ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN TOKOH UTAMA
PADA NOVEL “LONCENG NAGASAKI”
KARYA TAKASHI NAGAI
TAKASHI NAGAI NO SAKUHIN NO “NAGASAKI NO KANE”
SHOSETSU NO SHUJINKOU NO SEIKATSU NO
SHAKAIGAKUTEKI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana
Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
TOBRINI
NIM : 040708050
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN TOKOH UTAMA
PADA NOVEL “LONCENG NAGASAKI”
KARYA TAKASHI NAGAI
TAKASHI NAGAI NO SAKUHIN NO “NAGASAKI NO KANE”
SHOSETSU NO SHUJINKOU NO SEIKATSU NO
SHAKAIGAKUTEKI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana
Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh: TOBRINI NIM : 040 708 050
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum Prof. Hamzon Situmorang, MS. Ph.D
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
MEDAN
2010
Disetujui oleh
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Departemen Sastra Jepang
Ketua Program Studi
Prof. Hamzon Situmorang, MS. Ph. D
NIP.19580704 1984 12 1 001
PENGESAHAN
Diterima oleh,
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk
melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Pada Pukul :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan
1. Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( ) Prof. Drs. Syaifuddin, MA. Ph. D
NIP. 19650909 1994 03 1 004
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
2. Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum ( )
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM....
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan
rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis
Sosiologis Kehidupan Tokoh Utama Pada Novel “Lonceng Nagasaki” Karya
Takashi Nagai, ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar
kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih,
penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua
Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan
sebagai dosen pembimbing II.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang
telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk
membaca dan menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada
penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan perkuliahan dengan baik.
5. Terima kasih yang sebesar - besarnyanya penulis ucapkan untuk kedua
orang tua tersayang dan tercinta Ayahanda Zulkifli dan Ibunda atisar
yang telah banyak mencurahkan kasih sayangnya, do’a dan perhatiaanya
kepada penulis.
6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada saudara-saudaraku yang telah
banyak memberikan dukungan dan doanya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini ( Annisa, kak Ratna, bang
iskandar, kak Eni).
9. Teman-teman yang telah membantu dan memberi support kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Sastra Jepang stambuk
2004; Lusi, Dhona, Fitri, Citra, Rudi, Salim, terima kasih atas
kebersamaannya selama ini. Semoga kita sukses dalam menghadapi
masa depan yang lebih cerah
10. Buat bang Yala, Dino, kalian telah saya anggap laksana saudara sendiri.
Pak Marzaini Manday, serta Ibu Masdiana, Mhum, sungguh saya serasa
memiliki orang tua kandung diperantauan. Kaalian yang selalu
memberikan bantuan dan dorongan baik moril maupun materil, tanpa
pamrih sedikitpun.
11. Buat bang Amran, bang Mistam, Rani Sensei,
12. Teman-teman Senina 35, persahabatan yg sudah terjalin selama 6 tahun
bersama; Bang Munan, Rizal, Ahmad Zailani, Nizar, Salim, Aling,
Mukhtar, Amir, Rehan, sukses untuk kita semua!
13. Teman-teman dan adik-adiku di rosalinda, Yusrizal, mona, lusi (amoy),
Desta, Ripa, Kiki, Lili, kak Epa, Kak Nur, Krisna, Pani dan Adi serta
smua yang mungkin tak bisa disebutkan namanya.
14. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini,
termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap berusaha mencari
kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara
maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha
merampungkan skripsi penulis tersebut.
Medan, 29 Juni 2010
Penulis
( Tobrini )
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 4
1.3.Ruang Lingkup Pembahasan ... 6
1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 6
1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.6.Metode Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGIS SASTRA PADA NOVEL “LONCENG NAGASAKI” KARYA TAKASHI NAGAI ... 13
2.1. Pengertian Novel ... 13
2.2. Setting Novel Lonceng Nagasaki ... 15
2.3. Defenisi Sosiologi dan Semiotika Sastra ... 19
2.4. Biografi Takashi Nagai ... 24
BAB III ANALISIS SEMANGAT HIDUP DAN MOTIVASI TOKOH
UTAMA DALAM NOVEL ”LONCENG NAGASAKI” KARYA
TAKASHI NAGAI ... 38
3.1. Semangat Hidup dan Kondisi Sosial Tokoh Utama ... 38
3.1.1. Semangat Hidup Tokoh Utama ... 38
3.1.2. Kondisi Sosial Tokoh Utama ... 44
3.2. Semangat untuk Lingkungan/Orang-orang di Sekitarnya ... 50
3.3. Semangat untuk Kepentingan Negara ... 54
3.4. Semangat Untuk Membantu Kehidupan Manusia ... 57
3.5. Faktor yang Mendukung dan Memotivasi Tokoh Utama Untuk Menolong Korban Bom Atom ... 61
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
4.1. Kesimpulan ... 64
4.1. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 69
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah satu karya manusia yang menarik untuk dikaji adalah sastra, karena
dalam sastra kita dapat menemukan gambaran hidup dan rangkaian sejarah yang
sesuai dengan masa sastra itu hadir. Secara etimologis sastra berasal dari bahasa
Latin yaitu; Literature (Litera : huruf atau karya tulis). Dalam bahasa Sanskerta
berasal dari akar kata sas- artinya mengajar, memberi petunjuk atau Instruksi dan
akhiran –tra menunjukka arti sebagai alat bantu atau sarana. Jadi sastra berarti
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik
(Nyoman Kutha Ratna 2003 : 1).
Menurut Wellek dan Austin dalam Melani Budianto (1997 : 83) sastra adalah
suatu kegiatan kreatif dari karya seni. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan yang
masuk didalamnya seperti perasaan, semangat, keyakinan, kesedihan, dan
kepercayaan. Sastra juga mempunyai ragam dan jenis (gendre). Ragam umum
yang dikenal adalah puisi, prosa, dan drama. Sastra prosa mempunyai ragam
cerpen, novel, dan roman. Sastra mempunyai dua sifat yaitu sastra yang bersifat
imajinasi (fiksi) dan non imajinasi (non fiksi). Karya sastra yang bersifat imajinasi
atau fiksi yaitu suatu cerita rekaan yang menyangkut dari daya khayal kreatif,
bersifat intuisi yang mengutamakan faktor rasa dan sesuatu yang diangkat dari
kehidupan nyata.
Karya sastra juga merupakan media pembawa pesan atau amanat yang ingin
cerita menempati peran strategis sebagai pembawa pesan. Seperti yang
diungkapkan Abrams dalam Nurgiyantoro (1995 : 165) bahwa tokoh tokoh cerita
adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diucapkan dan apa dilakukan.
Novel sebagai bagian dari karya sastra merupakan medium yang sangat ideal
untuk mengangkat peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, novel adalah
media untuk menuangkan pemikiran, perasaan, dan gagasan penulis dalam
merespon kehidupan sekitarnya. Oleh karena itu, novel juga bersifat sosial karena
selain menyampaikan pesan dari pengarang lewat karakter tokoh. Novel juga
menggambarkan kehidupan sosial dari para tokohnya.
Adapun penelitian yang akan dibahas adalah karya sastra bersifat fiksi yang
menggambarkan kehidupan nyata yang ditulis kedalam sebuah novel. Kali ini
penulis akan menganalisa sebuah novel kisah nyata (true story) yang berjudul
“Lonceng Nagasaki” karya Takashi Nagai.
Novel Lonceng Nagasaki adalah kisah saksi mata seorang ilmuwan, yang
waktu itu menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Nagasaki,
tentang sebuah kejadian yang merupakan salah satu peristiwa penting dalam
sejarah perkembangan umat manusia yaitu penggunaan Bom Atom untuk pertama
kalinya. Takashi Nagai, dokter tersebut bukan hanya seorang saksi mata tetapi
sekaligus korban dalam tragedi bom atom yang terjadi pada hari Kamis, tanggal 9
Kisah ini bukan sekedar kisah kehancuran fisik, tetapi juga akibat dari
kehancuran fisik tersebut terhadap mental dan jiwa manusia. Profesor Nagai
menyebutkan orang-orang menjadi gila seketika melihat kehancuran yang begitu
hebat dan tiba-tiba.
Perubahan bukan hanya terjadi pada lingkungan dan kondisi sosial
penduduk, tetapi juga berdampak pada diri Takashi Nagai sendiri. Takashi Nagai,
dari seorang dokter yang mencurahkan keahlian demi kemenangan Jepang dalam
perang, tiba-tiba berubah menjadi seorang dokter dan ilmuwan yang patuh dan
taat beragama (Takashi Nagai beragama Katholik) serta pencinta kemanusiaan,
terlepas dari pengetahuan Nagai tentang kekejaman Jepang terhadap bangsa lain.
Jika kehancuran yang hebat akibat bom atom tersebut telah banyak membuat
orang menjadi gila, maka Nagai beruntung karena tragedi itu dapat merubahnya
menjadi lebih baik.
Manusia yang tidak peduli kepada lingkungan sosial atau tetangga bisa
berubah menjadi lebih peduli apabila manusia tersebut ditimpa malapetaka
dahsyat yang menyebabkan dia sama sekali tidak berdaya. Keadaan yang serba
tidak berdaya inilah yang akan merubah manusia itu sendiri menjadi peduli
kepada lingkungannya dan perasaan senasib akan menyingkirkan ego
masing-masing.
Contoh sikap semangat hidup dan kepedulian sosial yang tinggi dalam novel
ini adalah setelah terjadi ledakan yang dahsyat akibat bom atom tersebut, Nagai
terlempar ke udara dan kemudian terkubur dalam reruntuhan bagunan dan
mahasiswa dan perawat. Lalu bersama-sama tanpa kenal lelah mereka mulai
mengumpulkan korban yang luka-luka, sakit dan sekarat. Setelah Nagai
mengetahui kekejaman yang dilakukan Jepang terhadap bangsa lain, maka terjadi
suatu perubahan dalam motivasinya untuk menolong para korban. Sebelumnya dia
mengerahkan semuanya untuk menolong orang yang luka-luka dan sakit sebagai
bagian dari sumbangsihnya terhadap perang yang dilancarkan Jepang, tetapi
sekarang semuanya dilakukannya atas dasar kemanusiaan semata. Dia tetap
mencintai negerinya tetapi semua usahanya sekarang ditujukan kearah
pembangunan spiritual bangsa Jepang yang akan bertanggung jawab mencapai
perdamaian dunia.
Dari uraian diatas dan setelah membaca novel Lonceng Nagasaki tersebut,
penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam sikap daya juang dalam menghadapi
masalah hidup serta perjuangan Nagai dalam masalah kehidupan sosial
masyarakat Jepang sebelum dan setelah tragedi bom atom Nagasaki tersebut.
Sikap hidup yang lebih mementingkan orang lain dan kepentingan akan
kemanusiaan yang digambarkan Nagai dalam Novel ini menjadi inspirasi bagi
penulis untuk mengambil judul: “Analisis Sosiologis Kehidupan Tokoh Utama
Pada Novel “Lonceng Nagasaki” Karya Takashi Nagai”
1.2. Perumusan Masalah
Hari kamis, 9 Agustus 1945, pukul 11.02, Nagasaki dihancurkan oleh bom
atom yang meledak pada ketinggian 500 meter diatas kota. Puluhan ribu orang
menderita berbagai penyakit akibat radiasi. Dan ribuan rumah habis terbakar atau
hancur diamuk angin ribut yang ditimbulkan oleh ledakan yang sangat dahsyat.
Diantara mereka yang selamat adalah Dr. Takashi Nagai. Ahli radiologi dan dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Nagasaki. Nagai berhasil menghimpun
rekan-rekannya para dokter, perawat dan mahasiswa untuk bekerjasama menolong para
korban tanpa kenal lelah dan tanpa mempedulikan keadaan mereka sendiri.
Sampai akhirnya mereka terpaksa menyerah pada penyakit-penyakit akibat radiasi
atom.
Novel ini lebih banyak menggambarkan kenyataan pada waktu jatuhnya
bom atom di Nagasaki. Penggambaran yang mendalam dari berbagai sudut
pandang dan tokoh, serta keadaan sosial masayarakat pasca dijatuhkannya bom
menjadikan novel ini menarik untuk dibahas.
Disamping itu, novel ini juga mengajarkan sikap hidup tolong-menolong,
semangat hidup serta cinta kasih terhadap sesama. Dengan menggunakan teori
pendekatan semiotik dan pendekatan analitis sebagai acuan dalam menganalisis
kondisi sosial tokoh, penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran sikap semangat hidup tokoh utama, semangat
untuk lingkungan/orang-orang disekitarnya, semangat untuk
kepentingan Negara, dan semangat untuk membantu kehidupan
manusia dalam novel “Lonceng Nagasaki” karya Takashi Nagai.
2. Bagaimana kondisi sosial yang dihadapi tokoh utama dalam novel
3. Faktor-faktor apa saja yang mendukung tokoh utama untuk bertahan
hidup dan peduli dengan kondisi lingkungan sosial paska bom atom
di Nagasaki.
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis mengaggap perlu
adanya ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini bertujuan agar masalah yang
diteliti tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat
lebih fokus dan terarah.
Dalam analisis ini penulis hanya akan memfokuskan pada peristiwa yang
menggambarkan sikap semangat hidup tokoh utama, semangat untuk
lingkungan/orang-orang disekitarnya, semangat untuk kepentingan Negara, dan
semangat untuk membantu kehidupan manusia, faktor-faktor yang memotivasi
tokoh utama untuk berbuat membantu sesama, serta perasaan-perasaan, ide-ide
tokoh utama terhadap kehidupan yang dihadapinya. Penulis juga akan
mendeskripsikan kondisi sosial tokoh utama dalam novel “Lonceng Nagasaki”
karya Takashi Nagai.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1. Tinjauan Pustaka
Novel adalah cerita kisahan prosa yang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang yang ada disekitarnya dengan menonjolkan
Sosiologis sastra menurut Ratna (2003 : 2) yaitu pemahaman terhadap
totalitas karya yang disertai aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung
didalamnya. Sosiologis sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen,
yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena itu analisis sosiologis memberikan
perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra.
Salah satu unsur penunjang terciptanya karya sastra adalah penokohan.
Tokoh cerita dalam suatu karya sastra menempati posisi yang sangat stratregis
sebagai pembawa amanat, ataupun pesan moral yang ingin disampaikan kepada
pembaca.
Tokoh cerita dalam suatu karya sastra merupakan hasil karya murni dari
pengarang yang berasal dari fikirannya. Boulton dalam Aminuddin (2000 : 79)
mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan
tokohnya itu bisa dengan berbagai macam cara. Pengarang bisa saja
menggambarkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup dalam mimpi, pelaku
yang hanya memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya,
pelaku yang memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang
sebenarnya maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri.
Karya sastra memiliki aspek bahasa sebagai medianya. Bahasa merupakan
suatu sistem komunikasi yang sarat dengan pesan kebudayaan kehidupan manusia
tidak terlepas dari kebudayaan atas dasar bahasa. Sedangkan bahasa itu sendiri
adalah sistem tanda (Ratna 2003 : 111). Oleh karena itu bahasa mempunyai peran
1.4.2. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian, diperlukan teori atau pendekatan yang menjadi
acuan bagi penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Adapun pendekatan
yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis dan
semiotik.
Roucek Warren dalam Soekanto (2000 : 20) mengemukakan bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan
kelompok-kelompok. Dan objek sosial adalah masyarakat yang dilihat dari hubungan antar
manusia dan proses itu timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
Menurut Nyoman (2004 : 60) dasar filosofis Pendekatan sosiologis sastra
dalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan itu disebabkan oleh;
a. Karya sastra dihasilkan oleh pengarang,
b. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat,
c. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada pada masyarakat,
d. Hasil karya itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Telaah sastra terfokus pada segi-segi yanag menunjang pembinaan dan
peningkatan pengembangan dalam tata cara kehidupan.
Karya sastra sangat erat hubungannya dengan kenyataan. Karya sastra
menyajikan segala sesuatu gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri
merupakan bahagian dari kanyataan sosial. Oleh karena itu, hubungan antara
manusia, masyarakat, peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, sangat berkaitan
mencoba menganalisis sikap hidup tokoh utama yang berhubungan dengan
kenyataan sosial setelah peristiwa peledakan bom atom di Nagasaki dengan
menggunakan teori semiotika.
Hoed dalam Nurgiantoro (1995 : 40) berpendapat bahwa semiotika adalah
ilmu atau metode untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain. Dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan, perasaan dan
lain-lain. Tanda-tanda dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut,
bentuk tulisan, warna, bendera, karya seni dan lain-lain yang berada disekeliling
kita. Dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure bahasa
merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai tanda bahasa mewakili sesuatu yang
lalin yang disebut makna. Dalam bahasa yang diinterpretasikan sebagai makna,
terdapat nilai sosiologis yang bertitik pangkal dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya (Nurgiantoro, 1995 : 39).
Penulis menggunakan pendekatan semiotika dalam menganalisis bertujuan
untuk mengetahui bagaimana situasi sosial kehidupan tokoh Nagai dalam cerpen.
Nagai yang berprofesi sebagai dosen, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Nagasaki sekaligus merupakan korban dari tragedi bom atom yang terjadi di kota
Nagasaki Jepang. Dalam novel ini, tokoh Nagai memperlihatkan bagaimana dia
berjuang untuk keluar dari reruntuhan bangunan akibat bom, dan dengan sigap
langsung memikirkan tindakan penyelamatan terhadap para korban. Kekuatan
bom yang dahsyat tidak mengalahkan semangat Nagai dalam berfikir jernih untuk
membentuk regu penyelamat. Naluri sebagai dokter (Ahli Radiologi) membuat
terhadap dampak-dampak yang diakibatkan radiasi bom atom terhadap para
korban. Hal ini dilihat peneliti dari tanda-tanda dan bahasa yang menceriminkan
sikap hidup tokoh dan motivasi tokoh dalam menolong sesama.
Untuk keperluan analisis, penulis mencoba menginterpretasikan sikap hidup
dan kondisi sosial tokoh utama dengan pendekatan sosiologis dan semiotika
dalam novel “Lonceng Nagasaki” karya Takashi Nagai dengan menganalisa
bagian-bagian yang mencerminkan nilai-nilai sikap hidup dan keadaan sosial
tokoh utama dalam bertahan hidup dan motivasinya untuk menolong sesama tanpa
mempedulikan keadaan sendiri apalagi mengharap pamrih.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
merangkum tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan sikap semangat hidup tokoh utama demi
kepentingan Negara, kemanusiaan dan lingkungan dalam novel “Lonceng
Nagasaki” karya Takashi Nagai.
2. Untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat yang dihadapi oleh tokoh
utama dalam novel tersebut.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung tokoh utama dalam
bertahan hidup dan motivasi untuk menolong para korban bom atom walau
keadaan mereka sendiri sama parahnya dengan korban yang mereka
1.5.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menambah informasi mengenai pesan yang terkandung dalam novel
“Lonceng Nagasaki” karya Takashi Nagai.
2. Menambah informasi bagi pembaca mengenai dampak sosial yang
ditimbulkan bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan memahami sikap
perjuangan hidup, cinta kasih dan saling menolong tanpa pamrih yang
terdapat dalam novel “Lonceng Nagasaki” karya Takashi Nagai.
1.6. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam menganalisis novel ini adalah dengan
menggunakan metode deskriptif. Karena penelitian ini hanya terbatas kepada
pengungkapan fakta dengan memberikan gambaran tentang gejala-gejala,
perubahan pemikiran dan motivasi yang terjadi sampai kepada kondisi sosial
masyarakat yang dihadapi oleh tokoh utama dalam kehidupannya.
Menurut Koentjaranigrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat
deskriptif yaitu memberi gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Dalam mendeskripsikan sesuatu, peneliti
mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan
menginterpretasikan data.
Untuk teknik pengumpulan data, penulis menggunakan studi kepustakaan
(Library Research). Yaitu dengan mengumpulkan buku-buku atau sumber-sumber
Kemudian dilanjutkan dengan membaca dan menganalisis masalah-masalah yang
yang ada dengan teori-teori yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini
Menurut Hadari (1991 : 133)studi kepustakaan adalah mengumpulkan data
melalui peninggalan tertulis, yang dilakukaan dengan cara mengumpulkan
buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Kemudian
membaca novel dan menganalisis masalah-masalah yang ada dengan teori yang
berhubungan dengan penulisan ini. Data yang diperoleh tersebut kemudian
dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran, selain itu penulis
memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia di perpustakaan Universitas
Sumatera Utara, perpustakaan Jurusan Sastra Jepang dan buku-buku dari berbagai
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGIS SASTRA PADA NOVEL
“LONCENG NAGASAKI” KARYA TAKASHI NAGAI
2.1. Pengertian Novel
Dunia kesusasteraan mengenal beberapa gendre yaitu prosa, pusi, drama.
Dapat terbagi lagi dalam beberapa ragam yaitu cerpen, novel, dan roman.
Kesusasteraan dikenal bermacam-macam jenis sastra (gendre). Gedre
sastra dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan, karena itu teori sastra
selalu berusaha untuk mencari konvensi yang tepat sesuai perkembangan sastra.
Gendre sastra ini terjadi karena adanya konvensi sastra yang berlaku pada sebuah
karya sehingga membentuk ciri tertentu (Werren dan Wellek 1997 : 298).
Bila dipandang dari segi perwujudannya, ada tiga kriteria dari gendre
sastra tersebut. Pertama teks Epik: yaitu novel, roman dan cerpen. Kedua yang
berpusat pada pencerita (lirik), yaitu syair dan puisi. Dan terakhir yang terpusat
pada cerita tersebut.
Menurut Nurgiantoro (1995 : 2) istilah fiksi dalam pengertiannya berarti
cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya
naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. Dengan demikian,
karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat
rekaan atau khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Bentuk karya fiksi yang terkenal saat
ini adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang mengandung nila-nilai keindahan
dan kehidupan. Nilai-nilai keindahan yang terdapat didalamnya memberikan
kenikmatan bagi pembacanya dan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di
dalamnya memberi manfaat bagi pembaca.
Sesuai dengan pernyataan diatas, pengertian prosa fiksi menurut
Aminuddin (2000 : 6) adalah:
“Kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan
pemeran, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak
dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita “.
Menurut pengertian di atas, kebenaran yang terdapat dalam sebuah karya
sastra fiksi tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dalam kebenaran yang
berlaku didunia nyata. Baik itu para pelaku (pemerannya), tempat terjadinya dan
rangkaian ceritanya, semuanya bersifat fiksi dan dunia nyata memiliki sistem atau
aturan tersendiri.
Pengertian prosa fiksi diatas juga berlaku untuk pengertian novel. Sesuai
dengan pernyataan Abrams dalam Nurgiantoro (1995 : 4), yaitu dalam
perkembangan karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Kata novel
dalam bahasa Inggeris (juga dipakai dalam bahasa Indonesia) berasal dari bahasa
Italia yaitu Novella (dalam bahasa Jerman Novelle). Secara harfiah Novella
berarti “Sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita
Menurut Jassin dalam Nurgiantoro (1995 : 16)
“Novel, dipihak lain dibatasi dengan pengertian suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada disekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak menggambarkan kehidupan seseorang dan lebih mengenai suatu episode.”
Berdasarkan pengertian di atas, novel menceritakan suatu episode dalam
kehidupan manusia dari dia lahir sampai meninggal. Berarti sebuah novel pada
umumnya memaparkan tentang kehidupan manusia dengan segala
permasalahannya, lingkungan dan kondisi sosial yang terdapat di sekitar
pengarang.
2.2. Setting Novel Lonceng Nagasaki
Suatu karya sastra mempunya beberapa unusur. Diantaranya unsur Intrinsik
dan Ekstrinsik. Salah satu unsur intrinsik dalam karya sastra ataupun dalam novel
adalah setting atau biasa disebut dengan latar. Latar atau setting yang disebut juga
landasan tumpu, yang merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams
dalam Nurgiantoro, 1995 : 216)
Jacob Soemarjo (1979 : 10) mengatakan:
“Setting disini bukan hanya terbatas pada pengertian geografis, tetapi juga
antropologis. Dikalangan masyarakat mana, di zaman apa, di suasana apa cerita
itu berlangsung adalah setting”.
Menurut Panuti Sudjiman dalam Dick Hartono (1984 : 46) setting atau latar
adalah segala keterangan mengenai ruang, waktu dan suasana terjadinya lakon
dalam karya sastra tersebut. Misalnya dimana tempat berlangsungnya suatu
tersebut terjadi dan bagaimana situasi saat berlangsungnya peristiwa tesebut
dalam suatu novel
Latar haruslah memberikan landasan yang kongkrit dan jelas. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi kesan pembaca. Dengan latar yang jelas,
pembaca dapat lebih memahami tentang tempat peristiwa-peristiwa dalam novel
berlangsung, bagaimana kondisi sosial pada waktu terjadinya peristiwa-peristiwa
yang terdapat dalam novel. Pembaca dapat dengan mudah mengembangkan daya
imajinasinya bahkan dimungkinkan untuk berperan secara kritis sehubungan
dengan pengetahuannya tentang latar dan penggambaran latar yang jelas dari
sebuah novel.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu,
dan sosial. Ketiga unsur tersebut mempunyai pembahasan dan permasalahan yang
berbeda-beda dan dapat dibahas secara terpisah. Tetapi pada kenhyataannya saling
berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain (Nurgiantoro, 1995 : 227)
Setting juga berhubungan erat dengan unsur-unsur lainnya seperti tokoh,
alur tema, dan lain-lain. Mursal Esten dalam Dick Hartono (1984 : 88):
“Latar sebagai salah satu unsur yang penting dari struktur novel yang
memperlihatkan suatu hubungan yang kait berkait dengan unsur-unsur struktur
lainny, tidak saja erat hubungannya dengan penokohan tetpai juga amat erat
hubungannya dengan tema dan amanat yang diungkapkan sebuah novel.”
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi. Hal ini berhubungan dengan
masalah waktu faktual. Novel “Lonceng Nagasaki” adalah novel yang ditulis pada
oleh Amerika dengan menggunakan Bom Atom. Penulis novel yang merupakan
seorang profesor, ahli radiologi, dan fisika nuklir juga merupakan salah satu
korban dari tragedi bom atom yang dijatuhkan di kota Nagasaki membuat novel
ini menarik. Hal ini dikarenakan kisahan dari novel ini diceritakan langsung
secara jelas oleh korban/orang yang mengalami langsung peristiwa pemboman
Nagasaki. Meskipun novel ini ditulis dan rampung pada tahun 1984, namun
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini terjadi beberapa tahun
sebelumnya. Yaitu pada tahun 1945, tepatnya dimulai pada hari Kamis tanggal 9
Agustus. Kejadian pemboman ini persis diatas distik Urakami yang bertempat di
kota Nagasaki Jepang. Jadi setting tempat dalam novel Lonceng Nagasaki ini
terdapat di beberapa tempat yang masih berada dalam kota Nagasaki dan
daerah-daerah pedesaan disekitarnya. Tetapi tempat yang paling ditonjolkan dalam
peristiwa ini adalah Distrik Urakami.
Latar sosial merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi
tersebut. Hal ini mencakup berbagai masalah kehidupan sosial yang sangat
kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berfikir, cara bersikap dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa
dalam novel ini terjadi pada zaman Shōwa. Sementara kondisi realita sosial pada
waktu itu menggambarkan kehidupan masyarakat Nagasaki yang sudah lebih
maju, ilmu pengetahuan sedang berkembang, tetapi masih dalam keadaan perang
yaitu Perang Dunia Ke-II. Dalam novel ini tergambar kehidaupan masyarakat
beraktivitas. Kemudian kondisi ini berubah secara drastis setelah Kota Nagasaki
dijatuhi oleh bom atom. Semuala kondisi kehidupan masyarakatnya masih bisa
beraktivitas walaupun dalam keadaan perang berubah menjadi keadaan yang
memilukan akibat kehancuran yang tidak dahsyat. Hampir semua yang terkena
bom atom tidak bisa diselamatkan. Mereka yang selamat pun tidak luput dari
penyakit akibat radiasi. Regu penyelamat pun dibentuk dari orang-orang yang
sebenarnya adalah korban juga. Mereka terdiri dari Dosen, Perawat, Mahasiswa
dan profesor. Regu penyelamat yang terdiri dari beberapa golongan sosial ini
bersatu manjadi sebuah tim penyelamat. Tanpa menghiraukan posisinya mereka
tatap bekerjasama bahu-membahu dalam menyelamatkan korban lainnya
meskipun mereka sendiri juga menderita sakit akibat bom atom. Sementara tokoh
Nagai sendiri adalah seorang Profesor, Dekan Fakultas Kedokteran, ahli Radiologi
dan fisika nuklir, sekaligus korban dari bom atom itu sendiri. Dengan demikian
novel ini lebih cenderung kepada penggambaran tragedi bom atom yang sangat
nyata dan mendetail. Baik terhadap kehancuran fisik, akibat kehancuran fisik
tersebut terhadap manusia dan juga segala akibat, tanda-tanda, gejala, fase-fase,
dan keadaan yang dihadapi dan akan dihadapi oleh para korban bom atom.
2.3. Defenisi Sosiologi dan Semiotika Sastra
Sosiologi sastra berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi
berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar
manusia dalam masyarakat. Sedangakan sastra berarti kumpulan alat untuk
mengajar. Namun lebih spesifik lagi setelah sastra terbentuk menjadi kata jadian,
yaitu kesusastraan, yang artinya kumpulan hasil karya sastra yang baik (Ratna,
2003 : 1).
Sejumlah defenisi tentang sosiologi sastra banyak dikemukakan oleh para
ahli, salah satunya yaitu pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai
dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. Dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan tersebut, maka sosiologi sastra
juga disebut dengan sosiokritik sastra. Tujuan sosiologi sastra yaitu meningkatkan
pemahaman terhadap sastra dan kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan
bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan, mengingat banyaknya karya
sastra yang disajikan imajinatif. Dengan menggabungkan dua disiplin yang
berbeda, sosiologi dan sastra secara harfiah ditopang oleh dua teori yang berbeda,
yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Teori-teori sosiologi yang dapat
menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat
fakta-fakta sosial.
Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa fakta kultural dalam
masyarakat lahir dan berkembang dalam kondisi tertentu. Melalui medium bahasa,
sastra secara terus-menerus menelusuri proses pemahaman sehingga
terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.
Sebagai timbal balik, karya sastra juga mampu memberikan masukan dan manfaat
terhadap struktur sosial yang menghasilkanya, dalam hal ini masyarakat yang
menjadi pokok sosiologi sastra.
Roucek Warren dalam Soekamto (2000:20) mengemukakan bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan
kelompok-kelompok. Objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari hubungan antar
manusia dan proses itu timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
Adapun wilayah sosiologi sastra cukup luas, Wellek dan Warren (dalam
geocities, 1993 : 111) membagi tiga klasifikasi wilayah sosiologi menjadi tiga
yaitu:
1. Sosiologi Pengarang yakni yang mempermasalahkan tentang status
sosial, ideologi politik, lain-lain yang menyangkut pengarang.
2. Sosiologi Karya Sastra yakni mempermasalahkan tentang suatu karya
sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat
dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak
disampaikan.
3. Sosiologi Sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Menurut Nyoman (2004 : 60) dasar filosofis pendekatan sosiologi sastra
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat.
Hubungan-hubungan itu disebabkan oleh;
b. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat,
c. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada di dalam masyarakat
hasil karya itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Teori sosiologi sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat. Telaah sastra berfokus pada segi-segi sosial
kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya sastra dan juga mempersoalkan
segi-segi yang menunjang pembinaan dan peningkatan pengembangan dalam tata
cara kehidupan.
Menurut pendekatan sosiologis sastra, karya sastra dilihat dari
hubungannya dengan kenyataan. Sejauh mana karya sastra itu mencerminkan
kenyataan, kenyataan disini mengandung arti yang cukup luas. yaitu segala
sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Sastra
menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri yang sebahagian
besar terdiri dari kenyataan sosial.
Semiotika adalah ilmu bahasa, ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata
yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotika secara istilah adalah ilmu
yang secara sistematik mempelajari tanda, lambang-lambang, sistem lambang, dan
proses perlambangan (Jaan Van Luxemburg 1986 : 44). Segala sesuatu dapat
menjadi tanda. Tanda terdapat dimana-mana misalnya kata adalah tanda, demikian
juga gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya
sastra, struktur film, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai
tanda. Ahli tentang semiotika modern yang sangat terkenal yaitu Charles Sanders
Sastra sebagai seni kreatif menggunakan manusia dan segala macam segi
kehidupannya maka sastra tidak saja merupakan suatu tanda media untuk
menyampaikan ide, teori atau sistem berfikir manusia. Tetapi juga media untuk
menampung ide, tori dan sistem berfikir manusia itu sendiri.
Sastra juga merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya (Atar Semi 1993:8). Berbeda dengan seni lainnya seperti seni lukis
yang mediumnya netral dan belum mempunyai arti, sedangkan sastra mediumnya
bahasa, sudah mempunyai arti, mampunyai sistem dan mempunyai konvensi.
Dalam sastra banyak bentuk-bentuk karya sastra misalnya prosa, puisi dan
drama. Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai
konvensi-konvensi sendiri, untuk itu dalam menganalisis karya sastra harus mempunyai arti
bahasa dan sistim tanda. Pada dasarnya konvensi-konvensi yang berlaku dalam
masyarakat pemakai bahasa merupakan prinsip penandaan.
Pemahaman makna sebuah karya sastra dapat diinterpretasikan melalui
tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda atau
sign. Olehkarena itu bahasa adalah sistim tanda untuk memahami konsep makna
dalam karya sastra. Seorang penelaah atau pembaca harus menguasai tanda-tanda,
lambang-lambang, sistem lambang dan proses perlambangan yang ada pada
bahasa tersebut.
Dalam hal ini bukan berarti bahasa saja yang dapat diartikan sebagai
diinterpretasikan dalam berbagai hal seperti pengalaman, pikiran, perasaan,
maupun konsep-konsep khusus tentang budaya, seni dan sastra.
Bahasa adalah tanda. Karena dalam bahasa terdapat kata, kalimat dan teks
yang merupakan tanda-tanda bahasa. Oleh karena itu, sastra identik dengan teks.
Teks sastra secara keseluruhan merupakan legisign (tanda atas dasar sebuah
konvensi atau sebuah kode).
Untuk memahami teks sebuah karya sastra diperlukan suatu telaah
semiotika sebagai salah satu ilmu tentang tanda yang dapat dijadikan pendekatan
dalam telaah sastra. Pendekatan semiotika dalam sastara dikenal dengan istilah
semiotika satra. Semiotika sastra bukanlah suatu aliran dan bukanlah suatu ilmu
yang hanya mempelajari bahasa alami yang dipakai dalam sastra, tetapi juga
sistim-sistim tanda lainnya untuk menemukan kode-kode dalam teks sebuah karya
sastra (Jaan Van Luxemburg 1986 : 44 - 45).
Semiotika sastra lebih mengarah pada cara-cara untuk membedakan
tanda-tanda sastra dengan tanda-tanda tipe-tipe wacana lain yang memandang kesusasteraan
sebagai kegiatan yang mempersoalkan tipe-tipe yang lain.
Hoed dalam Nurgiantoro (1995 : 40) berpendapat bahwa semiotika adalah
ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah suatu yang
mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, fikiran, perasaan
gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan,
gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah,
pakaian, karya seni, sastra lukis, patung, film, tari, musik dan lain-lain yang
general semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang memepelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Teori Saussure dalam Nrgiantoro (1995 : 39) berpendapat bahwa bahasa
merupakan sebuah sistim tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu
yang lain yang disebut makna. Dalam bahasa diinterpretasikan sebagai makna
terdapat nilai sosiologis yang bertitik pangkal dalam kehidupan masyarakat pada
umumnya.
Dapat disimpulkan bahwa dalam menginterpretasikan sebuah karya sastra
dapat dilakukan melalui tanda-tanda yang terdapat dalam teks sastra tersebut. Hal
ini berarti, apabila ingin melihat budaya yang terdapat didalam sebuah teks karya
sastra, dapat diinterpretasikan dengan cara memahami konsep dasar tentang
budaya yang ingin diambil. Kemudian, menghubungkan konsep tersebut dengan
bagian-bagian teks yang menjadi tanda yang memiliki sifat indeksikal. Jadi, unsur
budaya yang terdapat dalam karya sastra dapat dijadikan sebagai tanda untuk
diinterpretasikan dengan mengambil bagian-bagian teks dalam karya sastra
tersebut.
2.4. Biografi Takshi Nagai
Takashi Nagai berasal dari keluarga dokter. Ayahnya, Noboru Nagai, sudah
terlatih dalam pengobatan Barat. Kakek dari pihak ayah, Fumitaka Nagai, adalah
seorang praktisi jamu tradisional.
Nagai menjadi tertarik pada Kristen ketika di Universitas Kedokteran
yang menjadi pemimpin turun-temurun sekelompo
kampanye
mengiriminya paket perawatan yang berisi
Katolik dan menikah Midori pada tahun 1934.
Nagai telah mulai merintis bekerja pada bagian
dan tetap meneruskan itu setelah kembali ke Nagasaki. Pada waktu itu, standar
keamanan yang kurang dipahami, menyebabkan tingkat korban yang tinggi dari
paparan radiasi antara praktisi lapangan. Selama musim panas 1945, beberapa
bulan sebelum
hidup dua hingga tiga tahun.
Pada saat bom atom pada 9 Agustus 1945, Dr Nagai sedang bekerja di
departemen
serius yang memutuskan
ia tetap bergabung dengan seluruh staf medis yang masih hidup dalam
mendedikasikan diri untuk merawat
100 halaman laporan medis tentang pengamatannya.
Istrinya, Midori telah mengirimkan dua anak mereka untuk tinggal bersama
neneknya di daerah pedesaan, sementara ia tetap di Nagasaki untuk mendukung
pekerjaan suaminya. Tetapi kemudian istrinya menjadi korban bom atom dan
ditemukan di tumpukan abu reruntuhan dapur rumah mereka dengan
Nagai pingsan dari penyakit akibat
selama satu bulan. Setelah itu, ia membangun sebuah gubuk kecil dari
potongan-potongan rumah tuanya, dan terus tinggal di sana bersama kedua anaknya, ibu
mertuanya, dan dua kerabat lainnya.
Beberapa tahun berikutnya, Nagai melanjutkan mengajar dan juga mulai
menulis beberapa buku. Bukunya yang pertama, “Lonceng Nagasaki” diselesaikan
pada ulang tahun pertama pengeboman. Meskipun pada awalnya ia gagal untuk
menemukan penerbit, namun akhirnya buku itu menjadi Best Beller dan masuk
Top Box-Office film di Jepang.
Pada tahun 1947 ia tinggal di sebah rumah yang sedikit lebih besar dari
enam tatami yang dibangun untuknya oleh sebuah tukang kayu yang masih ada
hubungan keluarga dengan Moriyama. Ketika kelompo
sedikit memperbesar gubuk yang ada untuk mengakomodasi saudaranya dan
keluarga saudaranya, serta untuk membangun sebuah rumah teh sederhana dengan
dua tatami seperti bentuk rumah sebelumnya. Dia pun menghabiskan hidupnya
dalam doa di gubuk kecil yang bergaya seperti pertapaan yang dinamai
Pada saat kematiannya pada tahun 1951, ia meninggalkan esai, memoar,
gambar dan kaligrafi dengan berbagai tema termasuk Tuhan, perang, kematian,
Luhurnya semangat dan perdamaian yang telah diajarkanya meninggalkan
jejak positif pada banyak orang bahkan hingga sekarang sekarang.
3 Februari, 1908 : Lahir di Matsue City. Pindah dengan keluarganya ke
Iishi-mura (sekarang Mitoya-cho).
Maret, 1932 : Lulus dari Sekolah Kedokteran Nagasaki.
Juni, 1932 : Ditunjuk untuk posisi asisten dengan spesialisasi dalam
radiologi.
April, 1940 : Ditunjuk untuk posisi asisten profesor di Nagasaki Medical
College dan Kepala Departemen Rehabilitasi Fisik.
Maret, 1944 : Menerima gelar Doktor bidang kedokteran.
5 Juni 1945 : Ditemukan menderita leukemia tetap hidup selama 3 tahun.
9 Agustus, 1945 : Terkena bom atom dengan arteri terpotong di sisi kanan
kepalanya. Mengabdikan dirinya untuk membantu korban
bom meskipun dirinya menderita penyakit serius.
Januari, 1946 : Ditunjuk menjadi profesor di Nagasaki Medical College.
November, 1946 : Memberikan kuliah dengan judul ''Atomic illness and
Atomic Medicine" di Nagasaki Medical Association.
Maret, 1948 : Pindah rumah ke "Nyokodo".
Oktober, 1948 : Menerima kunjungan Helen Keller.
Mei 1949 : Menerima kunjungan Kaisar Showa dan utusan dari Paus.
6 Desember, 1949 : Menjadi orang pertama yang ditunjuk sebagai warga
1 May,1951 : Masuk Rumah sakit universitas Nagasaki dan meninggal
pada pukul 09 : 50 dalam usia 43 tahun.
14 May,1951 : Dimakamkan di Pemakaman Internasional Sakamoto.
2.5. Sinopsis Cerita Novel Lonceng Nagasaki karya Takashi Nagai
Hari kamis tanggal 9 Agustus 1945, pukul sebelas lewat dua menit pagi,
distrik Urakami disapu bersih oleh bom atom yg meledak pada ketinggian sekitar
500 meter diatas kota. Puluhan ribu orang meninggal seketika, puluhan ribu
lainnya terluka parah. Lebih dari seratus ribu menderita berbagai penyakit akibat
radiasi, dan ribuan rumah habis terbakar atau hancur diamuk angin ribut yang
ditimbulkan oleh ledakan yang dahsyat.
Diantara mereka yang selamat adalah Dr. Takashi Nagai, ahli radiologi,
Fisika Nuklir, ketua Jurusan Radiologi dan Dekan fakultas Kedokteran
Universitas Nagasaki, dan kepala Korps Kesehatan Kesebelas dalam kemiliteran
Jepang saat itu. Jabatan itu dibebankan kepadanya semenjak perang pecah.
Setelah terlempar ke udara disebabkan oleh ledakan bom itu (yang kemudian
diceritakannya secara rinci) dan terkubur dibawah reruntuhan bangunan dan
pecahan kaca. Dia berhasil keluar dan mengumpulkan sejumlah kecil Dokter,
mahasiswa dan perawat. Lalu mereka secara bersama-sama tanpa kenal lelah
menolong korban yang luka, sakit dan sekarat.
Setelah tiga hari bersimbah keringat dan bekerja keras, Nagai yang juga
luka-luka, berhasil mencapai rumahnya. Didapatinya rumahnya terbakar habis,
tinggal puing dan isterinya Midori meninggal. Kemudian dia mengumpulkan
luar kota. Dan dari situ pulalah Nagai dan teman-temannya memutuskan untuk
menolong korban dan tanpa menghiraukan keadaan sendiri. Disamping itu
kelompok kecil ini juga menyadari bahwa selain korban, mereka juga ilmuwan.
Mereka tahu mereka sedang menghadapi keadaan unik sepanjang sejarah
kedokteran. Demi masa depan ilmu kedokteran itulah mereka mempelajari dengan
tekun akibat dari bom atom terhadap diri mereka sendiri maupun orang yang
mereka rawat.
Tetapi kemudian mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya sama
sakitnya dengan orang yang mereka rawat. Satu persatu mereka terbaring lemah
tak berdaya dan Nagai sendiri sakit parah. Sebelum bom dijatuhkan, Nagai telah
menderita leukemia sebagai akibat sampingan dari risetnya yang berbahaya
dibidang radiogi. Arteri batang lehernya yang sebelah kanan terpotong oleh
pecahan kaca yang menghujaninya sewaktu bom jatuh. Kehilangan banyak darah,
kurang tidur, kurang makan serta terlalu banyak bekerja akhirnya
mengalahkannya. Pada 26 september dia jatuh pingsan dan hampir saja
meninggal.
Bagaimana kemudian kesehatannya membaik, sampai saat ini masih misteri.
Setelah menyerahkan laporan ilmiahnya ke universitasnya dan dia menulis buku
“Lonceng Nagasaki”, buku ini selesai ditulisnya bulan agustus 1946, persis
setahun sesudah bom atom dijatuhkan di Nagasaki.
Tetapi beberapa teman Nagai tidak menyerah begitu saja terhadap larangan
ini dan naik banding ke Washington. Akhirnya Departemen Pertahanan AS
yang menceritakan kekejaman Jepang di Filipina. Persetujuanpun dicaopai tetapi
pelaksanaannya ternyata makan waktu dan baru di Januari 1949 Nagai meilihat
bukunya dicetak. Setelah kependudukan amerika berakhir, bagian yang
menceritakan kekejaman Jepang akhirnya dibuang.
Takashi Nagai
Takashi Nagai dilahirkan di Matsue di pantai laut Jepang pada tahun 1908.
ayahnya seorang dokter dan diapun mengikuti jejak ayahnnya. Nagai-pun
akhirnya masuk Fakultas Kedokteran Universitas Nagasaki. Setelah
menyelesaikan studinya, dia tetap berada di universitas sebagai dosen, disamping
terdaftar sebagai korps kesehatan militer. Tahun 1931, dia berada diantara tentara
Jepang pada insiden Manchuria, dan kemudian pada tahun 1932 dalam insiden
shanghai. Tahun 1940 dia menjadi asisten professor jurusan Radiologi dan waktu
bom dijatuhkan 1945 dia sudah menjadi dekan. Karena kebanyakan pemuda saat
itu berada di garis depan, tanggung jawab di jurusan hampir sepenuhnya berada di
pundaknya.
Sebagai pemeluk agama Katholik dia pernah menulis bahwa seperti halnya
banyak intelektual Jepang yang dipengaruhi oleh Pascal yang juga banyak
mempengaruhi kehidupan keagaamaannya adalah lonceng gereja yang
berulang-ulang berbunyi memanggilnya. Lonceng ini tidak hancur oleh ledakan bom atom
dan saat ini bisa dilihat di museum bom Atom di Nagasaki.
Tetapi Pascal dan lonceng itu bukanlah satu-satunya yang paling
berpengaruh dalam kehidupan keagamaannya. Pengaruh paling besar berasal dari
yang membuat Nagai menjadi penganut Katholik itu. Mereka menikah pada tahun
1934, dan mempunyai dua anak, Makoto dan Kayano. Kedua anaknya itu juga
mempengaruhi buku-buku yang ditulisnya sebagi anak zaman baru dan zaman
bom atom.
Disamping seorang pejuang Nagai juga seorang ilmuwan. Dia tahu apa yang
terjadi di dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahhuan. Diapun tahu bahwa
Amerika sedang mempersiapkan bom atom. Dia juga tahu bahwa Tiga Besar;
Harry S Truman, Joseph Stallin, dan Winston Churchill mengeluarkan
pengumuman dari Postdam.
Tahun 1945
Pada tanggal 15 Juli 1945, Tiga Besar; Harry S Truman, Joseph Stallin, dan
Winston Churchill mengadakan pertemuan di Postdam dekat Berlin yang baru
saja hancur luluh. Saat itu sudah cukup nyata bahwa Kemaharajaan Jepang sudah
mendekati ambang kehancuran. Dan Perang Dunia II sudah hampir usai. Jerman
sudah kalah dan Russia sedang bersiap-siap mengumumkan perang terhadap
Jepang yang sudah terpencil dan tidak punya teman. Angkatan perang Amerika
Serikat setelah menaklukkan pulau demi pulau, mendapat perlawanan hebat di
Kepulauan Mariana, Iwo Jima, dan Okinawa. Setelah mencapai kemenangan
beruntun, sekarang perhatian mereka terpusat kepada kepulauan Jepang sendiri.
Angkatan Udara dan Laut Jepang sudah lumpuh.kota-kota Jepang telah dihujani
beribu-ribu ton bom. Pemboman terhadap Tokyo tanggal 10 Maret membunuh
sama banyaknya. Di Jepang, makanan dan bahan baku jauh berkurang dan
transportasi terputus. Cukup jelas bahwa kekalahan sudah diambang pintu.
Pemerintah Jepang menyadari sepenuhnya bahaya besar di depan mata
bangsa Jepang. Menteri luar negeri Togo mengirimkan pesan kepada Duta Besar
Sato di Moskow menyuruhnya segera menemui Molotov, sebelum delegasi Rusia
berangkat ke Postdam, dan menerangkan bahwa Kaisar Jepang sudi mengakhiri
kegiatan perangnya. Pesan ini sempat jatuh ketangan intel Amerika dan
Washington pun tahu persis apa yang terjadi.
Lalu di Postdam, tanggal 16 Juli, Truman menerima berita penting yang
sudah lama ditunggu-tungguny a; bom atom telah berhasil di uji coba di
Alamogordo, New Mexico. Proyek manhattan yang menelan biaya milyaran
dollar itu kini telah telah mencapai hasil yang diinginkan. Hasil usaha Robert
Oppenheimer dan kawan-kawannya di Los Alamos kini telah membuahkan hasil.
Belakangan Turman menulis tentang proyek ini sebagai kegiatan zaman perang
yang paling rahasia dan paling berani.
Truman dan Ciang Kai Sek mengeluarkan deklarasi Postdam yang terkenal
itu yang menuntut supaya Jepang menyerah tanpa syarat. Alinea terakhir deklarasi
itu berbunyi:
“Kami menuntut pemerintah Jepang supaya sekarang juga mengumumkan
kepada seluruh angkatan perang Jepang menyerah tanpa syarat dan
memberikan jaminan yang memadai dan bisa diterima pengumuman itu
dikekluarkan dengan jujur. Kalau tidak, Jepang akan mengalami
Deklarasi ini sama sekali tidak menyebut perkara bom atom. Babak
merikutnya dari drama tahun 1945 ini dipenuhi kebingungan dan
kesalahpahaman. Di Jepang, Perdana Menteri Suzuki, setelah berunding dengan
kabinetnya, mengatakan kepada pers bahwa dia sama sekali tidak bermaksud
menolak tuntutan itu, tetapi dalam bahasa Inggris, reaksi Suzuki disimpulkan
sebagai ”no Comment”. Dan di barat ungkapan itu diartikan sebagai penolakan.
Dan penolakan terhadap Deklarasi Postdam ini konon menjadi alasan utama
bom atom dijatuhkan di Jepang.
Keputusan menjatuhkan bom atom itu, salah satu peristiwa terburuk dalam
sejarah umat manusia, kemudian menjadi pokok perselisihan yang melibatkan
beberapa tokoh penting dunia abad ke-20. keputusan akhir diambil oleh Harry
Truman sendiri, yang memang tak pernah menyatakan penyesalannya. Dwight
Eisenhower, yang juga berada di Postdam (sekalipun tidak hadir dalam rapat Tiga
Besar), menentang dengan keras penggunaan bom itu dengan dalasan bahwa
Jepang sebenarnya sudah kalah dan karenanya bom atom tidak diperlukan lagi,
dan dia betul-betul keberatan kalau Amerika Serikat menjadi negara pertama yang
menggunakan bom yang begitu mengerikan dan menghancurkan. Berrtrand
Russell menyebut peristiwa bom atom hiroshima sebagai ”pembunuhan massal”.
Gereja Katolik menyatakan bahwa ”kegiatan perang apa saja yang bertujuan
menghancurkan kota dengan semua isinya tanpa pandang bulu adalah perbuatan
kriminal terhadap Tuhan dan umat manusia.
Yang tidak kalah menariknya adalah perdebatan dikalangan masyarakat
sangat dirahasiakan) dan waktu mereka menyaksikan kehebatannya, mereka pun
tak lepas dari pertimbangan-pertimbangan etis maupun keagamaan.
Drama bom atom sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1939. waktu itu
Alber Einstein, didorong oleh ahli fisika terkenal Leo Szilard, menulis surat
kepada Roosevelt, menggunakan tenaga atom untuk tujuan militer. Waktu itu
terbetik berita bahwa Nazi Jerman sedang mencoba penggunaan tenga nuklir juga,
dan tampaknya akan menang. Maka pada awal 1940-an diperkirakan bahwa
ilmuwan Amerika Serikat dan Ilmuwann Jerman kira-kira seimbang dalam
perlombaan ini.
Setelah Jerman kalah, Einstein dan Szilard meragukan kebijaksanaan
penggunaan bom atom terhadap Jepang. Dan surat kedua Einstein, kali ini
meragukan penggunaan bom atom ditemukan belum dibukan dalam tumpukan
surat surat yang diterima Roosevelt di Warm Springs, Georgia.
Masyarakat ilmiah terpecah. Truman membentuk Badan Interim sendiri
yang terdiri dari para ahli tenaga ahli dan diketuai oleh menteri perang Hendry
Stimson dan dibantu oleh beberapa ilmuwan, termasuk Robert Openheimer,
Arthur H. Compton, E.O. Lawrence dan Enrico Fermi.Tuman kemudian menulis
bahwa anggota badan ini menyarankan supaya bom itu digunakan sesegera
mungkin. ”Mereka juga menyarankan,” lanjut Truman, supaya bom itu dijatuhkan
tanpa memberikan peringatan yang jelas sebelumnya dan diatas target yang
memperlihatkan sejelas-jelasnya kehebatan bom ini. Tetapi ”Leo Szilard, dengan
bantuan Einstein terus berkampanye menentang penggunaan bom itu dan
Truman, yang menuntut supaya dia tidak akan menyetujui penjatuhan bom atom
di atas kota-kota Jepang. Keberatan mereka tidak hanya berdasar kemanusiaan.
Para ilmuwan ini tidak hanya keberatan akan kehancuran dan kematian
mengenaskan akibat bom itu. Mereka menyadari umat manusia memasuki zaman
baru. Sekali bom atom itu digunakan sampai dimana batasnya.
Sekalipun Truman bertanggung jawab atas keputusan penjatuhan bom itu,
bisa dikatakan bahwa hakikatnyua keputusan itu bukan dia yang mengambil. Dia
dipaksa keadaan proyek bom atom itu telah memakan banyak biaya dan beberapa
tahun riset. Orang-orang yang membuat bom itu berfikiran bahwa sebenarnya
bom itu diabuat untuk digunakan.
Truman dan para penasehatnya memilih empat kota sebagai korban:
Hiroshima, Nagasaki, Kokura, dan Niigata.
Beberapa hari setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima, sebuah
pesawat B-29 lain dengan muatan bom atom kedua meninggalkan Pulau Tinian.
Pesawat ini diberi nama Bock’s Car dengan pilot Mayor Charles Sweeney, yang
ikut salah satu pesawat dalam misi ke Hiroshima. Dan pada tanggal 9 agustus
pukul sebelas lewat dua menit, bom itu meledak pada ketinggian 500 meter diatas
kota Nagasaki.
Para korban yang masih hidup di Nagasaki mendengar pengumuman dari
kaisar bahwa perang telah usai: ...”Musuh mulai menggunakan bom baru yang
sangat keji dan punya tenaga hancur yang tak terhingga...Kalau kita meneruskan
siap di Tinian dan sudah direncanakan akan dijatuhkan tanggal 13 dan 16 Agustus
dengan korban berikutnya Tokyo.
Sementara itu Nagai dan para teman-temannya dengan penuh semangat
merawat yang luka-luka di pusat pengungsian di gunung. Dan salah seorang
anggotanya datang dari kota membawa berita yang mematahkan hati itu.
Waktu mengisahkan bom atom, Nagai secara tak sadar menceritakan dirinya
sendiri. Sebuah kisah perubahan dan peralihan yang terlahir dari penderitaan yang
hebat. Dia telah kehilangan segalanya. Dia menyaksikan sendiri ribuan bangsanya
dirobek-robek dan dibunuh bom atom. Dia melihat sendiri kota Jepang hancur,
negerinya mendapat malu besar yang puncaknya terjadi diatas kapal Missouri
ketika secara resmi Jepang menyerah dan selanjutnya berada dibawah pemerintah
pendudukan Amerika Serikat.
Melalui segala bentuk penderitaan ini, lahirlah Nagai baru. Sebelumnya di
mengerahkan segalanya untuk merawat orang-orang yang sakit sebagai bagian
dari perang yang dilancarkan Jepang, tapi semua itu kini dilakukannya demi
kemanusiaan. Dia tetap mencintai negerinya namun usahanya sekarang ditujukan
ke arah pembangunan spiritual bangsa Jepang yang akan bertanggung jawab atas
perdamaian dunia. Hidupnya dilandaskan atas satu dorongan yaitu dorongan cinta.
Dari pusat pengungsian di gunung dia kemudian berpindah ke sebuah
pondok yang dibangun diatas puing reruntuhan rumahnya dulu. Pondok itu
diberinya nama Nyokodo, yang berarti ”Cintailah tetanggamu seperti dirimu
Dipondok itulah Nagai berdoa dan bermeditasi. Dan lewat penderitaan dan
meditasi, akhirnya dia menemukan jawaban yang dicarinya. Pesannya sederhana:
Cintailah tetanggamu seperti dirimu sendiri. Inilah jalan, satu-satunya jalan untuk
mencapai perdamaian dunia.
Nagai memang telah berubah. Sebelum tahun 1945 Nagai hanya menulis
karya-karya ilmiah yang sarat angka-angka statistik. Tapi sekarang ia menjadi
penulis, penyair, seniman dan humanis yang besar.
Inti dari teologi Nagai secara mendalam mengupas nilai-nilai dan arti
penderitaan. Bom atom telah menghancurkan beribu-ribu kehidupan manusia
yang tak berdosa tetepi tetap tidak mampu menghancurkan semangat Nagai
beserta teman-temannya. Bom atom itu justru telah menyadarkan mereka dan
membuat mereka menjadi pahlawan-pahlawan kemanusiaan. Dalam keadaan luka
parah, dan bisa dikatakan sekarat, mereka bekerja dengan ikhlas dan gembira.
Kegembiraan berdasarkan cinta yang murni dan kasih sayang pada sesama yang
terasa paradok.
Diakhir bukunya Nagai berseru kepada seluruh penduduk bumi:
”Hai lelaki dan wanita diseluruh dunia, janganlah berperang lagi! Dengan
bom atom seperti ini, perang berati bunuh diri bagi seluruh umat manusia. Dari
padang pasir bom atom ini, Nagasaki menentang seluruh dunia: Hentikan perang!
Marilah kita berbuat berdasarkan cinta, dan marilah bekerja sama. Penduduk
Nagasaki berlutut dan berdoa dihadapan Tuhan dan berdoa: Biarlah Nagasaki
BAB III
ANALISIS SEMGANGAT HIDUP DAN MOTIVASI TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL “LONCENG NAGASAKI” KARYA TAKASHI NAGAI
3.1. Semangat Hidup dan Kondisi Sosial Tokoh Utama
3.1.1. Semangat hidup tokoh utama
Cuplikan hal 89
Aku berusaha berfikir jernih. Tempat itu telah menjadi medan yang penuh
darah, mayat dan orang-orang yang luka. Pekerjaan sesungguhnya belum dimulai.
Kami harus tabah, tentu musuh akan menjatuhkan bom seperti ini lagi. Dalam
seminggu saja tentu mereka akan mendarat disini dan perang pun akan pecah. Tak
boleh bingung dan ragu karena kalau begitu kami tidak akan bisa bekerja. Kami
harus mencari beberapa anggota staf dan membuat rencana.
Cuplikan hal 90
Semua mata memandangku dan menunggu pendapatku. Profesor, perawat,
mahasiswa dari jurusan lain, dua-dua, atau tiga-tiga saling berpegangan tangan
dan berlumuran darah, lewat tergesa-gesa tanpa berkata sepatah pun. Bunyi api
makin mendekat, dan nyalanya mulai bisa kulihat dari jendela.
Kutatap wajah-wajah didepanku. Tak boleh panik.
Apa yang harus
kukerjakan sekarang?
Tapi kalau kami tenang-tenang
Jadi kami tidak bisa diam. Waktu pikiran itu terlintas dikepalaku, tiba-tiba aku
tertawa, ketawa gugup. Begitu tiba-tiba ketawaku itu sehingga semua yang hadir
juga ikut ketawa
“Coba lihat tampangmu!” kataku. Bagaimana kamu bisa perang dengan
tampang seperti itu? Ayo siap dan kita berkumpaul digerbang depan. Jangan lupa
makan siangmu. Tidak akan bisa perang dengan perut kosong”.
“Ayo!” kata mereka serempak dan menuju kamar masing-masing. Waktu aku lihat
mereka berlalu aku sadari semangat mereka sudah pulih seperti biasa lagi.
Cuplikan hal 91
Lapangan disekitar pintu gerbang itu penuh dengan manusia yang mati dan
luka-luka. Disamping itu orang yang luka-luka terus berdatangan dari pusat kota.
Sambil memegangi bagian tubuh mereka yang luka, mereka menayakan ruang
P3K dan klinik. Apakah yang harus kuperbuat?
Setiap kehidupan sama berharganya. Setiap orang yang datang menganggap
tubuh mereka berharga. Semua kuatir dengan luka masing-masing besar maupun
kecil. Mereka mau dirawat oleh dokter yang ahli. Begitulah gambaran keadaan
yang harus kuhadapi.
Dari beberapa cuplikan diatas, kita dapat melihat seorang Takashi Nagai
pendapatnya diperhitungkan dalam pengambilan setiap keputusan. Apalagi disaat Tapi dengan begitu besarnya jumlah orang yang luka-luka,
sedikitnya persediaan obat yang ada, api menggila, dan begitu sedikitnya tenaga,
aku tahu bahwa kalau tidak segera bertindak, maka akan banyak orang yang akan
mati terbakar.
genting waktu bom atom baru saja dijatuhkan di Nagasaki. Kebingungan yang
awalnya melanda Nagai akhirnya bisa ia netralisir dengan logika bahwa apapun
keadaanya, tidak boleh panik dan jika hanya diam saja tidak atau tidak melakukan
apa-apa, sama saja dengan bunuh diri. Logikanya mulai berjalan dan akhirnya
Nagai mengambil keputusan untuk mengumpulkan beberapa orang yang selamat,
membentuk sebuah tim, dan merencanakan sebuah aksi penyelamatan bagi korban
bom atom. Hubungan sosial yang bagus juga terlihat dalam cuplikan diatas,
bagaimana seorang Takashi Nagai memberikan motivasi dengan sedikit humor
dengan mempertanyakan tampang anggota timnya. Motivasi yang diberikan Nagai
mampu membuat semangat para anggota timnya kembali pulih walaupun
mendapat kejutan yang luar biasa dari bom atom yang baru saja dijatuhkan diatas
lagit Nagasaki. Akhirnya gabungan para perawat, mahasiswa, dan profesor itu pun
pergi untuk mempersiapkan diri mereka karena tugas sudah menanti didepan
mata.
Cuplikan hal 93, 94, 95, 97, 99
Aku berdiri berpangku tangan dengan perasaan tak terkatakan menyaksikan
semua kejadian itu. Belum pernah sebelumya aku merasa setakberdaya seperti
saat ini.
Aku menoleh ke sekelilingku. Dua orang mahasiswa tingkat tiga, Nagai dan
Tsutsumi, berdiri disampingku.
Ah apakah memang tidak ada jalan untuk membantu orang-orang yang
dikejar kematian ini?
“Dokter, anda seperti penjaga rumah suci!”
Beberapa mahasiswaku di bagian sinarX juga
Kalau mereka meninggalkan rumah sakit, pikirku kemanakah mereka akan
pergi dan siapakah yang akan menolong mereka? “Jangan panik!” teriakku tapi
tak seorangpun yang memperhatikan teriakanku.
Ah! Bukankah untuk keadan semacam ini sebenarnya semua ini telah kami
sediakan? Bukankah untuk keadaan seperti ini kami selama ini kami latihan
menggunkan tandu-tandu itu, dan memberikan kuliah serta ceramah mengenai
keadaan darurat? Kini kami betul-betul gagal total.
Sekalipun yang kulihat semuanya mematahkan semangat, aku tahu
disekelilingku berdiri para dokter, perawat, dan mahasiswa kira-kira 20 orang
semuanya yang siap bekerja sampai mereka tak mampu lagi bergerak.
Maeda-san, kepala perawat di bagian penyakit dalam tiba-tiba muncul dan
bertanya padaku; “Bagaimana Bapak Rektor?”
“Baik,” jawabku. “Profesor Fuse membawanya ke bukit dibelakang.”
Wajah suster itu pucat-pasi dan darah mengalir dari luka dekat alisnya. Tapi,
seperti tak peduli, dia lari menuju bukit. Kuperhatikan dia sampai hilang dari
pandangan mata.
Dari beberapa cuplikan diatas, tokoh utama sempat mengalami
kebingungan dengan situasi yang dihadapi. Banyaknya korban yang mati dan
luka-luka yang bergelimpangan dimana-mana, gerombolan orang yang minta
pengobatan yang terus berdatangan dari arah kota yang jumlahnya terus
bertambah, keadaan yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan Bagaimanakah seseorang segemuk itu bisa lari mendaki bukit
dengan selincah itu?