• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG UNDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG UNDA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh

Dita Nofa Diniati

Aspek pembuktian keabsahan alat bukti elektronik dalam kejahatan pencucian uang ini juga cukup menarik untuk dikupas, karena ternyata Undang-Undang Anti Pencucian Uang Indonesia telah membuat beberapa terobosan baru yang agak berbeda dari hukum acara pidana pada umumnya, yakni di antaranya dengan diperkenalkannya alat bukti baru di luar KUHAP. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, klasifikasi dan tabulasi.

(2)

ini,faktor aparat penegak hukum,yaitu aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala,serta faktor masyarakat,yaitu masih banyak masyarakat yang belum memahami seluk beluk tindak pidana pencucian uang.

(3)

A. Latar Belakang Masalah

Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, mengatakan bahwa Teknologi Informasi semakin dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dan oleh karena itu katanya “you have to married with IT”, yang

menggambarkan betapa sangat berartinya IT dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi informasi trersebut sangat pesat dan telah membawa banyak perubahan. Perubahan pola kehidupan tersebut terjadi hampir di semua bidang, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun bidang lainnya (Edmon Makarim, 2005 : 239).

(4)

lain sebagainya berkembang dengan cepat. Pada saat ini dunia perbankan nasional telah banyak yang memanfaatkan fasilitas ini untuk memberikan kemudahan pelayanan dalam melakukan kegiatan perbankan bagi nasabahnya dengan menggunakane-bankingatauinternet banking.

Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan,illegal logging, penyelundupan dan lain-lain. (Yenti Garnarsih, 2003: 8)

(5)

Berbagai kemajuan teknologi ini kemudian diantisipasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya ditulis UU ITE . Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ITE. Secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

Ancaman penggunaan teknologi informasi dalam mendorong pencucian uang telah disadari oleh banyak kalangan. Guru Besar Teknologi Informasi Universitas Paramadina, Marsudi W. Kisworo menandaskan bahwa saat ini dunia sedang berusaha memerangi pencucian uang lewat media internet bahkan kejahatan terbesar di internet adalah money launderingdengan persentase sekitar lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari kejahatan cyber (cybercrime) lainnya. (www.balipost.com).

(6)

Teknologi tinggi seringkali dapat menyokong ke arah pembaharuan pengaturan dan penegakan hukum di negara-negara maju di era teknologi informasi. Namun bagi negara-negara yang sedang berkembang, teknologi tinggi dapat menjadi suatu bumerang yang membuka banyak celah baru bagi para pelaku kriminal dalam melaksanakan tindakan melawan hukum.

Amerika Serikat, Malaysia, Singapura dan India telah memiliki cyberlaw yang berlaku positif di negaranya masing-masing (ius constitutum) dan untuk saat ini Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan ditetapkannya Undang-Undang tersebut, maka pengaturan tindak pidana di dunia cyber ini, tentu ini menjadi wahana baru dalam memerangi kejahatan yang menggunakan teknologi informasi, yang di dalamnya seringkali ada indikasi kejahatan pencucian uang.

Aspek pembuktian dalam kejahatan pencucian uang ini juga cukup menarik untuk dikupas, karena ternyata di dalam Pasal 38 butir b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah membuat beberapa terobosan baru yang agak berbeda dari hukum acara pidana pada umumnya, yakni di antaranya dengan diperkenalkannya alat bukti baru di luar KUHAP, sistem pembuktian terbalik dan sistem pembuktian dalam persidangan in absentia. Pasal 38 butir b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berbunyi : “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,

(7)

Dengan melihat penjelasan di atas, maka penulis ingin membuat suatu penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Keabsahan Alat Bukti

Elektronik dalam Mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

b. Apa saja faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia?

2. Ruang Lingkup Penelitian

(8)

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara jelas tentang :

a. Keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(9)

Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti (Soerjono Soekanto, 1984:125).

Untuk menjawab permasalahan yang ada, teori yang digunakan adalah menggunakan pendapat ahli hukum tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat digunakan penulis sebagai acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

(10)

kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan. (Bambang Poernomo, 1997: 86)

Moeljatno berpendapat, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan, larangan mana disertai ancaman (sanksi), berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Sudarto, 1990: 42).

R. Subekti (1987: 7), berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang diketemukan dalam suatu persengketaan. Di dalam mencapai kebenaran materiil tersebut tidak cukup hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, melainkan juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Sebab walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, tetapi apabila Hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya, maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

(11)

UU TPPU juga mengenal beberapa ketentuan khusus mengenai aspek pembuktian tindak pidana. Misalnya dalam hal perlu tidaknya dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebelum dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan kejahatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana asal, juga alat-alat bukti baru di luar KUHAP yang diperkenalkan oleh UU TPPU. Selain itu dikenal pula sistem pembuktian terbalik, dan kekuatan pembuktian dalam persidanganin absentia yang dianut oleh UU TPPU.

Macam-macam alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain : a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Selanjutnya, di dalam UU ITE tidak mengatur secara jelas mengenai sistem pembuktian, akan tetapi di Pasal 44 UU ITE dijelaskan mengenai alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

(12)

Alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE yaitu berupa informasi elektronik. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sedangkan alat bukti sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 4, yaitu dokumen elektronik. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Lebih lanjut, alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE adalah :

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(13)

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto (2007: 8), bahwa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

(14)

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Analisis yuridis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan menurut hukum (Surayin, 2007 : 17).

b. Keabsahan yaitu sesuatu yang mempunyai sifat yang sah (Surayin, 2007 : 1). c. Alat bukti adalah alat yang sudah ditentukan didalam hukum formal, yang

dapat digunakan sebagai pembuktian didalam acara persidangan, hal ini berarti bahwa diluar dari ketentuan tersebut tidak apat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah (www.kamushukum@online.com).

d. Elektronik adalah alat-alat yang dikendalikan atau mempunyai sifat-sifat dektron (listrik) (Surayin, 2007 : 131).

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).

(15)

maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU TPPU).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian pencucian uang, pengertian tindak pidana pencucian uang, sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana, pengertian alat bukti serta faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

(16)

masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

V. PENUTUP

(17)

A. Pengertian Pencucian Uang

Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai terminologi kejahatan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an dimana istilah ini merujuk pada perbuatan mafia dalam memproses uang hasil kejahatannya untuk dicampur dengan bisnis yang sah dengan tujuan agar uang kotor tersebut menjadi bersih atau terlihat sebagai uang dari hasil usaha yang sah (Ronal K. Noble dan CE Golumbic, dikutip oleh Yenti Garnasih, 2003: 45).

(18)

Pencucian uang sendiri bukan merupakan kejahatan tunggal, akan tetapi termasuk kejahatan ganda (dual crime) yang selalu berkaitan dengan kejahatan asal/core crime/predicate crime/predicate offence-nya. Pencucian uang merupakan follow up crime atau kejahatan lanjutan (Yenti Garnasih, 2003: 48). Di Australia, kejahatan pencucian uang disebut sebagai proceed of crime act yakni tindakan kejahatan atas hasil kekayaan yang diperoleh dari kejahatan (Yenti Garnasih, 2003: 94).

Menurut Pasal 1 angka 1 UU TPPU, dipaparkan definisi pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.

B. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Tindak Pidana Pencucian Uang dirumuskan didalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7

Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja :

(19)

b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinyaatau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya.

(20)

Pasal 6 ayat (1), berbunyi : “Setiap orang yang menerima atau menguasai :

a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran.

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 7 disebutkan bahwa : “Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau Korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Subyek hukum dari Pasal 7 adalah :

(21)

Tetapi disyaratkan yang berada di luar wilayah Negara RI. Sedang maksudnya berada barangkali termasuk bertempat tinggal atau berusaha (bisnis) di luar negeri. Pasal ini hanya mengatur subyek hukum TPPU bagi WNI dan Korporasi Indonesia saja, dengan demikian TPPU menurut Undang-Undang ini tidak mengatur subyek hukum bagi WNA dan Korporasi Asing. Sedangkan TPPU adalah kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah negara (transnasional). Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional bukan tidak mungkin pelakunya adalah WNA atau Korporasi Asing, tetapi tidak menjadi subyek hukum, dengan demikian mereka tidak terjangkau oleh undang-undang ini.

Pasal 7 ini hanya berkaitan dengan Pasal 3 saja, sekali lagi untuk WNA atau Korporasi Asing yang ada di luar negeri apabila menempatkan atau mentransfer Harta Kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana ke wilayah Negara RI tidak merupakan TPPU.

2. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan TPPU

a. Pasal 8

Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

b. Pasal 9

(22)

nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

c. Pasal 10

PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 39 ayat 1 (satu) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.

d. Pasal 10A

(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh Dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan Dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini.

(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.

(23)

(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

e. Pasal 11

(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.

C. Sistem Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana

R. Subekti (1987: 7), berpendapat bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang diketemukan dalam suatu persengketaan. Di dalam mencapai kebenaran materiil tersebut tidak cukup hanya berdasarkan alat-alat bukti yang sah saja, melainkan juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Sebab walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, tetapi apabila Hakim tidak mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan Jaksa kepadanya, maka Hakim tetap akan menjatuhkan putusan bebas dari segala dakwaan.

Pada dasarnya dalam proses pembuktian dikenal adanya tiga sistem pembuktian, yaitu :

(24)

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk).

3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee) (Andi Hamzah, 2008: 247).

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie)

Menurut D. Simons dalam Andi Hamzah (2008: 247), mendefinisikan bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.

(25)

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk)

Menurut Andi Hamzah (2008: 250), HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono Prodjodikoro (Andi Hamzah, 2008: 253) berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee)

(26)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyaninan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Hukum Acara Pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian negatif, dalam arti pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundangan dan pada keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di dalam sistem pembuktian negatif menurut Undang-Undang ini ada hubungan yang erat antara keyakinan Hakim dan alat-alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang. Keyakinan Hakim dapat diperoleh atau ditimbulkan dari adanya alat-alat pembuktian yang sah, begitu juga sebaliknya alat-alat pembuktian tersebut harus dapat memberikan keyakinan pada Hakim. Misalnya, walaupun ada sejumlah saksi, maka Hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala hukuman, sebab bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa saksi-saksi tersebut adalah orang-orang yang dibayar untuk menjerumuskan terdakwa.

(27)

berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.

D. Sistem Pembuktian Menurut UU TPPU dan UU ITE

UU TPPU juga mengenal beberapa ketentuan khusus mengenai aspek pembuktian tindak pidana. Misalnya dalam hal perlu tidaknya dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebelum dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang yang merupakan kejahatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana asal, juga alat-alat bukti baru di luar KUHAP yang diperkenalkan oleh UU TPPU. Selain itu dikenal pula sistem pembuktian terbalik, dan kekuatan pembuktian dalam persidanganin absentia yang dianut oleh UU TPPU.

(28)

yang beredar secara nasional, dalam jangka waktu 3 hari atau 3 kali penerbitan berturut-turut.

Selanjutnya, di dalam UU ITE tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai sistem pembuktian perkara pidana. Akan tetapi, apabila dilihat mengenai alat bukti yang dapat dipakai yaitu di dalam Pasal 44 huruf a yang menyatakan bahwa alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembuktian di dalam UU ITE yaitu berdasarkan pada pembuktian sebagaimana yang dimaksud dalam perundang-undangan yang berlaku khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

E. Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Menurut kamus hukum, alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan atau gugatan. (Sumarsono, hlm 650)

Menurut Pasal 39 (1) KUHAP dapat diketahui jenis-jenis barang bukti, yakni sebagai berikut :

1. Benda berwujud yang berupa :

a. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

b. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan.

(29)

d. Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan dilakukannya tindak pidana masuk dalam bagian ini ialah benda yang dihasilkan suatu tindak pidana.

2. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 183 KUHAP diatur pada ketentuan Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa macam-macam alat bukti adalah sebagai berikut :

1. Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa : “Dalam acara

(30)

Menurut Pasal 184 KUHAP di atas telah disebutkan bahwa ada lima macam alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, maka untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut :

1. Keterangan saksi

Keterangan saksi adalah keterangan yang merupakan hal-hal yang dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi tidak boleh berupa pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain. Keterangan saksi harus diberikan oleh orang yang kompeten, yaitu orang yang mampu secara hukum. Orang disebut kompeten apabila tidak di bawah umur, sadar dan tidak di dalam pengampuan, misalnya sakit jiwa.

(31)

(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. (2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena

jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

Sedangkan bunyi dari ketentuan Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) KUHP adalah sebagai berikut :

(1) Barangsiapa yang dalah hal-hal di mana Undang-Undang menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan tersebut, dengan sengaja memberikan keterangan palsu atas sumpah, dengan lisan atau dengan surat oleh dia sendiri atau oleh wakilnya yang ditunjuk untuk itu pada khususnya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Kalau keterangan palsu atau sumpah itu diberikan dalam suatu perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau tersangka, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama sembilan tahun.

(32)

Pasal 168 KUHAP, berbunyi :

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Pasal 169 KUHAP, berbunyi :

(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.

Pasal 170 KUHAP, berbunyi :

(33)

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Pasal 171 KUHAP, berbunyi :

Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

2. Keterangan ahli

Selain saksi di atas, ada orang lain yang diperlukan keterangannya di depan sidang pengadilan bukan sebagai saksi, artinya bukan mengenai apa yang didengar, dilihat dan dialaminya tetapi yang diperlukan adalah tentang pendapatnya menurut keahliannya. Keterangan dari orang ini disebut keterangan ahli dan orangnya dapat disebut sebagai saksi ahli.

3. Surat

(34)

4. Petunjuk

Petunjuk di sini dapat diidentikkan dengan suatu pemeriksaan di tempat kejadian perkara. Pemeriksaan di tempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu oleh panitera. Dalam melakukan pemeriksaan di tempat, panitera membuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dan panitera yang bersangkutan. Dengan melakukan pemeriksaan di tempat, hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang dikemukakan di persidangan. Hasil pemeriksaan di tempat yang dituangkan dalam berita acara itu merupakan bahan resmi, sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang tepat.

5. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa atau sering dikenal dengan istilah lain yaitu pengakuan terdakwa. Pengakuan yang diucapkan di muka sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dikuasakan untuk itu.

(35)

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam Pasal 184 KUHAP inilah menyebutkan suatu alat-alat bukti yang sah dalam acara pemeriksaan, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP ini ada perubahan yang sebelumnya terdapat dalam HIR. Perubahan mana dapat dilihat bahwa untuk KUHAP yang diperbaharui yaitu adanya keterangan ahli yang dalam HIR tidak disebutkan dan perubahan lain tentang keterangan terdakwa di mana dalam HIR disebut dengan pengakuan terdakwa.

F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah bagian dari seluruh akitivitas kehidupan yang pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama dalam suatu peraturan yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pengaturan bersama secara tertulis yang tertuang dalam suatu produk perundang-undangan dimaksudkan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih tertib dan berkepastian hukum.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor :

(36)

ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet, dilancarkan.

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai kelanggengan/konservatismedan nilai kebaruan/inovatisme.

(37)
(38)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang. Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986: 15).

(39)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data pada penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama (Soerjono Soekanto, 1984:12). Dengan demikian data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Kepolisian Daerah Lampung dan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan,

Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(40)

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini terdiri dari peraturan pemerintah, Keppres, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari literatur-literatur, mass media dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

(41)

melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan Metode Proporsional Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel (Irawan Suhartono, 1999: 89). Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kepala Bagian Analisis Polda Lampung = 1 orang b. Anggota Analisis Polda Lampung = 1 orang c. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang = 2 orang Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

(42)

b. Studi Lapangan

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode wawancara.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.

E. Analisis Data

(43)
(44)

A. Kesimpulan

Pada bab terakhir ini akan disimpulkan analisis yang telah dilakukan atas keabsahan alat bukti elektronik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun kesimpulan yang dapat diambil ialah :

(45)

dan Transaksi Elektronik, maka alat bukti yang sah sebagaimana dikenal dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP dan setelah lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik maka alat bukti untuk kejahatan cyber ditambah dengan alat bukti elektronik dan alat bukti dokumen.

2. Faktor penghambat dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, antara lain :

a. Faktor hukum, dalam hal ini yaitu berkaitan dengan ketentuan hukum mana yang akan dipakai dalam persidangan dan pengadilan mana yang kompeten mengadili tindak pidana pencucian uang ini. Masalah pencucian uang sendiri sebenarnya bersifat internasional. Ketentuan hukum pidana Indonesia telah mengatur prinsip-prinsip yurisdiksi yang bersumber dari ketentuan hukum publik internasional. Namun dalam penerapannya tidak dapat melangkahi kedaulatan negara lain dalam menegakkan ketentuan hukum.

b. Faktor aparat penegak hukum, dimana aparat penegak hukum masih memiliki keraguan menggunakan bukti elektronik karena anonimitas bukti tersebut dan ketiadaan pengaturan yang lebih rinci untuk menghadirkan bukti tersebut di persidangan. Sumber daya penegak hukum yang belum siap dapat juga menjadi kendala, baik dari segi pemahamannya tentang UU TPPU, teknologi informasi maupun dari segi integritas pelaksanaan tugas.

(46)

uang atau dengan kata lain, pengetahuan masyarakat akan tindak pidana pencucian uang masih sangat rendah.

B. Saran

1. Hukum acara pidana Indonesia dalam KUHAP dan UU TPPU telah mengatur beberapa hal yang cukup baik terutama untuk mengupayakan pembuktian pencucian uang di era teknologi informasi. Sehingga selama peraturan yang ada masih dapat mengatur dan mengisi kekosongan hukum, haruslah dipergunakan secara maksimal oleh polisi, jaksa maupun hakim. Permintaan akan tersedianya pengaturan yang lebih dan lebih spesifik lagi, seharusnya tidak menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk terus melakukan penundaan yang tidak pada tempatnya.

2. Hendaknya pemerintah (pembentuk undang-undang) merevisi ketentuan yang masih kabur dalam UU TPPU, seperti dalam Pasal 35 UU TPPU menjelaskan bahwa pembalikan beban pembuktian adalah kewajiban bagi terdakwa, sedangkan dalam penjelasan pasalnya dipandang sebagai kesempatan bagi terdakwa. Kemudian Pasal 17A UU TPPU mengenai anti tipping off tidak secara tegas dijelaskan bentuknya sebagai kejahatan sebagaimana rumusan pasal lainnya dalam Bab II dan Bab II UU TPPU yang telah ditegaskan sebagai kejahatan melalui Pasal 12 UU TPPU.

(47)

Referensi

Dokumen terkait

tubuh, yang termasuk daam bagian kepaa adaah, kecuai… a. &a &arna dibawah ini yang tidak ter rna dibawah ini yang tidak termasuk daam ingkaran warna

penjualan online begitu penting bagi perusahaan sekarang ini dikarenakan pemasaran produk dalam internet memudahkan konsumen untuk memilih produk yang di ingini, ini

Dengan mendapatkan data jumlah material yang harus dikerjakan untuk penanganan lumpur pada main sump , maka dapat diperkirakan lama waktu yang dibutuhkan oleh

Ukuran dalam, lebar dan tempat galian untuk pemasangan pipa dan peralatannya, serta bangunan yang termasuk di dalam pekerjaan ini harus dibuat sesuai gambar rencana.. Patokan

terdapat hubungan yang signifikan antara stres dan gangguan insomnia pada peserta didik terhadap hasil belajar Mata Pelajaran Fisika MTs Negeri Model Makassar, sehingga dapat

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah membimbing saya selaku peneliti telah menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Analisis Perbedaan Kepuasan Mahasiswa

Pascakualifikasi untuk pekerjaan tersebut di atas telah memenuhi syarat, dan sebagaimana ketentuan kepada yang telah ditetapkan akan ditunjuk sebagai Penyedia Jasa

[r]