ABSTRAK
UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL
GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN
OLEH
CINDY YOELAND VIOLITA
Hutan Desa Cugung merupakan hutan desa yang berada di bawah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa merupakan habitat bagi simpai (Presbytis melalophos). Sekelompok simpai hidup pada hutan tersebut, tetapi ukuran kelompok simpai dan struktur populasinya hingga saat ini belum diketahui. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ukuran kelompok dan struktur populasi simpai di hutan Desa Cugung dengan menggunakan metode area terkonsenterasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran kelompok simpai yang dijumpai di hutan Desa Cugung berjumlah 11 individu. Jumlah individu fase reproduktif (dewasa) adalah 4 individu dan fase prereproduktif muda 5 individu dan anakan 2 individu. Nilai rasio seksual pada kelas umur reproduktif yaitu 1:2. Kata kunci :Simpai, Ukuran Kelompok, Hutan Desa Cugung, Kesatuan
ABSTRACT
SIMPAI (Presbytis melalophos) GROUP SIZE IN A FOREST OF CUGUNG VILLAGE OF PROTECTION FOREST MANAGEMENT UNIT MODEL
OF RAJABASA MOUNTAIN SOUTH LAMPUNG
BY
CINDY YOELAND VIOLITA
Cugung forest managed by Protection Forest Management Unit Model (KPHL) of Rajabasa Mountain, its a natural habitat for simpai (Presbytis melalophos). Its simpai size and structure are not know. Research was done to observe its group size and population structure in Cugung forest using concentration count method. Group size was 11 simpais, with 4 reproductive age and 5 young individuals and there are 2 infants. The sexual ratio is 1:2.
UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos)
DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN
Oleh
CINDY YOELAND VIOLITA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 September 2014
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasuruan Kabupaten Lampung Selatan, pada tanggal 9 Juli 1993. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Hariyanto Tcik Mas Anang,
S.E dan Ibu Etia Rozati. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Dharma Wanita Pasuruan pada tahun
1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) di SDNegeri 3 Pasuruan dan selesai pada tahun 2006,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Penengahan yang diselesaikan pada
tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Kalianda yang diselesaikan pada tahun 2011. Tahun 2011 penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan mengambil Jurusan Kehutanan.
Penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Universitas Lampung, baik organisasi internal maupun eksternal kampus. Pada tahun 2012 penulis menjadi Anggota Utama Himasylva
(Himpunan Mahasiswa Kehutanan). Tahun 2012/2013 dan 2013/2014 dalam dua periode kepengurusan penulis tercatat aktif sebagai anggota bidang 3 yaitu Penelitian dan Pengembangan Organisasi Himasylva, Staff Kementerian Luar Negeri dan Staf Kementerian
pada tahun 2013/2014 penulis aktif di tiga organisasi internal kampus yaitu sebagai Ketua Komisi A bidang Akademik dan Fasilitas Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian
(DMP-FP) Unila, Duta Fakultas Pertanian dan Mentor Bahasa Inggris di Forum Ilmiah Mahasiswa Fakultas Pertanian (FILMA-FP) Unila. Selain organisasi internal kampus, penulis aktif dalam organisasi eksternal kampus, yaitu Komunitas Integritas (KOIN) Unila dan
Cering Center (CC). Penulis tercatat menjadi asisten dosen matakuliah Metode Inventarisasi Flora dan Fauna (MIFF) pada tahun 2013/2014 dan matakuliah Penyuluhan Kehutanan pada
tahun 2014/2015.
Pada Januari 2014 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Pasir
Sakti, Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur dan melaksanakan Praktik Umum Kehutanan pada Juli 2014 di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Selogender,
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung, Perum Perhutani Devisi I Regional Jawa
Tengah dan telah menyelesaikan laporan yang berjudul “Teknik Pengamanan Hutan
Terhadap Penggembalaan Liar di KPH Randublatung BKPH Selogender Perum Perhutani
Divisi I Regional Jawa Tengah”. Kemudian hasil laporan dipresentasikan pada Seminar Nasional Agroforestri V di Ambon, dengan judul “Peran Perhutani Terhadap Masyarakat
Petani Hutan Pada Penggembalaan Liar (Studi Kasus RPH Kepoh Jawa Tengah Indonesia)”. Kemudian pada tahun 2015 penulis terseleksi sebagai tenaga pendamping dalam penyuluhan peningkatan produktivitas pangan (Padi, Jagung dan Kedelai) di Provinsi Lampung
kerjasama Kementerian Pertanian RI, Dinas Pertanian Provinsi Lampung dan Universitas Lampung dan ditempatkan di Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lampung Selatan dan telah
menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Kehutanan di Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan berjudul skripsi “Ukuran Kelompok Simpai (Presbytis melalophos) di Hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobilalamin,
Dengan rendah hati kupersembahkan karyaku ini kepada orang-orang yang
ananda cintai dan sayangi
Ayahanda Hariyanto Tcik Mas Anang, S.E dan Ibunda Etia Rozati tercinta. Adik - adik tersayang, Yoeand Bima Prasatyo, Sonia Permata Ananda dan
Nabila Salwa Aulia.
MOTO
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segunmpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar denganQalam. Dialah yang mengajar manusia segala yang belum
diketahui (Q.S Al- Alaq 1-5).
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh
(Muhammad Ali)
Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tetapi berbuah manis (Aristoteles)
Ketika kita terjatuh dan terbangun dalam menimba ilmu, percayalah Allah SWT mengetahui hambanya sedang berjuang dan
yakinlah sebernanya DIA-telah merencanakan hal yang indah (Penulis)
Proses kelak akan menghasilkan hasil yang sempurna, proses melatih kesabaran, memberikan pelajaran dan mendorong untuk dapat menyelesaikan
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan skripsi ini yang
berjudul ”Ukuran Kelompok Simpai (Presbytis melalophos) di Hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.
Terselesaikannya penulisan dan penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir, yang turut memberikan bantuan, motivasi, bimbingan, ide dan dorongan bahkan fasilitas moril dan materiil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:
(1) Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas
Lampung dan sebagai Pembahas yang telah memberikan saran dan kritikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
(2) Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung. Bapak/Ibu WD I, WD II, WD III serta seluruh staf pegawai Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah
membantu penulis.
arahan, bimbingan, saran dan kritikan kepada penulis dalam penulisan
skripsi ini.
(4) Ibu Dra. Elly Lestari Rustiati, M.Sc., selaku Pembimbing II, yang telah
meluangkan waktunya serta memberikan arahan, bimbingan dan masukan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
(5) Bapak Kepala Desa Cugung, Bapak Muhaimin berserta keluarga yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk berdiskusi bersama penulis dari awal memulai penelitian hingga selesai penelitian.
(6) Tim yang telah membantu penulis saat pengambilan data di lapangan : Alfinicko, Wisnu, Heru dan Bima.
Penulis sangat berterimakasih atas semua kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis selama ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Bandar Lampung, 8 Juni 2015 Penulis,
DAFTAR ISI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 15
3.5.1 PengumpulanData Primer………. 17
3.5.1.1Survei Pendahuluan……….. 17
3.5.1.2 Pengumpulan Datadi Lapangan……… 17
3.5.2 Pengumpulan Data Sekunder………. 18
3.6 Analisis Data……….. 18
3.6.1 Ukuran Kelompok……….. 19
3.6.2 StrukturUmur……… 20
3.6.3 Rasio Seksual………..…… 20
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah KPHL Model Gunung Rajabasa……… 21
4.2 Letak dan Luas Kawasan………... 21
4.3 Tanahdan Topografi………. 22
4.4 Potensi Flora danFauna……….... 23
4.5 Kondisi Ekonomi dan Sosial Masyarakat 4.5.1 Kondisi Sosial……….... 25
4.5.2 Kondisi Ekonomi……….. 25
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kelompok Simpai di hutan Desa Cugung……..……….. 26
5.2 Aktifitas Harian Simpai di hutan Desa Cugung………... 35
5.3 Faktor yang Mempengaruhi Ukuran Kelompok Simpai di hutan Desa Cugung 5.3.1 Ketersediaan Pakan……….. 39
5.3.2 Keberadaan Satwa dan GangguanSimpai………... 41
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Lembar Pengamatan Ukuran Kelompok Simpai di hutan Desa
Cugung... 18 2. Potensi Fauna di KPHL Model Rajabasa………. 24
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka penelitian ukuran kelompok simpai (Presbytis melalophos) di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan……….. 4 2. Lokasi Gunung Rajabasa, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model
Gunung Rajabasa Lampung Selatan... 15 3. Lokasi pengamatan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung Model Gunung Rajabasa Pada Januari 2015………... 27
4. ukuran kelompok simpai (Presbytis melalophos) di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan pada bulanJanuari 2015……… 28 5. Pohon tidur simpai (Presbytis Melalophos) yang di temui lokasi 2 pada
bulan Januari 2015………. 30
6. Sarang Lutung Abu-Abu (Presbytis Cristata) yang sudah tidak aktif
ditemukan di Lokasi 4 pada bulan Januari 2015………...….. 31 7. Sarang Lutung Abu-Abu (Presbytis Cristata) yang masih aktif ditemukan
pada lokasi 4 pada bulanJanuari 2015……….. 32 8. Gubuk yang berada dekat sarang Lutung Abu-Abu (Presbytis Cristata)
di lokasi 4 pada bulan Januari2015………. 32 9. Pohon pakan (a) buah pohon teureup, (b) buah pohon nangka, (c) buah
pohon jengkol, (d) pohon durian, (e) pohon mangga, (f) pohon rambutan 36 10. Aktifitas makan simpai di lokasi 2 di hutan Desa Cugung pada
Januari 2015………... 37
11. Pohon istirahat simpai (a) pohon mindi (b) pohon durian…………... 38
12. Interaksi sosial individu betina dewasa dan individu anakan simpai
13. Siamang yang ditemui di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa pada bulan Januari 2015………. 42
14. Monyet Ekor Panjang yang ditemui di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa pada bulan Januari
2015………... 43
15. Lutung Abu-Abu yang ditemui di hutan Desa Cugung Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa pada bulan Januari
2015………... 43
16. Beruk yang ditemui di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung Model Gunung Rajabasa pada bulan Januari 2015…………... 44 17. Elang yang ditemui di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Simpai (Presbytis melalophos) adalah salah satu spesies primata yang ditemukan di hutan hujan Semenanjung Malaysia, Sumatera, mulai dari Sumatera bagian
selatan hingga utara, serta Kalimantan bagian barat (Oates, Davies dan Delson, 1994). Menurut IUCN (2008), simpai dalam Red Data Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) merupakan satwa dilindungi dengan status terancam punah (endangered), yang artinya simpai masuk ke dalam daftar spesies yang sedang menghadapi risiko kepunahan di alam
liar yang tinggi pada waktu yang akan datang.
Habitat simpai meliputi hutan primer dataran rendah sampai pegunungan hingga 2.500 m di atas permukaan laut. Primata ini dapat hidup pada berbagai habitat seperti hutan karet rakyat, hutan campuran, hutan bakau, hutan sekunder dan
hutan primer (Bakar dan Suin, 1993). Di Sumatera ukuran kelompok simpai dapat ditemui di Register 3 Gunung Rajabasa, Lampung.
Register 3 Gunung Rajabasa merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Propinsi Lampung dengan luas 5.200 ha. Kawasan hutan Register 3 Gunung
2
wilayah mencapai 4.900 hektar dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991. Pada tanggal 7 Juli 2011, Hutan lindung Register 3 Gunung Rajabasa ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
pada SK Menteri Kehutanan Nomor 367/Menhut-II/2011 menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa dengan luasnya 5.200 hektar (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013).
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa merupakan salah satu ekosistem penting yang terdapat di Kabupaten Lampung
Selatan. Kawasan ini tersimpan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, juga memiliki karakteristik ekosistem yang khas dan unik serta
memiliki tipe hutan hujan tropika, kemudian secara formasi edafis tergolong zona hutan hujan tropika bawah yang merupakan habitat bagi beberapa jenis satwa liar, khususnya simpai (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013). Akan tetapi, ukuran
kelompok simpai hingga saat ini belum banyak diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk mengetahui ukuran kelompok simpai, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ukuran kelompok simpai yang meliputi jumlah
individu, struktur umur dan rasio seksual pada simpai yang berada di Kawasan Hutan Desa Cugung, KPHL Model Gunung Rajabasa, Lampung Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana ukuran kelompok simpai di
3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran kelompok simpai yang meliputi jumlah individu , struktur umur dan rasio seksual simpai di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kecamatan
Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi bahan masukan bagi Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung
Rajabasa sebagai data periodik mengenai ukuran kelompok simpai yang berguna dalam peningkatan upaya pelestarian simpai di Gunung Rajabasa.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa memiliki tipe hutan hujan tropika, dan secara formasi edafis tergolong zona hutan hujan tropika bawah. Dengan kondisi demikian, kawasan KPHL merupakan habitat yang sangat
baik bagi kehidupan sebagian besar satwa liar (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013). Hutan Desa Cugung merupakan satu di antara hutan desa lainnya yang
berada di bawah KPHL Model Guung Rajabasa yang merupakan habitat bagi kehidupan satwa liar, salah satunya adalah simpai. Akan tetapi hingga saat ini informasi mengenai ukuran kelompok simpai belum banyak diketahui masyarakat.
Untuk mengetahui ukuran kelompok simpai dapat dilakukan dengan cara mencari data mengenai jumlah individu, struktur umur dan rasio seksual simpai. Metode
4
Kerangka penelitian ukuran kelompok simpai (Presbytis melalophos) di hutan
Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa (Gambar 1).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio-ekologi
2.1.1 Taksonomi
Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata
Kelas : Mammalia Ordo : Primata Sub-ordo : Anthropoidae
Famili : Cercopithecidae Sub-famili : Colobinae Genus : Presbytis
Spesies : Presbytis melalophos Raffles, 1821
6
Pengelompokan simpai menurut Carter, Hill dan Tate (1945), dibagi menjadi dua
sub-grup, yaitu kelompok simpai dengan warna punggung kehitam-hitaman dan simpai dengan warna punggung kemerah-merahan. Sedangkan menurut Lekagul
dan McNeely (1977), persebaran Presbytis melalophos Raffles 1821 yaitu di Tanasserim, Thailand, Malaya, Sumatera dan Kalimantan.
2.1.2 Morfologi
Simpai merupakan jenis monyet yang mempunyai berat badan yang beragam antara simpai jantan lebih berat dari simpai betina. Simpai mempunyai empat lengan yang berfungsi sebagai tangan dan kaki serta memiliki yang ekor panjang.
Ekor ini mencapai 1,5 kali panjang badan dan kepalanya (Maradjo, 1977). Menurut Carter dkk., (1945), simpai dicirikan oleh beberapa parameter di
antaranya ada lingkaran di atas mata serta adanya ulir-ulir rambut pada dahi. Rambut ini sebagian tumbuh ke belakang mulai dari kening dan membentuk mirip mahkota di atas kepala. Terdapat belang hitam melintang di pipi, dapat dilihat di
lapangan dalam kondisi cahaya terang (Payne, Francis, Phillips dan Kartikasari, 2000).
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), simpai mempunyai warna rambut yang
bervariasi. Pada bagian dorsal, warna tubuh bervariasi, mulai dari merah jingga, kelabu gelap sampai dengan kelabu terang, sedangkan bagian ventral berwarna putih kekuningan. Rambut anak simpai yang baru lahir berwarna keputih-putihan.
7
sedangkan berat tubuh berkisar antara 5-6 kg. Panjang ekor lebih kurang satu
setengah dari panjang tubuh, yaitu sekitar 710 mm.
Spesies simpai di Sumatera yang termasuk kelompok monyet dengan warna kemerah-merahan mempunyai ciri-ciri di antaranya punggung berwarna merah
kecoklatan, pipi dan dahinya berwarna putih serta terdapat garis pita berwarna merah melintang dari alis sampai ke bagian belakang mahkota, pada tungkai dan
sebagian ekor mempunyai warna dasar putih (Carter dkk, 1945). Simpai yang berada di pulau Sumatera bagian tenggara memiliki ciri-ciri punggung bagian atas berwarna merah kekuningan dan permukaan bagian bawah berwarna putih hingga
kuning, pipi berwarna putih kekuning-kuningan, rambut pada mahkota berbentuk jambul melintang dan tidak terdapat ulir-ulir dan terdapat batas yang jelas pada
dahinya (Sanderson, 1957).
Ukuran tubuh simpai bervariasi antara lokasi satu dengan lokasi yang lain. Medway (1969), menyatakan bahwa ukuran simpai di Thailand antara 435-599 mm untuk ukuran kepala dan badannya, sedangkan panjang ekor 680-840 mm.
Menurut Sanderson (1957), ukuran simpai di Borneo berkisar antara 460-593 mm, panjang badan dan kepala serta panjang ekor berkisar antar 695-765 mm. Lekagul
8
2.2 Habitat dan Penyebaran
Keberadaan primata pada habitat di alaminya merupakan salah satu bentuk kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam hayati, untuk menjaga keberadaan dan jumlah primata di habitatnya perlu adanya perlindungan, baik
perlindungan jumlah individu maupun sebarannya di habitat alaminya (Napitu, Ningtyas, Basari, Basuki, Basori, dan Kurniawan, 2007 dan Risdiyansyah,
Harianto, dan Nurcahyani, 2014).
Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak
lingkungan yang ditempati populasi itu, termasuk faktor-faktor abiotik berupa
ruang, tipe sub-stratum yang di tempati, cuaca dan iklimnya serta vegetasinya
(Darmawan, 2005). Komponen yang harus dipenuhi dalam suatu habitat terdiri
dari tiga komponen yaitu komponen biotik meliputi: vegetasi, satwaliar, dan
mikroorganisme. Komponen fisik meliputi air, tanah, iklim, topografi. Sedangkan
komponen kimia meliputi seluruh unsur kimia yang terkandung dalam komponen
biotik maupun komponen fisik (Zulfiqar, 2012).
Habitat primata di hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi tiga tingkatan secara
vertikal, yaitu strata atas, strata pertengahan dan strata bawah yang erat hubungannya dengan penyediaan makanan bagi primata. Simpai dalam mencari
makan mempergunakan strata tajuk yang ketinggian 20-30 m, hal ini dikarenakan dengan adanya predator dan sumber makanan, yaitu karet (Hevea brasilliensis) dan beringin (Ficus variegate) yang sebagian besar terdapat di pinggir sungai
9
pemilihan pohon tinggi sebagai pohon tempat tidur bertujuan untuk mengurangi
resiko primata dari predator termasuk ular dan burung pemangsa.
Simpai sering dijumpai pada hutan primer dataran rendah sampai pegunungan
hingga 2.500 m dpl. Simpai jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau daerah tepian air sungai. Penyusutan hutan menyebabkan primata ini terkadang dijumpai di daerah perkebunan. Menurut Wirdateti dan Dahruddin (2011), simpai
mempunyai adaptasi yang cukup tinggi terhadap perubahan habitat, seperti lokasi penebangan hutan atau daerah perkebunan, kelompok simpai sering melakukan
pergerakan di dasar hutan, karena pohon-pohon yang besar sudah banyak ditebang.
Simpai ditemukan di hutan hujan Semenanjung Malaysia, Kepulauan Sumatra
mulai dari bagian selatan sampai utara serta Kalimantan bagian barat (Oates dkk., 1994). Penyebaran hewan ini hampir diseluruh bagian pulau kecuali di bagian pantai timur di sebelah selatan Sumatera. Hewan ini dapat hidup pada berbagai
habitat seperti hutan karet rakyat, hutan campuran, hutan bakau, hutan sekunder dan hutan primer (Fitri, Rizaldi dan Novarino, 2013).
2.3 Aktifitas Harian Simpai
Simpai merupakan satwa diurnal yang melakukan aktifitasnya pada siang hari
10
2.3.1 Aktifitas Makan
Aktifitas makan adalah mencari sumber pakan yang potensial, melakukan pemilihan dan memetiknya, memasukkan ke dalam mulut, mengunyah kemudian
menelannya (Bugiono, 2001). Simpai merupakan satwa folivora yaitu mengkonsumsi daun sebagai pakan utamanya. Aktifitas makan simpai sering dijumpai pada siang hari (Sabarno, 1998).
Perilaku makan simpai seperti jenis primata lain, banyak menggunakan kedua tungkai depan yang berfungsi sebagai tangan dan anggota gerak lainnya untuk mengambil makanan dan membantu mendapatkannya. Simpai mengambil dan
memetik daun dengan menggunakan kedua tungkai depan yang berfungsi sebagai tangan atau langsung dengan mulut dan atau terlebih dahulu di lintingkan kearah
mulutnya (Sujatnika, 1992).
2.3.2 Aktifitas Berpindah
Aktifitas berpindah simpai bervariasi, yaitu seperti melompat, berjalan atau lari di atas dahan, dan memanjat pohon. Pergerakan dilakukan dengan cara quedropedal (menggunakan keempat lengan), memanjat dan melompat (Mukhtar, 1990). Aktifitas berpindah simpai biasanya dilakukan pada pagi hari (06.00-09.00) dan
sore hari (16.00-18.00) saat simpai beraktivitas mencari makan (Sabarno, 1998).
Meyer (2012), meyatakan bahwa saat melakukan aktifitas berpindah simpai akan mengawasi keadaan sekitar kelompok (vigilance) dan saat terdapat gangguan,
11
2.3.3 Aktivitas Bersuara
Menurut Bugiono (2001), aktifitas bersuara adalah salah satu karakteristik yang dimiliki satwa arboreal pemakan daun yang merupakan sistem isyarat yang efektif
antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Kegiatan bersuara di dalam kelompok primata merupakan salah satu mekanisme dalam rangka pemanfaatan ruang.
Simpai merupakan primata yang tidak banyak mengeluarkan suara akan tetapi simpai akan mengeluarkan suara pada saat tertentu. Suara yang dikeluarkan simpai ketika pagi hari tidak begitu nyaring dan nada rendah, yaitu
chak..chak..chak.., akan tetapi jika ada gangguan simpai akan melompat-lompat sambil mengeluarkan suara keras dan nada tinggi, lebih lama dan lebih sering frekuensinya, suara yang dikeluarkan yaitu chuakh…cuakh..chuakh..
(Sabarno,1998).
2.3.4 Aktivitas Beristirahat
Kegiatan beristirahat didefinisikan sebagai periode tidak aktif satwa dalam bentuk
apapun (Chivers, Reamackers dan Aldrich-Blake, 1975). Simpai mempergunakan waktu siang hari untuk beristirahat, Menurut Bugiono (2001), simpai beristirahat
12
2.4 Populasi Dan Parameter Demografi 2.4.1 Pengertian Populasi
Menurut Tarumingkeng (1994), populasi merupakan sekumpulan induvidu atau
kelompok induvidu suatu jenis mahluk hidup yang tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau ruang
tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran
(distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran.
Menurut Van Schaik, Assink dan Salafsky (1992), Bennett dan Davies (1994), Supriatna dan Wahyono (2000) dalam Wirdateti dan Dahruddin (2011), simpai merupakan satwa arboreal dan diurnal, hidup berkelompok dengan satu jantan dan lima sampai tujuh betina dan kadang-kadang lebih dari dua jantan dalam satu kelompok. Kelompok dengan wilayah jelajah yang sempit maka wilayah
kekuasaannya akan terbatas, begitu juga sebaliknya, hal ini berhubungan dengan ketersediaan pakan. Untuk menentukan daerah teritori kelompok jantan mengeluarkan suara sebagai penanda wilayah. Jantan yang soliter biasanya diusir
dari kelompok oleh jantan alfa dan ini terjadi pada habitat yang tidak mendukung ketersediaan sumber pakan.
2.4.2 Ukuran Kelompok
Menurut Kwatrina, Kuswanda dan Setyawati (2013), ukuran kelompok merupakan jumlah individu dalam kelompok. Data ukuran kelompok
13
sesuai keberadaan kelompok primata yang ditemukan dengan menggunakan GPS
receiver.
Simpai merupakan spesies primata yang hidup secara berkelompok dan beberapa yang hidup secara soliter. Primata yang hidup berkelompok memiliki dua alasan
mengapa hidupnya berkelompok yaitu karena adanya pemangsaan dan faktor makanan (Iskandar, 1988). Pada umumnya anggota dari genus presbytis hidup dalam satu kelompok yang dipimpin oleh seekor jantan dewasa sebagai pemimpin (uni male) dan terdiri dari beberapa betina dewasa, remaja dan anak (Fitri dkk, 2013).
2.4.3 Rasio Seksual
Rasio seksual adalah perbandingan antara jumlah induvidu jantan dan betina potensial reproduksi (Santoso, 1993). Rasio seksual adalah perbandingan antara
jumlah induvidu jantan dengan jumlah induvidu betina dari suatu populasi, biasanya dinyatakan dalam 100 ekor betina (Alikodra, 1990). Rasio seksual populasi akan berpengaruh pada laju reproduksi dan interaksi sosial pada
beberapa vertebrata (Krebs, 1972).
2.4.4 Struktur Umur
Terdapat tiga tahap perkembangan dalam populasi simpai berdasarkan kelas
14
a. Kelas umur anak yaitu umur berkisar 0-1 tahun, rambut berwarna putih dan
sebagian berwarna gelap yang membujur dari kepala hingga ekor serta lebih sering berada dalam gendongan induknya.
b. Kelas umur muda yaitu umur berkisar antara 1-6 tahun, bagian rambut yang berwarna gelap semakin memudar, bagian dalam paha berbentuk seperti garis hingga mata kaki tetap putih dan mulai terbentuk jambul.
c. Kelas umur dewasa yaitu umur berkisar antara 6-20 tahun, rambut berwarna merah kecoklatan pada bagian perut dan bagian dalam paha berwarna putih
serta jambul terbentuk sempurna.
Menurut Fitri dkk., (2013), menentukan kelas umur simpai dapat dilakukan dengan mengetahui ukuran tubuh dan warna rambut simpai yaitu pada individu
dewasa ditandai dengan ukuran tubuh yang lebih besar dan warna rambut tubuh oranye kecoklatan, individu muda ditandai dengan ukuran tubuh yang lebih kecil hampir sama dengan individu dewasa, akan tetapi warna rambut tubuh oranye,
individu anak-anak ditandai dengan ukuran tubuh lebih kecil dan memiliki warna rambut yang oranye pucat kekuningan, lalu individu bayi ditandai dengan ukuran tubuh yang lebih kecil dan belum mandiri, selalu berada dekat dengan individu
dewasa. ingkatan kelas umur simpai dapat ditentukan berdasarkan aktivitas makan simpai (Nasrulla, 2009), yaitu pada individu dewasa perilaku makannya selalu
duduk di dahan pohon yang terdapat banyak daun muda. Individu dewasa jarang berpindah saat aktifitas makan. Individu muda selalu berpindah dari dahan satu ke
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung
Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten
Lampung Selatan pada bulan Januari 2015 (Gambar 2).
16
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah binocular Bushell, kamera Canon
D70, jam tangan digital, lembar pengamatan, alat-alat tulis, GPS (Global
Positioning System), peta wilayah dan peta topografi wilayah KPHL Model
Gunung Rajabasa Lampung Selatan. Adapun bahan penelitian yang diamati
adalah kelompok simpai yang berada di hutan Desa Cugung KPHL Model
Gunung Rajabasa, Lampung Selatan.
3.3 Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini adalah:
1. Obyek penelitian yaitu kelompok simpai yang ditemui di area penelitian di
hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan.
2. Lokasi penelitian dilakukan di area tempat beraktifitas simpai yang ada di
hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan.
3. Penelitian dilaksanakan selama 14 hari efektif, jika simpai tidak ditemukan
maka akan digantikan hari berikutnya.
3.4 Jenis Data
3.4.1 Data Primer
Data primer yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa informasi terkait ukuran
kelompok simpai yang meliputi jumlah individu, struktur umur dan rasio seksual
simpai di hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa Kecamatan
17
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan antara lain bio-ekologi simpai dan kondisi lokasi
penelitian. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari pustaka, jurnal dan
terbitan lainnya untuk melengkapi data primer yang diambil dilapangan.
3.5 Metode Pengumpulan Data
3.5.1 Pengumpulan Data Primer
3.5.1.1 Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan adalah langkah awal untuk memulai penelitian, tujuan survei
pendahuluan agar peneliti mengetahui kondisi umum lokasi penelitian (Man,
2012). Kemudian dalam melakukan survei pendahuluan yang dapat dilakukan
adalah mencocokan peta kerja dengan kondisi di lapangan, menentukan jalur dan
lokasi pengamatan serta untuk mengetahui karakteristik habitat simpai.
3.5.1.2 Pengumpulan Data di Lapangan
Data yang dicatat selama penelitian adalah jumlah individu, struktur umur dan
rasio seksual simpai. Metode yang digunakan adalah metode area terkonsenterasi
(concentration count method) (Bismark, 2011). Pengamatan dilaksanakan
terkonsentrasi pada suatu titik yang diduga sebagai tempat dengan peluang
perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersediaanya pakan, air untuk minum
dan lokasi pohon tidurnya. Pengamatan dapat dilakukan pada tempat yang
tersembunyi sehingga tidak mengganggu aktivitas satwa.
Perhitungan jumlah individu, pengenalan struktur umur dan jenis kelamin simpai
18
berdasarkan ciri-ciri khusus pada kelompok yang diamati agar tidak terjadi
perhitungan ulang berdasarkan ciri-ciri khusus misalkan berdasarkan ukuran
tubuh, warna rambut dan aktifitas simpai saat makan (Nasrullah, 2009). Lembar
kerja meliputi hari dan tanggal pengamatan, waktu bertemu, lokasi bertemu,
temuan di lapangan, jumlah individu yang ditemui, jumlah total dan keterangan
saat dilapangan (Tabel 1).
Tabel 1. Lembar Pengamatan Ukuran Kelompok Simpai di Hutan Desa Cugung
No Hari/Tanggal
Pengamatan
Waktu (WIB)
Lokasi Jumlah Individu Jumlah
A Muda Dewasa
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, melalui studi
literatur dari pustaka, jurnal dan terbitan lainnya mengenai bio-ekologi simpai dan
kondisi lokasi penelitian tujuannya yaitu untuk melengkapi data primer yang telah
diambil dilapangan.
3.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan yaitu menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu
peneliti menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan hasil data yang di dapat
19
2006). Data yang akan dianalisis meliputi ukuran kelompok, komposisi umur dan
rasio seksual simpai.
3.6.1 Ukuran Kelompok
Menurut Kwatrina dkk., (2013), ukuran kelompok merupakan jumlah individu
dalam kelompok. Data ukuran kelompok dikumpulkan dengan mencatat jumlah
individu, komposisi kelompok, dan lokasi sesuai keberadaan kelompok primata
yang ditemukan dengan menggunakan GPS receiver.
Ukuran kelompok simpai dapat diketahui dengan menggunakan metode
pengamatan terkonsentrasi (concentration count). Jumlah individu terbesar yang
ditemui dari seluruh rangkaian pengamatan diasumsikan sebagi jumlah individu
yang mewakili satu kelompok. Apabila jumlah inidividu terkecil yang ditemui
diasumsikan bahwa individu yang lain tidak terlihat pada saat pengamatan
(Fachrul, 2007 dalam Qiptiyah dan Setiawan, 2012).
Pengamatan dilaksanakan terkonsentrasi pada suatu lokasi yang diduga sebagai
tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat tersediaanya
pakan, air untuk minum dan pohon tidurnya. Menurut Iskandar (2007) dan
Bangun, Mansjoer dan Bismark (2009), jenis pohon yang digunakan sebagai
pohon tempat tidur primata adalah jenis pohon yang pada umumnya juga
dimanfaatkan sebagai pohon sumber pakan. Pengamatan dapat dilakukan pada
tempat yang tersembunyi sehingga tidak mengganggu aktivitas satwa (Bismark,
20
3.6.2 Struktur Umur
Penentuan struktur umur simpai dapat diketahui berdasarkan ukuran tubuh, warna
rambut dan aktifitas simpai saat makan (Nasrulla, 2009 dalam Fitri Fitri dkk., 2013). Terdapat tiga tahap perkembangan dalam populasi simpai berdasarkan
kelas umur yaitu kelas umur anakan, muda dan dewasa (Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam, 1982., Ariestyowati, 1999 dalam Bugiono,
2001). Berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Kelas umur anak yaitu umur berkisar 0-1 tahun, rambut berwarna putih dan
sebagian berwarna gelap yang membujur dari kepala hingga ekor serta lebih sering berada dalam gendongan induknya.
b. Kelas umur muda yaitu umur berkisar antara 1-6 tahun, bagian rambut yang berwarna gelap semakin memudar, bagian dalam paha berbentuk seperti garis hingga mata kaki tetap putih dan mulai terbentuk jambul.
c. Kelas umur dewasa yaitu umur berkisar antara 6-20 tahun, rambut berwarna merah kecoklatan pada bagian perut dan bagian dalam paha berwarna putih serta jambul terbentuk sempurna.
3.6.3 Rasio Seksual
Nilai dugaan terhadap rasio seksual populasi simpai ditentukan dengan persamaan
yang menunjukan perbandingan antara jumlah jantan dan betina (Alikodra, 1990).
S = J B
4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1Sejarah KPHL Model Gunung Rajabasa
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Rajabasa didasarkan pada
Besluit Residen Nomor 307 Tanggal 31 Maret 1941 seluas 4.900 Ha. Kemudian dikukuhkan pada keputusan Menteri Kehutanan Nomor 67/Kpts-II/91 Tangal 31 Januari 1991 menjadi KPHL Gunung Rajabasa dan ditetapkan kembali dengan
Surat Keputusan Menhut Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000. Melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 367/Menhut-II/2011 tanggal 7 Juli 2011.
Luasan wilayah kerja KPHL Rajabasa seluas 5. 200 Ha yang keseluruhannya adalah hutan lindung. KPHL Rajabasa seluruhnya berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor
26 Tahun 2011 Tanggal 15 September 2011 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPTD) KPHL Model Rajabasa pada Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013).
4.2 Letak dan Luas Kawasan
Secara geografis kawasan Hutan Lindung Gunung Rajabasa terletak pada 5°44 47,88 sampai dengan 5°49 19,42 LS dan 105°35 48,00 s.d 105°41 21,00 BT.
22
Penengahan, Rajabasa dan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan. Luas kawasan
KPHL Model Rajabasa yaitu 5.160 Ha yang terdiri dari 176 Ha merupakan hutan primer, 3.148 Ha hutan sekunder dan 1.836 Ha non hutan. Adapun batas-batas
wilayah KPHL Rajabasa adalah:
a. sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa b. sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Betung
c. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan d. sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda
Menurut luasan wilayahnya KPHL Model Rajabasa dibagi kedalam 3 (tiga) Resort
Pengelolaan yaitu Resort I mencakup wilayah Penengahan, Resort II wilayah Kalianda dan Resort III wilayah Rajabasa (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013).
4.3 Tanah dan Topografi
Tanah di wilayah KPHL Rajabasa termasuk dari jenis tanah Andosol Coklat Tua Kemerahan dengan tingkat kepekatan tanah terhadap erosi adalah agak peka. KPHL Model Rajabasa formasi geologinya terdiri dari bahan induk tua
intermedier. Batuan Gunung Rajabasa termasuk ke dalam kelompok Phono Tephrite dan Basaltic Trachy Andesite. Seri batuan ini masih dalam kelompok
basa intermedian. Berdasarkan kategori tipe iklim Schmidt J.H. Ferguson, KPHL Rajabasa termasuk ke dalam wilayah dengan kategori iklim B dengan rata-rata curah hujan 1.298 mm/tahun dengan intensitas 17 mm/hari. Wilayah KPHL
Rajabasa merupakan sumber air bagi penduduk Kalianda dan sekitarnya dan termasuk ke dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung.
23
karena jarak hutan lindung relatif dekat dengan laut. Sungai yang paling besar di
kawasan hutan lindung tersebut adalah Way Rajabasa dan Way Pisang. Berdasarkan topografinya, wilayah KPHL Model Rajabasa terdiri dari beberapa
group vulkan andestik. Vulkan andestik tersebut terdiri dari lereng tengah, lereng bawah dan dataran vulkan bergelombang. Sebagai wilayah pegunungan, topografi di KPHL Rajabasa tergolong berat dengan kelerengan berkisar ± 25 - 45 % atau
termasuk ke dalam kelas lereng 4 (curam) dan 5 (sangat curam) (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013).
4.4Potensi Flora dan Fauna
Berdasarkan formasi klimatis, KPHL Model Rajabasa tergolong tipe hutan
hujan tropika, dan secara formasi edafis tergolong zona hutan hujan tropika bawah. Kawasan KPHL merupakan habitat yang sangat baik bagi kehidupan sebagian besar satwa liar tropis. Di wilayah ini dijumpai banyak satwa liar yang
tergolong dilindungi. Secara lengkap berbagai potensi fauna dan flora dilindungi yang dapat ditemukan di wilayah KPHL Model Rajabasa (Tabel 2
24
Tabel 2. Potensi Fauna di KPHL Model Gunung Rajabasa
No Jenis Nama Ilmiah Nama Lokal
1. Aves Rangkong Buceros bucernis
Burung Hantu Strix leptorammica Elang Bondol Haliastur indus Elang hitam Iktinaetus malayensis Elang paria Milvus migrans
Walet Collacalia maxima
Gagak Hitsm Corvus enca 2. Mamalia Harimau Sumatera Panthera tigris
Beruang madu Helarctos malayanus Macan tutul Panthera pardus
3. Primata Siamang Hylobates malayanus Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Lutung abu-abu Presbytis cristata
4. Reptil Ular -
Biawak Varanus albigularis Trenggiling Manis javanicus (Dikutip dari : RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013)
Tabel 3. Potensi Flora di KPHL Model Gunung Rajabasa
No Nama Lokal Nama Ilmiah
1. Medang Litsea spp
2. Melinjo Gnetum gnemon
3. Bebeka -
4. Arang-arang Diospyros frutescens 5. Balam Palaquium walsurifolium 6. Bengkal Nauclea subdita
7. Damar Agathis loranthifolia 8. Nangsi Villebrunea rubenscens
9. Pantis -
10. Sepat -
11. Bebay -
12. Bebaka -
13. Nangka Artocarpus integra 14. Durian Durio zibethinus
15. Kakao Theobroma cacao
25
4.5Kondisi Ekonomi dan Sosial Masyarakat
4.5.1 Kondisi Sosial
Terdapat 26 desa yang berbatasan langsung dengan KPHL Rajabasa dengan latar
belakang suku Lampung, Sunda dan Jawa dan Batak. Secara umum masyarakat yang berada di sekitar KHL Rajabasa mempunyai tradisi yang arif
dalam pengelolaan hutan, hal ini nampak pada pola-pola pengembangan pertanian disekitar kawasan hutan yang mengkombinasikan pola pertanian atau perkebunan dengan kehutanan seperti Repong Damar, penanaman
Durian, Pala, Jengkol, Petai, dan lain-lain (RPHJP KPHL Model Rajabasa, 2013).
4.5.2 Kondisi Ekonomi
Sebagian besar masyarakat di sekitar KPHL Model Rajabasa mata pencaharian sebagai petani dengan komoditi utama berupa: Kakao, Kopi, Pisang, Durian,
Jengkol, Petai, Tangkil. Sebagian lainya bekerja sebagai Pedagang, Nelayan dan Buruh. Desakan ekonomi masyarakat dan terbatasnya lahan pertanian, telah memicu masyarakat disekitar KPHL Model Rajabasa merambah kawasan
hutan. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum turut pula menjadi faktor pemacu peningkatan luas lahan terambah dan jumlah petani perambah
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan Desa Cugung KPHL Model Gunung Rajabasa, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ukuran kelompok simpai di hutan Desa Cugung yaitu 11 individu.
2. Komposisi umur simpai terdiri dari 1 individu jantan dewasa, 2 individu betina dewasa, 1 individu dewasa tidak teridentifikasi jenis kelaminnya, 2 individu
jantan muda, 3 individu muda tidak teridentifikasi jenis kelaminnya dan 2 individu anakan.
3. Rasio seksual simpai pada fase reproduktif (dewasa) yaitu 1:2.
6.2Saran
Saran yang terkait pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan pengamatan ukuran kelompok simpai (Presbytis memalophos)
secara kontinyu (time series) dalam penyusunan database mengenai ukuran kelompok simpai, sehingga dapat dipantau perubahan yang terjadi.
2. Perlu adanya perhatian khusus pada pembangunan gubuk yang dibangun oleh
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 1988. Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Laboratorium Ekologi Satwaliar JurusanKonservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ariestyowati, D. 1999. Analisis Populasi dan Sebaran Spasial Simpai (Presbytis melalophos, Raffless, 1821) di Kawasan Hutan Konservasi PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Arifin, Z. 1991. Studi Populasi dan Perilaku Surili (Presbytis aygula) di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Atmoko, T. 2010. Struktur Kelompok pada Primata.
http:triatmokonature.wordpress.com. Diunduh pada 22 Februari 2015. Badriah, D.L. 2006. Studi Kepustakaan, Menyusun Kerangka Teoritis, Hipotesis
Penelitian dan Jenis Penelitian.
http://www.kopertis4.or.id/Pages/data%202006/kelembagaan/studi_kepu stakaan_DR%5B1%5D._Dewi.Doc. Diunduh pada 13 Februari 2015.
Bakar, A dan N. M. Suin. 1993. The Potential of Primates in Kerinci Seblat National Park. Research by University Development Project III. Pusat Penelitian UNAND. Padang.
Bangun, T. M., S. S, Mansjoer., dan M. Bismark. 2009. Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasinal Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.19-24. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Bennett E, Davies A. 1994. The ecology of Asian colobines. Pp. 129-172 in A.
Davies, J. Oates, eds. Colobine Monkeys: Their Ecology, Behaviour and Evolution. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
49
.1984. Biologi dan Konservasi Primata Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana IPB: Bogor.
. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Survei Keragaman Jenis Pada Kawasan Konservasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Bugiono. 2001. Studi Populasi dan Habitat Simpai (Presbytis melalophos) di kawasan Hutan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Propinsi Riau. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Carter, T. D., J. E. Hill, dan G. H. H. Tate. 1945. Mammalsof the Pasific World. The MacMillan Company. New York.
Chivers, D. J., J. J. Reamackers and F. D. G. Aldrich-Blake. 1975. Long Term Observation on Siamang Behavior. Folia Primatol. Pp : 1- 49.
Darmawan, A. 2005. Ekologi Hewan.Malang: Universitas Negeri Malang Press. Malang.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam. 1982. Pola Pengelolaan Lutung (Presbytis) di Habitat Alamiahnya di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jendral Perlindungan dan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan. Bogor.
Facrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Kasara.
Fitri, R., Rizaldi., dan W. Novarino. 2013. Kepadatan Populasi dan Struktur Kelompok Simpai (Presbytis melalophos) serta Jenis Tumbuhan Makanannya di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA) 2(1)-Maret 2013 : 25-30 (ISSN : 2303-2162).
50
Iskandar E. 2007. Habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
IUCN 2008. IUCN Red List of Threatened Species. < www.iucnredlist.org>. Diunduh pada 13 Oktober 2014.
Kartikasari. 1986. Studi Populasi dan Perilaku Lutung (Presbytis cristata) di Taman Nasional Baluran. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (RPHJP KPHL) Model Gunung Rajabasa Lampung Selatan. Lampung Selatan. Lampung.
Kwatrina, R. T., W. Kuswanda dan T. Setyawati. 2013. Sebaran dan Kepadatan Populasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok dan Sekitarnya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 10 No. 1, April 2013 : 81-91.
Krebs, C. J. 1972. Ecology: The Experimental Analysis Of Distribution an Abudance. Herper and Row Publisher. New York.
Lang, K. C. 2006. Primate Factsheets: Long-tailed Macaque (Macaca fascicularis) Behavior.
http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/long-tailed_macaque/behav. Diunduh pada 13 Februari 2015.
Lekagul, B and J. A. McNeey. 1977. Mammals of Thailand. The Association for the Conservation of Wildlife. Bangkok.
Man, P. 2012. Laporan Penelitian : Keanekaragaman Jenis Primata di Kawasan Hutan Lindung Boven Lais Desa Batu Roto Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Maradjo, M. 1977. Fauna Indonesia: Binatang Menyusui dan di Lindungi. PT Karya Nusantara. Jakarta.
Medway, L. 1969. The Wild Mammals of Malaya and Offshore Island Including Singapore. Oxford University Press. London.
Meyer, D. 2012. Acoustic Structure Of Male Loud-Calls Support Molecular Phylogeny Of Sumatran And Javanese Leaf Monkeys (Genus Presbytis). BMC Evolutionary. Biology 12 (16): 1-11.
51
Nainggolan, V. 2011. Identifikasi satwa liar jenis primata di repong damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Lampung Barat. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. Tidak Dipublikasikan.
Napier, J. R and P. H. Napier. 1967. A Handbook of Living Primates. Akademic Press. London.
Napitu, P. J., R. Ningtyas, I. Basari, T. Basuki, A.F. Basori, Uiam, D. Kurniawan. 2007. Laporan lapangan konservasi satwa liar. Diakses 3 Desember 2014. http:///C:/Documents and Settings/ owner/My Documents/.html.
Nasrulla, A. F. 2009. Estimasi Kepadatan Populasi Surili (Presbytis comata) di Curug Cileat, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas MIPA UPI. Bandung.
Oates, J., Davies A., dan Delson, E. 1994. The Diversity of Living Colobines. Pp. 45-73 in A. Davies, J. Oates, eds. Colobine Monkeys: Their Ecology, Behaviour and Evolution. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Odum, E.p.1998. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga.Gajah Mada University
press:Yogyakarta.
Payne, J., Francis, C. M., Phillipps, K., dan Kartikasari, S. N. 2000. Panduan Lapang: Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Wildlife Conservation Society. Bogor. Indonesia.
Qiptiyah, M dan H. Setiawan. 2012. Kepadatan Populasi dan Karakteristik Habitat Tarsius (Tarsius spectrum Pallas 1779) di Kawasan Patunuang, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 9 No. 4 : 363-371,2012.
Risdiyansyah, S. P. Harianto, dan N. Nurcahyani. 2014. Studi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Condong Darat Desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Sylva Lestari Vol. 2 No. 1 Januari 2014 (41-48).
Sabarno, M. Y. 1998. Studi Pakan dan Perilaku Makan Simpai (Presbytis melalophos) di Kawasan Hutan Konservasi PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Sanderson, I. T. 1957. The Monkey Kingdom. Hamish Hamilton. London.
52
Sujatnika. 1992. Studi Habitat Surili (Presbytis aygula) dan Pola Penggunaan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Kawasan Haurbentes-Jasinga. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Supriatna, J dan F. H, Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Hlm 339.
Taruningkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi: KAJIAN Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kriste Krida Wacana. Jakarta. Van Schaik C, Assink P, Salafsky N. 1992. Territorial behavior in Southeast
Asian langurs: resource defense or mate defense?. American Journal of Primatology, 26: 333342.
Whitten, A. J. 1980. The kloss gibon in Siberut rain forest (Ph.D Disertasi). University of Cambridge, UK.
Wilson, C. C. dan W. L Wilson. 1975. The Influence of Selective Logging on Primates and Some Other Animal in East Kalimantan Folia Primates. Folia Primatologica 23 (4): 245-27.
Wirdateti dan H. Dahruddin. 2011. Perilaku Harian Simpai (Prebytis melalophos) dalam Kandang Penangkaran. Jurnal Veteriner Juni 2011 Vol. 12 No. 1 : 136-141.