• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman curah hujan indonesia saat fenomena indian ocean dipole (iod) dan el nino southern-oscillation (enso)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman curah hujan indonesia saat fenomena indian ocean dipole (iod) dan el nino southern-oscillation (enso)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

KERAGAMAN CURAH HUJAN INDONESIA SAAT

FENOMENA

INDIAN OCEAN DIPOLE

(IOD) DAN

EL NINO SOUTHERN-OSCILLATION

(ENSO)

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Curah Hujan Indonesia saat Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern-Oscillation

(ENSO) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Murni Ngestu Nur’utami

(4)

ABSTRAK

MURNI NGESTU NUR’UTAMI. Keragaman Curah Hujan Indonesia saat Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern-Oscillation (ENSO). Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT.

Fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) dan ENSO (El Nino-Southern Oscillation) ditandai dengan adanya perbedaan suhu permukaan laut (SPL) dan pergerakan angin zonal maupun meridional yang dapat mempengaruhi anomali curah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman curah hujan Indonesia saat terjadi fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya serta menjelaskan proses interaksi lautan-atmosfer yang mempengaruhi fenomena tersebut. Data yang digunakan yaitu data bulanan dari NOAA dan CRU dengan periode waktu 52 tahun (Januari 1960-Desember 2011). Dengan menggunakan analisis komposit, diperoleh bahwa saat terjadi fenomena IOD positif (negatif) dan El Nino (La Nina) secara bersamaan kondisi curah hujan mengalami penurunan (peningkatan) yang signifikan dibandingkan pada fenomena tunggal. Pada fenomena tersebut perairan Indonesia mengalami pendinginan (penghangatan) secara menyeluruh sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami penghangatan (pedinginan). Kondisi ini konsisten dengan tekanan permukaan laut (TPL) yang lebih tinggi di Indonesia dibandingkan Samudera Hindia-Pasifik dan angin bergerak dari wilayah Indonesia menuju Samudera Hindia-Pasifik, demikian pula sebaliknya. Anomali sirkulasi Walker menunjukkan bahwa wilayah Indonesia mengalami divergensi sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami konvergensi. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat fenomena IOD negatif dan La Nina.

(5)

ABSTRACT

MURNI NGESTU NUR’UTAMI. Indonesian Rainfall Variability at The Moment of Indian Ocean Dipole (IOD) and El Nino Southern-Oscillation (ENSO). Supervised by RAHMAT HIDAYAT.

IOD (Indian Ocean Dipole) and ENSO (El Nino-Southern Oscillation) phenomena are characterized by the difference in sea surface temperatures (SSTs) and zonal-meridional wind that can affect rainfall anomalies. This study aims to analize the effect of the interaction among IOD, ENSO, and their combination on rainfall variability in Indonesia, and also to explain the physical mechanism between ocean-atmosphare on each phenomena. The data are used from NOAA and CRU during January 1960 - December 2011 (52 years). Using the composite analysis, it found that Indonesian rainfall significantly decreased during interaction of positive IOD and El Nino which occur together compared with single phenomena of them. Moreover, Indonesian waters were cooler than Hindia Ocean and Pasific Ocean and sea level pressure at Indonesian waters were higher than Hindia Ocean and Pasific Ocean consistenly. In other side, anomaly of Walker Circulation shows that Indonesian area was divergence and Hindia Ocean and Pasific Ocean were convergent. The opposite condition was happened during negative IOD and La Nina phenomena.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

KERAGAMAN CURAH HUJAN INDONESIA SAAT

FENOMENA

INDIAN OCEAN DIPOLE

(IOD) DAN

EL NINO SOUTHERN-OSCILLATION

(ENSO)

MURNI NGESTU NUR’UTAMI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Keragaman Curah Hujan Indonesia saat Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern-Oscillation (ENSO)

Nama : Murni Ngestu Nur’utami

NIM : G24100035

Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah curah hujan, dengan judul Keragaman Curah Hujan Indonesia saat Fenomena

Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern-Oscillation (ENSO).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rahmat Hidayat selaku pembimbing atas ilmu dan kesabarannya dalam membimbing penulis. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, Beasiswa Bidikmisi yang telah membiayai penulis dalam menyelesaikan pendidikan Strata-1 di IPB, dan juga kepada Givo Alsepan, Shaila, dan segenap sahabat GFM 47 atas diskusinya, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas semua dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan, walaupun demikian harapannya semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Juli 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Data 2

Alat 3

Prosedur Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Identifikasi Tahun-Tahun Fenomena IOD dan ENSO 4

Klimatologi Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin Horizontal,

Tekanan Permukaan Laut, dan Sirkulasi Walker 5

Keragaman Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin Horizontal, Tekanan Permukaan Laut, dan Sirkulasi Walker pada Setiap Fenomena 10

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 20

(12)

DAFTAR TABEL

1. Tahun-tahun terjadinya fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi

keduanya berdasarkan indeks IOD dan Nino 3.4 5

2. Persentase anomali curah hujan (%) pada setiap region. Nilai negatif (positif) menunjukkan adanya penurunan (pertambahan) curah hujan. 17

DAFTAR GAMBAR

1. Indeks IOD dan indeks ENSO pada Nino 3.4 periode Januari 1960 hingga Desember 2011, (a) Tahun 1960-1976, (b) Tahun 1977-1993, dan (c) Tahun 1994-2011. Nilai positif (negatif) menunjukkan El Nino

(La Nina) dan IOD positif (negatif). 4

2. Zonasi tiga tipe curah hujan Indonesia. Region A (monsunal) ( ), Region B (ekuatorial) ( ), dan Region C ( ) (Sumber:

Aldrian dan Susanto 2003) 5

3. Klimatologi curah hujan Indonesia pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA,

dan (d) SON dari data CRU tahun 1961-1990 6

4. Klimatologi SPL (kontur; oC) pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON dengan kondisi angin horizontal 1000 hPa (vektor; m/s) tahun

1961-1990 7

5. Klimatologi TPL (hPa) pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON

tahun 1961-1990 7

6. Klimatologi Sirkulasi Walker (vektor) berdasarkan rataan kecepatan angin zonal (u; m/s) dan angin vertikal (ɷ; 10-2Pa/s) (kontur) 5o LU-5oLS di ketinggian 1000-100 hPa pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan

(d) SON tahun 1961-1990 8

7. Klimatologi curah hujan Indonesia pada setiap region dari data CRU

tahun 1961-1990 10

8. Komposit anomali curah hujan (mm/bulan) Indonesia pada SON ketika fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif dan El Nino, (f) IOD negatif dan La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal). Nilai positif (negatif) menunjukkan terjadi

peningkatan (penurunan) curah hujan. 13

9. Komposit ASPL (oC) dan pergerakan vektor angin horizontal (m/s) di ketingian 1000 hPa pada SON dari fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif dan El Nino, (f) IOD negatif dan La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal). Gradasi warna biru (merah) merupakan ASPL negatif (positif). 14 10.Komposit anomali TPL (hPa) pada SON dari dari fenomena (a) El Nino,

(b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif dan El Nino, (f) IOD negatif dan La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO

(normal). 15

(13)

5oLU-5oLS di ketinggian 1000-100 hPa pada SON dari fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif & El Nino, (f) IOD negatif & La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal). Nilai positif (negatif) pada angin vertikal menunjukkan

adanya proses subsidensi (konveksi). 16

DAFTAR LAMPIRAN

1. Scripting language klimatologis curah hujan tahun 1961-1990 20 2. Scripting language klimatologis suhu permukaan laut dan angin di

ketinggian 1000 hPa tahun 1961-1990 20

3. Scripting language klimatologis tekanan permukaan laut tahun

1961-1990 22

4. Scripting language klimatologis sirkulasi Walker tahun 1961-1990 22 5. Klimatologi curah hujan Indonesia tahun 1961-1990 pada tiga region

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

IOD (Indian Ocean Dipole) di Samudera Hindia dan ENSO (El Nino-Southern Oscillation) di Samudera Pasifik merupakan hasil dari interaksi antara lautan dengan atmosfer di atasnya pada masing-masing perairan tersebut. Kedua fenomena tersebut secara umum ditandai dengan adanya perbedaan anomali suhu permukaan laut (ASPL) yang berinteraksi dengan angin zonal dan meridional. Pada fenomena IOD, Interaksi ini menghasilkan perbedaan tekanan di bagian Barat Samudera Hindia (50°E to 70°E and 10°S to 10°N) dan bagian Timur Samudera Hindia (90°E to 110°E and 10°S to 0°S) (Saji et al. 1999). Perbedaan tekanan ini akan menimbulkan pergerakan angin yang mendorong massa uap air kemudian mengangkat massa air tersebut ke atas. Akibatnya, terjadi daerah konvergensi dimana daerah tersebut merupakan daerah potensi awan. Pengaruh IOD terhadap curah hujan terjadi di beberapa wilayah seperti di bagian tengah Samudra Hindia, wilayah Afrika Timur (Black et al. 2003), wilayah Sri Lanka (Zubair et al. 2003), India (Ashok et al. 2004) dan Barat Daya Australia (Saji dan Yamagata 2003).

Berbeda dengan IOD, kuantifikasi pada fenomena ENSO biasanya ditentukan oleh besar indeks ENSO yang didefinisikan sebagai ASPL pada wilayah Nino 3.4 (50N-50S dan 1200W-1700W) yang terjadi selama lima atau enam bulan lebih melampaui ±0.4oC (Trenberth 1997). Kondisi El Nino terjadi saat ASPL di atas 0.4 o

C (fase hangat) dan La Nina terjadi saat ASPL di bawah -0.4oC (fase dingin). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saji et al (1999) menunjukkan bahwa IOD memiliki sifat yang independen (saling bebas) terhadap ENSO. Terdapat tahun-tahun tertentu terjadi fenomena IOD (Positif atau Negatif) dan ENSO (El Nino atau La Nina) yang hampir bersamaan. Salah satu tahun yang terjadi fenomena IOD dan ENSO secara bersamaan yaitu pada tahun 1997 (Meyers et al. 2007). Pada tahun tersebut terjadi fenomena IOD positif dan El Nino yang berdampak pada penurunan akumulasi curah hujan bulanan di musim kemarau menjadi lebih panjang dari biasanya (Sulistya et al. 1998).

(16)

2

Adanya keragaman curah hujan yang ditimbulkan saat terjadinya fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya di berbagai wilayah menjadi keunikan tersendiri bagi wilayah tersebut. Hasil penelitian Hendon (2003) yang telah mengkaji dan menyatakan bahwa fenomena tersebut secara signifikan mempengaruhi curah hujan Indonesia. Namun, hasil penelitian tersebut tidak memfokuskan terhadap tiga tipe curah hujan Indonesia, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal (Arlindo; arus lintas laut Indonesia). Berdasarkan hasil penelitian Aldrian & Susanto (2003) menyatakan bahwa Region A (monsunal) dan C (lokal/Arlindo) dipengaruhi kuat oleh ENSO sedangkan di Region B (ekuatorial) lemah. Analisis keragaman curah hujan Indonesia hanya dikaitkan dengan suhu permukaan laut (SPL) di sekitar Indonesia, yaitu Samudera Hindia – Pasifik. Region A meliputi bagian selatan Indonesia, Sumsel, Kalteng dan Kalsel, sebagian barat Serawak, Sulsel, Sulut dan daerah kepala burung Irian. Region B meliputi bagian utara Sumatera, Kalbar dan sebagian Serawak. Region C terdiri dari Maluku, sebagian Irian dan utara Irian (Gambar 2; Aldrian dan Susanto 2003). Berdasarkan hal tersebut perlu adanya penelitian yang lebih lanjut mengenai kondisi curah hujan Indonesia berdasarkan tiga tipe region tersebut dan mengamati kondisi lautan-atmosfer yang ada di sekeliling Indonesia agar dapat menjelaskan kondisi curah hujan Indonesia pada setiap kombinasi fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya terjadi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya terhadap keragaman curah hujan di Indonesia dan mengamati proses interaksi lautan-atmosfer di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia terkait fenomena IOD dan ENSO.

METODE

Data

(17)

3

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office dan The Grid Analysis and Display System

(GrADS) versi 2.0.a9.oga.1 yang dapat diunduh di (http://www.iges.org/).

Prosedur Analisis Data

Prosedur analisis data dilakukan dengan dua langkah yaitu identifikasi tahun-tahun IOD dan ENSO, dan analisis komposit data saat fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya.

Identifikasi Tahun IOD dan ENSO

Identifikasi tahun-tahun IOD, ENSO dan kombinasi keduanya dilakukan dengan menganalisis perubahan suhu permukaan laut (SPL) pada wilayah masing-masing fenomena. Langkah pertama yaitu menghitung rataan bulanan SPL Januari-Desember selama 30 tahun pada periode tahun 1961-1990 di setiap wilayah pengamatan. Kedua, dihitung ASPL (IOD & ENSO) (Saji et al 1999, Trenberth 1997) dan filtering data (Saji & Yamagata 2003). Anomali didapatkan dengan cara menghitung selisih antara data pada bulan yang diamati dengan data rataan SPL bulan tersebut. Filtering data pada fenomena ENSO dilakukan dengan merata-ratakan data selama lima bulan, sedangkan IOD dilakukan dengan merata-merata-ratakan data selama tiga bulan. Selanjutnya, hasil tersebut diplotkan dalam grafik dan diidentifikasi tahun-tahun IOD dan ENSO. Saat ASPL Nino 3.4 dan IOD lebih besar (kecil) dari 0.5oC (-0.5oC) selama enam bulan berturut-turut dikategorikan terjadi El Nino dan IOD positif (La Nina dan IOD negatif).

Analisis Komposit

(18)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Tahun-Tahun Fenomena IOD dan ENSO

Kondisi ASPL pada periode Januari 1960 hingga Desember 2011 yang diindikasikan oleh Indeks Nino 3.4 dan indeks IOD (Gambar 1) menunjukkan ASPL memiliki keadaan tersendiri. Hal ini terlihat pada tahun 1960, 1961, dan 1996 terjadi fenomena IOD yang kuat namun tidak diiringi fenomena ENSO. Begitupun sebaliknya, pada tahun 1965, 1987, dan 1988 terjadi fenomena ENSO yang kuat namun tidak diiringi fenomena IOD. Selain itu, terdapat tahun-tahun tertentu fenomena IOD dan ENSO terjadi secara bersamaan, antara lain tahun 1963, 1972, 1989, dan 1997. Selama 52 tahun (1960-2011) didapatkan 12 tahun tidak terjadi IOD dan ENSO, 9 tahun terjadi El Nino, 13 tahun terjadi La Nina, 2 tahun terjadi IOD positif, 2 tahun IOD negatif, 4 tahun terjadi IOD positif dan El Nino bersamaan, dan 1 tahun IOD negatif dan La Nina terjadi bersamaan.

Gambar 1 Indeks IOD dan indeks ENSO pada Nino 3.4 periode Januari 1960 hingga Desember 2011, (a) Tahun 1960-1976, (b) Tahun 1977-1993, dan (c) Tahun 1994-2011. Nilai positif (negatif) menunjukkan El Nino (La Nina) dan IOD positif (negatif).

(a)

(b)

(19)

5 Gambar 1 menunjukan hasil tahun-tahun fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduannya yang kemudian dirangkum dalam Tabel 1. Data pada tabel tersebut digunakan untuk menganalisis keragaman curah hujan, SPL, TPL, angin horizontal, dan sirkulasi Walker. Analisis dilakukan menggunakan metode komposit sehingga dengan tahun-tahun kejadian yang dipilih (Tabel 1) dapat mewakili kondisi pada setiap fenomena.

Klimatologi Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin Horizontal, Tekanan Permukaan Laut, dan Sirkulasi Walker

Kondisi klimatologi curah hujan Indonesia dari data CRU selama 30 tahun (1961-1990) menunjukkan bahwa pada setiap musim dan region memiliki kondisi yang berbeda-beda (Gambar 3). Perbedaan curah hujan ini dapat disebabkan oleh adanya pergerakan semu matahari, sirkulasi angin global, dan kondisi topografi pada wilayah yang diteliti. Beberapa parameter meteorologi lainnya yang dihitung dalam penelitian ini melibatkan SPL, angin horizontal (u dan v), TPL, dan angin Tabel 1 Tahun-tahun terjadinya fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi

keduanya berdasarkan indeks IOD dan Nino 3.4

El Nino Normal La Nina

IOD Positif 1963, 1972, 1982,

1997 1961, 1967 -

Normal 1965, 1986, 1987, 2002, 2009

1978, 1979, 1990, 1993, 1995

1970, 1971, 1973, 1988, 1999, 2007

IOD Negatif - 1960, 1996 1998

(20)

6

vertikal (ɷ). Analisis secara vertikal ditinjau dari sirkulasi Walker menggunakan angin zonal (u) dan angin vertikal (ɷ).

Musim DJF

Gambar 3a merupakan musim DJF yang menunjukkan Indonesia memiliki curah hujan 150-400 mm/bulan. Pada musim ini Indonesia bagian selatan garis ekuator dengan tipe monsunal (Region A) memiliki curah hujan yang lebih tinggi yaitu sekitar 300-400 mm/bulan. Sedangkan pada wilayah bagian utara ekuator dengan tipe ekuator (Region B) memiliki curah hujan sekitar 150-400 mm/bulan dan tipe lokal (Region C) memiliki curah hujan sekitar 200-250 mm/bulan.

Keadaan SPL pada musim DJF wilayah selatan ekuator di perairan Timur Papua dan Utara Australia lebih hangat dibandingkan di wilayah utara ekuator (Gambar 5a). Selain itu, pergerakan angin menuju wilayah SPL tersebut lebih didominasi oleh angin pasat timur laut dari belahan bumi utara dibandingkan angin pasat tenggara di belahan bumi selatan yang dilihat dari Samudera Pasifik Timur. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya pergerakan semu matahari yang berada di belahan bumi selatan sehingga proses pemanasan lebih intensif di wilayah tersebut. SPL memiliki hubungan linier negatif terhadap kondisi TPL. Gambar 6a menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki SPL lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya dapat diindikasikan memiliki tekanan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya pemanasan yang intensif di permukaan sehingga proses penguapan atau perpindahan massa uap air ke atas (konveksi) lebih besar dibandingkan gaya tekan ke bawah (gravitasi). Kondisi ini menyebabkan wilayah tersebut kehilangan kolom udara di permukaan lebih besar dibandingkan di wilayah sekelilingnya karena kolom udara tersebut mengalami pergerakan secara vertikal ke

Gambar 3 Klimatologi curah hujan Indonesia pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON dari data CRU tahun 1961-1990

(a)

(d) (c)

(21)

7 atas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perpindahan kolom udara secara horizontal (angin horizontal) dari wilayah bertekanan tinggi (divergen) menuju wilayah bertekanan rendah (konvergen).

Analisis secara horizontal dilakukan pada SPL dan TPL sedangkan analisis secara vertikal dilakukan pada sirkulasi Walker. Analisis sirkulasi Walker dilakukan dengan melihat hasil rataan 5oLU-5oLS dari vektor komponen angin zonal (u) dan angin vertikal (ɷ; omega) di ketinggian 1000 hPa – 100 hPa. Sirkulasi Walker ini menampilkan kondisi pergerakan massa udara baik ke atas (konveksi) maupun ke

Gambar 4 Klimatologi SPL (kontur; oC) pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON dengan kondisi angin horizontal 1000 hPa (vektor; m/s) tahun 1961-1990

Gambar 5 Klimatologi TPL (hPa) pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON tahun 1961-1990

(a)

(d) (c)

(b)

(a)

(d) (c)

(22)

8

bawah (subsidensi) di sepanjang wilayah ekuator. Berdasarkan Gambar 6a didapatkan bahwa pada musim DJF di wilayah Indonesia (95oBT – 141oBT) mengalami konveksi yang signifikan dibandingkan pada musim lainnya. Proses konveksi di wilayah Indonesia diperkuat dengan adanya aliran massa udara dari Samudera Pasifik yang terjadi di ketinggian 1000-600 hPa. Berdasarkan kondisi tersebut maka wilayah Indonesia memiliki potensi awan konvektif yang lebih besar dan akan meningkatkan curah hujan. Hal ini menunjukkan hasil yang konsisten dengan Gambar 3a, yaitu Indonesia memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan musim lainnya.

Musim MAM

Kondisi curah hujan Indonesia pada musim MAM (Gambar 3b) mengalami peningkatan di wilayah Region C dan penurunan di wilayah Region A dan B. Pada musim ini wilayah perairan di sekitar ekuator memiliki SPL yang lebih hangat dibandingkan di wilayah lintang tinggi (Gambar 4b). Hal ini terjadi dikarenakan adanya pergerakan semu matahari yang berada di ekuator dan pemanasan yang lebih intensif di wilayah tersebut. Selain itu, pergerakan angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara bergerak menuju wilayah ekuator. Pergerakan angin ini disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan di wilayah ekuator dengan wilayah lintang tinggi.

Perbedaan tekanan antara wilayah ekuator dan lintang tinggi (Gambar 5b) konsisten dengan kondisi SPL. Wilayah ekuator yang memiliki SPL lebih tinggi menyebabkan penurunan TPL dibandingkan wilayah lintang tinggi. Selain itu, sirkulasi Walker menunjukkan bahwa terjadi proses konveksi yang lebih rendah (Gambar 6b) dibandingkan pada musim DJF. Hal ini menunjukkan hasil yang konsisten dengan Gambar 3b, yaitu Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari musim DJF (Gambar 3a).

(23)

LU-9 dikarenakan adanya pergerakan semu matahari yang berada di ekuator bagian utara dan pemanasan yang lebih intensif di wilayah tersebut. Selain itu, pergerakan angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara menuju wilayah tersebut. Kondisi ini juga menjadikan wilayah tersebut bertekanan lebih rendah dibandingkan sekitarnya (Gambar 5c). Hal ini disebabkan oleh gerak semu matahari berada di utara ekuator dan intensitas pemanasan lebih besar di wilayah tersebut.

Perbedaan tekanan antara wilayah ekuator bagian utara dan selatan (Gambar 5c) konsisten dengan kondisi SPL. Wilayah ekuator bagian utara yang memiliki SPL lebih tinggi yang menyebabkan penurunan TPL dibandingkan wilayah selatan ekuator. Selain itu, sirkulasi Walker menunjukkan bahwa terjadi proses konveksi yang lebih kuat di wilayah Indonesia bagian timur dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat dan tengah (Gambar 6c). Hal ini menunjukkan hasil yang konsisten dengan Gambar 3c, yaitu Indonesia bagian timur memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.

Musim SON

Penurunan curah hujan berlanjut dan bergerak menuju wilayah Indonesia bagian tengah hingga timur dan ekuator bagian selatan sedangkan wilayah Indonesia bagian barat dan ekuator bagian utara mengalami peningkatan curah hujan (Gambar 3d). Pada musim ini SPL wilayah perairan Indonesia bagian utara ekuator hingga ke timur Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya (Gambar 4d). Hal ini terjadi dikarenakan adanya pergerakan semu matahari yang berada di ekuator bagian utara dan pemanasan yang lebih intensif di wilayah tersebut. Selain itu, pergerakan angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara bergerak menuju wilayah SPL yang lebih tinggi. Pergerakan angin ini disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan antara wilayah perairan Indonesia bagian utara ekuator hingga ke timur Indonesia.

Perbedaan tekanan antara wilayah perairan Indonesia bagian utara ekuator hingga ke timur Indonesia (Gambar 5d) konsisten dengan kondisi SPL. Wilayah ekuator bagian utara yang memiliki SPL lebih tinggi menyebabkan penurunan TPL dibandingkan wilayah sekitarnya. Selain itu, sirkulasi Walker menunjukkan bahwa terjadi proses konveksi yang lebih tinggi di Indonesia bagian barat dan timur dibandingkan Indonesia bagian tengah (Gambar 6d). Hal ini menunjukkan hasil yang konsisten dengan Gambar 3d, yaitu Indonesia mengalami penurunan curah hujan di Indonesia bagian tengah dan wilayah ekuator bagian selatan (Gambar 3d). Pola Curah Hujan pada setiap Region

(24)

10

Aldrian dan Susanto (2003). Region A yang merupakan tipe monsunal memiliki satu puncak curah hujan tertinggi di bulan Desember-Februari dan puncak terendah di bulan Juni-September. Tipe ini dipengaruhi oleh monsun Asia pada bulan NDJFM (musim hujan) dan monsun Australia pada bulan MJJAS (musim kemarau). Region B merupakan tipe ekuatorial, terjadi dua puncak curah hujan yaitu pada bulan OND dan bulan MAM. Puncak curah hujan tipe ini terjadi saat Intertropical Convergence Zone (ITCZ) melewati wilayah Region B sedangkan pada Region C memiliki puncak curah hujan di bulan MJJ. Region C yang merupakan tipe lokal dipengaruhi oleh arus laut yang bergerak dari belahan bumi utara menuju belahan bum selatan melewati daerah tersebut dan memicu adanya awan hujan (awan konvektif). Bulan Maret-Juni tersebut diperkirakan bahwa Samudera Pasifik mengalami pemenasan yang lebih tinggi karena pergerakan semu matahari berada di belahan bumi utara sehingga arus yang mengalir lebih hangat. Titik lokasi untuk mewakili Region A yaitu Palembang (2.98oS dan 104.75oE), Serang (6.12oS dan 106.15oE), Yogyakarta (7.77oS dan 110.33oE) dan Kupang (10.15oS dan 123.53oE). Titik lokasi yang mewakili Region B yaitu Medan (3. 85oN dan 98.67oE), Pekanbaru (0.55oN dan 101.43oE), Pontianak (0.05oS dan 109.32oE), dan Samarinda (0.5oN dan 117.15oE). Titik lokasi yang mewakili Region C yaitu Ambon (3.72oS dan 98oE), Maluku Tengah (3.32oN dan 128.95oE), dan Kab. Buru (3.25oS dan 127.08oE).

Keragaman Curah Hujan Indonesia, Suhu Permukaan Laut, Angin Horizontal, Tekanan Permukaan Laut, dan Sirkulasi Walker

pada Setiap Fenomena

Berdasarkan hasil penelitian Hendon (2003) didapatkan bahwa korelasi tertinggi antara curah hujan dan SPL terjadi pada bulan Juni hingga November. Begitupula pada hasil penelitian Aldrian dan Susanto (2003), didapatkan bahwa

Gambar 7 Klimatologi curah hujan Indonesia pada setiap region dari data

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

(25)

11 korelasi antara curah hujan dan SPL yang signifikan terjadi di Region A dan C daripada Region B pada bulan Juni hingga November. Berdasarkan hal tersebut, analisis yang digunakan yaitu pada musim SON. Kondisi curah hujan Indonesia saat terjadi fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya pada musim SON memiliki anomali curah hujan yang berbeda satu sama lain (Gambar 8).

Tidak ada IOD dan ENSO (Normal)

Kondisi normal saat musim SON (Gambar 8g) Indonesia memiliki kondisi anomali curah hujan yang berbeda pada masing-masing region. Region A dan Region C mengalami penurunan curah hujan, sedangkan pada Region B mengalami peningkatan curah hujan. Kondisi ini perairan Indonesia bagian barat mengalami penghangatan yang lebih besar dibandingkan sekelilingnya (Gambar 9g) sehingga angin akan bergerak ke wilayah Indonesia bagian barat. Selain itu, pada anomali TPL kondisi perairan Samudera Pasifik memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan Indonesia (Gambar 10g) dan pada sirkulasi Walker di wilayah Indonesia mengalami konveksi sedangkan di Samudera Pasifik mengalami subsidensi (Gambar 11g).

El Nino

Kondisi El Nino secara keseluruhan wilayah Indonesia mengalami penurunan curah hujan hingga 100 mm/bulan (Gambar 8a). Penurunan curah hujan tertinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur sedangkan peningkatan curah hujan terjadi di sebagian wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau hingga 50 mm/bulan. Kondisi ASPL di perairan Indonesia mengalami penurunan sedangkan di Samudera Pasifik mengalami peningkatan ASPL (Gambar 9a) sehingga Indonesia mengalami tekanan tinggi dan angin akan membawa uap air yang berpotensi menjadi awan hujan bergerak menuju perairan yang bertekanan rendah (Gambar 10a). Selain itu, sirkulasi Walker di wilayah Samudera Pasifik dan Indonesia bagian Barat (Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau) mengalami konveksi sedangkan di wilayah Indonesia yang lainnya mengalami subsidensi (Gambar 11a).

IOD Positif

(26)

12

IOD Positif dan El Nino

Kondisi IOD positif dan El Nino yang terjadi bersamaan mengakibatkan curah hujan Indonesia secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 200 mm/bulan (Gambar 8e). Kondisi ini perairan Indonesia mengalami pendinginan secara menyeluruh sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami penghangatan dan pergerakkan angin bergerak dari wilayah Indonesia menuju Samudera Hindia-Pasifik (Gambar 9e). Kondisi ini konsisten dengan Indonesia yang memiliki anomali TPL yang lebih tinggi dibandingkan Samudera Hindia-Pasifik (Gambar 10e). Selain itu, kondisi sirkulasi Walker telihat jelas bahwa wilayah Indonesia mengalami proses subsidensi dan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami proses konveksi yang signifikan (Gambar 11e).

La Nina

Anomali curah hujan di Indonesia pada kondisi La Nina mengalami peningkatan yang hampir merata hingga 100 mm/bulan dan tertinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur (Gambar 8b). Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan Indonesia mengalami pertambahan ASPL, sedangkan di wilayah Samudera Pasifik mengalami penurunan ASPL (Gambar 9b). Selain itu, angin bergerak menuju ke wilayah Indonesia yang didominasi dari Samudera Pasifik (Gambar 9b). Hal ini konsisten dengan keadaan anomali TPL di Indonesia yang lebih rendah dibandingkan perairan Samudera Pasifik (Gambar 10b). Selain itu, kondisi sirkulasi Walker telihat jelas bahwa wilayah Indonesia mengalami konveksi dan di wilayah Samudera Pasifik mengalami subsidensi secara signifikan (Gambar 11b).

IOD Negatif

(27)

13

Gambar 8 Komposit anomali curah hujan (mm/bulan) Indonesia pada SON ketika fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif dan El Nino, (f) IOD negatif dan La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal). Nilai positif (negatif) menunjukkan terjadi peningkatan (penurunan) curah hujan.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(28)

14

Gambar 9 Komposit ASPL (oC) dan pergerakan vektor angin horizontal (m/s) di ketingian 1000 hPa pada SON dari fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif dan El Nino, (f) IOD negatif dan La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal). Gradasi warna biru (merah) merupakan ASPL negatif (positif).

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(29)

15

Gambar 10 Komposit anomali TPL (hPa) pada SON dari dari fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif dan El Nino, (f) IOD negatif dan La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal).

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(30)

16

Gambar 11 Komposit anomali sirkulasi Walker (vektor) berdasarkan rataan kecepatan angin zonal (u; m/s) dan angin vertikal (ɷ; 10-2Pa/s) (kontur) 5oLU-5oLS di ketinggian 1000-100 hPa pada SON dari fenomena (a) El Nino, (b) La Nina, (c) IOD positif, (d) IOD negatif, (e) IOD positif & El Nino, (f) IOD negatif & La Nina, dan (g) tidak ada IOD dan ENSO (normal). Nilai positif (negatif) pada angin vertikal menunjukkan adanya proses subsidensi (konveksi).

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(31)

17 IOD Negatif dan La Nina

Fenomena IOD negatif dan La Nina yang terjadi secara bersamaan mengakibatkan kondisi anomali curah hujan di Indonesia secara keseluruhan mengalami peningkatan hingga 200 mm/bulan, kecuali di sebagian kecil wilayah di Sumatera Utara dan Kepulauan Riau yang terjadi penurunan curah hujan hingga 50 mm/bulan (Gambar 8f). Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan Indonesia mengalami penghangatan secara menyeluruh sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami pedinginan dan pergerakkan angin bergerak menuju wilayah Indonesia dari Samudera Hindia-Pasifik (Gambar 9f). Kondisi ini konsisten dengan wilayah Indonesia yang memiliki anomali TPL yang lebih rendah dibandingkan Samudera Hindia-Pasifik (Gambar 10f). Selain itu, analisis sirkulasi Walker telihat jelas bahwa wilayah Indonesia mengalami konveksi dan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami subsidensi secara signifikan (Gambar 11f).

Keraganan Curah Hujan pada setiap Region

Tabel 2 merupakan kondisi persentase penurunan dan pertambahan dari anomali curah hujan pada setiap region di berbagai kondisi. Persentase penurunan atau pertambahan curah hujan yang lebih signifikan terjadi pada Region A dan C dari adanya fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya dibandingkan Region B. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan pada hasil penelitian Hendon (2003) dan Aldrian dan Susanto (2003). Kondisi anomali curah hujan saat fenomena IOD positif dan El Nino terjadi secara bersamaan menyebabkan penurunan curah hujan Indonesia tertinggi (24%-69%) dibandingkan dengan fenomena tunggal IOD positif (18%-62%) maupun El Nino (23%-36%). Berbeda dengan fenomena IOD negatif dan La Nina yang terjadi secara bersamaan, Indonesia mengalami peningkatan curah hujan tertinggi (17%-63%) dibandingkan dengan fenomena tunggal IOD negatif (14%-15%) dan La Nina (13%-51%).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Anomali curah hujan Indonesia pada setiap fenomena IOD, ENSO, dan kombinasi keduanya memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain secara spasial dan temporal. Region A dan C memiliki pengaruh yang signifikan dari adanya fenomena-fenomena tersebut dibandingkan Region B. Fenomena IOD positif dan El Nino yang terjadi secara bersamaan mengakibatkan penurunan curah hujan secara

Tabel 2 Persentase anomali curah hujan (%) pada setiap region. Nilai negatif (positif) menunjukkan adanya penurunan (pertambahan) curah hujan.

(32)

18

signifikan dibandingkan dengan fenomena tunggal IOD positif maupun El Nino. Fenomena IOD negatif dan La Nina yang terjadi secara bersamaan mengakibatkan curah hujan Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan dengan fenomena tunggal IOD negatif dan La Nina.

Perbedaan kondisi ASPL pada fenomena IOD dan ENSO yang terjadi baik secara tunggal maupun bersamaan menghasilkan perbedaan TPL dan dapat memicu adanya pergerakan massa udara. Kondisi saat fenomena IOD positif dan El Nino terjadi secara bersamaan perairan Indonesia mengalami pendinginan secara menyeluruh sedangkan wilayah Samudera Hindia - Pasifik mengalami penghangatan. Kondisi ini konsisten dengan perairan Indonesia memiliki anomali TPL yang lebih tinggi dibandingkan Samudera Hindia-Pasifik dan pergerakkan angin bergerak dari wilayah bertekanan tinggi menuju wilayah bertekanan rendah. Selain itu, analisis sirkulasi Walker menunjukan bahwa wilayah Indonesia terjadi pergerakan massa udara ke bawah (subsidensi) sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami pergerakan massa udara ke atas (konveksi) secara signifikan.

Kondisi perairan Indonesia pada fenomena IOD negatif dan La Nina yang terjadi secara bersamaan mengalami penghangatan secara menyeluruh sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami pedinginan. Kondisi ini konsisten dengan perairan di wilayah Indonesia memiliki anomali TPL yang lebih rendah dibandingkan Samudera Hindia-Pasifik sehingga pergerakkan angin bergerak menuju wilayah Indonesia dari Samudera Hindia-Pasifik. Selain itu, analisis sirkulasi Walker menunjukan bahwa wilayah Indonesia terjadi pergerakan massa udara ke atas (konveksi) sedangkan wilayah Samudera Hindia-Pasifik mengalami pergerakan massa udara ke bawah (subsidensi) secara signifikan.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menganalisis kondisi curah hujan pada wilayah yang lebih spesifik sehingga dapat mengetahui profil curah hujan dan memberikan informasi yang lebih tepat dan akurat dalam pengaplikasiannya. Selain itu, perlu adanya validasi dengan data curah hujan observasi untuk mendapatkan nilai yang lebih akurat pada wilayah yang dikaji.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E dan Susanto R.D. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int.J.Climatol. 23: 1435-1452. doi:10.1002/joc.950.

Ashok et al. 2004. Individual and Combined Influences of ENSO and the Indian Ocean Dipole on the Indian Summer Monsoon. J. Climate. 17: 3141–3155. Black E., J. Slingo, dan K. R. Sperber. 2003. An observational study of the

relationship between excessively strong short rains in coastal east Africa and Indian Ocean SST. Mon. Wea. Rev. 131: 74–94.

(33)

19 Kalnay et al. 1996. The NCEP/NCAR 40-year reanalysis project. Bull. Amer.

Meteor. Soc. 77: 437-470.

Meyers G.A., P.C. McIntosh, L. Pigot dan M.J. Pook. 2007. The years of El Niño, La Niña and interactions with the tropical Indian Ocean. J. Climate. 20: 2872-2880.

Mitchell T.D. dan P. D. Jones. 2005. An improved method of constructing a database of monthly climate observations and associated high-resolution grids. Int. J. Climatol. 25.

Saji N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, dan T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature. 401: 360-363. doi:10.1038/43854. Saji N.H., and T. Yamagata. 2003. Possible impacts of Indian Ocean dipole mode

events on global climate. Climate Res. 25: 151–169.

Smith T.M., R.W. Reynolds, Thomas C. Peterson, dan Jay Lawrimore. 2008. Improvements to NOAA's Historical Merged Land-Ocean Surface Temperature Analysis (1880-2006). Journal of Climate. 21: 2283-2296.

Sulistya et al. 1998. The Impact of El Nino 1997/1998 Over Indonesia Region.

Bulletin Of Meteorology and Geophys. 4:40-51.

Trenberth K.E. 1997. The Definitions of El Nino. Bulletin of the American Meteorological Society. 78(12): 2771-2777.

(34)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Scripting language klimatologis curah hujan tahun 1961-1990

#****************************************************************** # Scripting Language untuk Curah Hujan Klimatologi 1961-1990

# Oleh : Murni Ngestu Nur'utami G24100035 # Departemen Geofisika dan Meteorologi

'define CHKlim = ave(pre, t+0, t=1080, 1yr)' 'modify CHKlim seasonal'

'draw title Klimatologi CH SON (mm/bulan) 1961-1990' 'draw ylab Latitude'

'draw xlab Longitude'

'printim e:/Hasil/CH/Klimatologi/15_KlimCH_SON.png white' ‘c’

#****************************************************************** Lampiran 2 Scripting language klimatologis suhu permukaan laut dan angin di

ketinggian 1000 hPa tahun 1961-1990

#****************************************************************** # Scripting Language untuk ER_SST & Angin Horizontal (1000 hPa) Klimatologi 1961-1990

(35)

21 'set time jan1961 dec1961 '

'define sstclim = ave(sst, t+0, t=372, 12)' 'modify sstclim seasonal'

'define uwindclim = ave(uwind.2, t+0, t=372, 12)' 'modify uwindclim seasonal'

#Klimatologi 1960 - 2011 angin meridional 'set time jan1961 dec1961 '

'define vwindclim = ave(vwind.3, t+0, t=372, 12)' 'modify vwindclim seasonal'

'draw title KLIMATOLOGI SPL (oC) & ANGIN 1000 hPa (m/s) SON 1961-1990' 'printim e:/Hasil/SST&Angin/Klimatologi/16SON_1961-1990.png white'

'c'

(36)

22

Lampiran 3 Scripting language klimatologis tekanan permukaan laut tahun 1961-1990

#****************************************************************** # Scripting Language untuk Tekanan Permukaan Laut Klimatologi 1961-1990 # Oleh : Murni Ngestu Nur'utami G24100035

# Departemen Geofisika dan Meteorologi

'define SLPclim = ave(slp, t+0, t=516, 1yr)' 'modify SLPclim seasonal'

'set clevs 990 995 1000 1005 1010 1015 1020 1025 1030 1035' 'set ccols 9 4 11 5 13 3 10 7 12 8 2 6'

'd (SLPclim(t=9)+SLPclim(t=10)+SLPclim(t=11))/3' 'cbarn'

'draw title Klimatologi SLP (hPa) SON 1961-1990' 'draw ylab Latitude'

'draw xlab Longitude'

'printim e:/hasil/TPL/klimatologi/16_SON.png white' 'c'

#****************************************************************** Lampiran 4 Scripting language klimatologis sirkulasi Walker tahun 1961-1990 #****************************************************************** #Scripting Language untuk Sirkulasi Walker Klimatologi 1961-1990

(37)

23

'draw title Klimatologi Kecepatan u & w SON 1961-1990' 'draw ylab Tekanan (hPa)'

'draw xlab Longitude'

'printim e:/hasil/Walker/Klimatologi/16son_wolker.png white' 'c'

(38)

24

Lampiran 5 Klimatologi curah hujan Indonesia tahun 1961-1990 pada tiga region dan anomali curah di setiap fenomena tahun 1960-2011 dari data CRU

Anomali Curah Hujan (mm/bulan) Klimatologi

(39)

25

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Indeks IOD dan indeks ENSO pada Nino 3.4 periode Januari 1960 hingga Desember 2011, (a) Tahun 1960-1976, (b) Tahun 1977-1993, dan (c) Tahun 1994-2011
Gambar 2  Zonasi tiga tipe curah hujan Indonesia. Region A (monsunal)
Gambar 3  Klimatologi curah hujan Indonesia pada (a) DJF, (b) MAM, (c)
Gambar 4  Klimatologi SPL (kontur; oC) pada (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON dengan kondisi angin horizontal 1000 hPa (vektor; m/s) tahun 1961-1990
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kasimo mengembangkan nasionalisme pada zaman kolonial; (2) proses yang dilalui I.J.. Kasimo dalam mengembangkan nasionalismenya pada zaman kolonial; (3) Sumbangan

The objectives of this study was to know the capability of callus induction, shoot regeneration and tiller growth of 4 Thai local sugarcane cultivars (K92-80, KK3, LK95-127,

[r]

Based on these results it can be concluded that the variables of firm size, debt equity ratio, audit complexity, the auditor's opinion, the reputation of

Operasi kerja mesin ini berlangsung hampir terus menerus mendekati kontinu atau mirip system kerja motor Wankel membuat RPM mesin lebih tinggi, Mengingat aksi kerja mekanik

Database yang akan dibuat adalah database yang berbasis client-server dengan struktur database dari sistem informasi pengolahan Delivery Order yang akan dibuat

Sedangkan penggunaan deiksis persona, penunjuk, dan waktu yang paling dominan dalam novel Sunset Bersama Rosie adalah deiksis waktu khususnya deiksis waktu dengan

Masyarakat yang merupakan investor pemula tentunya akan bingung dengan prosedur investasi di pasar modal sehingga hal ini bisa saja membuat investor untuk