Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
O l e h :
ANDYRI HAKIM SIREGAR NIM : 0302000060 HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Abul Khair, SH, M. Hum) NIP. 131 842 854
Dosen Pembimbing IDosen Pembimbing II
(Prof. DR. Syariffuddin Kallo, SH. M.Hum) (M. Nuh, SH, M.Hum)
NIP. NIP.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
PENANGANAN DAN PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
O l e h :
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
mendurahkan nikmat dan karunia-Nya kepad penulis sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat teriring salam kita panjatkan kepad junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari jaman jahiliah kealam
reformasi ini, dam juga salam kepada keluarga, sahabat dan saudara seiman
seaqidah.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan
melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat
adalah :
“PENANGANAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
(STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46)”
Sebagai seorang hamba Allah, penulis sadar bahwa benar sripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, sebab lainnya adalah terbatasnya pengetahuan yang
penulis miliki, sedikitnya pengalaman dan literatur-literatur yang belum
menunjang judulyang penulis majukan dalam skripsi ini.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan
kritik yang konstruktif guna lebih terciptanya suasana untuk mendekati
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun yang tidak lansung
telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh
perkuliahan, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. DR. Syarifuddin Kallo, SH. M.Hum, selaku Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan
skripsi ini.
4. Bapak M. Nuh, SH. M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti
perkuliahan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Dalam menempuh perjalanan hidup yang penuh perjuangan, penulis ingin
mengaturkan terima kasih yang tak terhingga pada :
1. Kedua orang tua yang tercinta yang telah mencurahkan kasih sayang,
pengorbanan yang tak terhingga baik dimasa perkuliahan sampai selesai.
2. Saudara-saudaraku tercinta, seluruh keluarga besarku yang telah
memberikan segala perhatian dan dorongan semangat serta ketulusan kasih
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
3. Rekan – rekan seangkatan Stb’03 di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan. Teruslah berjuang dan berkarya, semoga
persahabatan kita akan tetap abadi.
Terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut
mendukung proses penyelesaian skipsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah kita berserah diri dan memohon
ampunan.
Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi yang membacanya.
Medan, September 2007
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
ABSTRAK
Salah satu semangat diundangnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya, dengan demikian dalam jangka panjang di harapakan tindak pidana korupsi dapat berkurang.
Dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK, Korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintahan maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan meperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, dan bagaimanakah penanganan dan penegakan huku terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana Korupsi di indonesia.
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris dengan melakukan pendekatan penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam upaya menganlisis data dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan penerapannya di dalam masyarakat.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... 3
ABSTRAK ... 6
DAFTAR ISI ... 7
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
D. Keaslian Penulisan... 5
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
F. Metode Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 13
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 13
B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 23
C. Peraturan-Peraturan Yang Terkait Dengan Pemberantasan Korupsi... 38
D. Jenis – jenis Delik Tindak Pidana Korupsi Menurut UU Korupsi... 42
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
A. Pengertian Pencucian Uang ... 44
B. Lahirnya International Legal Regime dalam upaya Pemberantasan Pencucian Uangdi Dunia ... 49
C. Pengaruh International Legal Regime Anti Money Loundering Terhadap Indonesia ... 55
D. Asas-Asas Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana PencucianUang (UU No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004) ... 58
E. Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 61
BAB IV PENANGANAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA STUDI KASUS L/C FIKTIF BNI 46 ... 67
A. Kasus L/C FIKTIF BNI 46 ... 67
B. Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46 ... 89
C. Hambatan-Hambatan Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104
A. Kesimpulan ... 104
B. Saran ... 105
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan
mengakibatkan makin mandunianya perdagangan barang dan jasa arus finansial
yang mengikutinya. Kamujuan tersebut tidak selamanya memberikan dampak
yang positif bagi suatu negara, karena terkadang justru sarana yang subur, bagi
perkembangan kejahatan, khusunya kejahatan kerah putih (white collar crime).
Kejahatan kerah putih sudah berkembang pada taraf transnational yang
tidak lagi mengenal batas-batas teritorial negara. Bentuk kejahatannya pun
semakin canggih dan terorganisir secara rapih, sehingga sulit untuk dideteksi.
Pelaku kejahatan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui
berbagai cara, salah satunya dengan melakukan pencucian uang (money
laundering). Dengan cara ini mereka mencoba untuk mencuci sesuatu yang
didapat secara illegal menjadi suatu bentuk yang telihat legal. Dengan pencucian
ini, pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal usul yang sebenarnya dana atau
uang hasil kejahatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan ini pula para pelaku
kejahatan dapat menikmati hasil kejahatan secara bebas seolah-olah tampak
sebagai hasil dari suatu kegiatan yang legal.
Paling tidak ada tiga motovasi mengapa pelaku kejahatan melakukan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
pelaku akan berhadapan dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak
hukum, dan kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita.
”The motivation for all of this activity arises from a situation where a person attempts to spend illegally-acquired money without first hiding its origin. When this accurs, one of there possibilite is likely tp result: (1) the individual may be held liable for taxes on the fund and/or for non-payment of taxes; (2) the money may be linked to the crime, making the owner a target for persecution; (3) the money may be subject to forfeiture if the government find that’s it was illegally acquired”.1
Indonesia termasuk “surga” bagi para pelaku kejahatan sebagai tempat
untuk mencuci hasil kejahatan, bahkan menurut Harry Azhar Azis, Direktur
Institute for Transformation Studies memperkirakan banyaknya uang yang dicuci
di Indonesia mencapai jumlah Rp. 50 triliun.
Untuk memberantas praktek pencucian uang, maka pada tahun 2002
Indonesia telah menkriminalisasi pencucian uang, yaitu dengan diundangkannya.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah dirubah dengan
Undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2
1
Emily G Lawrence, Let Seller Beware : Money Laundering, Merchants and 18 USC , 1956, 1957, vol. 37, Colledge 1, Rev. (1992), hal. 841.
2
Harry Azhar Azis, Uang haram Rp. 50 Trilliun beredar di Indonesia, Republika (27 Januari 2001).
Uang hasil kejahatan yang dicuci tersebut biasanya berasal dari kejahatan
kerah putih (Hhitte collar crime). Di Indonesia uang hasil kejahatan tersebut
terutama di peroleh dari tindak pidana korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa
core crime yang dominan dalam tindak pidana pencucian uang adalah tindak
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam
suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan
suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum
dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan
penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonimian serta penataan ruang
wilayah.
Di Indonesia korupsi dikenal dengan istillah KKN singkatan dari korupsi,
kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di
setiap aparat negara dari tingkat yang paing rendah hingga tingkatan yang paling
tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai “Penggunaan fasilitas
publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum”.3
Sedangkan pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia
masih menjadi negara terkorup di dunia.
Berdasarkan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia
adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun
2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002
bersama dengan Kenya.
4
Transparansi International
menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia
dalam hasil surveinya.5
3
Hamilton-Hart, Natasha. Anti Corruption Startegies in Indonesia. (Jakarta : Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (1), 2001), hal. 65 – 82.
4
Kompas, 19 Maret, 2005, http://www.kompas.com/
5
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
Salah satu semangat diundangkannya Undang – undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk mempersulit para
koruptor untuk menyembunyikan uang hasil Kejahatannya, dengan demikian
dalam jangka panjang diharapkan tindak pidana korupsi dapat berkurang.
Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian
terhadap penanganan dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dari
hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimanakah modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk
menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia?
3. Bagaimanakah penanganan dam penegakan hukum terhadap tindak pidana
pencucian uang dari hasil tindak pidana dari hasil korupsi di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini
adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk menjelaskan modus pencucian uang yang dapat dilakukan untuk
menyembunyikan uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisa penanganan dan penegakan hukum
terhadap tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
1. Segi teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran
dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan
Hukum Pidana khususnya mengenai pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
b. Hasil penelitian ini diharpakan memberikan sumbangan informasi kepada
pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah –kaidah hukum di
abad ini.
c. Penelitian ini diharapkan dapar meberikan sumbangan pemikiran kepada
pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut
sebagai upaya mengantisipasi terjadinya tindak pidana pencucian uang
dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Segi Praktis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan kepada apartur negara
dan pihak-pihak lainnya dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian
uang dari hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian baik di kepustakaan maupun
di lapangan, perihal Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Pencucian Uang Dari hasil tindak Pidana korupsi di Indonesia
(Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46) ini memang sudah ada yang meneliti
atau membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
yang berbeda. Oleh karena itu maka dapat dianggap. Oleh karena itumaka
dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.
E. Tinjauan Kepustakaan
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun
oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintas
batas wilayan negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa
tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, perbankan,
perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, terorisme, penggelapan, penipuan
dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya.
Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana
tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para
pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh
aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut.
Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta
kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan
(financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).
Dengan demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak
dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan inilah yang
dikenal dengan pencucian uang (money laundering).6
Sutan Remy Sjahdeni mengartikan pencucian uang sebagai:
6
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
Kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usulnya dari pihak yang berwenang agar tidak dilakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila akhirnya uang tersebut dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka uang itu telah berubah menjadi uang sah.7
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa
hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga tenaga kerja,
penyelundupan imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di
bidang pasar modal, tindak pidana di bidang asuransi. Tindak pidana narkotika, Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat
mempergunakan uang hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan
dari suatu hasil yang sah. Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh
berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia, karena pada koruptor dapat
dengan mudahnya memasukkan uang hasil tindak pidana korupsi yang
dilakukanya kedalam sistem keuangan dan kemudian mempergunakannya
kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah.
Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun
1990 mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi
negara-negara untuk mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan
melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation
tersebut, pada tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
7
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan,
terorisme, pencurian, Penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,
Prostitusi, tindak pidana dibidang perpajakan, tindak pidana dibidang kehutanan,
tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kelautan, atau
tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Dari rumusan pasa l2 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2003 tersebut
maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari
tindak pidana pencucian uang.
Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka indonesia melakukan
kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-undang No.31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi.
Meskipun demikian tindak pidana korupsi tetap terjadi, Undang-undang
no. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 25 tahun 2003
tentang tindak pidana pencucian uang diharapkan dapat membatasi ruang gerak
para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.
Guna tidak menimbulkan kerancuan dalam memahami penelitian ini, maka
penulis memberikan batasan terhadap istilah yang di pergunakan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut :
1. WPJ Pompe mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.8
Mengenai sifat melawan hukum, M. Sudrajat Bassar, membagi sifat melawan
hukum menjadi 2, yaitu :
8
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
a. Sifat melawan hukum materil merupakan sifat melawan hukum yang luas, yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar pada umumnya)
b. Sifat melawan hukum formal merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru merupakan unsur daripada tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana.9
Sedangkan Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 10
2. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.11
3. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
untuk dipergunakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa.12
Subekti menyatakan bahwa pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat
9
Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, makalah dalam majalah hukum Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 254 Januari 2007,
hal. 24.
10
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hal. 54.
11
Indonesia, Undang Republik Indonesia tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 25 Tahun 2003,
LN, No. 108 Tahun 2003, Pasal 1 butir 2.
12
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
persengketaan.13 Sedangkan Martiman Projokawidjojo mengemukakan,
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran
atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut.14
4. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik
yang berwujud maupun yang tak berwujud.15
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptip analitis yang
menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat
ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana
penerapannya dalamm praktik di Indonesia.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu
kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari:
13
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), hal. 7.
14
Sasangka Hari, dan Rasita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Kelima 2001), hal. II.
15
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun
peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer.
3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.
4. Analisa Data
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis normatif kualitatif. Dengan demikan akan merupakan analisis data
tanpa mempergunakan rumus dan data matematis.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian tindak pidana
korupsi, kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di
Indonesia, peraturan-peraturan yang terkait dengan pemberantasan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
Bab III Modus Pencucian Uang Yang Dapat Dilakukan Untuk
Menyembunyikan Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang unsur-unsur pokok
pencucian uang, lahirnya International Legal Regime dalam upaya
pemberantasan pencucian uang di dunia, pengaruh International Legal
Regime Anti Money Laundering terhadap Indonesia, asas-asas dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
No. 15 Tahun 2001 Jo UU No. 23 Tahun 2004), modus pencucian uang
yang dapat dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil tindak pidana
korupsi.
Bab IV Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian
Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Studi Kasus
L/C Fiktif BNI 46
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kasus L/C Fiktif BNI
46 (posisi kasus dan analisa kasus), penanganan dan penegakan hukum
tindak pidana pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi di
Indonesia studi kasus L/C fiktif BNI 46, hambatan-hambatan
penanganan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari
pembahasan-pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam
skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi berarti perbuatan
yang buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang suap dan sebagainya.16
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang
berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruptio itu berasal dari kata
asal corrumpere yang berarti merusak.17 Dari bahasa latin ini kemudian turun ke
banyakbahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur
Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa
Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah.18
Di Indonesia istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun
kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer
No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsiderans
peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran
16
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), cet. VII, hal. 524.
17
Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983).
18
Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan
korupsi perlu segera menetapkan sesuatu tata cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya ...19
Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur:
pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian Negara. Kedua,
perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh
keuntungan tertentu.20
(… suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/ pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi).
Menurut Edelherz, dalam bukunya The Investigation of White Collar
Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies disebutkan sebagai berikut:
“White collar crime: … an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain money or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.”
21
1. Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publi (public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang penjabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan Menurut Philip (1997) sebagaimana dikutip Munawar Fuad Noeh ada tiga
pengertian luas yang sering dipakai dalam berbagai pembahasan tentang korupsi,
yaitu:
19
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 115. Lihat juga Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 33.
20
Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 33-35.
21
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya, seperti keluarga, karib kerabat, dan teman. Pengertian itu, seperti terlihat, juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
2. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seseorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberi imbalan (apakah uang atau yang lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
3. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.22
Lebih lanjut Munawar Fuad Noeh menyimpulkan bahwa sedikitnya
terdapat tujuh macam korupsi, yaitu:
1. Pertama, korupsi transaksional, yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak. Keduanya sama-sama mendapat keuntungan dan karenanya sama-sama mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.
2. Kedua, korupsi yang bersifat memeras, yaitu apabila pihak pertama harus melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan usaha dari pihak kedua itu.
3. Ketiga, korupsi yang bersifat ontogenik, yaitu hanya melibatkan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang anggota parlemen mendukung golnya sebuah rancangan undang-undang, semata karena undang-undang tersebut akan membawa keuntungan baginya.
4. Keempat, korupsi defensive, yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk membela dirinya.
5. Kelima, korupsi yang berarti investasi. Misalnya memberikan pelayanan barang atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nantinya mendapat ’uang terima kasih’ atas pelayanan yang baik itu.
6. Keenam, korupsi yang bersifat nepotisme. Yaitu penunjukan ’orang-orang saya’ untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa ’keluarga’ sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.
7. Ketujuh, korupsi supportif, yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan uang, jasa atau pemberian apapun. Misalnya, membiarkan
22
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
berjalannya sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan situasi yang korup.23
Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua
menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang
mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi membagi ke dalam tujuh
macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif,
otogenik dan dukungan.24
Dari bunyi pasal yang demikian, jelas Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun
2001, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi
adalah ”setiap orang”. Istilah ”setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus
dipahami sebagai orang perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum
(Rechtspersoon) untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa
juga korporasi (lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan Dalam kajian ilmu pengetahuan, korupsi merupakan objek hukum yang
pada konteks di Indonesia dikategoriukan sebagai salah satu delik kasus di luar
KUHP dan pada saat ini telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang
Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK).
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, disebutkan bahwa:
Setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memeperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah).
23
Ibid., hal. 5.
24
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat,
pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam
pasal ini.
Sedangkan bagi siapa saja terbukti melakukan tindak pidanan korupsi,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPK, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penangggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat dipidana mati.
Menurut Darwin Prinst (2002 : 23), keseluruhan sanksi yang terdapat dalam UU PTPK dan khususnya yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana, yakni: pertama, kata ”dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif. Kedua, kata ”dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata ”atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat alternatif.25
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, juga menghendaki agar istilah korupsi
diartikan sebagai setiap orang baik penjabat pemerintah maupun swasta yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
25
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu
berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini dan harus dibuktikan
berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah pertama, adanya perbuatan
yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara melawan hukum. Kedua,
tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk memperkaya diri sendiri, orang lain
atau korporasi. Ketiga, akibat perbuatan tersebut adalah dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
1. Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, seharusnya
dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berarti perbuatan
yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang
melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidanda korupsi adalah
yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.
Pengertian melawan hukum secara materi (Materiele Wederrechttelijkeheid)
dalam Hukum Pidana diartikan sama dengan pengertian ”melawan hukum
(Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat
bertentangan dengan asas legalitas yang bahasa latin, disebut: ”Nullum
Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana
Indonesia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang berbunyi: ”suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana,
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
Di dalam Yuresprudensi yang sudah ada, dalam teori hukum juga diakui
bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu
tidak saja bertentangan dengan hukum yang dalam bentuk undang-undang,
tetapi bisa juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang ditaati
oleh masyarakat.26
1) Pertama, korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efifisiensi tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).
Dalam kaitannya dengan perluasan unsur melawan hukum ini, berpendapat
bahwa mengikat kharateristik tindak pidana korupsi yang muncul akhir-akhir
ini, idealnya unsur perbuatan melawan hukum harus dipahami baik secara
formil maupun materil karena:
2) Kedua, dalam merespon perkembangannya kebutuhan hukum dalam
masyarakat , agar dapat lebih memudahkan di dalam pembuktian sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.27
2. Memperkaya Diri Sendiri, Oran Lain Atau Korporasi
Ada 3 point yang harus dikaji dalam unsur/elemen ini berkaitan dengan suatu
tindak pidana korupsi, yaitu:
1) Pertama, memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta miliknya sendiri.
2) Kedua, memperkaya orang lain, maksudnya adalah akibat dari perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya harta benda. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
26
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Penerbit Politea Bogor, 2000), hal. 294.
27
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
3) Ketika, memperkaya korporasi yakni akbat dari perbuatan mekawan Hukum dari pelaku, suatu korporasi, yaitu kumpulan orang-atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum Maupun bukan badan hukum. (Pasal 1 ayat (1) UU PTPK) yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta benda. 28
Unsur/elemen ini pada dasarnya merupakan unsur/elemen yang sifatnya
alternatif. Artinya jika salah suatu point diantara ketiga point ini terbukti,
maka unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi” ini dianggap
telah terpenuhi. Pembuktian unsur/elemen ini sanagt tergantung pada
bagaimana cara orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi
memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau memperkaya korporasi,
yang hendaknya dikaitkan dengan unsur/ elemen ”menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan ”yang tercantum dalam Pasal 3 UU PTPK.
Pasal 3 UU PTPK, disebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).
Dari bunyi Pasal 3 UU PTPK yang seperti ini, maka perlu dipahami bahwa
yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsinya adalah korporasi dan
orang-perorangan (Persoonlijkheid). Namun jika dipahami secara teliti, maka
kalimat ”setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan...”,
28
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 UU PTPK
haruslah orang-perorangan (Persoonlijkheid) dalam hal ini seorang
pejabat/pegawai negeri.
Menurut Pasal 1 ayat (2) UU PTPK, yang dimaksud dengan pegawai negeri
meliputi :
1) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang
kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974).
2) Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 92 KUHP 3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara
4) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
5) Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.29
Unsur/elemen menyalahgunakan wewenang, kesempata atau sarana yang ada
pada seseorang karena jabatan atau kedudukan dari Pasal 3 UU PPTK ini pada
dasarnya merupai unsur/elemen dalam Pasal 52 KUHP. Namun, rumusan
yang menggunakan istilah umum ”menyalahgunakan” ini lebih luas jika
dibandingkan dengan Pasal 52 KUHP yang merincinya dengan kata, ” ... oleh
karena melakukan tindakan pidana, atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari
jabatannya ... ”
Untuk membuktikan suatu tindak pidana korupsi berkaitan dengan
unsur/elemen yang bersifat alternatif ini, maka ada 3 point yang harus dikaji,
yakni :
1) Menyalahgunakan kewenangan, berarti menyalahgunakan kekuasaan/hak yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan .
2) Menyalahgunakan kesempatan, berarti menyalahgunakan waktu/moment yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
3) Menyalahgunakan sarana artinya menyalahgunakan alat-alat atau
perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.30
3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Point yang harus dibuktikan dalam unsur/elemen ” dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” berkaitan dengan suatu tindak pidana
korupsi adalah :
1) Merugikan Keuangan Negara
Menurut Penjelasan Umum UU PTPK, yang dimaksud dengan keuangan
negara adalah
Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena :
a) berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah
b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berbasarkan perjanjian dengan negara
2) Perekonomian Negara
Menurut Penjelasan Umum UU PPTK, perekonomian negara adalah :
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakn pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberi mamfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Kedua point dalam unsur/elemen ”dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” ini adalah bersifat alternatif. Jadi untuk
membuktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak,
berkaitan dengan unsur/elemen ini, maka cukup hanya dibuktikan salah
satu point saja. Namun, yang harus dingat dan diperhatikan dalam
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
pembuktian dan dpoerhatikan dalam pembuktian unsur ini ialah kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” menujukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
mengamanatkan agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai
delik Formil dan bukannya delik materil.
Dari pemahaman seperti ini, maka harus disimpulkan bahwa adanya tindak
pidana korupsi atau untuk membuktikan seseorang bersalah atau
koorporasi dapa disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, otomatis
cukup hanya dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur pembuatan
melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
B. Kronologis Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia
Secara kronologis perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di
Indonesia di bagi dalam 8 (delapan) fase31
1. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana (ambtsdelicten) dalam KUHP
untuk Menanggulangi Korupsi
, yaitu :
Dalam KUHP teradapat beberapa ketentuan perbuatan oleh pejabat dalam
menjalankan jabatannya, seperti : Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terdapat
perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu
atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418,
31
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum (Pasal 423, 425, dan 435 KUHP).
Pada hakekatnya, ketentuan-ketentuan tundak pidana korupsi ini ternyata
kurang efektif dalam menanggulangi korupsi seperti diintrodusir Sudjono
Dirdjosisworo sebagai berikut :
”Tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala korupsi saat itu. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya.”32
2. Fase Kepres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en
van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan darurat
Perang
Dengan tolak ukur referensi ilmu Hukum, perkembangan fase kedua ini
dikenal munculnya peraturan-peraturan mengenai korupsi, yaitu :
a. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi b. Prt/PM-08/1957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta
Benda
c. Prt/PM-011/1957 tanggal 01 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-barang.33
Konsideran dari Prt/PM-06/1957 mengatakan sebagai berikut :
”Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi ... dan seterusnya.”34
32
Soedjono Dirdjosisworo, Masalah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, (Jakarta: Penerbit Mahkmah Agung RI, 1995), hal. 172.
33
Lilik Muliyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 6. 34
Jur Andi Hamzah, Op. Cit.,hal. 41.
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara;
b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kekuasaan yang diberikan padanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan materiel baginya.35
Dalam perkembangan selanjutnya, karena melihat fakta-fakta sendiri (ipso
facto) dan menurut dan menurut hukum (ipso jure) terdapat kekurangefektifan
peraturan tersebut, kemudian lahirnya Prt/PM-08/1957. Pada peraturan ini
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf a Penguasa Militer mempunyai kewenangan
mengadakan penilikan harta benda terhadap setiap orang atau badan didaerahnya
yang kekayaannya diperoleh dengan mendadak atau mencurigakan. Kemudian
berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf b, pengertian harta benda disini adalah sama
dengan harta benda yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Prt/PM-06/1957, yaitu
”segala penghasilan baik tetal maupun yang tidak tetap, segala yang simpanan dimanapun juga, surat-surat berharga, mata uang, barang-barang yang berupa tanah, sawah, perkebunan, perusahaan, rumah, bungalow atau bangunan lain, kendaraan bermotor, perabot rumah tangga yang mahal, mas, intan, barang-barang perhiasan dan lain sebagainya yang berlimpah-limpah, semua itu baik yang atas nama diri sendiri, suami atau istri, anaknya, orang lain maupun atas nama suatu badan yang diurusnya.”36
Akan tetapi, peraturan Prt/PM-08/1957 tidak lama, kemudian diganti
dengan Prt-PM-011/1957, dalam konsiderans butir a ditentukan perlunya
diadakan aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita danmerampas
harta benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum
Dalam ketentuan Pasal 1 Prt/PM-011/1957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksud dengan perbutan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang: a.mengganggu hak
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan merampas
barang –barang yang tidak sengaja atau karena kelalaian tidak ditearangkan oleh
pemiliknya/pengurusnya, harta benda yang terang siapa pemilik atau pemilik
pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.
Dari ketiga peraturan Penguasa Militer ini, secara eksplisit Soedjono
Dirdjosisworo menyimpulkan :
“Di samping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan darurat sebagaimana telah diuraikan dimuka, maka pada ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu menetapkan kehendak politik (polotical will) dengan tekad yang sungguh-sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendak politik yang dituangkan dengan peraturan-peraturan Penguasa Militer tersebut merupakan ”modal” berharga untuk dikembangkan dan disempirnakan dalam rangka membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.”38
3. Fase Keppres No. 225 Tahun 1957 jo UU No.74 Tahun 1957 jo. UU No. 79
Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya
Latar belakang dikeluarkannya peraturan ini disebabkan begitu
merajalela perbuatan-perbuatan korupsi pada saat tersebut sehingga
diharapkan dalan waktu sesingkat mungkin perbuatan korupsi dapat diberantas.
Akan tetapi, walau harapan itu jauh dari kenyataan, sejarah mencatat bahwa
peraturean Penguasa Perang ini memperkenalkan dan mengklasifikasikan batasan
perbuatan korupsi lainnya sebagaimana disebutkan pada bagian I Pasal 1 yang
dijabarkan oleh Pasal 2 dan Pasal 3 dengan perumusan sebagai berikut :
a. Perbuatan korupsi pidana
Yang disebut sebagai perbuatan korupsi adalah :
orang lain, b) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, c) bertentangan dengan kesusilaan, d) bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat terhadap tubuh atau harta benda orang lain.
38
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
1) Perbuatan seseoranag yang dengan sengaja atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelongaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatau kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain aau suatu badan , serta dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan . 3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 418, 419,
dan 420 KUHP. b. Perbuatan korupsi lainnya
Yang disebut sebagai perbuatan korupsi lainnya :
1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempegunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.39
Kemudian bedasarkan peraturan ini, ditiap-tiap wilayah Pengadilan
Tinggi diadakan suatu Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang selanjutnya
disebut Badan Koordinasi yang dipimpin oleh Pengawas Kepala kejaksaan
Pengadilan Negeri Propinsi setempat dan yang mempunyai hak mengadakan
penilikan harta benda setiap orang dan setiap badan, jika ada petunjuk kuat untuk
itu. Harta benda yang dapat dirampas atau disita oleh Badan Koordinasi dapat
berupa :
a. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya;
b. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya;
39
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
c. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki tidak seimbang denga penghasilan mata pencahariannya;
d. Harta benda yang asal usulnya melawan hukum;
e. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya ternyata tidak benar;
f. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata, bahwa pemindahan nama dilakukan untuk menghindari beban, berhubung dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tida dapat membuktikan, bahwa ia memperoleh barang itu dengan itikad tida baik.40
Dalam Pasal 13 ditentukan tentang penyitaan dilakukan dengan cara :
a. Mengenai barang tidak tetap dengan mengambil barang itu dan
menyampaikan berita acara tertulis tentang penyitaan itu kepada orang lain yang bersangkutan ;
b. Mengenai harta yang seperti dimaksud dalam Pasal 511 KUHPerdata dengan pemberitahuan kepada orang yang bersangkutan dengan surat tercatat tentang penyitaan itu dan kemudian, sekedar merupakan barang yang berwujud, dengan diambilnya, atau jika harta terdaftar, dengan dicatatnya pemberitahuan tersebut dalam daftar harta harga itu;
c. Mengenai piutang yang tidak disebut dalam pasal 511 KUHPerdata dengan memberitahukan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kemudian dicatatkannya pemberitahukan tersebut dalam daftar menurut overscgrijvings-ordonantie (Stb. 1831 No.27)
d. Mengenai barang tetap yang dikuasai oleh hukum adat, dengan
pemberitahuan dengan surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kepada Kepala Desa yang bersangkutan atau yang sejenis dengan itu.41
Pada dasarnya, berdasarkan ketentuan Pasal 19, 26, 27, 35, 38, dan 55
Peraturan di atas, dikenal adanya pemeriksaan harta benda oleh Pengadilan Tinggi
yang dalam pemeriksaan harta benda ini, terhadap Pengadilan Tinggi tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi. Kemudian pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan perbuatan korupsi pidana diperiksa dan diadili oleh
Pengadilan-Pengadilan di daerah masing-masing menurut undang-undang dan hukum acara
pidana yang berlaku sekedar dalam Peraturan Perang Pusat ini tidak ditentukan
lain. Berikutnya, terhadap cara mengadili anggota angkaan perang yang
40
Ibid., hal. 11-12.
41
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
melakukan perbuatan korupsi pidana harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan ketentaraan (sekarang Pengadilan Militer ) dan Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini disebut sebagai ”Peraturan Pemberantasan Korupsi”.
4. Fase Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Dalam konsiderans huruf a sampai dengan d Perpu No. 24 Tahun 1960.
Ditegaskan sebagai berikut :
a. Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang meyangkut keuangan Negara atau Daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan seperti tindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan itu yang disebut tindak pidana korupsi.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut sub a telah diadakan peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958, No. Prt/Peperpu/013/1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaanya peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 Tanggal 17 April 1958;
c. Bahwa peraturan-peraturan Peperpu tersebut perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan;
d. Bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang. 42
Kemudian, berdasarkan Bab I tentang Pengertian Tindak Pidana Korupsi
pada pasal 1 diberikan batasan yang disebut Tindak Pidana Korupsi , adalah :
a. tindakan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara lansung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugiakan merugikan keuangan suau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;
b. perbuatan seseorang yang dengan atau melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
42
Andyri Hakim Siregar : Penanganan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang Dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46), 2007.
USU Repository © 2009
c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. 43
Dalam ketentua UU No.24 Prp 1960, adanya kekuatan bahwa dalam
jangka 3 (tiga ) bulan setelah orang ditahan sementara perkaranya harus diajukan
di muka hakim, kemudian jaksa hanya diperbolehkan mengenyampingkan perkara
korupsi diadili oleh Pengadilan Negeri dan khusus terhadap pengusutan, penuntut
dan pemeriksaan di muka pengadilan dari anggota angkatan perang atau oleh
orang-orang yang ada di bawah kekuasaan Pengadilan ketentaraan dilakukan oleh
petugas petugas menurut atauran yang ditentukan dalam aturan acara pidana
ketentaraan da dikenal pula adanya peradilan terpisah.
5. Fase UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi
Kalau dijabarkan kalau terinci, detail dan intens, UU No. 3 Tahun 1971
tediri dari 7 bab dan 37 Pasal disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Maret
1971. Adapun dasar pertimbangan/konsiderans huruf a dan b UU No. 3 Tahun
1971 mengenai dicabutnya UU No. 24 Prp 1960 adalah bahwa perbuatan korupsi
sangat merugikan keuangan /perekonomian negara dan menghambat
Pembangunan Nasional serta berhubung dengan perkembangan masyarakat
kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan sehingga
undang-undang tersebut perlu diganti.
Apabila diperhatikan dengan seksama pada ketentuan UU No. 3 tahun
1971 ada beberapa aspek khusus dalam pengaturan Tindak Pidana Korupsi Jikalau
dibandingkan dengan UU No. 24 Prp 1960, yaitu pada dimensi-dimensi :
a. Bahwa dalam ketentuan UU No.3 Tahun 1971 tidak diisyaratkan dalam tindak pidana korupsi adanya anasir kejahatan atau pelanggaran
43