KEANEKARAGAMAN JAMUR MAKROSKOPIS DI HUTAN
PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DESA TONGKOH KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA
SANTA DEWI BORNOK MARIANA TAMPUBOLON 081202050/BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KEANEKARAGAMAN JAMUR MAKROSKOPIS DI HUTAN
PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DESA TONGKOH KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA
SKRIPSI
OLEH:
SANTA DEWI BORNOK MARIANA TAMPUBOLON 081202050/BUDIDAYA HUTAN
Skripsi sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Keanekaragaman Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Desa Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara
Nama : Santa Dewi Bornok Mariana Tampubolon
NIM : 081202050
Program Studi : Kehutanan
Jurusan : Budidaya Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Budi Utomo, SP, MP. Dr. Ir. Yunasfi, M.Si.
Ketua Anggota
Mengetahui,
Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D. Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRACT
SANTA DEWI BORNOK MARIANA TAMPUBOLON: The Diversity of Ma croscopic Fungi in Educa tion Forest of University of North Sumatra a t Tongkoh District of Ka ro North Suma tra , under a ca demic supervision by BUDI UTOMO a nd YUNASFI.
The resea rch of the diversity of ma croscopic fungi in Educa tion Forest of University of North Suma tra ha s never been reported. The resea rch has been conducted on Ma y until July 2012 a t a ltitude: < 1000 m a bove sea level; 1000 – 1500 m a bove sea level; and ≥ 1500 m a bove sea level, on five different tra il on ea ch a ltitude ca tegory. The length of observa tion tra il is 100 m. The first tra il on ea ch a ltitude ca tegory is determined with purpossive sa mpling method , then the next tra il wa s determined with systema tic sa mpling method. The observa tion a nd the collection of species has done explora tively in the plot sa mpling, size 20 m x 20 m. The results showed tha t wa s found 46 species of ma croscopic fungi which consist of 2 divisions, 4 cla sses, 10 orders, a nd 21 fa milies, where numbers of species of ma croscopic fungi wa s found on ea ch of a ltitude ca tegory consecutively 30 species, 43 species, and 32 species. The most domina nt species a t a ltitude < 1000 m a bove sea level is Stereum ostrea ; a t a ltitude 1000 – 1500 m a bove sea level is Coltricia perennis; a nd a t a ltitude ≥ 1500 m a bove sea level is Polyporus sp. The diversity index (H') on ea ch of a ltitude ca tegory consecutively 2,905; 3,099; and 2,818. The evenness index (E) on ea ch of a ltitude ca tegory consecutively 0,854; 0,824; a nd 0,813. The simila rity index (S) between the a ltitude ca tegory ranged 64,52% – 82,67%. The ma croscopic fungi wa s found commonly living on the deca yed wood and litter , a nd then a pa rt of living on the living wood.
ABSTRAK
SANTA DEWI BORNOK MARIANA TAMPUBOLON: Keanekaragaman Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Desa Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara, di bawah bimbingan akademik BUDI UTOMO dan YUNASFI.
Penelitian mengenai keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara belum pernah dilaporkan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2012 pada ketinggian tempat: < 1000 m dpl; 1000 − 1500 m dpl; dan ≥ 1500 m dpl, pada lima jalur yang berbeda di setiap kategori ketinggian tempat. Panjang jalur pengamatan adalah 100 m. Jalur pertama di setiap kategori ketinggian tempat ditentukan secara purpossive sa mpling, jalur selanjutnya ditentukan secara systematic sampling. Pengamatan dan pengkoleksian spesies dilakukan secara eksploratif dalam sampling plot berukuran 20 m x 20 m. Dari hasil penelitian ditemukan 46 spesies jamur makroskopis, yang terdiri atas 2 divisi, 4 kelas, 10 ordo, dan 21 fa mili, dimana jumlah spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada setiap kategori ketinggian tempat berturut-turut 30 spesies, 43 spesies, dan 32 spesies. Spesies yang paling dominan pada ketinggian tempat < 1000 m dpl adalah Stereum ostrea ; pada ketinggian tempat 1000 − 1500 m dpl adalah Coltricia perennis; dan pada ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl adalah Polyporus sp. Indeks keanekaragaman (H') pada setiap kategori ketinggian tempat berturut-turut adalah 2,905; 3,099; dan 2,818. Indeks kemerataan (E) pada setiap kategori ketinggian tempat berturut-turut adalah 0,854; 0,824; dan 0,813. Indeks kesamaan (IS) antar kategori ketinggian tempat berkisar 64,52% − 82,67%. Jamur makroskopis yang ditemukan umumnya hidup pada kayu lapuk dan serasah, serta sebagian kecil hidup pada pohon hidup.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 10 Oktober 1990 dari ayah
M. Tampubolon dan Ibu R. Sihombing. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari
SDN No. 206/IX, Kabupaten Muaro Jambi. Tahun 2005 penulis lulus dari
SMP Negeri 12 Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Tahun 2008 penulis lulus
dari SMA Swasta Xaverius 2 Jambi, Kota Jambi, dan pada tahun yang sama
penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Budidaya Hutan, Program Studi
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di
Taman Wisata Alam (TWA) Deleng Lancuk dan Gunung Sinabung, yang
tergabung dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Taman Hutan Raya Bukit
Barisan, Desa Kuta Gugung, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo, pada
bulan Juni 2010. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman
Nasional Meru Betiri (TNMB), Kabupaten Jember, Jawa Timur, pada bulan
Februari − Maret 2012.
Penulis melaksanakan penelitian pada bulan Mei − Juli 2012. Penulis
melaksanakan penelitian di kawasan Hutan Pendidikan Universitas Sumatera
Utara, Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat,
Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Keanekaragaman
Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Desa Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara” ini
bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman spesies jamur makroskopis yang
terdapat di kawasan Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara, Taman Hutan
Raya Bukit Barisan, Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo,
Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua dan kedua adik
atas dukungan doa, semangat, dan materi, sehingga penulis dapat melalui
perkuliahan dan akhirnya menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Budi Utomo, SP, MP. dan Dr. Ir. Yunasfi, M.Si. selaku Komisi
Pembimbing Skripsi, atas bimbingan, saran, dan motivasi yang diberikan dalam
menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pegawai
Balai UPT Taman Hutan Raya Bukit Barisan yang telah membimbing selama
pengambilan data di lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang turut serta membantu selama pengambilan data di lapangan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada saudara sepupu dan semua teman yang
telah memberikan dukungan doa dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulisan skripsi ini kemungkinan masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, demi
kesempurnaan penelitian terkait di masa mendatang. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan
ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur ... Sifat Jamur Berdasarkan Perolehan Makanan... Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis ... Kondisi Umum Hutan Pendidikan USU sebagai Tempat Penelitian...BAHAN DAN METODE ... Waktu dan Tempat Penelitian ... Bahan dan Alat Penelitian ... Metode Penelitian ... Analisis Data ...
HASIL DAN PEMBAHASAN ... Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU ... Habitat dan Peranan Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU ... Indeks Nilai Penting (INP) Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU ... Indeks Keanekaragaman (H') dan Indeks Kemerataan (E) Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU ... Indeks Kesamaan (IS) Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU ...
Keadaan Suhu dan Kelembaban Udara di Hutan Pendidikan USU ...
KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
49
51 51 52
53
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Klasifikasi spesies jamur makroskopis yang ditemukan di Hutan Pendidikan USU pada setiap kategori ketinggian tempat pengamatan...
2. Habitat spesies jamur makroskopis yang ditemukan di Hutan Pendidikan USU ...
3. INP spesies jamur makroskopis yang ditemukan di Hutan Pendidikan USU pada setiap kategori ketinggian tempat pengamatan ...
4. Indeks keanekaragaman (H') dan indeks kemerataan (E) spesies jamur makroskopis yang ditemukan di Hutan Pendidikan USU pada setiap kategori ketinggian tempat pengamatan ...
5. Indeks kesamaan (IS) spesies jamur makroskopis antar setiap kategori ketinggian tempat pengamatan di Hutan Pendidikan USU ....
6. Suhu dan kelembaban udara di Hutan Pendidikan USU selama periode pengamatan jamur makroskopis ...
28
33
36
43
46
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Struktur tubuh buah Basidiomycota ...
2. Peta Hutan Pendidikan USU sebagai tempat penelitian ...
3. Desain jalur dan plot pengamatan jamur makroskopis ...
9
21
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Deskripsi Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU ...
2. Tabel Pengamatan Individu Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU pada Ketinggian Tempat < 1000 m dpl ...
3. Tabel Pengamatan Individu Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU pada Ketinggian Tempat 1000 − 1500 m dpl...
4. Tabel Pengamatan Individu Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU pada Ketinggian Tempat ≥ 1500 m dpl ...
5. Tabel Analisis Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU pada Ketinggian Tempat < 1000 m dpl ...
6. Tabel Analisis Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU pada Ketinggian Tempat 1000 − 1500 m dpl ...
7. Tabel Analisis Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU pada Ketinggian Tempat ≥ 1500 m dpl ...
8. Tabel Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan Berdasarkan Jalur Pengamatan pada Ketinggian Tempat < 1000 m dpl ...
9. Tabel Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU Berdasarkan Jalur Pengamatan pada Ketinggian Tempat 1000 − 1500 m dpl ...
10. Tabel Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU Berdasarkan Jalur Pengamatan pada Ketinggian Tempat ≥ 1500 m dpl ...
11. Dokumentasi Pengamatan Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU ...
56
72
73
75
76
77
78
79
83
88
ABSTRACT
SANTA DEWI BORNOK MARIANA TAMPUBOLON: The Diversity of Ma croscopic Fungi in Educa tion Forest of University of North Sumatra a t Tongkoh District of Ka ro North Suma tra , under a ca demic supervision by BUDI UTOMO a nd YUNASFI.
The resea rch of the diversity of ma croscopic fungi in Educa tion Forest of University of North Suma tra ha s never been reported. The resea rch has been conducted on Ma y until July 2012 a t a ltitude: < 1000 m a bove sea level; 1000 – 1500 m a bove sea level; and ≥ 1500 m a bove sea level, on five different tra il on ea ch a ltitude ca tegory. The length of observa tion tra il is 100 m. The first tra il on ea ch a ltitude ca tegory is determined with purpossive sa mpling method , then the next tra il wa s determined with systema tic sa mpling method. The observa tion a nd the collection of species has done explora tively in the plot sa mpling, size 20 m x 20 m. The results showed tha t wa s found 46 species of ma croscopic fungi which consist of 2 divisions, 4 cla sses, 10 orders, a nd 21 fa milies, where numbers of species of ma croscopic fungi wa s found on ea ch of a ltitude ca tegory consecutively 30 species, 43 species, and 32 species. The most domina nt species a t a ltitude < 1000 m a bove sea level is Stereum ostrea ; a t a ltitude 1000 – 1500 m a bove sea level is Coltricia perennis; a nd a t a ltitude ≥ 1500 m a bove sea level is Polyporus sp. The diversity index (H') on ea ch of a ltitude ca tegory consecutively 2,905; 3,099; and 2,818. The evenness index (E) on ea ch of a ltitude ca tegory consecutively 0,854; 0,824; a nd 0,813. The simila rity index (S) between the a ltitude ca tegory ranged 64,52% – 82,67%. The ma croscopic fungi wa s found commonly living on the deca yed wood and litter , a nd then a pa rt of living on the living wood.
ABSTRAK
SANTA DEWI BORNOK MARIANA TAMPUBOLON: Keanekaragaman Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Desa Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara, di bawah bimbingan akademik BUDI UTOMO dan YUNASFI.
Penelitian mengenai keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara belum pernah dilaporkan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2012 pada ketinggian tempat: < 1000 m dpl; 1000 − 1500 m dpl; dan ≥ 1500 m dpl, pada lima jalur yang berbeda di setiap kategori ketinggian tempat. Panjang jalur pengamatan adalah 100 m. Jalur pertama di setiap kategori ketinggian tempat ditentukan secara purpossive sa mpling, jalur selanjutnya ditentukan secara systematic sampling. Pengamatan dan pengkoleksian spesies dilakukan secara eksploratif dalam sampling plot berukuran 20 m x 20 m. Dari hasil penelitian ditemukan 46 spesies jamur makroskopis, yang terdiri atas 2 divisi, 4 kelas, 10 ordo, dan 21 fa mili, dimana jumlah spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada setiap kategori ketinggian tempat berturut-turut 30 spesies, 43 spesies, dan 32 spesies. Spesies yang paling dominan pada ketinggian tempat < 1000 m dpl adalah Stereum ostrea ; pada ketinggian tempat 1000 − 1500 m dpl adalah Coltricia perennis; dan pada ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl adalah Polyporus sp. Indeks keanekaragaman (H') pada setiap kategori ketinggian tempat berturut-turut adalah 2,905; 3,099; dan 2,818. Indeks kemerataan (E) pada setiap kategori ketinggian tempat berturut-turut adalah 0,854; 0,824; dan 0,813. Indeks kesamaan (IS) antar kategori ketinggian tempat berkisar 64,52% − 82,67%. Jamur makroskopis yang ditemukan umumnya hidup pada kayu lapuk dan serasah, serta sebagian kecil hidup pada pohon hidup.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Jamur merupakan satu diantara berbagai jenis organisme yang berperan
penting dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Jamur berperan
sebagai dekomposer bersama dengan bakteri dan beberapa spesies protozoa,
sehingga banyak membantu proses dekomposisi bahan organik untuk
mempercepat siklus materi dalam ekosistem hutan. Dengan demikian, jamur ikut
membantu menyuburkan tanah melalui penyediaan nutrisi bagi tumbuhan,
sehingga hutan tumbuh dengan subur (Suharna, 1993).
Jamur, khususnya kelompok jamur makroskopis atau makrofungi
(Basidiomycota), merupakan kelompok utama organisme pendegradasi
lignoselulosa karena mampu menghasilkan enzim-enzim pendegradasi
lignoselulosa seperti selulase, ligninase, dan hemiselulase (Munir, 2006), sehingga
siklus materi di alam dapat terus berlangsung. Selain itu, kelompok jamur
makroskopis secara nyata mempengaruhi jaring-jaring makanan di hutan,
kelangsungan hidup atau perkecambahan anakan-anakan pohon, pertumbuhan
pohon, dan keseluruhan kesehatan hutan. Jadi, keberadaan jamur makroskopis
adalah indikator penting komunitas hutan yang dinamis (Moore et al. (ed.), 2001).
Beberapa spesies jamur bersifat parasit bagi tumbuhan ataupun hewan,
sementara spesies jamur yang lain berasosiasi saling menguntungkan (mutualistik)
dengan tumbuhan ataupun hewan. Selain itu, berbagai spesies jamur bermanfaat
langsung bagi manusia seperti sebagai sumber makanan dan bahan obat.
Penggunaan jamur dalam pengobatan tradisional sudah dikenal sejak
digunakan sebagai bahan obat umumnya merupakan spesies jamur makroskopis
seperti Ganoderma lucidium dan Lentinus edodus. Ganoderma lucidium sudah
lebih dari 2000 tahun dipakai di China sebagai obat non toksik, bahkan
masyarakat China percaya jamur ini dapat menyembuhkan segala jenis penyakit.
Lentinus edodus juga telah digunakan dalam pengobatan tradisional China sejak
2000 tahun sebelum masehi (Gandjar et al., 2006).
Di Indonesia sendiri masih banyak spesies jamur makroskopis yang belum
teridentifikasi dan belum diketahui manfaatnya hingga saat ini, sehingga
pemanfaatan langsung sebagai sumber makanan ataupun bahan obat belum
maksimal dilakukan. Spesies jamur makroskopis yang telah banyak
dibudidayakan di Indonesia, yakni Pleurotus ostreatus dan Auricularia auricula ,
belum berkembang pesat dalam hal teknik budidaya dan pemasaran, karena belum
terlalu dikenal sebagai bahan makanan yang kaya akan kandungan protein.
Sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis yang luas dengan
keanekaragaman spesies jamur makroskopis yang tinggi, di hutan Indonesia
penelitian mengenai keanekaragaman jamur makroskopis belum banyak
dilakukan. Sampai saat ini data dan literatur mengenai keanekaragaman jamur
makroskopis di Indonesia masih sangat terbatas. Data dan literatur tentang jamur
makroskopis umumnya adalah tentang jamur makroskopis di daerah beriklim
subtropis yang memiliki warna, bentuk, ukuran, dan spesies yang berbeda dengan
jamur makroskopis di daerah beriklim tropis. Di lain pihak, kita dihadapkan pada
cepatnya laju penurunan keanekaragaman hayati baik oleh proses alamiah maupun
oleh ulah manusia. Jika hal ini terus berlanjut, maka banyak spesies jamur
Inventarisasi spesies jamur makroskopis iklim subtropis yang memiliki
empat musim menunjukkan hasil yang berbeda dengan spesies jamur makroskopis
iklim tropis. Untuk itu, inventarisasi spesies jamur makroskopis iklim tropis
sangat perlu dilakukan (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara (USU), Desa Tongkoh,
Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, merupakan satu
contoh kawasan hutan hujan tropis Indonesia yang memiliki keanekaragaman
jamur makroskopis yang tinggi. Hutan Pendidikan USU merupakan bagian dari
kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan, dan mewakili ekosistem hutan hujan
tropis Indonesia.
Penelitian mengenai keanekaragaman jamur makroskopis lokal hutan
hujan tropis, khususnya di kawasan Hutan Pendidikan USU, sejauh ini belum
pernah dilakukan. Mengingat pentingnya peranan jamur makroskopis dalam suatu
ekosistem hutan hujan tropis, seperti Hutan Pendidikan USU, maka penting
dilakukan suatu penelitian untuk menganalisis keanekaragaman spesies jamur
makroskopis di kawasan Hutan Pendidikan USU.
Hutan Pendidikan USU sendiri baru diresmikan pada tanggal 25 Mei 2011,
sehingga wajar jika sampai saat ini belum banyak diketahui kekayaan sumberdaya
alam hayati yang dimiliki hutan pendidikan ini, demikian pula keanekaragaman
spesies jamur makroskopisnya. Setiawan (2012) menyatakan, perlu diadakan
berbagai penelitian untuk menggali kekayaan sumberdaya alam hayati di kawasan
hutan pendidikan ini, guna meningkatkan manajemen pengelolaan, terutama jika
kawasan ini akan dikembangkan menjadi daerah tujuan ekowisata, pendidikan,
Tujuan Penelitian
Mengetahui keanekaragaman spesies jamur makroskopis yang terdapat di
kawasan Hutan Pendidikan USU, Taman Hutan Raya Bukit Barisan,
Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang keanekaragaman spesies jamur makroskopis
yang terdapat di kawasan Hutan Pendidikan USU.
2. Pelengkap dari penelitian-penelitian ekologi hutan sebelumnya, maupun
sebagai data pendukung atau bahan rujukan yang diharapkan bermanfaat
bagi penelitian selanjutnya.
3. Sumber informasi bagi pihak pengelola Hutan Pendidikan USU,
BBKSDAH Sumatera Utara, pemerintah dan masyarakat setempat, serta
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Jamur
Istilah jamur atau fungi berasal dari bahasa Yunani, yaitu fungus/hifa
(mushroom) yang berarti tumbuh dengan subur. Istilah ini selanjutnya ditujukan
kepada jamur yang memiliki tubuh buah serta tumbuh atau muncul di atas tanah
atau pepohonan (Tjitrosoepomo, 1991).
Jamur atau fungi merupakan organisme eukariotik. Jamur tidak memiliki
klorofil, tumbuh sebagai hifa, memiliki dinding sel yang mengandung kitin,
bersifat heterotrof, menyerap nutrisi melalui dinding selnya, mengekskresikan
enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungan melalui spora, dan melakukan
reproduksi seksual dan aseksual (Gandjar et al., 2006).
Jamur mempunyai dua karakter yang sangat mirip dengan tumbuhan, yaitu
dinding sel yang sedikit keras dan organ reproduksi yang disebut spora. Dinding
sel jamur terdiri atas selulosa dan kitin sebagai komponen yang dominan. Kitin
adalah polimer dari gugus amino yang lebih memiliki karakteristik seperti tubuh
serangga daripada tubuh tumbuhan. Spora jamur, terutama spora yang diproduksi
secara seksual berbeda dari spora tumbuhan tingkat tinggi dari segi bentuk dan
metode produksinya (Alexopoulos dan Mims, 1979).
Jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan
makanannya kemudian mencernanya sebelum diserap. Jamur mendapatkan
makanan dengan mengambil bahan organik di sekitar tempat tumbuh. Bahan
organik tersebut kemudian diubah menjadi molekul-molekul sederhana dan
Bagian penting tubuh jamur yaitu struktur hifa berbentuk tabung
menyerupai seuntai benang panjang, ada yang tidak bersekat dan ada yang
bersekat. Hifa dapat tumbuh bercabang-cabang sehingga membentuk jaring-jaring
yang dinamakan miselium. Pada satu koloni jamur ada hifa yang menegak dan ada
hifa yang menjalar. Biasanya hifa yang menegak ini menghasilkan alat-alat
pembiak yang disebut spora, sedangkan hifa yang menjalar berfungsi untuk
menyerap nutrisi dari substrat dan menyangga alat-alat reproduksi. Hifa yang
menegak disebut hifa fertil dan hifa yang menjalar disebut hifa vegetatif.
Pertumbuhan hifa berlangsung terus-menerus di bagian apikal, sehingga
panjangnya tidak dapat ditentukan secara pasti. Diameter hifa umumnya berkisar
3 − 30 µm. Spesies yang berbeda memiliki diameter yang berbeda pula, yang
mana ukuran diameter tersebut biasanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
(Carlile dan Watkinson, 1994).
Menurut Santoso (2004), jamur umumnya berukuran lebih besar
dibandingkan bakteri. Diameter sel jamur dapat berukuran 1 − 30 µm, sementara
diameter sel bakteri rata-rata hanya berukuran 0,5 µ m. Berdasarkan bentuk sel dan
struktur yang menyusun tubuhnya, jamur terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu
sebagai berikut:
1. Khamir (yeast atau gist), merupakan jamur bersel tunggal (uniseluler).
Contoh khamir adalah Saccharomyces cerevisiae yang berperan dalam
pembuatan minuman beralkohol.
2. Kapang (mold), merupakan jamur yang selnya berbentuk filamen. Filamen
yang merupakan sel vegetatif tersebut dinamakan hifa. Hifa dari koloni
disebut miselium. Contoh kapang adalah Rhizopus oryzae yang berperan
dalam fermentasi tempe.
3. Cendawan (mushroom) atau jamur makroskopis (makrofungi), merupakan
jamur berfilamen dan membentuk tubuh buah yang besar sehingga dapat
dilihat dengan mata, tanpa bantuan alat. Contohnya adalah jamur merang
(Volvariella volvaceae).
Jamur makroskopis mencakup banyak jamur yang berukuran besar dengan
tubuh buah yang kompleks. Sebagian besar spesiesnya hidup pada habitat daratan
(teresterial). Jamur makroskopis yang dikenal sebagian besar termasuk ke dalam
divisi Basidiomycota dan sebagian kecil termasuk ke dalam divisi Ascomycota
(Gandjar et al., 2006). Tubuh buah jamur makroskopis yang berukuran besar
merupakan struktur reproduksi yang terbentuk untuk menghasilkan dan
menyebarkan spora. Jamur makroskopis dapat dijumpai di hutan, tanah lapang,
padang rumput, bahkan di halaman rumah (Kibby, 1992).
Klasifikasi Jamur
Tubuh buah suatu spesies jamur dapat berbeda dengan spesies jamur
lainnya, yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan tudung (pileus), tangkai
(stipe), lamella (gills) serta cawan (volva ). Adanya perbedaan ukuran, warna, serta
bentuk dari tudung dan tangkai merupakan ciri penting dalam melakukan
identifikasi suatu spesies jamur (Smith dan Weber, 1980).
McKane dan Kandel (1996) menyatakan bahwa setiap jamur tercakup
dalam suatu kategori taksonomi, dan dibedakan atas dasar tipe spora, morfologi
(terrestrial fungi) dilakukan dengan mempertimbangkan pola reproduksi
seksualnya. Ada empat divisi pada jamur daratan, yaitu:
1. Zygomycota yang membentuk zygospora,
2. Ascomycota yang membentuk askospora,
3. Basidiomycota yang membentuk basidiospora, dan
4. Deuteromycota (fungi imperfecti) yang merupakan taksa sementara.
1. Zygomycota
Istilah Zygomycota mengacu pada zygospora yang diproduksi dalam
kantung spora yang dinamakan zygosporangium (Alexopoulos dan Mims, 1979).
Zygomycota memiliki hifa yang tidak bersekat dan memiliki banyak inti yang
disebut hifa koenositik (dari bahasa latin coenocytic). Kebanyakan divisi ini
bersifat saprofit. Zygomycota berkembang biak secara aseksual dengan spora
yang menghasilkan sporangiospora dan secara seksual dengan zygospora
(Moore-Landecker, 1982).
2. Ascomycota
Kelompok jamur ini memiliki ciri berupa spora yang terdapat di dalam
kantung yang disebut askus. Askus adalah sel yang membesar yang di dalamnya
terdapat spora yang disebut askospora. Setiap askus biasanya memiliki
2 − 8 askospora. Kebanyakan Ascomycota bersifat mikroskopis, hanya sebagian
kecil yang bersifat makroskopis dan memiliki tubuh buah (Dwidjoseputro, 1978).
3. Basidiomycota
Basidiomycota dicirikan dengan produksi spora seksual yang disebut
basidiospora. Kebanyakan anggota Basidiomycota adalah jamur payung dan
menyebar di udara dengan cara yang berbeda dari jamur berdaging lainnya
(McKane dan Kandel, 1996).
Santoso (2004) menyatakan bahwa Basidiomycota sering dipresentasikan
sebagai jamur makroskopis yang biasa disebut cendawan atau mushroom. Contoh
divisi ini adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur kuping
(Auricularia auricula ), dan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Struktur tubuh
buah Basidiomycota secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur tubuh buah Basidiomycota (Tampubolon, 2010)
Dwidjoseputro (1978) menerangkan bahwa, karakteristik dari
Basidiomycota antara lain kebanyakan makroskopis, sedikit yang mikroskopis.
Basidium berisi 2 − 4 basiodiospora, yang masing-masing pada umumnya
mempunyai satu inti. Beberapa spesies Basidiomycota bermanfaat karena dapat
dimakan, tetapi banyak juga yang merugikan karena merusak tumbuhan, kayu dan
Tubuh buah Basidiomycota terdiri dari hifa yang bersekat dan
berkelompok padat menjadi semacam jaringan, dan tubuh buahnya lebih menonjol
dibandingkan Ascomycota. Miseliumnya terdiri dari hifa dan sel-sel yang berinti
satu, hanya pada tahap tertentu saja terdapat hifa yang berinti dua. Pembiakan
vegetatif dengan konidia (Tjitrosoepomo, 1991).
Reproduksi seksual dimulai dengan bertemunya dua hifa homokariot yang
bersesuaian dan melebur (terjadi peristiwa plasmogami) membentuk satu
kompartemen sel berinti dua (dikariot) yang berbeda muatannya (heterokariot).
Sel dikariot tersebut akan berkembang membentuk miselium sekunder yang
memiliki inti heterokariot yang bersesuaian. Miselium sekunder dengan inti
dikariot berkembang membentuk tubuh buah (basidiokarp). Sel berinti dikariot
membelah secara mitosis sehingga membentuk struktur reproduksi (basidium).
Pada saatnya nanti inti dikariot akan melebur (kariogami) membentuk zigot
berinti diploid. Selanjutnya, inti diploid akan mengalami proses meiosis menjadi
haploid yang dikemas dalam basidiospora (Santoso, 2004).
4. Deuteromycota
Banyak jamur yang tidak memperlihatkan fase reproduksi seksualnya
sehingga tidak dikelompokkan ke dalam suatu divisi, baik Zygomycota,
Ascomycota ataupun Basidiomycota. Sebagai alternatif, jamur tersebut
dimasukkan ke dalam kelompok jamur tidak sempurna (fungi imperfecti). Divisi
ini merupakan taksa artifisial (taksa buatan), bukan berdasarkan karakter
sebenarnya dan dibuat hanya untuk menampung jamur-jamur yang belum
berkembang biak dengan klamidospora, arthrospora, konidiospora, dan juga
pertunasan (McKane dan Kandel, 1996).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur
Pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh berbagai fakor. Faktor-faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan jamur antara lain adalah faktor ketersediaan air,
suhu, derajat keasaman (pH), cahaya, aerasi, CO2 dan senyawa-senyawa kimia di
lingkungannya (Garraway dan Evans, 1984).
1. Ketersediaan air
Sama seperti organisme lainnya, jamur memerlukan air untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Jamur umumnya menyerap air dari
lingkungan sekitarnya melalui hifa. Air digunakan oleh jamur dalam proses difusi
nutrisi dan enzim. Air juga merupakan produk sampingan dalam reaksi
metabolisme. Namun demikian, terlalu banyak air juga dapat merugikan bagi
pertumbuhan dan perkembangan jamur, terutama pada proses sporulasi
(Garraway dan Evans, 1984).
2. Suhu
Menurut Carlile dan Watkinson (1994), suhu maksimum kebanyakan
jamur untuk tumbuh berkisar 300C − 400C dan optimalnya pada suhu
200C − 300C. Beberapa spesies jamur dapat tumbuh pada keadaan suhu yang
ekstrim hingga 50C. Namun meskipun jamur dapat hidup di lingkungan yang
sangat dingin, pertumbuhan jamur pada suhu yang rendah kurang optimal. Jamur
tertentu dapat tumbuh dengan subur pada suhu di atas 500C. Jamur tersebut dapat
dijumpai di tumpukan kompos, pupuk kandang, gudang pertanian, dan berbagai
3. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman sangat penting untuk pertumbuhan jamur, karena
enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat yang sesuai dengan
aktivitasnya pada pH tertentu. Jamur umumnya menyukai pH di bawah 7,0.
Spesies khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH cukup rendah yaitu pH 4,5 − 5,5
(Gandjar et al., 2006). Kebanyakan jamur tumbuh dengan baik pada pH yang
asam sampai netral (Carlile dan Watkinson, 1994). Dengan demikian, pH
optimum bagi pertumbuhan jamur bervariasi, tergantung spesies dan ketersediaan
nutrisi di lingkungannya (Garraway dan Evans, 1984).
4. Cahaya
Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 380 − 720 nm relatif
berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur, juga berpengaruh terhadap sporulasi.
Pengaruh cahaya terhadap reproduksi jamur cukup kompleks. Tingkat
perkembangan yang berbeda membutuhkan cahaya yang berbeda. Intensitas,
durasi, dan kualitas cahaya menentukan besarnya pengaruh cahaya terhadap
jamur. Umumnya cahaya menstimulasi atau menjadi faktor penghambat terhadap
pembentukan struktur alat-alat reproduksi dan spora pada jamur. Walaupun proses
reproduksi memerlukan cahaya, hanya fase tertentu saja dalam proses reproduksi
tersebut yang memerlukan cahaya, atau secara bergantian struktur yang berbeda di
dalam sporokarp dapat memberi respon berbeda terhadap cahaya (Purdy, 1956).
5. Aerasi
Pertumbuhan jamur umumnya meningkat seiring dengan peningkatan
aerasi. Level oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mungkin
perubahan kuantitatif dan kualitatif pada fisiologi jamur, yang mempengaruhi hifa
(Garraway dan Evans, 1984).
6. CO2
Pengaruh spesifik CO2 bervariasi pada setiap spesies jamur. CO2
merupakan hasil sampingan dari proses metabolisme jamur dan organisme lain di
habitat jamur tersebut. Akumulasi CO2 dalam media biakan akan menghalangi
pertumbuhan jamur. Hal ini biasanya diatasi dengan meningkatkan aerasi atau
dengan memberi variasi pH pada media (Garraway dan Evans, 1984).
Sifat Jamur Berdasarkan Perolehan Makanan
1. Mutualistik
Banyak jamur yang berinteraksi positif dengan serangga dan tumbuhan,
mereka bersimbiosis saling menguntungkan atau mutualistik. Sekitar 10% dari
seluruh spesies jamur yang telah diketahui adalah anggota dari asosiasi
mutualistik yang disebut lichens. Lichens tersusun dari jamur, alga dan
cyanobakteri. Jamur juga membentuk asosiasi mutualistik yang bermanfaat
dengan akar tumbuhan, membentuk mikoriza. Jamur ini mengkoloni buluh akar
dan berfungsi memperluas permukaan sentuh antara akar tumbuhan dengan
permukaan tanah, sehingga mempengaruhi kemampuan tumbuhan untuk
menyerap air dan nutrisi dari tanah, meningkatkan aktivitas metabolisme
tumbuhan, serta meningkatkan angka pertumbuhan dan produksi tumbuhan
(McKane dan Kandel, 1996).
2. Saprofit
Jamur saprofit menghasilkan bermacam-macam enzim ekstraseluler yang
berperan sebagai dekomposer yang penting dalam siklus biogeokimia. Jamur
berperan sebagai organisme awal yang mendegradasi kayu
(McKane dan Kandel, 1996). Hal ini dikarenakan hanya jamur, terutama dari
divisi Basidiomycota, yang mampu memecahkan lignin. Walaupun beberapa
bakteri diketahui dapat mendegradasi lignin, tetapi bakteri yang dapat
mendegradasi lignin secara kompleks belum pernah dilaporkan (Munir, 2006).
Lignin mengisi sekitar 25% dari material yang terdapat di hutan. Selain itu jamur
juga mencerna material hewan mati (McKane dan Kandel, 1996).
3. Parasit
Banyak sekali penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh jamur. Penyakit
tersebut mempengaruhi proses perkembangan tumbuhan, menyebabkan tumbuhan
menjadi sakit, bahkan mati. Jamur-jamur parasit ini juga menyerang tanaman
pertanian dan menyebabkan tanaman tersebut rusak, bahkan menyebabkan gagal
panen. Jamur parasit umumnya menyerang inang secara spesifik. Selain itu jamur
parasit adalah faktor utama yang memperpendek usia penyimpanan bahan pangan
dan makanan di dunia, terkecuali jika diawetkan (Pacioni dan Lincoff, 1981).
Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis
Hasil eksplorasi yang dilakukan oleh Suharna (1993), di Cagar Alam
Bantimurung, Cagar Alam Karaenta dan sekitarnya menemukan 24 genus jamur
makroskopis yang umumnya ditemukan berada pada bagian-bagian tumbuhan
yang telah mati, seperti dedaunan, ranting-ranting, dan batang pohon yang
tumbang. Dari 24 genus yang berhasil diidentifikasi, Polyporus spp.,
Mycroporus sp., dan Marasmius spp. adalah genus jamur makroskopis yang
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Asnah (2010) di
Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, ditemukan
87 spesies jamur makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam
25 famili dan 7 ordo dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota. Dari
25 famili yang ditemukan, Tricholomataceae merupakan famili terbesar yang
terdiri dari 24 spesies, diikuti oleh Polyporaceae dengan 18 spesies.
Hasil penelitian lain yang telah dilakukan oleh Tampubolon (2010) di
Kawasan Ekowisata Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, menemukan
83 spesies jamur makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam
19 famili dan 8 ordo dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota. Dari
19 famili yang ditemukan, Polyporaceae merupakan famili terbesar yang terdiri
dari 25 spesies, diikuti oleh Tricholomataceae dengan 21 spesies.
Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Nugroho (2004) di kawasan
Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit menemukan 97 spesies jamur
makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam 18 famili dan 8 ordo
dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota. Dari 18 famili yang
ditemukan, Tricholomataceae merupakan famili terbesar yang terdiri dari
29 spesies jamur makroskopis.
Penelitian lain tentang keanekaragaman spesies jamur makroskopis juga
telah dilakukan oleh Nurtjahja dan Widhiastuti (2009) di kawasan TWA
Sibolangit dan TWA Sicikeh-cikeh. Hasil identifikasi dan koleksi spesies jamur
makroskopis di TWA Sibolangit dan TWA Sicikeh-cikeh menemukan 89 spesies
makroskopis dan di TWA Sicikeh-cikeh ditemukan 56 spesies jamur
makroskopis.
Berikut adalah deskripsi beberapa spesies jamur makroskopis berdasarkan
beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut:
1. Auricula ria a uricula
Tubuh buah berukuran 6 − 10 cm, berbentuk seperti telinga, tidak
bertangkai atau bertangkai pendek, elastis, transparan, dalam keadaan segar
bertekstur seperti gelatin, berwarna cokelat. Spora berwarna putih, silindris, licin,
berukuran 12 − 17 x 4 − 7 µm. Jamur ini dapat dikonsumsi. Habitatnya pada kayu
lapuk, biasanya hidup dalam koloni terutama pada musim penghujan
(Tampubolon, 2010).
2. Ca locera cornea
Tubuh buah berukuran ± 1 cm, berbentuk silindris pada waktu muda,
menjadi pipih pada bagian ujungnya saat dewasa. Tubuh buah berwarna kuning
dan elastis. Spora berwarna kuning kecokelatan, berbentuk elip, licin dengan
ukuran 7 − 9 x 4 − 4,5 µ m. Jamur ini kurang bermanfaat karena ukurannya yang
kecil. Habitatnya pada kayu lapuk (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
3. Coprinellus dissemina tus
Tudungnya berwarna putih berukuran 1 − 2 cm, bagian bawah tubuh buah
(himenium) berwarna putih kemudian menjadi hitam saat jamur berukuran
dewasa. Tinggi tangkai 2,5 − 6 cm, berwarna putih, mudah patah. Spora berwarna
hitam, berbentuk elip, dinding spora licin, ukuran spora 9 − 10 x 5 − 6 µ m. Jamur
Habitatnya pada kayu lapuk dan humus, biasanya hidup berkoloni dengan
berbagai ukuran (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
4. Coriolopsis occidenta lis
Tubuh buah tidak bertangkai (sessil), seperti gabus, bentuk semisirkuler
(dimediate), panjang tudung 2 − 18 cm, lebar 1 − 10 cm. Permukaan memiliki
garis-garis konsentris berwarna putih, kuning, dan kuning kecokelatan. Spora
berukuran 6 − 7 x 2,5 − 3 µm, permukaan himenium berwarna putih ketika muda
dan berubah menjadi krem saat dewasa. Jamur ini kurang bermanfaat. Habitatnya
pada kayu lapuk dari jenis kayu keras (Tampubolon, 2010).
5. Fomes lignosus
Tubuh buah keras dan kaku, berukuran 4 − 24 cm, berbentuk keranjang,
permukaan himenium berwarna oranye terang ketika tubuh buah masih segar, dan
berwarna cokelat kemerahan bila kering. Spora berukuran 5 − 10 x 3,5 − 4,6 µm,
berwarna cokelat, elip. Jamur ini tidak dapat dikonsumsi. Hidup soliter atau
berkelompok pada batang mati dan parasit pada akar dan batang tumbuhan
(Tampubolon, 2010).
6. Ga noderma a ppla na tum
Tubuh buah berukuran 10 − 40 cm, sessil. Tubuh buah bertekstur seperti
kayu, berwarna cokelat karat dan berwarna putih pada bagian tepinya. Himenium
berwarna putih atau abu-abu dan berubah menjadi cokelat jika disentuh. Spora
berwarna cokelat karat, berbentuk elip, permukaan spora berbintil-bintil, ukuran
spora 9 – 13 x 6 − 9 µm. Jamur ini tidak dapat dikonsumsi karena teksturnya yang
keras berkayu. Hidup sebagai parasit pada batang pohon atau saprofit pada kayu
7. Hygrocybe conica
Tudung berdiameter 2 − 9 cm, berbentuk corong atau bel dengan sedikit
cembung pada bagian tengahnya, lengket pada bagian atasnya, berwarna merah
atau kecokelatan. Permukaan himenium berwarna kekuningan. Panjang tangkai
3 − 10 cm, berdiameter sama dari ujung hingga ke pangkal, licin, dan mudah
patah. Spora berwarna putih, berukuran 8 − 14 x 5 – 7 µm, elip, licin, dan hialin.
Jamur ini beracun. Hidup soliter atau berkelompok pada kayu lapuk dan humus di
hutan berdaun jarum (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
8. Microstroma floccosa
Disebut juga dengan shaggy scarlet cup. Tubuh buah berukuran tinggi
1 − 4,5 cm dengan diameter cawan 3 − 10 mm. Cawan berwarna merah, memiliki
rambut-rambut berwarna putih dengan tangkai berwarna putih. Spora hialin,
berukuran 20 − 35 µm, berbentuk elip, licin. Edibilitasnya tidak diketahui. Hidup
soliter atau tersebar pada kayu lapuk (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
9. Pleurotus ostrea tus
Terkenal dengan nama pasar jamur tiram putih. Tubuh buah bentuknya
tergantung tempat tumbuh, akan berbentuk setengah lingkaran atau mirip kerang
ketika tumbuh lateral/tumbuh menyamping, kadang batangnya tidak tampak.
Tudungnya akan berbentuk lingkaran sempurna dengan batang terlihat jelas jika
tumbuh vertikal. Bagian tudung memiliki warna yang bervariasi dari hitam,
abu-abu, cokelat, hingga putih, dengan permukaan yang hampir licin berdiameter
5 − 12 cm. Jamur ini dapat dikonsumsi dan merupakan spesies komersial.
Tumbuh dalam cluster padat di kayu lapuk dan bisa ditemukan sepanjang musim
10. Tra metes versicolor
Disebut juga dengan Polyporus versicolor atau Coriolus versicolor.
Diameter tubuh buah 3 − 8 cm, datar atau agak melengkung, tipis, kadang
berkoloni seperti bunga mawar, sessil, permukaan atas tubuh buahnya licin
dengan zona variasi warna, tekstur tubuh buah seperti kulit. Spora berwarna putih,
licin, berukuran 4 − 5 x 1,5 − 3 µ m. Jamur ini tidak dapat dikonsumsi karena
teksturnya yang liat. Habitatnya pada kayu lapuk atau parasit pada pohon yang
masih hidup. Hidup sepanjang tahun (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
Kondisi Umum Hutan Pendidikan USU sebagai Tempat Penelitian
Berdasarkan Nota Kesepakatan Kerjasama Nomor 2764/H.1.R/KPM/2012
tenta ng pela ksana an pendidikan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, antara
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dengan Universitas Sumatera Utara,
telah ditetapkan hutan seluas 1000 ha dalam kawasan Taman Hutan Raya Bukit
Barisan sebagai kawasan hutan pendidikan yang dinamakan Hutan Pendidikan
USU. Hutan pendidikan ini merupakan laboratorium alam yang akan digunakan
sebagai tempat praktik dan penelitian mahasiswa dan dosen, khususnya Progra m
Studi Kehutanan USU, serta pengembangan ekowisata yang tidak memerlukan
sarana dan prasarana bangunan fisik (Progran Studi Kehutanan USU, 2012).
Berdasarkan penelitian Setiawan (2012), Hutan Pendidikan USU secara
geografis terletak pada 3013' LU − 3011' LU dan 98034' BT − 98032' BT, di jajaran
Pegunungan Bukit Barisan, yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Deli
Serdang dan Kabupaten Karo. Batas-batas Hutan Pendidikan USU antara lain, di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Doulu dan Desa Bukum, di sebelah timur
berbatasan dengan Desa Tanjung Barus dan Desa Barus Julu, serta di sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Doulu dan Desa Barus Julu.
Hutan Pendidikan USU belum genap dua tahun diresmikan, sehingga
sampai saat ini belum banyak diketahui kekayaan sumberdaya alam hayati yang
dimiliki Hutan Pendidikan USU. Perlu diadakan berbagai penelitian untuk
menggali kekayaan sumberdaya alam hayati di kawasan hutan pendidikan ini,
untuk meningkatkan manajemen pengelolaan, terutama jika kawasan ini akan
dikembangkan menjadi daerah tujuan ekowisata, pendidikan, dan penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei hingga Juli 2012. Pengambilan
data keanekaragaman jamur makroskopis dilakukan di kawasan Hutan Pendidikan
USU, Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat,
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Analisis data keanekaragaman jamur
makroskopis dilakukan di Kampus Program Studi Kehutanan USU, Medan. Peta
tempat penelitian disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Peta Hutan Pendidikan USU sebagai tempat penelitian (Setiawan, 2012)
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa buku
identifikasi jamur makroskopis (Alexopoulos (1952); Asnah (2010);
Alexopoulos dan Mims (1979); Mueller et al. (2004); Tampubolon (2010); serta
kantung plastik besar dan label identifikasi. Alat yang digunakan di lapangan
adalah peta wilayah, kompas, Global Positioning System (GPS), kamera digital,
peralatan pencahayaan yang mendukung, pisau, tali rafia, parang, sarung tangan,
skala pengukuran, termometer dan alat tulis. Alat yang digunakan untuk
pengkoleksian dan pengawetan spesies yang tidak dikenali guna identifikasi lebih
lanjut adalah dot grid, gunting, kertas koran, label identifikasi dan oven.
Metode Penelitian
Penelitian di Lapangan
Pengamatan dilakukan pada beberapa kategori ketinggian tempat di Hutan
Pendidikan USU, yakni pada ketinggian tempat < 1000 m dpl, 1000 − 1500 m dpl,
dan ≥ 1500 m dpl. Pengamatan dilakukan pada lima jalur yang berbeda pada
setiap kategori ketinggian tempat, untuk mencapai keterwakilan areal
pengamatan. Panjang jalur pengamatan adalah 100 m. Penentuan jalur pertama
dilakukan dengan metode purpossive sampling, berdasarkan keberadaan jamur
makroskopis yang dianggap mewakili kawasan tersebut, jalur selanjutnya
ditentukan dengan metode systematic sampling.
Pengamatan dan pengkoleksian jamur makroskopis dilakukan dengan
menggunakan metode sampling plot, yaitu dengan membuat sampling plot
berukuran 20 m x 20 m di dalam jalur pengamatan. Sampling plot dibuat
berukuran 20 m x 20 m karena populasi yang diamati bersifat homogen yaitu
hanya mengamati jamur makroskopis. Pengamatan jamur makroskopis dilakukan
secara eksploratif di dalam plot sepanjang jalur pengamatan. Desain jalur dan plot
20 m 100 m
arah jalur
20 m 200 − 500 m
20 m 100 m
arah jalur
20 m
Gambar 3. Desain jalur dan plot pengamatan jamur makroskopis
Pertama-tama diukur ketinggian tempat, koordinat, dan azimuth jalur
pengamatan, selanjutnya dilakukan analisis keanekaragaman jamur makroskopis.
Pada jamur makroskopis yang ditemukan di areal pengamatan, pertama-tama
diambil gambar jamur makroskopis disertai skala pengukuran, selanjutnya dicatat
jumlah individu spesies pada setiap sampling plot, data penampakan fisik dan
habitat tempat ditemukannya jamur makroskopis, misalnya di serasah, kayu lapuk,
pohon hidup, kotoran hewan atau jamur yang telah membusuk.
Jika memungkinkan, objek langsung diidentifikasi di lapangan, dan jika
tidak maka objek harus dikoleksi. Pengkoleksian juga dilakukan terhadap spesies
jamur makroskopis yang telah teridentifikasi di lapangan, guna pengamatan lebih
lanjut. Untuk pengkoleksian, sampel jamur makroskopis diambil dengan hati-hati,
terutama yang mempunyai tubuh buah lunak, agar diperoleh tubuh buah yang
stoples/kotak penyimpanan, diberi label, dan diletakkan di dalam kantung plastik
besar dengan susunan jamur makroskopis yang lebih keras dan berat pada posisi
paling bawah. Selanjutnya sampel dibawa ke Kampus Program Studi Kehutanan
USU untuk diidentifikasi. Selama pengamatan di lapangan, suhu dan kelembaban
udara di areal pengamatan harus diukur. Suhu dan kelembaban udara diukur pada
tiga waktu, yakni pada pagi, siang dan sore hari, untuk mengetahui suhu dan
kelembaban udara harian di areal pengamatan, dalam kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan populasi jamur makroskopis di kawasan tersebut.
Pengamatan di Kampus Program Studi Kehutanan USU
Untuk menjaga keawetan jamur makroskopis selama proses identifikasi,
dilakukan proses pengeringan. Untuk memperoleh hasil pengeringan yang baik,
jamur makroskopis dikeringkan dengan menggunakan oven. Selanjutnya diamati
karakteristik makroskopisnya. Karakteristik makroskopis yang diamati adalah
dimensi dan bentuk tubuh buah. Identifikasi jamur makroskopis dilakukan setelah
karakteristik makroskopis dicatat lengkap.
Analisis Data
Data yang diperoleh di lapangan dianalisis dengan menggunakan
formulasi metode sebagai berikut:
a. Kerapatan suatu spesies (K) menurut Smith (1992)
(ha)
b. Kerapatan relatif suatu spesies (KR) menurut Smith (1992)
c. Frekuensi suatu spesies (F) menurut Smith (1992)
d. Frekuensi relatif suatu spesies (FR) menurut Smith (1992)
%
e. Indeks Nilai Penting (INP) menurut Smith (1992)
INP = KR + FR
f. Indeks keanekaragaman Shannon menurut Odum (1971)
H' = Indeks keanekaragaman Shannon
S = Jumlah spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Total seluruh individu spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan
Kriteria yang digunakan menurut Mason (1980):
- H' < 1, keanekaragaman tergolong rendah;
- H' 1 − 3, keanekaragaman tergolong sedang; dan
- H' > 3, keanekaragaman tergolong tinggi
g. Indeks kemerataan Shannon menurut Odum (1971)
E = H'/ln (S)
Keterangan:
E = Indeks kemerataan Shannon
S = Jumlah spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan
Kriteria yang digunakan menurut Krebs (1985):
- Kemerataan dikatakan rendah jika 0 < E < 0,5
- Kemerataan dikatakan tinggi jika 0,5 < E < 1
h. Indeks kesamaan menurut Odum (1971)
x100% B
A 2C IS
Keterangan:
IS = Indeks kesamaan
A = Jumlah spesies yang ditemukan pada areal A
B = Jumlah spesies yang ditemukan pada areal B
C = Jumlah spesies yang sama pada kedua areal yang dibandingkan
Kriteria yang digunakan menurut Suin (2002):
- IS ≤ 25% berarti sangat tidak mirip
- IS 25 – 50% berarti tidak mirip
- IS 50 − 75% berarti mirip
- IS ≥ 75% berarti sangat mirip
i. Habitat Jamur Makroskopis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan USU
Jumlah spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada setiap kategori
ketinggian tempat berbeda-beda. Pada ketinggian tempat < 1000 m dpl ditemukan
30 spesies jamur makroskopis, pada ketinggian tempat 1000 − 1500 m dpl
ditemukan 43 spesies jamur makroskopis, dan pada ketinggian tempat
≥ 1500 m dpl ditemukan 32 spesies jamur makroskopis. Jumlah keseluruhan
spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada seluruh kategori ketinggian
tempat adalah 46 spesies.
Spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada penelitian ini terbagi ke
dalam 2 divisi, 4 kelas, 10 ordo, dan 20 famili. Jamur makroskopis yang
ditemukan terdiri atas divisi Ascomycota dan Basidiomycota. Hanya satu spesies
jamur makroskopis yang termasuk ke dalam divisi Ascomycota, selebihnya
sebanyak 45 spesies jamur makroskopis yang ditemukan termasuk ke dalam divisi
Basidiomycota. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies jamur makroskopis
yang ditemukan umumnya didominasi oleh divisi Basidiomycota. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Santoso (2004) bahwa, divisi Basidiomycota sering
dipresentasikan sebagai jamur makroskopis. Pernyataan ini didukung oleh
Dwidjoseputro (1978) yang menerangkan bahwa, karakteristik Basidiomycota
antara lain kebanyakan makroskopis. Dwidjoseputro (1978) juga mengemukakan
bahwa kebanyakan Ascomycota bersifat mikroskopis, hanya sebagian kecil yang
bersifat makroskopis dan memiliki tubuh buah. Pada Tabel 1. ditampilkan rincian
spesies jamur makroskopis yang ditemukan, beserta klasifikasinya ke dalam kelas,
Tabel 1. Klasifikasi spesies jamur makroskopis yang ditemukan di Hutan Pendidikan USU pada setiap kategori ketinggian tempat pengamatan
Divisi Kelas Ordo Famili Spesies Ascomycota Sordariomycetes Xylariales Xylariaceae Daldinia gr andis - + + Basidiomycota Agaricomycetes Agaricales Agaricaceae Agar icus sp. - + + Amanitaceae Amanita sp. - + + Psathyrellaceae Copr inellus disseminatus + + + Copr inellus mica ceus + + - Auriculariales Auriculariaceae Aur icular ia aur icula + + + Aur icular ia polytr icha + + - Boletales Paxillaceae Paxillus filamentosus - + - Cantharellales Cantharellaceae Canthar ellus cibar ius - + + Hymenochaetales Hymenochaetaceae Coltricia cinnamomea + + + Coltr icia per ennis + + + Polyporales Fomitopsidaceae Fomitopsis cajander i + + + Fomitopsis pinicola + + + Dacrymycetes Dacrymycetales Dacrymycetaceae Calocer a cor nea + + + Tremellomycetes Tremellales Tremellaceae Tr emella foliacea + - - Total individu ditemukan 7999 5245 3268
Keterangan : (+) = ditemukan (-) = tidak ditemukan
Tabel 1. menunjukkan bahwa jamur makroskopis yang ditemukan di areal
pengamatan didominasi oleh divisi Basidiomycota. Spesies jamur makroskopis
yang termasuk ke dalam divisi Ascomycota hanya Daldinia grandis, yang
merupakan jamur makroskopis dari kelas Sordariomycetes, ordo Xylariales, famili
Xylariaceae. Jamur makroskopis dari divisi basidiomycota terbagi dalam 3 kelas,
9 ordo, dan 19 famili.
Jamur makroskopis yang termasuk ke dalam divisi Basidiomycota yakni
kelas Agaricomycetes, kelas Dacrymycetes, dan kelas Tremellomycetes. Kelas
Agaricomycetes merupakan kelompok yang mendominasi dalam penelitian ini.
Kelas Agaricomycetes merupakan kelas terbesar dalam divisi Basidiomycota yang
ditemukan dan merupakan kelas terbesar dari keseluruhan hasil penelitian, karena
merupakan kelas dengan jumlah ordo, famili dan spesies terbanyak.
Kelas Agaricomycetes yang ditemukan terdiri atas 7 ordo, yakni
Agaricales, Auriculariales, Boletales, Cantharellales, Hymenochaetales,
Polyporales dan Russulales. Ordo Agaricales dan Polyporales merupakan ordo
yang mendominasi di kelas ini.
Ordo Polyporales terdiri atas 3 famili dan 14 spesies. Famili Polyporaceae,
merupakan famili terbesar dalam ordo ini dengan 10 spesies jamur makroskopis.
Menurut Arora (1986), Polyporaceae merupakan satu diantara beberapa famili
terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Famili Polyporaceae
memiliki ciri umum berbentuk braket atau kipas dengan permukaan himenium
berupa lubang-lubang kecil yang disebut pores atau modifikasinya.
Agaricales merupakan ordo terbesar yang ditemukan dalam penelitian ini
Marasmiaceae, Mycenaceae, Pleurotaceae dan Psathyrellaceae. Total spesies
dalam ordo ini adalah 19 spesies, dimana famili dengan jumlah spesies terbanyak
adalah famili Marasmiaceae, yakni 10 spesies. Dengan demikian, seperti halnya
famili Polyporaceae dari ordo Polyporales, famili ini juga merupakan famili
terbesar dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa kedua famili ini
memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan pegunungan
yang ekstrim seperti kawasan Hutan Pendidikan USU, sehingga spesiesnya lebih
beraneka ragam dibandingkan famili lain yang ditemukan dalam penelitian ini.
Ordo Agaricales sendiri adalah kelompok jamur makroskopis yang paling
familiar dengan bentuk seperti payung (Arora, 1986). Bagian bawah payung
terdiri atas bilah-bilah atau lamella yang tersusun radial. Anggota ordo Agaricales
sangat banyak dan kompleks (Alexopoulos dan Mims, 1979). Deskripsi
morfologis jamur makroskopis yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Spesies jamur makroskopis yang ditemukan dalam penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Nurtjahja dan Widhiastuti (2009) di kawasan TWA Sibolangit dan TWA
Sicikeh-cikeh. Melalui hasil identifikasi dan koleksi spesies jamur makroskopis di
TWA Sibolangit dan TWA Sicikeh-cikeh ditemukan 89 spesies jamur
makroskopis, dimana di TWA Sibolangit ditemukan 47 spesies jamur
makroskopis dan di TWA Sicikeh-cikeh ditemukan 56 spesies jamur
makroskopis. Namun, spesies jamur makroskopis yang ditemukan dalam
penelitian ini jauh lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian sejenis yang telah
97 spesies jamur makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk dalam 18 famili
dan 8 ordo dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota.
Jumlah spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada ketinggian
tempat 1000 − 1500 m dpl dan ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl lebih banyak
dibanding jumlah spesies jamur makroskopis yang ditemukan pada ketinggian
tempat < 1000 m dpl, namun jumlah individu terbanyak justru ditemukan pada
ketinggian tempat < 1000 m dpl, yakni 7999 individu. Jumlah individu yang
paling sedikit ditemukan pada ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl, yakni
3268 individu. Jumlah individu jamur makroskopis yang ditemukan pada
ketinggian tempat 1000 − 1500 m dpl dan ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl
menjadi lebih sedikit, karena populasi jamur makroskopis pada kedua kategori
ketinggian tempat tersebut berkurang akibat musim kemarau panjang. Tumpukan
serasah yang kering dan belum terurai di lantai hutan di areal penelitian, pada saat
dilakukan penelitian, menandakan kurang tersedianya dekomposer, dalam hal ini
populasi jamur makroskopis, untuk menguraikan tumpukan serasah tersebut.
Jumlah individu pada setiap kategori ketinggian tempat dalam penelitian
ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi suatu tempat maka populasi jamur
makroskopis di areal tersebut cenderung semakin berkurang. Hal ini dikarenakan
semakin tinggi suatu tempat, suhu udara dan intensitas penyinaran matahari
semakin tinggi. Menurut Carlile dan Watkinson (1994), jamur umumnya tumbuh
optimal di tempat yang lembab pada kisaran suhu 200C − 300C. Selain itu,
Purdy (1956) menyatakan bahwa intensitas penyinaran yang tinggi akan
menghambat pertumbuhan populasi jamur, karena akan menghambat
Berdasarkan penjelasan tersebut, seharusnya keanekaragam spesies jamur
makroskopis juga akan mengalami penurunan seiring dengan semakin tinggi suatu
tempat dari permukaan laut. Namun, dalam penelitian ini jumlah spesies jamur
makroskopis justru ditemukan paling sedikit pada ketinggian tempat
< 1000 m dpl, dan lebih banyak ditemukan pada ketinggian tempat
1000 – 1500 m dpl dan ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl. Melihat kondisi di
lapangan pada saat dilakukannya penelitian, hal ini kemungkinan dikarenakan
pengamatan pada ketinggian tempat 1000 − 1500 m dpl dan ketinggian tempat
≥ 1500 m dpl dilakukan di akhir musim kemarau, dimana spesies jamur
makroskopis yang ditemukan merupakan sisa populasi yang masih mampu
bertahan hingga akhir musim kemarau. Spesies-spesies yang bertahan, umumnya
hidup berkoloni dalam kelompok kecil, bahkan kebanyakan hidup soliter untuk
memperkecil kompetisi antar individu, dan merupakan jamur tua yang hampir
membusuk ataupun jamur muda yang mengalami kekeringan. Jamur dewasa
dalam fase reproduktif jarang ditemukan karena kemungkinan sudah rusak atau
mati akibat kekeringan. Hal inilah yang menyebabkan penumpukan serasah di
lantai hutan, dimana kemungkinan jamur makroskopis yang bertahan tersebut
tidak mampu menjalankan aktivitas dekomposisi serasah secara optimal lagi, di
tengah kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.
Pengamatan jamur makroskopis pada ketinggian tempat < 1000 m dpl
dilakukan di awal musim penghujan, dimana tanah mulai lembab kembali dan
jamur-jamur muda mulai tumbuh segar dalam koloni. Pada kategori ketinggian
tempat ini banyak ditemukan jamur muda yang tumbuh berkoloni, sehingga
setelah musim kemarau, namun jumlah individu spesies yang ditemukan, jauh
lebih banyak dibandingkan jumlah individu jamur makroskopis pada ketinggian
tempat 1000 − 1500 m dpl dan ketinggian tempat ≥ 1500 m dpl. Dengan
demikian, faktor lingkungan yang terlihat secara nyata mempengaruhi
pertumbuhan populasi jamur makroskopis di areal penelitian ini adalah ketinggian
tempat dan musim (berkaitan dengan suhu udara, intensitas cahaya dan
ketersediaan air).
Habitat dan Peranan Spesies Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan USU
Sebagian besar dari 46 spesies jamur makroskopis yang ditemukan, hidup
pada kayu lapuk. Habitat lain adalah serasah/tanah dan kayu/pohon hidup. Habitat
seluruh spesies jamur makroskopis yang ditemukan disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Habitat spesies jamur makroskopis yang ditemukan di Hutan Pendidikan USU
No. Nama spesies Habitat
Kayu lapuk Serasah/tanah Kayu/pohon hidup
1 Agaricus sp. - + -
2 Amanita sp. - + -
3 Auricularia auricula + - -
4 Auricularia polytricha + - -
5 Calocera cornea + - -
6 Cantharellus cibarius + + -
7 Collybia butyracea + - -
8 Collybia sp. + + -
9 Coltricia cinnamomea + + -
10 Coltricia perennis + + -
11 Coprinellus disseminatus + + -
12 Coprinellus micaceus + - -
13 Daldinia grandis + - -
14 Fomitopsis cajanderi + - -
15 Fomitopsis pinicola + - +
16 Ganoderma applanatum + - +
17 Hericium coralloides + - -
18 Hygrocybe cantharellus - + -
19 Hygrocybe miniata - + -
Tabel 2. Lanjutan
No. Nama spesies Habitat
Kayu lapuk Serasah/tanah Kayu/pohon hidup
21 Marasmiellus candidus + - -
yang dominan bagi kebanyakan spesies jamur makroskopis di areal penelitian.
Pada penelitian ini ditemukan 29 spesies jamur makroskopis (63,04%) yang hidup
hanya pada kayu lapuk dan 4 spesies jamur makroskopis (8,70%) yang hidup
hanya pada tumpukan serasah/tanah. Beberapa spesies jamur makroskopis dapat
hidup pada lebih dari satu habitat, antara lain hidup pada kayu lapuk dan
serasah/tanah ada 11 spesies (23,91%) serta hidup pada kayu lapuk dan
Asnah (2010) bahwa jamur makroskopis dapat tumbuh di banyak habitat dari
Artik hingga tropis, dan beberapa jamur makroskopis menunjukkan habitat
spesifik. Umumnya jamur makroskopis tumbuh di atas kayu lapuk, serasah/tanah,
daun, dan kotoran hewan, serta ada juga yang tumbuh pada jamur yang telah
membusuk.
Dengan mengamati habitat jamur makroskopis tersebut, maka dapat
diketahui peranannya bagi suatu ekosistem hutan. Jamur makroskopis yang
ditemukan di Hutan Pendidikan USU pada umumnya merupakan spesies jamur
pelapuk kayu dan serasah. Hal ini dikarenakan sebagian besar jamur makroskopis
yang ditemukan dalam penelitian ini hidup pada kayu lapuk dan serasah. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa sebagian besar spesies jamur makroskopis yang
ditemukan berperan sebagai dekomposer dalam jaring-jaring makanan di
ekosistem Hutan Pendidikan USU. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Suharna (1993) bahwa jamur berperan sebagai dekomposer bersama dengan
bakteri dan beberapa spesies protozoa, sehingga banyak membantu proses
dekomposisi bahan organik untuk mempercepat siklus materi dalam ekosistem
hutan. Munir (2006) juga menyatakan bahwa kelompok jamur makroskopis
merupakan kelompok utama organisme pendegradasi lignoselulosa, karena
mampu menghasilkan enzim-enzim pendegradasi lignoselulosa seperti selulase,
ligninase, dan hemiselulase.
Beberapa spesies jamur makroskopis yang ditemukan di areal penelitian
juga bersifat parasit bagi kayu/pohon yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan
pernyataan McKane dan Kandel (1996) bahwa beberapa spesies jamur