• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PERESEPAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI-OKTOBER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN PERESEPAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI-OKTOBER"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERESEPAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI RAWAT JALAN PUSKESMAS KEMILING KOTA BANDAR

LAMPUNG PERIODE JANUARI-OKTOBER 2013

Oleh ADVISEDLY

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

ANTIBIOTIC UTILIZATION OF PNEUMONIA IN CHILDREN OF 0-59 MONTH’S OLD IN PUSKESMAS KEMILING BANDAR LAMPUNG

PERIOD JANUARI-OCTOBER 2013

By

ADVISEDLY

Pneumonia is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. Pneumonia can occur throughout the year which is one of the highest cause of death in children and adults The purposes of this study are to determine the characteristics of pneumonia patients at the Puskesmas Kemiling and know the description of the use of antibiotics and the appropriateness of antibiotic by pneumonia patients. This study is a observational descriptive, and data collection was conducted retrospectively by using patient's medical record cards and 184 cases for the patient's pneumonia. The data collected was analysed by observational descriptive statistic method, and then compare with standard of therapy provided by Kemenkes RI. The result of this study showed that all of 184 patients were pneumonia acute respiratory tract infections, contain of 56% boys and 44% girls. The antibiotics used were cotrimoxazol (76.6%) and amoxicillin (23.4%). The major product used in that puskesmas was syrup (88.65%), and tablet that delivered in the form of powder was 11.35%. The suitable treatment for dosage of drugs for pneumonia patients based on the standard pneumonia was 79.72%, kind of antibiotic 100% and the suitability of the length of the treatment based on the standard pneumonia was 81.95%. The conclucions, most of utilization of pneumonia suitably with Kemenkes standard.

(3)

ABSTRAK

KAJIAN PERESEPAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG

PERIODE JANUARI-OKTOBER

Oleh

ADVISEDLY

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Pneumonia merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada anak-anak dan orang dewasa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik pasien pneumonia di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung dan gambaran penggunaan antibiotik serta kesesuaian penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia. Penelitian ini bersifat observasional deskriptif, dan pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan alat kartu rekam medik pasien dan diperoleh 184 kasus untuk pasien pneumonia. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode observasi dibandingkan dengan standar Kemenkes. Hasil penelitian, dari 184 kasus terdapat 56% anak laki-laki dan 44% anak perempuan. Antibiotik yang digunakan yakni dalam bentuk tunggal, yakni kotrimoksazol sebanyak 76.6%, dan amoksisilin sebanyak 23.4%. Sebagian besar 88.65% dalam bentuk sirup dan sisanya 11.35% dalam bentuk serbuk terbagi. Kesesuaian dosis obat dalam resep pneumonia terhadap standar pengobatan pneumonia adalah sebesar 79.72%, jenis antibiotik 100% dan kesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan pneumonia adalah 81.95%. Simpulan, sebagian besar peresepan pneumonia sesuai standar.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Pemikiran ... 7

Kerangka Teori ... 7

Kerangka Konsep ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. ISPA ... 10

B. Pneumonia ... 13

C. Antibiotika ... 25

D. Standar Pengobatan ... 29

(7)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Desain Penelitian ... 39

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39

C. Populasi dan Sampel ... 40

D. Variabel Penelitian ... 41

E. Definisi Operasional ... 42

F. Prosedur Penelitian ... 44

G. Pengumpulan Data ... 44

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 45

I. Aspek Etik Penelitian ... 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Hasil Penelitian ... 46

B. Pembahasan ... 51

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Simpulan ... 60

B. Saran ... 61

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Konsep ... 9

2. Prosedur Penelitian ... 44

3. Diagram Distribusi Peresepan Antibiotika Berdasarkan Jenis

Kelamin ... 46

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi ... .16

2. Pemberian antibiotik oral yang sesuai ... .31

3. Antibiotik pra rujukan ... .32

4. Antibiotik inframuskular untuk kelompok umur 2 bulan-<5 tahun .... .32

5. Bronkhodilator kerja cepat ... .34

6. Bronkhodilator ... .34

7. Pemberian oksigen ... .35

8. Definisi operasional masing-masing variabel ... 42

9. Distribusi frekuensi jenis penggunaan antibiotik untuk pneumonia pada balita ... .48

10.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di Puskesmas ... 48

11.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di Puskesmas Kemiling berdasarkan jenis obat ... 49

12.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di Puskesmas Kemiling berdasarkan dosis obat ... 50

(10)

14.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di

Puskesmas Kemiling berdasarka jenis,dosis dan lama

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

kesehatan utama di Indonesia. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan

dapat melanda semua usia. Pada banyak negara berkembang, lebih dari 50%

kematian pada umur anak balita disebabkan karena infeksi saluran pernafasan

akut pneumonia, yakni infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli).

Salah satu penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak

usia balita adalah pneumonia (WHO, 2010).

Pneumonia adalah penyakit radang pada jaringan parenkim paru. Penyakit ini

merupakan infeksi berat yang sering terjadi pada bayi dan anak. Gejala

penyakit ini berupa napas cepat dan sesak, karena paru meradang secara

mendadak dan terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan

proses infeksi pada bronkus yang biasa disebut bronkopneumonia (Jurnal

(12)

Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk

Pneumonia baik Pneumonia maupun Bronkopneumonia disebut Pneumonia

(Depkes RI, 2002).

Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya

tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti

Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Di Amerika Serikat

misalnya terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun

dengan jumlah angka kematian rata-rata 45.000 orang (Misnadiarly, 2008).

Menurut World Health Organization/WHO (2010) di seluruh dunia terjadi

1,6 sampai 2,2 juta kematian anak balita karena pneumonia setiap tahun,

sebagian besar terjadi di negara berkembang, 70% terdapat di Afrika dan di

Asia Tenggara. Di Negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun hingga

total di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak balita setiap tahun.

Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan insiden pneumonia anak

balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh

dunia lebih dari setengahnya terkonsentrasi di 6 negara, mencakup 44%

populasi anak-balita di dunia. Ke 6 negara tersebut adalah India (43 juta),

China (21 juta), Pakistan (10 juta) dan di Bangladesh, Indonesia serta Nigeria

masing masing 6 juta kasus per tahun (Pedoman Pengendalian Infeksi

Saluran Pernafasan Akut, 2011).

Di Indonesia, angka kematian pneumonia pada balita diperkirakan mencapai

(13)

kematian pneumonia pada bayi 29,8% dan balita 15,5 % ( Riset Kesehatan

dasar,2007). Berdasarkan laporan 26 provinsi kasus pneumonia yang terjadi

pada balita terdapat 3 provinsi dengan cakupan pneumonia tertinggi

berturut-turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 56,50%, Jawa Barat

42,50% dan kepulauan Bangka Belitung sebesar 21,71 % (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung penyakit

pneumonia pada balita naik dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini

menunjukkan kenaikan yang signifikan, pada tahun 2011 jumlah pneumonia

pada balita sebanyak 674 kasus ( 74,8%) dan pada tahun 2012 berjumlah

1588 kasus (91,84%). Jumlah kasus penyakit pneumonia terbanyak di kota

Bandar Lampung sampai bulan Oktober tahun 2013 ini adalah di Puskesmas

Kemiling yaitu sebanyak 235 kasus (Dinkes kota Bandar Lampung, 2013)

Untuk mencapai tujuan program pemberantasan penyakit (P2P) Infeksi

saluran pernafasan akut, Pemerintah telah merumuskan langkah-langkah

yaitu melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia, menemukan

penderita, melaksanakan tatalaksana standar penderita dengan deteksi dini,

pengobatan yang tepat dan segera, serta melaksanakan pengawasan dan

penjagaan kesakitan dan kematian karena pneumonia Penanganan

pengobatan kasus infeksi saluran pernafasan akut merupakan kunci

keberhasilan. Pemberian obat dengan dosis, cara dan waktu yang tepat sangat

(14)

Dalam pengobatan pneumonia diberikan antibiotika, penggunaan antibiotik

yang tidak rasional sangat banyak dijumpai baik di negara maju maupun

berkembang. Dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional

adalah munculnya dan berkembangnya kumam-kuman kebal antibiotik,

perawatan penderita menjadi lebih lama, biaya pengobatan menjadi lebih

mahal, dan akhirnya menurunnya kualitas pelayanan kesehatan

(Khairuddin,2009).

Peresepan sesuai standar merupakan suatu proses yang kompleks dan

dinamis, dimana terkait beberapa komponen mulai pemilihan dan penentuan

dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk

sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label dan kepatuhan

penggunaan obat oleh penderita. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan

memberikan berbagai kerugian. Menurut WHO (2010) sekitar 50 persen

resep yang diberikan tidak sesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut

gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya.

Berdasarkan hal diatas penulis tertarik melakukan penelitian untuk

menggambarkan tentang kajian peresepan antibiotik penyakit pneumonia

pada balita di Puskesmas Kemiling kota Bandar Lampung periode Januari-

(15)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan:

Apakah peresepan antibiotik pada balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar

Lampung berdasarkan jenis, dosis dan lama pengobtan sesuai dengan

tatalaksana standar pengobatan penyakit pneumonia yang dikeluarkan

Kementerian Kesehatan RI ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui kesesuaian peresepan antibiotika penyakit pneumonia pada

balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung dengan tatalaksana

standar pengobatan pneumonia yang dikeluarkan Kemenkes RI.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui kesesuaian pemberian jenis antibiotik penyakit

pneumonia pada pasien balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar

Lampung dengan tatalaksana standar pengobatan pneumonia yang

dikeluarkan oleh Kemenkes RI.

b. Untuk mengetahui kesesuaian pemberian dosis antibiotik penyakit

(16)

Lampung dengan tatalaksana standar pengobatan pneumonia yang

dikeluarkan oleh Kemenkes RI.

c. Untuk mengetahui kesesuaian lama pemberian antibiotik penyakit

pneumonia pada pasien balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar

Lampung dengan tatalaksana standar pengobatan pneumonia yang

dikeluarkan oleh Kemenkes RI.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Sebagai aplikasi dari disiplin keilmuan peneliti sehingga menambahkan

pengetahuan dan informasi bagi peneliti.

2. Bagi klinisi

Memberikan informasi kepada dokter dan praktisi kesehatan, pembuat

kebijakan, serta masyarakat kesehatan dan para peneliti lain mengenai

kerasionalan penggunaan antibiotik.

3. Bagi pemerintah

Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat

kebijakan dalam mengatur pengadaan dan pendistribusian obat serta dalam

melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat golongan

(17)

4. Bagi peneliti lain

Sebagai awal bagi penelitian yang lebih lanjut dan studi mengenai

rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia atau pun pasien

dengan penyakit lain.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Menurut UNICEF/WHO (2006) pneumonia adalah sakit yang terbentuk

dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara

spesifik mempengaruhi paru.

Pengobatan sesuai standar penatalaksanaan pneumonia menurut Kemenkes RI

2010 adalah terapi antibiotik yang diberikan sederhana dan tidak mahal

seperti kortimoksazol atau amoksisilin yang diberikan secara oral. Antibiotik

pilihan pertama yaitu kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2

kali selama 3 hari dan antibiotik pilihan kedua amoksisilin beri 2 kali selama

3 hari. Untuk kotrimoksazol (tablet dewasa 80 mg trimetoprim + 400 mg

sulfametoksazol). Tablet anak (20 mg trimetropim + 80 mg sulfametoksazol),

sirup/ 5ml (40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol). Untuk amoksisilin

(18)

Kriteria penggunaan obat yang rasional menurut WHO meliputi tujuh aspek

yaitu diagnosis yang tepat, indikasi yang tepat, obat yang tepat, dosis,

pemberian, dan lamanya yang tepat,penderita yang tepat,informasi yang

tepat,evaulasi serta tindak lanjut yang tepat (Sastramihardja,2006). Di

Indonesia, salah satu masalah di bidang kesehatan adalah penyakit infeksi,

yang membutuhkan pengobatan dan penanganan secara khusus. Dalam

memberikan atau menuliskan antibiotika, biasanya seorang dokter

memberikan obat secara polifarmasi, sehingga penulisan obat meliputi

pemberian,cara pemakaian, dan waktu pemakaian tidak boleh diabaikan

mengingat kemungkinan terjadinya interaksi obat serta hal hal yang tidak

diingini (Sastramihardja,2006).

Kriteria, dosis, cara dan lama pemberian antibiotika harus

dipertimbangkan dengan baik agar terapi menjadi efektif. Dosis,cara, dan

lama pemberian obat antibiotika disebut rasional bila sesuai dengan

karakteristik obat (Anggana,2008).

Peresepan yang tidak sesuai standar dapat menyebabkan kegagalan terapi

pada pasien (WHO,2010). Peresepan yang baik seharusnya mencantumkan

identitas pembuat resep, tanggal pembuatan resep,jenis dan bentuk obat,

dosis dan jumlah, label, identitas pasien, serta tanda tangan pembuat resep

(de Vries, et al. 2000). Dari resep yang ditulis diatas, akan dibandingkan

resep tersebut dengan standar pengobatan yang dikeluarkan kementerian

(19)

2. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep penelitian (de Vries, et al. 2000; dan Kemenkes RI)

Pasien dengan diagnosis pneumonia

Resep obat di Puskesmas

Pemberian terapi antibiotik

Standar pengobatan menurut KemenkesRI

-Jenis antibiotik -Dosis

-Lama pemberian

-Jenis antibiotik -Dosis

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan

akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rinitis, faringitis,

dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laringitis, bronkitis,

bronkiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas

waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut.

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta

organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah Infeksi akut yang menyerang

salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli

termasuk adneksanya sinus, rongga telinga tengah, pleura (KemenKes RI,

(21)

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :

a. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk,

pilek dan sesak.

b. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39°C

dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu

makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan

dan untuk golongan umur 2 bulan- 5 tahun (Muttaqin, 2008):

a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

1) Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah

atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan

yaitu 6 kali per menit atau lebih.

2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang

dari ½ volume yang biasa diminum)

(22)

c) Kesadaran menurun

d) Stridor

e) Wheezing

f) Demam / dingin.

b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

1) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa

anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

2) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih

3) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :

a) Tidak bisa minum

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

d) Stridor

(23)

B. Pneumonia

1. Definisi

Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru yang biasanya

terjadi pada anak-anak tetapi terjadi lebih sering pada bayi dan awal masa

kanak-kanak dan secara klinis pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit

primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009).

Kemenkes RI (2011) mendefinisikan Pneumonia adalah infeksi akut yang

mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia Balita ditandai dengan

adanya gejala batuk dan atau kesukaran bernapas seperti napas cepat, tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), atau gambaran radiologi foto

thorax menunjukkan infiltrat paru akut. Demam bukan merupakan gejala

yang spesifik pada balita. Dalam penatalaksanaan pengendalian ISPA semua

bentuk pneumonia seperti bronkopneumonia, bronkiolitis disebut

“pneumonia”.

2. Klasifikasi

Beberapa sumber membuat klasifikasi pneumonia berbeda-beda

tergantung sudut pandang. Klasifikasi pneumonia tersebut dibuat

berdasarkan anatomi, etiologi, usia, klinis dan epidemiologi.

Menurut Hockenberry & Wilson (2009) pneumonia dikelompokan

(24)

1. Pneumonia lobaris

Peradangan pada semua atau sebagian besar segmen paru dari satu atau

lebih lobus paru.

2. Bronkopneumonia

Sumbatan yang dimulai dari cabang akhir bronkiolus oleh eksudat

mukopurulen dan berkonsolidasi di lobulus disebut juga pneumonia

lobular.

3. Pneumonia Interstitial

Proses peradangan pada dinding alveolus (interstitial) dan peri bronkial

serta jaringan interlobularis.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan kuman penyebab :

1. Pneumonia bakterial/tipikal

Pneumonia yang dapat terjadi pada semua usia. Beberapa kuman

mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka misalnya

Klebsiela pada penderita alkoholik dan Staphylococcus pada penderita

pasca infeksi influenza.

2. Pneumonia atipikal

Pneumonia yang disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella dan

Chlamydia.

3. Pneumonia Virus

Pneumonia yang disebabkan oleh virus contohnya Respiratory Syntical

(25)

4. Pneumonia Jamur

Pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder, terutama pada

penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised).

Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi :

1. Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau

segmen dan kemungkinan disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus.

misalnya pada aspirasi benda asing atau adanya proses keganasan. Jenis

pneumonia ini jarang terjadi pada bayi dan orang tua dan sering pada

pneumonia bakterial.

2. Bronkopneumonia adanya pneumonia yang ditandai dengan adanya

bercak bercak infiltrat pada lapang paru. Pneumonia jenis ini sering

terjadi pada bayi dan orang tua, disebabkan oleh bakteri maupun virus

dan jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.

3. Pneumonia Interstisial adalah kondisi pernapasan langka yang ditandai

dengan pembentukan membran hialin di paru-paru.

Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita berdasarkan

kelompok usia:

1. Usia anak 2 bulan - <5 tahun :

a. Batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan

tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah.

b. Pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan

(26)

c. Pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada bagian

bawah ke depan.

2. Usia kurang dari 2 bulan

a. Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan tidak

ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat.

b. Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat dan tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi :

Tabel 1.Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi

Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi Jamur

Streptococcus pneumoniae

Mycoplasma pneumoniae

Aspergillus

Haemophillus influenza Legionella

pneumophillia

Histoplasmosis

Klebsiella pneumoniae Coxiella burnetii Candida

Pseudomonas aeruginosa

Chlamydia psittaci Nocardia

Gram-negatif (E. Coli)

Infeksi Virus Infeksi Protozoa Penyebab Lain Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi

Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid

Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis

Sinsitial respiratori Fibrosis kistik

(27)

3. Etiologi

Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh

bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan

protozoa.

a. Bakteri

Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai

usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum

adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia

sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi,

bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang

terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah

dan denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).

b. Virus

Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.

Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial

Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran

pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.

Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan

sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan

virus Influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian

(28)

c. Mikoplasma

Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan

penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai

virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia

yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma

menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja

dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang

tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

d. Protozoa

Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut Pneumonia

pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis carinii

Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi

yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa

minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan

hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan

paru atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).

4. Patofisiologi

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.

Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat

berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat

(29)

permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai

permukaan yaitu inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah,

Inhalasi bahan aerosol, kolonisasi dipermukaan mukosa. Dari keempat cara

tersebut yang terbanyak adalah secara kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada

infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus

terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi

kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari

sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur, lima

puluh persen juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan

pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri

yang tinggi 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1ml)

dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.

(Perhimpunan Ahli Paru, 2003).

Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.

Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama

dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian

tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. Pneumonia terjadi jika

mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen

dapat mencapai saluran napas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang

(30)

sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada

orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan penyebaran hematogen dari

bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua

cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara

hematogen lebih jarang (Perhimpunan Ahli Paru, 2003).

5. Gambaran Klinis

Menurut Perhimpunan Ahli Paru (2003) gambaran klinis pneumonia meliputi :

1. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh

meningkat dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen

kadang kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

2. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi paru. Pada

inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada

palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi

terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin

disertai ronki basah halus yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada

(31)

WHO (2009) menjelaskan gambaran klinis pneumonia dibagi dalam :

1. Pneumonia ringan

Ditandai dengan adanya batuk atau kesulitan bernafas, hanya terdapat

nafas cepat saja. Indikator nafas cepat pada anak umur 2 bulan-11 bulan

adalah ≥ 50 kali/menit dan pada anak umur 1 tahun-5 tahun adalah ≥ 40

kali/menit.

2. Pneumonia berat

Batuk dan atau kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu hal berikut:

1. Kepala terangguk-angguk

2. Pernafasan cuping hidung

3. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

4. Foto dada yang menunjukkan gambaran infiltrat luas konsolidasi

Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut :

a. Nafas cepat

1. Anak umur <2 bulan : ≥60 kali/menit

2. Anak umur 2-11 bulan : ≥50 kali/menit

3. Anak umur 1-5 tahun : ≥40 kali/menit

4. Anak umur >5 tahun : ≥30 kali/menit

b. Suara merintih/grunting pada bayi muda

c. Pada auskultasi terdengar crackles (ronki), suara pernapasan menurun,

suara pernapasan bronkial.

Dalam keadaan sangat berat dapat dijumpai bayi tidak dapat menyusui atau

(32)

sianosis, diare dan distress pernapasan berat. Menurut WHO (2010)

gejala-gejala pneumonia virus dan bakteri hampir serupa namun gejala-gejala pneumonia

virus lebih banyak daripada gejala pneumonia bakteri. Gejala pneumonia

meliputi nafas cepat atau sulit bernapas, batuk, demam, menggigil, kehilangan

nafsu makan, mengi (lebih sering terjadi pada infeksi virus) pada pneumonia

berat ditemukan adanya retraksi dada, tidak dapat makan atau minum, tidak

sadar, hipotermia bahkan bisa terjadi kejang.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Gambaran radiologis

Foto toraks (posterior anterior/lateral) merupakan pemeriksaan

penunjang untuk menegakkan diagnosis. Foto toraks saja tidak dapat

secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan

petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia

lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,

Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau

gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering

menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun

dapat mengenai beberapa lobus.

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya lebih dari 10.000/ul kadang kadang mencapai 30.000/ul, dan

pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi

(33)

diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah

dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas

darah menunjukkan hipoksemia, pada stadium lanjut dapat terjadi

asidosis respiratorik (Hartati, 2011).

7. Penularan

Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara.

Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang

dapat menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus dan bakteri juga dapat

menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang

paru-paru bisa menyebar melalui darah,terutama setelah lahir.

8. Pencegahan

Di Negara-negara berkembang telah mengidentifikasi 6 strategi untuk

mengontrol infeksi saluran pernapasan akut yang dapat mengurangi

morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia pada anak-anak (WHO, 2010).

Adapun 6 strategi yang dimaksud adalah :

1. Pemberian imunisasi. Pencegahan pneumonia dapat dilakukan dengan

pemberian imunisasi campak, Dipteri Pertusis Tetanus (DPT) untuk

menyiapkan balita menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa

dijamin kebersihan udaranya. Selain itu, asupan makanan yang kaya gizi

(34)

2. Memberikan kemoprofilaksis (pelega tenggorokan/pereda batuk) pada

anak dengan infeksi pernapasan akut dan anak dengan mengi

3. Memperbaiki nutrisi.

Untuk mencegah risiko pneumonia pada bayi dan anak-anak yang

disebabkan karena malnutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian

ASI pada bayi sampai dengan umur 2 tahun. Hal ini disebabkan karena

ASI terjamin kebersihannya dan mengandung faktor-faktor antibodi

cairan tubuh sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi

bakteri dan virus. Selain pemberian ASI peningkatan status gizi anak

penderita pneumonia juga perlu perhatian untuk kesembuhan anak

tersebut.

4. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan,

lingkungan berasap rokok dan polusi di luar ruangan.

5. Mengurangi penyebaran kuman dan mencegah penularan langsung

dengan cara menjauhkan anak dari penderita batuk.

6. Memperbaiki cara-cara perawatan anak. Usaha untuk mencari

pertolongan medis, memberikan pendidikan pada ibu tentang cara

perawatan anak yang baik.

9. Pengobatan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian

antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data

(35)

alasan yaitu : penyakit yang berat dapat mengancam jiwa, bakteri patogen

yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. Hasil

pembiakan bakteri memerlukan waktu maka pada penderita pneumonia

dapat diberikan terapi secara empiris. Tindakan suportif meliputi oksigen

dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik.

Bantuan ventilasi yaitu ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas

positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis

mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu

bersihan sputum (Jeremy, 2007).

C. Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,

yang dapat menghambat atau membasmi mikroba lain. Banyak antibiotik

dewasa ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh, Terapi pneumonia

dilandaskan pada dignosis berupa antibiotik untuk mengeradikasi

mikroorganisme yang diduga sebagai kausalnya. Dalam pemakaian

antibiotik harus dipakai pola berpikir tepat yaitu diagnosis tepat, pilihan

antibiotik yang tepat dan dosis yang tepat, dalam jangka waktu yang tepat

dan pengertian patogennesis secara tepat. (Khairuddin, 2009)

Antibiotik yang sering dipakai dalam pengobatan pneumonia adalah:

1. Kotrimoksazol

Kotrimoksazol merupakan kombinasi dari antibiotika trimetropin dan

(36)

obat tersebut yaitu sulfametoksazol menghambat sintesis asam folat

dan pertumbuhan bakteri dengan menghambat susunan asam

dihidrofolat dari asam para-aminobenzen, sedangkan trimetoprim

menghambat terjadinya reduktasi asam dihidrofolat menjadi

tetrahidrofolat yang secara tidak langsung mengakibatkan

penghambatan enzim pada siklus pembentukan asam folat. Kombinasi

tersebut mempunyai aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat

pada dua tahap biosintesa asam nukleat dan protein yang sangat

esensial untuk mikroorganisme. Kotrimoksazol mempunyai spektrum

aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri positif dan

gram-negatif, misalnya Streptococci, Staphylococci, Pneumococci, Neisseria,

Bordetella. Klebsiella, Shigella dan Vibrio cholerae. Kotrimoksazol

juga efektif terhadap bakteri yang resisten terhadap antibakteri lain

seperti H. influenzae, E. coli. P. mirabilis, P. vulgaris dan berbagai

strain Staphylococcus (Dinkes Tasikmalaya).

2. Amoksisillin

Amoksisilin dan ampisilin adalah obat golongan beta-laktam, yaitu

golongan penisilin. Amoksisilin dan ampisilin memiliki mekanisme

kerja yang sama yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan

mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs- protein

binding penisilin’s) sehingga menyebabkan penghambatan pada

tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel

(37)

menjadi pecah/lisis. Amoksisilin dan ampisilin merupakan antibiotika

spektrum luas, yaitu untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh

Streptococci, Pneumococci,Nonpenicillinase-producting staphilocochi,

listeria, Meningococci, turunan Haemophilus Influenzae, Salmonella,

Shigella, Escherichia Coli. Enterobacter, dan Klebsiella (Dinkes

Tasikmalaya).

Eliminasi 80% dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tidak diubah,

sisanya dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang tidak aktif.

Ikatan protein plasma 20%, waktu paruh plasma 1 jam (bayi baru lahir

3,5 jam). Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik

daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin

mencapai kadar dalam darah yang tingginya 2 kali lebih tinggi

daripada yang dicapai oleh ampisilin. Efek samping yang dapat timbul

akibat pemakaian amoksisilin adalah hipersensitivitas, diare, nefritis,

dan neurotoksisitas (Mycek, 2001).

Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila

dibandingkan dengan kloramfenikol (Soedormo,2010). Namun,

ampisilin dan amoksisilin aman diberikan kepada ibu hamil ,menyusui,

(38)

1. Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Antibiotik

Di negara berkembang factor-faktor yang mempengaruhi penggunaan

antibiotik terdiri dari faktor pembuat resep, pembuat obat, dan pasien.

Faktor yang menentukan penggunaan obat oleh pembuat resep dapat

dipengaruhi oleh hal-hal berikut (Febiana,2012) :

a. Tingkat pengetahuan tentang Penggunaan Antibiotik yang Tepat

(PAT) Tingkat pengetahuan merupakan faktor intrinsik dari

pembuat resep, dan merupakan faktor utama yang mempengaruhi

rasionalitas peresepan. Rendahnya tingkat pengetahuan mungkin

disebabkan kurangnya pendidikan tentang penggunaan antibiotik

sehingga dapat terjadi salah diagnosis dan kesulitan untuk

membedakan infeksi bakteri atau viral.

b. Ketersediaan sarana diagnostik dan pemeriksaan penunjang

Tersedianya sarana diagnostik dan pemeriksaan penunjang yang

memadai akan mengarahkan diagnosis dan terapi menjadi lebih

tepat.

c. Permintaan pasien

Keputusan dokter dalam proses peresepan antibiotik dapat

dipengaruhi oleh keinginan pasien untuk memperoleh obat

antibiotik, tetapi pengaruh faktor pasien tidak sebesar faktor dari

pembuat resep.

d. Promosi obat

Seringkali pihak farmasi tertentu memberikan insentif untuk

(39)

tentang obat yang diproduksi sehingga meningkatkan akses pembuat

resep terhadap penggunaan antibiotik tertentu.

e. Ketersediaan obat

Keterbatasan pesediaan obat yang diperlukan dapat mempengaruhi

pembuat resep beralih pada jenis obat lain yang mungkin kurang

tepat jika dibandingkan dengan obat pilihan utama.

f. Tingkat dan frekuensi supervise

Supervisi dapat dilihat berdasarkan tingkat pengawasannya apakah

ketat atau tidak ketat dan frekuensi supervisi pada tiap kasus.

Pengawasan oleh atasan dapat meningkatkan rasionalitas

penggunaan antibiotik atau justru sebaliknya, dapat terjadi

pemberian antibiotik yang kurang atau berlebihan akibat

kekhawatiran pembuat resep.

D. Standar Pengobatan

Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter

berdasarkan temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan.

Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah yang dilandasi

oleh pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan intervensi

pengobatan yang member manfaat maksimal dan resiko sekecil mungkin

bagi pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan pengobatan

(40)

sesuai indikasi, diagnosis, tepat dosis obat, cara dan waktu pemberian,

tersedia setiap saat dan harga terjangkau (Yusmaninita, 2009).

Obat dan dosis antibiotika untuk pneumonia berdasarkan tatalaksana

standar pengobatan pneumonia yang dikeluarkan Kemenkes yaitu, beri

antibiotika oral pilihan pertama kotrimoksazol bila tersedia. Ini dipilih

karena sangat efektif, cara pemberiannya mudah dan murah. Antibiotika

pilihan kedua adalah amoksisilin diberikan hanya apabila obat pilihan

pertama tidak tersedia atau apabila dengan pemberian obat pilihan pertama

tidak memberikan hasil yang baik.

Untuk menentukan dosis antibiotika yang tepat :

1. Lihat kolom yang berisi daftar kandungan obat dan sesuaikan dengan

sediaan tablet atau sirup yang ada di puskesmas.

2. Selanjutnya pilih baris yang sesuai dengan umur atau berat badan anak.

Untuk menentukan dosis yang tepat, memakai berat badan lebih baik

daripada umur.

3. Antibiotika diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian 2 kali per

hari.

4. Jangan memberikan antibiotika bila anak atau bayi memiliki riwayat

anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.

Gunakan jenis antibiotika yang lain kalau tidak mempunyai antibiotika

yang lain maka rujuklah.

Pemberian antibiotik oral yang sesuai pada pneumonia dengan pengobatan

dasar di Puskesmas adalah antibiotika pilihan pertama adalah

(41)

Tabel. 2 Pemberian antibiotik oral yang sesuai Beri 2 kali sehari selama 3 hari

Amoksisilin

Pastikan bahwa sediaan antibiotika yang diberikan cukup untuk tiga hari.

Pengobatan antibiotik tiga hari tidak direkomendasikan di daerah dengan

(42)

Tabel.3 Antibiotik pra rujukan (antibiotik dosis pertama)

Umur Kotrimoksazol Amoksisilin

Tablet

Antibiotika inframuskular untuk kelompok anak umur 2 bulan-<5 tahun.

Untuk anak yang harus segera dirujuk tetapi tidak dapat menelan obat oral

beri dosis pertama ampisilin dan gentamicin intramuskular dan rujuk

segera. Jika rujukan tidak memungkinkan ulangi suntikan ampisilin setiap

12 jam selama 5 hari kemudian ganti dengan antibiotika yang sesuai,

untuk melengkapi 10 hari pengobatan.

Tabel. 4 Antibiotik inframuskular untuk kelompok umur 2 bulan-<5 tahun.

Umur atau Berat Badan

Ampisilin Dosis : 50 mg/kg BB tambahkan 4 ml aquadest

dalam 1 vial 1000 mg sehingga menjadi 1000 mg =

(43)

Bronkhodilator adalah obat yang membantu pernapasan anak dengan jalan

melebarkan saluran udara dan melonggarkan spasme (penyempitan)

bronkus. Sebelum memberikan bronkhodilator carilah apakah ada tanda

distress pernapasan. Tanda distress pernapasan yaitu anak tampak gelisah

karena paru tidak mendapat udara yang cukup dan bisa terjadi

gangguan/kesulitan sewaktu makan dan bicara. Keadaan ini bisa dikenali

dengan mudah. Tetapi sebagian besar anak dengan wheezing tidak disertai

distress. Bila anak mengalami distress pernapasan. Berilah bronkhodilator

kerja cepat (rapid acting) sehingga pernapasan anak sudah membaik

sebelum dirujuk. Jika di Puskesmas tidak tersedia bronkhodilator kerja

cepat, berilah satu dosis bronkhodilator oral. Rujuk segera untuk rawat

inap.

Bila anak tidak mengalami distress pernapasan berikan bronkhodilator oral

(sebaiknya Salbutamol) dengan dosis yang tepat untuk 3 hari dengan

pemberian 3 kali sehari dan ajarkan pada ibu bagaimana cara

pemberiannya. Rujuk segera bila ada TDDK, berilah pengobatan sesuai

dengan tanda-tanda lain yang tampak (misalnya napascepat atau demam),

(44)

Tabel 5. Bronkhodilator kerja cepat

A. Salbutamol Nebulisasi Dosis

5mg/ml 0,5 ml salbutamol + 2,0 ml NaCl

B. Suntikan epinefrin (jika kedua cara tidak tersedia)

Jenis obat : Epinefrin (Adrenalin) subkutan 1: 1000 =

0,1 %

Dosis : 0,01 ml per kg berat badan (dosis maksimum 0,3 ml)

Tabel. 6 Bronkhodilator (salbutamol oral 3 kali sehari selama 3 hari )

Umur dan berat badan Tablet 2 mg Tablet 4 mg

dapat meninggal karena kekurangan oksigen sangat tepat untuk

memberikan oksigen. Pemberian oksigen dapat mempertahankan agar

pasien tetap hidup sehingga daya tahan tubuh dan antibiotik mendapatkan

cukup waktu untuk membunuh kuman penyebab penyakit.

Indikasi pengobatan dengan oksigen:

1. Sianosis sentral (kebiruan pada wajah di sekitar mulut dan hidung)

merupakan gejala klinik yang terpenting sebagai tanda hipoksemia

(kekurangan oksigen dalam darah). Tetapi sianosis muncul lambat

sehingga relatif kurang sensitif.

2. Tidak dapat minum

(45)

4. Frekuensi napas lebih dari 70 kali/menit pada anak 2 bulan-<5 tahun

5. Merintih/grunting pada bayi berumur <2 bulan

6. Kegelisahan (yang membaik dengan pemberian oksigen)

Tabel 7. Pemberian oksigen

Umur Jumlah aliran oksigen liter/menit

< 2 bulan 0,5

>2 bulan 1

E. Peresepan Obat

1. Peresepan Rasional dan Irasional

a. Peresepan obat rasional

Pengobatan rasional merupakan suatu proses yang kompleks dan

dinamis, terkait beberapa komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan

dan penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk

pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan,

pemberian label dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita (Kimin,

2008).

Komponen paling penting dari penggunaan obat secara rasional adalah

pemilihan dan penentuan dosis obat lewat peresepan yang rasional.

Peresepan yang rasional selain akan menambah mutu pelayanan

(46)

disembuhkan lebih cepat dengan resiko yang lebih kecil kepada

penderita melalui obat yang tepat, dosis yang tepat, dan cara pemakaian

yang tepat ( Kimin, 2008).

b. Peresepan Irasional

Penggunaan obat yang tidak rasional pada dasarnya adalah tidak tepat

secara medik, yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis, cara dan

lamanya pemberian, serta tidak tepatnya informasi yang disampaikan

sehubungan dengan pengobatan yang diberikan. Peresepan yang tidak

rasional dapat dikelompokkan dalam 5 bentuk (Sastramihardja, 2006)

1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat

yang lebih mahal padahal ada alternatif yang lebih murah dengan

manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk di sini adalah

peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simtomatik

sampai mengurangi alokasi obat-obat yang lebih vital.

2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis

obat,lama pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi

ketentuan. Juga peresepan dengan obat-obat yang sebenarnya tidak

diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk ketidakrasionalan ini.

3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian

obat untuk indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya

keliru, pemberian obat ke pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa

(47)

4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua

atau lebih kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya

diberikan obat tunggal saja.

5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang

diperlukan tidak diresepkan, dosis tidak cukup atau lama

pemberian terlalu pendek.

2 Peresepan Obat Sesuai Standar

a. Peresepan Obat

Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau

dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk

sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita. Resep harus

mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus

diberikan. Idealnya resep obat yang diberikan kepada pasien tidak

mengandung kesalahan dan berisi seluruh komponen yang diperlukan

pasien. (Ambrawati, 2009).

Resep ditinjau dari S.K. Memkes RI, no. 280/Menkes/SK/V/1981

dalam waktu lebih dari jangka waktu 3 tahun, resep dapat dimusnahkan

oleh apoteker dengan membuat berita acara (proses herbal)

pemusnahan. Penyimpanan resep diatur berdasarkan tanggal dan nomor

(48)

b. Peresepan obat sesuai standar

Peresepan obat sesuai standar merupakan peresepan obat yang rasional

peresepan obat sesuai standar adalah mengeluarkan resep obat sesuai

standar yang digunakan. Peresepan obat sesuai standar (rasional) adalah

peresepan obat yang benar, jelas dan sesuai dengan kebutuhan pasien

yang mempertimbangkan jenis obat yang diberikan, dosis, lama

pemberian, dan harga yang terjangkau untuk masyarakat (WHO, 2010).

Peresepan obat yang tidak sesuai standar akan menyebabkan banyak

dampak buruk bagi masyarakat. Lebih dari 50% obat-obat yang

diresepkan sering tidak tepat dan lebih dari setengah pasien gagal

mendapatkan pengobatan yang tepat. Ciri-ciri peresepan yang tidak

rasional adalah peresepan boros/extravagant, peresep berlebihan/over

prescribing, peresepan majemuk/ multiple prescribing, peresepan salah/

incorrect prescribing (Holloway dan Green, 2003).

Peresepan obat yang tidak tepat akan menghasilkan pengobatan yang

tidak tepat. Hal ini dapat menyebabkan dampak seperti terjadinya

resistensi antimikroba, terjadinya efek yang tidak diinginkan,

pengeluaran pembiayaan yang terlalu besar dan kekambuhan berulang

(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif yang bersifat

retrospektif, dengan menggunakan data sekunder yang di ambil dari data

rekam medik di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung periode

Januari-Oktober 2013.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-November 2013.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung

(50)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lembar rekam medik dan

lembar peresepan yang memuat data peresepan obat penyakit pneumonia

pada balita di Rawat Jalan Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung

periode Januari-Oktober 2013 dengan jumlah 184 rekam medik.

2. Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh lembar rekam

medik dan lembar peresepan yang memuat data peresepan obat penyakit

pneumonia pada balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung

periode Januari-Oktober 2013. Besar sampel ditentukan dengan metode

total sampling yaitu sebanyak 184 rekam medik.

Kriteria inklusi :

1. Semua lembar rekam medik yang memuat data peresepan obat

penyakit pneumonia pada balita bulan di rawat jalan Puskesmas

Kemiling yang masuk pada periode Januari- Oktober 2013.

2. Semua lembar rekam medik yang dapat dibaca dan jelas dengan nama

pasien dan diagnosis penyakit pneumonia pada balita umur 0-59 di

(51)

3. Semua rekam medik yang dalam keadaan baik, tidak cacat (robek,

basah).

Kriteria eksklusi :

1. Rekam medik penyakit pneumonia di luar periode yang telah

ditentukan.

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu peresepan

obat penyakit pneumonia pada balita. Variabel penelitian ini memiliki sub

(52)

E. Definisi Operasional

Tabel 8 Definisi operasional masing-masing variabel

No Variabel Alat ukur Cara

Observasi Sesuai jika jenis, dosis dan

Ordinal Catatan medis yang

Observasi Sesuai jika sama dengan

Ordinal Macam obat untuk penyakit

Observasi Sesuai jika sama dengan

(53)

Kemenkes RI

Observasi Sesuai jika sama dengan

(54)

F. Prosedur Penelitian

Gambar 2. Prosedur Penelitian

G. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan data sekunder.

Data diperoleh dari pencatatan lembar rekam medik dan lembar peresepan

yang memuat data peresepan obat penyakit pneumonia pada balita di rawat

jalan Puskesmas Kemiling kota Bandar Lampung dari bulan Januari

sampai Oktober 2013 dengan menggunakan lembar kerja. Mendapatkan

perizinan dari kampus

Survei Pendahuluan

Seminar Proposal

Penelitian Hasil Penelitian

Pengolahan data

(55)

H. Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang telah diperoleh dari penelitian dikumpulkan, kemudian

dilakukan deskripsi terhadap data-data tersebut dengan cara

membandingkan data analisis dengan standar terapi yang digunakan lalu

disusun dan dikelompokkan. Hasil penelitian akan disajikan dan

dijabarkan dalam bentuk tabel. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara

induksi yaitu dengan menarik kesimpulan umum berdasarkan penelitian

yang telah dilakukan di awal.

I. Aspek Etik Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kemiling dengan periode penelitian

Januari-Oktober 2013. Pada penelitian ini menggunakan data sekunder

berupa rekam medik dan peresepan obat. Resep didapatkan dari bagian

pengelola obat Puskesmas Kemiling melalui izin untuk melakukan

penelitian yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung

melalui nomor surat 440/272.09.2013. Data yang berasal dari resep akan

dikelola dengan menggunakan lembar kerja penelitian. Penelitian ini telah

mendapat keterangan Lolos Kaji Etik dari Komisi Penelitian Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada tanggal 13 Januari 2014

(56)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian di Puskesmas Kemiling kota Bandar Lampung periode

Januari-Oktober 2013 terhadap 184 data peresepan penyakit pneumonia, dapat

disimpulkan bahwa :

1. Kesesuaian pemberian jenis antibiotika di Puskesmas Kemiling kota

Bandar Lampung terhadap standar pengobatan pneumonia adalah

sebanyak 100% yaitu kotrimoksazol dan amoksisilin.

2. Kesesuaian pemberian dosis antibiotika penyakit pneumonia di Puskesmas

Kemiling dengan standar pengobatan penyakit pneumonia adalah sebesar

86,7% yaitu dengan rincian kotrimoksazol sebesar 94,34% dan amoksisilin

sebesar 79,1%.

3. Kesesuaian pemberian lama pemberian antibiotika penyakit pneumonia di

Puskesmas Kemiling dengan standar pengobatan penyakit pneumonia

adalah sebesar 81,95% yaitu dengan rincian kotrimoksazol 96,5% dan

(57)

4. Kesesuaian peresepan dengan standar pengobatan dilihat dari jenis obat,

dosis dan lama pemberian obat bahwa peresepan obat sesuai dengan

standar adalah 91,4 untuk kotrimoksazol dan 32,55% untuk amoksisilin.

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Bagi Peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang

telah didapat dari penelitian ini di masa yang akan datang.

2. Bagi penulis resep, agar lebih memperhatikan dan menerapkan peresepan

antibiotika yang baik dan benar dan diharapkan tenaga kesehatan yang

bekerja di Puskesmas Kemiling agar tetap meningkatkan ilmunya dan

mengikuti perkembangan pengobatan yang terbaru serta tetap mengikuti

pelatihan pelatihan yang diadakan instansi kesehatan.

3. Bagi peneliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian lain yang

berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan

ketidakrasionalan peresepan antibiotik dengan lebih memperhatikan atau

menggali data, baik data identitas dokter ataupun informasi mengenai

pasien yang melakukan kunjungan ulang, supaya hasil penelitian yang

didapatkan lebih akurat.

4. Bagi Dinas Kesehatan Kota agar dapat meningkatkan kegiatan supervisi

maupun evaulasi setiap penggunaan obat di puskesmas secara

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati S. 2009. Survei Kesalahan dalam Penulisan Resep dan Alur Pelayanannya di 4 Apotek Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo (Skripsi). Semarang : Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Darmansjah I. 2008. Harga Obat Generik Baru Masih Tetap Tinggi. Jakarta: Bisnis Indonesia

Departemen Kesehatan RI. 2002. Evaluasi program Kesehatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta : Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI.2008. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Manajemen terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Depkes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Depkes RI.

De Vries,T.P.G.M., R.H. Henning, H.V.Hogerzeil, D.A.Fresle. 1994 reprinted 2000. Guide to Good Prescribing: A Practical Manual. Geneva : WHO.

(59)

Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Kotrimoksazol. Diakses dari http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/299

kotrimoksazol.html pada tanggal 21 Oktober 2013

Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Amoksisilin. Diakses dari

http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/211-amoksisilin.html pada tanggal 21 Oktober 2013.

Dipiro, J.T.,et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition.The Mc. Graw Hill Company. USA. Page : 1891-1939.

Febiana T. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. [Skripsi]. Semarang: FK Undip

Gunawan S. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.

Hapsari, I. 2004. ISPA Penyebabkematian tertinggi. Cempaka. 23-29 Desember 2004. Hal 13.

Hariadi, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu penyakit paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Hartati S. 2011. Analisis Faktor resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan UI: Jakarta.

Hockenberry,M.J., Wilson D. 2009. Wong’s Essentials of Pediatric Nursing (7th edition. St.Louis Missouri Elsevier Mosby.

Holloway, K., T. Green. 2003. Drug and Therapeutics Committees: A Practical Guide. Diakses dari: http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s4882e.pdf pada 11 Oktober 213.

Jeremy P. 2007. At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-77.

Jurnal Kesehatan Mayarakat. 2013. Volume 2, Nomor 2, April 2013. Diakses dari : http://ejournals.undip.ac.id/index.php/jkm

Kartasasmita B. 2010. Pneumonia pada Balita .Jakarta.

Kemenkes RI. 2010. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI 2010.

(60)

Martin Weber, 2010 Action Against Pneumonia in Children of a Global Action Plan (GAPP). Aksi Global Melawan Pneumonia pada Anak. Jakarta.

Misnadirly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 55-58.

Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 98-105.

Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nugroho, Agus Hendro. 2012 Farmakologi Obat Obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pagliaro, A.Louise & Ann, Marie.P. 1995. Problems in Pediatric Drug Therapy. (Ed ke-3). USA : Production press,Inc.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoam Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia . Jakarta.

Prober C. 2000. Pneumonia pada Neonatus. Diterjemahkan oleh Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta:EGC.

Pusat Informasi Penyakit Infeksi Pneumonia, Sumber: www.infeksi.com / diakses tanggal 14 Oktober 2013.

Said M. 2010. Pengendalian Pneumonia Anak Balita dalam Rangka Pencapaian ,MDG 4. Jakarta.

Sastramihardja H. 2006. Buku Pedoman Kuliah Farmakologi klinik jilid 1. Edisi 2. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bnadung. Hlm:150.

Setyaningsih, E., 2001, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Angka Kejadian Pneumonia pada Balita Pengunjung Puskesmas Klampok Kabupaten Banjarnegara Tahun 2001. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.

Soedarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri dan Tropis. Jakarta : IDAI.

(61)

Tjay, T.H. & Rahardja, K. 2007. Obat- Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

WHO 2008. Manajemen terpadu balita sakit. Jakarta : Depkes RI.

WHO 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang (Widjaja, A.c Penterjemah). Jakarta : EGC

WHO 2010 Pneumonia, Sumber : http://www.who.int/mediacentre/, diakses tanggal 23 September 2013.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konsep penelitian (de Vries, et al. 2000; dan Kemenkes RI)
Tabel 1.Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi
Tabel. 4 Antibiotik inframuskular untuk kelompok umur 2 bulan-<5 tahun.
Tabel 5. Bronkhodilator kerja cepat
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis pengaruh bauran pemasaran jasa yang terdiri dari. produk, harga, promosi, tempat, proses, bukti fisik dan

Ketika firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 24 diturunkan (Katakanlah, 'jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan

Tahun 2003, dianggarkan sebesar Rp. Secara keseluruhan, uraian data di atas memberikan informasi bahwa kontribusi terbesar dari masing-masing komponen pendapatan

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GERAK DASAR LEMPAR. TANGKAP MELALUI

Sejumlah 46 pembolehubah perkhidmatan dan alam sekitar yang berkaitan telah dinilai dengan menggunakan kaedah analisis faktor dengan model Service Quality

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang sangat baik sebagai katalisator dalam pembentukan hemoglobin di dalam tubuh. Contoh bahan makanan sumber protein

Karena pesan tersebut akan dikirim terlebih dahulu ke SMSC, maka pesan yang berupa teks tersebut akan diubah formatnya menjadi format PDU oleh handphone pengirim

Bapinta, adalah pertemuan keluarga besar keluarga mempelai lakilaki dan mempelai perempuan yang dilaksanakan oleh pemuka adat dayak tomun untuk menayakan apakah perjanjian waktu