A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat di elakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia.
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.15
Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus, di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.
15
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan diundangkan dalam staatbland 1915 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.16
Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 keberadaan tindak pidan korupsi juga diatur dalam hukum positif Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan Undang Nomor 74 Tahun 1957 jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan perang sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor 225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu peraturan penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.
Dalam keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tentang tindak pidana korupsi, dengan berdasarkan pada pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar sementara 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk pemerintah pengganti undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya berdasarkan undang-undang
16
Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang pengusutan penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas) tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, dengan menetapkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidan korupsi yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang Tindak Pidana Korupsi.17
Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut, telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinyatakan telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001.
17
Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250).18
Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.
Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling bnyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat di jatuhkan”.
- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 3 yang berbunyi, “ setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,
18
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
- Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
- Percobaan pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001).
- Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional
Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat
(1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
- Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat
(1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi
nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun
- Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia,
atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20
tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan
huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20
tahun 2001)
- Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang
diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).19
19http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/korupsi-dan-jenis-jenis-korupsi.html diakses tanggal 12
B. Rumusan Delik Dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Dalam
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001
a. Rumusan Delik
1. Memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum
Perumusan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi)
yang memenuhi unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan demikian, pelaku
tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “setiap orang”, tidak ada
keharusan pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak
berstatus sebagai pegawai negeri attau korporasi, yang dapat berbentuk badan
hukum atau perkumpulan.20
2. Delik pasal 3 ( penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atauu sarana).
Bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang-perorangan dan korporasi
yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak
pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat atau pegawai
negeri.21
3. Menyuap pegawai Negeri atau penyelenggara Negara.
Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyangkut
suap aktif, yang menghukum setiap orang ( perseorangan dan korporasi) yang
mamberikan atau menjadikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada
20
Darmawan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 29
21
pegawai Negeri atau penyelenggara Negara. Jadi, pelaku dari tindak pidana
korupsi menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ini
adalah setiap orang, yakni orang perseorangan dan korporasi.22
4. Menyuap Hakim dan Advokat
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang
suap pasif. Maksudnya ketentuan tersebut melrang Hakim atau Advokat yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Hukumannya adalah sama dengan pelaku suap aktifnya, yakni yang
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim atau Advokat.23
5. Perbuatan curang.
Adapun perbuatan yang dilarang oleh pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 ini adalah Perbuatan Curang. Yaitu, tipu daya, memakai nama
palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.24
6. Penggelapan Dalam Jabatan.
Perbuatan yang dilarang disini adalah dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, bahwa
perbuatan itu menjadi niat dari pelaku. Ini diatur dalam pasal 56 KUHP.25
7. Memalsu Buku atau Daftar Khusus Pemeriksaan Administrasi.
Menurut pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan yang
dilarang oleh pasal ini adalah dengan sengaja memalsu buku-buku atau
8. Menggelapkan, Menghancurkan, Merusakkan Barang.
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 pasal 10 mengatakan “ dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Dan paling banyak Rp 350.000.000,00 ( tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selai pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja:
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakini
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai
karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut;
atau
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut.27
9. Menerima Hadiah atau Janji
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengatakan “ Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.28
27
Ibid, hal 46 28
10. Gratifikasi.
Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 tahun2001 mengatakan sebagai
berikut;
a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara begara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tgasnya dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi:
2) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan
oleh Penuntut Umum.
b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).29
11. Tindak Pidana Korupsi (TPK) pasal 13.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini tidak mengkualifikasikan
sebagai pelaku pejabat atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji
itu. Akan tetapi, sebaliknya hanya menghukum orang yang menyuap atau
menyogok pejabat atau pegawai negeri itu.30
29
Ibid,hal 56 30
Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya
jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik
tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.31
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa
bentuk yaitu:
1. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, pengaturannya diatur dalam
pasal 7 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemborongan berbuat curang.
2. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, ada
diatur dalam pasal 12 huruf 1 undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri turut serta dalam
pengadaan yang diurusnya.
3. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan Negara.
a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan
Negara, diatur dalam pasal 2 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat
merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 3 undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.32
4. Korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap
a. Menyuap pegawai negeri, diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 tahun 2001, dimana
dalam pasal ini dijelaskan bahwa, seseorang menjanjikan sesuatu kepada
31
Evi Hartanti, Op.cit, hal 21 32
orang lain, dimana apa yang di janjikan tersebut akan diberikan apabila orang
lain tersebut (pegawai negeri) telah berbuat atau tidak berbuat dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, diatur
dalam pasal 11 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
c. Hakim dan advokat menerima suap, diatur dalam pasal 6 ayat 2
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang-undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
5. Member hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, diatur dalam pasal 13
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun
2001.33
b. Pertanggungjawaban tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana
korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
33
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.34
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi.
1. Pidana Penjara
Merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara
paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi
dalam kehidupan social sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya
dipergunakan demi kepentingan reclassering(permasyarakatan atau pembinaan).
Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagian berikut:
a. Seumar hidup (tanpa minimal atau maksimal)
b. Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun
sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksium
umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 Tahun dalam hal :
c. Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau penjara sementara 20 tahun.
34http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia diakses
d. Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara 20 tahun.
e. Ada pemberantasan umum yaitu, concursus/ pembarengan yang diatur dalam
pasal 65 hingga pasal 70, reseidve/ pengulangan yang diatur dalam pasal 486
hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan pasal 52a tentang menyalgunakan bendera.
f. Ada pemberantan khusus, seperti pasal 355 ja pasal 356 mengenai penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.35
2. Pidana Mati
Berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena
pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak serta merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepala pelanggar pasal yang diancam pidana mati.36. di dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati disini diancam apabila tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 undang-udang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
35
Evi hartanti, Op.Cit, hal 12-14
36
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara
dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.37
3. Pidana Tambahan
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan memiliki terpidana di mana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
Tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintahan kepada terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap,
maka harta bendanya dapat disita olek jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut.
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang penggantimaka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.38
37
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Fokus Media, Bandung 2008, hal 87 dan 109
38
4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya
Dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan
disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, maka
penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.39
5. Terhadap tindak pidana yang berlaku oleh atas nama suatu korporasi, di mana
pidana pokok yang dapat dijatuhkankan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimum ditambah 1/3.
Berdasarkan kententuan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidan korupsi,.40
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 (disingkat
KAK 2003) ada 4 macam bentuk tindak pidana korupsi sebagai berikut :
1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of
National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam
ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization
and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur
mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public
Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau
memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung
39
Ibid, hal 15
40
suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau orang
lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau menahan
diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.
Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat
dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and
officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16
dan pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh
seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003.
2. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private
Sector). Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Ketentuan
tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan
kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
ekonomi, keuangan dan perdagangan menjanjikan, menawarkan atau
memberikan, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak
semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau berkerja pada suatu badan
disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain melanggar tugasnya atau secara
melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada korelasi erat antara tipe tindak
pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun swasta.41
3. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah
(Ilicit Enrichment). Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya
secara tidak sah (Ilicit Enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Ketentuan Pasal 20
Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 mewejibkan
kepada setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip
41
dasar sistem hukumnya untuk menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan
dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti
dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk
akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi
perbuatan memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri
mempunyai implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999
khususnya unsur kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal
3 butir 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun2003.
4. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in
Influence). Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Tipe tindak pidana
korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in Influence) sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau
memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung
atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik
itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, suatu
keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau
untuk orang lain.42
Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi, yaitu sebagai
berikut:
1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.
2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit
bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan
42http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html diakses
pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos
pencegatan dijalan,pelabuhan dan sebagainya.
3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu
punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah,
tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.
4. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada
seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
5. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran
uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan
mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas
pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau
berhak bila dilakuka secara adil.
Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan
pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran
terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo
Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan
menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun
1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun
1999.43
43http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html diakses
D. Alasan-Alasan Pembebasan dari Tuntutan dan Dakwaan
Didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantas tindak pidana korupsi Suatu perbuatan itu melawan
hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis)
saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat
melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu
dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan
aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini melawan hukum
sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya
sebagaimana para sarjana yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil
ialah :
a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah
bersifat melawan hukum materiil (materiel rechts widrig), jika perbuatan itu
bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum (den Zwecken der das
Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht); kalau tidak
bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum.
b) Zevenbergen : Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri
sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian
yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada
keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan
pidana.44
44www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 95, Diakses
Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu
perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda atau indikasi
bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila
diterobos dengan adanya alat pembenar (recht vaar- digingsgrond). Bagi mereka
yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu
hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang
tertulis.
Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang
sedang dihadapi harus mempertimbangkan :
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang
bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan
betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan
peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil atau
benar oleh seluruh masyarakat pada umumnya.
b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang
bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan
betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menghapuskan
kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb.
c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat
menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah.45
Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-tiap keputusan harus
memuat alasan yang mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar
mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat lebih-lebih keadaan masyarakat
45www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 96, Diakses
Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang
dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam
untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya
putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya
harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya, baik secara formil
maupun secara materiil.
Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :
- dalam fungsinya yang negatif
Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif
mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi
hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
- dalam fungsinya yang positif
Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif
menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak
nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan
dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi
disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.46
46www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/file/asas-asas%20hukum%20pidana.doc. Hal 98, Diakses