KAJIAN PERESEPAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI RAWAT JALAN PUSKESMAS KEMILING KOTA BANDAR
LAMPUNG PERIODE JANUARI-OKTOBER 2013
Oleh ADVISEDLY
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
ANTIBIOTIC UTILIZATION OF PNEUMONIA IN CHILDREN OF 0-59 MONTH’S OLD IN PUSKESMAS KEMILING BANDAR LAMPUNG
PERIOD JANUARI-OCTOBER 2013
By
ADVISEDLY
Pneumonia is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. Pneumonia can occur throughout the year which is one of the highest cause of death in children and adults The purposes of this study are to determine the characteristics of pneumonia patients at the Puskesmas Kemiling and know the description of the use of antibiotics and the appropriateness of antibiotic by pneumonia patients. This study is a observational descriptive, and data collection was conducted retrospectively by using patient's medical record cards and 184 cases for the patient's pneumonia. The data collected was analysed by observational descriptive statistic method, and then compare with standard of therapy provided by Kemenkes RI. The result of this study showed that all of 184 patients were pneumonia acute respiratory tract infections, contain of 56% boys and 44% girls. The antibiotics used were cotrimoxazol (76.6%) and amoxicillin (23.4%). The major product used in that puskesmas was syrup (88.65%), and tablet that delivered in the form of powder was 11.35%. The suitable treatment for dosage of drugs for pneumonia patients based on the standard pneumonia was 79.72%, kind of antibiotic 100% and the suitability of the length of the treatment based on the standard pneumonia was 81.95%. The conclucions, most of utilization of pneumonia suitably with Kemenkes standard.
ABSTRAK
KAJIAN PERESEPAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG
PERIODE JANUARI-OKTOBER
Oleh
ADVISEDLY
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Pneumonia merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada anak-anak dan orang dewasa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik pasien pneumonia di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung dan gambaran penggunaan antibiotik serta kesesuaian penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia. Penelitian ini bersifat observasional deskriptif, dan pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan alat kartu rekam medik pasien dan diperoleh 184 kasus untuk pasien pneumonia. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode observasi dibandingkan dengan standar Kemenkes. Hasil penelitian, dari 184 kasus terdapat 56% anak laki-laki dan 44% anak perempuan. Antibiotik yang digunakan yakni dalam bentuk tunggal, yakni kotrimoksazol sebanyak 76.6%, dan amoksisilin sebanyak 23.4%. Sebagian besar 88.65% dalam bentuk sirup dan sisanya 11.35% dalam bentuk serbuk terbagi. Kesesuaian dosis obat dalam resep pneumonia terhadap standar pengobatan pneumonia adalah sebesar 79.72%, jenis antibiotik 100% dan kesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan pneumonia adalah 81.95%. Simpulan, sebagian besar peresepan pneumonia sesuai standar.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Kerangka Pemikiran ... 7
Kerangka Teori ... 7
Kerangka Konsep ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. ISPA ... 10
B. Pneumonia ... 13
C. Antibiotika ... 25
D. Standar Pengobatan ... 29
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39
A. Desain Penelitian ... 39
B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39
C. Populasi dan Sampel ... 40
D. Variabel Penelitian ... 41
E. Definisi Operasional ... 42
F. Prosedur Penelitian ... 44
G. Pengumpulan Data ... 44
H. Pengolahan dan Analisis Data ... 45
I. Aspek Etik Penelitian ... 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
A. Hasil Penelitian ... 46
B. Pembahasan ... 51
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 60
A. Simpulan ... 60
B. Saran ... 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Konsep ... 9
2. Prosedur Penelitian ... 44
3. Diagram Distribusi Peresepan Antibiotika Berdasarkan Jenis
Kelamin ... 46
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi ... .16
2. Pemberian antibiotik oral yang sesuai ... .31
3. Antibiotik pra rujukan ... .32
4. Antibiotik inframuskular untuk kelompok umur 2 bulan-<5 tahun .... .32
5. Bronkhodilator kerja cepat ... .34
6. Bronkhodilator ... .34
7. Pemberian oksigen ... .35
8. Definisi operasional masing-masing variabel ... 42
9. Distribusi frekuensi jenis penggunaan antibiotik untuk pneumonia pada balita ... .48
10.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di Puskesmas ... 48
11.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di Puskesmas Kemiling berdasarkan jenis obat ... 49
12.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di Puskesmas Kemiling berdasarkan dosis obat ... 50
14.Distribusi bentuk sediaan antibiotik untuk pneumonia di
Puskesmas Kemiling berdasarka jenis,dosis dan lama
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah
kesehatan utama di Indonesia. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan
dapat melanda semua usia. Pada banyak negara berkembang, lebih dari 50%
kematian pada umur anak balita disebabkan karena infeksi saluran pernafasan
akut pneumonia, yakni infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli).
Salah satu penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak
usia balita adalah pneumonia (WHO, 2010).
Pneumonia adalah penyakit radang pada jaringan parenkim paru. Penyakit ini
merupakan infeksi berat yang sering terjadi pada bayi dan anak. Gejala
penyakit ini berupa napas cepat dan sesak, karena paru meradang secara
mendadak dan terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
proses infeksi pada bronkus yang biasa disebut bronkopneumonia (Jurnal
Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk
Pneumonia baik Pneumonia maupun Bronkopneumonia disebut Pneumonia
(Depkes RI, 2002).
Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya
tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti
Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Di Amerika Serikat
misalnya terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun
dengan jumlah angka kematian rata-rata 45.000 orang (Misnadiarly, 2008).
Menurut World Health Organization/WHO (2010) di seluruh dunia terjadi
1,6 sampai 2,2 juta kematian anak balita karena pneumonia setiap tahun,
sebagian besar terjadi di negara berkembang, 70% terdapat di Afrika dan di
Asia Tenggara. Di Negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun hingga
total di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak balita setiap tahun.
Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan insiden pneumonia anak
balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh
dunia lebih dari setengahnya terkonsentrasi di 6 negara, mencakup 44%
populasi anak-balita di dunia. Ke 6 negara tersebut adalah India (43 juta),
China (21 juta), Pakistan (10 juta) dan di Bangladesh, Indonesia serta Nigeria
masing masing 6 juta kasus per tahun (Pedoman Pengendalian Infeksi
Saluran Pernafasan Akut, 2011).
Di Indonesia, angka kematian pneumonia pada balita diperkirakan mencapai
kematian pneumonia pada bayi 29,8% dan balita 15,5 % ( Riset Kesehatan
dasar,2007). Berdasarkan laporan 26 provinsi kasus pneumonia yang terjadi
pada balita terdapat 3 provinsi dengan cakupan pneumonia tertinggi
berturut-turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 56,50%, Jawa Barat
42,50% dan kepulauan Bangka Belitung sebesar 21,71 % (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung penyakit
pneumonia pada balita naik dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini
menunjukkan kenaikan yang signifikan, pada tahun 2011 jumlah pneumonia
pada balita sebanyak 674 kasus ( 74,8%) dan pada tahun 2012 berjumlah
1588 kasus (91,84%). Jumlah kasus penyakit pneumonia terbanyak di kota
Bandar Lampung sampai bulan Oktober tahun 2013 ini adalah di Puskesmas
Kemiling yaitu sebanyak 235 kasus (Dinkes kota Bandar Lampung, 2013)
Untuk mencapai tujuan program pemberantasan penyakit (P2P) Infeksi
saluran pernafasan akut, Pemerintah telah merumuskan langkah-langkah
yaitu melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia, menemukan
penderita, melaksanakan tatalaksana standar penderita dengan deteksi dini,
pengobatan yang tepat dan segera, serta melaksanakan pengawasan dan
penjagaan kesakitan dan kematian karena pneumonia Penanganan
pengobatan kasus infeksi saluran pernafasan akut merupakan kunci
keberhasilan. Pemberian obat dengan dosis, cara dan waktu yang tepat sangat
Dalam pengobatan pneumonia diberikan antibiotika, penggunaan antibiotik
yang tidak rasional sangat banyak dijumpai baik di negara maju maupun
berkembang. Dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional
adalah munculnya dan berkembangnya kumam-kuman kebal antibiotik,
perawatan penderita menjadi lebih lama, biaya pengobatan menjadi lebih
mahal, dan akhirnya menurunnya kualitas pelayanan kesehatan
(Khairuddin,2009).
Peresepan sesuai standar merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, dimana terkait beberapa komponen mulai pemilihan dan penentuan
dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk
sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label dan kepatuhan
penggunaan obat oleh penderita. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan
memberikan berbagai kerugian. Menurut WHO (2010) sekitar 50 persen
resep yang diberikan tidak sesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut
gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya.
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik melakukan penelitian untuk
menggambarkan tentang kajian peresepan antibiotik penyakit pneumonia
pada balita di Puskesmas Kemiling kota Bandar Lampung periode Januari-
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan:
Apakah peresepan antibiotik pada balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar
Lampung berdasarkan jenis, dosis dan lama pengobtan sesuai dengan
tatalaksana standar pengobatan penyakit pneumonia yang dikeluarkan
Kementerian Kesehatan RI ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui kesesuaian peresepan antibiotika penyakit pneumonia pada
balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung dengan tatalaksana
standar pengobatan pneumonia yang dikeluarkan Kemenkes RI.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kesesuaian pemberian jenis antibiotik penyakit
pneumonia pada pasien balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar
Lampung dengan tatalaksana standar pengobatan pneumonia yang
dikeluarkan oleh Kemenkes RI.
b. Untuk mengetahui kesesuaian pemberian dosis antibiotik penyakit
Lampung dengan tatalaksana standar pengobatan pneumonia yang
dikeluarkan oleh Kemenkes RI.
c. Untuk mengetahui kesesuaian lama pemberian antibiotik penyakit
pneumonia pada pasien balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar
Lampung dengan tatalaksana standar pengobatan pneumonia yang
dikeluarkan oleh Kemenkes RI.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Sebagai aplikasi dari disiplin keilmuan peneliti sehingga menambahkan
pengetahuan dan informasi bagi peneliti.
2. Bagi klinisi
Memberikan informasi kepada dokter dan praktisi kesehatan, pembuat
kebijakan, serta masyarakat kesehatan dan para peneliti lain mengenai
kerasionalan penggunaan antibiotik.
3. Bagi pemerintah
Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat
kebijakan dalam mengatur pengadaan dan pendistribusian obat serta dalam
melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat golongan
4. Bagi peneliti lain
Sebagai awal bagi penelitian yang lebih lanjut dan studi mengenai
rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia atau pun pasien
dengan penyakit lain.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teori
Menurut UNICEF/WHO (2006) pneumonia adalah sakit yang terbentuk
dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara
spesifik mempengaruhi paru.
Pengobatan sesuai standar penatalaksanaan pneumonia menurut Kemenkes RI
2010 adalah terapi antibiotik yang diberikan sederhana dan tidak mahal
seperti kortimoksazol atau amoksisilin yang diberikan secara oral. Antibiotik
pilihan pertama yaitu kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2
kali selama 3 hari dan antibiotik pilihan kedua amoksisilin beri 2 kali selama
3 hari. Untuk kotrimoksazol (tablet dewasa 80 mg trimetoprim + 400 mg
sulfametoksazol). Tablet anak (20 mg trimetropim + 80 mg sulfametoksazol),
sirup/ 5ml (40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol). Untuk amoksisilin
Kriteria penggunaan obat yang rasional menurut WHO meliputi tujuh aspek
yaitu diagnosis yang tepat, indikasi yang tepat, obat yang tepat, dosis,
pemberian, dan lamanya yang tepat,penderita yang tepat,informasi yang
tepat,evaulasi serta tindak lanjut yang tepat (Sastramihardja,2006). Di
Indonesia, salah satu masalah di bidang kesehatan adalah penyakit infeksi,
yang membutuhkan pengobatan dan penanganan secara khusus. Dalam
memberikan atau menuliskan antibiotika, biasanya seorang dokter
memberikan obat secara polifarmasi, sehingga penulisan obat meliputi
pemberian,cara pemakaian, dan waktu pemakaian tidak boleh diabaikan
mengingat kemungkinan terjadinya interaksi obat serta hal hal yang tidak
diingini (Sastramihardja,2006).
Kriteria, dosis, cara dan lama pemberian antibiotika harus
dipertimbangkan dengan baik agar terapi menjadi efektif. Dosis,cara, dan
lama pemberian obat antibiotika disebut rasional bila sesuai dengan
karakteristik obat (Anggana,2008).
Peresepan yang tidak sesuai standar dapat menyebabkan kegagalan terapi
pada pasien (WHO,2010). Peresepan yang baik seharusnya mencantumkan
identitas pembuat resep, tanggal pembuatan resep,jenis dan bentuk obat,
dosis dan jumlah, label, identitas pasien, serta tanda tangan pembuat resep
(de Vries, et al. 2000). Dari resep yang ditulis diatas, akan dibandingkan
resep tersebut dengan standar pengobatan yang dikeluarkan kementerian
2. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep penelitian (de Vries, et al. 2000; dan Kemenkes RI)
Pasien dengan diagnosis pneumonia
Resep obat di Puskesmas
Pemberian terapi antibiotik
Standar pengobatan menurut KemenkesRI
-Jenis antibiotik -Dosis
-Lama pemberian
-Jenis antibiotik -Dosis
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan
akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rinitis, faringitis,
dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laringitis, bronkitis,
bronkiolitis dan pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas
waktu 14 hari diambil untuk menentukan batas akut dari penyakit tersebut.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta
organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah Infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli
termasuk adneksanya sinus, rongga telinga tengah, pleura (KemenKes RI,
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. ISPA ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk,
pilek dan sesak.
b. ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39°C
dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu
makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan
dan untuk golongan umur 2 bulan- 5 tahun (Muttaqin, 2008):
a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan
1) Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah
atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
yaitu 6 kali per menit atau lebih.
2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang
dari ½ volume yang biasa diminum)
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Wheezing
f) Demam / dingin.
b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa
anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :
a) Tidak bisa minum
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
B. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru yang biasanya
terjadi pada anak-anak tetapi terjadi lebih sering pada bayi dan awal masa
kanak-kanak dan secara klinis pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit
primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009).
Kemenkes RI (2011) mendefinisikan Pneumonia adalah infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia Balita ditandai dengan
adanya gejala batuk dan atau kesukaran bernapas seperti napas cepat, tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), atau gambaran radiologi foto
thorax menunjukkan infiltrat paru akut. Demam bukan merupakan gejala
yang spesifik pada balita. Dalam penatalaksanaan pengendalian ISPA semua
bentuk pneumonia seperti bronkopneumonia, bronkiolitis disebut
“pneumonia”.
2. Klasifikasi
Beberapa sumber membuat klasifikasi pneumonia berbeda-beda
tergantung sudut pandang. Klasifikasi pneumonia tersebut dibuat
berdasarkan anatomi, etiologi, usia, klinis dan epidemiologi.
Menurut Hockenberry & Wilson (2009) pneumonia dikelompokan
1. Pneumonia lobaris
Peradangan pada semua atau sebagian besar segmen paru dari satu atau
lebih lobus paru.
2. Bronkopneumonia
Sumbatan yang dimulai dari cabang akhir bronkiolus oleh eksudat
mukopurulen dan berkonsolidasi di lobulus disebut juga pneumonia
lobular.
3. Pneumonia Interstitial
Proses peradangan pada dinding alveolus (interstitial) dan peri bronkial
serta jaringan interlobularis.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan kuman penyebab :
1. Pneumonia bakterial/tipikal
Pneumonia yang dapat terjadi pada semua usia. Beberapa kuman
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka misalnya
Klebsiela pada penderita alkoholik dan Staphylococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.
2. Pneumonia atipikal
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia.
3. Pneumonia Virus
Pneumonia yang disebabkan oleh virus contohnya Respiratory Syntical
4. Pneumonia Jamur
Pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder, terutama pada
penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised).
Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi :
1. Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau
segmen dan kemungkinan disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus.
misalnya pada aspirasi benda asing atau adanya proses keganasan. Jenis
pneumonia ini jarang terjadi pada bayi dan orang tua dan sering pada
pneumonia bakterial.
2. Bronkopneumonia adanya pneumonia yang ditandai dengan adanya
bercak bercak infiltrat pada lapang paru. Pneumonia jenis ini sering
terjadi pada bayi dan orang tua, disebabkan oleh bakteri maupun virus
dan jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
3. Pneumonia Interstisial adalah kondisi pernapasan langka yang ditandai
dengan pembentukan membran hialin di paru-paru.
Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita berdasarkan
kelompok usia:
1. Usia anak 2 bulan - <5 tahun :
a. Batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan
c. Pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke depan.
2. Usia kurang dari 2 bulan
a. Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan tidak
ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat.
b. Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat.
Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi :
Tabel 1.Klasifikasi pneumonia berdasarkan etiologi
Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi Jamur
Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Aspergillus
Haemophillus influenza Legionella
pneumophillia
Histoplasmosis
Klebsiella pneumoniae Coxiella burnetii Candida
Pseudomonas aeruginosa
Chlamydia psittaci Nocardia
Gram-negatif (E. Coli)
Infeksi Virus Infeksi Protozoa Penyebab Lain Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi
Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid
Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis
Sinsitial respiratori Fibrosis kistik
3. Etiologi
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh
bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan
protozoa.
a. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai
usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia
sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi,
bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang
terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah
dan denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
b. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial
Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran
pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.
Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan
sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan
virus Influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian
c. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan
penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai
virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia
yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma
menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja
dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang
tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
d. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut Pneumonia
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis carinii
Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi
yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan
hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan
paru atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).
4. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai
permukaan yaitu inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah,
Inhalasi bahan aerosol, kolonisasi dipermukaan mukosa. Dari keempat cara
tersebut yang terbanyak adalah secara kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada
infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur, lima
puluh persen juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri
yang tinggi 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1ml)
dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
(Perhimpunan Ahli Paru, 2003).
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama
dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. Pneumonia terjadi jika
mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen
dapat mencapai saluran napas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang
sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada
orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan penyebaran hematogen dari
bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua
cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara
hematogen lebih jarang (Perhimpunan Ahli Paru, 2003).
5. Gambaran Klinis
Menurut Perhimpunan Ahli Paru (2003) gambaran klinis pneumonia meliputi :
1. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
2. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
WHO (2009) menjelaskan gambaran klinis pneumonia dibagi dalam :
1. Pneumonia ringan
Ditandai dengan adanya batuk atau kesulitan bernafas, hanya terdapat
nafas cepat saja. Indikator nafas cepat pada anak umur 2 bulan-11 bulan
adalah ≥ 50 kali/menit dan pada anak umur 1 tahun-5 tahun adalah ≥ 40
kali/menit.
2. Pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu hal berikut:
1. Kepala terangguk-angguk
2. Pernafasan cuping hidung
3. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
4. Foto dada yang menunjukkan gambaran infiltrat luas konsolidasi
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut :
a. Nafas cepat
1. Anak umur <2 bulan : ≥60 kali/menit
2. Anak umur 2-11 bulan : ≥50 kali/menit
3. Anak umur 1-5 tahun : ≥40 kali/menit
4. Anak umur >5 tahun : ≥30 kali/menit
b. Suara merintih/grunting pada bayi muda
c. Pada auskultasi terdengar crackles (ronki), suara pernapasan menurun,
suara pernapasan bronkial.
Dalam keadaan sangat berat dapat dijumpai bayi tidak dapat menyusui atau
sianosis, diare dan distress pernapasan berat. Menurut WHO (2010)
gejala-gejala pneumonia virus dan bakteri hampir serupa namun gejala-gejala pneumonia
virus lebih banyak daripada gejala pneumonia bakteri. Gejala pneumonia
meliputi nafas cepat atau sulit bernapas, batuk, demam, menggigil, kehilangan
nafsu makan, mengi (lebih sering terjadi pada infeksi virus) pada pneumonia
berat ditemukan adanya retraksi dada, tidak dapat makan atau minum, tidak
sadar, hipotermia bahkan bisa terjadi kejang.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (posterior anterior/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis. Foto toraks saja tidak dapat
secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia
lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau
gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah
dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas
darah menunjukkan hipoksemia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik (Hartati, 2011).
7. Penularan
Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara.
Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang
dapat menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus dan bakteri juga dapat
menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang
paru-paru bisa menyebar melalui darah,terutama setelah lahir.
8. Pencegahan
Di Negara-negara berkembang telah mengidentifikasi 6 strategi untuk
mengontrol infeksi saluran pernapasan akut yang dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia pada anak-anak (WHO, 2010).
Adapun 6 strategi yang dimaksud adalah :
1. Pemberian imunisasi. Pencegahan pneumonia dapat dilakukan dengan
pemberian imunisasi campak, Dipteri Pertusis Tetanus (DPT) untuk
menyiapkan balita menghadapi lingkungan yang tidak selalu bisa
dijamin kebersihan udaranya. Selain itu, asupan makanan yang kaya gizi
2. Memberikan kemoprofilaksis (pelega tenggorokan/pereda batuk) pada
anak dengan infeksi pernapasan akut dan anak dengan mengi
3. Memperbaiki nutrisi.
Untuk mencegah risiko pneumonia pada bayi dan anak-anak yang
disebabkan karena malnutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian
ASI pada bayi sampai dengan umur 2 tahun. Hal ini disebabkan karena
ASI terjamin kebersihannya dan mengandung faktor-faktor antibodi
cairan tubuh sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi
bakteri dan virus. Selain pemberian ASI peningkatan status gizi anak
penderita pneumonia juga perlu perhatian untuk kesembuhan anak
tersebut.
4. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan,
lingkungan berasap rokok dan polusi di luar ruangan.
5. Mengurangi penyebaran kuman dan mencegah penularan langsung
dengan cara menjauhkan anak dari penderita batuk.
6. Memperbaiki cara-cara perawatan anak. Usaha untuk mencari
pertolongan medis, memberikan pendidikan pada ibu tentang cara
perawatan anak yang baik.
9. Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
alasan yaitu : penyakit yang berat dapat mengancam jiwa, bakteri patogen
yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia. Hasil
pembiakan bakteri memerlukan waktu maka pada penderita pneumonia
dapat diberikan terapi secara empiris. Tindakan suportif meliputi oksigen
dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik.
Bantuan ventilasi yaitu ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas
positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis
mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu
bersihan sputum (Jeremy, 2007).
C. Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau membasmi mikroba lain. Banyak antibiotik
dewasa ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh, Terapi pneumonia
dilandaskan pada dignosis berupa antibiotik untuk mengeradikasi
mikroorganisme yang diduga sebagai kausalnya. Dalam pemakaian
antibiotik harus dipakai pola berpikir tepat yaitu diagnosis tepat, pilihan
antibiotik yang tepat dan dosis yang tepat, dalam jangka waktu yang tepat
dan pengertian patogennesis secara tepat. (Khairuddin, 2009)
Antibiotik yang sering dipakai dalam pengobatan pneumonia adalah:
1. Kotrimoksazol
Kotrimoksazol merupakan kombinasi dari antibiotika trimetropin dan
obat tersebut yaitu sulfametoksazol menghambat sintesis asam folat
dan pertumbuhan bakteri dengan menghambat susunan asam
dihidrofolat dari asam para-aminobenzen, sedangkan trimetoprim
menghambat terjadinya reduktasi asam dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat yang secara tidak langsung mengakibatkan
penghambatan enzim pada siklus pembentukan asam folat. Kombinasi
tersebut mempunyai aktivitas bakterisid yang besar karena menghambat
pada dua tahap biosintesa asam nukleat dan protein yang sangat
esensial untuk mikroorganisme. Kotrimoksazol mempunyai spektrum
aktivitas luas dan efektif terhadap bakteri positif dan
gram-negatif, misalnya Streptococci, Staphylococci, Pneumococci, Neisseria,
Bordetella. Klebsiella, Shigella dan Vibrio cholerae. Kotrimoksazol
juga efektif terhadap bakteri yang resisten terhadap antibakteri lain
seperti H. influenzae, E. coli. P. mirabilis, P. vulgaris dan berbagai
strain Staphylococcus (Dinkes Tasikmalaya).
2. Amoksisillin
Amoksisilin dan ampisilin adalah obat golongan beta-laktam, yaitu
golongan penisilin. Amoksisilin dan ampisilin memiliki mekanisme
kerja yang sama yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs- protein
binding penisilin’s) sehingga menyebabkan penghambatan pada
tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel
menjadi pecah/lisis. Amoksisilin dan ampisilin merupakan antibiotika
spektrum luas, yaitu untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh
Streptococci, Pneumococci,Nonpenicillinase-producting staphilocochi,
listeria, Meningococci, turunan Haemophilus Influenzae, Salmonella,
Shigella, Escherichia Coli. Enterobacter, dan Klebsiella (Dinkes
Tasikmalaya).
Eliminasi 80% dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tidak diubah,
sisanya dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang tidak aktif.
Ikatan protein plasma 20%, waktu paruh plasma 1 jam (bayi baru lahir
3,5 jam). Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik
daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin
mencapai kadar dalam darah yang tingginya 2 kali lebih tinggi
daripada yang dicapai oleh ampisilin. Efek samping yang dapat timbul
akibat pemakaian amoksisilin adalah hipersensitivitas, diare, nefritis,
dan neurotoksisitas (Mycek, 2001).
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila
dibandingkan dengan kloramfenikol (Soedormo,2010). Namun,
ampisilin dan amoksisilin aman diberikan kepada ibu hamil ,menyusui,
1. Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Antibiotik
Di negara berkembang factor-faktor yang mempengaruhi penggunaan
antibiotik terdiri dari faktor pembuat resep, pembuat obat, dan pasien.
Faktor yang menentukan penggunaan obat oleh pembuat resep dapat
dipengaruhi oleh hal-hal berikut (Febiana,2012) :
a. Tingkat pengetahuan tentang Penggunaan Antibiotik yang Tepat
(PAT) Tingkat pengetahuan merupakan faktor intrinsik dari
pembuat resep, dan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
rasionalitas peresepan. Rendahnya tingkat pengetahuan mungkin
disebabkan kurangnya pendidikan tentang penggunaan antibiotik
sehingga dapat terjadi salah diagnosis dan kesulitan untuk
membedakan infeksi bakteri atau viral.
b. Ketersediaan sarana diagnostik dan pemeriksaan penunjang
Tersedianya sarana diagnostik dan pemeriksaan penunjang yang
memadai akan mengarahkan diagnosis dan terapi menjadi lebih
tepat.
c. Permintaan pasien
Keputusan dokter dalam proses peresepan antibiotik dapat
dipengaruhi oleh keinginan pasien untuk memperoleh obat
antibiotik, tetapi pengaruh faktor pasien tidak sebesar faktor dari
pembuat resep.
d. Promosi obat
Seringkali pihak farmasi tertentu memberikan insentif untuk
tentang obat yang diproduksi sehingga meningkatkan akses pembuat
resep terhadap penggunaan antibiotik tertentu.
e. Ketersediaan obat
Keterbatasan pesediaan obat yang diperlukan dapat mempengaruhi
pembuat resep beralih pada jenis obat lain yang mungkin kurang
tepat jika dibandingkan dengan obat pilihan utama.
f. Tingkat dan frekuensi supervise
Supervisi dapat dilihat berdasarkan tingkat pengawasannya apakah
ketat atau tidak ketat dan frekuensi supervisi pada tiap kasus.
Pengawasan oleh atasan dapat meningkatkan rasionalitas
penggunaan antibiotik atau justru sebaliknya, dapat terjadi
pemberian antibiotik yang kurang atau berlebihan akibat
kekhawatiran pembuat resep.
D. Standar Pengobatan
Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter
berdasarkan temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan.
Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah yang dilandasi
oleh pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan intervensi
pengobatan yang member manfaat maksimal dan resiko sekecil mungkin
bagi pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan pengobatan
sesuai indikasi, diagnosis, tepat dosis obat, cara dan waktu pemberian,
tersedia setiap saat dan harga terjangkau (Yusmaninita, 2009).
Obat dan dosis antibiotika untuk pneumonia berdasarkan tatalaksana
standar pengobatan pneumonia yang dikeluarkan Kemenkes yaitu, beri
antibiotika oral pilihan pertama kotrimoksazol bila tersedia. Ini dipilih
karena sangat efektif, cara pemberiannya mudah dan murah. Antibiotika
pilihan kedua adalah amoksisilin diberikan hanya apabila obat pilihan
pertama tidak tersedia atau apabila dengan pemberian obat pilihan pertama
tidak memberikan hasil yang baik.
Untuk menentukan dosis antibiotika yang tepat :
1. Lihat kolom yang berisi daftar kandungan obat dan sesuaikan dengan
sediaan tablet atau sirup yang ada di puskesmas.
2. Selanjutnya pilih baris yang sesuai dengan umur atau berat badan anak.
Untuk menentukan dosis yang tepat, memakai berat badan lebih baik
daripada umur.
3. Antibiotika diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian 2 kali per
hari.
4. Jangan memberikan antibiotika bila anak atau bayi memiliki riwayat
anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya terhadap jenis obat tersebut.
Gunakan jenis antibiotika yang lain kalau tidak mempunyai antibiotika
yang lain maka rujuklah.
Pemberian antibiotik oral yang sesuai pada pneumonia dengan pengobatan
dasar di Puskesmas adalah antibiotika pilihan pertama adalah
Tabel. 2 Pemberian antibiotik oral yang sesuai Beri 2 kali sehari selama 3 hari
Amoksisilin
Pastikan bahwa sediaan antibiotika yang diberikan cukup untuk tiga hari.
Pengobatan antibiotik tiga hari tidak direkomendasikan di daerah dengan
Tabel.3 Antibiotik pra rujukan (antibiotik dosis pertama)
Umur Kotrimoksazol Amoksisilin
Tablet
Antibiotika inframuskular untuk kelompok anak umur 2 bulan-<5 tahun.
Untuk anak yang harus segera dirujuk tetapi tidak dapat menelan obat oral
beri dosis pertama ampisilin dan gentamicin intramuskular dan rujuk
segera. Jika rujukan tidak memungkinkan ulangi suntikan ampisilin setiap
12 jam selama 5 hari kemudian ganti dengan antibiotika yang sesuai,
untuk melengkapi 10 hari pengobatan.
Tabel. 4 Antibiotik inframuskular untuk kelompok umur 2 bulan-<5 tahun.
Umur atau Berat Badan
Ampisilin Dosis : 50 mg/kg BB tambahkan 4 ml aquadest
dalam 1 vial 1000 mg sehingga menjadi 1000 mg =
Bronkhodilator adalah obat yang membantu pernapasan anak dengan jalan
melebarkan saluran udara dan melonggarkan spasme (penyempitan)
bronkus. Sebelum memberikan bronkhodilator carilah apakah ada tanda
distress pernapasan. Tanda distress pernapasan yaitu anak tampak gelisah
karena paru tidak mendapat udara yang cukup dan bisa terjadi
gangguan/kesulitan sewaktu makan dan bicara. Keadaan ini bisa dikenali
dengan mudah. Tetapi sebagian besar anak dengan wheezing tidak disertai
distress. Bila anak mengalami distress pernapasan. Berilah bronkhodilator
kerja cepat (rapid acting) sehingga pernapasan anak sudah membaik
sebelum dirujuk. Jika di Puskesmas tidak tersedia bronkhodilator kerja
cepat, berilah satu dosis bronkhodilator oral. Rujuk segera untuk rawat
inap.
Bila anak tidak mengalami distress pernapasan berikan bronkhodilator oral
(sebaiknya Salbutamol) dengan dosis yang tepat untuk 3 hari dengan
pemberian 3 kali sehari dan ajarkan pada ibu bagaimana cara
pemberiannya. Rujuk segera bila ada TDDK, berilah pengobatan sesuai
dengan tanda-tanda lain yang tampak (misalnya napascepat atau demam),
Tabel 5. Bronkhodilator kerja cepat
A. Salbutamol Nebulisasi Dosis
5mg/ml 0,5 ml salbutamol + 2,0 ml NaCl
B. Suntikan epinefrin (jika kedua cara tidak tersedia)
Jenis obat : Epinefrin (Adrenalin) subkutan 1: 1000 =
0,1 %
Dosis : 0,01 ml per kg berat badan (dosis maksimum 0,3 ml)
Tabel. 6 Bronkhodilator (salbutamol oral 3 kali sehari selama 3 hari )
Umur dan berat badan Tablet 2 mg Tablet 4 mg
dapat meninggal karena kekurangan oksigen sangat tepat untuk
memberikan oksigen. Pemberian oksigen dapat mempertahankan agar
pasien tetap hidup sehingga daya tahan tubuh dan antibiotik mendapatkan
cukup waktu untuk membunuh kuman penyebab penyakit.
Indikasi pengobatan dengan oksigen:
1. Sianosis sentral (kebiruan pada wajah di sekitar mulut dan hidung)
merupakan gejala klinik yang terpenting sebagai tanda hipoksemia
(kekurangan oksigen dalam darah). Tetapi sianosis muncul lambat
sehingga relatif kurang sensitif.
2. Tidak dapat minum
4. Frekuensi napas lebih dari 70 kali/menit pada anak 2 bulan-<5 tahun
5. Merintih/grunting pada bayi berumur <2 bulan
6. Kegelisahan (yang membaik dengan pemberian oksigen)
Tabel 7. Pemberian oksigen
Umur Jumlah aliran oksigen liter/menit
< 2 bulan 0,5
>2 bulan 1
E. Peresepan Obat
1. Peresepan Rasional dan Irasional
a. Peresepan obat rasional
Pengobatan rasional merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, terkait beberapa komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan
dan penentuan dosis obat, penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk
pemakaian obat, bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan,
pemberian label dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita (Kimin,
2008).
Komponen paling penting dari penggunaan obat secara rasional adalah
pemilihan dan penentuan dosis obat lewat peresepan yang rasional.
Peresepan yang rasional selain akan menambah mutu pelayanan
disembuhkan lebih cepat dengan resiko yang lebih kecil kepada
penderita melalui obat yang tepat, dosis yang tepat, dan cara pemakaian
yang tepat ( Kimin, 2008).
b. Peresepan Irasional
Penggunaan obat yang tidak rasional pada dasarnya adalah tidak tepat
secara medik, yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis, cara dan
lamanya pemberian, serta tidak tepatnya informasi yang disampaikan
sehubungan dengan pengobatan yang diberikan. Peresepan yang tidak
rasional dapat dikelompokkan dalam 5 bentuk (Sastramihardja, 2006)
1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat
yang lebih mahal padahal ada alternatif yang lebih murah dengan
manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk di sini adalah
peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simtomatik
sampai mengurangi alokasi obat-obat yang lebih vital.
2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis
obat,lama pemberian atau jumlah obat yang diresepkan melebihi
ketentuan. Juga peresepan dengan obat-obat yang sebenarnya tidak
diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk ketidakrasionalan ini.
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian
obat untuk indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya
keliru, pemberian obat ke pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa
4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua
atau lebih kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya
diberikan obat tunggal saja.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang
diperlukan tidak diresepkan, dosis tidak cukup atau lama
pemberian terlalu pendek.
2 Peresepan Obat Sesuai Standar
a. Peresepan Obat
Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau
dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk
sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada penderita. Resep harus
mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus
diberikan. Idealnya resep obat yang diberikan kepada pasien tidak
mengandung kesalahan dan berisi seluruh komponen yang diperlukan
pasien. (Ambrawati, 2009).
Resep ditinjau dari S.K. Memkes RI, no. 280/Menkes/SK/V/1981
dalam waktu lebih dari jangka waktu 3 tahun, resep dapat dimusnahkan
oleh apoteker dengan membuat berita acara (proses herbal)
pemusnahan. Penyimpanan resep diatur berdasarkan tanggal dan nomor
b. Peresepan obat sesuai standar
Peresepan obat sesuai standar merupakan peresepan obat yang rasional
peresepan obat sesuai standar adalah mengeluarkan resep obat sesuai
standar yang digunakan. Peresepan obat sesuai standar (rasional) adalah
peresepan obat yang benar, jelas dan sesuai dengan kebutuhan pasien
yang mempertimbangkan jenis obat yang diberikan, dosis, lama
pemberian, dan harga yang terjangkau untuk masyarakat (WHO, 2010).
Peresepan obat yang tidak sesuai standar akan menyebabkan banyak
dampak buruk bagi masyarakat. Lebih dari 50% obat-obat yang
diresepkan sering tidak tepat dan lebih dari setengah pasien gagal
mendapatkan pengobatan yang tepat. Ciri-ciri peresepan yang tidak
rasional adalah peresepan boros/extravagant, peresep berlebihan/over
prescribing, peresepan majemuk/ multiple prescribing, peresepan salah/
incorrect prescribing (Holloway dan Green, 2003).
Peresepan obat yang tidak tepat akan menghasilkan pengobatan yang
tidak tepat. Hal ini dapat menyebabkan dampak seperti terjadinya
resistensi antimikroba, terjadinya efek yang tidak diinginkan,
pengeluaran pembiayaan yang terlalu besar dan kekambuhan berulang
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif yang bersifat
retrospektif, dengan menggunakan data sekunder yang di ambil dari data
rekam medik di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung periode
Januari-Oktober 2013.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-November 2013.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lembar rekam medik dan
lembar peresepan yang memuat data peresepan obat penyakit pneumonia
pada balita di Rawat Jalan Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung
periode Januari-Oktober 2013 dengan jumlah 184 rekam medik.
2. Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh lembar rekam
medik dan lembar peresepan yang memuat data peresepan obat penyakit
pneumonia pada balita di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung
periode Januari-Oktober 2013. Besar sampel ditentukan dengan metode
total sampling yaitu sebanyak 184 rekam medik.
Kriteria inklusi :
1. Semua lembar rekam medik yang memuat data peresepan obat
penyakit pneumonia pada balita bulan di rawat jalan Puskesmas
Kemiling yang masuk pada periode Januari- Oktober 2013.
2. Semua lembar rekam medik yang dapat dibaca dan jelas dengan nama
pasien dan diagnosis penyakit pneumonia pada balita umur 0-59 di
3. Semua rekam medik yang dalam keadaan baik, tidak cacat (robek,
basah).
Kriteria eksklusi :
1. Rekam medik penyakit pneumonia di luar periode yang telah
ditentukan.
D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu peresepan
obat penyakit pneumonia pada balita. Variabel penelitian ini memiliki sub
E. Definisi Operasional
Tabel 8 Definisi operasional masing-masing variabel
No Variabel Alat ukur Cara
Observasi Sesuai jika jenis, dosis dan
Ordinal Catatan medis yang
Observasi Sesuai jika sama dengan
Ordinal Macam obat untuk penyakit
Observasi Sesuai jika sama dengan
Kemenkes RI
Observasi Sesuai jika sama dengan
F. Prosedur Penelitian
Gambar 2. Prosedur Penelitian
G. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan data sekunder.
Data diperoleh dari pencatatan lembar rekam medik dan lembar peresepan
yang memuat data peresepan obat penyakit pneumonia pada balita di rawat
jalan Puskesmas Kemiling kota Bandar Lampung dari bulan Januari
sampai Oktober 2013 dengan menggunakan lembar kerja. Mendapatkan
perizinan dari kampus
Survei Pendahuluan
Seminar Proposal
Penelitian Hasil Penelitian
Pengolahan data
H. Pengolahan dan Analisis Data
Seluruh data yang telah diperoleh dari penelitian dikumpulkan, kemudian
dilakukan deskripsi terhadap data-data tersebut dengan cara
membandingkan data analisis dengan standar terapi yang digunakan lalu
disusun dan dikelompokkan. Hasil penelitian akan disajikan dan
dijabarkan dalam bentuk tabel. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara
induksi yaitu dengan menarik kesimpulan umum berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan di awal.
I. Aspek Etik Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kemiling dengan periode penelitian
Januari-Oktober 2013. Pada penelitian ini menggunakan data sekunder
berupa rekam medik dan peresepan obat. Resep didapatkan dari bagian
pengelola obat Puskesmas Kemiling melalui izin untuk melakukan
penelitian yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung
melalui nomor surat 440/272.09.2013. Data yang berasal dari resep akan
dikelola dengan menggunakan lembar kerja penelitian. Penelitian ini telah
mendapat keterangan Lolos Kaji Etik dari Komisi Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung pada tanggal 13 Januari 2014
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian di Puskesmas Kemiling kota Bandar Lampung periode
Januari-Oktober 2013 terhadap 184 data peresepan penyakit pneumonia, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Kesesuaian pemberian jenis antibiotika di Puskesmas Kemiling kota
Bandar Lampung terhadap standar pengobatan pneumonia adalah
sebanyak 100% yaitu kotrimoksazol dan amoksisilin.
2. Kesesuaian pemberian dosis antibiotika penyakit pneumonia di Puskesmas
Kemiling dengan standar pengobatan penyakit pneumonia adalah sebesar
86,7% yaitu dengan rincian kotrimoksazol sebesar 94,34% dan amoksisilin
sebesar 79,1%.
3. Kesesuaian pemberian lama pemberian antibiotika penyakit pneumonia di
Puskesmas Kemiling dengan standar pengobatan penyakit pneumonia
adalah sebesar 81,95% yaitu dengan rincian kotrimoksazol 96,5% dan
4. Kesesuaian peresepan dengan standar pengobatan dilihat dari jenis obat,
dosis dan lama pemberian obat bahwa peresepan obat sesuai dengan
standar adalah 91,4 untuk kotrimoksazol dan 32,55% untuk amoksisilin.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Bagi Peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang
telah didapat dari penelitian ini di masa yang akan datang.
2. Bagi penulis resep, agar lebih memperhatikan dan menerapkan peresepan
antibiotika yang baik dan benar dan diharapkan tenaga kesehatan yang
bekerja di Puskesmas Kemiling agar tetap meningkatkan ilmunya dan
mengikuti perkembangan pengobatan yang terbaru serta tetap mengikuti
pelatihan pelatihan yang diadakan instansi kesehatan.
3. Bagi peneliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian lain yang
berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan
ketidakrasionalan peresepan antibiotik dengan lebih memperhatikan atau
menggali data, baik data identitas dokter ataupun informasi mengenai
pasien yang melakukan kunjungan ulang, supaya hasil penelitian yang
didapatkan lebih akurat.
4. Bagi Dinas Kesehatan Kota agar dapat meningkatkan kegiatan supervisi
maupun evaulasi setiap penggunaan obat di puskesmas secara
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati S. 2009. Survei Kesalahan dalam Penulisan Resep dan Alur Pelayanannya di 4 Apotek Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo (Skripsi). Semarang : Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Darmansjah I. 2008. Harga Obat Generik Baru Masih Tetap Tinggi. Jakarta: Bisnis Indonesia
Departemen Kesehatan RI. 2002. Evaluasi program Kesehatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta : Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI.2008. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Manajemen terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Depkes RI.
De Vries,T.P.G.M., R.H. Henning, H.V.Hogerzeil, D.A.Fresle. 1994 reprinted 2000. Guide to Good Prescribing: A Practical Manual. Geneva : WHO.
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Kotrimoksazol. Diakses dari http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/299
kotrimoksazol.html pada tanggal 21 Oktober 2013
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Amoksisilin. Diakses dari
http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/211-amoksisilin.html pada tanggal 21 Oktober 2013.
Dipiro, J.T.,et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition.The Mc. Graw Hill Company. USA. Page : 1891-1939.
Febiana T. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. [Skripsi]. Semarang: FK Undip
Gunawan S. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.
Hapsari, I. 2004. ISPA Penyebabkematian tertinggi. Cempaka. 23-29 Desember 2004. Hal 13.
Hariadi, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu penyakit paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Hartati S. 2011. Analisis Faktor resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan UI: Jakarta.
Hockenberry,M.J., Wilson D. 2009. Wong’s Essentials of Pediatric Nursing (7th edition. St.Louis Missouri Elsevier Mosby.
Holloway, K., T. Green. 2003. Drug and Therapeutics Committees: A Practical Guide. Diakses dari: http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s4882e.pdf pada 11 Oktober 213.
Jeremy P. 2007. At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-77.
Jurnal Kesehatan Mayarakat. 2013. Volume 2, Nomor 2, April 2013. Diakses dari : http://ejournals.undip.ac.id/index.php/jkm
Kartasasmita B. 2010. Pneumonia pada Balita .Jakarta.
Kemenkes RI. 2010. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI 2010.
Martin Weber, 2010 Action Against Pneumonia in Children of a Global Action Plan (GAPP). Aksi Global Melawan Pneumonia pada Anak. Jakarta.
Misnadirly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 55-58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 98-105.
Notoatmodjo S, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed. Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nugroho, Agus Hendro. 2012 Farmakologi Obat Obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pagliaro, A.Louise & Ann, Marie.P. 1995. Problems in Pediatric Drug Therapy. (Ed ke-3). USA : Production press,Inc.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoam Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia . Jakarta.
Prober C. 2000. Pneumonia pada Neonatus. Diterjemahkan oleh Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta:EGC.
Pusat Informasi Penyakit Infeksi Pneumonia, Sumber: www.infeksi.com / diakses tanggal 14 Oktober 2013.
Said M. 2010. Pengendalian Pneumonia Anak Balita dalam Rangka Pencapaian ,MDG 4. Jakarta.
Sastramihardja H. 2006. Buku Pedoman Kuliah Farmakologi klinik jilid 1. Edisi 2. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bnadung. Hlm:150.
Setyaningsih, E., 2001, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Angka Kejadian Pneumonia pada Balita Pengunjung Puskesmas Klampok Kabupaten Banjarnegara Tahun 2001. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro.
Soedarmo, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri dan Tropis. Jakarta : IDAI.
Tjay, T.H. & Rahardja, K. 2007. Obat- Obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
WHO 2008. Manajemen terpadu balita sakit. Jakarta : Depkes RI.
WHO 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang (Widjaja, A.c Penterjemah). Jakarta : EGC
WHO 2010 Pneumonia, Sumber : http://www.who.int/mediacentre/, diakses tanggal 23 September 2013.