PENGARUH KETANGGUHAN SAMBUNGAN LAS PADA
MATERIAL ALUMINIUM-MAGNESIUM TERHADAP BEBAN
IMPAK DENGAN VARIASI SUDUT KAMPUH V 60
oDAN 90
oSKRIPSI
Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
HARRY PRAMANA
NIM.080401107
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah saya ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga tugas sarjana ini dapat
selesai. Tugas sarjana yang berjudul “Pengaruh Ketangguhan Sambungan Las
Pada Material Aluminium-Magnesium Terhadap Beban Impak Dengan
Variasi Sudut Kampuh V 60o dan 90o” ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik Mesin Program Reguler di
Departemen Teknik Mesin – Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Selama pembuatan tugas sarjana ini dimulai dari penelitian sampai
penulisan, saya banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Kedua orangtuaku, Ayahanda Ir. Zul Yusri Lubis dan Ibunda T. Sahara
Rosnani yang telah memberikan perhatian, do’a, nasehat dan dukungan baik
moril maupun materil, juga adik-adikku Hendry Prabowo, Cynthia Zulina,
dan Cindy Zulani yang terus menerus memberikan masukan selama
pembuatan tugas sarjana ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME. selaku dosen pembimbing Tugas
sarjana yang telah banyak membantu menyumbang pikiran dan meluangkan
waktunya dalam memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas sarjana
ini.
3. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri selaku ketua Departemen Teknik
Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Zulfikar, ST, MT, Nuzuli, ST, dan kepada timPeneliti Impak Fracture
Research Center (IFRC) yang telah membantu penulis.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Teknik Mesin,
Ibu Ismawati, Kak Sonta, Bapak Syawal, Bang Sarjana, dan Bang Lilik yang
6. Anggota dalam tim penelitian ini, Syahrul Ramadhan, dan Ikram atas kerja
sama dan waktu yang diberikan sehingga laporan ini bisa terselesaikan.
Penelitian ini merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga bagi saya
untuk dapat meningkatkan ilmu, dan kualitas, serta pengalaman yang tidak
akan pernah saya lupakan.
7. Shanaz Olivia Hutami yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya
agar selalu berjuang menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh teman–teman stambuk 2008, Munawir, Gio, Ary Fadila, Rozy, Felix,
Maraghi, Ramadhan dan yang lainnya yang namanya tidak dapat saya
sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik selama
perkuliahan maupun dalam pembuatan tugas sarjana ini.
Saya menyadari bahwa tugas sarjana ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat diharapkan demi
kesempurnaan skrispi ini. Semoga tugas sarjana ini bermanfaat dan berguna bagi
semua pihak.
Medan, Juli 2013
Harry Pramana
ABSTRAK
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketangguhan material adalah sifat mekanik
dari material tersebut. Jika material diberi proses pengelasan, maka akan dapat
merubah sifat mekanik dari material tersebut. Untuk mengkaji hal tersebut
disusunlah sebuah konsep penelitian yang terdiri dari dua tahapan. Mengukur
ketangguhan impak hasil pengelasan akibat variasi besar sudut kampuh V 60o dan
90o terhadap variasi paduan aluminium-magnesium dan memeriksa cacat las pada
hasil lasannya. Hasil dari pengujian menunjukkan pengelasan dengan variasi
sudut kampuh V 60o pada paduan paduan aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 2.2% dan dengan sudut kampuh 60o mempunyai nilai ketangguhan
impak rata-rata yang lebih baik dibandingkan sudut kampuh 90o, nilai
ketangguhan impak yang dihasilkan untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut
kampuh 60o adalah 0,2877 Joule/mm2, untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut
kampuh 90o adalah 0,2739 Joule/mm2, Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh
60o adalah 0,3064 Joule/mm2, dan untuk Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh
90o adalah 0,3038 Joule/mm2. Pengujian pada pengelasan oxy-acetylen gas untuk
paduan aluminium-magnesium, menunjukkan bahwa sudut kampuh dan
penambahan kadar magnesium mempengaruh hasil lasan (ketangguhan impak).
Kata kunci: ketangguhan impak, pengelasan oxy-acetylene, sudut kampuh,
ABSTRACT
One of the factors that affect material toughness is the mechanical properties of
the material . If the material given welding process , it will be able to change the
mechanical properties of the material . To look into the matter was composed of a
concept study consisted of two phases . Measuring the impact toughness weld
seam angle due to large variations in V 60o and 90o to the variation of
aluminum-magnesium alloy welding defects and check on the results welding . Results of the
testing showed the variation of the welding seam V 60o angle on
aluminum-magnesium alloy with aluminum-magnesium levels of 2.2 % and at an angle of 60o seam has
a value of impact toughness on average better than the seam angle 90o, the
resulting impact toughness values for Al 98%-Mg1.4% at an angle of 60° is
0.2877 Joule/mm2 hem , for the Al 98%-Mg 1.4 % at an angle of 90° is 0.2739
Joule/mm2 hem, Al 97 %-Mg 2.2% at an angle of 60o hem is 0,3064 Joule/mm2,
and 97 % for Al-Mg 2.2 % at an angle of 90° is 0.3038 Joule/mm2 hem . Tests on
Oxy-Acetylene gas welding for aluminum-magnesium alloy, showed that the
addition of the corner seam and welded magnesium levels influence the outcome
(impact toughness).
Keywords: impact toughness, oxy-acetylene welding, seam angle,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ………. iii
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR NOTASI ………... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ……….... 1
1.2 Perumusan Masalah ……….... 2
1.3 Tujuan Penelitian ……… 3
1.3.1 Tujuan Umum ……….. 3
1.3.2 Tujuan Khusus ……….. 3
1.4 Batasan Masalah ………. 3
1.5 Manfaat Penelitian ……….. 4
1.6 Sistematika Penulisan ………. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………. 6
2.1 Pengelasan ……….. 6
2.1.2 Las Oxy-Acetylene ………... 8
2.2 Pengelasan pada Aluminium ……….. 15
2.2.1 Aluminium dan Paduannya ……….. 15
2.2.2 Sifat Umum Dari Beberapa Jenis Paduan ………… 15
2.2.3 Paduan Aluminium Magnesium……..……….. 18
2.2.4 Sifat Mampu Las ... 19
2.3 Cacat Pada Las ……… 20
2.4 Metode Non Destructive Test……… 32
2.5 Uji Impak ……… 36
2.5.1 Pengujian Impak Metode Charpy ………. 37
2.5.2 Mesin Uji Impak ……… 38
2.5.3 Jenis Patahan ... 43
2.6 Kampuh Las ……… 44
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN……… 48
3.1 Jadwal Penelitian dan Lokasi Penelitian ………. 48
3.2 Metode Penelitian ……… 48
3.3 Variabel-Variabel Pengujian ………... 49
3.3.1 Spesimen ……… 49
3.3.2 Elektroda yang Digunakan ……… 50
3.3.3 Proses Pembentukan ……….. 51
3.5 Prosedur Pengujian Impak ……….. 54
3.6 Prosedur Pembentukan Kampuh ...……….. 58
3.6 Diagram Alir ………... 59
BAB 4 HASIL DAN DISKUSI……….. 60
4.1 Pendahuluan ………... 60
4.2 Hasil Pengujian ……….. 60
4.2.1 Hasil Pengujian Cacat Las …...………. 60
4.2.2 Hasil Pengujian Impak …...………. 61
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………...………... 72
5.1 Kesimpulan ………. 72
5.2 Saran ……… 73
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Klasifikasi pengelasan ………. 8
Gambar 2.2. Tabung oksigen dan acetylene………. 9
Gambar 2.3. Nyala karburasi ………. 11
Gambar 2.17. Penetrasi berlebihan ……….. 27
Gambar 2.18. Retak akar ………. 28
Gambar 2.25. Pembebanan metode Charpy dan metode Izod …………... 37
Gambar 2.26. Mesin uji impak charpy ………... 39
Gambar 2.28. Sifat-sifat patahan ………... 44
Gambar 2.29. Jenis-jenis sambungan las ………... 47
Gambar 3.1. Kawat las AWS-A5.2 ... 50
Gambar 3.2. Bentuk dan ukuran spesimen ……… 51
Gambar 3.3. Spesimen yang telah disemprot cairan penetran ………….. 53
Gambar 3.4. Cairan developer, penetran, dan cleaner ………... 53
Gambar 3.5. Mesin impak Charpy ……… 54
Gambar 4.1. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 1.4% dan sudut kampuh 90o……….. 62 Gambar 4.2. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 2,2% dan sudut kampuh 90o……….. 63 Gambar 4.3. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 1,4% dan sudut kampuh 60o……….. 64 Gambar 4.4. Spesimen aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 2,2% dan sudut kampuh 60o……….. 64
Gambar 4.5. Grafik perbandingan nilai variasi kadar magnesium
terhadap sudut kampuh 60o………... 68
Gambar 4.6. Grafik perbandingan nilai variasi kadar magnesium
terhadap sudut kampuh 90o………... 69 Gambar 4.7. Grafik nilai ketangguhan impak pada spesimen ...
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 1,4% dan Sudut kampuh 90o………… 62
Tabel 4.2. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 2,2% dan Sudut kampuh 90o………… 63
Tabel 4.3. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 1,4% dan Sudut kampuh 60o………… 63
Tabel 4.4. Hasil pengujian impak pada spesimen aluminium-magnesium
dengan kadar magnesium 1,4% dan Sudut kampuh 60o………… 64
Tabel 4.5. Hasil perhitungan data ……….. 67
Tabel 4.6. Perbandingan nilai variasi kadar magnesium terhadap sudut
kampuh 60o ... 68
Tabel 4.7. Perbandingan nilai variasi kadar magnesium terhadap sudut
DAFTAR NOTASI
Ep = Energi Potensial.
Em = Energi Mekanik.
I = Nilai ketangguhan impak (Joule/mm2)
E = Energi yang diserap (Joule)
m = Massa Bandul (Kg)
g = Gravitasi (m/s2)
h1 = Ketinggian awal bandul (m)
h2 = Ketinggian akhir bandul (m)
λ = Jarak lengan pengayun (m)
α = Sudut posisi awal pendulum
β = Sudut posisi akhir pendulum
ABSTRAK
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketangguhan material adalah sifat mekanik
dari material tersebut. Jika material diberi proses pengelasan, maka akan dapat
merubah sifat mekanik dari material tersebut. Untuk mengkaji hal tersebut
disusunlah sebuah konsep penelitian yang terdiri dari dua tahapan. Mengukur
ketangguhan impak hasil pengelasan akibat variasi besar sudut kampuh V 60o dan
90o terhadap variasi paduan aluminium-magnesium dan memeriksa cacat las pada
hasil lasannya. Hasil dari pengujian menunjukkan pengelasan dengan variasi
sudut kampuh V 60o pada paduan paduan aluminium-magnesium dengan kadar
magnesium 2.2% dan dengan sudut kampuh 60o mempunyai nilai ketangguhan
impak rata-rata yang lebih baik dibandingkan sudut kampuh 90o, nilai
ketangguhan impak yang dihasilkan untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut
kampuh 60o adalah 0,2877 Joule/mm2, untuk Al 98%-Mg 1.4% dengan sudut
kampuh 90o adalah 0,2739 Joule/mm2, Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh
60o adalah 0,3064 Joule/mm2, dan untuk Al 97%-Mg 2.2% dengan sudut kampuh
90o adalah 0,3038 Joule/mm2. Pengujian pada pengelasan oxy-acetylen gas untuk
paduan aluminium-magnesium, menunjukkan bahwa sudut kampuh dan
penambahan kadar magnesium mempengaruh hasil lasan (ketangguhan impak).
Kata kunci: ketangguhan impak, pengelasan oxy-acetylene, sudut kampuh,
ABSTRACT
One of the factors that affect material toughness is the mechanical properties of
the material . If the material given welding process , it will be able to change the
mechanical properties of the material . To look into the matter was composed of a
concept study consisted of two phases . Measuring the impact toughness weld
seam angle due to large variations in V 60o and 90o to the variation of
aluminum-magnesium alloy welding defects and check on the results welding . Results of the
testing showed the variation of the welding seam V 60o angle on
aluminum-magnesium alloy with aluminum-magnesium levels of 2.2 % and at an angle of 60o seam has
a value of impact toughness on average better than the seam angle 90o, the
resulting impact toughness values for Al 98%-Mg1.4% at an angle of 60° is
0.2877 Joule/mm2 hem , for the Al 98%-Mg 1.4 % at an angle of 90° is 0.2739
Joule/mm2 hem, Al 97 %-Mg 2.2% at an angle of 60o hem is 0,3064 Joule/mm2,
and 97 % for Al-Mg 2.2 % at an angle of 90° is 0.3038 Joule/mm2 hem . Tests on
Oxy-Acetylene gas welding for aluminum-magnesium alloy, showed that the
addition of the corner seam and welded magnesium levels influence the outcome
(impact toughness).
Keywords: impact toughness, oxy-acetylene welding, seam angle,
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada era industrialisasi dewasa ini teknik pengelasan telah banyak
dipergunakan secara luas pada penyambungan logam, konstruksi bangunan dan
konstruksi mesin. Penggunaan teknologi pengelasan dan sambungan ini
disebabkan karena bangunan dan mesin yang dibuat dengan teknik penyambungan
menjadi ringan dan lebih sederhana dalam proses pembuatannya.
Ruang lingkup penggunaan teknologi pengelasan ini cakupannya meliputi
rangka baja, perkapalan, jembatan, kereta api, pipa saluran dan lain sebagainya.
Dalam pekerjaan konstruksi, pengelasan bukan tujuan utamanya melainkan sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih sempurna (baik). Dalam pengerjaan pengelasan
kita harus memperhatikan kesesuaian pada konstruksi las agar tercapai hasil yang
maksimal. Untuk itu pengelasan harus diperhatikan beberapa hal yang penting,
diantaranya efisiensi pengelasan, penghematan tenaga, penghematan energi, dan
tentunya dengan biaya yang murah.
Pengelasan adalah proses penyambungan antara dua bagian logam atau
lebih dengan menggunakan energi panas, secara umum pengelasan dapat diartikan
sebagai suatu ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang
dilaksanakan saat logam dalam keadaan cair.
Sambungan las merupakan bagian yang paling rawan terjadi kegagalan pada
pengaruh panas dan kecenderungan terdapat cacat pengelasan pada sambungan.
Pada komponen/konstruksi yang mengalami beban dinamis, hal tersebut
merupakan salah satu faktor penentu dalam ketangguhan material. Berbagai upaya
dilakukan untuk mengantisipasi kerawanan tersebut seperti pengelasan yang benar
sesuai WPS (Welding Procedure Specification).
Aluminium dan paduan aluminium termasuk logam ringan yang memiliki
kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan merupakan konduktor listrik yang cukup
baik. Aluminium memiliki ductility yang bagus pada kondisi dingin dan memiliki
daya tahan korosi yang tinggi.. Aluminium dan paduannya memiliki sifat mampu
las yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh sifat aluminium itu sendiri seperti
konduktivitas panas yang tinggi, koefisien muai yang besar, reaktif dengan udara
membentuk lapisan aluminium oxide serta berat jenis dan titik cairnya yang
rendah.
Aluminium terdiri dari beberapa kelompok yang dibedakan berdasarkan
paduan penyusunnya. Penambahan paduan ini akan menghasilkan sifat yang
berbeda. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini mengambil judul:
“Pengaruh Ketangguhan Sambungan Las Pada Material Aluminium-Magnesium
Terhadap Beban Impak Dengan Variasi Sudut Kampuh V 60o dan 90o.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini menggunakan bahan bermaterial aluminium-magnesium yang
dengan menggunakan las oxy-acetylene. Spesimen dilakukan uji penetran dan uji
impak.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan nilai ketangguhan sambungan las pada material
aluminium-magnesium terhadap beban impak dengan variasi sudut kampuh V 60o
dan 90o.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Memeriksa cacat yang terjadi setelah proses pengelasan.
2. Mengukur nilai ketangguhan material Al 98%-Mg 1.4% dan Al
97%-Mg 2.2% akibat variasi sudut kampuh V 60o dan 90o terhadap
pengujian impak Charpy.
1.4 Batasan Masalah
Adapun batasan dari penelitian ini yaitu:
1. Jenis Las yang digunakan adalah jenis las oxy-acetylene dengan variasi
sudut kampuh V 60o dan 90o.
2. Material yang digunakan adalah Al 98%-Mg 1.4% dan Al 97%-Mg
2.2%.
3. Suhu spesimen pada saat pengujian dilakukan adalah pada suhu normal.
1.5 Manfaat Penelitian
Sebagai peran nyata dalam pengembangan teknologi khususnya pada
pengelasan, maka penulis berharap dapat mengambil manfaat dari penelitian ini,
diantaranya:
1. Sebagai literatur pada penelitian yang sejenisnya dalam rangka
pengembangan teknologi khususnya di bidang pengelasan.
2. Sebagai informasi bagi juru las untuk meningkat kualitas hasil
pengelasan.
3. Sebagai informasi penting guna meningkatkan pengetahuan bagi
peneliti dalam bidang pengujian bahan, pengelasan dan bahan teknik.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun sedemikian rupa sehingga konsep penulisan
proposal maenjadi berurutan dalam kerangka alur pemikiran yang mudah dan
prektis. Sistematika tersebut disusun dalam bentuk bab-bab yang saling berkaitan
satu sama lain yang terdiri dari 5 bab.
Bab 1 Pendahuluan, bab ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai
Tugas Akhir yang meliputi, pembahasan tentang latar belakang, perumusan
masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Pustaka,
berisikan landasan teori dan studi literatur yang berkaitan dengan pokok
permasalahan serta metode pendekatan yang digunakan untuk menganalisa
persoalan. Bab 3 Metodologi Penelitian, berisikan metode pengujian. Berisi juga
yang digunakan dalam pengamatan. Bab 4 Hasil dan Pembahasan, berisikan
penyajian hasil yang diperoleh dari uji impak. Bab 5 Kesimpulan dan Saran,
berisikan jawaban dari tujuan penelitian. Daftar Pustaka, berisikan literatur yang
digunakan sebagai refenrensi dalam penulisan tugas akhir ini. Lampiran,
merupakan lampiran data-data yang diperoleh selama penelitian berupa form asli
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelasan
Pengelasan (welding) adalah salah salah satu teknik penyambungan logam
dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau
tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan
sambungan yang continue.
Definisi pengelasan menurut DIN (Deutsche Industrie Normen) adalah
ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan
dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las adalah sambungan setempat
dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Dalam proses
penyambungan ini adakalanya disertai dengan tekanan dan material tambahan
(filler material).
Teknik pengelasan secara sederhana telah diketemukan dalam rentang
waktu antara 4000 sampai 3000 SM. Setelah energi listrik dipergunakan dengan
mudah, teknologi pengelasan maju dengan pesatnya sehingga menjadi sesuatu
teknik penyambungan yang mutakhir. Hingga saat ini telah dipergunakan lebih
dari 40 jenis pengelasan.
Pada tahap-tahap permulaan dari pengembangan teknologi las, biasanya
pengelasan hanya digunakan pada sambungan-sambungan dari reparasi yang
kurang penting. Tapi setelah melalui pengalaman dan praktek yang banyak dan
penggunaan konstruksi-konsturksi las merupakan hal yang umum di semua negara
di dunia.
Terwujudnya standar-standar teknik pengelasan akan membantu
memperluas ruang lingkup pemakaian sambungan las dan memperbesar ukuran
bangunan konstruksi yang dapat dilas. Dengan kemajuan yang dicapai sampai saat
ini, teknologi las memegang peranan penting dalam masyarakat industri modern.
2.1.1 Klasifikasi Cara-cara Pengelasan
Sampai pada waktu ini banyak sekali cara-cara pengklasifikasian yang
digunakan dalam bidang las, ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan
dalam hal tersebut. Secara konvensional cara-cara pengklasifikasiaan tersebut
pada waktu ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu klasifikasi berdasarkan
cara kerja dan klasifikasi berdasarkan energi yang digunakan. Klasifikasi pertama
membagi las dalam kelompok las cair, las tekan, las patri dan lain-lainnya,
sedangkan klasifikasi yang kedua membedakan adanya kelompok-kelompok
seperti las listrik, las kimia, las mekanik dan seterusnya. Bila diadakan klasifikasi
yang lebih terperinci lagi, maka kedua klasifikasi tersebut di atas akan terbaur.
Di antara kedua cara klasifikasi tersebut, kelihatannya klasifikasi
berdasarkan cara kerja lebih banyak digunakan, berdasarkan klasifikasi ini
pengelasan dapat dibagi dalam tiga kelas utama yaitu:
1. Pengelasan cair adalah cara pengelasan di mana sambungan dipanaskan
sampai mencair dengan sumber panas dari busur listrik atau semburan
2. Pengelasan tekan adalah cara pengelasan di mana sambungan
dipanaskan dan kemudian ditekan hingga menjadi satu.
3. Pematrian adalah cara pengelasan di mana sambungan diikat dan
disatukan dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik
cair rendah. Dalam cara ini logam induk tidak turut mencair.
Klasifikasi cara pengelasan dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Klasifikasi pengelasan.
(Sumber: http://www.mesin-teknik.blogspot.com)
2.1.2 Las Oxy-Acetylene
Pengelasan dengan oxy-acetylene adalah proses pengelasan secara manual
dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai
atau tanpa logam pengisi. Proses penyambungan dapat dilakukan dengan tekanan
sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam.
Pengelasan dengan gas dilakukan dengan membakar bahan bakar gas yang
dicampur dengan oksigen (O2) sehingga menimbulkan nyala api dengan suhu
tinggi (3000oC) yang mampu mencairkan logam induk dan logam pengisinya.
Jenis bahan bakar gas yang digunakan adalah acetylene, propana atau hidrogen,
sehingga cara pengelasan ini dinamakan las oxy-acetylene atau dikenal dengan
nama las karbit. Gambar tabung oksigen dan acetylene dapat dilihat pada gambar
2.2.
Gambar 2.2 Tabung oksigen dan acetylene.
(Sumber : Sri Widharto, 2007)
Nyala acetylene diperoleh dari nyala gas campuran oksigen dan acetylene
yang digunakan untuk memanaskan logam sampai mencapai titik cair logam
induk. Pengelasan dapat dilakukan dengan atau tanpa logam pengisi. Oksigen
umumnya berasal dari proses pencairan udara dimana oksigen dipisahkan dari
Karbida kalsium keras, mirip batu, berwarna kelabu dan terbentuk sebagai
hasil reaksi antara kalsium dan batu bara dalam dapur listrik. Hasil reaksi ini
kemudian digerus, dipilih dan disimpan dalam drum baja yang tertutup rapat. Gas
acetylene dapat diperoleh dari generator acetylene yang menghasilkan gas
acetylene dengan mencampurkan karbid dengan air atau kini dapat dibeli dalam
tabung-tabung gas siap pakai. Agar aman tekanan gas asetilen dalam tabung tidak
boleh melebihi 100 KPa, dan disimpan tercampur dengan aseton. Tabung
acetylene diisi dengan bahan pengisi berpori yang jenuh dengan aseton, kemudian
diisi dengan gas acetylene. Tabung jenis ini mampu menampung gas acetylene
bertekanan sampai 1,7 MPa.
Nyala hasil pembakaran dalam las oxy-acetylene dapat berubah bergantung
pada perbandingan antara gas oksigen dan gas acetylene nya. Ada tiga macam
nyala api dalam las oxy-acetylene seperti ditunjukkan pada gambar di bawah:
1. Nyala acetylene lebih (Nyala karburasi)
Bila terlalu banyak perbandingan gas acetylene yang digunakan
maka di antara kerucut dalam dan kerucut luar akan timbul kerucut
luar akan terdapat kerucut antara yang berwarna keputih-putihan, yang
panjangnya ditentukan oleh jumlah kelebihan acetylene. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya karburisasi pada logam cair. Nyala ini banyak
digunakan dalam pengelasan logam monel, nikel, berbagai jenis baja
dan bermacam-macam bahan pengerasan permukaan non-ferous.
Gambar 2.3 merupakan gambar nyala karburasi.
Gambar 2.3 Nyala karburasi. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
2. Nyala oksigen lebih (Nyala oksidasi)
Bila gas oksigen lebih daripada yang dibutuhkan untuk
menghasilkan nyala netral maka nyala api menjadi pendek dan warna
kerucut dalam berubah menjadi ungu. Nyala ini akan menyebabkan
terjadinya proses oksidasi atau dekarburisasi pada logam cair. Nyala
yang bersifat oksidasi ini harus digunakan dalam pengelasan fusion dari
kuningan dan perunggu namun tidak dianjurkan untuk pengelasan
lainnya. Gambar 2.4 merupakan gambar nyala oksidasi.
3. Nyala netral
Nyala ini terjadi bila perbandingan antara oksigen dan acetylene
sekitar satu. Nyala terdiri atas kerucut dalam yang berwarna putih
bersinar dan kerucut luar yang berwarna biru bening. Oksigen yang
diperlukan nyala ini berasal dari udara. Suhu maksimum setinggi 3300
sampai 3500o C tercapai pada ujung nyala kerucut. Gambar 2.5
merupakan gambar nyala netral.
Gambar 2.5 Nyala netral. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
Karena sifatnya yang dapat merubah komposisi logam cair maka nyala
acetylene berlebih dan nyala oksigen berlebih tidak dapat digunakan untuk
mengelas baja. Suhu Pada ujung kerucut dalam kira-kira 3000o C dan di tengah
kerucut luar kira-kira 2500o C.
Pada posisi pengelasan dengan oxy-acetylene arah gerak pengelasan dan
posisi kemiringan pembakar dapat mempengaruhi kecepatan dan kualitas las.
Dalam teknik pengelasan dikenal beberapa cara yaitu:
1. Pengelasan di bawah tangan
Pengelasan di bawah tangan adalah proses pengelasan yang
dilakukan di bawah tangan dan benda kerja terletak di atas bidang datar.
(filler rod) dimiringkan dengan sudut antara 30°-40° dengan benda
kerja. Kedudukan ujung pembakar ke sudut sambungan dengan jarak 2–
3 mm agar terjadi panas maksimal pada sambungan. Pada sambungan
sudut luar, nyala diarahkan ke tengah sambungan dan gerakannya
adalah lurus.
2. Pengelasan mendatar (horizontal)
Pada posisi ini benda kerja berdiri tegak sedangkan pengelasan
dilakukan dengan arah mendatar sehingga cairan las cenderung
mengalir ke bawah, untuk itu ayunan brander sebaiknya sekecil
mungkin. Kedudukan brander terhadap benda kerja menyudut 70° dan
miring kira-kira 10° di bawah garis mendatar, sedangkan kawat pengisi
dimiringkan pada sudut 10° di atas garis mendatar.
3. Pengelasan tegak (vertikal)
Pada pengelasan dengan posisi tegak, arah pengelasan
berlangsung ke atas atau ke bawah. Kawat pengisi ditempatkan antara
nyala api dan tempat sambungan yang bersudut 45°-60° dan sudut
brander sebesar 80°.
4. Pengelasan di atas kepala (over head)
Pengelasan dengan posisi ini adalah yang paling sulit
dibandingkan dengan posisi lainnya dimana benda kerja berada di atas
kepala dan pengelasan dilakukan dari bawahnya. Pada pengelasan
posisi ini sudut brander dimiringkan 10° dari garis vertikal sedangkan
5. Pengelasan dengan arah ke kiri (maju)
Cara pengelasan ini paling banyak digunakan dimana nyala api
diarahkan ke kiri dengan membentuk sudut 60° dan kawat las 30°
terhadap benda kerja sedangkan sudut melintangnya tegak lurus
terhadap arah pengelasan. Cara ini banyak digunakan karena cara
pengelasannya mudah dan tidak membutuhkan posisi yang sulit saat
mengelas.
6. Pengelasan dengan arah ke kanan (mundur)
Cara pengelasan ini adalah arahnya kebalikan daripada arah
pengelasan ke kiri. Pengelasan dengan cara ini diperlukan untuk
pengelasan baja yang tebalnya 4,5 mm ke atas.
Keuntungan dan kegunaan pengelasan oxy-acetylene sangat banyak, antara
lain:
1. Peralatan relatif murah dan memerlukan pemeliharaan minimal/sedikit.
2. Cara penggunaannya sangat mudah, tidak memerlukan teknik-teknik
pengelasan yang tinggi sehingga mudah untuk dipelajari.
3. Mudah dibawa dan dapat digunakan di lapangan maupun di pabrik atau
di bengkel-bengkel karena peralatannya kecil dan sederhana.
4. Dengan teknik pengelasan yang tepat hampir semua jenis logam dapat
dilas dan alat ini dapat digunakan untuk pemotongan maupun
2.2 Pengelasan Pada Aluminium
2.2.1 Aluminium dan paduannya
Aluminium dan paduan aluminium termasuk logam ringan yang mempunyai
kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan merupakan konduktor listrik yang cukup
baik. Logam ini dipakai secara luas dalam bidang kimia, listrik, bangunan,
transportasi dan alat-alat penyimpanan. Kemajuan akhir-akhir ini dalam teknik
pengelasan busur listrik dengan gas mulia menyebabkan pengelasan aluminium
dan paduannya menjadi sederhana dan dapat dipercaya. Karena hal ini maka
penggunaan aluminium dan paduannya di dalam banyak bidang telah
berkembang.
Paduan aluminium dapat diklasifikasikan dalam tiga cara, yaitu berdasarkan
pembuatan, dengan klasifikasi paduan cor dan paduan tempa, berdasarkan
perlakuan panas dengan klasifikasi, dapat dan tidak dapat diperlaku-panaskan dan
cara yang ketiga yaitu berdasarkan unsur-unsur paduan. Berdasarkan klasifikasi
ketiga ini aluminium dibagi dalam tujuh jenis yaitu jenis Al murni, Al-Cu, Al-Mn,
Al-Si, Al-Mg, Al-Mg-Si, Al-Zn.
2.2.2 Sifat Umum Dari Beberapa Jenis Paduan
1. Aluminium murni (seri 1000)
Jenis ini adalah aluminium dengan kemurnian antara 99,0% dan
99,9%. Aluminium dalam seri ini di samping sifatnya yang baik dalam
yang memuaskan dalam mampu las dan mampu potong. Hal yang
kurang baik adalah kekuatannya yang rendah.
2. Paduan Al-Cu (seri 2000)
Jenis paduan Al-Cu adalah jenis yang dapat diperlaku-panaskan,
dengan melalui pengerasan endap atau penyepuhan sifat mekanik
paduan ini dapat menyamai sifat dari baja lunak, tetapi daya tahan
korosinya rendah bila dibanding dengan jenis paduan yang lainnya.
Sifat mampu-lasnya juga kurang baik , karena itu paduannya jenis ini
biasanya digunakan pada konstruksi keling dan banyak sekali
digunakan dalam konstruksi pesawat terbang seperti duralumin dan
super duralumin.
3. Paduan Al-Mn (seri 3000)
Jenis paduan ini adalah jenis yang tidak dapat
diperlaku-panaskan sehingga penaikan kekuatannya hanya dapat diusahakan
melalui pengerjaan dingin dalam proses pembuatannya. Bila
dibandingkan dengan jenis aluminium murni paduan ini mempunyai
Karena sifat-sifatnya, maka paduan jenis Al-Si banyak digunakan
sebagai bahan atau logam las dalam pengelasan paduan aluminium baik
paduan cor maupun paduan tempa.
5. Paduan Al-Mg (seri 5000)
Jenis paduan ini termasuk paduan yang tidak dapat
diperlaku-panaskan, teapi mempunyai sifat yang baik dalam daya tahan korosi,
terutama korosi oleh air laut, dan dalam sifat mampu-lasnya. Paduan
Al-Mg banyak digunakan tidak hanya dalam konstruksi umum, tetapi
juga untuk tangki-tangki penyimpanan gas alam cair dan oksigen cair.
6. Paduan Al-Mg-Si (seri 6000)
Jenis paduan ini termasuk dalam jenis yang dapat
diperlaku-panaskan dan mempunyai sifat mampu potong, mampu las dan daya
tahan korosi yang cukup. Sifat yang kurang baik dari paduan ini adalah
terjadi pelunakan pada daerah las sebagai akibat dari panas pengelasan
yang timbul.
7. Paduan Al-Zn (seri 7000)
Jenis paduan ini termasuk jenis yang dapat diperlaku-panaskan.
Biasanya kedalam paduan pokok Al-Zn ditambahkan Mg, Cu, Cr. Sifat
mampu-las dan daya tahannya terhadap korosi kurang menguntungkan.
Dalam waktu akhir-akhir ini paduan Al-Zn-Mg mulai banyak
digunakan dalam kontruksi, karena jenis ini mempunyai sifat mampu
Di samping itu juga pelunakan pada daerah las dapat mengeras kembali
karena pengerasan alamiah.
2.2.3 Paduan Aluminium Magnesium
Dalam paduan biner Al-Mg satu fasa yang ada dalam keseimbangan dengan
larutan padat Al adalah larutan padat yang merupakan senyawa antar logam
Al3Mg2. Sel satuannya merupakan hexagonal susunan rapat (eph) tetapi ada juga
yang sel satuannya kubus berpusat muka (fcc) rumit. Titik eutetiknya adalah 450
ºC, 35% Mg dan batas kelarutan padatnya pada temperature eutektik adalah
17,4% yang menurun pada temperature biasa sampai kira-kira 1,9% Mg, jadi
kemampuan penuaan dapat diharapkan.
Paduan Al-Mg mempunyai ketahanan korosi yang sangat baik disebut
hidrinalium. Paduan dengan 2-3% Mg dapat mudah ditempa, dirol dan diekstrusi.
Paduan Al-Mg umumnya non heat tretable. Seri 5052 banyak digunakan pada
pipa hidrolik, lembarlogampembuatanmobil, truk, dan lain-lain. Seri 5052 biasa
digunakan sebagai bahan tempaan. Paduan 5056 adalah paduan paling kuat
setelah dikeraskan oleh pengerasan regangan apabila diperlakukan kekerasan
tinggi. Paduan 5083 yang dianil adalah paduan antara (4,5% Mg) yang kuat dan
mudah dilas sehingga banyak digunakan sebagai bahan untuk tangki LNG. Seri
5005 dengan 0,8% Mg banyak digunakan sebagai batang profil extrusi. Seri 5050
2.2.4 Sifat Mampu las
Dalam hal pengelasan, paduan aluminium mempunyai sifat yang kurang
baik bila dibandingkan dengan baja. Sifat-sifat yang kurang baik tersebut adalah:
1. Karena panas jenis dan daya hantar panasnya tinggi maka sukar sekali
untuk memanaskan dan mencairkan sebagian kecil saja.
2. Paduan aluminium mudah teroksidasi dan membentuk oksida
aluminium AlO3 yang mempunyai titik cair yang tinggi. Karena sifat ini
maka peleburan antara logam dasar dan logam las menjadi terhalang.
3. Karena mempunyai koefisien muai yang besar, maka mudah sekali
terjadi deformasi sehingga paduan-paduan yang mempunyai sifat getas
panas akan cenderung membentuk retak-panas.
4. Karena perbedaan yang tinggi antara kelarutan hidrogen dalam logam
cair logam padat, maka dalam proses pembekuan yang terlalu cepat
akan terbentuk rongga halus bekas kantong-kantong hidrogen.
5. Paduan aluminium mempunyai berat jenis rendah, karena itu banyak
zat-zat lain yang terbentuk selama pengelasan akan tenggelam. Keadaan
ini memudahkan terkandungnya zat-zat yang tidak dikehendaki ke
dalamnya.
6. Karena titik cair dan viskositasnya rendah, maka daerah yang kena
pemanasan mudah mencair dan jatuh menetes.
Akhir-akhir ini sifat yang kurang baik ini telah dapat diatasi dengan alat dan
selama pengelasan. Dengan kemajuan ini maka sifat mampu las dari paduan
aluminium menjadi lebih baik lagi.
2.3 Cacat Pada las
Jenis Cacat Permukaan Las:
1. Lubang Jarum (Pin Hole)
Sebab: Terbentuk gas di dalam bahan las sewaktu pengelasan akibat
kandungan belerang dalam bahan.
Akibat: Kemungkinan bocor di lokasi cacat.
Penanggulangan: Gouging 100% di lokasi cacat dan perbaiki sesuai
WPS asli. Cacat lubang jarum ditunjukkan pada
gambar 2.6.
Gambar 2.6 Lubang jarum. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
2. Percikan Las (Spatter)
Sebab: Elektrode lembab, kampuh kotor, angin kencang, lapisan
galvanisir, ampere capping terlalu tinggi.
Akibat: Tampak jelek, mengalami karat permukaan.
Penanggulangan: Cukup dibersihkan dengan pahat. Pembersih
memakan bahan induk. Cacat percikan las
ditunjukkan pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Percikan las. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
3. Retak (Crack)
Sebab: Tegangan di dalam material, penggetasan pada bahan dan
daerah terimbas panas, karat tegangan, bahan tidak cocok
dengan kawat las, pengelasan tanpa perlakuan panas yang
benar.
Akibat: Fatal.
Penanggulangan: Diselidiki dulu sebabnya, setelah diketahui baru
ujung-ujung retak dibor dan bagian retak
digouging (dikikis) 100% kemudian diisi dengan
bahan yang cocok sesuai dengan WPS. Jika
sebabnya adalah ketidakcocokan materil atau
retak berada di luar kampuh, maka seluruh
sambungan las berikut bahannya diganti. Cacat
Gambar 2.8 Retak. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
4. Keropos (Porosity)
Sebab: Lingkungan las lembab atau basah, kampuh kotor, angin
berhembus dipermukaan las, lapisan galvanis, salah jenis
arus, salah jenis polaritas, ampere capping terlalu besar.
Akibat: Melemahkan sambungan, tampak buruk, mengawali karat
permukaan.
Penanggulangan: Cacat digerinda hingga hilang kemudian dilas isi
sesuai WPS. Cacat keropos ditunjukkan pada
gambar 2.9.
5. Muka Cekung (Concavity)
Sebab: Tukang las terlalu cepat selesai, amper capping terlalu tinggi,
kecepatan las capping terlalu tinggi, elektroda terlalu kecil,
bukaan sudut kampuh terlalu besar.
Akibat: Melemahkan sambungan, mengawali karat permukaan,
dapat terjadi keretakan akibat tegangan geser.
Penanggulangan: Cukup di sempurnakan bentuk capping dan sedikit
penguat (reinforcement). Cacat muka cekung
ditunjukkan pada gambar 2.10
Gambar 2.10 Muka cekung. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
6. Longsor Pinggir (Undercut)
Sebab: Suhu metal terlalu tinggi, ampere capping terlalu tinggi.
Akibat: Melemahkan sambungan, mengawali karat permukaan.
Penanggulangan: Cukup diisi dengan stringer saja. Undercut yang
tajam seperti takik, dilarang (harus segera
diperbaiki) karena dapat menyebabkan keretakan
notch. Cacat longsor pinggir ditunjukkan pada
Gambar 2.11 Longsor Pinggir. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
7. Penguat berlebihan (Excessive Reinforcement)
Sebab: Elektrode terlalu rapat, kecepatan capping terlalu rendah,
ampere capping terlalu rendah, suhu metal terlalu dingin.
Akibat: Diragukan fusi dan kekuatannya, perlu diuji ultrasonik proba
sudut (angle probe), jika ternyata fusi tidak ada, seluruh
sambungan diapkir.
Penanggulangan: Gounging 100% dan dilas ulang sesuai WPS. Welder
diperingatkan. Cacat penguat berlebihan ditunjukkan
pada gambar 2.12.
Gambar 2.12 Penguat berlebihan. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
8. Jalur Terlalu Lebar (Wide Bead)
Sebab: Mungkin telah terjadi manipulasi mutu las.
Akibat: Jika terbukti, seluruh material diapkir. Cacat jalur terlalu
Gambar 2.13 Jalur terlalu lebar. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
9. Tinggi Rendah (High Low)
Sebab: Penyetelan tidak benar.
Akibat: Sambungan diapkir.
Penanggulangan: Gouging 100%, disetel dan dilas ulang sesuai
WPS. Welder diperingatkan. Cacat tinggi rendah
ditunjukkan pada gambar 2.14.
Gambar 2.14 Tinggi rendah. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
10. Lapis Dingin (Cold Lap)
Sebab: Suhu metel terlalu dingin, ampere capping terlalu rendah,
ayunan (sway) tidak tetap (consistent).
Akibat: Terjadi fusi tidak sempurna dipermukaan dan mungkin juga
Penanggulangan: Bongkar keseluruhan jalur las untuk kemudian
dibuat kampuh lagi dan dilas ulang sesuai WPS.
Cacat lapis dingin ditunjukkan pada gambar 2.15.
Gambar 2.15 Lapis dingin. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
11. Penetrasi Tidak Sempurna (Incomplete Penetration)
Sebab: Celah terlalu sempit, elektrode terlalu tinggi, ampere mesin
las tidak tetap, celah tidak seragam (sempit dan lebar tidak
beraturan), ampere akar las rendah, kampuh kotor, elektrode
terlalu besar.
Akibat: Di bagian cacat berpotensi retak.
Penanggulangan: Gouging 100% pada bagian cacat dan dilas ulang
sesuai WPS. Cacat penetrasi tidak sempurna
ditunjukkan pada gambar 2.16.
12. Penetrasi Berlebihan (Excessive Penetration)
Sebab: Celah terlalu lebar, elektrode terlalu kecil, ampere akar
terlalu tinggi, kecepatan akan terlalu rendah, elektrode
terlalu dalam.
Akibat: Biasa menyebabkan retak akar, karat sebelah dalam,
menghancurkan piq (bola pembersih dalam pipa).
Penanggulangan: Bongkar total, setel kembali dan dilas ulang sesuai
WPS. Cacat penetrasi berlebihan ditunjukkan pada
gambar 2.17.
Gambar 2.17 Penetrasi berlebihan. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
13. Retak Akar (Root Crack)
Sebab: Celah terlalu lebar, elektrode terlalu kecil, ampere akar
terlalu tinggi, kecepatan akan terlalu rendah, elektrode
terlalu dalam.
Akibat: Biasa menyebabkan retak akar, karat sebelah dalam,
menghancurkan piq (bola pembersih dalam pipa).
Penanggulangan: Bongkar total, setel kembali dan dilas ulang sesuai
material diganti. Cacat retak akar ditunjukkan pada
gambar 2.18.
Gambar 2.18 Retak akar. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
14. Terbakar Tembus (Blow Hole)
Sebab: Celah tidak seragam, ampere mesin las tiba-tiba naik, posisi
elektrode naik turun.
Akibat: Pada lokasi cacat sambungan lemahdan terdapat
kemungkinan bocor, mengawali erosi dan karat tegangan
pada lokasi cacat.
Penanggulangan: Gouging 100% di lokasi cacat dan diisi ulang
sesuai WPS. Cacat terbakar tembus ditunjukkan
pada gambar 2.19.
15. Longsor Pinggir Akar (Root Undercut)
Sebab: Suhu metal terlalu tinggi pada saat pengelasan akar, ampere
akan terlalu besar.
Akibat: Mengawali erosi dan karat sebelah dalam, memungkinkan
terjadinya retak takik (notch).
Penanggulangan: Lokasi cacat di gouging 100% dan dilas ulang
sesuai WPS. Cacat longsor pinggir akar
ditunjukkan pada gambar 2.20.
Gambar 2.20 Longsor pinggir akar. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
16. Akar Cekung (Root Concavity/ Such Up)
Sebab: Terhisapnya las akar oleh jalur las di atasnya (khususnya
pada GTAW), kecepatan las akar terlalu tinggi.
Akibat: Melemahkan sambungan, potensi terjadi erosi dan karat
tegangan.
Penanggulangan: Lokasi cacat di gouging 100% dan dilas ulang
sesuai WPS. Cacat akar cekung ditunjukkan pada
Gambar 2.21 Akar cekung. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
17. Stop Start A
Sebab: Penggantian elektrode terlalu mundur.
Akibat: Tampak buruk.
Penanggulangan: Cukup disesuaikan dengan sekitarnya. Cacat stop
start A ditunjukkan pada gambar 2.22
Gambar 2.22 Stop start A. (Sumber : Sri Widharto, 2007)
18. Stop start B
Sebab: Penggantian elektrode terlalu maju.
Akibat: Terjadi bagian yang tidak terjadi (underfill) yang berpotensi
retak.
Penanggulangan: Bersihkan bagian yang underfill. Cacat stop start B
Gambar 2.23 Stop start B. (Sumber: Sri Widharto, 2007)
Cacat las dapat dibagi dalam tiga kelompok, yakni:
1. Kelompok cacat visual
Yakni cacat yang tampak di permukaan las, seperti : spatters
(percikan las), pin hole (lubang jarum), porosity (gelembung
gas/keropos), convacity (cekung), crack (retak) memanjang atau
melintang, cold lap (lapis dingin), undercut (longsor pinggir) baik yang
bertegangan rendah maupun tinggi (notch), excessive reinforcement
(terlalu menonjol), wide bead (terlalu lebar), high low (tinggi
rendah/salah penyetelan), stop start (salah sewaktu mengganti
elektrode).
2. Kelompok cacat non visual
Yakni cacat yang terdapat di permukaan namun tidak tampak
karena berada pada akar las, seperti : porosity, convacity, undercut,
crack, excessive penetration (tembusan berlebihan), incomplete
penetration (tidak ada tembusan), blow hole (terbakar tembus).
Yakni cacat yang terdapat di dalam bahan las yang baru dapat
dideteksi dengan menggunakan teknik uji tanpa merusak seperti :
radiografi, ultrasonik maupun magnetik partikel, seperti : slag inclusion
(inklusi terak), porosity, slag lines (jajaran terak) atau wagon track
(jejak gerobak), crack, worm metal (inklusi tungsten/ logam berat),
incomplete fussion (fusi tidak sempurna), cold lap.
2.4 Metode Non Destructive Test
Adapun Metode utama Non Destructive Testing meliputi:
1. Visual Inspection
Sering kali metode ini merupakan langkah yang pertama kali diambil
dalam NDT.Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak permukaan
dan korosi.Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat oleh
mata telanjang atau dengan bantuan lensa pembesar ataupun boroskop.
2. Liquid Penetrant Test
Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT yang paling
sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan
terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam, seperti
keramik dan plastik fiber. Melalui metode ini, cacat pada material akan
terlihat lebih jelas. Caranya adalah dengan memberikan cairan berwarna
terang pada permukaan yang diinspeksi. Cairan ini harus memiliki daya
cacat dipermukaan material. Selanjutnya, penetrant yang tersisa di
permukaan material disingkirkan. Cacat akan nampak jelas jika perbedaan
warna penetrant dengan latar belakang cukup kontras. Seusai inspeksi,
penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer. Semua
ketidaksempurnaan yang terdapat pada permukaan bahan dapt dideteksi
dengan cara ini, tidak terpengaruh oleh orientasi cacatnya. Sedangkan
cacat-cacat yang terletak dibawah permukaan tidak dapat dideteksi dengan
pengujian ini.
Gambar 2.24 Metode Penetran.
(Sumber: www.google.com)
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah bahwa metode ini hanya
bisa diterapkan pada permukaan terbuka. Metode ini tidak dapat
diterapkan pada komponen dengan permukaan kasar, berpelapis, atau
berpori.
Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan (surface) dan
bawah permukaan (subsurface) suatu komponen dari bahan ferromagnetik
dapat diketahui. Prinsipnya adalah dengan memagnetisasi bahan yang akan
diuji. Adanya cacat yang tegak lurus arah medan magnet akan
menyebabkan kebocoran medan magnet. Kebocoran medan magnet ini
mengindikasikan adanya cacat pada material. Cara yang digunakan untuk
memdeteksi adanya kebocoran medan magnet adalah dengan menaburkan
partikel magnetik dipermukaan. Partikel-partikel tersebuat akan berkumpul
pada daerah kebocoran medan magnet.
Kelemahannya, metode ini hanya bisa diterapkan untuk material
ferromagnetik. Selain itu, medan magnet yang dibangkitkan harus tegak
lurus atau memotong daerah retak serta diperlukan demagnetisasi di akhir
inspeksi.
4. Eddy Current Test
Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnet. Prinsipnya, arus
listrik dialirkan pada kumparan untuk membangkitkan medan magnet
didalamnya. Jika medan magnet ini dikenakan pada benda logam yang
akan diinspeksi, maka akan terbangkit arus Eddy. Arus Eddy kemudian
menginduksi adanya medan magnet. Medan magnet pada benda akan
berinteraksi dengan medan magnet pada kumparan dan mengubah
Keterbatasan dari metode ini yaitu hanya dapat diterapkan pada
permukaan yang dapat dijangkau.Selain itu metode ini juga hanya
diterapkan pada bahan logam saja.
5. Ultrasonic Inspection
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara. Gelombang
suara yang dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisi atau
dipantulkan diamati dan interpretasikan. Gelombang ultrasonic yang
digunakan memiliki frekuensi 0.5 – 20 MHz. Gelombang suara akan
terpengaruh jika ada void, retak, atau delaminasi pada material.
Gelombang ultrasinic ini dibnagkitkan oleh tranducer dari bahan
piezoelektri yang dapat mengubah energi listrik menjadi energi getaran
mekanik kemudian menjadi energi listrik lagi.
6. Radiographic Inspection
Metode NDT ini dapat untuk menemukan cacat pada material dengan
menggunakan sinar X dan sinar gamma. Prinsipnya, sinar X dipancarkan
menembus material yang diperiksa. Saat menembus objek, sebagian sinar
akan diserap sehingga intensitasnya berkurang. Intensitas akhir kemudaian
direkam pada film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka
intensitas yang terekam pada film tentu akan bervariasi. Hasil rekaman
pada film ini lah yang akan memeperlihatkan bagian material yang
2.5 Uji Impak
Menurut Dieter, George E (1988) uji impak digunakan dalam menentukan
kecenderungan material untuk rapuh atau ulet berdasarkan sifat ketangguhannya.
Uji ini akan mendeteksi perbedaan yang tidak diperoleh dari pengujian tegangan
regangan. Hasil uji impak juga tidak dapat membaca secara langsung kondisi
perpatahan batang uji, sebab tidak dapat mengukur komponen gaya-gaya
tegangan tiga dimensi yang terjadi pada batang uji. Hasil yang diperoleh dari
pengujian impak ini, juga tidak ada persetujuan secara umum mengenai
interpretasi atau pemanfaatannya.
Sejumlah uji impak batang uji bertakik dengan berbagai desain telah
dilakukan dalam menentukan perpatahan rapuh pada logam. Metode yang telah
menjadi standar untuk uji impak ini ada 2, yaitu uji impak metode Charpy dan
metode Izod. Metode charpy banyak digunakan di Amerika Serikat, sedangkan
metode Izod lebih sering digunakan di sebagian besar dataran Eropa. Batang uji
metode charpy memiliki spesifikasi, luas penampang 10 mm x 10 mm, takik
berbentuk V. Proses pembebanan uji impak pada metode Charpy dan metode Izod
dengan sudut 45°, kedalaman takik 2 mm dengan radius pusat 0.25 mm.
Batang uji Charpy kemudian diletakkan horizontal pada batang penumpu
dan diberi beban secara tiba-tiba di belakang sisi takik oleh pendulum berat
berayun (kecepatan pembebanan ±5 m/s). Batang uji Izod, lebih banyak
dipergunakan saat ini, memiliki luas penampang berbeda dan takik berbentuk v
pada proses pembebanan. (Dieter, George E., 1988). Metode pembebanan impak
ditunjukkan pada gambar 2.25.
Gambar 2.25 Pembebanan metode Charpy dan metode Izod. (Sumber: Fajar Ismail, 2012)
2.5.1 Pengujian Impak Metode Charpy
Pengujian impak Charpy (juga dikenal sebagai tes Charpy v-notch)
merupakan standar pengujian laju regangan tinggi yang menentukan jumlah
energi yang diserap oleh bahan selama terjadi patahan. Energi yang diserap
adalah ukuran ketangguhan bahan tertentu dan bertindak sebagai alat untuk
belajar bergantung pada suhu transisi ulet getas. Metode ini banyak digunakan
pada industri dengan keselamatan yang kritis, karena mudah untuk dipersiapkan
dan dilakukan. Tes ini dikembangkan pada 1905 oleh ilmuwan Perancis Georges
Charpy. Pengujian ini penting dilakukan dalam memahami masalah patahan
kapal selama Perang Dunia II. Metode pengujian material ini sekarang digunakan
di banyak industri untuk menguji material yang digunakan dalam pembangunan
kapal, jembatan, dan untuk menentukan bagaimana keadaan alam (badai, gempa
bumi, dan lainnya) akan mempengaruhi bahan yang digunakan dalam berbagai
kegetasan atau keuletan suatu bahan (spesimen) yang akan diuji dengan cara
pembebanan secara tiba-tiba terhadap benda yang akan diuji secara statik.
Dimana benda uji dibuat takikan terlebih dahulu sesuai dengan standar
ASTM E23 05 dan hasil pengujian pada benda uji tersebut akan terjadi perubahan
bentuk seperti bengkokan atau patahan sesuai dengan keuletan atau kegetasan
terhadap benda uji tersebut. Percobaan uji impact charpy dilakukan dengan cara
pembebanan secara tiba-tiba terhadap benda uji yang akan diuji secara statik,
dimana pada benda uji dibuat terlebih dahulu sesuai dengan ukuran standar
ASTM E23 05.
2.5.2 Mesin Uji Impak
Mesin uji bentur (impact) yang digunakan untuk mengetahui harga impak
suatu bahan yang diakibatkan oleh gaya kejut pada bahan uji tesebut. Tipe dan
bentuk konstruksi mesin uji bentur beraneka ragam mulai dari jenis konvensional
sampai dengan sistem digital yang lebih maju. Dalam pembebanan statis dapat
juga terjadi laju deformasi yang tinggi kalau bahan diberi takikan, maka tajam
takikan makin besar deformasi yang terkonsentrasikan pada takikan, yang
memungkinkan meningkatkan laju regangan beberapa kali lipat. Patah getas
menjadi permasalahan penting pada baja dan besi. Pengujian impact charpy
banyak dipergunakan untuk menentukan kualitas bahan. Benda uji takikan
berbentuk V yang mempunyai keadaan takikan 2 mm banyak dipakai.
Permukaan benda uji pada impact charpy dikerjakan halus pada semua
Gambar 2.26 Mesin Uji Impak Charpy. (Sumber: http://www.batan.go.id/ )
Takikan dibuat dengan mesin freis atau alat notch khusus takik. Semua
dikerjakan menurut standar yang ditetapkan. Pada pengujian adalah suatu bahan
uji yang ditakikan, dipukul oleh pendulum (bandul) yang mengayun. Dengan
pengujian ini dapat diketahui sifat kegetasan suatu bahan. Berikut ini merupakan
salah satu mesin uji impak.
Cara ini dapat dilakukan dengan cara charpy. Pada pengujian kegetasan
bahan dengan cara impact charpy, pendulum diarahkan pada bagian belakang
takik dari batang uji. Sedangkan pada pengujian impact cara izod adalah pukulan
pukulan pendulum diarahkan pada jarak 22 mm dari penjepit dan takikannya
menghadap pendulum. Standar ASTM untuk pengujian impak ditunjukkan pada
gambar 2.27.
Gambar 2.27 Standar ASTM untuk pengujian impak. (Sumber: http://civil112web01.unm.edu/)
Perbedaan Charpy dengan Izod adalah peletakan spesimen. Pengujian
dengan menggunkan Charpy lebih akurat karena pada Izod, pemegang spesimen
juga turut menyerap energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang
mampu di serap material seutuhnya.
Faktor yang mempengaruhi kegagalan material pada pengujian impak
adalah:
1. Notch
Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi
tegangan pada daerah yang lancip sehingga material lebih mudah patah.
Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress
menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda
bahwa material akan mengalami kegagalan.
2. Temperatur
Pada temperatur tinggi material akan getas karena pengaruh
vibrasi elektronnya yang semakin rendah, begitupun sebaliknya.
3. Strainrate
Jika pembebanan diberikan pada strain rate yang biasa-biasa
saja, maka material akan sempat mengalami deformasi plastis, karena
pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi akan bergerak menuju ke
batas butir lalu kemudian patah. Namun pada uji impak, strain rate yang
diberikan sangat tinggi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak,
apalagi terjadi deformasi plastis, sehingga material akan mengalami
patah transgranular, patahnya ditengah-tengah atom, bulan di batas
butir.
Pada baja dan aluminium terdapat perbedaan harga impak. Harga impak
baja lebih tinggi daripada aluminium menunjukkan bahwa ketangguhan baja lebih
tinggi jika dibandingkan dengan aluminium. Ketangguhan adalah kemampuan
material untuk menyerap energi dan berdeformasi plastis hingga patah.
Selain suhu, hal lain yang mempengaruhi harga impak suatu material adalah
kadar karbonnya. Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi akan lebih
getas. Hal ini akan mempengaruhi harga impaknya dan temperature transisi.
Material yang memiliki kadar karbon tinggi akan memiliki temperature transisi
karbon rendah. Temperatur transisi yang berbeda-beda ini akan mempengaruhi
ketahanan material terhadap perubahan suhu. Material yang memiliki temperature
transisi rendah maka material tersebut tidak akan tehan terhadap perubahan suhu.
Pada pembebanan impak ini, terjadi proses penyerapan energy yang besar.
Usaha yang dilakukan pendulum waktu memukul benda uji atau energi yang
diserap benda uji sampai patah didapat rumus yaitu :
E = Ep1 – Ep2
= m. g. h1 – m. g. h2
= m . g (h1 – h2 )
= m . g (λ (1- cos α) - λ (cosβ– cos α)
= m. g . λ (cosβ– cos α)
E = m . g. λ (cos β – cos α)
Keterangan: Ep = Energi Potensial
Em = Energi Mekanik
m = Berat Pendulum (Kg)
g = Gravitasi 9,81 m/s2
h1 = Jarak awal antara pendulum dengan benda uji (m)
h2 = Jarak akhir antara pendulum dengan benda uji (m)
λ = Jarak lengan pengayun (m)
cos α = Sudut posisi awal pendulum
Dari persamaan rumus diatas didapatkan besarnya harga impak yaitu:
I = E A
Dimana: I = Nilai Ketangguhan Impak (Joule/mm2)
E = Energi Yang Diserap (Joule)
A = Luas Penampang Dibawah Takikan (mm2)
Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi
tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain
berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang
kunci ( key hole ). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian
impak Charpy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan
jenis perpatahan yang terjadi.
2.5.3 Jenis Patahan
Pada spesimen yang telah dilakukan pengujian impak, akan dapat
diketahui jenis patahan yang dihasilkan. Adapun jenis-jenis patahan tersebut
antara lain:
1.Patahan Getas
Ciri-ciri patahan getas adalah memiliki permukaan rata dan
mengkilap, apabila potongan ini disambung kembali maka kedua
potongan ini akan menyambung dengan baik dan rapat. Hal ini
deformasi. Bahan yang memiliki jenis patahan ini mempunyai
kekuatan impak yang rendah.
2.Patahan Liat
Ciri-ciri permukaan patahan jenis ini tidak rata dan tampak seperti
beludru, buram dan berserat. Jika potongan disambungkan kembali
maka sambungan tidak akan rapat. Bahan yang memiliki jenis patahan
ini mempunyai kekuatan impak yang tinggi, karena sebelum patah
bahan mengalami deformasi terlebih dahulu.
3.Patahan Campuran
Ciri-cirinya patahan jenis ini adalah permukaan patahan sebagian terdiri
dari patahan getas dan sebagian yang lain adalah patahan liat. Sifat-sifat
patahan ditunjukkan pada gambar 2.32.
(a) (b) (c)
Gambar 2.28: Sifat-sifat Patahan (a) Patahan getas, (b) Patahan liat, dan
(c) Patahan campuran
2.6 Kampuh Las
Untuk menghasilkan kualitas sambungan las yang baik, salah satu faktor
yang harus diperhatikan yaitu kampuh las. Kampuh las ini berguna untuk
menampung bahan pengisi agar lebih banyak yang merekat pada benda kerja,
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis kampuh
adalah:
1. Ketebalan benda kerja.
2. Jenis benda kerja.
3. Kekuatan yang diinginkan.
4. Posisi pengelasan.
Sebelum memulai proses pengelasan terlebih dahulu ditentukan jenis
sambungan las yang akan dipilih. Hal-hal yang harus diperhatikan bahwa
sambungan yang dibuat akan mampu menerima beban (beban statis, beban
dinamis, atau keduanya).
Dengan adanya beberapa kemungkinan pemberian beban sambungan las,
maka terdapat beberapa jenis sambungan las, yaitu sebagai berikut:
1. Kampuh V Tunggal
Sambungan V tunggal juga dapat dibuat tertutup dan terbuka.
Sambungan ini juga lebih kuat dari pada sambungan persegi, dan dapat
dipakai untuk menerima gaya tekan yang besar, serta lebih tahan
terhadap kondisi beban statis dan dinamis. Pada pelat dengan tebal 5
mm–20 mm penetrasi dapat dicapai 100%.
2. Kampuh Persegi
Sambungan ini dapat dibuat menjadi 2 kemungkinan, yaitu
sambungan tertutup dan sambungan terbuka. Sambungan ini kuat untuk
3. Kampuh V Ganda
Sambungan ini lebih kuat dari pada V tunggal, sangat baik untuk
kondisi beban statis dan dinamis serta dapat menjaga perubahan bentuk
kelengkungan sekecil mungkin. dipakai pada ketebalan 18 mm-30 mm.
4. Kampuh Tirus Tunggal
Sambungan ini digunakan untuk beban tekan yang besar.
Sambungan ini lebih baik dari sambungan persegi, tetapi tidak lebih
baik dari pada sambungan V. Letaknya disarankan terbuka dan dipakai
pada ketebalan pelat 6 mm-20 mm.
5. Kampuh U Tunggal
Kampuh U tunggal dapat dibuat tertutup dan terbuka.
Sambungan ini lebih kuat menerima beban statis dan diperlukan untuk
sambungan berkualitas tinggi. Dipakai pada ketebalan 12 mm-25 mm.
6. Kampuh U Ganda
Sambungan U ganda dapat jg dibuat secara tertutup dan terbuka,
sambungan ini lebih kuat menerima beban statis maupun dinamis
dengan ketebalan pelat 12 mm-25 mm dapat dicapai penetrasi 100%.
7. Kampuh J Ganda
Sambungan J ganda digunakan untuk keperluan yang sama
dengan sambungan V ganda, tetapi tidak lebih baik untuk menerima
beban tekan. Sambungan ini dapat dibuat secara tertutup ataupun
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan metode-metode yang dilakukan pada proses
pengujian.
3.1 Jadwal Penelitian Dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Logam Fisik Departemen
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan maret sampai dengan bulan juli.
3.2 Metode penelitian
1. Proses pengujian dilaksanakan sepenuhnya, terhadap variable-variabel
yang mempengaruhi pemakaian dari metode penyambungan, dalam hal
ini penyambungan las oxy-acetylene terhadap sambungan pelat
aluminium-magnesium yang ditinjau dari pemeriksaan cacat lasan dan
uji merusak dengan jenis pengujian impak.
2. Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari proses pengelasan yang
dilakukan dari hasil pengujian impak terhadap benda uji sebanyak 12
spesimen, masing-masing 6 spesimen dengan variasi kadar magnesium
Al 98%-Mg 1.4% dan Al 97%-Mg 2.2% dan dengan variasi sudut
kampuh 60o dan 90o. Keseluruhannya dilakukan pengujian penetran dan