PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DAPAT
DIBEBASKAN DARI SANKSI HUKUMAN (TINJAUAN YURIDIS
PUTUSAN PN NO : 82/PID. B/2008/PN.JTH)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
SYAHKINARA
090200423
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diajukan untuk Melengkapi Tugas
Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
NIP.195102061980021001 NIP.196005201998021001
ABSTRAKSI
Syahkinara * Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum **
Alwan, S.H., M.Hum ***1
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi
dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra
ordinary crime sehingga harus diberantas.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjelaskan tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dan Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada putusan Pengadilan Negeri Jantho dengan nomor register 82/PID. B/2008/PN.JTH merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya hak untuk seorang terdakwa
untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka majelis hakim
mempertimbangkan keterangan seorang terdakwa beserta bukti-bukti dan saksi yang ada di dalam persidangan tersebut. Setelah majelis hakim mempertibangkan semuanya, dan seorang terdakwa tidak memenuhin unsur-unsur dari tindak pidana korupsi tersebut. Maka Putusan majelis hakim ini membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kemudian majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membebaskan seorang terdakwa dari tahanan kota, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
*Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman”, yang disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Universitas Sumatera Utara. Tak
lupa pula penulis mengucapkan shalawat beriring salam kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW yang telah mengangkat kita dari alam kegelapan menuju
alam terang benderang seperti sekarang ini yang safaatnya kita harapkan di hari akhir
kelak.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi moral maupun
material kepada penulis, demi terselesainya penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Kepada kedua orang tuaku, bapakku Drs, Fakhruddin, dan ibuku Siti Aisyah
karena atas dorongan mereka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayai dan membesarkan
penulis maka penulis dapat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara sehingga penulis sampai kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.
2. Kepada saudara-saudaraku Apriansyah, ST, Usumartina, S.pd, dan kakak iparku
DR, Amilia Frayanty yang telah turut serta memberikan dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan perkuliahan saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
5. Kepada Bapak Dosen Pembimbing I Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum
dan Bapak Dosen Pembimbing II Alwan, S.H., M.Hum penulis berterimakasih
sebesar-besarnya atas bimbingan, ilmu-ilmu yang selama ini diberikan kepada
penulis yang penulis yakin akan berguna di dalam kehidupan sekarang, esok dan
seterusnya.
6. Kepada Bapak Dr. M, Hamdan SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana dan Ibu Liza Erwina SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat skripsi
ini.
7. Kepada seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara,
yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada
penulis selama penulis menyelesaikan studinya.
motivasi, dukungan serta gambaran dalam menyelesaikan penulisan ini.
10. Kepada semua orang yang berkecimpung di dunia hukum, khususnya para ahli
hukum dan para penulis di bidang hukum maupun praktisi hukum yang hasil
pemikirannya ataupun karya-karyanya digunakan penulis di dalam penulisan
skripsi ini sehingga telah sangat membantu penulisan dalam menyelesaikan
tulisan ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita
semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak-pihak yang tidak disebutkan
diatas. Saya menyadari Skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga
penulis dengan senang hati menerima kritik yang akan diajukan yang mana kritik
Medan, Oktober 2013
DAFTAR ISI
Abtraksi ……… i
Kata Pengantar ………. ii
Daftar Isi ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ………... 8
C. Tujuan dan manfaat penulisan ……… 8
D. Keaslian penulisan ………... 9
E. Tinjauan pustaka ………. 9
1. Pelaku tindak pidana ………. 9
2. Korupsi ..………. 12
3. Sanksi hukum ..……….. 13
F. Metode penulisan ………... 17
G. Sistematika penulisan ………. 18
BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Pengaturan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia …... ... 20
B. Rumusan delik dan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No 20 tahun 2001 ……….. 27
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ..……….. 36
1. Kronologis .……… 43
2. Dakwaan jaksa penuntut umum ……… 49
3. Fakta hukum ………. 51
4. Tuntutan ……… 65
5. Pertimbangan hakim ………. 67
6. Putusan ……….. 81
B. Analisa putusan ……….. 83
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …...………. 87
B. Saran ………. 88
ABSTRAKSI
Syahkinara * Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum **
Alwan, S.H., M.Hum ***1
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi
dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra
ordinary crime sehingga harus diberantas.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjelaskan tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dan Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada putusan Pengadilan Negeri Jantho dengan nomor register 82/PID. B/2008/PN.JTH merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya hak untuk seorang terdakwa
untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka majelis hakim
mempertimbangkan keterangan seorang terdakwa beserta bukti-bukti dan saksi yang ada di dalam persidangan tersebut. Setelah majelis hakim mempertibangkan semuanya, dan seorang terdakwa tidak memenuhin unsur-unsur dari tindak pidana korupsi tersebut. Maka Putusan majelis hakim ini membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kemudian majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membebaskan seorang terdakwa dari tahanan kota, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
*Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Latar Belakang
Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong
kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi
dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra
ordinary crime sehingga harus diberantas.
Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan
untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program
untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency
International menggunakan defenisi korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. Dalam defenisi korupsi tersebut,
terdapat tiga unsur: Menyalahgunakan kekuasaan: kekuasaan yang di percayakan
(baik di sektor publik maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi
dan keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus” yang
berarti kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang
korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin
“corruption” yang berarti perbuatan yang tindak baik, buruk, curang, dapat disuap, tindak normal, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil,
2
pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-bats hukum atas tingkah laku
tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi
apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”.
Jadi pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa
tindak dan sebagai perbuatan tercela.2
Masalah penanggulangan tindak pidana korupsi di indonesia sepertinya
akhir-akhir ini semakin marak, bahkan dengan mencuatnya pemberitaan beberapa oknum
penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan tercela terkait dengan tugas dan
wewenangnya menambah ramainya pemberitaan di media cetak maupun eletronik.
Tidak berlebihan apabila oleh sebagian kalangan dianggap tindak pidana
korupsi sebagai extraordinary crime karena telah dilakukan secara sistematis dan
meluas (widespread) serta telah merasuki keseluruh lini kehidupan (deep-rooted).
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
bagi kehidupan perekonomian dan pembangunan nasional. Oleh karena itu
pendekatan pemberantasan korupsi kedepan, jangan hanya semata-mata menerapkan
instrumen hukum pidana, mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
mengandalkan instrumen hukum pidana akhir-akhir ini oleh masyarakat dipandangan
masih belum memenuhi harapan karena belum menujukkan trend menurunnya
perilaku yang koruptif tersebut.
Berdasarkan fenomena ini, maka pemberantasan tindak pidana korupsi
melalui tindakan hukum berdasarkan instrumen pidana yang merupakan bagian dari
kebijakan hukum pidana (penal policy) harus dilakukan secara integral dan
komprehensif, yaitu harus dipadukan dengan upaya yang “non penal”, terutama
melalui instrumen pencegahan, yaitu dengan cara menyeimbangkan tindakan represif
dengan tindakan yang bersifat preventif, meningkatkan keberhasilan penanggulangan
2IGM. Nurdjana, Drs. SH., M.Hum, dkk,
tindak pidana korupsi itu bukan terletak pada banyaknya perkara yang diajukan ke
pengadilan, tetapi terletak pada keberhasilan menggugah kesadaran untuk tindak
melakukan korupsi.3
Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang Pengertian korupsi, bahwa:
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara atau diketahui
atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara.
b. Barang siapa dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tindak
langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
c. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.
d. Barang siapa memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang
tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib
4
Kemudian pengertian korupsi dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31
Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang mencabut
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 di atas, disebutkan bahwa:
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara (pasal 2 ayat 1).
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).
Unsur korupsi menurut Kurniawan adalah: tindakan melawan hukum,
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan,
merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung, dilakukan oleh
pejabat publik atau penyelenggaraan negara maupun masyarakat. Berdasarkan
beberapa pengertian tetang korupsi, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi
merupakan suatu perbuatan melawan hukum baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil
perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan masyarakat.5
Berdasarkan dari pengertian maupun penjelasan tentang tindak pidana korupsi,
Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Selain itu Indonesia masih
sangat sulit mengatasi kasus tindak pidana korupsi. Dikarenakan belum berfungsi
secara efektif dan efisiensi dalam memberantas korupsi. Para penegak hukum
khususnya jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka
4
IGM. Nurdjana, Drs, SH., M.Hum, Korupsi & Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 23
5
sesuai bunyi undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi huruf b.6
Seperti halnya tindak pidana korupsi sekarang di Indonesia beberapa tahun
kebelakang ini sudah mengalami kerusakan atau sistem yang salah dalam penegakkan
hukumnya, dimana sekarang ini para penegak hukum di Indonesia
pencampuradukkan antara hukum dengan dengan politik, dimana sebenarnya kedua
sistem ini sangat berbeda dan tidak bisa di satukan. Apabila kedua sistem ini di
satukan maka hukum pun akhirnya dapat di goyangkan. Tetapi karena adanya para
hakim dan anggotanya maka setiap kasus yang di ajukan olek jaksa ke pengadilan
maka hakimlah yang menimbah dan mengadili seadil-adilnya setiap kasus yang di
jalankan.
Kasus ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana si terdakwa di politisir oleh
orang-orang yang tidak senang dengannya, dimana jaksa melakukan pentuntutan
kepada terdakwa karena menurut bukti dan kesaksiannya terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi, yang pada dasarnya sebenarnya ia tidak sama sekali
melakukan tindak pidana korupsi, karena tindak terpenuhnya unsur-unsur korupsi.
Salah satu kasus yang terjadi di kota Jantho Kabupaten Aceh Besar dimana
seorang selaku Kepala Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
Mustaqim Lhoong (PD. BPRM Loong) yang bernama Ismail AF, SE Bin Affan
berumur 41 Tahun yang bertempat tinggal di Desa Mon Mata, Kecamatan Loong,
Kabupaten Aceh Besar mengingat pasal 191 ayat (1) dan pasal 97 KUHAP serta
6
- Menyatakan Terdakwa ISMAIL AF, SE BIN AFFAN tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa
Penuntut Umum.
- Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut.
- Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum segera membebaskan Terdakwa dari
tahanan Kota.
- Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya.
- Menetapkan barang bukti berupa:
1. Perjanjian kerja sama (Memorandum Of Understanding) antara pemerintah
Kabupaten Aceh dengan PD Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong dalam
rangka penyaluran Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) Kabupaten
Aceh Besar tahun 2004 Nomor 412.5/415/BPM-AB/2004 tanggal 5 Mei 2004.
2. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 61 Tahun 2004 Tanggal 1 april 2004
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaa Kegiatan Dana Pembangunan
Desa/Kelurahan (DPD/K) tahun 2004 dalam Kabupaten Aceh Besar.
3. Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor : 50/133/2005 tanggal 31 Mei 2005
tentang pengangkatan/penunjukan Direktur Perusahaan Daerah Bank
Perkreditan (PD. BPR) Mustaqim Provinsi NAD.
4. Surat bupati Aceh Besar Nomor 412.5/9502 tanggal 4 November 2004 tentang
Rekomendasi Pencairan DPD/K Tahun 2004.
5. Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Nomor 412.6/956 Tanggal 20
Oktober 2004 tentang Pencairan DPD/K tahun 2004.
6. Laporan Realisasi dana pembangunan Desa/Keluahan (DPD/K) Kabupaten
Aceh Besar bulan September 2005 tanggal 6 Oktober 2005.
7. Tanda terima transfer dana pembangunan Desa ke rekening Nomor :
010.02.02.000785-3 pada Bank BPD atas nama ISMAIL. AF.
8. Tanda Penerimaan dari kepada BPM Aceh Besar kepada Ismail AF.
10. Surat Perintah membayar Nomor : 632/PK/2004 tanggal 2 September 2004.
11. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor : KU.920/193/2004 tentang otorisasi
anggaran belanja daerah.
12. Surat perintah Pembayaran Pengisian Kas tahun anggaran 2004 bulan Mei
2004 tanggal 29 September 2006.
13. Daftar nasabah kredit PD BPR Lhoong Realisasi Bulan September 2004
tanggal 29 September 2006.
Dan seluruh bukti-bukti tambahan,berupa :
1. Surat Pernyataan dari Terdakwa Ismail AF, SE. Tanggal 15 Januari 2006.
2. Surat Camat Kecamatan Lhoong tanggal 31 Mei 2005 tentang pencairan dana
pembangunan Desa tahun 2004.
3. List saldo tabungan di PD BPRM Lhoong, per tanggal 31 Mei 2008.
4. Foto copy buku rekening 28 Kades dan 28 Ketua Tim Penggerak PKK
Desa-desa di Kecamatan Lhoong,per tanggal 31 Mei 2008.
5. Daftar rekap rekening Kades dan PKK Kecamatan Lhoong di PD BPRM Suka
Makmur Cabang Lhoong per 31 Juni 2008.
Tetap terlampir dalam berkas perkara ini.
- Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja Kejaksaan
masi belum bisa di percayai sepenuhnya, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak
pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan
dibahas. Yang khususnya akan di bahas yang terjadi di kota Jantho Kecamatan
Lhoong Aceh Besar. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi
8
Kasus tindak pidana korupsi yang ada saat ini di kota Jantho sudah di
campuradukkan dengan politik, tetapi dengan ada pertimbangan hakim maka si
terdakwa bebas dari tuntutan jaksa penutut umum di kota Jantho. Salah satunya
contoh kasus korupsi yang dapat dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang di
lakukan oleh seorang Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
Mustaqim Lhoong di kota Jantho. Dimana ia sudah dapat di bebsakan dari tuntutan
hukum atau pun jaksa penuntut umum. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
meninjau serta membahas lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi yang dapat
di bebaskan dari sanksi hukum dalam skripsi yang berjudul “PELAKU TINDAK
PIDANA YANG DAPAT DI BEBASKAN DARI SANKSI HUKUM.”
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakanag diatas Penulisan mengangkat beberapa pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi
2. Bagaimana pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dibebaskan dari ancaman
pidana
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan penulisan
Berdasarkan membahasan permasalahan diatas, maka penulis memiliki tujuan
yang antara lain bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di
Negara Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagimana seorang pelaku yang di dakwa melakukan tindak
2. Manfaat
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dapat memberikan manfaat berupa
gambaran atau bahan pemikiran yang berguna untuk semua pihak.
1. Diharapkan agar skripsi ini mampu menjadi bahan informasi dan pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan penulis juga dapat menjadi
bahan bacaan dan menambah ilmu pengetahuan tentang hukum khususnya
hukum pidana tentang tindak pidana korupsi.
2. Diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi
semua pihak, khususnya bagi para penegak hukum yang memiliki cita-cita
luhur dalam memajukan perkembangan hukum di Indonesia.
D. KEASLIAN PENULISAN
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang
Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukum” ini adalah merupakan penulisan yang
berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Judul skripsi ini diambil
atas tinjauan putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH. ini di susun dengan cara
membaca, mempelajari, mengaji data-data yang ada. Penelitian judul ini juga
berdasarkan pada surat pengesahkan dari perpustakaan Hukum Universitas Sumatra
Utara sama sekali belum ada mengangkat judul ini. Dengan kata lain penulisan ini
merupakan hasil karya penulisan sendiri.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pelaku Tindak Pidana
10
Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan kata,
yaitu straafbaar dan feit. Perkara feitdalam bahasa Belanda diartikan “sebagain dari
kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat hukum”, sehingga secara harifah
perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang
sudah tentu tidak dapat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat
dihukum adalah manusia sebagian pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.
Pengertian dari perkataan straafbaarfeit.
1. Simons
Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “ tindakan melawam hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tindakan dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakkannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas
karena :
a. Untuk adanya suatu straafbaarfeitdisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang
dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah
dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan
undang-undang;
c. Setiap straafbaarfeit sebagian pelanggaran terhadap suatu larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan
tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.8
Jadi, setiap melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan
manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pada
8
dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri
seperti halnya dengan unsur lain.
Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa
pidana yang seiring juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen
atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan
yang di timbulkan karena perbuatan atau melalaiktan itu). Peristiwa pidana
merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang
membawa akibat yang diatur hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh
suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya
sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku
manusia yang bertentangan dengan hukum dan adanya seorang pembuat dalam arti
kata bertanggung jawab.9
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung
jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu
mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih
dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal
dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud
mengandung tiga pengertian yaitu:
12
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.10
2. Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:
corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfah dari korupsi dapat berupa:
a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, kamus lengkap
Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung).
b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Penerbit: Balai Pustaka, 1976).
c) 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai kekuasaan untuk
kepeningan sendiri dan sebagainya);
a. Korupsi (perbuatan busuk perti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya);
b. Koruptor (prang yang korupsi).11
Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu
karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan
dalam instansi atau aparatur pemerintahan, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan
karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian,
secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki
arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi: busuk, rusak. Suka memakai uang yang di percayakan kepadanya,
dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk kepentingan pribadi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum, yang
dimaksud curruple adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan
keuangan Negara.12
3. Sanksi Hukum
Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1. Pidana Penjara
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
14
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi
setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35,
dan pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja
tidak memberikan keterangan yang tidak benar.(pasal 22)
2. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang
dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu
dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi, atau pada saat Negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
3. Pidana Tambahan
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut.
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
16
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.13
4. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural
ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat
diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa
ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus
F. METODE PENULISAN
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat
dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penulisan, lalu melakukan
penelitian dengan cara-cara yang telah di tentukan.
1. Jenis Penulisan
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis
normative yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan dan peraturan
atau undang-undang yang ada di lengkapi dengan studi putusan. Dimana metode ini
penulis memokuskan kepada penelitian studi kepustakaan. Dimana penulis
memokuskan kepada undang-undang tindak pidana korupsi.
2 . Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber
Sumber penelitian ini diambil penulis skripsi melalui data sekunder. Data
sekunder ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Terutama dari buku-buku dan
literature yang sudah ada yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan hukum yang mengikat dan mengatur
berdasarkan peraturan perundangan-undangan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan literature lainnya yang berkaitan
dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.
3. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
18
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang di lakukan oleh penulis ini adalah dengan
pengumpulan data melalui studi pustaka, dimana penulis memperoleh data atau
bahan-bahan yang ada dengan cara mengumpulkan dan membahasnya melalui bahan
hukum primer, sekunder dan tersier.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam suatu karya ilmiah atau pun penulisan skripsi sistematika penulisan
sangat di perlukan. Ini bertujuan untuk mempermudah para membaca dan memahami
isi dari dalam karya ilmiah. Sistematika ini sendiri memberikan gambaran singkat
mengenai karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini akan di bagi menjadi 4 (Empat)
BAB I
Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang bagaimana penulis mengambil
topik atau judul yang akan dibahas di bab berikutnya oleh penulis. Bab ini terdiri dari
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan
pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
Dalam bab ini menguraikan tentang pengaturan hukum bagi tindak pidana korupsi
baik dilihat dari segi pasif maupun aktif, rumusan delik dan pertanggungjawaban
tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut.
BAB III
Dalam bab ini membahas tentang bagaimana pelaku tindak pidana korupsi dapat di
bebaskan dari ancaman pidana dalam putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH.
BAB IV
Ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran atas permasalahan yang
telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skripsi memberikan jawaban terhadap
BAB II
PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (
extra-ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat di
elakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan
dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat
bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat
Indonesia.
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum
dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial
yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga
wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial
karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah kesejahteraan dan merupakan
persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit
disembuhkan.15
Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus, di
samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum,
yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.
15Ermansjah Djaja, Dr. S.H, M.Si.
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia sebenarnya sudah
ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek
van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van
Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi berlaku bagi semua golongan di
Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan diundangkan dalam staatbland 1915
Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.16
Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 keberadaan tindak pidan korupsi juga diatur dalam hukum positif
Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam
keadaan perang berdasarkan Undang Nomor 74 Tahun 1957 jo
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan perang
sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor
225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
untuk yang pertama kali, yaitu peraturan penguasa Militer tanggal 9 April 1957
Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku
untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa
Peraturan penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.
Dalam keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tentang tindak
pidana korupsi, dengan berdasarkan pada pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar
sementara 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk pemerintah pengganti
22
Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
tentang pengusutan penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp
Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas)
tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan) tahun
berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, dengan menetapkan
ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih
lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidan korupsi
yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang
Tindak Pidana Korupsi.17
Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut,
telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28 Tahun 1999.
Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinyatakan
telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember
2001.
17
Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi
dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas tindak
pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan
undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250).18
Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor
20 tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu
korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.
Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (
dua ratus juta rupiah) dan paling bnyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat di
jatuhkan”.
- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
24
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah)”.
- Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
- Percobaan pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana
Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara
Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001).
- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor
20 Tagun 2001).
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6
- Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional
Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat
(1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
- Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat
(1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi
nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
26
- Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia,
atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20
tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga
akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan
huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20
tahun 2001)
- Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang
diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).19
19http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/korupsi-dan-jenis-jenis-korupsi.html diakses tanggal 12
B. Rumusan Delik Dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Dalam
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001
a. Rumusan Delik
1. Memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum
Perumusan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi)
yang memenuhi unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan demikian, pelaku
tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “setiap orang”, tidak ada
keharusan pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak
berstatus sebagai pegawai negeri attau korporasi, yang dapat berbentuk badan
hukum atau perkumpulan.20
2. Delik pasal 3 ( penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atauu sarana).
Bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang-perorangan dan korporasi
yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak
pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat atau pegawai
negeri.21
3. Menyuap pegawai Negeri atau penyelenggara Negara.
Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyangkut
suap aktif, yang menghukum setiap orang ( perseorangan dan korporasi) yang
28
pegawai Negeri atau penyelenggara Negara. Jadi, pelaku dari tindak pidana
korupsi menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ini
adalah setiap orang, yakni orang perseorangan dan korporasi.22
4. Menyuap Hakim dan Advokat
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang
suap pasif. Maksudnya ketentuan tersebut melrang Hakim atau Advokat yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Hukumannya adalah sama dengan pelaku suap aktifnya, yakni yang
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim atau Advokat.23
5. Perbuatan curang.
Adapun perbuatan yang dilarang oleh pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 ini adalah Perbuatan Curang. Yaitu, tipu daya, memakai nama
palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.24
6. Penggelapan Dalam Jabatan.
Perbuatan yang dilarang disini adalah dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, bahwa
perbuatan itu menjadi niat dari pelaku. Ini diatur dalam pasal 56 KUHP.25
7. Memalsu Buku atau Daftar Khusus Pemeriksaan Administrasi.
Menurut pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan yang
dilarang oleh pasal ini adalah dengan sengaja memalsu buku-buku atau
8. Menggelapkan, Menghancurkan, Merusakkan Barang.
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 pasal 10 mengatakan “ dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Dan paling banyak Rp 350.000.000,00 ( tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selai pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja:
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakini
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai
karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut;
atau
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut.27
9. Menerima Hadiah atau Janji
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengatakan “ Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
30
10. Gratifikasi.
Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 tahun2001 mengatakan sebagai
berikut;
a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara begara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tgasnya dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi:
2) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan
oleh Penuntut Umum.
b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).29
11. Tindak Pidana Korupsi (TPK) pasal 13.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini tidak mengkualifikasikan
sebagai pelaku pejabat atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji
Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya
jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik
tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.31
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa
bentuk yaitu:
1. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, pengaturannya diatur dalam
pasal 7 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemborongan berbuat curang.
2. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, ada
diatur dalam pasal 12 huruf 1 undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri turut serta dalam
pengadaan yang diurusnya.
3. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan Negara.
a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan
Negara, diatur dalam pasal 2 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat
merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 3 undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.32
4. Korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap
a. Menyuap pegawai negeri, diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 tahun 2001, dimana
32
orang lain, dimana apa yang di janjikan tersebut akan diberikan apabila orang
lain tersebut (pegawai negeri) telah berbuat atau tidak berbuat dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, diatur
dalam pasal 11 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
c. Hakim dan advokat menerima suap, diatur dalam pasal 6 ayat 2
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang-undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
5. Member hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, diatur dalam pasal 13
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun
2001.33
b. Pertanggungjawaban tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana
korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
33R. Wiyono,
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.34
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi.
1. Pidana Penjara
Merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara
paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi
dalam kehidupan social sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya
dipergunakan demi kepentingan reclassering(permasyarakatan atau pembinaan).
Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagian berikut:
a. Seumar hidup (tanpa minimal atau maksimal)
b. Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun
sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksium
umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 Tahun dalam hal :
c. Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
34
d. Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara 20 tahun.
e. Ada pemberantasan umum yaitu, concursus/ pembarengan yang diatur dalam
pasal 65 hingga pasal 70, reseidve/ pengulangan yang diatur dalam pasal 486
hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan
pasal 52a tentang menyalgunakan bendera.
f. Ada pemberantan khusus, seperti pasal 355 ja pasal 356 mengenai
penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.35
2. Pidana Mati
Berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun
berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena
pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang
merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau
diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan
kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang
diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati
selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak serta merta pasti
menjatuhkan hukuman mati kepala pelanggar pasal yang diancam pidana mati.36.
di dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana
yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati disini diancam apabila
tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu
dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 undang-udang pemberantasan tindak
pidana korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan
bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
35
Evi hartanti, Op.Cit, hal 12-14 36Efi Laila Kholis,
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara
dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.37
3. Pidana Tambahan
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan memiliki terpidana di mana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
Tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintahan kepada terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap,
maka harta bendanya dapat disita olek jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut.
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang penggantimaka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana
36
4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya
Dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan
disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, maka
penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.39
5. Terhadap tindak pidana yang berlaku oleh atas nama suatu korporasi, di mana
pidana pokok yang dapat dijatuhkankan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimum ditambah 1/3.
Berdasarkan kententuan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidan korupsi,.40
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 (disingkat
KAK 2003) ada 4 macam bentuk tindak pidana korupsi sebagai berikut :
1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of
National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam
ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization
and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur
mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public
Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau
memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung
39
Ibid, hal 15
40Jur. Andi Hamzah, korupsi Di Indonesia Malasah Dan Pemecahannya. Penerbit PT. Gramedia