• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Mulsa Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus Communis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Mulsa Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus Communis)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Pertumbuhan Tinggi dan Analisis Ragam Bibit Sukun (Artocarpus communis).

Data Pertumbuhan Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-1

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Data Pertumbuhan Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-2

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Data Pertumbuhan Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-3

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-4

(2)

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-5

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-6

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-7

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-8

(3)

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-9

Data Pengukuran Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-10

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Analisis Ragam Pertumbuhan Tinggi Bibit Sukun (Artocarpus communis)

(4)

Lampiran 2. Pertumbuhan Diameter dan Analisis Ragam Bibit Sukun (Artocarpus communis).

Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-1

Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-2

Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-3

(5)

Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran

ke-Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-6

Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-7

(6)

Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran

ke-Data Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-10

Analisis Ragam Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (Artocarpus communis)

(7)

Lampiran 3. Pertumbuhan Jumlah Daun dan Analisis Ragam Bibit Sukun (Artocarpus communis).

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-1

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-2

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-3

(8)

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-6

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-7

(9)

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran

Data Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis) Pengukuran ke-10

Analisis Ragam Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis)

(10)

Lampiran 4. Pertumbuhan Luas Daun dan Analisis Ragam Bibit Sukun (Artocarpus communis).

Data Pengukuran Luas Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis)

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan Analisis Ragam Luas Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis)

SK DB JK KT F Hitung Ftabel (Artocarpus communis).

Data Pengukuran Luas Tajuk Bibit Sukun (Artocarpus communis)

(11)

Analisis Ragam Luas Tajuk Bibit Sukun (Artocarpus communis)

SK db JK KT Fhitung Ftabel

M 4 25374645,51 6343661,38 8,90 * 2,61 P 3 13087851,73 4362617,24 6,12 * 2,84 Interaksi M*P 12 12402111,57 1033509,30 1,45 tn 2

Galat 40 28502483,93 712562,10 Total 59 79367092,74 1345204,96 Keterangan: (Artocarpus communis).

Data Pengukuran Panjang Akar Bibit Sukun (Artocarpus communis)

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Analisis Ragam Panjang Akar Bibit Sukun (Artocarpus communis)

(12)

Lampiran 7. Pengamatan Bobot Kering Akar dan Analisis Ragam Bibit Sukun (Artocarpus communis).

Data Pengukuran Bobot Kering Akar Bibit Sukun (Artocarpus communis)

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rataan

Analisis Ragam Bobot Kering Akar Bibit Sukun (Artocarpus communis)

SK db JK KT Fhitung Ftabel (Artocarpus communis).

Data Pengukuran Kadar Air Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis)

(13)

Analisis Ragam Kadar Air Daun Bibit Sukun (Artocarpus communis)

SK db JK KT Fhitung Ftabel

M 4 51102,66 12775,66 3,55* 2,61

S 3 40346,14351 13448,71 3,74* 2,84 Interaksi M*S 12 2911,55 242,63 0,07 tn 2

Galat 40 143857,05 3596,43 Total 59 238217,40 4037,58 Keterangan:

tn : tidak nyata * : nyata

M0 : Kontrol S1 : Penyiraman 1x1 hari

M1 : Kerapatan 25% S2 : Penyiraman 1x3 hari

M2 : Kerapatan 50% S3 : Penyiraman 1x5 hari

M3 : Kerapatan 75% S4 : Penyiraman 1x7 hari

M4 : Kerapatan 100%

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

Tim Penelitian

Bibit Sukun

(14)

Perlakuan Kontrol Penyiraman 1x7 hari Kerapatan 100% Penyiraman 1x7

Akar Perlakuan Kontrol Penyiraman Akar Kerapatan 100% Penyiraman 1x1 hari 1x1 hari

(15)

Pengukuran Berat Basah Daun Pengukuran Berat Basah Akar

Pengukuran Berat Kering Daun Pengukuran Berat Kering Akar

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 1993. Pedoman penanaman sukun (Arthocarpus altilis Forsberg). Informasi teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2007. Rujukan Pengembangan Agribisnis Hortikultura TA 2007, Departemen Pertanian

Djazuli, M. 2010. Pengaruh Cekaman Kekeringan Terhadap Pertumbuhan dan Beberapa Karakter Morfo-Fisiologis Tanaman Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Bul. Littro. Vol. 21 No. 1, 2010, 8 – 17

Dwijoseputro, D. 2009. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta

Effendi, R. 2010. Teknik Pemeliharaan Hutan Tanaman Dengan Mulsa Organik. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIII, Inna Grand Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, 10-11 November 2010. MAPEKI Bogor.

Fitter, A.H dan Hay, R. K. M. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Diterjemahkan oleh Andani, S. dan Purbayanti. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Foth, H.D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Diterjemahkan oleh Dr.Soenartono Adisoemarto, Ph.D. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Goldsworthy, P.R dan Fisher N.M. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Guritno, B. dan Sitompul, S. M. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.UGM Press. Yogyakarta.

Hamdani, 2009. Pengaruh Jenis Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Kultivar Sawi (Brassica juncea L.) yang Ditanam di Dataran Medium. Fakultas Pertanian,Universitas Padjadjaran. Bandung

Hartono. 2012. Mulsa Daun Kering Pengendali Gulma dan Penyubur Tanah di Hutan Tanaman. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan Kampus Balitbang Kehutanan. Bogor

Irwanto, 2006. Pengembangan tanaman sukun. Diakses dari http://www.irwantoshut .com. [ 13 November 2015] [ 07.20 Wib].

(17)

Kristanto, R. 2005. Sistem kendali temperatur dan kelembaban dalam rumah kaca dengan logika fuzzy. Skripsi. Perpustakaan Universitas Indonesia (membership). UI. Jakarta

Kumalasari, N. R., L. Abdullah, S, Jayadi. 2005. Pengaruh Pemberian Mulsa Chromolaena (L.) Kings and Robins pada Kandungan Mineral P dan N Tanah Latosol dan Produktivitas Hijauan Jagung (Zea mays L.). 23:29-36.

Lestari, E.G. 2006. Hubungan antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64. Biodiversitas. 7(1):44-48. Januari.

Mulyatri. 2003. Peranan pengolahan tanah dan bahan organik terhadap konservasi tanah dan air. Pros. Sem. Nas. Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.

Onwueme, I. C. 1978. The Tropical Tuber Crops: Yams, Cassava, Sweetpotato, and Cocoyam. John Wiley. 291 P.

Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Kanisius. Yogyakarta.

Pratiwi. 2001. Efektivitas Penempatan Mulsa Vertikal untuk Mengurangi Aliran Permukaan dan Sedimentasi serta Kehilangan Unsur Hara di Hutan Tanaman Mahoni Afrika (Khaya anthoteca)Pasir Awi Leuwiliang Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan No.628. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.

Puji Harsono, J.S, Tohari dan D. Shiddieq, 2009 Pengaruh Macam Mulsa Terhadap Sifat–Sifat Tanah Vertisol.Vol. No 7 03 Juli 2009.

Raihan, H., Suadi dan Nurtirtayani. 2001. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap N dan P tersedia tanah serta hasil beberapa varietas jagung di lahan pasang surut sulfat masam. Agrivita 23 (1):13-19.

Rukmana, R. 2005. Sistem Mulsa. Yayasan Kanisius. Jakarta.

Samyuni, Edi Purwanto, Supriyadi. 2015. Toleransi Varietas Padi Hitam (Oryza sativa l. Indica) pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan. Prodi Agronomi Pascasarjana UNS. Semarang

(18)

Setiawan, Tohari, Shiddieq, J .2013. Pengaruh Cekaman Kurang Air terhadap Beberapa Karakter Fisiologis Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth)’, Jurnal Litri, vol. 19, no. 3, hlm. 108-16

Sopandie. D. 2014. Fisiologi Adaptasi Tanaman Terhadap Cekaman Abiotik Agroekosistem Tropika. IPB Press. Bandung

Sunghening, Tohari, Dja’far shiddieq. 2008. Pengaruh Mulsa Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Kacang hijau (Vigna radiata l. Wilczek) di Lahan Pasir Pantai Bugel, Kulon Progo. Alumni Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Fakultas Pertanian Gadjah Mada, Yogyakarta.

Syaifuddin, Pranowo. D, 2007. Pengaruh Interfal Pemberian Air dan Pemberian Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jarak Pagar(Jatropha curcas L.). BalaiPenelitian Tanaman Rempah dan AnekaTanaman Industri.

(19)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2015 sampai dengan Januari 2016.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit sukun (Artocarpus communis) umur tiga bulan, mulsa anyaman daun sawit 20 cm x 20 cm untuk setiap ulangan, top soil, benang, kertas label dan polybag.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cangkul, kamera digital, alat tulis, kalkulator, gunting, penggaris, jangka sorong, kertas milimeter, pisau cutter, SPSS 16.0, dan software image J.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan masing- masing 5 perlakuan untuk kerapatan dan 4 perlakuan untuk interval penyiraman sebanyak 3 ulangan, yaitu :

1. Faktor pertama (faktor M) adalah tutupan tanah : M0 : tanpa mulsa (kontrol)

M1 : mulsa kerapatan 25%

M2 : mulsa kerapatan 50%

M3 : mulsa kerapatan 75%

M4 : mulsa kerapatan 100%

(20)

S1 : 1 kali dalam sehari

S2 : 1 kali dalam 3 hari

S3 : 1 kali dalam 5 hari

S4 : 1 kali dalam 7 hari

Semua perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh jumlah bibit sukun sebanyak 60 bibit. Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai

berikut : Yijk = µ + αk + βs + (αβij + εijk)

Keterangan :

Yijk : Hasil pengamatan bibit sukun pada pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j serta interaksi pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j

µ : Rataan umum pertumbuhan bibit sukun

αk : Pengaruh pemberian tutupan tanah ke-i

βs : Pengaruh perlakuan penyiraman ke-j

αβij : Pengaruh interaksi pemberian tutupan tanah bibit sukun ke-i dan

perlakuan penyiraman bibit sukun ke-j

εijk :Pengaruh galat pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan

penyiraman ke-j dari interaksi pemberian tutupan tanah ke-i dan perlakuan penyiraman ke-j pada setiap ulangan ke-k

Prosedur Penelitian

(21)

yaitu tiga bulan dan memiliki kesehatan serta keadaan fisik yang baik. Kegiatan selanjutnya adalah penanaman bibit sukun yang menggunakan media tanam berupa polybag berwarna hitam berukuran 40 x 50, diisi dengan top soil sebanyak 12 kg.

Kegiatan pemberian mulsa dilakukan setelah penanaman bibit sukun dilakukan. Mulsa yang diberikan terbuat dari anyaman daun sawit dan diletakkan dipermukaan tanah bibit sukun (Artocarpus communis) sesuai dengan ketentuan yang ditentukan. Setelah pemberian mulsa organik anyaman daun sawit dilanjutkan dengan kegiatan penyiraman dengan beragam frekuensi yang berbeda. Penyiraman bibit sukun dilakukan dalam beberapa kategori frekuensi yaitu 1x1 hari, 1x3 hari, 1x5 hari dan 1x7 hari.

Parameter Pengamatan

Sebelum dilakukan pengamatan parameter, dilakukan terlebih dahulu pengambilan data tiap awal parameter. Jadi data yang diperoleh pada saat pengukuran parameter yang dikurangi terhadap data awal. Parameter yang diamati antara lain :

a. Pertambahan tinggi (cm)

Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal sampai titik tumbuh tertinggi dengan menggunakan benang dan penggaris. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali.

b. Diameter batang (cm)

(22)

dipangkal batang yang kemudian diberi tanda. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali.

c. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung mulai dari daun yang paling bawah hingga daun yang berada disekitar pucuk tanaman yang sudah terbuka sempurna. Menghitung daun dilakukan pada akhir penelitian

d. Luas daun (cm2)

Pengukuran luas daun diambil saat pengambilan data terakhir dari setiap bibit daun. Daun digambar pada kertas milimeter kemudian dilakukan scanning untuk mendapatkan pengukuran luas dengan program Image J.

e. Luas tajuk (cm2)

Pengukuran luas tajuk diambil saat pengambilan data terakhir dari setiap bibit sukun. Tajuk diambil fotonya dilakukan scanning untuk mendapatkan pengukuran luas dengan program Image J.

f. Kadar Air Daun (%)

Pengukuran kadar air dilakukan pada akhir penelitian dengan menimbang daun pada setiap perlakuan kemudian diovenkan (70-80ºC) selama 2 hari sehingga nanti memperoleh berat akhirnya. Dengan menggunakan rumus :

��=berat awal−berat akhir

berat akhir x 100%

g. Panjang dan Bobot Kering Akar

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang di lakukan selama 5 bulan terhadap pertumbuhan bibit sukun yang diberikan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dan penyiraman dengan parameter tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, kadar air daun dan bobot kering akar, maka dihasilkan data sebagai berikut:

Pertumbuhan Tinggi Bibit (cm)

Berdasarkan hasil pengukuran yang disajikan pada tabel 1 untuk pertambahan tinggi, terdapat selisih dari setiap perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dan faktor penyiraman. Untuk tinggi tertinggi di dapati pada perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dengan kerapatan 100% (M4) dikombinasikan

dengan perlakuan penyiraman 1x1 hari (M4S1) yaitu sekitar 238 cm. Untuk jumlah

pertumbuhan tinggi terendah terdapat pada bibit tanaman sukun dengan perlakuan kontrol dikombinasikan dengan penyiraman 1x7 hari (M0S4) yaitu sekitar 153 cm.

Berdasarkan uji analisis tabel anova, faktor kerapatan mulsa organik anyaman daun sawit dan penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata

Tabel 1. Pengamatan Pertumbuhan Tinggi (cm)Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

(24)

Ket: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7 Pertumbuhan Diameter Bibit Sukun (cm)

Pertambahan ukuran diameter dari setiap perlakuan mulai dari minggu pertama sampai minggu akhir mendapatkan ukuran yang berbeda-beda. Untuk pertambahan diameter tertinggi ditemukan pada tanaman sukun yang diberi perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dengan kerapatan 100% dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1x1 hari (M4S1) yaitu sekitar 3,19

cm. Jumlah untuk diameter terkecil terdapat pada tanaman sukun dengan perlakuan kontrol dengan penyiraman 1x7 hari (M0S4) yaitu sekitar 2,50 cm.

Untuk analisis ragam berdasarkan tabel anova menunjukkan bahwa mulsa organik anyaman daun sawit, penyiraman serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit sukun. Karena uji analisis ragam tidak berpengaruh nyata, maka tidak ada uji lanjutan yang di lakukan. Tabel 2. Pengamatan Pertumbuhan Diameter (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa

Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

(25)

Pertumbuhan Jumlah Daun (Helai)

Selisih pertumbuhan daun tanaman sukun memiliki perbedaan untuk setiap minggunya. Jumlah daun tanaman sukun terbanyak terdapat pada tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1x1 (M4S1) yaitu sekitar 26 helai

daun. Untuk selisih pertumbuhan daun sukun terendah terdapat pada tanaman sukun yang diberi perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% atau perlakuan kontrol dengan perlakuan penyiraman 1x7 (M0S4) yaitu sekitar 8

helai daun. Berdasarkan uji analisis tabel anova, faktor kerapatan mulsa organik anyaman daun sawit dan penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Uji Duncan yang dilakukan menyimpulkan bahwa mulsa dengan kerapatan M0, M1, M2, M3, dan M4

tidak berbeda nyata secara signifikan berdasarkan uji DMRT5%. Berbeda dengan faktor penyiraman perlakuan S1 dengan S2 tidak berbeda nyata secara signifikan

dan perlakuan S1 dan S4 berbeda nyata nyata secara signifikan.

Tabel 3. Pengamatan Pertumbuhan Jumlah Daun (helai) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rata-rata Ket: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak

(26)

Luas Daun (cm2)

Berdasarkan tabel 4 untuk luas daun tanaman sukun terdapat perbedaan yang cukup jauh untuk setiap perlakuan. Luas daun tertinggi terdapat pada tanaman sukun diberi perlakuan mulsa anyaman daun sawit kerapatan 100% dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1x1 hari yaitu seluas 1756,38cm² (M4S1). Luasan daun terendah terdapat pada tanaman sukun yang diberi perlakuan

anyaman daun sawit kerapatan 0% atau kontrol dengan perlakuan penyiraman 1x7 hari (M1S4) yaitu seluas 616,03 cm². Berdasarkan Uji DMRT 5% dapat

disimpulkan bahwa M0 dan M4 berbeda nyata secara signifikan, dan S1 dan S4

berbeda nyata secara signifikan.

Tabel 4. Pengamatan Luas (cm2) Daun Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rata-rata Ket: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak

berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7 Luas Tajuk (cm2)

Luas tajuk yang di ukur pada saat pengamatan terakhir berbeda- beda setiap perlakuan. Luas tajuk tertinggi terdapat pada tanaman sukun dengan pemberian mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dan perlakuan penyiraman 1x1 hari seluas 16674,25 cm² (M4S1), sedangkan luas tajuk terendah

(27)

cm². Berdasarkan Uji lanjutan (DMRT 5%) dapat disimpulkan bahwa perlakuan M0, M1, M2, M3 dan M4 tidak berbeda nyata secara signifikan, sama hal nya

dengan faktor penyiraman.

Tabel 5. Pengamatan Luas Tajuk (cm2) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

Perlakuan S1 S₂ S₃ S₄ Jumlah Rata-rata

Jumlah 59997,44 41417,45 40608,32 33677,65 175700,9

Rata-rata 11999,49 a 8283,49 a 8121,66 a 6735,53 a

Ket: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7 Panjang Akar (cm)

Berdasarkan data yang di dapatkan pada tanaman sukun, indikator panjang akar menjadi bagian dari parameter yang di amati. Dari tabel 6 diperoleh data panjang akar tanaman sukun tertinggi pada perlakuan tanaman sukun yang diberi mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dengan perlakuan penyiraman 1x1 hari (M4S1) dengan panjang yaitu 255,82 cm. Untuk panjang akar

terpendek ditemukan pada tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% yaitu kontrol (M0S4) sepanjang 139 cm.

Berdasarkan Uji Annova faktor mulsa dan penyiraman berpengaruh nyata, sehingga dilanjutkan dengan uji DMRT 5%. Uji lanjutan menyimpulkan bahwa faktor mulsa M0:M1 tidak berbeda nyata secara signifikan. M0:M4 berbeda nyata

(28)

Tabel 6. Pengamatan Panjang Akar (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rata-rata

M₀ 157,11 158,14 149,00 139,00 603,25 50,27 a M₁ 161,00 159,23 151,34 142,25 613,82 51,15 a M₂ 208,97 203,82 194,58 178,97 786,34 65,53 b M₃ 218,00 209,06 206,82 203,12 837,00 69,75 b M₄ 255,82 238,40 227,43 216,52 938,17 78,18 b Jumlah 1000,90 968,65 929,17 879,86 3778,58

Rata-rata 200,18 c 193,73 cb 185,83 ab 175,97 a 755,72

Ket: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7 Bobot Kering Akar (gr)

Bobot kering akar yang di hitung pada akhir pengamatan mendapati perbedaan untuk setiap perlakuan. Berdasarkan data yang di dapat menunjukkan bahwa persen bobot kering akar tertinggi dimiliki oleh tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dengan penyiraman 1x1 hari (M4S1). Untuk bobot kering akar terendah dimiliki oleh

tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% atau kontrol dikombinasikan dengan penyiraman 1x7 hari (M0S4) yaitu

83,87gr. Berdasarkan uji annova mulsa dan penyiraman berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar, sedangkan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh nyata. Uji lanjutan DMRT 5% menunjukkan bahwa faktor M0, M1, M2, M3, M4

tidak berbeda nyata secara signifikan. Faktor penyiraman S1: S2 tidak berbeda

(29)

Tabel 7. Pengukuran Bobot Kering Akar (gr) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

Perlakuan S₁ S₂ S₃ S₄ Jumlah Rata-rata

Ket: Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT 5%. M0: kontrol, M1: kerapatan 25%, M2: kerapatan 50%, M3: kerapatan 75%, M4: kerapatan 100%, S1: penyiraman 1x1, S2: penyiraman 1x3, S3: penyiraman 1x5, S4: penyiraman 1x7 Kadar Air Daun (%)

Kadar air daun yang disajikan pada tabel 8 menunjukkan bahwa kadar air daun tertinggi dimiliki oleh tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 100% dengan penyiraman 1x1 hari (M4S1) yaitu

605%, sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh tanaman sukun dengan perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit kerapatan 0% dengan penyiraman 1x7 hari (M0S4) yaitu sebesar 153,33%. Berdasarkan uji lanjutan DMRT 5%,

faktor mulsa M0, M1, M2, M3, M4 tidak berbeda nyata secara signifikan. Faktor

penyiraman S₁ dengan S₄ berbeda nyata secara signifikan.

Tabel 8. Pengukuran Kadar Air Daun (%) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman.

Perlakuan S₁ S S S Jumlah Rata-rata

(30)

Pembahasan

Berdasarkan hasil uji analisis keragaman menunjukkan bahwa mulsa organik anyaman daun sawit berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, bobot kering akar dan kadar air daun. Mulsa terbaik ditemukan pada kerapatan 100% (M4) terbukti dari jumlah

tinggi yang cukup besar pada perlakuan ini. Tinggi tanaman merupakan sumbu utama pertumbuhan ujung tanaman (titik tumbuh) yang dibentuk oleh pertumbuhan primer dengan jaringan penyusun jaringan primer yang diperkuat oleh pertumbuhan sekunder. Mulsa anyaman daun sawit berfungsi sebagai media penahan air yang membantu menjaga suhu, kelembaban tanah, menekan pertumbuhan gulma dan menciptakan kondisi yang sesuai bagi tanaman. Umboh (2002) menyatakan bahwa mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik.

(31)

baik bagi perbaikan sifat fisik tanah, meningkatkan penyerapan air tanah, mengurangi kisaran suhu dan dapat mengurangi kisaran suhu tanah dan dapat mengendalikan pertumbuhan gulma, mempertinggi kadar humus tanah dan memperbaiki aerasi dan drainase tanah sehingga akar dapat berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman akan lebih subur.

Meningkatnya jumlah helai daun mengakibatkan proses fotosintesis yang terjadi di daun semakin meningkat dipengaruhi oleh luas daun yang berkembang baik itu melalui distribusi jumlah stomata daun maupun jaringan epidermis daun. Penelitian dirumah kaca ini dipengaruhi oleh suhu yang sudah terstruktur (homogen) sehingga tumbuhan mudah mengalami transpirasi. Mulsa yang digunakan berfungsi untuk menjaga kelembaban tanah, karena pada dasarnya tanaman membutuhkan air dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan adanya mulsa dikaji bisa menahan air dan mengurangi laju transpirasi tumbuhan dan meningkatkan pertumbuhan sekunder, primer dan luas daun. Peningkatan komponen pertumbuhan akan berpengaruh terhadap indeks luas daun,tinggi tanaman dan laju pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syaifuddin dan Pranowo (2007) yang menyatakan bahwa, perlakuan tanpa mulsa menyebabkan perubahan kandungan air tanah cukup besar, sehingga terjadi defisit air yang menghambat pertumbuhan tinggi tanaman. Cekaman air akan menyebabkan suhu daun meningkat, stomata menutup, dan fotosintesis menurun, sebagai akibatnya respirasi meningkat yang dapat mengurangi hasil asimilasi netto.

(32)

untuk pembentukan glukosa dalam rangka fotosintesis (asimilat) yang akan mempengaruhi daun dan luas tajuk. Luas tajuk dan luas daun menggambarkan kemampuan tanaman menyerap radiasi matahari untuk proses fotosintesis. Jika tanaman mengalami kekeringan akibat kekurangan air atau suhu tinggi yang menyebabakan transpirasi meningkat maka proses metabolisme tumbuhan akan terhambat. Jaringan tumbuhan tidak akan bisa bekerja untuk proses asimilasi karbon.

Suhu rumah kaca yang tinggi, menyebabkan laju potensial air melalui proses difusi akar menjadi lebih meningkat dan dapat menyebabkan kerusakan struktur maupun kehancuran enzim. Penggunaan mulsa sebagai penahan air bisa menjadi faktor pendukung untuk mengurangi kerusakan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang ekstrim. Hal ini sesuai pernyataan Hamdani (2009) bahwa salah satu pendekatan untuk mengatasi kehilangan air akibat evaporasi adalah dengan cara pemberian mulsa. Mulsa merupakan material penutup tanah tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan optimal.

(33)

untuk proses pertumbuhan terutama pemanjangan akar. Pendeknya akar pada suatu tanaman akar berpengaruh pada pertumbuhan bagian lain tanaman diantara nya diameter dan luas tajuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guritno dan Sitompul, (1995) bahwa tanaman yang tumbuh dalam keadaan kurang air akan membentuk akar yang lebih banyak dengan hasil yang lebih rendah dari tanaman yang tumbuh dalam cukup air.

Faktor penyiraman terbaik terdapat pada penyiraman 1x1 hari, hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan bibit tanaman sukun dari semua parameter yang diamati. Air adalah komponen penting dalam pertumbuhan tanaman, karena sifatnya sebagai pelarut dan membawa ion-ion tanah kedalam akar. Ketersediaan air yang cukup pada media tanam akan menjamin kelangsungan pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman. Salah satu faktor penentu ketersediaan air tanah adalah penyiraman, baik jumlah maupun frekuensi penyiraman. Sesuai dengan penelitian Setiawan etal. (2013) bahwa penyiraman dengan interval 9 hari sekali menurunkan kadar lengas tanah sekitar 51,2% dibandingkan penyiraman setiap hari dan penyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan.

(34)

peresapan air oleh akar, maka tanaman tersebut ada di dalam keadaan layu sepanjang hari.Jika pada malam hari pemasukan air lebih banyak dari pengeluaran, maka pulihlah turgor dan tanaman tampak segar lagi.

(35)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan pemberian mulsa organik anyaman daun sawit terhadap tanaman sukun memberikan berbagai pengaruh terhadap parameter- parameter yang diamati antara lain: tinggi, jumlah daun, luas daun, luas tajuk,panjang akar bobot kering akar dan kadar air daun

2. Perlakuan penyiraman terhadap tanaman sukun memberikan berbagai pengaruh terhadap parameter yang diamati antara lain: tinggi, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, bobot kering akar dan kadar air daun 3. Perlakuan interaksi antara mulsa organik anyaman daun sawit dan

penyiraman memberikan beberapa pengaruh terhadap parameter pengamatan

tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit sukun (Artocarpus communis).

4. Perlakuan mulsa organik anyaman daun sawit dengan kerapatan 100% memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan bibit sukun, sedangkan pemberian air yang paling relevan memberikan pengaruh pertumbuhan yang baik adalah penyiraman dengan interval penyiraman 1x1 hari.

Saran

(36)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Syarat Tumbuh Sukun

Tanaman Sukun merupakan tanaman yang memiliki kemampuan bertahan hidup dari kondisi cekaman lingkungan yang tinggi. Klasifikasi Sukun (Artocarpus communis) menurut Triwiyatno (2003) adalah:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua) Ordo : Urticales

Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus communis

Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada berbagai jenis tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian kurang lebih 600 m dari permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara 80-100 inchi per pertahun dengan kelembaban 60 - 80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab panas, dengan temperatur antara 15 - 38 °C (Irwanto, 2006).

(37)

13.359 ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Jambi (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007).

Peranan Mulsa Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Pemberian mulsa organik secara nyata juga mempengaruhi peningkatan jumlah daun, luas daun, bobot segar dan bobot kering tajuk, bobot segar dan bobot kering akar. Peningkatan komponen pertumbuhan akan diikuti oleh peningkatan indeks luas daun dan laju pertumbuhan tanaman. Pada panjang akar, penggunaan mulsa ternyata tidak mempengaruhi peningkatannya, serta tidak mempengaruhi peningkatan laju asimilasi bersih maupun indeks panen. Indeks luas daun (ILD) merupakan gambaran tentang rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang ditempati oleh tanaman. ILD ini juga menggambarkan kemampuan tanaman menyerap radiasi matahari untuk proses fotosintesis. Semakin tinggi ILD menunjukkan semakin efisien penyerapan cahaya matahari, meningkatkan laju fotosintesis serta hasil asimilatnya (Sunghening dkk, 2008).

Salah satu pendekatan untuk mengatasi kehilangan air akibat evaporasi adalah dengan cara pemberian mulsa. Mulsa merupakan material penutup tanah tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan optimal. Penggunaan mulsa jerami padi dapat mengendalikan evaporasi sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air (Hamdani, 2009).

(38)

bahan organik tanah (0,29%), N total (0,12%), K tersedia (0,64 me 100 g-1), nisbah C/N tanah (0,25) lebih tinggi daripada tanpa mulsa, tetapi tidak

menunjukkan perbedaan terhadap P tersedia dan pH (H2O) tanah (Puji dkk, 2009)

Menurut Pratiwi (2005) penggunaan mulsa organik yaitu berupa sisa

pemanenan hasil hutan seperti cabang, ranting, gulma dan daun-daun telah

digunakan untuk konservasi tanah dan air melalui penerapan teknik mulsa

vertikal. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan mulsa tersebut kedalam

saluran atau alur sesuai kontur dan sebaiknya dikombinasikan dengan pembuatan

guludan. Penempatan mulsa vertikal dapat dilakukan pada lahan yang baru dibuka

maupun di hutan tanaman yang telah membentuk tajuk. Penggunaan mulsa

vertikal telah mampu mengurangi laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan

unsur hara.

Penggunaan mulsa organik memberikan hasil yang baik karena selain mensuplai kebutuhan P bagi tanaman, juga dapat mensuplai hara lainnya. Disamping dapat mernpertahankan kelembaban tanah sehingga kebutuhan air bagi tanaman dapat tersedia dibanding tanpa mulsa (Raihan et al.,2001).

Terjadinya dekomposisi dari bahan mulsa organik sehingga mensuplai unsur hara bagi tanaman dan kondisi lingkungan serta mempermudah mineral dari bahan organik untuk digunakan oleh tanaman (Kumalasari et al., 2005).

Penggunaan mulsa organik berupa daun-daun telah digunakan oleh masyarakat di pulau Bangka pada tanaman lada. Daun-daun serta ranting

dikumpulkan dari hutan dan diletakkan diantara tanaman lada dengan ketebalan

(39)

terdapat gulma dan menambah kesuburan setelah daun menjadi hancur

(Effendi, 2010).

Mulsa daun kering yang diletakkan disekitar tanaman akan berfungsi

minimal tiga hal yaitu (a) menekan gulma sehingga tanaman pokok tidak bersaing

dengan gulma (b) mulsa daun kering yang hancur / terdekomposisi akan hancur

dan menjadi unsur hara yang langsung dapat dimanfaatkan oleh akar untuk

pertumbuhan dan (c) adanya cacing disekitar tanah dibawah tanaman akan

memperbaiki aerasi karena cacing membuat lobang didalam tanah

(Hartono, 2012).

Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Mulsa dibedakan menjadi dua macam dilihat dari bahan asalnya, yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik. Mulsa anorganik berasal dari bahan-bahan sintesis yang sukar atau tidak dapat terurai. Contoh mulsa yang tergolong anorganik adalah mulsa plastik bening, mulsa plastik hitam, perak dan mulsa plastik hitam. Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa tanaman, jerami dan alang-alang (Umboh, 2002).

Pemberian mulsa organik pada tanah akan pengaruh yang baik bagi

(40)

Syaifuddin dan Pranowo, (2007) menyatakan bahwa, perlakuan tanpa

mulsa menyebabkan perubahan kandungan air tanah cukup besar, sehingga terjadi defisit air yang menghambat pertumbuhan tinggi tanaman. cekaman air akan menyebabkan suhu daun meningkat, stomata menutup, dan fotosintesis menurun, sebagai akibatnya respirasi meningkat yang dapat mengurangi hasil asimilasi netto.

Peranan Air dalam Pertumbuhan Tanaman

Ketersediaan air yang cukup pada media tanam akan menjamin

kelangsungan pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman. Salah satu faktor penentu ketersediaan air tanah adalah penyiraman, baik jumlah maupun frekuensi penyiraman. Interval penyiraman yang semakin panjang akan menurunkan ketersediaan air dalam tanah dan mengakibatkan tanaman berada pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Setiawan etal (2013) menunjukkan bahwa penyiraman dengan interval 9 hari sekali menurunkan kadar lengas tanah sekitar 51,2% dibandingkan penyiraman setiap hari dan penyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan.

Penyiraman 12 hari menghasilkan berat kering yang lebih rendah daripada penyiraman 2 hari sekali, namun demikian tidak memengaruhi pembagian asimilat ke bagian tanaman. Terbentuknya asimilat yang lebihrendah pada penyiraman 12 hari sekali disebabkan padakondisi kering diduga terjadi

penurunan penyerapanair per unit massa akar dan mungkin juga serapanhara

berkurang (Sakya dkk, 2015).

Ketersediaan air di dalam tanah merupakan salah satu faktor lingkungan

(41)

Setelah 120 hari ditanam pada tanah jenuh air tanpa penyiraman di dalam rumah kaca fiber, semua varietas/nomor yang diuji terlihat mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan gugurnya sebagian daun tua. Rendahnya intensitas mata hari di dalam rumah kaca disebabkan oleh kondisi atap fiber glass yang digunakan sudah relatif lama dan hanya mampu meneruskan cahaya matahari sebesar 1.000 lux, sehingga menyebabkan laju evaporasi dan transpirasi menjadi relatif rendah dan lambat. Lambatnya evapotranspirasi tanah menyebabkan tanaman nilam mampu mencari air dengan memperpanjang akarnya ke tanah bagian bawah pot yang lebih lembap. Hal tersebut sama halnya dengan ubi jalar yang mampu memperpanjang akarnya ke dasar tanah sampai 2 m untuk mencari air pada saat terjadi kekeringan (Onwueme, 1978 dalam Djazuli 2010).

Tanaman pada kondisi cekaman kekeringan akan lebih banyak

(42)

digunakan untuk pertumbuhan akar atau memproduksi osmotic adjustment termasuk antosianin (Samyuni dkk. 2015).

Mekanisme Adaptasi terhadap Cekaman Kekeringan

Akar adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tanaman dan mempunyai fungsi yang sama pentingnya dengan bagian atas tanaman, potensi pertumbuhan akar perlu dicapai sepenuhnya untuk mendapatkan potensi pertumbuhan bagian atas tanaman, ini berarti bahwa semakin banyak akar semakin tinggi hasil tanaman, konsep keseimbangan morfologi merupakan yang paling sering digunakan sebagaimana yang dilakukan dalam hubungan allometrik. Konsep ini yang mempunyai pengertian bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan pertumbuhan bagian lain. Hubungan akar dengan tajuk mula-mula lebih banyak ditekankan dari segi morfogenetik seperti dalam pandangan semakin banyak akar semakin baik hasil tanaman. Tetapi tanaman yang tumbuh dalam keadaan kurang air akan membentuk akar yang lebih banyak dengan hasil yang lebih rendah dari tanaman yang tumbuh dalam cukup air (Guritno dan Sitompul, 1995).

(43)

tahunan berkayu cenderung mempunyai daun bila suplai ainya cukup untuk transpirasi. Pada permulaan kekeringan yang panjang, kehilangan air berkurang secara dramatis dengan absisi daun (Fitter dan Hay, 1991).

Bila suatu tanah tidak lagi mengandung air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan suatu tanaman, sehingga tanaman yang tumbuh disitu mulai layu, maka kita akan katakan, bahwa tanah itu sudah sampai pada persenan layu atau pada titik layunya. Persenan ini disebut juga koefisien-layu. Sudah tentu titik layu itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis tanah. Titik layu juga berlainan sesuai dengan jenis tanaman. Tanah yang sudah terlalu kering untuk suatu higrofit misalnya, tanah itu masih cukup bagi suatu serofit. Kalau sepanjang hari penguapan terus menerus lebih hebat daripada peresapan air oleh akar, maka tanaman tersebut ada di dalam keadaan layu sepanjang hari. Jika pada malam hari pemasukan air lebih banyak dari pengeluaran, maka pulihlah turgor dan tanaman tampak segar lagi (Dwijoseputro,2009).

(44)

daun-daun yang lebih kecil dibawah cekaman daripada yang terbentuk dibawah kondisi cukup air (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Kondisi Rumah Kaca

Pada rumah kaca, bukan hal yang tidak mungkin terjadi perubahan temperatur dan kelembaban yang sangat drastis. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, terutama oleh kondisi lingkungan di rumah kaca. Misalnya cuaca yang panas, jika terjadi dalam waktu yang relatif lama, maka hal ini akan mempengaruhi kondisi di dalam rumah kaca tersebut. Hal serupa juga bisa terjadi dengan kelembaban relatif, jika terjadi perubahan yang ekstrem, maka tanaman tertentu akan terganggu pertumbuhannya. Untuk itu kestabilan temperatur dan kelembaban dalam rumah kaca perlu dijaga agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dalam upaya untuk menjaga kestabilan temperatur dan kelembaban dalam rumah kaca, dapat dibuat suatu alat yang akan mengendalikan temperatur dan kelembaban secara otomatis. Dengan adanya

otomatisasi ini, tentu saja hal ini akan membantu pekerjaan manusia (Kristanto, 2005).

(45)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dikaruniai dengan salah satu hutan tropis yang paling luas dan tinggi tingkat kaya keanekaragaman hayatinya di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Berkurangnya luasan hutan alam di Indonesia merupakan sambutan hangat terbentuknya Hutan Tanaman Industri (HTI) yang merupakan kawasan hutan produksi yang menerapkan budidaya kehutanan (silvikultur) secara intensif untuk memenuhi bahan baku industri kehutanan, baik kayu maupun non kayu. Di tengah semakin langkanya hutan produksi alam, HTI menjadi tumpuan produksi hasil hutan masa depan.

Tanaman sukun merupakan tanaman tahunan yang termasuk ke dalam famili Moraceae. Daerah asalnya adalah Pacifik, Polynesia, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kanopi pohon sukun sangat bagus, memiliki warna daun hijau tua dengan sistem perakaran yang kuat, sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan pencegah intrusi air laut ke darat di sekitar pantai. Pada masa lalu sukun dianggap penting bagi kehidupan bangsa. Pada tradisi Hawai, sukun digunakan sebagai simbol kreativitas dan penggugah kedermawanan. Namun sekarang produsen sukun terbesar didunia adalah Kepulauan Karibia, yang memanfaatkan sukun sebagai makanan pokok (Alrasyid 1993).

(46)

Aceh, Sumatera Utara, Pulau Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua/Irian. Pada umumnya masing-masing daerah menyatakan keunggulan dari sukun daerahnya, sedangkan informasi yang menjelaskan jenis-jenis sukun yang ada di Indonesia belum ada (Pitojo, 1992).

Penggunaan mulsa organik merupakan pilihan alternatif yang tepat karena mulsa organik terdiri dari bahan organik sisa tanaman (seresah padi, serbuk gergaji, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman yang akan dapat memperbaiki kesuburan, struktur dan secara tidak langsung akan mempertahankan agregasi dan porositas tanah, yang berarti akan mempertahankan kapasitas tanah menahan air, setelah terdekomposisi (Forth ,1994).

Penggunaan mulsa bertujuan untuk mencegah kehilangan air dari tanah sehingga kehilangan air dapat dikurangi dengan memelihara temperatur dan kelembaban tanah. Aplikasi mulsa merupakan salah satu upaya menekan pertumbuhan gulma, memodifikasi keseimbangan air, suhu dan kelembaban tanah serta menciptakan kondisi yang sesuai bagi tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Mulyatri, 2003).

Tanaman tahan kering dalam pengembangan pemuliaan tanaman pertama-tama perlu diketahui tanggapan tanaman tersebut terhadap kekeringan, untuk mengetahui sejauh mana tingkat toleransinya salah satunya mengenai tanggap tanaman terhadap lengas tanah tersedia di lapangan (Lestari, 2006).

(47)

berakibat buruk karena akan mengganggu proses-proses metabolisme dalam tubuh tanaman (Jasminarni, 2008)

Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan kerapatan mulsa organik

dan frekuensi penyiraman terbaik terhadap pertumbuhan bibit sukun (Artocarpus communis) di rumah kaca.

Manfaaat Penelitian

Sebagai informasi untuk penggunaan berbagai kerapatan mulsa organik sebagai media tambahan untuk membantu tanaman memperoleh air yang cukup terutama pada lahan dengan kadar air yang sedikit serta untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Hipotesis penelitian

1. Mulsa organik anyaman daun sawit berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun.

2. Interval penyiraman yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman sukun.

(48)

ABSTRAK

TRIA YUNITA SINAGA: Pengaruh Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus communis). Dibawah bimbingan BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Pemanfaatan hutan alam yang tidak diimbangi oleh usaha pemeliharaan dan perawatan, akan menyebabkan kerusakan hutan sehingga mengakibatkan berkurangnya luas hutan alam dan menurunnya kualitas lahan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi alternatif dalam memenuhi bahan baku industri kehutanan baik kayu maupun non kayu. Dalam mendukung pertumbuhan tanaman sukun diperlukan media penahan air seperti mulsa dalam meningkatkan kapasitas resapan tanah terhadap air. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kerapatan mulsa organik dan frekuensi penyiraman terbaik terhadap pertumbuhan bibit sukun dirumah kaca. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU). Metode yang digunakan yaitu dengan menganalisis pengaruh mulsa organik anyaman daun sawit dan interval penyiraman terhadap pertumbuhan bibit sukun selama 4 bulan. Parameter yang diamati adalah tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, bobot kering akar, dan kadar air daun. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa organik anyaman daun sawit dan interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit sukun kecuali pada parameter diameter bibit. Interaksi antara mulsa organik anyaman daun sawit dan interval penyiraman tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Mulsa terbaik pada kerapatan 100% dan penyiraman terbaik.

(49)

ABSTRACT

Effect of Organic Mulch Woven Palm Leaves and Watering Interval to Growth of Breadfruit (Artocarpus communis). Under the supervision of BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

The utilization of natural forests that are not offset by the maintenance and care efforts will lead to the destructing of forest so that decreased natural forest and quality of land in Indonesia. Therefore Industrial Forest (HTI) become alternative in serve the raw material of the forestry industry both wood and non wood. In order to support the growth of plants required breadfruit water retention media such as mulsa in increasing the diffusion capacity of the land to water. In supporting the growth of breadfruit needed water-retaining medium such as mulch to improve soil infiltration capacity for water. This research aims to get optimum organic mulch density and watering interval to growth of breadfruits in green house This research has done in green house at Agriculture Faculty of the University of North Sumatera (USU). The method used to analyze the effect of organic mulch woven palm leaf and watering interval to growth of breadfruits for 4 months. The observed parameter is height, diameter, number of leaves, leaves width, canopy width, length of roots, dry weight of roots and moisture levels of leaves. Analysis data using the factorial complete random design (RALF).

(50)

PENGARUH MULSA ORGANIK ANYAMAN DAUN SAWIT

DAN INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP

PERTUMBUHAN BIBIT SUKUN

(Artocarpus communis)

SKRIPSI

OLEH:

TRIA YUNITA SINAGA 1212011137/BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(51)

PENGARUH MULSA ORGANIK ANYAMAN DAUN SAWIT

DAN INTERVAL PENYIRAMAN TERHADAP

PERTUMBUHAN BIBIT SUKUN

(Artocarpus communis)

OLEH:

TRIA YUNITA SINAGA 1212011137/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(52)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengaruh MulsaAnyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus Communis)

Nama : Tria Yunita Sinaga

NIM : 121201137

Program studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Budi Utomo, S.P., M.P

NIP. 1970081202003121002 NIP. 197311052002121001 Afifuddin Dalimunthe, S.P.,MP

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan

NIP. 197104062001122001 SitiLatifah, S.Hut, M.Si, Ph.D

(53)

ABSTRAK

TRIA YUNITA SINAGA: Pengaruh Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus communis). Dibawah bimbingan BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Pemanfaatan hutan alam yang tidak diimbangi oleh usaha pemeliharaan dan perawatan, akan menyebabkan kerusakan hutan sehingga mengakibatkan berkurangnya luas hutan alam dan menurunnya kualitas lahan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi alternatif dalam memenuhi bahan baku industri kehutanan baik kayu maupun non kayu. Dalam mendukung pertumbuhan tanaman sukun diperlukan media penahan air seperti mulsa dalam meningkatkan kapasitas resapan tanah terhadap air. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kerapatan mulsa organik dan frekuensi penyiraman terbaik terhadap pertumbuhan bibit sukun dirumah kaca. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU). Metode yang digunakan yaitu dengan menganalisis pengaruh mulsa organik anyaman daun sawit dan interval penyiraman terhadap pertumbuhan bibit sukun selama 4 bulan. Parameter yang diamati adalah tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, panjang akar, bobot kering akar, dan kadar air daun. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa organik anyaman daun sawit dan interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit sukun kecuali pada parameter diameter bibit. Interaksi antara mulsa organik anyaman daun sawit dan interval penyiraman tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Mulsa terbaik pada kerapatan 100% dan penyiraman terbaik.

(54)

ABSTRACT

Effect of Organic Mulch Woven Palm Leaves and Watering Interval to Growth of Breadfruit (Artocarpus communis). Under the supervision of BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

The utilization of natural forests that are not offset by the maintenance and care efforts will lead to the destructing of forest so that decreased natural forest and quality of land in Indonesia. Therefore Industrial Forest (HTI) become alternative in serve the raw material of the forestry industry both wood and non wood. In order to support the growth of plants required breadfruit water retention media such as mulsa in increasing the diffusion capacity of the land to water. In supporting the growth of breadfruit needed water-retaining medium such as mulch to improve soil infiltration capacity for water. This research aims to get optimum organic mulch density and watering interval to growth of breadfruits in green house This research has done in green house at Agriculture Faculty of the University of North Sumatera (USU). The method used to analyze the effect of organic mulch woven palm leaf and watering interval to growth of breadfruits for 4 months. The observed parameter is height, diameter, number of leaves, leaves width, canopy width, length of roots, dry weight of roots and moisture levels of leaves. Analysis data using the factorial complete random design (RALF).

(55)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Parapat, Sumatera Utara pada tanggal 29 Juni 1994 dari ayah Kornelus Sinaga dan ibu Sukarni. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Girsang Sipangan Bolon dan pada tahun 2012 diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) program reguler.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2014 di Hutan Mangrove Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2016 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Inhutani 1 Unit Managemen Hutan Tanaman Industri (UMHTI) Batuampar-Mentawir, Balikpapan, Kalimantan Timur (03 Februari-03 Maret 2016).

(56)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun (Artocarpus comunnis)” ini tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua keluaraga penulis yang telah membimbing, mendidik, dan memberikan semangat, serta mendukung penulis selama ini baik materi maupun moril. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Budi Utomo S.P., M.P dan Afifuddin Dalimunthe, S.P, MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa/i yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi mahasiswa Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2016

(57)

DAFTAR ISI

Klasifikasi dan Syarat Tumbuh Sukun ... 4

Peranan Mulsa Terhadap Pertumbuhan Tanaman... 5

Peranan Air dalam Pertumbuhan Tanaman... 8

Mekanisme Adaptasi Terhadap Cekaman Kekeringan ... 10

Kondisi Rumah Kaca ... 12

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Alat Dan Bahan Penelitian ... 13

Metode Penelitian... 13

Prosedur Penelitian... 14

Parameter Pengamatan ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tinggi Bibit (cm) ... 17

Pertumbuhan Diameter Bibit (cm) ... 18

Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit (helai) ... 19

Luas Daun Bibit (cm2) ... 20

Luas Tajuk Bibit (cm2) ... 20

Pamjang Akar Bibit ... 21

(58)

DAFTAR TABEL

1. Pengamatan Pertumbuhan Tinggi (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan

Mulsa Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman. ... 17 2. Pengamatan Pertumbuhan Diameter (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan

Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman ... 18 3. Pengamatan Pertumbuhan Jumlah Daun Bibit Sukun dengan Perlakuan

Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman ... 19 4. Pengamatan Luas Daun (cm2) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa

Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman ... 20 5. Pengamatan Luas Tajuk (cm2) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa

Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman ... 20 6. Pengamatan Panjang Akar (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa

Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman ... 21 7. Pengukuran Bobot Kering Akar (gr) Bibit Sukun dengan Perlakuan

Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Interval Penyiraman ... 21 8. Pengukuran Kadar Air Daun (%) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa

(59)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pertumbuhan Tinggi dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 33

2. Pertumbuhan Diameter dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 35

3. Pertumbuhan Jumlah Daun dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 38

4. Luas Daun dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 41

5. Luas Tajuk dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 42

6. Panjang Akar dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 43

7. Bobot Kering Akar dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 43

8. Kadar Air Daun dan Analisis Ragam Bibit Sukun ... 44

Gambar

Tabel 1.  Pengamatan Pertumbuhan Tinggi (cm)Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman
Tabel 2.  Pengamatan Pertumbuhan Diameter (cm) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa  Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman
Tabel 3. Pengamatan Pertumbuhan Jumlah Daun (helai) Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman
Tabel 4. Pengamatan Luas (cm2) Daun Bibit Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Anyaman Daun Sawit dan Penyiraman
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan kegiatan Pemilihan Langsung Pascakualifikasi Pekerjaan Renovasi Atap Gedung Kantor Pertanahan Kabupaten Bantaeng Tahun Anggaran 2016, yang saat ini telah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012

Pokja ULP/Panitia Pengadaan Sarana Pendukung Pelayanan Kontrasepsi pada Satuan Kerja Perwakilan BkkbN Provinsi Jawa Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana (Lelang

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012

2013 pada Satuan Kerja Perwakilan BkkbN Provinsi Jawa Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan Pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan barang secara

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012

Jadwal Pelaksanaan, disebutkan bahwa Rekanan harus menyelesaikan pekerjaan pencetakan selama 7 hari kalender setelah dummy disetujui untuk dicetak.. Pada daftar kuantitas

• Proposal credit transfer antara PT di Indonesia dan Mitra Dampak • Peningkatan jumlah mahasiswa peserta program mobilitas...