Lampiran 1
KUESIONER
HUBUNGAN KADAR NO2 PADA PROSES PEMBAKARAN BATU BATA SECARA TRADISIONAL, LAMA PAPARAN, DAN KARAKTERISTIK PENGRAJIN BATU BATA DENGAN KELUHAN GANGGUAN SALURAN PERNAPASAN PADA PENGRAJIN BATU BATA DI KECAMATAN PAGAR
MERBAU TAHUN 2016
A1 Sudah berapa lama anda bekerja? A2 Berapa jam anda bekerja dalam sehari?
B Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan B1 Apakah selama bekerja, anda memiliki keluhan
kesehatan yang berkaitan dengan saluran pernapasan? (1)Ya (2)Tidak
B2 Apakah anda sering mengalami batuk-batuk? (1) Ya (2) Tidak
(2) > 3 hari
B4 Apakah anda sering mengalami batuk dengan sputum (batuk berdahak)?
(1) Ya (2) Tidak
B5 Sudah berapa lama anda mengalaminya? (1) ≤3 hari
(2) > 3 hari
B6 Apakah anda sering mengalami batuk darah? (1) Ya (2) Tidak
B7 Sudah berapa lama anda mengalaminya? (1) ≤3 hari
(2) > 3 hari
B8 Apakah anda sering merasakan keluhan sesak napas? (1) Ya (2) Tidak
B9 Pada saat kapan anda mengalaminya? (1) Pada saat bekerja
(2) Setelah selesai bekerja
B10 Apakah anda sering merasakan keluhan nyeri dada? (1)Ya (2) Tidak
B11 Pada saat kapan anda mengalaminya? (1) Pada saat bekerja
(2) Setelah selesai bekerja
C Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
C1 Apakah anda menggunakan masker pada saat bekerja? (1) Ya (2) Tidak
C2 Apakah anda menggunakan topi pada saat bekerja? (1) Ya (2) Tidak
C3 Apakah anda menggunakan sarung tangan saat bekerja? (1) Ya (2) Tidak
C4 Apakah anda menggunakan baju kerja saat bekerja? (1)Ya (2) Tidak
Lampiran 3
DOKUMENTASI HASIL PENELITIAN
Gambar 1. Area Produksi Batu Bata
Gambar 3. Kilang Pembakaran Batu Bata
Gambar 5. Pekerja Memeriksa Api Pembakaran Batu Bata
Gambar 7. Wawancara Responden Laki-laki
Lampiran 4
HASIL ANALISIS UNIVARIAT DAN BIVARIAT Umur responden
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid >40 tahun 17 42.5 42.5 42.5
<40 tahun 23 57.5 57.5 100.0
Total 40 100.0 100.0
Jenis kelamin responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid perempuan 9 22.5 22.5 22.5
laki-laki 31 77.5 77.5 100.0
Total 40 100.0 100.0
Masa kerja responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid >5 tahun 25 62.5 62.5 62.5
<5 tahun 15 37.5 37.5 100.0
APD masker
Valid menggunakan masker 3 7.5 7.5 7.5
tidak menggunakan
Valid menggunakan topi 40 100.0 100.0 100.0
APD sarung tangan
sarung tangan 20 50.0 50.0 100.0
APD baju kerja
baju kerja 1 2.5 2.5 100.0
Total 40 100.0 100.0
>8 jam 10 25.0 25.0 100.0
Total 40 100.0 100.0
Valid ada keluhan pernapasan 25 62.5 62.5 62.5
tidak ada keluhan
Valid ada keluhan batuk 20 50.0 50.0 50.0
tidak ada keluhan
batuk 20 50.0 50.0 100.0
Keluhan sesak napas
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ada keluhan sesak napas 7 17.5 17.5 17.5
tidak ada keluhan sesak
napas 33 82.5 82.5 100.0
Total 40 100.0 100.0
Keluhan nyeri dada
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ada keluhan nyeri dada 4 10.0 10.0 10.0
tidak ada keluhan nyeri
dada 36 90.0 90.0 100.0
Kadar NO2* Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan Mann Whitney Test
Descriptives
keluhan pernapasan Statistic Std. Error
kadar NO2 1 Mean 49.2948 1.63247
Ranks keluhan
pernapasan N Mean Rank Sum of Ranks
kadar NO2 1 25 19.54 488.50
2 15 22.10 331.50
Lama paparan* Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan Crosstabulation
lama paparan 8 jam Count 20 10 30
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square .889a 1 .346
Continuity Correctionb .320 1 .572
Likelihood Ratio .871 1 .351
Fisher's Exact Test .457 .283
N of Valid Casesb 40
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.75. b. Computed only for 2x2 table
Umur responden * Keluhan gangguan saluran pernapasan Crosstabulation
umur responden >40 tahun Count 16 1 17
% within umur responde n
94.1% 5.9% 100.0%
<40 tahun Count 9 14 23
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 12.610a 1 .000
Continuity
Correctionb 10.373 1 .001
Likelihood Ratio 14.530 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
N of Valid Casesb 40
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.38. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for umur responden
(>40 tahun / <40 tahun) 24.889 2.794 221.711
For cohort keluhan pernapasan =
ada keluhan pernapasan 2.405 1.425 4.059
For cohort keluhan pernapasan =
tidak ada keluhan pernapasan .097 .014 .665
Jenis kelamin responden * keluhan pernapasan
Pearson Chi-Square 6.968a 1 .008
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.38.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort keluhan pernapasan =
ada keluhan pernapasan 1.938 1.378 2.724
N of Valid Cases 40
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.184a 1 .023
Continuity
Correctionb 3.762 1 .052
Likelihood Ratio 5.181 1 .023
Fisher's Exact Test .042 .026
N of Valid Casesb 40
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.63. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for masa kerja
responden (>5 tahun / <5 tahun) 4.750 1.193 18.916
For cohort keluhan pernapasan =
ada keluhan pernapasan 1.900 .984 3.668
For cohort keluhan pernapasan =
tidak ada keluhan pernapasan .400 .178 .900
Penggunaan APD masker * Keluhan gangguan saluran pernapasan
Pearson Chi-Square 5.405a 1 .020
Continuity Correctionb
2.907 1 .088
Likelihood Ratio 6.299 1 .012
Fisher's Exact Test .046 .046
N of Valid Casesb 40
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.13.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
For cohort keluhan pernapasan =
tidak ada keluhan pernapasan 3.083 1.937 4.909
35 erwin 2 32 7 1 8 2 63,2 0
2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2
36 rusli 2 57 4 2 8 2 63,2 0
2 2 1 1 1 1 2 2 2 1 2
37 yusuf 2 33 1 2 8 2 63,2 0
2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2
38 herman 2 23 3 2 13 3 63,2 0
2 2 1 2 1 2 2 2 2 2 2
39 suriant o
2 34 2 2 8 2 63,2
0
2 2 1 1 1 2 2 2 2 2 2
40 suriadi 2 38 6 1 8 2 63,2 0
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F., 2014. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Edisi Revisi Cetakan Keempat. Jakarta: Rajawali Press.
., 2014. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Edisi Revisi Cetakan Kedua. Jakarta: Rajawali Press.
BBTKL dan PPM, 2007. Data Pengukuran Kualitas Udara di Kota Surabaya Tahun 2006-2007. Surabaya : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
BTKLPP Medan, 2003. Data Pengukuran Kualitas Udara di Kota Medan Tahun 2003. Medan: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Budiarto, E., 2012. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Cetakan Kedua. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Chandra, B., 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Depkes RI, 1999. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Ertika, R. F., 2014. Analisis Kadar Gas Sulfur Dioksida (SO2) di Udara Ambien pada Industri Makanan Ringan yang Menggunakan Briket Batubara dan Keluhan Saluran Pernafasan pada Masyarakat di Desa Bakaran Batu Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara
Haryanto, A., Triyono, S., 2012. Studi Emisi Tungku Masak Rumah Tangga. Vol.32, No. 34. (diakses tanggal 27 Maret 2016) http://www.jurnal-agritech.tp.ugm.ac.id/ojs/index.php/agritech/article/view/224/211
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 Tahun 1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja
Khaerani, F. N., 2009. Hubungan Antara Karakteristik dan Penggunaan APD Dengan Keluhan Gangguan Saluran Pernafasan Pada Polantas. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga.
Lemeshow, S., Hosmer Jr DW., Klar J., Lwangsa SK., 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mukono, H. J., 1997. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press.
Mukono, H. J., 2008. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Cetakan Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
Mulia, R. M., 2005. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Notoatmodjo, S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Noviyanti, L., 2014. Hubungan Penggunaan Masker Terhadap Gangguan Fungsi Saluran Pernapasan Pada Pekerja Unit Packer PT. Semen Indonesia Pabrik Tuban.Fakultas Kedokteran. Universitas Negeri Semarang.
Nurrohman, Dkk. 2012. Keluhan Respirasi Dan Faal Paru Pekerja Yang Terpajan Dengan Karbon Hitam Pabrik Tinta. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan Industri
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Permata, G. S., 2010.Gambaran Fungsi Paru Pekerja Bagian Produksi Lateks di Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2010. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Pohan, N., 2002. Pencemaran Udara Dan Hujan Asam. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara.
Price, W., 2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6, Vol.2. Jakarta: EGC.
Sandra, 2013. Pengaruh Penurunan Kualitas Udara Terhadap Fungsi Paru dan Keluhan Pernafasan Pada Polisi Lalu Lintas Polwiltabes Surabaya.
Vol.9, No. 1. (diakses tanggal 10 Mei 2016)
http://www.jurnal.unej.ac.id/index.php/IKESMA/article/download/1079/883
Saputra, R., Hariyono, W., 2016. Hubungan Masa Kerja dan Penggunaan Alat Pelindung Diri Dengan Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan Pada Karyawan Di PT. Madubaru Kabupaten Bantul. (diakses tanggal 11 Agustus 2016). http://publikasiilmiah.ums.ac.id.
Sembiring, R., 2002. Hubungan Debu Padi Dengan Gejala Pernapasan Pada Tenga Kerja di Desa Tanjung Selamat Medan Tahun 2005. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Sianturi, R. N., 2013.Analisis Usaha Pengolahan Batu Bata di Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus : Desa Tanjung Mulia, Kecamatan Pagar Merbau).
Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Siregar, N., 2010. Pemanfaatan Abu Pembakaran Ampas Tebu dan Tanah Liat Pada Pembuatan Batu Bata. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.
Soemirat, J., 1994. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
., 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suma’mur, 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung Seto.
Tarigan, H. P., 2015. Analisis Kadar Nitrogen Dioksida (NO2) Dan Particulate Matter 10 (PM10) Udara Ambien Dan Keluhan Kesehatan Pada Pedagang Kaki Lima Di Sepanjang Jalan Raya Kelurahan Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Tugaswati, A. Tri, 2004. Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. (diakses tanggal 9 Mei 2016)
URL:http://www.kpbb.org
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik. Penelitian
observasional analitik adalah penelitian yang tidak memberikan perlakuan terhadap
subjek penelitian yang bertujuan mencari keterkaitan antara satu variabel dengan
variabel yang lainnya. Desain penelitian ini menggunakan desain potong lintang
(cross sectional) dimana seluruh variabel independen dan variabel dependen diukur pada waktu yang sama yaitu pada saat penelitian berlangsung.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang.
Adapun alasan penulis melakukan penelitian di daerah ini:
1. Kecamatan Pagar Merbau merupakan kecamatan yang terkenal dengan produksi
batu bata merahnya.
2. Proses produksi batu bata di Kecamatan Pagar Merbau yang masih menggunakan
cara tradisional telah mengakibatkan pencemaran udara.
3.2.2. Waktu Penelitian
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pengrajin batu bata yang ada di
Kecamatan Pagar Merbau, yang berjumlah 265 orang (Sumber: Kantor Camat Pagar
Merbau tahun 2015).
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan memakai
rumus uji hipotesis satu proporsi pada suatu populasi, yaitu rumus Lemeshow (1997).
= Zα PoQo + Z PaQa
(Pa – Po)
=
1,96 0,25x0,75 + 0,842√0,40x0,60
(0,20)
n = 39,75, dibulatkan menjadi 40 sampel
Keterangan :
n : Besar sampel
Zα : Tingkat kepercayaan 95%= 1,96
Po : Nilai proporsi pada penelitian sebelumnya = 0,25
Pa : Proporsi yang diharapkan = 0,40
Z :Kekuatan uji = 20 % = 0,842
Qo :1-Po= 0,75
Qa :1-Pa= 0,60
Pengambilan sampel ditentukan dari lima kilang batu bata dengan jumlah
populasi sebanyak 85 orang. Penentuan jumlah sampel dari setiap kilang dapur
dengan menggunakan metode proportional random sampling, yaitu dengan rumus:
ℎ =
Keterangan:
nh : besar sampel setiap kilang dapur batu bata
NH : besar populasi setiap kilang dapur batu bata
n : total sampel
N : total populasi
Tabel 3.1. Penentuan Jumlah Sampel
Kilang Dapur Jumlah Populasi Jumlah Sampel
I 18 9
II 15 7
III 17 8
IV 16 7
V 19 9
Total 85 40 Sampel
Teknik pemilihan sampel menggunakan teknik quota sampling. Teknik ini
dilakukan atas dasar jumlah sampel yang telah ditentukan. Subjek yang dijadikan
sampel penelitian adalah subjek yang mudah ditemui sehingga memudahkan proses
pengumpulan data.
Pengukuran kadar NO2 dilakukan pada 5 kilang dapur batu bata dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Kilang I : jumlah batu bata yang dibakar 40.000
3. Kilang III : jumlah batu bata yang dibakar 63.000
4. Kilang IV : jumlah batu bata yang dibakar 80.000
5. Kilang V : jumlah batu bata yang dibakar 95.000
Dalam memilih sampel penelitian, terdapat kriteria inklusi dan kriteria ekslusi
sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin batu bata di
Kecamatan Pagar Merbau yang berusia 16-60 tahun.
2. Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah pengrajin batu bata di Kecamatan
Pagar Merbau yang memiliki:
a. Riwayat penyakit TBC
b. Riwayat penyakit asma
c. Riwayat penyakit jantung
d. Kebiasaan merokok
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer
1. Data hasil pengukuran kadar Nitrogen Dioksida (NO2) di udara yang
diperoleh langsung dari pengukuran yang telah dilakukan.
2. Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap pengrajin batu bata
di Kecamatan Pagar Merbau dengan menggunakan kuesioner.
1. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP)
Medan.
2. Jurnal penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan
dilaksanakan.
3.5 Definisi Operasional Variabel
1.Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas yang berwarna merah kecoklatan dan
berbau tajam menyengat hidung.
2. Lama paparan adalah berapa lama pekerja terpapar dengan gas polutan
yang berada di lingkungan kerja diperoleh dari jam kerja responden.
3. Jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan.
4. Umur adalah lamanya orang hidup yang dihitung sejak orang tersebut lahir
sampai pada waktu dilakukan penelitian, data diperoleh dari hasil pengisian
kuesioner.
6. Masa kerja adalah waktu mulai bekerja menjadi pekerja sampai waktu
penelitian yang dihitung dalam tahun.
7. Penggunaan APD adalah pemakaian beberapa jenis APD oleh pekerja, yang
dapat melindungi pekerja dari paparan gas NO2, yaitu masker, topi, sarung
tangan, dan baju kerja.
8. Keluhan gangguan saluran pernapasan adalah keluhan yang dirasakan oleh
responden yang berupa gejala-gejala seperti batuk, batuk dengan sputum,
3.6 Aspek Pengukuran
3.6.1 Kadar Nitrogen Dioksida (NO2)
Kadar NO2 diperoleh langsung dari hasil pengukuran di lapangan
menggunakan metode analisis Saltzman. Pengukuran dilakukan selama 1 jam.
3.6.2 Lama Paparan
Lama paparan dikategorikan berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 51 tahun 1999, yaitu:
a. Lama paparan >8 jam
b. Lama paparan ≤ 8 jam
3.6.3 Karakteristik Responden 1. Usia
Usia responden dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. > 40 tahun
b. < 40 tahun
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin responden, yaitu laki-laki atau perempuan.
3. Masa Kerja
Masa kerja responden dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. > 5 tahun
4. Penggunaan APD
Untuk mengetahui bagaimana penggunaan APD pada pekerja
dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, dibagi
menjadi dua kategori,yaitu :
a. Pekerja menggunakan APD lengkap, apabila pekerja mengunakan seluruh
jenis APD yang digunakan.
b. Pekerja tidak menggunakan APD lengkap, apabila terdapat satu atau lebih
jenis APD yang tidak digunakan.
3.6.4 Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan
Untuk mengetahui keluhan gangguan saluran pernapasan dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, dibagi menjadi dua kategori yaitu :
a. Terjadi keluhan gangguan saluran pernapasan apabila responden mengatakan
adanya salah satu keluhan gangguan saluran pernapasan pada saat pengambilan
data.
b. Tidak terjadi keluhan kesehatan apabila responden tidak mengatakan adanya salah
satu keluhan gangguan saluran pernapasan pada saat pengambilan data.
3.7 Prosedur Pengukuran Nitrogen dioksida (NO2)
3.7.1 Pengambilan Contoh Uji
1. Susun peralatan pengambilan contoh uji dengan baik dan benar.
2. Masukkan larutan penyerap Griess Saltzam sebanyak 10 ml ke dalam botol
penyerap. Atur botol penyerap agar terlindung dari hujan dan sinar matahari
3. Hidupkan pompa penghisap udara dan atur kecepatan alir 0,4 L/menit,
setelah stabil catat laju alir awal F1.
4. Lakukan pengambilan contoh uji selama 1 jam dan catat temperatur dan
tekanan udara.
5. Setelah satu jam catat laju alir akhir dan kemudian matikan pompa
penghisap.
6. Analisis dilakukan dilapangan setelah pengambilan contoh.
3.7.2 Bahan/ Pereaksi
1. Hablur asam sulfanilat (H2NC6H4SO3H)
2. Larutan asam asetat glasial (CH3COOH)
3. Air suling bebas nitrit
4.Larutan nitrit N - (1-naftil)-etiendiamin dihidroklorida (NEDA, C12H16CI2N2).
Larutkan 0,1 gr NEDA dengan air suling ke dalam botol coklat dan disimpan
dilemari pendingin, kemudian encerkan dengan air suling sampai tanda tera.
Larutan tersebut dipindahkan ke dalam botol coklat dan disimpan dilemari
pendingin.
5. Aseton (C3H6O)
6. Larutan penyerap Griess Saltzman
Larutkan 5 gr asam sulfanilat (H2NC6H4SO3H) dalam gelas piala 1000 ml
dengan 140 ml asam asetat glasial, aduk secara hati – hati dengan stirer
sambil ditambahkan dengan air suling hingga kurang lebih 800 ml.
larutan induk NEDA, dan 10 ml aseton, tambahkan air suling hingga sampai
tanda tera, lalu homogenkan.
7. Larutan induk NO21640 µg/ML
Keringkan natrium nitrit (NaNO2) dalam oven selama 2 jam pada suhu
105ºC, dan dinginkan dengan desikator. Timbang 0,246 gr natrium nitrit
yang tersebut di atas, kemudian larutkan ke dalam labu ukur 100 ml dengan
air suling, tambahkan air suling hingga tanda tera, lalu homogenkan.
Pindahkan larutan tersebut ke dalam botol coklat dan disimpan di lemari
pendingin.
8. Larutan standar nitrit (NO2)
Masukkan 10 ml larutan induk natrium nitrit ke dalam labu ukur 1000 ml,
tambahkan air suling hingga tanda tera, lalu homogenkan.
3.7.3 Prosedur Analisis
1. Pembuatan Kurva Kalibrasi
a. Optimalkan alat spektrofotometer sesuai petunjuk penggunaan alat
b. Masukkan masing – masing 0,0 ml; 0,1 ml; 0,2 ml; 0,4 ml; 0,6 ml; 0,8 ml;
1,0 ml, larutan standar nitrit menggunakan pipet volumetri atau buret
mikro ke dalam tabung uji 25 ml.
c. Tambahkan larutan penyerap sampai tanda tera, kocok dengan baik dan
biarkan selama 15 menit agar pembentukan warna sempurna.
d.Ukur serapan masing – masing larutan standar dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 550 nm.
2. Pengujian Contoh Uji
a. Masukkan larutan contoh uji ke dalam kurvet pada alat spektofotometer,
ukur intensitas warna merah muda yang terbentuk pada panjang
geombang 550 nm.
b. Baca serapan contoh uji kemudian hitung konsentrasi
denganmenggunakan kurva kalibrasi.
3.7.4 Perhitungan
1. Volume contoh uji udara yang diambil
Volume contoh uji udara yang diambil, dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Dimana:
V : Volume udara yang dihisap
F1 : Laju alir awal (L/menit)
F2 : Laju alir akhir (L/menit)
T : Durasi pengambilan contoh uji
Pa : Tekanan barometer rata-rata selama pengambilan contoh uji
(mmHg)
Ta : Temperatur rata – rata selama pengambilan contoh uji
(K) 298: Konversi temperatur ke dalam kelvin
760 : Tekanan udara standar (mmHg) 2.
Konsentrasi NO2di udara ambien
Dimana :
C : Konsentrasi NO2di udara (µg/Nm3 )
b : Jumlah NO2 dari contoh uji hasil perhitungan dari kurva kalibrasi
(µg)
V : Volume udara yang dihisap
10/25 : Faktor pengenceran
1000 : Konversi liter ke m3
3.8 Teknik Analisis Data 3.8.1 Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan cara :
1. Editing
Memeriksa data terlebih dahulu apakah telah sesuai seperti yang diharapkan,
misalnya memeriksa kelengkapan, kesinambungan, dan keseragaman data.
2. Koding
Menyederhanakan semua jawaban jika cara pengumpulan data menggunakan
pertanyaan. Menyederhanakan jawaban tersebut dilakukan dalam bentuk
memberikan simbol – simbol tertentu.
3. Tabulasi
Mengelompokkan data dalam suatu tabel tertentu menurut sifat – sifat yang
dimilikinya sesuai dengan tujuan penelitian.
4. Cleaning
Memeriksa kembali data untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan
3.8.2 Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi dan frekuensi dari
kadar NO2, lama paparan, dan karakteristik responden yaitu umur, jenis
kelamin, masa kerja, dan penggunaan APD. Hasil analisis menggunakan tabel
distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan kadar NO2
pada proses pembakaran batu bata secara tradisional, lama paparan, dan
karakteristik pengrajin batu bata dengan keluhan gangguan saluran pernapasan
pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. Uji statistik
yang digunakan untuk menguji perbedaan rerata kadar NO2 terhadap dua
kelompok responden menggunakan uji mann whitney. Uji statistik yang digunakan untuk menguji hubungan antara lama paparan dan karakteristik
responden dengan keluhan gangguan saluran pernapasan yaitu uji chi square dengan derajat kepercayaan 95%, menggunakan program spss. Hasil yang
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Kondisi Geografis Lokasi Penelitian
Kecamatan Pagar Merbau memiliki luas wilayah + 62,89 km2terletak pada
ketinggian 30 meter di atas permukaan laut dan beriklim tropis yang terdiri dari 16
desa dan 70 dusun.
Adapun batas wilayah Kecamatan Pagar Merbau adalah sebagai berikut:
- Sebelah Timur : Berbatasan dengan Sei Ular / Perbaungan (Sergai)
- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa
- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Lubuk Pakam
- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Galang
4.1.2 Demografi
Jumlah penduduk Kecamatan Pagar Merbau hingga akhir 2015 adalah 37.150
orang dengan rumah tangga berjumlah 8.556 (KK) dengan komposisi mata
pencaharian penduduk terdiri dari: Petani (17%) , buruh (34,9%), pedagang (7,83%),
Pegawai Negeri/ABRI (1%), karyawan swasta dan karyawan perkebunan (17,83%))
dan lain-lain (seperti pengrajin batu bata, pengusaha salon, dan sebagainya sebesar
21,4%). Jumlah pengrajin batu bata yang berhasil di data oleh Kecamatan Pagar
Merbau pada tahun 2015 adalah 265 pengrajin batu bata dengan keterangan sebagai
Tabel 4.1 Jumlah Pengrajin Batu Bata di Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2015
No. Nama Desa Jumlah Pengrajin Batu Bata
1. Desa Tanjung Mulia 87 orang
2. Desa Tanjung Garbus Kampung 26 orang
3. Desa Sukamulia 30 orang
4. Desa Sidodadi 9 orang
5. Desa Jati Baru 17 orang
6. Desa Purwodadi 50 orang
7. Desa Pasar Miring 25 orang
8. Desa Pagar Merbau II 7 orang
9. Desa Pagar Merbau I 4 orang
10. Desa Sukamandi Hilir 2 orang
11. Desa Jati Rejo 8 orang
Jumlah 265 orang Sumber: Kantor Camat Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2015
4.2 Proses Pembakaran Batu Bata
4.2.1 Bahan Bakar yang Digunakan dalam Proses Pembakaran Batu Bata
Bahan bakar yang digunakan dalam proses pembakaran batu bata di Kecamatan
Pagar Merbau adalah kayu bakar yaitu sejenis kayu rambung atau kayu dari tanaman
karet dan ditambah dengan limbah sawit yang sudah dikeringkan. Kayu rambung
dipilih karena dinilai lebih tahan lama pada saat dibakar. Penambahan limbah sawit
yang sudah kering bertujuan untuk menghemat biaya bahan bakar karena harga kayu
rambung yang dinilai cukup mahal oleh para pengrajin batu bata. Pada setiap proses
pembakaran, jumlah kayu bakar dan limbah sawit kering yang digunakan bisa
4.2.2 Proses Pembakaran Batu Bata di Kecamatan Pagar Merbau
Proses pembakaran batu bata merupakan tahap yang paling akhir dan paling
menentukan. Batu bata yang siap dibakar adalah batu bata yang sudah cukup kering
yang sudah dijemur paling tidak selama seminggu tergantung panas matahari. Batu
bata yang sudah kering kemudian disusun dalam kilang dapur sesuai jumlah yang
diinginkan. Jumlah batu bata yang dibakar biasanya sekitar 20.000-100.000 batu bata.
Setelah batu bata selesai disusun, langkah selanjutnya adalah memasukkan bahan
bakar melalui lubang-lubang yang berada di tepi bawah kilang dapur. Semakin
banyak batu bata yang dibakar maka semakin banyak juga asap yang dihasilkan.
Proses pembakaran memakan waktu hingga 3 hari 2 malam tergantung tingkat
kekeringan batu bata. Batu bata yang sedang dibakar harus dipantau setiap satu jam
sekali agar api pembakaran tidak padam. Kayu bakar dan limbah sawit kering
dimasukkan secara perlahan-lahan untuk menjaga keseimbangan api pembakaran.
Batu bata yang sudah matang ditandai dengan berkurangnya asap pada permukaan
atap kilang dapur. Asap yang terlihat tidak lagi berwarna hitam pekat. Setelah itu batu
bata yang sudah matang dibiarkan selama 2-3 hari untuk proses pendinginan, lalu
siap untuk dipasarkan.
4.3 Kadar NO2pada proses pembakaran batu bata secara tradisional
Kadar NO2diukur pada lima titik yang berbeda dengan kriteria perbedaan jumlah
Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Kadar NO2pada Proses Pembakaran Batu Bata dan Kondisi Meteorologi pada Lima Kilang Batu Bata di Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016
1. Kilang Batu Bata I 40.000 43,33 34
2. Kilang Batu Bata II 43.000 45,47 34,7
3. Kilang Batu Bata III 63.000 44,21 35,1
4. Kilang Batu Bata IV 80.000 49,95 34
5. Kilang Batu Bata V 95.000 63,20 35
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kadar NO2dari ke lima kilang batu
bata, tidak ada yang melebihi baku mutu. Nilai baku mutu udara ambien untuk NO2
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara adalah 400 µg/m3. Kadar NO2 yang paling tinggi adalah pada
Kilang Batu Bata V yaitu 63,20 µg/m3. Kadar NO2 yang paling rendah adalah pada
Kilang Batu Bata I yaitu 43,33 µg/m3. Suhu di sekitar area pembakaran batu bata
berada pada rentang 34ºC - 35,1ºC.
4.4 Lama paparan terhadap NO2
Lama paparan diperoleh dari jam kerja atau lama responden bekerja di sekitar
kilang dapur batu bata dalam sehari.
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden bekerja
selama 8 jam per hari (75%).
4.5 Karakteristik Responden
Distribusi karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pengrajin Batu bata di Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016
Karakteristik Responden n %
berumur >40 tahun (57,5%). Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki
(77,5%). Sebagian besar responden bekerja selama >5 tahun (62,5%).
4.5.1 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Adapun distribusi responden berdasarkan penggunaan APD dapat dilihat pada
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD
No. Penggunaan APD n %
1. Menggunakan APD lengkap 3 7,5
2. Tidak Menggunakan APD lengkap 37 92,5
Jumlah 40 100
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hanya sebagian kecil pengrajin batu
bata yang menggunakan APD lengkap (7,5%). Pada umumnya responden tidak
menggunakan APD lengkap (92,5%). Alat Pelindung Diri yang digunakan oleh
responden terdiri dari beberapa jenis, yaitu masker, topi kerja, sarung tangan, dan
baju kerja. Adapun distribusi responden berdasarkan jenis Alat Pelindung Diri yang
digunakan oleh responden dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis APD yang Digunakan No Jenis APD
menggunakan APD topi. Pada umumnya responden menggunakan APD baju kerja
(97,5%). Separuh responden menggunakan APD sarung tangan (50%). Sebagian kecil
4.6 Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan
Adapun distribusi responden berdasarkan jenis keluhan gangguan saluran
pernapasan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan yang Dirasakan
No. Keluhan Pernapasan n %
1. Ada keluhan 25 62,5
2. Tidak ada keluhan 15 37,5
Jumlah 40 100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki keluhan pernapasan (62,5%). Keluhan gangguan saluran pernapasan yang
dirasakan responden ada beberapa jenis. Adapun distribusi responden berdasarkan
jenis keluhan gangguan saluran pernapasan yang dirasakan dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Keluhan Gangguan Saluran
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa lebih banyak responden yang
memiliki keluhan batuk >3 hari (47,5%) dan lebih sedikit responden yang memiliki
4.7 Hubungan Kadar NO2 pada Proses Pembakaran Batu Bata Secara
Tradisional Dengan Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan pada
Pengrajin Batu Bata
Karena kadar NO2 pada ke lima kilang tidak dapat dikategorikan, maka uji hipotesis dilakukan dengan uji perbedaan rerata kadar NO2 di udara pada kelompok
pengrajin batu bata yang memiliki keluhan pernapasan kelompok pengrajin batu bata
yang tidak memiliki keluhan pernapasan di kecamatan pagar merbau tahun 2016,
yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.9 Hasil Analisis Perbedaan Rerata Antara Kadar NO2 di Udara Pada
Kelompok Pengrajin Batu Bata yang Memiliki Keluhan Pernapasan dengan Kelompok Pengrajin Batu Bata yang Tidak Memiliki Keluhan Pernapasan di Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016
No Variabel yang Dihubungkan n Median Mean Rank p 1. Kadar NO2 di udara pada
kelompok responden yang memiliki keluhan pernapasan
kelompok kedua sebesar 49,95 dengan nilai mean rank 22,10.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji mann whitney, diperoleh nilai p>0,05 artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar NO2 di udara
pada kelompok pengrajin batu bata yang memiliki keluhan pernapasan dengan
kelompok pengrajin batu bata yang tidak memiliki keluhan pernapasan di Kecamatan
Tabel 4.10 Hasil Analisis Proporsi Kelompok Responden yang Memiliki Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan pada Tiap Kilang Batu Bata di Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016
No Nama Kilang
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa persentase responden yang
paling banyak memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan terdapat pada kilang II
dengan kadar NO2 sebesar 45,47 µg/m3 (88,9%), sedangkan persentase responden
yang paling sedikit memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan terdapat pada
kilang IV dengan kadar NO2sebesar 49,95 µg/m3(28,6%).
4.8 Hubungan Lama Paparan NO2 dengan Keluhan Gangguan Saluran
Pernapasan pada Pengrajin Batu Bata
Hubungan lama paparan NO2 dengan keluhan gangguan saluran pernapasan
pada pengrajin batu bata dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.11 Hasil Analisis Lama Paparan NO2 dengan Keluhan Gangguan
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang
bekerja selama 8 jam memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan (66,7%), dan
separuh responden yang bekerja >8 jam memiliki keluhan gangguan saluran
pernapasan (50%). Dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji fisher exact diperoleh nilai p>0,05, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata.
4.9 Hubungan Karakteristik Pengrajin Batu Bata dengan Keluhan Gangguan
Saluran Pernapasan pada Pengrajin Batu Bata
Karakteristik pengrajin batu bata yang menjadi variabel penelitian dalam
analisis bivariat adalah umur, jenis kelamin, masa kerja, dan penggunaan masker.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada umumnya responden yang
berumur >40 tahun memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan (94,1%).
Sedangkan pada responden yang berumur <40 tahun lebih sedikit yang memiliki
keluhan gangguan saluran pernapasan (39,1%). Dari hasil analisa statistik dengan
menggunakan uji chi squarediperoleh nilai p=0,000 (p<0,05), artinya ada hubungan yang bermakna antara umur dengan keluhan gangguan pernapasan pada pengrajin
batu bata.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh (100%) responden
berjenis kelamin perempuan memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan,
sedangkan keluhan gangguan saluran pernapasan pada responden laki-laki hanya
53,1%. Dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji fisher exact diperoleh
nilai p=0,015 (p<0,05), artinya ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan keluhan gangguan pernapasan pada pengrajin batu bata.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang
bekerja >5 tahun memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan (76%), sedangkan
responden yang bekerja <5 tahun lebih sedikit yang memiliki keluhan gangguan
saluran pernapasan (40%). Dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji chi squarediperoleh nilai p=0,023 (p<0,05), artinya ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan keluhan gangguan pernapasan pada pengrajin batu bata.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh (100%) responden yang
menggunakan masker tidak memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan,
menggunakan uji fisher exactdiperoleh nilai p=0,046 (p<0,05), artinya ada hubungan
yang bermakna antara penggunaan APD masker dengan keluhan gangguan
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Kadar NO2 Pada Proses Pembakaran Batu Bata Secara Tradisional di
Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016
Berdasarkan hasil pengukuran kadar NO2 yang dilakukan pada lima titik kilang
pembakaran batu bata masih tergolong rendah karena nilainya masih jauh di bawah
baku mutu. Nilai baku mutu udara ambien untuk NO2menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara adalah 400 µg/m3.
Kadar NO2 yang tertinggi hanya mencapai 63,20 µg/m3. Pengukuran NO2 dilakukan
pada siang hari, Pada siang hari umumnya kadar gas NO2 lebih rendah. Menurut
Whardana (2004), untuk gas NO2 di udara, konsentrasinya dipengaruhi oleh sinar
matahari yang mengikuti daur reaksi fotolitik NO2. Pada siang hari, gas NO2 akan
bereaksi dengan sinar matahari sehingga membentuk NO dan O. Kemudian O akan
bereaksi dengan gas O2yang terdapat di udara sehingga membentuk O3(ozon). Pada
sore hari, konsentrasi O2 yang telah terkumpul pada siang hari akan bereaksi dengan
NO sehingga terbentuk gas NO2 dan O2. Hal ini menyebabkan hasil pengukuran
kadar NO2lebih rendah karena dilakukan pada siang hari.
Kadar NO2 yang tertinggi diperoleh pada Kilang Batu Bata V sebesar 63,20
µg/m3 dengan jumlah batu bata yang dibakar yang paling banyak yaitu 95.000 batu
bata. Sedangkan kadar NO2 yang terendah diperoleh pada Kilang Batu Bata I yaitu
pembakaran dengan jumlah batu bata yang lebih banyak dapat meningkatkan kadar
NO2. Semakin banyak jumlah batu bata yang dibakar maka selang waktu pembakaran
akan semakin lama dan suhu pembakaran akan semakin tinggi. Suhu pembakaran
yang tinggi dan selang waktu pembakaran yang semakin lama dapat meningkatkan
kadar NO2. Hal ini sesuai dengan Kristanto (2002) yang menyatakan jumlah NO yang
terdapat di udara dalam keadaan ekuilibrium dipengaruhi oleh suhu pembakaran,
selang waktu gas hasil pembakaran terdapat pada suhu tersebut, dan jumlah kelebihan
oksigen yang tersedia. Semakin tinggi suhu pembakaran, semakin tinggi pula
konsentrasi NO pada kondisi ekuilibrium. Pembentukan NO hanya terjadi pada suhu
tinggi. Suhu pembakaran yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak NOx. Oleh
karena itu NO di dalam campuran ekuilibrium pada suhu tinggi akan terdesosiasi
kembali menjadi N2 dan O2 jika suhu campuran diturunkan perlahan-lahan untuk
memberikan cukup waktu bagi NO untuk terdesosiasi. Akan tetapi jika campuran
ekuilibrium tersebut didinginkan secara mendadak, maka akan banyak NO yang
masih terdapat pada campuran bersuhu rendah tersebut. Pendinginan cepat pada
umumnya sering terjadi pada proses pembakaran.
Pembakaran batu bata di Kecamatan Pagar Merbau yang masih tergolong
tradisional menghasilkan asap yang sangat pekat yang menjadi sumber pencemaran
NO2. Menurut Kristanto (2002), berbagai pengaruh yang timbul karena pencemaran
NOx bukan disebabkan oleh oksida tersebut, melainkan karena peranannya dalam
pembentukan oksidan fotokimia yang merupakan komponen berbahaya di dalam
asap. Produksi oksidan tersebut terjadi jika terdapat polutan-polutan lain yang
disebut dengan siklus fotolitik NO2 dan merupakan akibat langsung dari interaksi
antara sinar matahari dengan NO2. Menurut Mukono (2008), apabila udara tercemar
oleh gas NO2 dan bereaksi dengan uap air maka akan menjadi korosif dan
memberikan efek terhadap mata, paru-paru dan kulit. Iritasi terhadap paru-paru akan
menyebabkan edema paru-paru setelah terpapar oleh gas NO2 selama 48 – 72 jam,
apabila terpapar dengan dosis yang meningkat akan menjadi fatal. Menurut Kristanto
(2002), pemberian sebanyak 5 ppm NO2 selama 10 menit terhadap manusia
mengakibatkan kesulitan dalam bernapas.
5.2 Hubungan Kadar NO2 pada Proses Pembakaran Batu Bata Secara
Tradisional Dengan Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan pada Pengrajin Batu Bata
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara kadar NO2di udara pada kelompok pengrajin batu bata yang memiliki keluhan
pernapasan dengan kelompok pengrajin batu bata yang tidak memiliki keluhan
pernapasan di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. Jumlah pengrajin batu bata yang
memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan lebih tinggi dibanding jumlah
pengrajin batu bata yang tidak memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan
meskipun kadar NO2pada ke lima kilang tidak jauh berbeda. Kadar NO2 yang paling
tinggi adalah pada kilang ke lima, namun proporsi kelompok responden yang paling
banyak memiliki keluhan pernapasan bukan pada kilang ini melainkan pada kilang
kedua dengan kadar NO2 yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena metabolisme
pekerja juga dipengaruhi oleh karakteristik pekerja seperti umur, jenis kelamin, dan
masa kerja. Karakteristik pekerja yang beragam mengakibatkan kerentanan pekerja
terhadap keluhan pernapasan juga berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan Soemirat
(1994) yang menyatakan, selain dosis gas pencemar yang diterima tubuh, terdapat
beberapa faktor lain yang dapat menentukan terjadinya efek atau keluhan pada
seseorang, yaitu perlakuan tubuh terhadap zat tersebut, sensitivitas tubuh terhadap zat
tersebut, dapat atau tidaknya zat tersebut berakumulasi di dalam tubuh serta
banyaknya zat yang dapat dikeluarkan oleh tubuh.
5.3 Hubungan Lama Paparan NO2 dengan Keluhan Gangguan Saluran
Pernapasan pada Pengrajin Batu Bata
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
lama paparan dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata.
Sebagian besar responden yang bekerja selama 8 jam memiliki keluhan gangguan
saluran pernapasan, sedangkan separuh responden yang bekerja >8 jam memiliki
keluhan gangguan saluran pernapasan. Jumlah responden yang bekerja selama 8 jam
lebih banyak memiliki keluhan pernapasan dibandingkan dengan responden yang
bekerja >8 jam. Hal ini disebabkan karena pada umumnya jam kerja di Indonesia
adalah 8 jam/hari, yaitu sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51
Tahun 1999. Selain itu, kadar NO2 pada 5 titik pengukuran tidak ada yang melebihi
baku mutu. Baku mutu udara ambien untuk NO2 menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara adalah 400 µg/m3.
Meskipun lama paparan tidak memiliki hubungan dengan keluhan pernapasan
pada pekerja, namun jumlah pekerja yang memiliki keluhan gangguan saluran
pernapasan lebih besar dibanding pekerja yang tidak mengalami keluhan gangguan
saluran pernapasan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti umur, jenis
kelamin, dan masa kerja pengrajin yang memiliki hubungan dengan keluhan
gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata. Semakin bertambahnya umur,
maka kualitas paru-paru dapat memburuk dengan cepat dan menyebabkan fungsi dari
organ tubuh pekerja termasuk saluran pernapasan akan semakin berkurang. Volume
dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25% lebih kecil daripada pria.
Volume dan kapasitas paru yang lebih kecil inilah yang dapat menyebabkan
perempuan lebih mudah mengalami keluhan gangguan saluran pernapasan. Semakin
lama masa kerja seseorang, maka akan semakin lama terpajan gas iritan sehingga
semakin mengganggu kesehatan paru-paru pekerja. Selain pengaruh dari beberapa
karakteristik tersebut, hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain sesuai
dengan Soemirat (1994) yang menyatakan, selain dosis gas pencemar yang diterima
tubuh, terdapat beberapa faktor lain yang dapat menentukan terjadinya efek atau
keluhan pada seseorang, yaitu perlakuan tubuh terhadap zat tersebut, sensitivitas
tubuh terhadap zat tersebut, dapat atau tidaknya zat tersebut berakumulasi di dalam
5.4 Hubungan Karakteristik Pengrajin Batu Bata dengan Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan pada Pengrajin Batu Bata
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur
dengan keluhan pernapasan pada pengrajin batu bata. Pada umumnya responden yang
berumur >40 tahun memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan. Sedangkan pada
responden yang berumur <40 tahun lebih sedikit yang memiliki keluhan gangguan
saluran pernapasan. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur
responden maka resiko mengalami keluhan gangguan saluran pernapasan akan
semakin besar. Semakin lama umur seseorang maka metabolisme serta daya tahan
tubuhnya akan semakin menurun. Kemampuan sel-sel tubuh dalam menangkal zat
radikal bebas akan semakin berkurang, sehingga lebih rentan terkena gangguan
saluran pernapasan. Hal ini didukung oleh Ertika (2014) yang menyatakan bahwa
umur berpengaruh terhadap perkembangan paru-paru, semakin bertambahnya umur
maka kualitas paru-paru dapat memburuk dengan cepat dan menyebabkan fungsi dari
organ tubuh pekerja termasuk saluran pernapasan akan semakin berkurang. Hal ini
sesuai dengan penelitian Sembiring (2002) yang menyatakan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara umur dengan gejala gangguan saluran pernapasan.Faktor umur
berperan penting dengan kejadian penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Khaerani (2009) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan dengan tingkat keeratan sedang antara umur dengan keluhan gangguan
saluran pernapasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
responden berjenis kelamin perempuan memiliki keluhan gangguan saluran
pernapasan sedangkan pada responden berjenis kelamin laki-laki hanya separuh yang
memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan. Pada umumnya perempuan lebih
rentan mengalami keluhan gangguan saluran pernapasan. Jumlah tenaga dan kekuatan
otot perempuan pada umumnya lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam jenis
pekerjaan yang memerlukan tenaga lebih besar seperti pengrajin batu bata, tidak
banyak perempuan yang dijadikan pekerja. Hal ini sesuai dengan Nurrahman, dkk
yang mengutip dari Guyton (2002), yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
memengaruhi gangguan fungsi paru adalah jenis kelamin. Hal ini disebabkan jenis
kelamin memiliki kapasitas paru yang berbeda. Volume dan kapasitas paru pada
wanita kira-kira 20 sampai 25% lebih kecil daripada pria. Volume dan kapasitas paru
yang lebih kecil inilah yang dapat menyebabkan perempuan lebih mudah mengalami
keluhan gangguan saluran pernapasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
masa kerja dengan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata. Sebagian
besar responden yang bekerja >5 tahun memiliki keluhan gangguan saluran
pernapasan, sedangkan responden yang bekerja <5 tahun lebih sedikit yang memiliki
keluhan gangguan saluran pernapasan, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin
lama masa kerja responden maka resiko memiliki keluhan gangguan saluran
pernapasan akan semakin besar. Semakin lama masa kerja responden, maka semakin
lama pula ia terpapar dengan gas iritan. Gas-gas iritan yang terhirup setiap harinya
Saputra dan Hariyono (2016) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
masa kerja dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pekerja pabrik di PT.
Madubaru. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Sembiring (2002) yang
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gangguan
pernapasan, maka semakin lama masa kerja seseorang, maka akan semakin lama
terpajan gas iritan sehingga semakin mengganggu kesehatan paru-paru pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
penggunaan APD masker dengan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu
bata. Seluruh responden yang menggunakan masker ketika bekerja, tidak memiliki
keluhan pernapasan, sedangkan sebagian besar responden yang tidak menggunakan
masker memiliki keluhan gangguan saluran pernapasan. Masker berperan penting
dalam melindungi saluran pernapasan pekerja dari paparan gas iritan. Penggunaan
masker dapat menghalangi masuknya gas iritan ke dalam saluran pernapasan pekerja.
Hal ini sesuai dengan Suma’mur (2009) yang menyatakan salah satu alat pelindung
diri yang digunakan untuk melindungi alat pernapasan adalah masker yang dapat
mengurangi resiko paparan gas berbahaya dalam lingkungan kerja. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Khaerani (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara kebiasaan penggunaan APD masker dengan keluhan gangguan
saluran pernapasan. Hal ini juga didukung oleh penelitian Noviyanti (2014) yang
menyatakan ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker terhadap
gangguan fungsi saluran pernapasan pada pekerja unit packer PT. Semen Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Hasil pengukuran kadar NO2 pada ke lima kilang pembakaran batu bata di
Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016, tidak ada yang melebihi baku mutu
udara ambien. Baku mutu udara ambien untuk NO2adalah 400 µg/m3.
2. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar NO2 di udara pada
kelompok pengrajin batu bata yang memiliki keluhan pernapasan dengan
kelompok pengrajin batu bata yang tidak memiliki keluhan pernapasan di
Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016.
3. Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan keluhan
gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar
Merbau Tahun 2016.
4. Ada hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, masa kerja, dan
penggunaan APD masker dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada
pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau Tahun 2016.
6.2 Saran
Bagi masyarakat pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau agar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udara
2.1.1 Pengertian Udara
Berdasarkan teori Kristanto (2002), udara dapat diartikan sebagai suatu
campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi gas
tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi
adalah air dalam bentuk uap (H2O) dan karbon dioksida (CO2). Jumlah uap air yang
terdapat di udara bervariasi tergantung dari cuaca dan suhu.
Menurut Wardhana (2004), udara merupakan campuran beberapa macam gas
yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan
udara dan lingkungan sekitarnya. Udara adalah atmosfer yang berada di sekeliling
bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan di dunia ini. Dalam udara
terdapat oksigen (O2) untuk bernapas, karbon dioksida untuk proses fotosintesis oleh
klorofil daun dan ozon (O3) untuk menahan sinar ultraviolet.
Udara merupakan zat yang paling penting setelah air dalam memberikan
kehidupan di permukaan bumi. Selain memberikan oksigen, udara juga berfungsi
sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian, pendingin benda-benda yang panas,
dan dapat menjadi media penyebaran penyakit pada manusia. Udara merupakan
campuran mekanis dari bermacam-macam gas. Komposisi normal udara terdiri atas
gas nitrogen 78,1%, oksigen 20,93%, dan karbon dioksida 0,03%, sementara
mengandung uap air, debu, bakteri, spora, dan sisa tumbuh-tumbuhan (Chandra,
2007).
2.2 Pencemaran Udara
2.2.1 Pengertian Pencemaran Udara
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999, pencemaran udara
adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi dari komponen lain ke dalam udara
oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambientidak dapat memenuhi fungsinya.
Berdasarkan teori Wardhana (2004), pencemaran udara dapat diartikan sebagai
adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan
susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing
di udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama,
akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan binatang.
2.2.2 Penyebab Pencemaran Udara
Menurut teori Wardhana ( 2004), secara umum penyebab pencemaran udara
ada 2 macam, yaitu:
a. Karena faktor internal (secara alamiah), contoh:
1. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin
2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi yang disertai dengan
gas-gas vulkanik
3. Proses pembusukan sampah organik
2. Debu/serbuk dari kegiatan industri
3. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara
2.2.3 Klasifikasi Bahan Pencemar Udara
Menurut teori Mukono (2008), bahan pencemar udara (polutan) dapat
dibagimenjadi dua bagian, yaitu:
1. Polutan Primer
Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu, dapat
berupa:
a. Polutan gas, terdiri dari:
1. Senyawa karbon, yaitu hidrokarbon, hidrokarbon teroksigenasi, dan karbon
dioksida (CO2).
2. Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida.
3. Senyawa nitrogen, yaitu nitrogen oksida dan amoniak.
4. Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hidrogen klorida, hidrokarbon
terklorinasi, dan bromin.
Penyebab terjadinya pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari
sumber keadaan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan
antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO, HC, dan partikel debu. Gas
NO2, SO2, HC, dan CO dapat dihasilkan oleh pembakaran dari mesin yang
menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil.
b. Partikel
Partikel dalam atmosfer mempunyai karakteristik yang spesifik, dapat berupa
dapat berasal dariproses kondensasi, proses dispersi (misalnya proses
menyemprot/spraying) maupun proses erosi bahan tertentu. Asap (smoke)
seringkali dipakai untuk menujukkan campuran bahan partikulat (particulate
matter), uap (fumes), gas, dan kabut (mist).
Adapun yang dimaksud dengan:
1. Asap, adalah partikel karbon yang sangat halus (sering disebut sebagai
jelaga) dan merupakan hasil dari pembakaran yang tidak sempurna.
2. Debu, adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam
dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan.
3. Uap, adalah partikel padat yang merupakan hasil dari proses sublimasi,
distilasi atau reaksi kimia.
4. Kabut, adalah partikel cair dari reaksi kimia dan kondensasi uap air.
Berdasarkan ukuran, secara garis besar partikel dapat berupa:
a. Partikel debu kasar (coarse particlel), jika diameternya >10 mikron.
b. Partikel debu, uap, dan asap, jika diameternya antara 1-10 mikron.
c. Aerosol, jika diameternya <1 mikron.
2. Polutan Sekunder
Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dari dua atau lebih bahan kimia
di udara, misalnya reaksi fotokimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2yang
menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
c. Kondisi iklim
d. Topografi lokal dan adanya embun
Polutan sekunder ini mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yang tidak stabil.
Termasuk dalam polutan sekunder ini adalah ozon, Peroxy Acyl Nitrat (PAN),
dan formaldehid.
2.2.4 Sumber Pencemaran Udara
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Chandra (2007), sumber-sumber
pencemaran udara dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu:
a. Sumber pencemaran alamiah, yang berasal dari proses atau kegiatan alam. Contoh:
kebakaran hutan, kegiatan gunung berapi, dan sebagainya.
b. Sumber pencemaran buatan, yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Contoh:
1. Sisa pembakaran bahan bakar minyak oleh kendaraan bermotor berupa gas CO,
CO2, NO, karbon, hidrokarbon, aldehide, dan Pb.
2. Limbah industri kimia: metalurgi, tambang, pupuk, dan minyak bumi.
3. Sisa pembakaran dari gas alam, batubara, dan minyak, seperti asap, debu, dan
sulfurdioksida.
4. Lain-lain, seperti pembakaran sisa pertanian, hutan, sampah, dan limbah reaktor
nuklir.
2.2.5 Jenis-jenis Pencemar Udara
Menurut teori Kristanto (2002), berdasarkan asal dan kelanjutan
perkembangannya di udara, pencemar udara dapat dibedakan menjadi:
Pencemar udara primer yaitu semua pencemar di udara yang ada dalam bentuk
yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya
sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Pencemar udara primer, yang mencakup 90%
dari jumlah pencemar seluruhnya, umumnya berasal dari sumber-sumber yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti dari industri (cerobong asap industri)
dimana dalam industri tersebut terdapat proses pembakaran yang menggunakan bahan
bakar minyak/batu bara, proses peleburan/pemurnian logam, dan juga dihasilkan dari
sektor transportasi (mobil, bus, sepeda motor, dan lainnya). Dari seluruh pencemar
tersebut, sumber pencemar yang utama berasal dari sektor transportasi, yang
memberikan andil sebesar 60% dari pencemaran udara total.
Pencemar udara primer dapat digolongkan menjadi lima kelompokberikut:
1. Karbon Monoksida (CO)
2. Nitrogen Oksida (NO)
3. Hidrokarbon (HC)
4. Sulfur Oksida (SOx)
5. Partikel
b. Pencemar Udara Sekunder
Pencemar udara sekunder adalah semua pencemar di udara yang sudah berubah
karena reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan/polutan. Umumnya polutan
sekunder tersebut merupakan hasil reaksi antara polutan primer dengan polutan lain
yang ada di udara. Reaksi-reaksi yang menimbulkan polutan sekunder diantaranya
molekul-molekul hidrokarbon yang ada di udara dengan NOxmelalui pengaruh sinar
ultraviolet dari matahari. Sebaliknya, pencemar sekunder yang terjadi melalui
reaksi-reaksi oksida katalis diwakili oleh polutan-polutan berbentuk oksida gas yang terjadi
di udara karena adanya partikel-partikel logam di udara yang berfungsi sebagai
katalisator.
2.2.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pencemaran Udara
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Chandra (2007), pencemaran udara
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor meteorologi dan iklim serta faktor
topografi.
1. Faktor Meteorologi dan Iklim
a. Temperatur
Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu kawasan industri dapat
menimbulkan temperatur inversi. Dengan kata lain, udara dingin akan
terperangkap dan tidak dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung menahan
polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi polutan di
kawasan tersebut semakin lama semakin tinggi. Dalam keadaan tersebut, di
permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara sama sekali.
Karena kondisi itu dapat berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu, udara
yang berada dekat permukaan bumi akan penuh dengan polutan dan dapat
menimbulkan keadaan yang sangat kritis bagi kesehatan. Contoh, Kota Tokyo
pada tahun 1970 diselimuti oleh kabut tebal penuh dengan polutan sampai
beberapa minggu sehingga lebih dari 8000 penduduknya menderita infeksi saluran
b. Arah dan Kecepatan Angin
Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang kemana-mana dan
dapat mencemari udara negara lain. Kondisi semacam ini pernah dialami oleh
negara-negara di daratan Eropa. Contoh lainnya adalah kebakaran hutan di
Indonesia yang menyebabkan kabut asap di Negara Malaysia dan Singapura.
Sebaliknya, apabila kecepatan angin lemah, polutan akan menumpuk di tempat
dan dapat mencemari udara tempat pemukiman yang terdapat di sekitar lokasi
pencemaran tersebut.
c. Hujan
Air hujan, sebagai pelarut umum, cenderung melarutkan bahan polutan yang
terdapat dalam udara. Kawasan industri yang menggunakan batu bara sebagai
sumber energinya berpotensi menjadi sumber pencemar udara di sekitarnya.
Pembakaran batu bara akan menghasilkan gas sulfur dioksida dan apabila gas
tersebut bercampur dengan air hujan akan terbentuk asam sulfat sehingga air hujan
menjadi asam, biasa disebut hujan asam (acid rain).
2. Faktor Topografi
Variabel-variabel yang termasuk dalam faktor topografi antara lain:
a. Dataran Rendah
Di daerah dataran rendah, angin cenderung membawa polutan terbang jauh ke
seluruh penjuru dan dapat melewati batas negara dan mencemari udara negara
lain.
Di daerah dataran tinggi sering terjadi temperatur inversi dan udara dingin yang
terperangkap akan menahan polutan tetap di lapisan permukaan bumi.
c. Lembah
Di daerah lembah, aliran angin sedikit sekali dan tidak bertiup ke segala
penjuru. Keadaan ini cenderung menahan polutan yang terdapat di permukaan
bumi, contohnya kasus lembah silicon (USA).
2.2.7 Efek Bahan Pencemar Udara
Menurut teori yang dikemukakan oleh Mukono (2008), efek bahan pencemar
udara terbagi atas:
1. Efek terhadap Kondisi Fisik Atmosfer
Efek negatif bahan pencemar udara terhadap kondisi fisik atmosfer antara lain:
a. Gangguan jarak pandang (visibility)
b. Memberikan warna tertentu pada atmosfer
c. Memengaruhi struktur dari awan
d. Memengaruhi keasaman air hujan
e. Mempercepat pemanasan atmosfer
2. Efek terhadap Faktor Ekonomi
Efek negatif bahan pencemar udara terhadap faktor yang berhubungan dengan
ekonomi, antara lain:
a. Meningkatnya biaya rehabilitasi karena rusaknya bahan (keropos).
b. Meningkatnya biaya pemeliharaan (pelapisan, pengecatan).
c. Kerugian akibat kontaminasi bahan pencemar udara pada makanan/minuman