TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh SKRIPSI
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh:
NIM 110200213 ERMA PANGARIBUAN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
SKRIPSI
Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh:
NIM: 110200213 ERMA PANGARIBUAN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP. 195703261986011001 Dr. M.Hamdan, S.H., M.H
Pembimbing I Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan sembah hanya kepada Tuhan Yesus, yang
menganugerahkan keselamatan dan memimpin Penulis dalam mengerjakan skripsi
yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat
Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan
UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.
Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi
persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara
yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan
menyelesaikan perkuliahannya.Dalam pengerjaan skripsi ini penulis tidak
sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen
6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., selaku Dosen
Pembimbing I, yang telah membimbing, mengarahkan dalam penulisan
skripsi ini.
8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II,
yang telah membimbing dan mengarahkan dan mendukung penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
9. Untuk orang tua penulis, Nelson Pangaribuan dan Rosmawati Panjaitan,
terima kasih untuk doa dan pengertiannya selama ini kepada penulis.
Terima kasih untuk kesabarannya. Semoga kasih dari Kristus Yesus
menyertai dan memberikan keselamatan kepada kalian.
10. Untuk kakakku terkasih Ana Pangaribuan, terima kasih untuk dukungan
moril dan materilnya selama ini, semoga diberkati Tuhan untuk keluarga
kakak bersama bang Eliber dan Rykel (keponakan tersayang). Untuk
abangku Coki Pangaribuan, terima kasih untuk semua yang abang berikan,
semoga Tuhan Yesus memberikan yang terbaik untuk abang. Untuk Bg
Anda, Bg Kardo dan Adek ku Susy, terima kasih untuk segalanya.
11. Untuk PKK ku, Bg Suspim terima kasih untuk setiap kesabaran dan
doa-doanya, terima kasih mengajariku mengenal Yesus Sang Juruselamat,
untuk KK Zuriel dan Makarios (Frimanda, Bobby, Tulus, Romeo), terima
kasih untuk semuanya saudaraku, melalui kalian aku boleh semakin
12. Untuk adekku KK SHE, Melva, Tika, Anita, Minar dan Agus, bersyukur
boleh menggembalakan kalian, keluarga rohani ku, terima kasih untuk doa
dan air mata kalian untukku. Tetaplah melayani Tuhan.Untuk adekku KK
DUNASTES, Tri Oktober, Samswardi, Gary dan Mazmur, terima kasih
telah mengajarkan ku arti perjuangan yang sesungguhnya. Aku mengasihi
kalian dan rindu melihat kalian menjadi orang yang takut akan Tuhan.
13. Untuk sahabat-sahabatku, David, Susi, Rendi dan Novly, terima kasih
untuk semua suka duka yang kita lalui bersama, untuk dukungannya
kepada penulis. Semangat untuk kita semua.
14. Untuk pelayanan ku KMK UP FH, dan orang-orang yang ada di dalamnya,
terpujilah Tuhan yang memilih kita untuk menjadi pelayanNya. Terima
kasih untuk Ka Monica, Ka Novika, Ka Juliani, Bg Marupa dan setiap
orang yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
D. Keaslian Penulisan ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pembuktian ... 12
2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ... 14
3. Pengertian Informasi dan Transaksi Eletronik ... 17
F. Metode Penulisan ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ... 24
C. Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Hukum Pidana
Indonesia ... 44
BAB III ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT
BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO.11 TAHUN
2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
A. Aspek Hukum Pembuktian Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang
Berdasarkan UU No.8 Tahun 2010 ... 53
B. Keabsahan dan Aspek Hukum Pembuktian Elektronik Dalam Kasus
Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No.11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... 86
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 94
ABSTRAK
Erma Pangaribuan* Syafruddin Kalo ** Mahmud Mulyadi ***
Salah satu dampak perkembangan teknologi dan internet adalah munculnya kejahatan dengan modus operandi yang baru seperti tindak pidana pencucian uang yang menggunakan transaksi elektronik. Hal ini mengakibatkan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, khususnya dalam hal pembuktian melibatkan alat bukti elektronik. Bukti merupakan hal mendasar dalam setiap perkara pidana. Oleh karena itu, alat bukti menjadi hal yang sangat menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana. Namun, KUHAP sebagai hukum formil di Indonesia, belum mengatur mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia dan aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang danteknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.
Alat bukti elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia. Pengaturan mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah diatur secara parsial dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun dengan adanya UU ITE telah memberikan perluasan alat bukti di ranah internet dari apa yang diatur dalam KUHAP. Hukum pembuktian pada UU ITE sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan UU ITE mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. Aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 73 dan dengan diberlakukannya UU ITE semakin dipertegas bahwa alat bukti dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah dan diakui dalam hukum acara Indonesia.
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
ABSTRAK
Erma Pangaribuan* Syafruddin Kalo ** Mahmud Mulyadi ***
Salah satu dampak perkembangan teknologi dan internet adalah munculnya kejahatan dengan modus operandi yang baru seperti tindak pidana pencucian uang yang menggunakan transaksi elektronik. Hal ini mengakibatkan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, khususnya dalam hal pembuktian melibatkan alat bukti elektronik. Bukti merupakan hal mendasar dalam setiap perkara pidana. Oleh karena itu, alat bukti menjadi hal yang sangat menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana. Namun, KUHAP sebagai hukum formil di Indonesia, belum mengatur mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia dan aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang danteknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.
Alat bukti elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia. Pengaturan mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah diatur secara parsial dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun dengan adanya UU ITE telah memberikan perluasan alat bukti di ranah internet dari apa yang diatur dalam KUHAP. Hukum pembuktian pada UU ITE sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan UU ITE mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. Aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 73 dan dengan diberlakukannya UU ITE semakin dipertegas bahwa alat bukti dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah dan diakui dalam hukum acara Indonesia.
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan
teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung di semua bidang kehidupan.
Apa yang disebut dengan globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20,
yakni pada saat terjadi revolusi transportasi dan elektronika yang
menyebarluaskan dan mempercepat perdagangan antar bangsa, disamping
pertambahan kecepatan lalu lintas barang dan jasa.1
Berkenaan dengan pembangunan teknologi, dewasa ini seperti kemajuan
dan perkembangan teknologi informasi melalui internet (interconnection
network), peradaban manusia dihadapkan pada fenomena baru yang mampu
mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia. 2 Kemajuan dan
perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi, multimedia dan teknologi
informasi (telematika) pada akhirnya dapat merubah tatanan organisasi dan
hubungan sosial kemasyarakatan. Hal ini tidak dapat dihindari, karena fleksibilitas
dan kemampuan telematika dengan cepat memasuki berbagai aspek kehidupan
manusia.3
1
Juwono Sudarsono, Globalisasi Ekonomi dan Demokrasi Indonesia, artikel dalam Majalah Prisma, No.8 Tahun XIX 1990, LP3ES, Jakarta., seperti dikutip oleh Didik M.Arief Mansur, Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hal.1.
2
Ibid., hal.2. 3
Ibid.
Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer dan seiring
dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan radio, berbagai komputer
perkembangan internet. Secara umum, jaringan komputer ialah gabungan
komputer dan alat perangkatnya yang terhubung dengan saluran komunikasi yang
memfasilitasi komunikasi di antara pengguna dan memungkinkan para
penggunanya untuk saling menukar data dan informasi.4
Menurut Soerjono Soekanto, kemajuan di bidang teknologi akan berjalan
bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan.
Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial,
kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilaku, organisasi dan susunan lembaga
kemasyarakatan.5 Salah satu perubahan pola perilaku masyarakat saat ini adalah
mudahnya mendapatkan informasi dan melakukan transaksi menggunakan
teknologi komputer dan jaringan internet. Hampir dalam setiap kegiatan manusia
menggunakan teknologi komputer, mulai dari yang bentuknya sederhana sampai
yang bentuknya rumit. Secara khusus, perkembangan teknologi komputer dan
internet memberikan implikasi-implikasi yang signifikan terhadap pengaturan
atau pembentukan regulasi dalam ruang siber dan hukum siber serta terhadap
perkembangan kejahatan dalam cyberspace, (cybercrimes).6
4
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, (Jakarta: PT Tatanusa, 2012), hal. 20
5
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta Rajawali Pers, 1980), hlm.87-88., seperti dikutip oleh Didik M.Arief Mansur, Elisatris Gultom, Op.cit., hal. 3.
6
Josua Sitompul, Op.Cit., hal.26.
Penggunaan teknologi
komputer dan peralatan digital lainnya, serta ditunjang oleh jaringan internet,
selain mempermudah pekerjaan manusia juga memberikan dampak negatif yaitu
meningkatnya potensi terjadinya tindak pidana. Hal ini dikarenakan, munculnya
wadah baru terjadinya tindak pidana, yaitu cyberspace atau sering juga disebut
kontrol administrator yang ketat. Sistem administrator mengontrol secara penuh
sistem dan perangkat keras serta perangkat lunak jaringan. Pengguna awal internet
adalah anggota komunitas yang dapat diidentifikasi sehingga dalam hal pengguna
melakukan penyalahgunaan jaringan atau perangkat, sistem administrator dapat
segera mengetahuinya dan dapat memberikan sanksi.7
Penggunaan kata cyber dalam cyberspace, cybercrime, dan cyberlaw serta
istilah lain yang menggunakan kata cyber seperti cyberpatrol, cyberterrorism, dan
cybersex berkembang dari penggunaan terminologi cybernetics oleh Norbert
Wiener. Esensinya, Cybernetics ialah ilmu pengetahuan tentang mengatur atau
mengarahkan sistem mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling
kompleks dengan cara memahami sistem dan perilakunya terlebih dahulu dan
mengaturnya dari luar sistem melalui berbagai alat, cara, dan metode. Oleh karena
itu, dalam konsep cybernetics, kontrol merupakan kunci penting dalam suatu
sistem.8
Perkembangan teknologi dan internet yang dipengaruhi oleh konsep
cybernetics telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan cyberspace,
globalvillage, atau internet yang menandakan dimulainya era baru, yaitu era
digital atau era informasi.9
7
Josua Sitompul, Op.Cit., hal.27. 8
Ibid., hal. 4. 9
Ibid., hal.31.
Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan
media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan
seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.
Dari sistem-sistem kecil lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun
akan menjadi “global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka, serta saling
bergantung satu sama lain.10 Menurut McLuhan, Global Village ini kemudian
dikenal dengan cyberspace.11Cyberspace, global village atau internet, merupakan
suatu dunia baru yang tercipta karena penyatuan antara manusia dan teknologi
berdasarkan ilmu pengetahuan, dan menandakan dimulainya era digital. Sama
seperti dalam dunia konvensional, maka dalam cyberspace ‘hidup’ masyarakat
(cybersociety) yang terdiri dari jutaan pengguna internet dari segala penjuru dunia
yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan komputer.12
Di samping itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan dunia
menjadi tanpa batas (borderless)13, yaitu mengecilnya atau bahkan hilangnya
batas-batas wilayah negara dimana informasi dapat dengan cepat diketahui oleh
negara lain. Namun disisi lain, dengan mudahnya komunikasi yang terjadi, maka
kejahatanpun semakin mudah terjadi. Sehingga teknologi informasi menjadi
pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif
perbuatan melawan hukum.14
Salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi adalah lalu lintas perdagangan. Kemajuan teknologi
mempermudah masyarakat melakukan transaksi keuangan antar negara melalui
jasa perbankan tanpa membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, kegiatan
10
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.1. 11
Josua Sitompul, Op.Cit., hal. 31. 12
Ibid., hal. 31 13
H. Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal.1.
transfer dana (pemindahan/ pengiriman/ pembayaran uang) merupakan salah satu
kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan modern saat ini. Perkembangan
globalisasi di berbagai bidang kehidupan yang ditunjang dengan pesatnya
kemajuan teknologi informasi dan elektronik telah memunculkan sistem transfer
dana elektronik (electronic Funds transfer system, disingkat EFTS). 15
Berkembangnya sistem transfer dana elektronik diikuti pula dengan
berkembangnya kejahatan teknologi canggih (high tech crime). Dikenallah antara
lain istilah cybercrime, EFTcrime, cybankcrime, internetbankingcrime,
onlinebusinesscrime, cyber/electronicmoneylaundering.16
Kejahatan transfer dana elektronik (electronic funds transfer crime) tidak
hanya ditujukan pada pencurian dana (theft of funds), tetapi juga pada
penggunaan, pengungkapan, penghapusan, pencurian atau perusakan data (use,
disclosure, alteration, theft, or destruction of data), atau bertujuan untuk
mengganggu/mengacaukan atau merusak sistem transfer dana elektroniknya itu
sendiri (disruption or destruction of the EFT system).17 Sistem transfer dana
elektronik juga dapat membantu menyembunyikan atau memindahkan hasil
kejahatan, sehingga sering juga disebut kejahatan pencucian uang yang dilakukan
secara elektronik.18
15
Makalah Pada Seminar Nasional Problematika Perkembangan Hukum Ekonomi dan Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 29 Mei 2004, seperti dikutip oleh Barda Nanawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 51-52.
16
Ibid., hal. 52. 17
Library Of Congress Catalog, Selected Electronic Funds Transfer Issues: Privacy, Security, And Equity (Washington D.C: U.S Government Printing Office, 1982), hal. 48., seperti dikutip oleh Ibid., hal.54.
18 Ibid.
UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
yang dikatakan melakukan tindak pidana pencucian uang, yaitu perbuatan
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain.Dalam
melakukan perbuatan yang dikatakan tindak pidana pencucian uang tersebut,
seringkali menggunakan transaksi elektronik.
Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindak
(perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarannya dikenakan
sanksi oleh negara. Meskipun dunia siber ialah dunia virtual, hukum tetap
diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat, setidaknya karena dua hal.
Pertama masyarakat yang ada di dunia virtual ialah masyarakat yang ada di dunia
nyata; masyarakat memiliki nilai dan kepentingan baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama yang harus dilindungi. Kedua, walaupun terjadi di dunia
virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh dalam dunia
nyata, baik secara ekonomis maupun non ekonomis.19
Hukum akan selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakat. Begitu
juga dengan kejahatan. Hukum baru muncul setelah ada kejahatan. Dengan
munculnya kejahatan yang baru dan dengan modus operandi yang baru, penegak
hukum harus memiliki cara untuk mengungkap kejahatan tersebut. Awalnya, Kondisi inilah yang
membuat harus ada pengaturan hukum mengenai aktivitas di cyberspace (dunia
virtual/maya) termasuk juga pengaturan atas segala dampak yang ditimbulkannya,
baik dampak positif maupun dampak negatif.
19
masyarakat tidak mengenal apa yang dimaksud dengan cybercrime, namun
dengan perkembangan kejahatan di dunia virtual (cyberspace), maka muncullah
istilah baru dalam hukum. Sama seperti di dunia konvensional yang penuh dengan
permasalahan hukum, cyberspace juga memunculkan permasalahan hukum
sehingga diperlukan cyberlaw.
Salah satu permasalahan dalam dunia virtual (cyberspace) adalah
mengenai pembuktian, karena harus membuktikan suatu persoalan yang
diasumsikan sebagai maya, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Alat buktinya
bersifat elektronik, yaitu dalam bentuk dokumen elektronik, yang belum diatur
dalam hukum acara sebagai hukum formal, namun dalam praktek telah dikenal
dan banyak digunakan. Bukti merupakan hal mendasar dalam setiap perkara
pidana. Oleh karena itu, alat bukti menjadi hal yang sangat menentukan dapat
tidaknya seseorang dipidana. Cara yang dipergunakan dalam mencari, memeriksa,
mengumpulkan dan menyimpan bukti tersebut dapat saja berbeda antara satu
penegak hukum dengan penegak hukum lainnya, namun demikian prosedur untuk
melakukan hal tersebut tetap diatur oleh suatu Hukum Acara Pidana yang berlaku
dan tentunya harus ditaati. Terjadinya kesalahan dalam mengumpulkan, mengolah
dan mempresentasikan bukti dalam persidangan dapat menimbulkan akibat yang
merugikan bagi usaha pembuktian terjadinya suatu tindak pidana,20
20
Mohamed Chawki, “The Digital Evidence In The Information Era”, Makalah disampaikan pada Cybercrime Conference 2003, Washington, 2003, hal.3.,seperti dikutip oleh Apreza Darul Putra, “Pengaturan Penggeledahan Dan Penyitaan Bukti Elektronik Dalam Kerangka Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia,”(Tesis, Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013), Hal. 1.
seperti dalam
kasus tindak pidana pencucian uang, yang dilakukan oleh terdakwa Ahmad
2012, yang telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri Purwakarta menyatakan bahwa
terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dimana tindak
pidana awalnya adalah tindak pidana penipuan di bidang komputer. Dilihat dari
fakta-fakta dipersidangan, terdakwa telah menempatkan dan membelanjakan harta
kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan karena terdakwa
telah menempatkan uang hasil penjualan pulsa yang didapatnya dengan jalan
masuk ke dalam sistem elektronik milik PT. Telkomsel ke dalam transaksi
keuangan yang ditempatkannya di rekening BCA KCU Purwakarta atas nama
Ahmad Hanafi. Selain itu, terdakwa membeli sebuah mobil Toyota Avanza Veloz
dan mentransfer uang kepada saudara iparnya. Oleh majelis hakim, terdakwa
diyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pencucian uang dengan barang bukti berupa kartu ATM Mandiri Syariah dan alat
bukti berupa hasil cetak transaksi transfer dana yang dilakukan oleh terdakwa.
Pengaturan secara materil tentang bukti elektronik telah diatur dalam
beberapa undang-undang khusus seperti dalam UU No. 8 tahun 2008 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun aturan
secara formilnya belum ada, walaupun dalam prakteknya hakim dalam
memutuskan kasus tindak pidana pencucian uang sudah memperhatikan
keberadaan alat bukti elektronik ini. Perkembangan teknologi yang sering
disalahgunakan dan menjadi media dan sarana yang digunakan dalam tindak
pidana pencucian uang, perlu mendapatkan penanganan yang serius, termasuk
apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah. Sehingga penulis tertarik
mengangkat judul TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBUKTIAN
ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti yang
sah dalam hukum pidana Indonesia?
2. Bagaimana aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang
sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan UU
No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami pengaturan mengenai bukti elektronik sebagai
alat bukti yang sah dalam hukum pidana Indonesia.
2. Mengetahui aspek hukum pembuktian elektronik sebagai alat bukti yang
sah dalam kasus tindak pidana pencucian uang dikaitkan dengan UU No.
Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Sebagai bahan informasi sehingga memperkaya literatur di Indonesia
dengan memberikan pengetahuan yang komprehensif tentang pembuktian
elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam tindak pidana pencucian
uang.
2. Manfaat praktis
Memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam hal pembuktian
elektronik dipandang sebagai alat bukti yang sah dalam kasus Tindak
Pidana Pencucian Uang.
D. Keaslian Penulisan
Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum
Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan
judul yang diangkat yaitu tentang ” TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
PEMBUKTIAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH
DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN
DENGAN UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
Oleh sebab itu, tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan
dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini merupakan asli dan belum
pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang di
telusuri dan diketahui oleh penulis. Kalaupun ada judul yang sama ataupun
menyerupai, penulis yakin substansi dan isinya berbeda.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal
ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagimana akibatnya jika seseorang yang
didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda
dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata bukti yang berartisesuatu
yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jikamendapat awalan pe-
dan akhiran -an maka berarti proses, perbuatan,dari membuktikan, secara
terminologi pembuktian berarti usaha untukmenunjukkan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan (Anshoruddin, 2004: 25). Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisipenggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
buktiyang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan
hakimmembuktikan kesalahan yang didakwakan (M.Yahya Harahap, 2005
:273).21
KBBI memberi arti pembuktian adalah proses, cara, perbuatan
membuktikan; usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang
pengadilan 22 . Menurut para ahli seperti, Martiman Prodjohamidjojo,
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas
sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut. Pengertian dari pembuktian itu sendiri adalah cara-cara yang dibenarkan
olehundang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkanundang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk
membuktikan kesalahan yangdidakwakan. 23 Sedangkan membuktikan itu
sendirimengandung pengertian memberikandasar-dasar yang cukup kepada hakim
yang memeriksa perkara yang bersangkutan gunamemberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan.24
KUHAP sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian
pembuktian, KUHAP hanya memberikan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut
21
Sekar Dianing Pertiwi Soetanto, Perkembangan Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pada KUHAP dan Undang-Undang Khusus Di Indonesia, (Skripsi: Universitas Sebelas Maret, Surakarta), hal. 21.
22
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1997), hal. 151.
23
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,ed. 2, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 273
24
hukum. Oleh karena itu, beberapa ahli memberikan pengertian tentang
pembuktian. Darwan Prinst menyatakan bahwa pembuktian adalah pembuktian
bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah
melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 25 Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo, pembuktian adalah pembuktian secara yuridis
tidak lain merupakan pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat
yuridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik dalam
pembuktian secara juridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya
berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar. 26 Pembuktian dalam perkara pidana sangat menentukan apakah
seseorang bersalah dan dapat dikenai pidana atau seseorang dinyatakan tidak
bersalah dan tidak dapat dihukum. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan
masyarakat berarti, bahwa seseorang telah melanggar ketentuan hukum pidana
(KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang
setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa
terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada
seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau memang ia bersalah
jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat, tetapi hukuman itu harus
seimbang dengan kesalahannya.27
25
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hal.133.
26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal.109.
27
2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Kejahatan pencucian uang (moneylaundering) pada dasarnya merupakan
upaya memproses uang hasil kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang
tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal. Dengan demikian asal usul uang
itu pun tertutupi. Sampai saat ini, belum ada defenisi yang universal mengenai apa
yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang secara
umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan memindahkan,
menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari satu tindak pidana
yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crimeorganization) maupun
individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak
pidana lainnya. Tujuannya adalah menyembunyikan atau mengaburkan asal usul
uang haram tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang
sah. Defenisi pencucian uang terus berkembang sejalan dengan perkembangan
kasusnya di dunia internasional. Salah satu defenisi yang menjadi acuan di seluruh
dunia termuat dalam The United Nations Convention Against Illicit Trafic In
Narcoticas, Drugs, And Psycotropic SubstanceOf 1988 yang kemudian diratifikasi
di Indonesia dengan UU No 7 tahun 1997. Namun, ada beberapa pendapat yang
memberikan pengertian tentang pencucian uang, seperti Prof. Dr. Sutan Remy
Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah moneylaundering sudah lazim
digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan seseorang atau
pidana.28 Pengertian lain dari moneylaundering menurut Sarah N. Welling
(1992)29
Defenisi pencucian uang menurut David Fraser (1992) :
“money laundering is the process by which one conceals the exixtence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear legitimate”. (Pencucian uang adalah proses dimana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan ilegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku).
30
Pamela H.Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime: Cases and
Materials, defenisi “money laundering” diberikan pengertian sebagai berikut :
“Money laundering is quite simply the process through which “dirty” money (proceeds of crime), is washed through “clean” or legitimate sources and enterprises so that the “bad guys” may more safely enjoy their ill’ gotten gains”. (Pencucian uang kurang lebiih adalah proses di mana uang ‘kotor’ (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi “bersih”atau uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga ‘para penjahat’ dapat dengan amanmenikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka).
31
Apapun defenisinya, pada hakekatnya pencucian uang menunjuk pada
upaya pelaku untuk mengurangi ataupun menghilangkan risiko ditangkap ataupun
uang yang dimilikinya disita sehingga tujuan akhir dari kegiatan ilegal itu yakni
memperoleh keuntungan, mengeluarkan serta mengkonsumsi uang tersebut dapat
terlaksana, tanpa terjerat oleh aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian :
“money laundering is the concealment of the existence, nature of illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered”
28
Aziz Syamsuddin, Op.Cit., hal. 17. 29
Sarah N. Welling, “Smurfs, Money Laundering and the United States Criminal Federal Law”, seperti dikutip oleh Adrian Sutedi, S.H., M.H., Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 13
30 Ibid. 31
menyimpan uang hasil kegiatan ilegal adalah sama dengan mencuci uang tersebut,
walaupun si pelaku tindak pidana sendiri hanya menyimpan uang tersebut dan
tidak mengeluarkan uang tersebut karena belum “dicuci”.32
Secara umum, tahap pencucian uang tersebut dibagi menjadi 3, yaitu:
pertama, penempatan uang (placement). Placement merupakan upaya
menempatkan uang tunai yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana dalam
bentuk yang lebih mudah dipindahkan dan tidak dicurigai untuk selanjutnya
diproses ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan, sehingga jejak
seputar asal-usul dana tersebut dapat dihilangkan. Pada tahap placement ini,
pelaku tindak pidana pencucian uang memasukkan dana ilegalnya ke rekening
perusahaan fiktif seperti perusahaan bidang perhiasan batu berharga, atau
mengubah dana menjadi monetary instruments seperti traveler’scheque,
moneyorder, dan negotiableinstruments lainnya kemudian menagih uang itu serta
mendepositkannya ke dalam rekening-rekening perbankan (bank accounts) tanpa
diketahui. Kedua, pelapisan uang (layering). Jumlah dana yang sangat besar dan
ditempatkan pada suatu bank tertentu akan menarik perhatian dan menimbulkan
kecurigaan pihak otoritas moneter negara bersangkutan akan asal-usulnya. Karena
itu, pelaku melakukan pelapisan (layering) atau juga disebut heavy soaping
melalui tahap transaksi keuangan untuk memutuskan/ memisahkan hubungan
antara dana yang tersimpan di bank dan tindak pidana yang menjadi sumber dana
tersebut. Tujuannya, untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Ketiga, penyatuan uang (integration/ repatriation/ spin dry), yaitu upaya
32
menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk
dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material
maupun keuangan, untuk membiayai kegiatan-kegiatan bisnis yang sah, atau
bahkan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.33Media atau sarana
yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang adalah sistem
keuangan. Dalam hal ini perbankan banyak digunakan oleh para pelaku kejahatan
tersebut menawarkan berbagai instrumen keuangan34
3. Pengertian Informasi dan Transaksi elektronik
, seperti deposito, giro,
ataupun tabungan.
KBBImemberikan pengertian informasi sebagai penerangan;
pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu.35 Jika dicermati, informasi
bukanlah berasal dari bahasa Indonesia melainkan dari bahasa asing
“information” yang berasal dari kata dasar “inform” yang secara leksikal artinya
adalah “to give, imbue or character to;” atau “be the formative principle of”, atau
“to give, imbue or inspire with some spesific quality or character”.36
33
Ibid., hal.20-21. 34
Philips Darwin, Money Laundering, (Sinar Ilmu, 2012), hal. 49. 35
36
Lamgok Hertanto Silalahi, Pembuktian Tindak Pidana Di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, (Skripsi, Universtitas Sumatera Utara), hal. 24
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 dalam Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian
informasi elektronik adalah
Menurut Turban, Rainer, dan Potter:
“Data are raw facts or elementary description of things, events, activities, and transactions that are captured, recoded, stored, and classified, but not organized to covey any specific meaning. Example of data would included bank balance”(Data adalah gambaran dasar, fakta-fakta awal yang belum terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan, dan transaksi yang ditangkap, direkam, disimpan dan terklasrifikasi tetapi tidak terorganisir untuk menyatakan arti khusus apapun. Contoh data ialah saldo rekening bank).37
F. Metode Penelitian
Sedangkan Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya
(Pasal 1 angka 2 UU ITE)
Metode penelitian ilmiah merupakan realisasi dari rasa ingin tahu manusia
dalam taraf keilmuan. Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat
dari gejala yang tampak dan dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Oleh karena
itu, perlu bersikap obyektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan dapat
ditemukan bila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan data
dikumpulkan melalui prosedur yang jelas, sistematis, dan terkontrol. 38
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
37
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 31, seperti dikutip oleh Lamgok Hertanto Silalahi, Loc.Cit.,hal. 25.
38
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.39
1. Jenis Penelitian
Sudah merupakan ketentuan dalam penyusunan serta penulisan
karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengajarannya.
Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang digunakan
untuk mancapai suatu tujuan. Untuk memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah,
penulis dalam melakukan pengumpulan data menerapkan metode pengumpulan
data sebagai berikut:
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian
hukum normatif. yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian
yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan, khususnya
perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian
uang danteknologi informasi. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan
penelitian doktrinal (doctrinalresearch) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah
atau norma yang merupakan patokan perilaku yang dianggap pantas.40
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif
mencakup41
39
Soerjono Soekanto, PengantarPenelitianHukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal. 43. 40
Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetodePenelitianHukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal.1.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2004), hal. 15.
:
a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematik hukum;
c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; d. perbandingan hukum; dan
2. Sumber Data
Untuk menyelesaikan isu mengenai masalah hukum dan sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, peneliti memerlukan
sumber-sumber penelitian yang disebut bahan hukum, baik bahan hukum primer
maupun sekunder.42 Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas43
a. Peraturan perundang-undangan;
:
b. Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan
perundang-undangan; dan
c. Putusan hakim.
Sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen yang tidak resmi.44
1. Buku-buku yang berkaitan dengan topik ini,
Data sekunder ini mencakup:
2. Dokumen-dokumen resmi,
3. Berita-berita hukum di internet,
4. Undang-undang informasi dan transaksi elektronik,
5. Pendapat pakar teknologi informasi/telematika,
6. Hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel, dan
seminar-seminar atau local karya yang berkaitan dengan topik ini.
Dalam menjawab permasalahan dalam skripsi ini, data-data yang akan dipakai
adalah data sekunder yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
42
Peter Mahmud Marzuki, PenelitianHukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 141, seperti dikutip oleh Zainuddin Ali, Loc.Cit.
43 Ibid. 44
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun, mengkategorikan data, mencari
pola atau thema, dengan maksud untuk memahami maksudnya. Menyusun data
berarti menggolongkannya dalam pola, thema atau kategori.45
G. Sistematika Penulisan
Data sekunder yang
telah diperoleh dan disusun secara sistematis kemudian akan dianalisis secara
kualitatif.
Skripsi ini diuraikan dalam 4 bab dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa
sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang
digambarkan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi
tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, tujuan Penulisan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Pengaturan Mengenai Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah
Dalam Hukum Pidana Indonesia. Dalam bab ini berisi tentang teori
pembuktian dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana
Indonesia, ruang lingkup alat bukti dalam hukum pidana Indonesia, dan
bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum pidana
Indonesia.
BAB III: Aspek Hukum Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah
Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU
No.11 Tahun 2008. Dalam bab ini menjelaskan tentang Pembuktian
dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
dan pembuktian elektronik dalam kasus tindak pidana pencucian
uangmenurut UU No. 11 tahun 2008.
BAB IV: Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian
bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat
BAB II
PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang,
sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan
dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling mengait dan
berhubungan satu dengan lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan
yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa
yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti ini boleh
dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/ kriteria
yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu
(objek) yang dibuktikan. 46
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Oleh
karena itu, hukum acara pidana mencari kebenaran materil. Adapun enam butir
pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai
berikut47
1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan
untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden); :
46
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal.24.
47
2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau
(bewijsmiddelen);
3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
sidang pengadilan (bewijsvoering);
4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian
penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast);
6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat
kebebasan hakim (bewijsminimum).
Pada hakekatnya pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum.
Menurut Adami Chazawi, pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum
penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan
di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang
berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.48
1. Sistem Pembuktian Keyakinan Hakim Belaka (Conviction In Time)
Ilmu pengetahuan mengenal empat sistem pembuktian, yaitu:
Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan berdasarkan
keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia
memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam
48
membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah
logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada
hati nurani hakim.49 Sehingga pembuktian ini sangatlah subyektif, seseorang bisa
dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya
pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang
dilakukannya.50
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia
biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada
kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara
hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini
terbuka peluang praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan
bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan
yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda
dahulu, yaitu pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten51
2. Sistem Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk
Bewijstheorie)
.
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang
disebut undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif (positiefwettelijkbewijstheorie). Dikatakan secara positif,
karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah
49
Ibid. Hal 25. 50
Tb. Irman S, HukumPembuktianPencucianUang, (Jakarta: MQS Publishing, 2006), hal. 136.
51
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut
juga teori pembuktian formal (formelebewijstheorie).52
Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana
khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitoir (inquisitoir) seperti
yang pernah dianut dahulu di benua Eropa.53 Menurut D. Simons, sistem atau
teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan- peraturan pembuktian yang
keras.54 Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.55 Teori ini
terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh
undang-undang.56
3. Sistem Pembuktian Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in
Raisonne)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai
dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
52
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 251. 53
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110., seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 27.
54
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 251.
55
A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, hal. 1., seperti dikutip oleh ibid. 56
motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena
hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).57
Dibandingkan dengan Sistem pembuktian keyakinan hakim belaka
(conviction in time), sistem ini lebih maju sedikit, walaupun kedua sistem ini
dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih
maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan
hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun
alasan-alasan itu menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU
maupun di luar UU.58
4. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif
(NegatiefWettelijk)
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh
undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta
yang diperoleh dari alat bukti yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang.59
57
Ibid., hal. 253. 58
Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 26. 59
Ibid., hal. 28.
Jadi, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan
undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan
didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, D. Simons)
undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan
undang-undangan.60
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sejak berlakunya
hetHerzieneIndonesischReglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah
menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan
bahwa:
“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.
Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan
penyempurnaan ke dalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:
61
Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan
sistem undang-undang secara negatif – sebagai intinya, yang dirumuskan dalam
Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah62
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi
syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.
:
Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara, dalam
hal ini perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab,
untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan
60
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 256.
61
Ibid., hal. 29. 62
terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian
dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim
mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2) terdakwa
melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya
peniadaan pidana selama persidangan), maka terdakwa dijatuhi pidana
(veroordeling). Sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang
didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak).
Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi
dalam persidangan terbukti adanya dasar/ alasan yang meniadakan pidana baik
di dalam UU maupun di luar UU, maka tidak dibebaskan dan juga tidak
dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum
(ontslagvanallerechtsvervolging).
b. Standar/ syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Sesungguhnya ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar
dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan,
tetapi dapat dibedakan, ialah:
1) Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.
Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP.
2) Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim
memperoleh keyakinan. Ada tiga macam/ tingkat keyakinan yang harus
didapatkan hakim dari pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat
yakin terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakin terdakwa
bersalah.
Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti,
bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi (keterangan saksi)
dan lainnya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud
sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang
sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama.
Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk
atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang
sah. Keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal
dua alat bukti yang sah tadi.63
B. Ruang Lingkup Alat Bukti dalam Hukum Pidana Indonesia
Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk
membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah:
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat
bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu ialah:
1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas
menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas
dari sekedar pengakuan.
2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan
merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka
26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).64
1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung
pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2
tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang
pengadilan.
Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah
ditarik 3 kesimpulan, yakni:
64
2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang
sumbernya di luar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan
pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan
menggunakan alat bukti keterangan saksi.
3. Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui
tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga
dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian
menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun
merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.65
Di dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26
dan 27), terdapat mengenai syarat, yakni: apa yang diterangkan adalah mengenai
hal yang dilihat, didengar dan dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak
dipenuhi maka keterangan saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan
sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu, tidak dapat dipertimbangkan sebagai
alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan untuk membentuk
keyakinan hakim.66
Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga,
sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal
membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:
65
Ibid., hal. 38. 66
i. Hal kualitas pribadi saksi
Kualitas pribadi yang dimaksud adalah kualitas saksi dalam hubungan
dengan terdakwa. Prinsip umum mengenai kualitas pribadi saksi dalam hukum
pembuktian adalah tidak ada hubungan keluarga. Pada umumnya semua orang
dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186
KUHAP berikut:
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Ratio dari pembatasan ini adalah untuk mencapai objektivitas isi
keterangan saksi. Namun, bila ada hubungan keluarga, maka ada batas-batas
hubungan tertentu yang tidak boleh menjadi saksi. Sedangkan hubungan keluarga
diluar batas-batas yang ditetapkan, tidak berhalangan untuk memberikan
keterangan saksi, tetapi masih juga ada perkecualian sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 170. Menurut ayat (1) pasal ini dikecualikan untuk menjadi saksi
adalah mereka yang karena jabatan, harkat dan martabat atau jabatannya
memberikan keterangan sebagai saksi, yakni tentang hal yang dipercayakan
kepada mereka.
Ada perkecualian dari orang yang tidak boleh didengar keterangannya
dalam sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 168 tersebut, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 169. Menurut Pasal 169, orang –orang yang berkualitas
dalam hubungan kekeluargaan sebagaimana disebutkan Pasal 168 dapat
memberikan keterangannya apabila:
1) Mereka yang berkedudukan dalam hubungan keluarga itu menghendaki
untuk memberikan keterangan;
2) Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya.
Biasanya, dalam praktik saksi yang demikian diajukan oleh penasihat
hukum. Kemudian hakim akan menanyakan relevansinya dengan pokok perkara
yang sedang diperiksa. Apabila menurut pertimbangan hakim cukup alasannya
untuk dapat didengar keterangannya, maka hakim meminta kepastian kepada
jaksa penuntut umum dan terdakwa apakah mereka menyetujuinya. Keterangan
saksi keluarga ini harus tidak diatas sumpah. Karena tidak diatas disumpah, maka
keterangan demikian nilai pembuktiannya sepenuhnya bergantung kepada
pertimbangan hakim. Artinya, hakim boleh menggunakannya dan boleh juga
tidak. Jika digunakan, maka tidak dapat disamakan nilainya dengan nilai
keterangan saksi yang disumpah, melainkan sekedar dipergunakan sebagai
tambahan atas keterangan saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat 7), atau sekedar
memperkuat alat bukti yang sudah ada saja. Dapat menambah nilai pembuktian
disumpah tadi harus bersesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah; dan
keterangan saksi yang disumpah ini telah memenuhi syarat minimal pembuktian.
Artinya, isinya bersesuaian dengan isi dari alat bukti yang lain.67
ii. Hal apa yang diterangkan saksi
Ada 2 syarat yang menyangkut keterangan saksi di muka sidang
pengadilan yang tidak bisa dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga
pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim,
yaitu:
1. Sumber pengetahuan saksi
Artinya, bahwa apa yang diterangkan oleh saksi haruslah bersumber dari
pribadinya sendiri, bukan keterangan yang didapat dari orang lain.
Keterangan yang didapat dari cerita orang lain, tidaklah mempunyai nilai
pembuktian.
2. Substansi isi keterangan
Isi keterangan saksi haruslah keterangan mengenai fakta, yaitu apa yang
dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri. Oleh karena itu, pendapat
bukanlah termasuk fakta sehingga tidak termasuk keterangan saksi yang
dimaksud Pasal 1 angka 27. Mengenai hal itu ditegaskan oleh Pasal 185
ayat (5), yang menyatakan bahwa:
“baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi”.68
67
Ibid., hal. 42. 68
iii. Alasan apa saksi mengetahui tentang apa yang diterangkan
Apa yang dimaksud dengan alasan adalah segala sesuatu yang menjadi
sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang
peristiwa yang diterangkan saksi. Keterangan saksi di muka sidang pengadilan,
tetapi dari rangkaian keterangannya tidak didapat keterangan mengenai sebab
pengetahuan mengenai apa yang saksi terangkan, maka keterangan tanpa sebab
pengetahuannya itu tidak bernilai pembuktian.69
iv. Syarat mengucap sumpah atau janji
Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan pada saksi sebelum memberikan
keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan
yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini
disebut dengan promissoris, artinya sanggup berkata yang benar.
Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan diatas sumpah
atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada dua alasan yang bersifat menekan
secara psikologis orang, yaitu: Pertama, pada kepercayaan terhadap sanski dosa
dan kutukan dari Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah,
sesuai dengan agama yang dianut. Dengan alasan ini maka sumpah yang
diucapkan saksi haruslah berdasarkan dan menurut cara agama masing-masing.
Kedua, pada sanksi hukum pidana. Hukum pidana telah menentukan sanksi
pidana maksimum 7 tahun sampai 9 tahun penjara bagi orang yang memberikan
keterangan palsu diatas sumpah (Pasal 242 KUHP).
69
v. Syarat adanya hubungan keterangan saksi dengan keterangan saksi lainnya
atau alat bukti lain.
Pasal 185 ayat (2) menentukan bahwa:
“keterangan seorang saksi sadja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Mengikuti ketentuan ini, maka suatu fakta yang didapat dari keterangan saksi
yang satu agar menjadi berharga haruslah didukung dengan keterangan saksi yang
lain, atau didukung oleh alat bukti lain. Maksudnya didukung adalah keterangan
satu saksi harus sama, yang dalam praktik disebut bersesuaian dengan keterangan
saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Fakta yang diperoleh dari keterangan satu
saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain saja
yang dapat dipertimbangkan hakim untuk membentuk keyakinannya bahwa tindak
pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya. Hanya diatas keyakinan
yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat yang sah itu saja pidana boleh
dijatuhkan.70
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lainnya;
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan
keterangan saksi dalam persidangan. Dalam menilai keterangan saksi, disamping
harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi, juga
harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal yang harus
diperhatikan sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 185 ayat (6), ialah:
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;
70
3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu