BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat seseorang menjadi psikolog, ia dinyatakan berkomitmen untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah atas perilaku dan pemahaman seseorang akan dirinya dan orang lain; dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan kondisi individu, organisasi, dan masyarakat luas (Pope & Vasquez, 2011).
American Psychological Association (dikutip dalam Pope & Vasquez, 2011) telah membentuk seperangkat prinsip atau standar di mana psikolog membangun pekerjaan mereka. Kode etik ini berusaha untuk menyediakan standar untuk menghadapi sebagian besar situasi yang dihadapi oleh psikolog. Tujuan dari kode etik ini adalah kesejahteraan dan perlindungan terhadap individu atau kelompok dengan siapa psikolog bekerja.
Dalam prinsip dasarnya, APA (dikutip dalam Pope & Vaszuez, 2011) menyatakan bahwa psikolog berjuang untuk menguntungkan orang yang memperkerjakan mereka dan berhati-hati agar tidak melukai orang tersebut.
Di sini terlihat bahwa seorang psikolog diwajibkan untuk memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan seseorang, namun bagaimana jika seseorang tersebut adalah seorang kriminal, atau seorang tersangka yang dianggap memiliki informasi yang berguna, namun mereka tidak ingin angkat bicara dan saat itu kemungkinan besar keselamatan banyak orang dipertaruhkan.
konvensional. Penyiksaan dapat termasuk dalam interogasi, meskipun kedua hal tersebut tidak memiliki arti yang sama (Iqbal, Nguyen, & Randolph, 2005).
Menurut UN Convention Against Torture (dikutip dalam Iqbal et. al, 2005), penyiksaan berarti tindakan apapun di mana rasa sakit yang sangat atau penderitaan, baik secara fisik atau mental, secara sengaja dilakukan pada seseorang, dengan tujuan mendapatkan informasi atau pengakuan dari dirinya atau orang ketiga.
Penyiksaan merupakan salah satu bentuk paling ekstrim dari kekerasan terhadap manusia, yang mengakibatkan konsekuensi baik secara fisik maupun psikologis. Praktek menyiksa dalam menginterogasi telah dilakukan sejak lama. Sampai abad ke-18, penyiksaan telah digunakan secara luas untuk menginterogasi juga sebagai hukuman (Ramos, Du Puis, Galvin, Zolvaghari, & Cardeno, 2005). Meskipun pada zaman ini berbagai hukum internasional telah dibentuk untuk melarang penyiksaan, hal ini tetap digunakan dalam praktek interogasi (Constanzo & Gerrity, 2009).
Seorang psikolog memiliki pengetahuan untuk menghancurkan seseorang secara fisik maupun mental agar mereka angkat bicara. Psikolog dapat menggunakan pengetahuan yang telah mereka dapatkan untuk menyiksa kriminal tersebut, dengan alasan untuk keselamatan banyak orang.
Posisi APA (“Position on Ethics and Interrogations”, 2012) terhadap penyiksaan telah jelas dan tegas, bahwa partisipasi apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk aksi penyiksaan, memperlakukan secara jahat, merendahkan atau menghukum oleh psikolog sangatlah terlarang. Tidak ada pengecualian dalam bentuk apapun.
1.2 Kasus
Makalah ini akan membahas sebuah kasus di mana seorang psikolog menggunakan pengetahuannya untuk menyiksa tawanan secara tidak langsung untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Kasus tersebut dikutip dari “Louisiana Court of Appeal Hears Case on Guantanamo Psychologist” (2010), berikut adalah rinciannya:
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Peran Psikolog dalam Interogasi
Komite APA (dikutip dalam Behnke, 2006) telah menyatakan bahwa psikolog dapat mencari keterangan dalam interogasi di bawah pendoman etika yang tegas, bahwa interogasi tidak bersifat koersif. Tujuan dari interogasi adalah “Untuk mencegah bahaya bagi individu, masyarakat, atau keamanan negara,” dan bahwa obligasi untuk menjaga publik harus diseimbangkan dengan obligasi etis untuk individu. Psikolog memiliki kewajiban untuk melaporkan interogasi jika perilaku yang tidak etis muncul, melarang penggunaan informasi medis untuk membuat strategi interogasi, termasuk saat memberikan konsultasi saat interogasi terjadi. Psikolog juga memiliki peran untuk mengamati interogasi untukk mencegah terjadinya behavioral drift sebagai bagian dari intergator.
2.2 Penyiksaan
Penyiksaan memiliki hubungan langsung dengan post-traumatic stress disorder (PTSD) dan berbagai gejala dan disability (kecacatan). Penemuan baik dari penelitian uncontrolled dan controlled mendokumentasikan bukti penting bahwa untuk beberapa individu, penyiksaan memiliki konsekuensi psikologis serius dan jangka panjang (Costanzo & Gerrity, 2009).
Menurut Basoglu et al. (dikutip dalam Costanzo & Gerrity, 2009), masalah psikologis yang paling sering dilaporkan oleh korban penyiksaan dalam studi penelitian adalah: (a) gejala psikologis (kecemasan, depresi, mudah marah atau agresif, emosi yang labil, self-isolation atau social withdrawal); (b) gejala kognitif
(kebingungan atau disorientasi, kerusakan memori dan konsentrasi; dan (c) neurovegetative (insomnia, mimpi buruk, disfungsi seksual).
Iqbal et. al. (2005) mengelompokkan efek samping penyiksaan menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Individual
Secara individual, korban memiliki efek jangka panjang yang mengarah kepada PTSD dan indikasi atas gangguan psikologis yang tinggi. Efek dari penyiksaan seringkali kumulatif. Isolasi, sensory deprivation, dan long-term sleep deprivation menunjukkan untuk menyebabkan kerusakan psikologis jangka panjang, seperti kerusakan kognitif, termasuk kurangnya atensi, kerusakan memori, nalar, dan komunikasi.
b) Sosial dan Ekonomi