• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DAPAT

DIBEBASKAN DARI SANKSI HUKUMAN (TINJAUAN YURIDIS

PUTUSAN PN NO : 82/PID. B/2008/PN.JTH)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

SYAHKINARA

090200423

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas

Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

NIP.195102061980021001 NIP.196005201998021001

(3)

ABSTRAKSI

Syahkinara * Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum **

Alwan, S.H., M.Hum ***1

Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi

dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

ordinary crime sehingga harus diberantas.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjelaskan tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dan Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada putusan Pengadilan Negeri Jantho dengan nomor register 82/PID. B/2008/PN.JTH merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya hak untuk seorang terdakwa

untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka majelis hakim

mempertimbangkan keterangan seorang terdakwa beserta bukti-bukti dan saksi yang ada di dalam persidangan tersebut. Setelah majelis hakim mempertibangkan semuanya, dan seorang terdakwa tidak memenuhin unsur-unsur dari tindak pidana korupsi tersebut. Maka Putusan majelis hakim ini membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kemudian majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membebaskan seorang terdakwa dari tahanan kota, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

*Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Yang Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukuman”, yang disusun sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Universitas Sumatera Utara. Tak

lupa pula penulis mengucapkan shalawat beriring salam kepada junjungan kita Nabi

Besar Muhammad SAW yang telah mengangkat kita dari alam kegelapan menuju

alam terang benderang seperti sekarang ini yang safaatnya kita harapkan di hari akhir

kelak.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi moral maupun

material kepada penulis, demi terselesainya penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Kepada kedua orang tuaku, bapakku Drs, Fakhruddin, dan ibuku Siti Aisyah

karena atas dorongan mereka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayai dan membesarkan

penulis maka penulis dapat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara sehingga penulis sampai kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.

2. Kepada saudara-saudaraku Apriansyah, ST, Usumartina, S.pd, dan kakak iparku

DR, Amilia Frayanty yang telah turut serta memberikan dukungan kepada penulis

dalam menyelesaikan perkuliahan saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

(5)

5. Kepada Bapak Dosen Pembimbing I Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum

dan Bapak Dosen Pembimbing II Alwan, S.H., M.Hum penulis berterimakasih

sebesar-besarnya atas bimbingan, ilmu-ilmu yang selama ini diberikan kepada

penulis yang penulis yakin akan berguna di dalam kehidupan sekarang, esok dan

seterusnya.

6. Kepada Bapak Dr. M, Hamdan SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana dan Ibu Liza Erwina SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat skripsi

ini.

7. Kepada seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara,

yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada

penulis selama penulis menyelesaikan studinya.

motivasi, dukungan serta gambaran dalam menyelesaikan penulisan ini.

10. Kepada semua orang yang berkecimpung di dunia hukum, khususnya para ahli

hukum dan para penulis di bidang hukum maupun praktisi hukum yang hasil

pemikirannya ataupun karya-karyanya digunakan penulis di dalam penulisan

skripsi ini sehingga telah sangat membantu penulisan dalam menyelesaikan

tulisan ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita

semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak-pihak yang tidak disebutkan

diatas. Saya menyadari Skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga

penulis dengan senang hati menerima kritik yang akan diajukan yang mana kritik

(6)

Medan, Oktober 2013

(7)

DAFTAR ISI

Abtraksi ……… i

Kata Pengantar ………. ii

Daftar Isi ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 8

C. Tujuan dan manfaat penulisan ……… 8

D. Keaslian penulisan ………... 9

E. Tinjauan pustaka ………. 9

1. Pelaku tindak pidana ………. 9

2. Korupsi ..………. 12

3. Sanksi hukum ..……….. 13

F. Metode penulisan ………... 17

G. Sistematika penulisan ………. 18

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Pengaturan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia …... ... 20

B. Rumusan delik dan pertanggungjawaban tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No 20 tahun 2001 ……….. 27

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ..……….. 36

(8)

1. Kronologis .……… 43

2. Dakwaan jaksa penuntut umum ……… 49

3. Fakta hukum ………. 51

4. Tuntutan ……… 65

5. Pertimbangan hakim ………. 67

6. Putusan ……….. 81

B. Analisa putusan ……….. 83

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …...………. 87

B. Saran ………. 88

(9)

ABSTRAKSI

Syahkinara * Prof. Dr. H. Syafruddin Kallo, S.H., M.Hum **

Alwan, S.H., M.Hum ***1

Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi

dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

ordinary crime sehingga harus diberantas.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjelaskan tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dan Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi pada putusan Pengadilan Negeri Jantho dengan nomor register 82/PID. B/2008/PN.JTH merupakan bentuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Dengan adanya hak untuk seorang terdakwa

untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka majelis hakim

mempertimbangkan keterangan seorang terdakwa beserta bukti-bukti dan saksi yang ada di dalam persidangan tersebut. Setelah majelis hakim mempertibangkan semuanya, dan seorang terdakwa tidak memenuhin unsur-unsur dari tindak pidana korupsi tersebut. Maka Putusan majelis hakim ini membebaskan seorang terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kemudian majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk membebaskan seorang terdakwa dari tahanan kota, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

*Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

Latar Belakang

Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar Negara yang tergolong

kejahatan transnasional, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi

dan keuangan Negara yang besar maka korupsi dapat digolongan sebagai extra

ordinary crime sehingga harus diberantas.

Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan

untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program

untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka

meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Transparency

International menggunakan defenisi korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. Dalam defenisi korupsi tersebut,

terdapat tiga unsur: Menyalahgunakan kekuasaan: kekuasaan yang di percayakan

(baik di sektor publik maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi

dan keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang

menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus” yang

berarti kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang

korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin

corruption” yang berarti perbuatan yang tindak baik, buruk, curang, dapat disuap, tindak normal, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil,

(11)

2

pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-bats hukum atas tingkah laku

tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap korupsi

apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”.

Jadi pandangan tentang korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa

tindak dan sebagai perbuatan tercela.2

Masalah penanggulangan tindak pidana korupsi di indonesia sepertinya

akhir-akhir ini semakin marak, bahkan dengan mencuatnya pemberitaan beberapa oknum

penegak hukum yang diduga melakukan perbuatan tercela terkait dengan tugas dan

wewenangnya menambah ramainya pemberitaan di media cetak maupun eletronik.

Tidak berlebihan apabila oleh sebagian kalangan dianggap tindak pidana

korupsi sebagai extraordinary crime karena telah dilakukan secara sistematis dan

meluas (widespread) serta telah merasuki keseluruh lini kehidupan (deep-rooted).

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana

bagi kehidupan perekonomian dan pembangunan nasional. Oleh karena itu

pendekatan pemberantasan korupsi kedepan, jangan hanya semata-mata menerapkan

instrumen hukum pidana, mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan

mengandalkan instrumen hukum pidana akhir-akhir ini oleh masyarakat dipandangan

masih belum memenuhi harapan karena belum menujukkan trend menurunnya

perilaku yang koruptif tersebut.

Berdasarkan fenomena ini, maka pemberantasan tindak pidana korupsi

melalui tindakan hukum berdasarkan instrumen pidana yang merupakan bagian dari

kebijakan hukum pidana (penal policy) harus dilakukan secara integral dan

komprehensif, yaitu harus dipadukan dengan upaya yang “non penal”, terutama

melalui instrumen pencegahan, yaitu dengan cara menyeimbangkan tindakan represif

dengan tindakan yang bersifat preventif, meningkatkan keberhasilan penanggulangan

2IGM. Nurdjana, Drs. SH., M.Hum, dkk,

(12)

tindak pidana korupsi itu bukan terletak pada banyaknya perkara yang diajukan ke

pengadilan, tetapi terletak pada keberhasilan menggugah kesadaran untuk tindak

melakukan korupsi.3

Dalam pasal 1 Undang-Undang no. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang Pengertian korupsi, bahwa:

a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak

langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara atau diketahui

atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara.

b. Barang siapa dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tindak

langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

c. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209,

210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.

d. Barang siapa memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang

yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah

atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang

tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan

pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib

(13)

4

Kemudian pengertian korupsi dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31

Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi yang mencabut

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 di atas, disebutkan bahwa:

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara (pasal 2 ayat 1).

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).

Unsur korupsi menurut Kurniawan adalah: tindakan melawan hukum,

menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan,

merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung, dilakukan oleh

pejabat publik atau penyelenggaraan negara maupun masyarakat. Berdasarkan

beberapa pengertian tetang korupsi, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi

merupakan suatu perbuatan melawan hukum baik secara langsung maupun tidak

langsung dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil

perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai

keadilan masyarakat.5

Berdasarkan dari pengertian maupun penjelasan tentang tindak pidana korupsi,

Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Selain itu Indonesia masih

sangat sulit mengatasi kasus tindak pidana korupsi. Dikarenakan belum berfungsi

secara efektif dan efisiensi dalam memberantas korupsi. Para penegak hukum

khususnya jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka

4

IGM. Nurdjana, Drs, SH., M.Hum, Korupsi & Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 23

5

(14)

sesuai bunyi undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak

pidana korupsi huruf b.6

Seperti halnya tindak pidana korupsi sekarang di Indonesia beberapa tahun

kebelakang ini sudah mengalami kerusakan atau sistem yang salah dalam penegakkan

hukumnya, dimana sekarang ini para penegak hukum di Indonesia

pencampuradukkan antara hukum dengan dengan politik, dimana sebenarnya kedua

sistem ini sangat berbeda dan tidak bisa di satukan. Apabila kedua sistem ini di

satukan maka hukum pun akhirnya dapat di goyangkan. Tetapi karena adanya para

hakim dan anggotanya maka setiap kasus yang di ajukan olek jaksa ke pengadilan

maka hakimlah yang menimbah dan mengadili seadil-adilnya setiap kasus yang di

jalankan.

Kasus ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana si terdakwa di politisir oleh

orang-orang yang tidak senang dengannya, dimana jaksa melakukan pentuntutan

kepada terdakwa karena menurut bukti dan kesaksiannya terdakwa telah melakukan

tindak pidana korupsi, yang pada dasarnya sebenarnya ia tidak sama sekali

melakukan tindak pidana korupsi, karena tindak terpenuhnya unsur-unsur korupsi.

Salah satu kasus yang terjadi di kota Jantho Kabupaten Aceh Besar dimana

seorang selaku Kepala Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat

Mustaqim Lhoong (PD. BPRM Loong) yang bernama Ismail AF, SE Bin Affan

berumur 41 Tahun yang bertempat tinggal di Desa Mon Mata, Kecamatan Loong,

Kabupaten Aceh Besar mengingat pasal 191 ayat (1) dan pasal 97 KUHAP serta

(15)

6

- Menyatakan Terdakwa ISMAIL AF, SE BIN AFFAN tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa

Penuntut Umum.

- Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut.

- Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum segera membebaskan Terdakwa dari

tahanan Kota.

- Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

martabatnya.

- Menetapkan barang bukti berupa:

1. Perjanjian kerja sama (Memorandum Of Understanding) antara pemerintah

Kabupaten Aceh dengan PD Bank Perkreditan Rakyat Mustaqim Lhoong dalam

rangka penyaluran Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) Kabupaten

Aceh Besar tahun 2004 Nomor 412.5/415/BPM-AB/2004 tanggal 5 Mei 2004.

2. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 61 Tahun 2004 Tanggal 1 april 2004

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaa Kegiatan Dana Pembangunan

Desa/Kelurahan (DPD/K) tahun 2004 dalam Kabupaten Aceh Besar.

3. Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor : 50/133/2005 tanggal 31 Mei 2005

tentang pengangkatan/penunjukan Direktur Perusahaan Daerah Bank

Perkreditan (PD. BPR) Mustaqim Provinsi NAD.

4. Surat bupati Aceh Besar Nomor 412.5/9502 tanggal 4 November 2004 tentang

Rekomendasi Pencairan DPD/K Tahun 2004.

5. Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Nomor 412.6/956 Tanggal 20

Oktober 2004 tentang Pencairan DPD/K tahun 2004.

6. Laporan Realisasi dana pembangunan Desa/Keluahan (DPD/K) Kabupaten

Aceh Besar bulan September 2005 tanggal 6 Oktober 2005.

7. Tanda terima transfer dana pembangunan Desa ke rekening Nomor :

010.02.02.000785-3 pada Bank BPD atas nama ISMAIL. AF.

8. Tanda Penerimaan dari kepada BPM Aceh Besar kepada Ismail AF.

(16)

10. Surat Perintah membayar Nomor : 632/PK/2004 tanggal 2 September 2004.

11. Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor : KU.920/193/2004 tentang otorisasi

anggaran belanja daerah.

12. Surat perintah Pembayaran Pengisian Kas tahun anggaran 2004 bulan Mei

2004 tanggal 29 September 2006.

13. Daftar nasabah kredit PD BPR Lhoong Realisasi Bulan September 2004

tanggal 29 September 2006.

Dan seluruh bukti-bukti tambahan,berupa :

1. Surat Pernyataan dari Terdakwa Ismail AF, SE. Tanggal 15 Januari 2006.

2. Surat Camat Kecamatan Lhoong tanggal 31 Mei 2005 tentang pencairan dana

pembangunan Desa tahun 2004.

3. List saldo tabungan di PD BPRM Lhoong, per tanggal 31 Mei 2008.

4. Foto copy buku rekening 28 Kades dan 28 Ketua Tim Penggerak PKK

Desa-desa di Kecamatan Lhoong,per tanggal 31 Mei 2008.

5. Daftar rekap rekening Kades dan PKK Kecamatan Lhoong di PD BPRM Suka

Makmur Cabang Lhoong per 31 Juni 2008.

Tetap terlampir dalam berkas perkara ini.

- Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja Kejaksaan

masi belum bisa di percayai sepenuhnya, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak

pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan

dibahas. Yang khususnya akan di bahas yang terjadi di kota Jantho Kecamatan

Lhoong Aceh Besar. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi

(17)

8

Kasus tindak pidana korupsi yang ada saat ini di kota Jantho sudah di

campuradukkan dengan politik, tetapi dengan ada pertimbangan hakim maka si

terdakwa bebas dari tuntutan jaksa penutut umum di kota Jantho. Salah satunya

contoh kasus korupsi yang dapat dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang di

lakukan oleh seorang Direktur Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat

Mustaqim Lhoong di kota Jantho. Dimana ia sudah dapat di bebsakan dari tuntutan

hukum atau pun jaksa penuntut umum. Oleh karena itu penulis tertarik untuk

meninjau serta membahas lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi yang dapat

di bebaskan dari sanksi hukum dalam skripsi yang berjudul “PELAKU TINDAK

PIDANA YANG DAPAT DI BEBASKAN DARI SANKSI HUKUM.”

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakanag diatas Penulisan mengangkat beberapa pokok

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi

2. Bagaimana pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dibebaskan dari ancaman

pidana

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan membahasan permasalahan diatas, maka penulis memiliki tujuan

yang antara lain bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di

Negara Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagimana seorang pelaku yang di dakwa melakukan tindak

(18)

2. Manfaat

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat dapat memberikan manfaat berupa

gambaran atau bahan pemikiran yang berguna untuk semua pihak.

1. Diharapkan agar skripsi ini mampu menjadi bahan informasi dan pemikiran

bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan penulis juga dapat menjadi

bahan bacaan dan menambah ilmu pengetahuan tentang hukum khususnya

hukum pidana tentang tindak pidana korupsi.

2. Diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi

semua pihak, khususnya bagi para penegak hukum yang memiliki cita-cita

luhur dalam memajukan perkembangan hukum di Indonesia.

D. KEASLIAN PENULISAN

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pelaku Tindak Pidana Korupsi Yang

Dapat Dibebaskan Dari Sanksi Hukum” ini adalah merupakan penulisan yang

berdasarkan pada fakta dan sumber yang bersifat otentik. Judul skripsi ini diambil

atas tinjauan putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH. ini di susun dengan cara

membaca, mempelajari, mengaji data-data yang ada. Penelitian judul ini juga

berdasarkan pada surat pengesahkan dari perpustakaan Hukum Universitas Sumatra

Utara sama sekali belum ada mengangkat judul ini. Dengan kata lain penulisan ini

merupakan hasil karya penulisan sendiri.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pelaku Tindak Pidana

(19)

10

Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan kata,

yaitu straafbaar dan feit. Perkara feitdalam bahasa Belanda diartikan “sebagain dari

kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat hukum”, sehingga secara harifah

perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang

sudah tentu tidak dapat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat

dihukum adalah manusia sebagian pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.

Pengertian dari perkataan straafbaarfeit.

1. Simons

Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah “ tindakan melawam hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tindakan dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakkannya dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas

karena :

a. Untuk adanya suatu straafbaarfeitdisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu

tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang

dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah

dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan

undang-undang;

c. Setiap straafbaarfeit sebagian pelanggaran terhadap suatu larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan

tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.8

Jadi, setiap melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan

manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga pada

8

(20)

dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri

seperti halnya dengan unsur lain.

Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa

pidana yang seiring juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen

atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan

yang di timbulkan karena perbuatan atau melalaiktan itu). Peristiwa pidana

merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang

membawa akibat yang diatur hukum. Tindakan semua unsur yang disinggung oleh

suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya

sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku

manusia yang bertentangan dengan hukum dan adanya seorang pembuat dalam arti

kata bertanggung jawab.9

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi

pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung

jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu

mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan

pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih

dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege

(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal

dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud

mengandung tiga pengertian yaitu:

(21)

12

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.10

2. Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:

corruptio= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan

serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfah dari korupsi dapat berupa:

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan

ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, kamus lengkap

Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung).

b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan

sebagainya. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,

Penerbit: Balai Pustaka, 1976).

c) 1. Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai kekuasaan untuk

kepeningan sendiri dan sebagainya);

a. Korupsi (perbuatan busuk perti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,

dan sebagainya);

b. Koruptor (prang yang korupsi).11

Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika

membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu

karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan

dalam instansi atau aparatur pemerintahan, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan

karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau

golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian,

(22)

secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki

arti yang sangat luas.

1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

2. Korupsi: busuk, rusak. Suka memakai uang yang di percayakan kepadanya,

dapat disogok (melalui kekuasaanya untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus Hukum, yang

dimaksud curruple adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan

keuangan Negara.12

3. Sanksi Hukum

Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo

undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim

terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

1. Pidana Penjara

1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

(23)

14

2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap

orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)

3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi

setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan

secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi

dalam perkara korupsi. (Pasal 21)

4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)

bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35,

dan pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja

tidak memberikan keterangan yang tidak benar.(pasal 22)

2. Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang

dilakukan dalam keadaan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu

(24)

dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang

yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak

pidana korupsi, atau pada saat Negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

3. Pidana Tambahan

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang

tersebut.

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun.

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh

pemerintah kepada terpidana.

5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1

(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk

menutupi uang pengganti tersebut.

6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang

lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai

(25)

16

tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana

tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.13

4. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan

maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural

ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu

korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi dan/atau pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut

dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

maupun bersama-sama.

3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka

korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat

diwakilkan kepada orang lain.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di

pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa

ke siding pengadilan.

5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan

untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan

kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus

(26)

F. METODE PENULISAN

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat

dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penulisan, lalu melakukan

penelitian dengan cara-cara yang telah di tentukan.

1. Jenis Penulisan

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis

normative yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan dan peraturan

atau undang-undang yang ada di lengkapi dengan studi putusan. Dimana metode ini

penulis memokuskan kepada penelitian studi kepustakaan. Dimana penulis

memokuskan kepada undang-undang tindak pidana korupsi.

2 . Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber

Sumber penelitian ini diambil penulis skripsi melalui data sekunder. Data

sekunder ini adalah bahan-bahan kepustakaan hukum dan dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Terutama dari buku-buku dan

literature yang sudah ada yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan hukum yang mengikat dan mengatur

berdasarkan peraturan perundangan-undangan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku dan literature lainnya yang berkaitan

dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.

3. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

(27)

18

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang di lakukan oleh penulis ini adalah dengan

pengumpulan data melalui studi pustaka, dimana penulis memperoleh data atau

bahan-bahan yang ada dengan cara mengumpulkan dan membahasnya melalui bahan

hukum primer, sekunder dan tersier.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam suatu karya ilmiah atau pun penulisan skripsi sistematika penulisan

sangat di perlukan. Ini bertujuan untuk mempermudah para membaca dan memahami

isi dari dalam karya ilmiah. Sistematika ini sendiri memberikan gambaran singkat

mengenai karya ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini akan di bagi menjadi 4 (Empat)

(28)

BAB I

Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang bagaimana penulis mengambil

topik atau judul yang akan dibahas di bab berikutnya oleh penulis. Bab ini terdiri dari

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan

pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II

Dalam bab ini menguraikan tentang pengaturan hukum bagi tindak pidana korupsi

baik dilihat dari segi pasif maupun aktif, rumusan delik dan pertanggungjawaban

tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi tersebut.

BAB III

Dalam bab ini membahas tentang bagaimana pelaku tindak pidana korupsi dapat di

bebaskan dari ancaman pidana dalam putusan Nomor : 82/PID. B/2008/PN.JTH.

BAB IV

Ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran atas permasalahan yang

telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skripsi memberikan jawaban terhadap

(29)

BAB II

PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA

A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (

extra-ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat di

elakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan

dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat

bahkan rakyat sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat

Indonesia.

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum

dan penegak hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial

yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga

wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial

karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerintah kesejahteraan dan merupakan

persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit

disembuhkan.15

Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian hukum pidana khusus, di

samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum,

yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.

15Ermansjah Djaja, Dr. S.H, M.Si.

(30)

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum posif Indonesia sebenarnya sudah

ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek

van Strafrecht) 1 Januari 1918, kitab undang-undang hukum pidana (Wetboek van

Strafecht) sebagai suatu kodifikasi atau unifikasi berlaku bagi semua golongan di

Indonesia sesuai dengan asa konkordansi dan diundangkan dalam staatbland 1915

Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.16

Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17

Agustus 1945 keberadaan tindak pidan korupsi juga diatur dalam hukum positif

Indonesia, pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam

keadaan perang berdasarkan Undang Nomor 74 Tahun 1957 jo

Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 tentang penyelesaian pernyataan keadaan perang

sebagai yang telah dilakukan dengan keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor

225 tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957, yang mana dalam rangka pemberantasan

tindak pidana korupsi telah diterbitkan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

untuk yang pertama kali, yaitu peraturan penguasa Militer tanggal 9 April 1957

Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku

untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa

Peraturan penguasa perang pusat tersebut segera digantikan dengan peraturan

perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.

Dalam keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tentang tindak

pidana korupsi, dengan berdasarkan pada pasal 96 ayat 1 undang-undang dasar

sementara 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk pemerintah pengganti

(31)

22

Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960

tentang pengusutan penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaanya undang-undang Nomor Prp

Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga 11 (sebelas)

tahun kemudian digantikan dengan undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi. Setelah selama 28 (dua puluh delapan) tahun

berlaku ternyata undang-undang Nomor 3 tahun 1971 telah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan dn kebutuhan hukum mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi,

kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara Dewan Perwakilan

Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada waktu itu, dengan menetapkan

ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih

lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidan korupsi

yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang

Tindak Pidana Korupsi.17

Dengan berdasarkan kepada ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tersebut,

telah ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999, undang-undang Nomor 28 Tahun 1999.

Selanjutnya pada tanggal 16 agustus 1999 telah ditetapkan undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagai pengganti undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dinyatakan

telah dilakukan perubahan untuk pertama kalinya dengan undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun

2001 Nomor 4150), yang disahkan dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember

2001.

17

(32)

Karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi

dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisiensi dalam memberantas tindak

pidana korupsi, maka pada tanggal 27 Desember 2002 telah diundangkan

undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan

Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4250).18

Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor

20 tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu

korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.

Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang

dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (

dua ratus juta rupiah) dan paling bnyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Dalam ayat (2) yang berbunyi, “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat di

jatuhkan”.

- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

(33)

24

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang

dapat merugikan keuangan Negara atau pearekonomian Negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling lama sedikit Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah)”.

- Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau

wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

- Percobaan pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana

Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara

Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya

yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang

Nomor 20 tahun 2001).

- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau

berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau

tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor

20 Tagun 2001).

- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6

(34)

- Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional

Indonesia atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang

yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat

(1) huruf c Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

- Setiap orrang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara

nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja

membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat

(1) huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).

- Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu

jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja

menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil

atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan

tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).

Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji

karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan

dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)

- Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi

putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi

nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan

(35)

26

- Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia,

atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20

tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji

padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga

akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan

huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa

hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang

diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20

tahun 2001)

- Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,

bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat

uang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan

untuk diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

- Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang

diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau

tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).19

19http://rezkirasyak.blogspot.com/2012/04/korupsi-dan-jenis-jenis-korupsi.html diakses tanggal 12

(36)

B. Rumusan Delik Dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Dalam

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001

a. Rumusan Delik

1. Memperkaya diri atau orang lain secara melawan hukum

Perumusan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi)

yang memenuhi unsur secara melawan hukum, melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan demikian, pelaku

tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “setiap orang”, tidak ada

keharusan pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak

berstatus sebagai pegawai negeri attau korporasi, yang dapat berbentuk badan

hukum atau perkumpulan.20

2. Delik pasal 3 ( penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atauu sarana).

Bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang-perorangan dan korporasi

yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak

pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat atau pegawai

negeri.21

3. Menyuap pegawai Negeri atau penyelenggara Negara.

Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyangkut

suap aktif, yang menghukum setiap orang ( perseorangan dan korporasi) yang

(37)

28

pegawai Negeri atau penyelenggara Negara. Jadi, pelaku dari tindak pidana

korupsi menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ini

adalah setiap orang, yakni orang perseorangan dan korporasi.22

4. Menyuap Hakim dan Advokat

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang

suap pasif. Maksudnya ketentuan tersebut melrang Hakim atau Advokat yang

menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Hukumannya adalah sama dengan pelaku suap aktifnya, yakni yang

memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim atau Advokat.23

5. Perbuatan curang.

Adapun perbuatan yang dilarang oleh pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 ini adalah Perbuatan Curang. Yaitu, tipu daya, memakai nama

palsu, atau keadaan tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya.24

6. Penggelapan Dalam Jabatan.

Perbuatan yang dilarang disini adalah dengan sengaja menggelapkan uang

atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang

atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, bahwa

perbuatan itu menjadi niat dari pelaku. Ini diatur dalam pasal 56 KUHP.25

7. Memalsu Buku atau Daftar Khusus Pemeriksaan Administrasi.

Menurut pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan yang

dilarang oleh pasal ini adalah dengan sengaja memalsu buku-buku atau

(38)

8. Menggelapkan, Menghancurkan, Merusakkan Barang.

Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 pasal 10 mengatakan “ dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Dan paling banyak Rp 350.000.000,00 ( tiga ratus lima puluh juta rupiah)

pegawai negeri atau orang selai pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan

suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,

dengan sengaja:

a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat

dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakini

atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai

karena jabatannya; atau

b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,

atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut;

atau

c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut.27

9. Menerima Hadiah atau Janji

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengatakan “ Dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau

(39)

30

10. Gratifikasi.

Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 tahun2001 mengatakan sebagai

berikut;

a. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara begara

dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan

yang berlawanan dengan kewajiban atau tgasnya dengan ketentuan

sebagai berikut:

1) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan oleh

penerima gratifikasi:

2) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap dilakukan

oleh Penuntut Umum.

b. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).29

11. Tindak Pidana Korupsi (TPK) pasal 13.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini tidak mengkualifikasikan

sebagai pelaku pejabat atau pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji

(40)

Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya

jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik

tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.31

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa

bentuk yaitu:

1. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, pengaturannya diatur dalam

pasal 7 ayat 1 huruf a undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemborongan berbuat curang.

2. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, ada

diatur dalam pasal 12 huruf 1 undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri turut serta dalam

pengadaan yang diurusnya.

3. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan Negara.

a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dapat merugikan keuangan

Negara, diatur dalam pasal 2 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat

merugikan keuangan Negara, diatur dalam pasal 3 undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.32

4. Korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap

a. Menyuap pegawai negeri, diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang Nomor 20 tahun 2001, dimana

(41)

32

orang lain, dimana apa yang di janjikan tersebut akan diberikan apabila orang

lain tersebut (pegawai negeri) telah berbuat atau tidak berbuat dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

b. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya, diatur

dalam pasal 11 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

c. Hakim dan advokat menerima suap, diatur dalam pasal 6 ayat 2

undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang-undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

5. Member hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, diatur dalam pasal 13

undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo undang-undang Nomor 20 Tahun

2001.33

b. Pertanggungjawaban tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana

korupsi yaitu:

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang

Kepegawaian.

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana.

33R. Wiyono,

(42)

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.34

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Berdasarkan ketentuan undang nomor 31 Tahun 1999 jo

undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim

terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi.

1. Pidana Penjara

Merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara

paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak dapat berpartisipasi

dalam kehidupan social sesuai yang ia kehendaki. Namun, waktu pemidanaannya

dipergunakan demi kepentingan reclassering(permasyarakatan atau pembinaan).

Pengaturan pidana penjara menurut KUHP adalah sebagian berikut:

a. Seumar hidup (tanpa minimal atau maksimal)

b. Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun

sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas maksium

umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 Tahun dalam hal :

c. Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

(43)

34

d. Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara sementara 20 tahun.

e. Ada pemberantasan umum yaitu, concursus/ pembarengan yang diatur dalam

pasal 65 hingga pasal 70, reseidve/ pengulangan yang diatur dalam pasal 486

hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang jabatan, dan

pasal 52a tentang menyalgunakan bendera.

f. Ada pemberantan khusus, seperti pasal 355 ja pasal 356 mengenai

penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.35

2. Pidana Mati

Berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun

berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena

pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang

merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi atau

diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan

kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang

diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan pidana mati

selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak serta merta pasti

menjatuhkan hukuman mati kepala pelanggar pasal yang diancam pidana mati.36.

di dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana

yang diancam mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati disini diancam apabila

tindak pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu

dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 undang-udang pemberantasan tindak

pidana korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan

bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana

35

Evi hartanti, Op.Cit, hal 12-14 36Efi Laila Kholis,

(44)

nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu Negara

dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.37

3. Pidana Tambahan

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan memiliki terpidana di mana tindak

pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan

barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1

Tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

pemerintahan kepada terpidana.

e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap,

maka harta bendanya dapat disita olek jaksa dan dilelang untuk menutupi

uang pengganti tersebut.

f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang penggantimaka terpidana dengan pidana penjara yang

lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai

ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana

(45)

36

4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya

Dalam hal ini terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan

disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, maka

penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut

kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan

untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.39

5. Terhadap tindak pidana yang berlaku oleh atas nama suatu korporasi, di mana

pidana pokok yang dapat dijatuhkankan adalah pidana denda dengan ketentuan

maksimum ditambah 1/3.

Berdasarkan kententuan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidan korupsi,.40

C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 (disingkat

KAK 2003) ada 4 macam bentuk tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of

National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam

ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization

and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur

mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public

Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau

memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung

39

Ibid, hal 15

40Jur. Andi Hamzah, korupsi Di Indonesia Malasah Dan Pemecahannya. Penerbit PT. Gramedia

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, komunikasi merupakan bagian dari strategi politik untuk membangun citra partai yang inklusif dan menghilangkan citra partai yang eksklusif, menghilangkan stigma miring

Gambar 13. Optimasi Permukaan Zat Warna Model Kuhn Model Connolly.. Jika struktur telah terlihat pindahkan struktur tersebut ke word cara menekan tombol PrtSc yang ada

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk (a) mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengaruh pengelolaan barang milik daerah dari segi penatausahaannya yang terdiri

Sebaliknya makin tinggi kadar air dalam bahan, makin cepat mikroorganisme berkembangbiak sehingga proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat (Winarno, 2002).

Berbeda dengan penggunaan anatomi hewan pada perancangan karya yang memiliki kelemahan tersebut, penggunaan perilaku hewan untuk menarasikan kondisi atau ekspresi

Pertama, pelaksanaan kegiatan storytelling pada Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi merupakan kegiatan yang efektif untuk meningkatkan jumlah pengunjung

Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian adalah.

Pengumpulan data melalui lembar penilaian observasi guru dan observasi aktivitas siswa dan lembar soal evaluasi siswa, menunjukan bahwa pembelajaran menggunakan