dilakukan adalah menciptakan sistem insentif yang cukup baik sehingga institusi negara,
pendidikan, ataupun perusahaan dalam suatu negara mau melakukan kegiatan riset dan
pengembangan. Kegiatan riset dan pengembangan dalam skala nasional akan kemudian memperbesar
kemungkinan untuk suatu negara dapat menciptakan inovasi. Selain itu, kebijakan-kebijakan
pendukung seperti investasi pada pengembangan modal manusia, sistem hak paten, sarana riset dan
kualitas dari sistem informasi untuk menciptakan hubungan juga sangat krusial dalam proses
penciptaan inovasi.
PERANAN INOVASI DALAM PERKEMBANGAN WELF ARE NEGARA BERKEMBANG Dari penjelasan sebelumnya dapat kita lihat bahwa inovasi memiliki peranan yang besar terhadap
peningkatan kemampuan produksi barang dan layanan di sebuah negara. Kemampuan tersebut
kemudian akan mengantarkan negara tersebut untuk mendapatka GDP yang relatif tinggi, sehingga
kemampuan berinovasi ini sangat penting untuk dimiliki semua negara terutama negara berkembang.
Negara berkembang yang memiliki kemampuan berinovasi akan dapat mempercepat pertumbuhan
perekonomiannya dan mengejar ketertinggalannya dengan negara berkembang.
Banyak keraguan bahwa inovasi hanya dapat dilakukan oleh negara-negara yang memiliki perusahaan
besar dengan modal kerja yang berlimpah untuk melakukan riset dan pengembangan dengan
teknologi canggih. Akan tetapi telah banyak contoh negara berkembang yang mampu menciptakan
inovasi dari segala keterbatasan yang dimilikinya. Dalam menciptakan inovasi, negara berkembang
memiliki keuntungan bila dibandingkan dengan negara maju, yakni negara berkembang dapat
menjadikan inovasi yang telah diciptakan oleh negara maju sebagai modal awal mereka untuk
menciptakan inovasi (the advantage of backwardness).
Dalam bukunya, Suehiro (2007) menggambarkan keberhasilan dari perusahaan di negara berkembang
memanfaatkan teknologi yang telah ditemukan terlebih dahulu oleh negara maju. Gambaran dari
Bagan 2 Proses Penciptaan Inovasi Pada Negara Berkembang
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa proses inovasi dapat dilakukan oleh negara berkembang
dengan melakukan innovative combination untuk kemudian mencocokan teknologi yang telah ditemukan uleh negara maju dengan karakteristik negara tersebut.
Dalam buku tersebut, Suehiro (2007) juga memberikan beberapa contoh negara-negara yang mampu
menciptakan innovative combination dengan menggunakan pola tersebut. Salah satu negara yang
dicontohkan adalah Charoen Pokphand (CP) dari Thailand. Perusahaan tersebut mampu mengadopsi
teknologi yang telah diciptakan oleh Jepang dan negara barat sehingga perusahaan tersebut
memiliki daya saing yang sangat baik. Berkembangnya jumlah dari perusahaan seperti CP disuatu
negara akan mampu mendongkrak daya saing dari negara tersebut secara keseluruhan. Saya saing
yang baik tersebut kemudian akan menghasilkan PDB yang tinggi dan meningkatkan welfare dari
masyarakat negara tersebut.
KESIMPULAN
Inovasi adalah suatu cara untuk sebuah perusahaan memiliki kemampuan untuk bersaing dalam skala
nasional mapupun internasional. Bertambahnya jumlah perusahaan yang mampu berinovasi dalam
suatu negara akan memperbesar kemungkinan negara tersebut untuk menikmati percepatan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi itulah kemudian
inovasi juga akan memberikan peningkatan kualitas kehidupan yang berasal dari manfaat produk dan
layanan yang diproduksi. Selain memiliki manfaat untuk manusia, inovasi juga diharapkan untuk
dapat menimbulkan manfaat bagi lingkungan seperti proses produksi yang lebih bersih dan tak
berlimbah. Manfaat lainnya bagi alam adalah bahwa pertumbuhan ekonomi yang pada umumnya
DAFTAR PUSTAKA
Abramovitz, Moses. 1991. The Elements of Scial Capability.
Easterlin, R. A. 2001a. “Income and Happiness: Towards a unified theory.” Economic Journal Fransman, Martin. 1999. Vision of Innovation: The Firm and Japan. Oxford University Press.
Greve, Bent. 2008. What Is Welfare? Central European Journal of Public Policy
Hayami, Yūjirō dan Gōdo, Yoshihisa. 2005. Development Economics: From he Poverty to The
Wealth of Nations. Oxford University Press.
Mankiw, N. Gregory, Quah, Euston, dan Wilson, Peter. 2008. Principles of Economics: An Asian Edition. Cengage Learning Asia Pte Ltd.
Porter, Michael E.. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press.
Porter,Michael E. dan Stern, Scott. 2001. The Global Competitiveness Report: National Innovative Capacity.
Ray, Debraj. 2007. New Palgrave Dictionary of Economics.
Rubenstein, Albert H. 1994. At The Front End of The R&D/Innovation Process: Idea Development And Entrepreneurship. International Journal of Technology Management.
Scumpeter, Joseph A.. 1962. The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle. Harvard University Press.
Seybold, Patricia. 2006. Outside Innovation How Your Customers Will Co-Design Your Company’s Future. Patricia Seybold Group.
Suehiro, Akira. 2007. Catch-Up Industrialization: The Trijectory and Prospect of East asian Economics. Kyoto University Press.
Swan, G. M. Peter. 2009. The Economics of Innovation: An Introduction. Cornwall: Edward Elgar
Publishing.
Tella, R. Di, MacCulloch, R. J., and Oswald, A. J. 2003. “The macroeconomics of happiness.” The Review of Economics and Statistics.
Williams, R. 1976. Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. Glasgow: Fontana.
http://www.gallup.com/