• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN PERUBAHAN OVERBITE DAN OVERJET PADA MALOKLUSI ANGLE KLAS II DIVISI 1 SESUDAH PERAWATAN ORTODONTIK TEKNIK BEGG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN PERUBAHAN OVERBITE DAN OVERJET PADA MALOKLUSI ANGLE KLAS II DIVISI 1 SESUDAH PERAWATAN ORTODONTIK TEKNIK BEGG"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN SUDUT INTERINSISAL DENGAN PERUBAHAN OVERBITE DAN OVERJET PADA

MALOKLUSI ANGLE KLAS II DIVISI 1 SESUDAH PERAWATAN ORTODONTIK TEKNIK BEGG

(Kajian Pada Sefalogram Lateral)

TESIS

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Dokter Gigi Spesialis

Program Studi Ortodonsia Kelompok Ilmu Kedokteran Gigi

Kepada Diajukan oleh : Novarini Prahastuti

425/ KG/ SP/ 08

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ORTODONSIA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan tesis ini sebagai prasyarat untuk mencapai derajat Dokter Gigi Spesialis Ortodonsia di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.

Penulis menyadari selama menyelesaikan tugas penulisan tesis ini telah mendapat banyak bantuan, dukungan dan bimbingan dari banyak pihak, sehingga kesulitan dan kendala selama penulisan ini dapat teratasi. Penulis dengan rasa hormat dan tulus menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Gadjah Mada, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi dan Pengelola Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, yang telah memberikan kesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis di Universitas Gadjah Mada.

2. Prof. Dr. drg. Pinandi Sri Pudyani, SU., Sp Ort.(K) selaku pembimbing utama yang selalu memberikan dorongan, pengarahan dan bimbingan dari awal hingga selesai penulisan tesis ini.

3. drg. Darmawan Sutantyo, SU., Sp.Ort (K) selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan saran-saran dari awal hingga selesai penulisan tesis ini.

4. Tim penguji yang memberikan masukan, koreksi dan saran-saran.

(6)

vi 6. Ketua Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada

beserta staf.

7. Pimpinan perpustakaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada beserta staf.

8. Seluruh rekan sejawat mahasiswa PPDGS Ortodonsia terutama angkatan 2008 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.

9. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas ini.

Ucapan terima kasih yang tak tak terhingga penulis sampaikan kepada orangtua dan keluarga tersayang, suami dan anakku Diajeng Desiana Nindyasari dan Diannisa Alya Maharani atas segala doa, pengertian dan pengorbanan yang telah diberikan.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Kedokteran Gigi, khususnya dalam bidang Ortodonsia.

.

Yogyakarta, Januari 2014

(7)

vii i ii iii vi v ix x xi xii xiii 1 1 5 5 5 6 8 8 8 11 12 18 20 21 21 21 21 22 23 25 26 27 28 28 30 HALAMAN JUDUL... TESIS... PENGESAHAN... PERNYATAAN... PRAKATA... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN... A. Latar Belakang... B. Permasalahan... C. Tujuan... D. Manfaat... E. Keaslian Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA... A. Telaah Pustaka... 1. Teknik Begg pada Perawatan Maloklusi Klas II Divisi 1...

2. Sudut Interinsisal... 3. Hubungan Sudut Interinsisal, Overbite dan Overjet... B. Landasan Teori... C. Hipotesis... III. METODE PENELITIAN... A. Jenis Penelitian... B. Subjek Penelitian... C. Bahan dan Alat Penelitian... D. Variabel Penelitian... E. Definisi Operasional... F. Jalannya Penelitian... G. Analisis Data... ... H. Skema Jalannya Penelitian... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... A. Hasil Penelitian... B. Pembahasan...

DAFTAR ISI

(8)

viii V. KESIMPULAN... A. Kesimpulan... B. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

(9)

ix 10 11

15 26 Gambar 1. Komponen gaya anchorage bend dan elastik intermaksiler yang

bekerja pada teknik Begg... Gambar 2. Pergerakan tipping gigi pada teknik Begg... Gambar 3. Hubungan insisivus dalam Tetragon dengan komponen bidang

serta sudut pendukung... Gambar 4. Pengukuran sefalometri dalam penelitian...

DAFTAR GAMBAR

(10)

x Table 1. Nilai rentangan, rerata dan simpangan baku perubahan hasil pengukuran

sudut interinsisisal, overbite dan overjet sesudah perawatan………… Table 2. Uji normalitas Shapiro-Wilk………. Table 3. Hasil análisis korelasi product moment Pearson antara variabel pengaruh

dan variabel terpengaruh... 28 29

29 DAFTAR TABEL

(11)

xi Lampiran 1. Keterangan Kelaikan Etik Penelitian

Lampiran 2. Penapakan Sefalometri Sebelum Perawatan Lampiran 3. Penapakan Sefalometri Sesudah Perawatan

Lampiran 4. Rangkuman Data Sudut Interinsisisal, Overbite dan Overjet Sebelum dan Sesudah Perawatan

Lampiran 5. Analisis Deskriptif Sudut Interinsisisal, Overbite dan Overjet Sebelum Perawatan Ortodontik

Lampiran 6. Analisis Deskriptif Sudut Interinsisisal, Overbite dan Overjet Sesudah Perawatan Ortodontik

Lampiran 7. Analisis Deskriptif Perubahan Sudut Interinsisisal, Perubahan Overbite dan Perubahan Overjet.

Lampiran 8. Uji Normalitas Shapiro-Wilk Sebaran Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh.

Lampiran 9. Hasil Análisis Korelasi Product Moment Pearson antara Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

xii INTISARI

Pergerakan gigi dipengaruhi oleh jenis alat ortodontik yang digunakan dalam perawatan maloklusi. Teknik Begg menggunakan braket yang menghasilkan gerakan tipping. Penggunaan elastik intermaksiler Klas II dengan anchorage bend mengakibatkan retraksi disertai bite opening pada gigi anterior. Palatal root torque auxillary mengubah inklinasi gigi melalui gerakan torque. Perawatan maloklusi Angle Klas II divisi 1 dengan teknik Begg dapat mengubah besar sudut interinsisal, overbite dan overjet akibat rangkaian perubahan inklinasi gigi pada setiap akhir tahap perawatan. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overbite dan perubahan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg.

Penelitian dilakukan pada sefalogram lateral yang diperoleh dari 15 sampel berusia antara 18-35 tahun, kasus maloklusi Angle Klas II divisi 1 yang dirawat dengan teknik Begg disertai pencabutan empat gigi premolar pertama. Masing-masing sefalogram dilakukan pengukuran sudut interinsisal, overbite serta overjet sebelum dan sesudah perawatan. Pengukuran angular untuk mengetahui perubahan sudut interinsisal dengan acuan inklinasi insisivus atas-bawah, sedangkan pengukuran linear untuk mengetahui perubahan overbite dan overjet dengan referensi bidang oklusal.

Sudut interinsisal bertambah (24,53 ± 13,45), overbite berkurang (-1,33 ± 0,69) dan overjet berkurang (-2,20 ± 1,27) sesudah perawatan. Uji korelasi product moment Pearson pada perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overbite menunjukkan hubungan tidak bermakna (P>0,05), dan perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overjet menunjukkan hubungan tidak bermakna (P>0,05). Kesimpulan penelitian ini membuktikan tidak terdapat hubungan antara perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overbite dan perubahan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg.

(13)

xiii ABSTRACT

Tooth movement is influenced by the type of orthodontic appliance that is used in the treatment of malocclusion. The Begg technique uses a bracket that produces tipping movement. The use of intermaxillary Class II elastic with anchorage bend resulting in retraction accompanied by bite opening on the anterior teeth . The palatal root torque auxillary changes the inclination of teeth through torque movement. Treatment of Angle Class II division 1 malocclusion with the Begg technique can change large of the interincisal angle, overbite and overjet that caused by a series of changes in the teeth inclination at each the end of treatment phase. The purpose of this study was determine the correlation between the interincisal angle changes with the overbite changes and the overjet changes in Angle Class II division 1 malocclusion after orthodontic treatment with the Begg technique.

The study was conducted on the lateral sefalogram which obtained from 15 sample between 18-35 years old, cases of Angle Class II division 1 malocclusion which treated with the Begg technique with exctraction of four first premolars. Each of cephalogram was measured on interincisal angle, overbite and overjet before and after treatment. Angular were done to determine the interincisal angle changes with reference to the upper-lower incisor inclination, whereas linear measurements to determine the change overbite and overjet with reference to the occlusal plane.

The result have of this study have shown that the interincisal angle were increased (24.53 ± 13.45), overbite (-1.33 ± 0.69) and overjet (-2.20 ± 1.27) were reduced after treatment. The Pearson product moment correlation test of the interincisal angle changes with the overbite changes have represented a relationship that was not significant (P> 0.05), and that interincisal angle changes with the overjet changes indicated a relationship was not significant (P> 0.05). Conclusion of this study have shown there is no correlation between the interincisal angle changes with the change of overbite and overjet in Angle Class II division 1 malocclusion after orthodontic treatment with the Begg technique. Key words : Angle Class II division 1 malocclusion, interincisal angle, overbite, overjet,

(14)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawatan ortodontik saat ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat umum yang mementingkan penampilan dan keharmonisan wajah. Beberapa ahli meneliti bahwa perubahan dan perbaikan jaringan keras pada wajah termasuk gigi geligi akan memperbaiki profil jaringan lunak (Yogosawa,1989). Oklusi yang optimal merupakan salah satu tujuan perawatan ortodontik. Andrew (1972 sit. Sangcharearn dan Ho, 2007) menyatakan bahwa inklinasi mahkota gigi insisivus yang tepat pada bidang sagital merupakan salah satu kunci oklusi ideal dari 6 kriteria yang disyaratkannya sebagai tujuan akhir dari perawatan ortodontik. Overjet merupakan jarak tepi insisal gigi insisivus atas terhadap gigi insisivus bawah yang diukur pada bidang sagital, sedangkan jarak pada bidang vertikal disebut overbite. Besar overbite dan overjet dipengaruhi besar inklinasi dari gigi-gigi insisivus atas-bawah, hubungan antero-posterior lengkung basal gigi serta tingkat perkembangan vertikal segmen dentoalveolar anterior (Foster,1999). Overbite dan overjet berperan penting pada analisis kasus untuk mencapai kestabilan hasil akhir perawatan ortodontik, keseimbangan serta harmonisasi profil wajah. Beberapa peneliti mengatakan bahwa keharmonisan wajah dalam arah vertikal dan sagital ditentukan oleh besar sudut interinsisal dan tinggi wajah anterior bagian bawah (lower anterior face height/ LAFH) (Johnston dkk., 2005). Menurut Foster (1999) adanya diskrepansi rahang pendukung gigi dalam arah vertikal dan sagital akan mempengaruhi besarnya sudut interinsisal, overjet dan overbite. Suatu maloklusi gigi-geligi dapat dinilai dengan analisis sefalometri.

(15)

Sudut interinsisal merupakan sudut yang dibentuk oleh pertemuan garis inklinasi gigi insisivus atas dan bawah yang berperan dalam kestabilan hasil akhir. Rerata sudut interinsisal berkisar 119,2˚ sampai 136,1˚ dan nilai tersebut bervariasi berdasarkan jenis kelamin ataupun ras (Feire dkk., 2007). Besar sudut interinsisal mempengaruhi overbite, jika sudut interinsisal besar maka overbite besar dan sebaliknya. Overbite yang besar digambarkan dengan inklinasi insisivus atas dan bawah cenderung tipping ke lingual atau palatal, sehingga tidak terjadi kontak insisal insisivus bawah terhadap singulum insisivus atas(Foster, 1999; Feire dkk., 2007).

Sudut interinsisal, overjet dan overbite terletak pada ruang yang dibentuk oleh sudut bidang maksila/palatal dan bidang mandibula (MMPA/ Mandibular-maxillary planes angle). Rerata MMPA adalah 27˚± 4˚, tinggi jika lebih besar dari 31˚ dan rendah jika lebih kecil dari 23˚, yang dalam pengukuran linear (ANS-Me/ Spina Nasalis Anterior–

(16)

3 gerakan tipping insisivus yang terkontrol dan tidak terkontrol terhadap overbite berdasarkan teori bahwa pergerakan gigi akan terjadi disekitar pusat rotasi gigi. Suatu bentuk geometri menggambarkan tipping insisivus yang terkontrol dengan pusat rotasi di apeks serta tipping tidak terkontrol dengan pusat rotasi di dekat pusat resistansi gigi. Pergerakan tersebut akan merubah inklinasi gigi insisivus sehingga terjadi perubahan overbite. Pergerakan bodily diketahui mempunyai pusat rotasi tidak berbatas, sehingga tidak terjadi perubahan inklinasi gigi insisivus dan tidak terjadi perubahan overbite. Keadaan tersebut menjelaskan bahwa perubahan overbite dipengaruhi oleh jenis pergerakan inklinasi gigi selain intrusi-ekstrusi gigi insisivus dan molar.

(17)

4 tipping karena hanya ada one point kontak antara braket dan round wire. Pemakaian elastik intermaksiler Klas II dengan anchorage bend akan mengakibatkan retraksi disertai bite opening pada gigi anterior atas sesudah pencabutan 4 premolar pertama. Pemakaian lingual/ palatal root/ crown torque auxillary spring di gigi anterior akan mengubah inklinasi gigi tersebut melalui gerakan torque(Cadman, 1975).

(18)

5 B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hubungan perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overbite pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg?

2. Bagaimanakah hubungan perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg?

C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui hubungan antara perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overbite pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg

2. Mengetahui hubungan antara perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg

D. Manfaat

1. Menambah informasi mengenai hubungan antara perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overbite dan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg

(19)

6 E. Keaslian Penelitian

Penelitian hubungan insisivus atas dan bawah terhadap overbite serta overjet sudah dilakukan beberapa ahli sebelumnya.

Hellekant dkk.(1989) meneliti perubahan overbite dan overjet pada perawatan maloklusi Angle Klas II divisi 1 dengan membandingkan dua kelompok sampel yang dirawat menggunakan alat ortodontik cekat teknik Edgewise yaitu kelompok dengan pencabutan gigi dan kelompok tanpa pencabutan gigi. Penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan perubahan overbite dan overjet antara kedua kelompok tersebut. Ceylan dkk.,( 2002 ) meneliti perubahan posisi dan inklinasi insisivus atas-bawah serta relasi keduanya terhadap tulang pendukungnya, pada sampel usia pertumbuhan. Penelitian membuktikan bahwa pertambahan umur akan diikuti peningkatan sudut interinsisal dan overbite tanpa peningkatan overjet .

Farida (2002) meneliti hubungan pengaruh perubahan sudut interinsisal dengan perubahan tinggi wajah anterior pada perawatan maloklusi Angle Klas II divisi 1 menggunakan alat ortodontik cekat teknik Begg. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan perubahan sudut interinsisal dengan perubahan tinggi wajah anterior. Sangcharearn dan Ho (2007), meneliti pengaruh inklinasi insisivus terhadap overbite dan overjet pada perawatan kamuflase maloklusi Klas II dengan simulasi menggunakan typodont. MMPA dengan nilai tetap konstan, jika inklinasi insisivus atas-bawah besar maka overjet serta overbite menjadi besar dan jika inklinasi insisivus atas-bawah normal maka overjet serta overbite menjadi normal.

(20)
(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka 1. Teknik Begg pada Perawatan Maloklusi Klas II divisi 1

Maloklusi merupakan penyimpangan oklusi dari nilai normal. Menurut Angle maloklusi Klas II divisi 1 terjadi apabila tonjol distobukal molar permanen pertama atas terletak dalam bukal groove molar permanen pertama bawah dan insisivus atas proklinasi sehingga overjet besar (Linden dkk., 2000).

Karakteristik maloklusi Angle Klas II divisi 1 yaitu mandibula retrognatik, maksila protrusif atau kombinasinya disertai relasi vertikal skeletal rendah dengan overjet besar, overbite besar dan sudut interinsisal tajam. Morfologi skeletal-dental dan diskrepansi skeletal-dentoalveolar yang dimiliki bervariasi luas (Sidlaukas dkk., 2006). Diskrepansi rahang yang besar membatasi pergerakan antero-posterior gigi insisivus sehingga relasi oklusal sulit dicapai (Soliman dkk., 2009).

(22)

9 round wire. Keistimewaan teknik Begg yaitu perawatan dilakukan secara komprehensif sehingga koreksi profil wajah pada kasus Klas II divisi 1 menjadi cepat karena retraksi gigi anterior terjadi bersamaan dengan perubahan oklusi semua gigi dan bite opening, hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan posisi mandibula sebagai akibat gaya dari pemakaian elastik intermaksiler Klas II (Cadman, 1975).

Perawatan teknik Begg dibagi menjadi 3 tahap. Tahap 1, dilakukan general alignment dan koreksi lengkung gigi, meliputi over-koreksi relasi molar, pengurangan overbite dan retraksi insisivus atas secara tipping sehingga dicapai relasi edge to edge terhadap insisivus bawah (Cadmand,1975; Williams sit.Salzmann,1974). Bite opening terjadi melalui ekstrusi molar bawah dan melalui intrusi gigi anterior bawah, yang dihasilkan dari kerjasama gaya elastik intermaksiler Klas II dan anchorage bend (Cadman, 1975). Elastik intermaksiler Klas II memberikan gaya antero-posterior, transversal dan vertikal. Gaya tersebut menyebabkan ekstrusi molar bawah dan insisivus atas serta rotasi bidang oklusal searah jarum jam. Ekstrusi molar yang melebihi pertumbuhan vertikal ramus menyebabkan mandibula berotasi downward (Profit dkk.,2007). Anchorage bend memberikan gayaintrusi pada insisivus atas dan bawah apabila arch wire di pin pada braket slot. Pada keadaan pasif archwire atas dan bawah akan berada tepat di mucco-buccal fold anterior (Fletcher, 1981).

(23)

10 tidak kontinyu. Tepi mesial ridge gigi anchorage molar tidak mengalami elevasi pada keadaan tersebut (Gambar 1)

Pada tahap 2 teknik Begg dilakukan penutupan sisa ruang bekas pencabutan (space closing) dengan menarik gigi posterior ke mesial dan mempertahankan hasil koreksi yang sudah dicapai pada tahap 1. Hasil akhir tahap 2 dicapai koreksi crowding, spacing dan rotasi gigi segmen anterior-posterior serta memungkinan terjadinya posisi tipping gigi insisivus yang berlebihan “dish in” (Cadmand, 1975; Williams sit. Salzmann, 1974). Tahap 3 teknik Begg, hasil koreksi yang sudah dicapai pada tahap 2 dipertahankan dilakukan koreksi gigi posterior yang tilting melalui gerakan uprigting dan torquing gigi anterior yang tipping ke palatal (Cadmand, 1975; Williams sit. Salzmann, 1974). Pemakaian

B

2

2 1 3 1

A

(24)

11 Gambar 2. Pergerakan tipping gigi pada teknik Begg. A. Posisi dan oklusi gigi pada

akhir tahap 1 ; B. Posisi dan oklusi gigi pada permulaan tahap 3.; C. Selama tahap 3 dilakukan torquing akar gigi untuk mendapatkan sumbu inklinasi gigi yang baik (Cadman, 1975).

elastik intermaksiler Klas II mengontrol torquing palatal akar gigi anterior atas sehingga mahkota insisivus atas tertahan terhadap gerakan ke labial. Prosedur torquing tersebut sangat efektif menghasilkan sudut interinsisal yang optimal (Williams sit. Salzmann, 1974). Perawatan teknik Begg pada 3 tahapan yang dilakukan menggambarkan adanya perubahan inklinasi gigi anterior di setiap akhir tahap perawatan (Cadman, 1975). (Gambar 2).

2. Sudut Interinsisal

Sudut interinsisal pertama kali diperkenalkan oleh Down dengan definisi derajat prokumbensi gigi insisivus yang dibentuk oleh perpotongan panjang inklinasi insisivus atas dan bawah (Linden dkk., 2000). Sudut interinsisal pada oklusi normal, secara estetik membentuk profil wajah yang lurus (Profit dkk., 2007) dan merupakan faktor utama kestabilan dalam mencegah relaps hasil perawatan ortodontik (Rakosi,1982).

Oklusi normal insisivus menurut British Standard Institute, apabila insisal insisivus bawah berkontak tepat dibawah singulum pada sepertiga tengah permukaan palatal insisivus atas (Heasman, 2003). Gigi berada dalam keseimbangan antara 2 kekuatan secara fungsional pada keadaan tersebut (Profit dkk., 2007).

Sudut interinsisal bernilai normal 135˚ (Rakosi,1982), analisis Down menilai berkisar

130˚ sampai 150˚ dan analisis Steiner menetapkan 130˚.Besar sudut interinsisal kurang C

(25)

12 dari nilai normal menggambarkan sudut yang tajam dengan inklinasi gigi insisivus atas-bawah tipping ke labial terhadap basal tulang rahang sehingga diperlukan uprighting gigi tersebut dan sebaliknya (Jacobson, 1995). Nilai normal sudut insisal bervariasi berdasarkan jenis kelamin dan ras individu (Feire dkk.,2007).

Pergerakan gigi insisivus atas-bawah dalam mengkoreksi sudut interinsisal dibatasi oleh bentuk anatomi dan ukuran tulang basal rahang. Hubungan anteroposterior rahang atas-bawah ditentukan oleh besar sudut ANB (titik A-Nasion- titik B), yang menurut Steiner (1960 sit. Jacobson, 1995) bernilai normal 2°. Penyimpangan skeletal atau rahang derajat sedang menyebabkan gerakan tipping kadang tidak cukup untuk memperbaiki hubungan oklusi sehingga perlu dilakukan gerakan bodily atau torque akar (Foster, 1999). Retraksi insisivus atas dilakukan dengan gerakan bodily atau gerakan tipping yang kemudian diikuti torquing, sedangkan kebutuhan over-retraksi dapat dikurangi dengan sedikit proklinasi insisivus bawah (Bennet dan Mclaughkin, 1993; Foster, 1999). Gerakan proklinasi insisivus bawah yang berlebihan dapat mengakibatkan penetrasi akar gigi melampaui lingual cortical plate tulang (Kim dkk., 2005).

3. Hubungan Sudut Interinsisal, Overbite dan Overjet

(26)

13 tipping ke lingual (Nauman dkk., 2000). Koreksi overbite dilakukan melalui intrusi atau tipping ke labial gigi anterior serta ekstrusi atau uprighting gigi posterior (Bennet dan Mclaughkin, 1993).

Overjet adalah jarak horisontal tepi insisal gigi insisivus atas ke permukaan labial insisivus bawah. Nilai normal overjet 2-3 mm (Bennet dan Mclaughkin, 1993). Koreksi overjet dilakukan melalui proklinasi insisivus bawah, retraksi insisivus atas, distalisasi atau pembatasan pertumbuhan maksila ke depan serta mesialisasi mandibula. Mesialisasi mandibula dapat diakibatkan oleh rotasi pertumbuhan mandibula ke depan, pertumbuhan kondilus dan pembatasan pertumbuhan vertikal dental-skeletal (Bennet dan Mclaughkin, 1993).

Besar overbite dipengaruhi oleh besar sudut interinsisal (Bennet dan Mclaughkin, 1993; Foster, 1999; Feire dkk., 2007) dan perubahan vertikal dento-skeletal yang meliputi faktor pertumbuhan vertikal skeletal mandibula serta rotasi mandibula.Sudut interinsisal, overjet dan overbite dipengaruhi oleh diskrepansi ukuran gigi anterior (Sangcharearn dan Ho, 2007) dan inklinasi insisivus atas-bawah (Bennet dan Mclaughkin, 1993). Eberhart dkk. (1987, sit. Nauman dkk., 2000) menjelaskan hubungan overbite dengan perubahan inklinasi insisivus dipengaruhi oleh lokasi pusat rotasi gigi. Gaya yang diberikan pada gigi insisivus dengan pusat rotasi makin jauh ke arah apikal akan menyebabkan perubahan overbite makin besar akibat inklinasi gigi insisivus yang berubah. Gigi insisivus dengan pusat rotasi terletak pada insisal gigi, apabila diberikan gaya maka overbite tidak berubah walaupun terjadi perubahan inklinasi gigi insisivus.

(27)

14 inklinasi insisivus. Bidang tersebut memberikan gambaran dari ukuran pergerakan akar dan mahkota gigi insisivus secara tepat. Bidang maksila dibentuk oleh garis yang ditarik melalui titik ANS (Spina Nasalis Anterior) dan PNS (Spina Nasalis Posterior) (Jacobson, 1995). Penelitian tentang bidang referensi kraniofasial menunjukkan besarnya variasi interindividual dan intraindividual pada bidang tersebut. Suatu bidang vertikal atau bidang horizontal sejati membentuk gambaran catatan NHP (Nature Head Position/ Posisi kepala Alami) dalam sistem referensi kraniofasial yang valid. NHP merupakan posisi kepala ketika seseorang berdiri dengan pandangan lurus horisontal kedepan dalam postur alami yang harus direkam secara tepat pada saat dilakukan foto rontgen atau foto profil. Tracing sefalometri lateral yang berorientasi pada NHP memberikan analisis tracing superimpuse yang valid. Bidang maksila menjadi pilihan bidang referensi horisontal kraniofasial karena lebih menyerupai dan mendekati garis horisontal sejati dibandingkan SN (Sella Tursica- Nasion) dan FH (Frankfrut- Horizontal) (Madsen,dkk., 2008). Sudut interinsisal, overjet dan overbite terletak dalam ruang MMPA (Mandibular maxillary planes angle). MMPA merupakan sudut yang dibentuk oleh perpotongan bidang maksila/ palatal dan bidang mandibula. Rerata MMPA 27˚ ± 4˚, tinggi jika lebih besar

dari 31˚ dan rendah jika lebih kecil dari 23˚, yang dalam pengukuran linear (ANS- Me /Spina Nasalis Anterior–Menton) menggambarkan LAFH (Heasman, 2003; Sangcharearn dan Ho, 2007). Besar LAFH berperan dalam keharmonisan profil wajah pada arah vertikal, sedangkan profil wajah pada arah sagital dipengaruhi oleh besar sudut interinsisal (Johnston dkk., 2005).

(28)

15 UI-LI; LI-MP dan MaxP-MP/ MMPA) dengan jumlah keseluruhan sudut bernilai 360˚

(Gambar 3). Sudut tetragon dapat berubah pada proses pertumbuhan atau perawatan ortodontik, namun jumlah keseluruhannya tetap sama. Sudut interinsisal juga merupakan salah satu sudut yang terbentuk dalam tetragon, sehingga hubungan sudut interinsisal, overbite dan overjet pada sefalogram lateral dapat digambarkan melalui struktur maksilo-dento-mandibula pada komplek kraniofasial (Fastlicth, 2000 sit. Prakash, 2004).

Gambar 3. Hubungan insisivus dalam Tetragon dengan komponen bidang serta sudut pendukung. Keterangan : 1. Bidang maksila (MaxP); 2. Bidang mandibula (MP); 3. Bidang oklusal (OccP); 4. Sumbu insisivus sentral maksila (UI); 5. Sumbu insisivus sentral mandibula (LI); 6.Sudut Interinsisal (UI-LI) 7. Sudut inklinasi insisivus atas terhadap bidang maksila (UI- MaxP); 8. Sudut inklinasi insisivus bawah terhadap bidang mandibula (LI-MP); 9.Sudut bidang maksila terhadap bidang mandibula (MMPA) (Fastlicth, 2000 sit. Prakash, 2004)

LAFH bidang horizontal sejati

(29)

16 Pada gambar 3, diketahui bahwa dalam tetragon besar MMPA berpengaruh terhadap besar sudut interinsisal, besar inklinasi insisivus atas (sudut UI-Max) dan besar inklinasi insisivus bawah (sudut LI-MP) (Prakash, 2004) . Menurut Heasman (2003), besar MMPA berpengaruh terhadap besar overbite serta LAFH. MMPA berubah apabila dilakukan pencabutan gigi dan atau perawatan ortodontik. Besar sudut interinsisal dipengaruhi oleh besar inklinasi insisivus atas dan insisivus bawah. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi hubungan vertikal-sagital skeletal dalam struktur maksilo-dento-mandibula (Bennet dan Mclaughkin, 1993). Menurut Foster (1999), berbagai variasi hubungan skeletal dapat menghasilkan hubungan oklusi yang berbeda, walaupun gigi terletak pada posisi yang sama dalam rahang. Hubungan skeletal yang sama bisa menghasilkan hubungan oklusal yang berbeda akibat adanya variasi inklinasi gigi-gigi dalam rahang. Variasi hubungan skeletal dan inklinasi insisivus atas-bawah berpengaruh terhadap besar overjet, overbite dan sudut interinsisal.

Besar MMPA mempengaruhi pola rotasi mandibula dan overbite. Nilai MMPA kecil menggambarkan mandibula berotasi kedepan dengan overbite besar serta sebaliknya (Sangcharearn dan Ho,2007). Pola rotasi rahang berpengaruh terhadap inklinasi gigi insisivus, perawatan ortodontik, MMPA, LAFH dan overbite. Rotasi mandibula ke depan (counter clockwise) menyebabkan penurunan MMPA, LAFH, overbite dan menuntun insisivus bawah retroklinasi dan sebaliknya. Rotasi maksila ke depan meningkatkan prominensi gigi insisivus atas serta sebaliknya (Feire dkk., 2007).

(30)

17 divisi 1 dengan deep overbite disertai rotasi mandibula ke belakang, akan terhambat jika dilakukan secara bersamaan. Retraksi gigi anterior atas dapat dilakukan jika terdapat ruang yang cukup untuk pergerakan gigi tersebut. Overbite yang besar dapat mencegah pengurangan overjet, maka koreksi overbite harus dilakukan sebelum overjet dikoreksi (Jenner,1995). Koreksi overjet dan overbite pada perawatan ortodontik maloklusi Angle Klas II divisi 1, juga berkaitan dengan intrusi insisivus. Overjet, overbite dan tinggi vertikal gigi berkurang setelah perawatan aktif ortodontik selesai. Tinggi vertikal gigi berkurang seiring dengan perawatan ortodontik, namun perubahan overjet dan overbite tidak dipengaruhi oleh perubahan sudut bidang mandibula (Kader,1983).

Penelitian Farida (2002) pada perawatan ortodontik cekat teknik Begg menyatakan bahwa perubahan sudut interinsisal tidak berpengaruh terhadap tinggi keseluruhan anterior wajah dan menurut Indra (2012) tidak ada pengaruh perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan rasio tinggi wajah anterior atas-bawah serta LAFH. Sangcharearn and Ho (2007) membuktikan bahwa pada MMPA tetap konstan, apabila inklinasi insisivus atas - bawah besar maka overjet serta overbite menjadi besar dan apabila inklinasi insisivus atas-bawah normal maka overjet serta overbite menjadi normal.

(31)

18 B. Landasan Teori

Pergerakan gigi insisivus atas-bawah pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 dalam mengkoreksi sudut interinsisal dibatasi oleh bentuk anatomi dan ukuran tulang basal rahang. Diskrepansi rahang membatasi pergerakan antero-posterior gigi insisivus dalam mencapai relasi oklusal. Gerakan bodily atau torque akar dilakukan apabila gerakan tipping tidak cukup memperbaiki hubungan oklusi, hal tersebut mempengaruhi besar sudut interinsisal, overjet dan overbite.

(32)

19 pada setiap akhir tahapan perawatan teknik Begg berpengaruh terhadap oklusi dan estetika wajah termasuk sudut interinsisal, overjet dan overbite.

(33)

20 C. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori, maka ditetapkan hipotesis sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan negatip antara perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan

overbite pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg

(34)

21 BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah cross sectional karena peneliti mengamati dan meneliti hasil data sampel pada saat tertentu dari sumber yang sudah tersedia di RSGM Dr. Soedomo tanpa memberi perlakuan pada sampel tersebut.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sefalogram lateral sebelum dan sesudah perawatan ortodontik dari sampel yang memenuhi kriteria. Sampel penelitian dalam penelitian ini seluruhnya berasal dari pasien yang datang ke RSGM Dr. Soedomo setelah selesai mendapatkan perawatan ortodontik alat cekat teknik Begg di klinik PPDGS-1 bagian Ortodonsia, Fakultas kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2000-2012. Kriteria sampel didapatkan berdasarkan ketetapan dalam rekam medik, sebagai berikut : a. Usia 18-35 tahun pada awal perawatan ortodontik

b. Maloklusi Angle Klas II divisi I c. Pencabutan 4 gigi Premolar pertama. d. Selesai menjalani perawatan ortodontik

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian

(35)

22 b. Selotip merk Nachi untuk fiksasi kertas pada sefalogram

c. Pensil hitam merk Faber Castle tipe 4H untuk menapak sefalogram pada kertas asetat. 2. Alat yang digunakan dalam penelitian

a. Kotak iluminator merk Smic buatan Cina untuk penapakan sefalogram.

b. Jangka sorong digital elektronik merk Freder buatan jepang dengan ketelitian 0,02 mm untuk pengukuran overjet dan overbite.

c. Protraktor sefalometri merk Ortho Organizer buatan USA dengan ketelitian 0,5˚

untuk pengukuran sudut interinsisal.

D. Variabel Penelitian 1. Variabel pengaruh

Perubahan sudut interinsisal 2. Variabel terpengaruh a. Perubahan overjet

b. Perubahan overbite 3. Variabel terkendali a. Usia

b. Klasifikasi maloklusi c. Jenis perawatan ortodontik d. Pencabutan gigi

(36)

23 E. Definisi Operasional

1. Perubahan sudut interinsisal

Perubahan sudut interinsisal adalah perubahan yang diperoleh dari pengukuran sudut interinsisal sesudah perawatan dikurangi sebelum perawatan pada sefalogram lateral dalam satuan derajat. Sudut interinsisal diukur dari perpotongan garis panjang inklinasi insisivus sentral atas dan bawah. Perubahan bernilai positip menunjukkan sudut interinsisal bertambah besar setelah perawatan. Nilai negatip menunjukkan sudut interinsisal berkurang setelah perawatan.

2. Perubahan overbite

Perubahan overbite adalah perubahan yang diperoleh dari pengukuran overbite sesudah perawatan dikurangi sebelum perawatan pada sefalogram lateral dalam satuan milimeter. Overbite diukur tegak-lurus terhadap bidang oklusal. Perubahan bernilai positip menunjukkan bahwa overbite bertambah besar setelah perawatan. Nilai negatip menunjukkan overbite berkurang setelah perawatan.

3. Perubahan overjet

Perubahan overjet adalah perubahan yang diperoleh dari pengukuran overjet sesudah perawatan dikurangi sebelum perawatan pada sefalogram lateral dalam satuan milimeter. Overjet diukur sejajar bidang oklusal. Perubahan bernilai positip menunjukkan overjet bertambah besar setelah perawatan. Nilai negatip menunjukkan overjet berkurang setelah perawatan.

4. Usia

(37)

24 di klinik PPDGS-1 bagian Ortodonsia, Fakultas kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian menggunakan subjek penelitian berusia 18-35 tahun untuk menghindari pengaruh faktor pertumbuhan dan pengaruh degenerasi jaringan pendukung gigi yang berpengaruh terhadap penelitian.

5. Klasifikasi maloklusi

Klasifikasi maloklusi adalah maloklusi Angle Klas II divisi 1 yaitu hubungan molar Klas II menurut Angle dengan tonjol mesiobukal molar permanen pertama atas terletak lebih ke mesial dari buccal groove molar permanen pertama bawah. 6. Jenis Perawatan Ortodontik

Jenis Perawatan Ortodontik adalah perawatan ortodontik dengan menggunakan teknik Begg.

7. Pencabutan gigi

Empat gigi premolar pertama.yang dicabut untuk perawatan ortodontik 8. Skeletal

(38)

25 F. Jalannya Penelitian

1. Seleksi sampel

Sampel didapat dari data rekam medis pasien yang sudah selesai dilakukan perawatan ortodontik oleh mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2000- 2012 yang memenuhi kriteria.

2. Seleksi sefalogram

Sefalogram lateral sebelum dan sesudah perawatan ortodontik dari masing-masing sampel diseleksi kejelasan titik-titik referensinya.

3. Penapakan sefalogram

Penapakan sefalogram sebelum dan sesudah perawatan ortodontik dilakukan oleh peneliti, dengan meletakkannya diatas iluminator ditumpangi kertas asetat dan menggunakan pensil 4H. Pengukuran besar sudut interinsisal, overjet dan overbite dilakukan setelah penapakan titik-titik yang diperlukan.

Garis dan titik-titik yang ditapak adalah :

a. Sumbu insisivus sentral atas (UI/ Upper Incisivus): garis perpanjangan yang melalui titik apeks akar dan titik puncak tepi insisal mahkota insisivus atas

b. Sumbu insisivus sentral bawah (LI/ Lower Incisivus): garis perpanjangan yang melalui titik apeks akar dan titik puncak tepi insisal mahkota insisivus bawah. c. Insisal insisivus atas : titik puncak tepi insisal mahkota insisivus maksila d. Insisal insisivus bawah: titik puncak tepi insisal makota insisivus mandibula e. Bidang oklusal: garis lurus yang membagi dua oklusi gigi molar pertama dan insisivus

(39)

26 G. Analisis Data

Analisis hasil penelitian dilakukan berdasarkan data hasil pengukuran sefalogram lateral.

1. Analisis korelasi product moment Pearson untuk mengetahui adanya hubungan, arah dan keeratan hubungan (r) antara perubahan sudut interinsisal dan perubahan overjet, perubahan sudut interinsisal dan perubahan overbite.

[image:39.595.219.411.115.275.2]

2. Analisis regresi dilakukan berdasarkan hasil analisis korelasi, untuk menjelaskan kemaknaan korelasi (p) dan untuk mengetahui seberapa besar perubahan sudut interinsisal mempengaruhi perubahan overjet, perubahan sudut interinsisal mempengaruhi perubahan overbite.

(40)

27 Pengambilan sefalogram maloklusi Klas II divisi 1

sebelum dan sesudah perawatan ortodontik cekat Begg dari data kartu status pasien klinik ortodontik

PPDGS-1 FKG UGM Yogyakarta

Seleksi sampel penelitian yang memenuhi kriteria

Seleksi sefalogram dari sampel penelitian

Penapakan dan pengukuran sudut interinsisal, overbite dan overjet dari

sefalogram sebelum dan sesudah perawatan ortodontik cekat Begg

dengan kertas asetat

Perhitungan perubahan sudut interinsisal, perubahan overbite dan

overjet dari sefalogram sesudah perawatan ortodontik cekat

Tabulasi Data

Analisis Statistik

(41)

28 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

[image:41.595.108.420.439.556.2]

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overbite dan overjet sesudah perawatan ortodontik menggunakan alat cekat teknik Begg pada kasus maloklusi Angle Klas II divisi 1. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ortodonsia Program Pendidikan Doklter Gigi Spesialis Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada sefalogram lateral sebelum dan sesudah perawatan aktif dari pasien yang telah dirawat ortodontik. Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian yang merupakan nilai rerata dan simpangan baku perubahan hasil pengukuran sudut interinsisal, overbite dan overjet.

Tabel 1. Nilai rerata dan simpangan baku perubahan hasil pengukuran sudut interinsisal (dalam derajat), overbite dan overjet (dalam milimeter) sesudah perawatan.

Rerata perubahan sudut interinsisal 24,53˚, nilai positip menunjukkan bahwa sudut

interinsisal bertambah besar setelah perawatan. Rerata perubahan overbite sesudah perawatan sebesar -1,33 mm, sedangkan rerata perubahan overjet sesudah perawatan sebesar -2,20 mm. Nilai negatip menunjukkan bahwa overbite dan overjet berkurang setelah perawatan (tabel 1).

Variabel N x ± SB

Perubahan Sudut Interinsisal 15 24,53 ± 13,45

Perubahan Overbite 15 -1,33 ± 0,69

Perubahan Overjet 15 -2,20 ± 1,27

Keterangan :

SB : Simpangan Baku x : Rerata

(42)
[image:42.595.114.462.184.244.2]

29 Sebelum dilakukan analisis korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dengan menggunakan metode Shapiro-Wilk.

Tabel 2. Uji normalitas Shapiro-Wilk

Hasil uji normalitas perubahan sudut interinsisal sebagai variabel pengaruh mempunyai nilai tingkat kemaknaan 0,154, sedangkan variabel terpengaruh yaitu perubahan overbite mempunyai nilai tingkat kemaknaan 0,089 dan perubahan overjet mempunyai nilai tingkat kemaknaan 0,131. Variabel pengaruh dan variabel terpengaruh menunjukkan bahwa semua variabel terdistribusi normal karena nilai p > 0,05 (tabel 2).

Variabel yang telah terdistribusi normal kemudian diuji dengan korelasi product moment Pearson untuk mengetahui ada tidaknya hubungan, arah dan keeratan hubungan antara perubahan sudut interinsisal dan perubahan overjet, perubahan sudut interinsisal dan perubahan overbite.

Tabel 3. Hasil analisis korelasi product moment Pearson antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh.

Hasil analisis korelasi product moment Pearson (tabel 3). menunjukkan nilai tingkat kemaknaan (p) perubahan sudut interinsisal dan perubahan overbite adalah 0,360, sedangkan

Variabel N Statistik Sig (p)

Sudut interinsisal 15 0,914 0,154

Overbite 15 0,898 0,089

Overjet 15 0,909 0,131

Variabel N Koefisien Korelasi (r) Sig (p) Perubahan sudut

interinsisal 15 0,254 0,360

Perubahan overbite 15 Perubahan sudut

[image:42.595.111.432.534.641.2]
(43)

30 tingkat kemaknaan perubahan sudut interinsisal dan perubahan overjet adalah 0,055. Keduapasang variabel mempunyai hubungan tidak bermakna karena nilai p > 0,05. Hasil analisis korelasi product moment Pearson yang tidak bermakna menyebabkan variabel tidak diuji lebih lanjut dengan analisis regresi.

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan sudut interinsisal sebesar 24,53˚

bernilai positip, berarti sudut interinsisal menjadi lebih besar sesudah perawatan. Perubahan juga terjadi pada overbite dengan rerata sebesar -1,33 mm dan overjet dengan rerata sebesar -2,20 mm, nilai negatip berarti menjadi lebih kecil sesudah perawatan (tabel 1). Sudut interinsisal yang kecil, overbite dan overjet yang besar sebelum perawatan terkoreksi menjadi mendekati nilai normal, hal tersebut terjadi karena adanya perubahan inklinasi gigi anterior atas-bawah akibat adanya kerjasama gaya elastik intermaksiler Klas II dan anchorage bend.

(44)

31 gigi insisivus menjadi semakin tegak. Sesuai penjelasan Campe dkk. (sit. Begg dan Kesling,1977) bahwa pada teknik Begg, intrusi gigi insisivus bawah terjadi akibat gaya intrusi dari anchorage bend sedangkan pada gigi insisivus atas intrusi terjadi tidak kontinyu karena gaya intrusi dari anchorage bend akan dihambat oleh gaya ekstrusi dari komponen vertikal elastik intermaksiler Klas II. Penelitian Costello (1968) pada teknik Begg membuktikan bahwa retraksi gigi dengan sedikit intrusi gigi insisivus atas dihubungkan dengan bertambahnya overbite sedangkan menurut Cadman (1975) bite opening melalui intrusi gigi anterior bawah menyebabkan berkurangnya overbite. Sudut interinsisal bertambah besar karena inklinasi gigi insisivus semakin tegak melalui gerakan tipping pada saat retraksi gigi anterior. Keadaan tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara perubahan sudut interinsisal dan perubahan overbite.

(45)

32 Keadaan inklinasi gigi anterior bawah sebelum perawatan kemungkinan juga berpengaruh terhadap kemaknaan hasil penelitian. Koreksi overbite pada teknik Begg salah satunya didapatkan melalui intrusi gigi anterior bawah, hal tersebut sesuai dengan pendapat Fletcher (1981) bahwa arah intrusi yang dihasilkan oleh kekuatan anchorage bend pada archwire akan berbeda, tergantung inklinasi gigi anterior bawah. Gaya intrusi akan menyebabkan gigi yang labioversi menjadi lebih proklinasi, sedangkan gigi yang tegak akan mengalami intrusi. Peran inklinasi insisivus bawah dalam mengontrol besar overbite pada perawatan ortodontik didukung oleh penelitian Nauman dkk.( 2000). Overbite berkurang apabila insisivus bawah flaring dan overbite bertambah apabila tipping ke lingual.

Klasifikasi skeletal yang tidak dikendalikan pada penelitian ini kemungkinan juga berpengaruh terhadap kemaknaan hasil penelitian. Sesuai pernyataan Balard (1957 sit. Costello,1968) bahwa hubungan tulang basal yang abnormal menuntun overbite menjadi besar, walaupun sudut interinsisal sudah terkoreksi, hal tersebut didukung oleh Foster (1999) bahwa variasi hubungan skeletal dapat menghasilkan hubungan oklusi yang berbeda, walaupun gigi terletak pada posisi atau inklinasi yang sama dalam rahang.

(46)

33 perubahan inklinasi insisivus. Perbaikan hubungan oklusal akibat penyimpangan skeletal kemudian diikuti dengan koreksi overjet tanpa atau sedikit disertai perubahan sudut interinsisal. Kemungkinan lainnya yaitu seperti yang dijelaskan oleh Foster (1999) bahwa koreksi overjet dilakukan dengan retraksi insisivus atas melalui gerakan tipping, kemudian diikuti dengan sedikit proklinasi insisivus bawah untuk mengurangi kebutuhan over-retraksi insisivus atas pada perawatan kamuflase maloklusi Klas II. Keadaan tersebut menyebabkan inklinasi gigi insisivus atas semakin tegak sedangkan inklinasi gigi insisivus bawah semakin labioversi. Arah perubahan inklinasi kedua insisivus yang berbeda menyebabkan overjet menjadi semakin kecil, sedangkan sudut interinsisal sedikit berubah.

(47)
(48)

35 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overbite dan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik teknik Begg, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak terdapat hubungan antara perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overbite pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg.

2. Tidak terdapat hubungan antara perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan overjet pada maloklusi Angle Klas II divisi 1 sesudah perawatan ortodontik dengan teknik Begg.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap hubungan perubahan sudut interinsisal dengan perubahan overbite dan overjet sesudah perawatan ortodontik.

(49)

36 DAFTAR PUSTAKA

Begg, P.R. and Kesling, P.C, 1977, Begg Orthodontic theory and Technique, ed.3, W.B. Saunders Company, Philadelphi, p.198-199.

_______________________1977, The Defferential Force of Methode Orthodontics Treatment, Am J Orthod.,71(1): 804-39

Bennet,J.C. and Mclaughkin, R.P.,1993, Ortodontic Treatment Mechanics and the Preadjusted Appliance, London,, UK: Mosby-Wolfe, p.119-181

Bishara SE, Treder JE, and Jakobsen JR, 1994, Facial and Dental Changes in Adulthood., Am J Orthod Dentofacial Orthop. 106:175–186.

Costello, M.J., 1968, A Cephalometric Appraisal of Orthodontic Correction of Overbite, Thesis Master of Dental Science, Department of Preventif Dentistry, Faculty of Dentistry University of Sidney

Cadman, G.R., 1975, A Vade Mecum for The Begg Technique: Technical Principles, Am J Orthod Dentofacial Orthop., 67(5): 447-512

_____________ 1975, A Vade Mecum for The Begg Technique: Treatment Procedur, Am J Orthod Dentofacial Orthop., 67(6): 601-624

Ceylan, I., Baydas, B.,and Bolukbasi, B., 2002, Longitudinal Cephalometric in Incisor Position, Overjet and Overbite Betwen 10 and 14 aayesrs of Age, Angle Orthod., 72: 246-250 Eberhart, B.B., Kuftinec, M.M. and Baker, I.M., 1987, The Relationship between Bite Depth

and Incisor Angular Change, Angle Orthod., 60(1) ; 55-57

Fletcher, G.G.T., 1981, The Begg Appliance and Technique, John Wright and Sons (print), Ltd. Briston,p.54,73-75,113

Foster, T.D.,1999, Buku Ajar Ortodonsi, Edisi III, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, hlm.29,32,77,157-161,273-274

Farida-Syamlan, 2002, Hubungan antara Perubahan Sudut Interinsisal dengan Perubahan Tinggi Wajah Anterior, Karya Tulis Ilmiah, PPDGS 1 FKG UGM.

Feire, S.M, Nishio,C., Mendes, A.d.M, Quintanio, C.C.A, and Almeida, M.A, 2007, Relationship between dental Size and Normal Occlusion in Brazilian Patients,

(50)

37 Hellekant,M., Lagerstrom,L., Gleerup, A.,1989, Overbite and Overjet Correction in a Class II Division 1 Sample Treated with Edgewise Therapy, EJO, 11 (2): 91-106. Heasman, P.,2003, Master Dentistry volume 2, Churchill Livingstone, St Louis Sydney

Toronto, p.233,243,257

Ishikawa, H,. Nakamura, S., Iwasaki, H., Kitazawa, S., Tsukada, H.,and Chu, S., 2000 , Dentoalveolar Compensation in Negative Overjet Cases, Angle Orthod., 70(2): 145-148

Indra-Sari, 2012, Hubungan antara Perubahan Sudut Interinsisal dengan Perubahan Perbandingan Tinggi wajah anterior Atas terhadap Bawah, Karya Tulis Ilmiah, PPDGS 1 FKG UGM.

Jacobson, A.,1995, An Atlas and Manual of Cephalometric Radiography From Basics to videoimaging, Quintessencef medical Publishing Co,Inc p.69, 85, 97, 233 Jenner, JD., 1995, The Importance of Reducing Overbite before Overjet with Initial

Treatment Mechanics, Aust Orthod J. 13 (4):219-30.

Johnston, D.J., Hunt, O., Johnston, C.D., Burden, D.J., Stevenson, M., and Hepper, P., 2005, The Influence of Lower Face Vertical Proportion on Facial Attractiveness, EJO, 27: 349-354

Kader, H.M.A., 1983, Vertical LipHeight and Dental Height, Changes to Relation to The Reduction of Overjet and Overbite in Class II Division 1 Malocclusion, Am J Orthod., 84(3):260-263

Kim, J.Y., Lee, S.J., Kim, T.W., Nahm, D.S. and Chang, Y.I., 2005 Classification of The Skleletal Variation in Normal Occlusion, Angle Orthod.,75(3): 351-358 Looi, L.K., and Mills, J.R.E, 1986, The Effect of Two Contrasting Forms of Orthodontic Treatment

on the Facial Profile, Am J Orthod., 89(6): 507- 517

Linden, V.D., Miethke, and Namara, M.,2000, Glosaryy of Orthodontics Term, Qintessence Puhblishing Co,.Inc, p.72

Madsen, D.P., Sampson. W.J.and Townsend, G.C., 2008, Craniofacial Reference Plane Variation and Natural Head Position, EJO, 30 (5): 532-540

Nauman, S.A., Behrent,R.G. and Biuschang, P,H., 2000, Vertikal Component of Overbite Change: A Mathematika Model, Am J Orthod., 117(4): 486- 495

(51)

38 Prakash, A.T., 2004, A Cephalometric Evaluation of The Dental and Skleletal Characteristics

of Individuals Normal, Class II and Class III Occlusion Using Tetragon Analysis, Disertasion Master of Dental surgery, Department of Orthodontics and Dentofacial of Orthopaedics, Rajiv Gandhi University of Health Sciences

Profitt, W.R., Field, H.W., Sarver, D.M. and Ackerman, J.L., 2007, Contemporary Orthodontics, Mosby Elvesier, Inc. , St.Louis, Missouri, p.23

Rakosi,T., 1982, An Atlas and Manual of Cephalometric Radiography, Wolf medical Publishing Ltd, p.68

Schudy, F., 1963, Cant of The Occlusal Plane and Axial Inclination of Teeth, Angle Orthod., 33(2) ; 69-81

Salzmann, J.A., 1974, Orthodontics in Daily Practice, J.B.Lippincott company, p.438-459 Sidlaukas, A., Svalkauskiene, V. and Sidlaukas, M, 2006, Assesment of Skeletal and

Dental Pattern of Class II Division 1 Malocclusion with Relevance to Clinical Practice, Stomatogija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal.,8 (1) : 3-8

Sangcharearn, Y. and Ho, C., 2007, Maxillary Incisor Angulation and Its Effect on Molar Relationship, Angle Orthod., 77(2) ; 221-225

Sangcharearn,Y.and Ho, C.,2007, Effect of Incisor Angulation on Overjet and Overbite in Class II Camouflage Treatment, Angle Orthod., 77(6); 1011-1018

Soliman, N.L., El-Batran, M.M., Abou-Zeid AW, Sarry El-Din, A.M. and Zaki, M.E., 2009, The Relationship between Overjet Size and Dentoalveolar Compensation, Indian J Dent Res; 20(2):201-5

Talass MF, Talass F, and Baker R, 1987, Soft Tissue Profile Changes Resulting from Retraction of Maxillary Incisors. Am J Orthod.,91:385–394.

William, J.K., Cook, P.A., Isaacson, K.G. and Thom, A.R., 2000, Alat- Alat Ortodonsi Cekat : Prinsip dan Praktik, ,cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm.111-112

Yogosawa,F.,1989, Predicting Soft Tissue Profile Changes Concurrent with Orthodontic Treatment, Angle Orthod., 60(3) ; 199-206

(52)
(53)
(54)
(55)
(56)

Lampiran 4. Rangkuman Data Sudut Interinsisisal, Overbite dan Overjet Sebelum dan Sesudah Perawatan

No

Sudut Interinsisisal

(dalam derajat)

Overbite

(dalam milimeter)

Overjet

(dalam milimeter)

sebelum sesudah sebelum sesudah sebelum sesudah

1 113 120 7 4,44 3,05 -1,39 4,34 3,17 -1,17

2 109 124 15 3,90 2,66 -1,24 3,40 1,96 -1,44

3 104 155 51 3,72 2,88 -0,84 5,75 1,74 -4,01

4 131 154 23 4,06 2,67 -1,39 5,02 2,64 -2,38

5 112 123 11 3,75 2,77 -0,98 6,74 3,33 -3,41

6 115 130 15 5,00 1,99 -3,01 4,81 3,78 -1,03

7 117 130 13 4,30 3,62 -0,68 5,99 4,62 -1,37

8 123 150 27 6,68 6,00 -0,68 5,79 4,59 -1,20

9 110 141 31 4,85 2,40 -2,45 6,09 2,90 -3,19

10 107 145 38 3,71 2,20 -1,51 5,57 2,83 -2,74

11 110 125 15 4,50 2,54 -1,96 3,30 2,45 -0,85

12 99 122 23 3,91 2,97 -0,94 6,19 4,15 -2,04

13 111 126 15 3,92 2,61 -1,31 5,38 3,00 -2,38

14 107 148 41 3,76 2,60 -1,16 7,91 2,87 -5,04

15 107 150 43 3,27 2,81 -0,46 4,56 3,75 -0,81

(57)

Lampiran 5. Analisis Deskriptif Sudut Interinsisisal, Overbite dan Overjet Sebelum Perawatan Ortodontik

Descriptives

Lampiran 6. Analisis Deskriptif Sudut Interinsisisal, Overbite dan Overjet Sesudah Perawatan Ortodontik

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Delta Sudut Interinsisisal 15 120.00 155.00 1.3620E2 13.05045

Overbite 15 1.99 6.00 2.9180 .93192

Overjet 15 1.74 4.62 3.1853 .86295

Valid N (listwise) 15

Lampiran 7. Analisis Deskriptif Perubahan Sudut Interinsisisal, Perubahan Overbite dan Perubahan Overjet.

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Delta Sudut Interinsisisal 15 99.00 131.00 1.1167E2 7.75211

Overbite 15 3.27 6.68 4.2513 .81655

Overjet 15 3.30 7.91 5.4167 1.23610

Valid N (listwise) 15

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Delta Sudut Interinsisisal 15 7.00 51.00 24.5333 13.45292

Overbite 15 -3.01 -.46 -1.3333 .69009

Overjet 15 -5.04 -.81 -2.2040 1.27107

(58)

Lampiran 8. Uji Normalitas Shapiro-Wilk Sebaran Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh.

Lampiran 9. Hasil Análisis Korelasi Product Moment Pearson antara Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh

.

Correlations

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Delta Sudut Interinsisisal .227 15 .036 .914 15 .154

Overbite .201 15 .107 .898 15 .089

Overjet .193 15 .139 .909 15 .131

a. Lilliefors Significance Correction

Correlations

Delta Sudut

Interinsisisal Overbite Overjet Delta Sudut Interinsisisal Pearson Correlation 1 .254 -.505

Sig. (2-tailed) .360 .055

N 15 15 15

Overbite Pearson Correlation .254 1 -.076

Sig. (2-tailed) .360 .789

N 15 15 15

Overjet Pearson Correlation -.505 -.076 1

Sig. (2-tailed) .055 .789

Gambar

Gambar 1. Komponen gaya           anchorage bend dan elastik Klas II yang bekerja pada teknik Begg
Gambar 2. Pergerakan tipping gigi pada teknik Begg. A. Posisi dan oklusi gigi pada akhir tahap 1 ; B
Gambar 3. Hubungan insisivus dalam Tetragon dengan komponen bidang serta sudut  pendukung
Gambar 4.  Pengukuran sefalometri dalam penelitian. Keterangan 1. Sumbu inklinasi insisivus atas; 2
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Perawatan dilakukan dengan menggunakan alat cekat teknik Begg dan pencabutan gigi desidui, Kesimpulan, impaksi gigi premolar pertama mandibula dapat tercapai pada tahap pertama

Pasien didiagnosis Maloklusi Angle klas II divisi I dengan hubungan skeletal klas II disetai open bite, crowding dan protrusif gigi-gigi anterior rahang atas, diastemata

Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai perawatan maloklusi Angle klas II divisi 1 dengan hubungan skeletal klas II mandibular retrusif dan bidental protrusif disertai overjet

Penelitian ini mendiskripsikan pergerakan gigi dan remodeling tulang maksila regio anterior di akhir tahap III perawatan ortodontik teknik Begg maloklusi Angle klas I dengan

Kesimpulan : Secara statistik diperoleh perubahan indeks tinggi wajah yang tidak signifikan pada perawatan ortodonti maloklusi Klas I dengan pencabutan empat gigi premolar

Ada hubungan negatif antara perubahan sudut mandibula Frankfort dengan perubahan indeks tinggi wajah yang terjadi pada perawatan ortodonti maloklusi Klas I dengan pencabutan

Kesimpulan : Secara statistik diperoleh perubahan indeks tinggi wajah yang tidak signifikan pada perawatan ortodonti maloklusi Klas I dengan pencabutan empat gigi premolar