• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pembukaan Rahasia Bank Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pembukaan Rahasia Bank Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

vi

Christian Leander

0987012

ABSTRAK

Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Rahasia bank tidak dapat sedemikian rupa terbuka sehingga lembaga keuangan bank sebagai lembaga intermediasi menjadi sasaran mudah dalam melakukan tindak pidana pencucian uang.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif yang mengutamakan studi kepustkaaan dan berfokus kepada pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui Kajian Kepustakaan terhadap berbagai sumber hukum mencakup berbagai peraturan perundang-undangan yang menunjukkan implementasi prinsip kerahasiaan bank terkait dengan pelaksanaan prinsip mengenal nasabah yang merupakan salah satu upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pembukaan Rahasia bank di Indonesia menganut teori pembukaan rahasia bank yang bersifat relatif (nisbi), sehingga bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya apabila untuk suatu kepentingan mendesak misalnya demi kepentingan negara dan undang – undang walaupun pada kenyataannya sulit untuk dibuka karena konsistensi bank terhadap nasabahnya dan peraturan perundang – undangan masih membatasi pembukaan rahasia bank. Pembukaan rahasia bank di Indonesia lebih condong sebagai upaya represif dimana telah terjadi dugaan tindak pidana pencucian uang baru rahasia bank dapat dibuka, dengan demikian dalam penerapan prinsip mengenal nasabah pihak bank dan pihak lain yang terkait memerlukan upaya preventif dengan melakukan prinsip kehati – hatian dalam menerima nasabah dan mengawasi setiap aktivitas nasabah.

(2)

vii

Christian Leander

0987012

ABSTRACT

A Secrecy of Bank are everything related with information about customer and their savings. Secret bank can not open in such a way so that the financial institution bank as intermediary institutions become targets easily in doing a criminal offence of money laundering.

This Thesis using juridical normative analyse method and library research which focuses as the opening of the bank secret in an effort to fight against the crime of money laundering. This research is qualitative by using method of juridical normative literature through the study of various sources of law covers a wide range of legislation that show implementation the principle of bank secrecy in bank related to the implementation of know your customer principle as one of the prevention of money laundering.

The outcome of this research study indicates that the opening of the bank secrecy in Indonesia subscribes to the theory of opening bank secrecy which is relative, so bank allowed to reveal the customers when for an importance urged e.g. sake of the state and invite regulation even though in fact it is difficult to opened because the consistency of a bank against its customers and regulations still limit the opening bank secrecy. Opening the bank secrecy in Indonesia are more inclined as a repressive efforts where there have been allegations of criminal money laundering recently secret bank can be opened, thus in the implementation of the principle of know your customer at the bank and other parties who require preventive efforts associated with conducting prudential principle in accepting the customer and supervise the customer.

(3)

x

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA SIDANG ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan dan Identifikasi Masalah ... 13

C.Tujuan Penelitian ... 13

D.Kegunaan Penelitian ... 14

1. Kegunaan Teoritis ... 14

2. Kegunaan Praktis ... 14

E.Kerangka Pemikiran ... 15

F. Metode Penelitian ... 22

(4)

xi

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 26 6. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 26 G.Sistematika Penulisan ... 27

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DI INDONESIA

A.Sejarah dan Perkembangan Pencucian Uang ... 29 B.Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Hukum Positif di

Indonesia ... 33

1. Pengertian Tindak Pidana ... 33 2. Pengertian Pencucian Uang ... 38 3. Objek Tindak Pidana Pencucian Uang ... 40 4. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian

Uang ... 42

5. Tahap – Tahap Proses Pencucian Uang ... 46 C.Kriminalisasi Pencucian Uang ... 51

BAB III AKTIVITAS BANK SEBAGAI LEMBAGA

INTERMEDIASI

(5)

xii

2. Teori Rahasia Bank Bersifat Nisbi ... 82

C.Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank ... 83

BAB IV RELEVANSI PRINSIP RAHASIA BANK DENGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A.Konsep Teori Rahasia Bank Kaitannya Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 96 B.Korelasi Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Lembaga Keuangan Bank ... 104 C.Pembukaan Rahasia Bank Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Kaitannya Dengan Prinsip – Prinsip Perbankan ... 133 BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 155

B.Saran ... 159

Daftar Pustaka ... 161

(6)

B. Perundang - Undangan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Bagi Bank Umum.

Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Internet

Yenti Ganasih,“Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam

Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal)”, 2007, (http:

hukumonline.com), 20 Oktober 2012.

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Curriculum Vitae

Nama : Christian Leander

Tempat/Tgl Lahir : Tasikmalaya / 26 Februari 1990 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status Perkawinan : Belum Kawin Agama : Kristen Protestan Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Sekarang : Jalan Surya Sumantri No. 63A Bandung Alamat Asal : Jalan Rumah Sakit No. 31 Tasikmalaya Nomor Telepon : (0265) 337382

Nomor HP : 0818206630

Email : christian_apuk@yahoo.com

Riwayat Pendidikan:

1. SD BPK Penabur Tasikmalaya Lulus Tahun 2002. 2. SMP BPK Penabur Tasikmlaya Lulus Tahun 2005. 3. SMA BPK Penabur Tasikmalaya Lulus Tahun 2008.

4. Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha tahun masuk 2009 s.d saat ini.

Kemampuan:

1. Kemampuan Mengoperasikan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, Internet).

2. Kemampuan Hardware Komputer.

3. Kemampuan Mengemudikan Kendaraan Roda Dua dan Roda Empat.

(8)

Pengalaman Organisasi:

1. Panitia Penggalang Dana Perpisahan dalam Pembuatan Buku Tahunan Kelulusan SMA BPK Pemabur Tasikmalaya Tahun 2008.

2. Panitia Seminar Quo Vadis Bisnis Bermartabat Tahun 2009.

3. Panitia Kunjungan ke BEI (Bursa Efek Indonesia) dalam Seminar Nasional Penanaman Modal di Indonesia Tahun 2011.

Kursus, Pelatihan dan Seminar:

1. Kursus Teknik Mengemudi, LPT. Eka Jaya Tahun 2004.

2. Seminar Quo Vadis Bisnis Bermartabat, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2009.

3. Team Building, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2009. 4. Seminar United Nation Academic Impact, Universitas Padjadjaran Tahun

2011.

5. Seminar Strategic Natural Resources Investment in Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2011.

6. Seminar Nasional Penanaman Modal di Indonesia, Bursa Efek Indonesia Tahun 2011.

7. Seminar Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2011.

8. Seminar Nasional Call For Paper, Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Tahun 2011.

Demikian daftar riwayat hidup (curriculum vitae) ini saya buat dengan sebenarnya.

Bandung, 21 Desember 2012

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara yang merupakan lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaaan nasabahnya dalam mempercayakan dana dan jasa-jasa lain yang dilakukan melalui bank.

Semakin banyak kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, semakin banyak pula kesempatan yang akan timbul yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap dunia perbankan. Semakin luas kesempatan yang muncul, juga akan berbanding lurus dengan semakin banyaknya jenis dan ruang lingkup tindak pidana di bidang perbankan berdasarkan peraturan yang dilanggar, yaitu yang diatur umum dalam undang-undang perbankan dan yang diatur khusus dalam perundang-undangan di luar Undang-Undang Perbankan.

(10)

(mukadimah) UUD 1945 ini mengandung banyak dimensi kehidupan bangsa, antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan nasional.1

Sampai saat ini, setelah 67 tahun Indonesia merdeka dan berdaulat, tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat belum tercapai. Banyak kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan-tujuan negara tersebut. Setelah 14 tahun sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, pemerintah belum juga mampu untuk mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti sebelum krisis, bahkan kita semakin terpuruk ke dalam penderitaan. Banyak pakar berpendapat bahwa keterpurukan bangsa ini terutama disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara pidana.2

Penegakan hukum yang lemah berdampak pada segala bidang kehidupan bangsa, seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi, merosotnya nilai moral dan budaya, serta munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa. Pada bidang ekonomi, terjadi peningkatan jumlah pengangguran, rendahnya daya beli masyarakat sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat yang berdampak pada peningkatan angka kriminalitas. Menurunnya tingkat kompetensi perdagangan serta sulitnya menarik investor dari luar negeri untuk menanamkan modal karena tidak ada kepastian hukum merupakan dampak lanjutan atas lemahnya

1 Tim Penyusun, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 2006, hlm. 1.

2

(11)

penegakan hukum di Indonesia. Hal-hal diatas apabila tidak segera diatasi akan semakin menyulitkan usaha-usaha pemerintah dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa ini.3

Penegakan hukum yang banyak disorot oleh dunia internasional adalah penegakan dalam tindak pidana pencucian uang (money

laundering). Penanganan perkara ini dinilai masih bersifat tebang pilih,

kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan, serta belum ada harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Diakui atau tidak, pemberantasan tindak pidana pencucian uang menghadapi kendala baik bersifat teknis maupun non teknis.

Pemikiran agar Indonesia membuat suatu undang-undang tentang pencucian uang telah ada sejak Orde Baru mulai berkuasa.4 Akan tetapi pada saat itu terjadi pertentangan pendapat antara yang mendukung dan menentang diberlakukannya rezim anti-pencucian uang. Indonesia sebagai negara yang masih muda dan sangat membutuhkan modal dari luar negeri unutk pembangunan, akan mengalami kesulitan dalam mencari investor apabila Indonesia memberlakukan rezim anti-pencucian uang. Selain itu, perhatian dunia internasional terhadap praktek pencucian uang belum tinggi sehingga Indonesia tidak akan menghadapi tekanan dari masyarakat internasional bila terjadi praktek pencucian uang di Indonesia. Demikian

3 Ibid, hlm. 3.

4 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan

(12)

argumen yang diajukan para penentang rezim anti-pencucian uang pada saat itu.5

Perhatian dunia internasional terhadap praktek pencucian uang semakin meningkat setelah Financial Action Task Force on Money

Laundering (FATF) menyusun dan mengeluarkan the Forty Recommendations, yaitu sebuah kerangka dasar bagi upaya pemberantasan

pencucian uang dan dirancang sebagai pedoman yang dapat di-implementasikan secara universal. FATF adalah sebuah lembaga antar pemerintah (intergovernmental body) yang dibentuk oleh G-7 Summit di Paris pada Juli 1989, yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas praktek pencucian uang di dunia.6

Bulan Juni 2001, secara mengejutkan Indonesia ditetapkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas praktek-praktek pencucian uang oleh FATF. Sebagai konsekuensinya Indonesia dimasukan dalam NCCT list (non-cooperative countries and territories) bersama 16 belas negara lainnya. Dimasukannya Indonesia ke dalam FATF blacklist berdasarkan pada berbagai pertimbangan, yaitu belum adanya peraturan perundang-udangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana, terdapat loopholes (kekosongan hukum) dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-bank, terbatasnya sumber daya dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, serta

5 Ibid, hlm.ix.

6 Siahaan, NHT, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

(13)

minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang.7

Berbagai kelemahan yang dimiliki Indonesia pada saat itu, permasalahan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasi praktek pencucian uang merupakan kelemahan dasar dan fatal, karena tanpa adanya kriminalisasi terhadap pencucian uang maka tindakan menyembunyikan dan/atau menyamarkan harta kekayaan hasil dari suatu kejahatan merupakan tindakan yang dibenarkan menurut hukum di Indonesia. Oleh karena itu FATF menganggap bahwa Indonesia belum memenuhi syarat (eligible) untuk dapat masuk dalam pergaulan antar bangsa.

Reaksi yang terjadi di dalam negeri atas dimasukannya Indonesia ke dalam NCCT list bermacam-macam. Beberapa pakar berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu menghiraukan desakan internasional, dengan alasan bahwa Indonesia bukan anggota dari FATF, karena FATF sendiri bukan sebuah organisasi internasional atau badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk tunduk terhadap badan ini. Secara formal hal demikian dapat diterima, bahwa memang FATF bukan suatu badan atau organisasi internasional yang dapat memaksakan kebijakan - kebijakannya terhadap negara diluar anggota.

7 Yunus Husein, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Prosiding,

(14)

Perlu dipertimbangkan bahwa sebagian anggota FATF adalah negara – negara maju yang tergabung dalam G-7, yaitu Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Perancis dan Kanada, sehingga apabila Indonesia tidak menghiraukan desakan FATF untuk mengambil langkah tegas dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, maka FATF dapat melarang anggota-anggotanya untuk melakukan hubungan dagang dan keuangan dengan Indonesia. Tak dapat dibayangkan akibat yang timbul bagi Indonesia seandainya larangan tersebut benar-benar terjadi. Selain alasan-alasan diatas, perlu juga dikemukakan bahwa sejak tahun 1980 Indonesia telah membuat suatu pilihan untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengintegrasikan sistem keuangan negara dengan sistem keuangan dan perekonomian internasional.8

Adanya desakan yang demikian besar terhadap Indonesia agar segera melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang, maka pada 17 April 2002 pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30. Akan tetapi, dengan diberlakukannya undang-undang ini tidak secara otomatis membuat Indonesia keluar dari NCTT list. FATF menilai bahwa undang-undang tersebut belum sepenuhnya sesuai standar internasional yang sebagaimana dimaksud dalam the Forty Recommendations. Keprihatinan negara-negara anggota FATF terhadap kekurangan-kekurangan dalam Undang - Undang

8

(15)

Tindak Pidana Pencucian Uang lebih dirasakan sebagai desakan untuk mengamandemen undang-undang itu berkaitan dengan hampir 3 (tiga) tahun Indonesia bercokol dalam NCCT list.

Apabila Indonesia tidak segera menyesuaikan substansi undang-undang dengan standar internasional bukan tidak mungkin akan dikenakan

counter measures, yaitu tindakan yang mungkin saja dapat dikenakan

terhadap Indonesia adalah penolakan atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh bank-bank Indonesia, pemutusan hubungan korespondensi antara bank luar negeri dengan bank Indonesia, pencabutan izin usaha kantor cabang atau perwakilan bank Indonesia di luar negeri serta penolakan terhadap permohonan peminjaman atau bantuan dana dari negara-negara anggota FATF yang berdampak negatif bagi perekonomian nasional, dan pada pertemuan FATF di Stockholm, Swedia, sangat terasa nuansa pemberian counter measures terhadap Indonesia mengingat kelemahan-kelemahan dan belum dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selanjutnya pada tanggal 13 Oktober 2003 pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

(16)

mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara dan wilayah yang tidak kooperatif dalam usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang (NCCT list). Dikeluarkannya Indonesia dari daftar hitam (balcklist) adalah sangat tergantung dari pelaksanaan dan penegakan undang-undang tersebut. Implementasi Undang – Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sangat penting, bukan saja guna menghindari sanksi (counter measures) dari FATF, tetapi juga bertujuan agar berbagai predicate offences (tindak pidana awal) yang merupakan sumber uang haram dapat diberantas atau paling tidak dikurangi.

Telah diketahui, bahwa melalui pencucian uang pelaku tindak pidana dapat menyembunyikan dan menyamarkan, lalu pada tahap selanjutnya dapat menggunakan hasil dari tindak pidana itu secara bebas. Sifat dari tindak pidana pencucian uang adalah sulit dilacak (untraceable), tidak ada bukti tertulis (paperless), tidak kasat mata (discernible), dillakukan dengan cara yang rumit (intricrate) dan karena didukung oleh teknologi canggih, maka juga bersifat sophisticated.9 Dengan adanya

sifat-sifat tersebut, maka menjadi sangat sulit untuk mencegah dan memberantas tindak pidana ini.

Beberapa jenis tindak pidana, antara lain tindak pidana di bidang perbankan, korupsi, illegal logging, serta perdagangan narkoba, pada saat ini menjadi perhatian serius pemerintah. Tindak pidana itu bukan saja mempunyai efek negatif bagi masyarakat dan perekonomian nasional,

9 Yenti Ganasih,“Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya

(17)

tetapi secara internal akan menyebabkan krisis legitimasi terhadap pemerintah dan secara eksternal akan menimbulkan ketidakpercayaan dunia internasional atas kemampuan dan kemauan Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi berbagai pelanggaran hukum.10

Tindak pidana yang telah disebutkan diatas pada dasarnya bermotif ekonomi dan tanpa adanya kepentingan ekonomi, tindak pidana itu tidak akan terjadi. Oleh karena itu menjadi sangat penting menghapus motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembukaan, pembekuan dan perampasan hasil dari tindak pidana.11 Hal demikian akan menjadikan seseorang jera dan enggan untuk melakukan tindak pidana karena hasil dari tindakannya akan dilacak dan dirampas negara. Pendekatan ini disebut sebagai strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang (anti-money laundering strategy).12

Usaha untuk mencegah dan memberantasan tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan pelacakan, pembukaan, pembekuan, dan penyitaan atas aset atau rekening dari tersangka atau terdakwa pelaku pencucian uang. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang telah memberikan suatu mekanisme dan aturan dalam meal kukan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di persidangan terhadap kasus atau perkara tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi sampai saat ini masih terdapat kendala dan hambatan dalam penerapannya.

10 Tim Penyusun, op.cit, hlm. 1. 11 Ibid., hlm. 3.

12

(18)

Kendala-kendala dalam rangka penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, antara lain menyangkut:13

1. Pembukaan rahasia bank, pemblokiran dan permintaan keterangan mengenai rekening nasabah;

2. Penyitaan dana yang diduga berasal dari tindak pidana; 3. Pemeriksanaan atau penyelidikan;

4. Perlindungan saksi, ahli dan pelapor (whistle blower); 5. Tukar-menukar informasi antara pihak terkait; 6. Mengenai alat bukti, dan pembuktian di persidangan; 7. Proses hukum pemberian sanksi administratif;

8. Pemberkasan perkara dan tata cara pembuatan dakwaan;

Tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan melalui perantara Bank sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle) yang merupakan asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan

13 Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK,Risalah Rapat Koordinasi Penegakan Hukum TPPU,

(19)

demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa.

Berbicara mengenai kendala dan hambatan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian di Indonesia selama ini, maka perlu dikemukakan mengenai pembukaan rahasia bank guna mencari atau melacak harta kekayaan serta menggunakan rahasia bank tersebut dalam pembuktiaan kesalahan terdakwa di persidangan. Pembukaan rahasia bank menjadi elemen penting dalam proses penyidikan dan pembuktian dalam rangka pemeriksaan perkara pencucian uang.

(20)

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadikan pembukaan transaksi atau rekening milik tersangka atau terdakwa sering menghadapi masalah.

Aturan tentang pengaturan pembukaan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menimbulkan pertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Juga perlu dipertanyakan apakah pembukaan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Berpijak dari kondisi tersebut diatas, maka penting kiranya bagi penulis untuk mengkaji “TINJAUAN YURIDIS PEMBUKAAN RAHASIA BANK SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK

(21)

B. Rumusan dan Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang berdasarkan teori – teori rahasia bank?”

Dari rumusan masalah di atas dapat diidentifikasi hal –hal sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep teori rahasia bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang?

2. Bagaimanakah korelasi tindak pidana pencucian uang dengan lembaga keuangan bank?

3. Apakah pembukaan rahasia bank dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang melanggar prinsip-prinsip perbankan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai penulis adalah:

(22)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang.

2. Untuk mengkaji dan menganalisa sejauh mana korelasi tindak pidana pencucian uang dengan lembaga keuangan bank.

3. Untuk mengkaji dan menjelaskan ada atau tidaknya pelanggaran prinsip-prinsip perbankan yang berhubungan dengan pembukaan rahasia bank dalam memberantas tindak pidana pencucian uang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoretis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perluasan wawasan keilmuan, khususnya dalam penggunaan teori dan asas-asas hukum terhadap permasalahan normatif yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya ketidakjelasan norma dalam suatu perundang-undangan dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum perbankan dan serta dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana pencucian uang.

2. Kegunaan Praktis

(23)

berpikir yang metodis atas permasalahan normatif yang ditimbulkan terkait korelasi rahasia bank kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang.

b. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan tambahan pengetahuan mengenai praktik tindak pidana pencucian uang dalam perspektif hukum positif di Indonesia dan sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.

c. Bagi masyarakat dan pelaku bisnis serta praktisi hukum (legal

practice), diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

pemahaman mengenai rahasia bank, prinsip-prinsip perbankan kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian uang, dan terutama bagi pelaku bisnis agar tidak menimbulkan kekeliruan terhadap pemahaman mengenai sistem pembukaan rahasia bank dan pengaturannya.

E. Kerangka Pemikiran

(24)

empuk bagi kejahatan pencucian uang, mengingat sektor inilah yang banyak menawarkan jasa instrument dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan / menyamarkan asal usul suatu dana hasil dari kejahatan.

Perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. Bahkan melalui sistem perbankan pelaku dalam waktu yang sangat cepat dapat memindahkan dana hasil kejahatan melampaui batas yurisdiksi negara, sehingga pelacakannya akan bertambah sulit apalagi kalau dana tersebut masuk ke dalam sistem perbankan yang negaranya menerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.

Melalui tindakan yang melanggar hukum ini, pendapatan atau kekayaan yang didapat dirubah menjadi dana yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. Modus kejahatan seperti ini dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan tehnologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit (complicated).

Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your customer principle) / Customer Due

(25)

1. Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle)

Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

2. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)

(26)

3. Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle)

Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.

4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle /

Customer Due Dilligence (CDD))

(27)

praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan yang kemudian setelah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Bagi Bank Umum adalah membuat suatu pedoman pelaksanaan Program APU dan PPT. Mengingat adanya beberapa pernyesuaian yang dilakukan terhadap ketentuan sebelumnya yaitu PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dengan mengacu pada standar internasional yaitu 40 + 9 Financial Action Task Force on

Money Laundering (FATF) Recommendation sebagai upaya untuk

mendukung pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga adanya pennggunaan istilah Customer Due

Dilligence (CDD) untuk Know Your Customer Principles dalam

identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan ketentuan bank.

(28)

rahasia bank dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ialah Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 43, 44, 44A, 45, 47, 47A, 50, 50A, 51, 52 dan 53.

Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban publik. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat disimpangi.

Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah yang bersangkutan. Timbulnya pemikiran untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank adalah semula bertujuan unuk melindungi kepentingan nasabah secara individual.

Namun rahasia bank dapat dikesampingkan bila terjadi perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan sosial, terutama menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan dibidang

money laundering.

Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang tidak sah, pemerintah Indonesia membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”) yang tugas

(29)

lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) dalam

mendeteksi perilaku pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan.

Berkenaan dengan anti-money laundering, di Indonesia telah memiliki pranata hukumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), dan peraturan perundang-undangan lainnya. Akan tetapi keberadaan peraturan perundang-perundang-undangan mengenai kejahatan money laundering ini pada kenyataannya belum dapat tersosialisasikan dengan baik, sehingga masih perlu penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundang-undangan tersebut.

(30)

sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang illegal.

Untuk dapat menentukan masuk tidaknya suatu hasil tindak pidana termasuk dalam tindak pidana pencucian uang adalah dengan cara membuktikan bahwa telah benar terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dan adanya hubungan sebab akibat antara tindak pidana yang dilakukan dengan hasil dari tindak pidana tersebut berupa harta kekayaan.

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.14

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif untuk menganalisis data yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan permasalahan yang ada, dimana penelitian ini akan mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010,

(31)

dimasyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku tersebut berupa norma hukum positif yang dibentuk oleh lembaga berwenang, baik dalam bentuk undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah dan seterusnya, serta norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law) dan norma hukum tertulis yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum, dan rancangan undang-undang).15

Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum teoritis, dimana fokus kajian dalam penelitian ini menurut Bambang Sunggono adalah inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara inconcreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.16 Dasar pertimbangan dipilihnya jenis penelitian ini karena penulis akan mengkaji mengenai keberadaan pengaturan rahasia bank

dalam Undang-Undang Perbankan yang dirasa belum jelas dan

mengandung pengertian yang ambigu.

15

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm.52.

16 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009,

(32)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis dengan jalan menggambarkan secara rinci, sistimatik, dan menyeluruh, dimana analisis ini nantinya mengungkapkan kelemahan, kekurangan, dan kelebihan dari suatu undang-undang atau peraturan yang diteliti,serta berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antar pasal dalam peraturan perundang-undangan.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dimana analisis dalam penelitian ini didasarkan norma hukum positif tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer, terutama khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi dengan rumusan permasalahan yang ada.

4. Data dan Sumber Bahan Hukum

(33)

Bahan hukum dalam penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Jadi sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan

terdiri dari peraturan perundang-undangan, khususnya Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti literatur dan artikel internet serta jurnal dan publikasi hukum lainnya yang relevan dengan masalah yang diteliti, termasuk didalamnya hasil-hasil penelitian yang dilakukan secara empiris terkait pembukaan rahasia bank dan permasalahannya.

(34)

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dengan dilakukan Studi dokumen/kepustakaan, yang dilakukan di Perpustakaan Bank Indonesia Cabang Bandung, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Perpustakaan Universitas Padjadjaran Bandung dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang terkait dengan penelitian ini secara sistematis dan terarah kemudian diolah dan dianalisis secara normatif dengan menggunakan logika berpikir secara deduksi yaitu dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, yang didasarkan pada aspek hukum normatif pada permasalahan yang dimunculkan, yakni terkait pengaturan pembukaan rahasia bank dan tindak pidana pencucian uang.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif17, yaitu data skunder yang berupa teori, definisi dan substansinya dari berbagai literatur, dan peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis dengan undang-undang, teori dan pendapat pakar yang relevan,

17

(35)

sehingga didapat kesimpulan tentang tentang Pembukaan Rahasia Bank dan Tindak Pidana Pencucian Uang

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi Skripsi ini secara lengkap ke dalam lima (5) Bab yang tersusun sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah

yang menguraikan latar belakang dirumuskannya permasalahan dalam penelitian ini serta pentingnya dilakukan penelitian ini. Dalam bab ini juga diuraikan tentang: Identifikasi Masalah; Tujuan Penelitian; Kegunaan Penelitian; Kerangka Pemikiran; dan Metode Penelitian.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI

INDONESIA, berisi uraian tentang Sejarah dan Perkembangan Pencucian

Uang, Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Hukum Positif di Indonesia, Kriminalisasi Pencucian Uang.

BAB III AKTIVITAS BANK SEBAGAI LEMBAGA

INTERMEDIASI, yang berisi uraian tentang Rahasia Bank pada

(36)

terhadap penerapan rahasia bank sebagai dasar dalam mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang.

BAB IV RELEVANSI PRINSIP RAHASIA BANK DENGAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, yang

berisi uraian tentang konsep teori rahasia bank dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang serta korelasinya dengan lembaga keuangan bank melalui berbagai peraturan perundang-undangan terkait perbankan dan pencucian uang, serta mengkaji lebih jauh mengenai Pembukaan Rahasia Bank kaitannya dengan Prinsip – Prinsip Perbankan, hal ini bertujuan untuk memberikan landasan yuridis terhadap ruang lingkup pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

BAB V PENUTUP, yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran

(37)

155

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengkaji secara mendalam mengenai pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui komparisi peraturan – peraturan dan teori-teori yang telah dipelajari selama perkuliahan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Rahasia bank (bank secrecy) dianggap sebagai imbalan dari kepercayaan yang diberikan oleh nasabah demi kelangsungan hidup sebuah bank, berarti bahwa bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya (duty of

confidentiality). Rahasia bank yang di jalankan oleh bank

keberadaannya ada dalam persimpangan antara “tugasnya” dalam

melindungi nasabah dan dihadapkannya “tugas” tersebut dengan

(38)

tertentu yang diizinkan oleh peraturan perundangan – undangan seperti dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

2. Tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan melalui perantara lembaga keuangan Bank sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam pencucian uang, ada tahapan-tahapan yang sering dilalui oleh pelaku tindak pidana pencucian uang, yaitu:

a. Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat;

b. Tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. c. Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap

(39)

sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang adanya lembaga PPATK yang pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga independen yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang di Indonesia, PPATK akan bekerja sama dengan banyak pihak, selain dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana pencucian uang, PPATK juga akan bekerjasama dengan Bank Indonesia, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, Badan Pengawas Pasar Modal, Departemen Keuangan, masyarakat dan lembaga-lembaga lain baik dari dalam maupun luar negeri. Tugas PPATK yang sangat menonjol dalam kaitannya dengan usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia, yaitu tugas pertama adalah untuk mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, dan yang kedua adalah tugas untuk membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang dan juga tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes).

(40)

kontraktual antara Bank dengan Nasabah mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah dengan tidak hanya mengikat pada perjanjian akan tetapi juga mengikat pada undang - undang, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal –hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang- undang. Selain itu Ketentuan rahasia bank yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan pengecualian 74 dari ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Alasan pembukaan rahasia bank terkait perkara tindak pidana pencucian uang terdapat dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa demi kepentingan peradilan perkara pidana Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, penuntut umum atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Dengan demikian tertutup kemungkinan bagi penegak hukum untuk dapat membuka keterangan mengenai rekening pihak lain yang terkait dengan tindak pidana maupun pelaku, selama pemilik rekening terkait tersebut belum ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa sehingga dikhawatirkan hasil pencucian uang dilarikan,

74

(41)

dipindah tangankan dan dikaburkan sebelum pelaku ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa. Kerahasiaan bank yang dianut di Indonesia adalah menganut teori relatif (relative theory), dimana teori ini membolehkan bahwa kerahasian bank dapat dibuka (diungkapkan) untuk kepentingan umum dan pribadi seperti untuk kepentingan tukar menukar informasi antar bank serta untuk kepentingan warisan, untuk kepentingan piutang bank,untuk kepentingan peradilan pidana. Pembukaan rahasia bank di Indonesia lebih condong ke pembukaan rahasia bank sebagai upaya represif dimana telah terjadi dugaan tindak pidana pencucian uang baru rahasia bank mulai dibuka, dan dalam penerapan prinsip mengenal nasabah pihak bank melakukan upaya preventif dengan melakukan prinsip kehati – hatian dalam menerima nasabah dan mengawasi setiap aktivitas nasabah.

B. Saran

Setelah mengkaji secara mendalam mengenai pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui komparisi peraturan – peraturan dan teori-teori yang telah dipelajari selama perkuliahan, penulis memberikan saran:

(42)

2. Diperlukan Koordinasi secara tegas dam konsisten antara pemerintah, PPATK, Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana pencucian uang.

(43)

155

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengkaji secara mendalam mengenai pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui komparisi peraturan – peraturan dan teori-teori yang telah dipelajari selama perkuliahan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Rahasia bank (bank secrecy) dianggap sebagai imbalan dari kepercayaan yang diberikan oleh nasabah demi kelangsungan hidup sebuah bank, berarti bahwa bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya (duty of

confidentiality). Rahasia bank yang di jalankan oleh bank

keberadaannya ada dalam persimpangan antara “tugasnya” dalam

melindungi nasabah dan dihadapkannya “tugas” tersebut dengan

(44)

tertentu yang diizinkan oleh peraturan perundangan – undangan seperti dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

2. Tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan melalui perantara lembaga keuangan Bank sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam pencucian uang, ada tahapan-tahapan yang sering dilalui oleh pelaku tindak pidana pencucian uang, yaitu:

a. Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat;

b. Tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. c. Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap

(45)

sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang adanya lembaga PPATK yang pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga independen yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang di Indonesia, PPATK akan bekerja sama dengan banyak pihak, selain dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana pencucian uang, PPATK juga akan bekerjasama dengan Bank Indonesia, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, Badan Pengawas Pasar Modal, Departemen Keuangan, masyarakat dan lembaga-lembaga lain baik dari dalam maupun luar negeri. Tugas PPATK yang sangat menonjol dalam kaitannya dengan usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia, yaitu tugas pertama adalah untuk mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, dan yang kedua adalah tugas untuk membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang dan juga tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes).

(46)

kontraktual antara Bank dengan Nasabah mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah dengan tidak hanya mengikat pada perjanjian akan tetapi juga mengikat pada undang - undang, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal –hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang- undang. Selain itu Ketentuan rahasia bank yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan pengecualian 74 dari ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Alasan pembukaan rahasia bank terkait perkara tindak pidana pencucian uang terdapat dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa demi kepentingan peradilan perkara pidana Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, penuntut umum atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Dengan demikian tertutup kemungkinan bagi penegak hukum untuk dapat membuka keterangan mengenai rekening pihak lain yang terkait dengan tindak pidana maupun pelaku, selama pemilik rekening terkait tersebut belum ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa sehingga dikhawatirkan hasil pencucian uang dilarikan,

74

(47)

dipindah tangankan dan dikaburkan sebelum pelaku ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa. Kerahasiaan bank yang dianut di Indonesia adalah menganut teori relatif (relative theory), dimana teori ini membolehkan bahwa kerahasian bank dapat dibuka (diungkapkan) untuk kepentingan umum dan pribadi seperti untuk kepentingan tukar menukar informasi antar bank serta untuk kepentingan warisan, untuk kepentingan piutang bank,untuk kepentingan peradilan pidana. Pembukaan rahasia bank di Indonesia lebih condong ke pembukaan rahasia bank sebagai upaya represif dimana telah terjadi dugaan tindak pidana pencucian uang baru rahasia bank mulai dibuka, dan dalam penerapan prinsip mengenal nasabah pihak bank melakukan upaya preventif dengan melakukan prinsip kehati – hatian dalam menerima nasabah dan mengawasi setiap aktivitas nasabah.

B. Saran

Setelah mengkaji secara mendalam mengenai pembukaan rahasia bank sebagai upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui komparisi peraturan – peraturan dan teori-teori yang telah dipelajari selama perkuliahan, penulis memberikan saran:

(48)

2. Diperlukan Koordinasi secara tegas dam konsisten antara pemerintah, PPATK, Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana pencucian uang.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini penulis menganalisis laporan keuangan yaitu neraca dan laporan laba rugi pada perusahaan rokok yang sudah terdaftar di BEJ periode 2002 2003. dari hasil

Standar baku yang telah terbentuk hendaknya disosialisasikan kepada petugas sortir masing- masing store, kemudian PT Giga sebaiknya membuat kontrak dengan Petani Mitra

Aqueous sodium hydroxide Akueus natrium hidroksida Aqueous barium chloride Akueus barium klorida A White precipitate Mendakan putih Yellow precipitate Mendakan kuning

Sari Warna Asli Unit I Karanganyar, diketahui bahwa sistem pengadaan dyestuff dan bahan pembantu pada kain oxford untuk alur pertama yaitu proses pemasukan data (input) berupa Order

Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur pada Pemilu Legislatif tahun 2014 di wilayah kabupaten Kotawaringin

Pascakualifikasi untuk pekerjaan tersebut di atas telah memenuhi syarat, dan sebagaimana ketentuan kepada yang telah ditetapkan akan ditunjuk sebagai Penyedia Jasa

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi strategi DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcourse ) terhadap kasus TB paru di Puskesmas Tanah Kalikedinding Surabaya tahun 2013

Artinya harus ada kerugian negara atas perbuatan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dilakukan dengan