• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK REAKSI KONVERSI CO2 MENJADI METANOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK REAKSI KONVERSI CO2 MENJADI METANOL"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK REAKSI KONVERSI CO2 MENJADI

METANOL Oleh

Sarah Aliana

Seiring dengan semakin meningkatnya pemanasan global sebagai akibat dari efek reumah kaca, mendorong pengembangan teknologi untuk mengurangi kadar gas CO2 di udara. Salah satu cara yang menjanjikan adalah dengan reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol. untuk mendukung reaksi konversi tersebut, berbagai jenis katalis telah dikembangkan. Maka pada kesempatan ini dilakukan pembuatan katalis dengan logam aktif Fe dalam bentuk oksidanya dengan metode sol-gel

Metode pembuatan Fe3O4 yang dilakukan pada penelitian ini merupakan pengembangan dari dua metode penelitian sebelumnya, diawali dengan pembuatan katalis Fe2O3 dengan metode sol-gel kemudian disertakan perlakuan reduksi untuk mengkonversinya menjadi Fe3O4. Katalis yang telah dibuat dikarakterisasi dengan Spektrofotometer Infra Merah (IR) untuk mengevaluasi keasaman katalis, untuk melihat struktur kristal dan analisis fasa katalis dianalisis menggunakan X-Ray Difraktometer (XRD), untuk melihat morfologi permukaan dan analisis komposisi unsur permukaan sampel katalis menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX), serta

hasil uji aktivitas katalis diukur dengan menggunakan Kromatografi Gas.

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, masalah lingkungan hidup seperti

pemanasan global telah menjadi pusat perhatian masyarakat dunia karena

dampak negatif yang ditimbulkan bersifat global. Seiring dengan semakin

meningkatnya pemanasan global sebagai akibat dari efek rumah kaca,

mendorong pengembangan teknologi untuk mengurangi kadar gas CO2 di udara. Salah satu cara yang menjanjikan adalah dengan reaksi konversi gas

CO2 menjadi metanol dan senyawa hidrokarbon lain seperti etanol, alkana,

alkena, dan asam karboksilat. Reaksi konversi sangat menjanjikan karena

tidak hanya dapat mengurangi dampak buruk keberadaan gas CO2, tetapi juga

karena metanol merupakan bahan baku utama untuk menghasilkan beberapa

senyawa organik seperti formaldehida, alkilhalida, dan asam asetat. Proses

konversi tersebut membutuhkan katalis. Oleh karena itu, untuk mendukung

reaksi konversi tersebut, berbagai jenis katalis telah dikembangkan (Joep et

al., 2004).

Secara umum diketahui bahwa karakteristik suatu katalis sangat ditentukan

oleh tiga faktor, yakni jenis logam, penyangga katalis, dan metode preparasi.

Berdasarkan faktor tersebut, beberapa jenis logam telah diteliti untuk

(3)

logam Ni dengan konversi gas CO2 menjadi metanol mencapai 84% pada

temperatur 500oC (Kim et al., 1994).

Berdasarkan fakta tersebut, maka pada kesempatan ini dilakukan pembuatan

katalis dengan logam aktif Fe dalam bentuk oksidanya dengan metode sol-gel.

Katalis Fe diketahui telah digunakan secara luas karena dapat lebih

meningkatkan produksi metanol (Haider et al., 2009). Berdasarkan

mekanisme reaksi Fischer-Tropsch dengan Fe sebagai logam aktif (Blanchard

et al., 1982), tingkat oksidasi logam Fe mempengaruhi aktivasi logam Fe

dalam reaksi tersebut. Selain itu, diketahui bahwa logam Fe dalam bentuk

Fe3O4 lebih aktif bila dibandingkan dengan logam Fe pada keadaan tingkat

oksidasinya +2.

Pembuatan katalis dengan metode sol-gel mempunyai beberapa keunggulan,

yaitu distribusi situs aktif akan tersebar secara merata sehingga dihasilkan

katalis yang bersifat homogen, kemudian tekstur porinya memberikan

kemudahan difusi dari reaktan untuk masuk ke dalam situs aktif (Lecloux and

Pirard., 1998). Atas dasar beberapa keunggulan tersebut, maka metode yang

dipilih untuk pembuatan katalis Fe3O4 pada penelitian kali ini adalah metode sol-gel.

Metode pembuatan Fe3O4 yang dilakukan pada penelitian ini merupakan

pengembangan dari dua penelitian sebelumnnya. Pada penelitian yang

dilakukan Cao et al., (1997), Fe2O3 dapat dikonversi menjadi Fe3O4 dengan

(4)

senyawa Fe(CO)5. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Akbar et al.,

(2004), pembuatan katalis nanopartikel Fe2O3 dilakukan dengan metode sol-gel menggunakan senyawa Fe(NO3)3.9H2O. Oleh karena itu, pada

penelitian ini dilakukan pembuatan katalis Fe2O3 menggunakan senyawa Fe(NO3)3.9H2O dengan metode sol-gel seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Akbar et al., (2004) dan disertakan perlakuan seperti pada penelitian Cao

et al., (1997), tetapi gas yang digunakan untuk mengkonversi Fe2O3 menjadi Fe3O4 adalah gas H2.

Aspek lain yang terkait dengan pemanfaatan katalis adalah adanya hubungan

antara unjuk kerja dan karakteristiknya. Atas dasar ini, katalis yang dibuat

dikarakterisasi dengan beberapa metode untuk merumuskan hubungan antara

reaktivitas dan karakteristik katalis. Katalis yang telah dibuat dikarakterisasi

dengan Spektrofotometer Infra merah (IR) untuk mengevaluasi keasaman

katalis, untuk melihat struktur kristal dan analisis fasa katalis dianalisis

menggunakan X-Ray Difraktometer (XRD), untuk melihat morfologi permukaan dan analisis komposisi unsur permukaan sampel katalis

menggunakan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray

Spectrometer (SEM-EDX), serta hasil uji aktivitas katalis diukur dengan

menggunakan Kromatografi Gas.

Berdasarkan paparan di atas, maka pada kesempatan ini dipelajari pembuatan

katalis Fe3O4 dengan metode sol-gel dan aplikasinya dalam mengkonversi

CO2 menjadi metanol, untuk menjawab beberapa masalah, meliputi (1) apakah Fe2O3 yang dibuat dari senyawa Fe(NO3)3.9H2O dengan metode

(5)

mereduksinya menggunakan gas H2, (2) apakah Fe3O4 yang dihasilkan

memiliki unjuk kerja terhadap konversi gas CO2 menjadi metanol.

B. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini

dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari perilaku katalis Fe3O4 dengan metode sol-gel, dan untuk mengetahui aktivitasnya pada proses konversi gas

CO2 menjadi metanol pada temperatur 100, 200, 300, dan 400 oC.

C. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh pengetahuan tentang pembuatan

katalis Fe3O4 dengan metode sol-gel terhadap karakteristiknya dalam konversi gas CO2 menjadi metanol dan memberikan masukan untuk riset

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penanganan CO2

Akhir-akhir ini, kegiatan manusia dalam kehidupan modern telah

mengganggu komposisi udara yang menyebabkan masalah-masalah

lingkungan yang cukup serius, seperti hujan asam dan pemanasan global.

Pemanasan global adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan

terjadinya kenaikan suhu atmosfir bumi secara bertahap. Dewasa ini

pemanasan global menjadi isu internasional karena selain mengakibatkan

terjadinya kenaikan suhu sebagai dampak langsung, pemanasan global

ternyata juga mengakibatkan terjadinya perubahan iklim di permukaan bumi.

Pemanasan global merupakan dampak dari gas rumah kaca yang terdiri dari

karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida, dan senyawa fluorin seperti

hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, serta sulfur heksafluorida, karena gas

tersebutlah yang paling dianggap sebagai penyebab pemanasan global. Dari

berbagai jenis gas rumah kaca tersebut, gas CO2 mendapat perhatian paling besar (World Health Organization (WHO), 2003).

Secara garis besar, gas CO2 di atmosfir bumi berasal dari dua sumber utama,

(7)

secara umum sebagai siklus karbon. Dalam siklus ini, gas CO2 dilepaskan ke

atmosfir ketika tanaman maupun hewan melakukan proses respirasi, yakni

proses oksidasi nutrien menghasilkan gas CO2 dan energi. Gas CO2 yang

dilepaskan oleh tanaman dan hewan selanjutnya akan diserap oleh tanaman

ketika tanaman melakukan proses fotosintesis. Dengan adanya siklus tersebut,

jumlah gas CO2 di atmosfir secara praktis dapat dianggap tetap.

Gas CO2 merupakan gas dengan kestabilan yang tinggi serta memiliki kapasitas panas yang cukup besar, yakni 37 J K-1 mol-1. Kapasitas panas ini

menunjukkan bahwa molekul gas CO2 mempunyai kemampuan untuk menyimpan panas (kalor) dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini berarti

pula bahwa jika gas CO2 melepaskan kalor yang dikandungnya ke lingkungan

sekitarnya akan mengakibatkan kenaikan suhu lingkungan yang cukup berarti.

Dua sifat yang dipaparkan di atas merupakan alasan utama mengapa gas CO2

bersifat sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global (National

Research Council (NRC), 2001).

Pemanasan global terjadi akibat jumlah gas CO2 di atmosfir telah melebihi

jumlah yang diperlukan oleh siklus karbon. Gas CO2 di udara telah meningkat sekitar 30% akibat dari kegiatan manusia sejak awal revolusi

industri (Ikhsan dkk., 2008). Tindakan manusia dalam mengkonversi lahan

secara besar-besaran, baik untuk perluasan sektor pertanian, permukiman, dan

kawasan industry telah menggusur lahan lestari sehingga jumlah tanaman

yang dibutuhkan untuk menyerap gas CO2 dari atmosfir menurun tajam. Sektor industri membutuhkan energi dalam jumlah sangat besar, yang salah

(8)

minyak bumi dan batubara. Penggunaan kedua jenis bahan bakar di atas akan

menghasilkan gas CO2 dalam jumlah yang sangat besar dan diemisikan ke atmosfir. Penggunaan bahan bakar fosil yang sangat luas, telah menyebabkan

kenaikan konsentrasi gas CO2 dan gas rumah kaca yang lain di udara.

Salah satu usaha memperkecil masalah tersebut adalah dengan penggunaan

bioenergi sebagai pengganti bahan bakar fosil sehingga dapat mengurangi

emisi gas CO2. Meskipun penggunaan bioenergi telah banyak dikembangkan, namun ternyata penggunaan bahan bakar fosil belum sepenuhnya

ditinggalkan. Oleh karena itu, tantangan selanjutnya adalah bagaimana

menyikapi emisi gas CO2 yang tetap dihasilkan sehingga tidak menyebabkan masalah lingkungan. Dalam usaha menjawab tantangan tersebut, salah satu

gagasan yang dari dulu telah dilakukan adalah dengan mengkonversi gas

CO2 menjadi senyawa hidrokarbon contohnya metanol melalui reaksi

katalitik (Kim et al., 1994)

Konversi gas CO2 yang terjadi dimungkinkan berdasarkan reaksi sebagai

berikut:

Reaksi diatas sebenarnya melibatkan beberapa tahapan, yaitu difusi reaktan

ke permukaan katalis yang berlangsung cepat, disusul dengan penyerapan

(adsorbsi) reaktan pada permukaan katalis.

(9)

Penyerapan (adsorbsi) reaktan pada permukaan katalis diikuti dengan difusi

reaktan ke situs aktif katalis. Tahap selanjutnya yaitu terjadi reaksi dari spesi

yang diserap, menghasilkan produk, yang selanjutnya terjadi pelepasan

(desorpsi) produk dari permukaan katalis.

(Nakatsuji and Hu, 1999)

Akibat terjadinya adsorpsi kimia, aktivitas molekul mengalami perubahan.

Atom yang teradsorpsi menjadi lebih reaktif dibandingkan molekul bebasnya,

karena mengalami pemutusan ikatan kovalen atau ikatan hidrogen. Proses

adsorpsi menyebabkan berkurangnya energi bebas (G) sistem sehingga

entropi (S) juga berkurang. Berdasarkan persamaan 1,

∆G = ∆H –T . ∆S ... 1)

maka dapat dikatakan bahwa proses adsorpsi tersebut adalah eksotermik

(Adamson, 1990).

Dalam suatu reaksi katalitik, katalis merupakan kebutuhan utama. Oleh

karena itu, pengembangan katalis masih dilakukan dewasa ini dalam upaya

(10)

B. Katalis

Katalis merupakan zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi kimia

untuk meningkatkan rendemen produk. Dalam suatu reaksi sebenarnya

katalis ikut terlibat, tetapi pada akhir reaksi terbentuk kembali seperti

bentuknya semula. Dengan demikian, katalis tidak memberikan tambahan

energi pada sistem dan secara termodinamika tidak dapat mempengaruhi

keseimbangan. Katalis mempercepat reaksi dengan cara menyediakan

mekanisme alternatif yang mempunyai energi aktivasi lebih rendah. Katalis

menyediakan situs-situs aktif yang berperan dalam proses reaksi. Situs-situs

aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban

atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam tersebut

umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong

atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan

sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell,

1998).

Katalis dapat berwujud gas, cair, atau padat. Berdasarkan perbedaan fasa dari

katalis yang digunakan dengan fasa reaktannya, maka katalis dapat

dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu katalis homogen dan

katalis heterogen.

1. Katalis Homogen

Katalis homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa yang sama

(11)

menjadi nitrogen (N2) dan oksigen (O2) menggunakan katalis nitrogen

pentaoksida (N2O5) dimana O3 dan N2O5 ada dalam fase yang sama (gas).

2. Katalis Heterogen

Katalis heterogen merupakan katalis yang mempunyai fasa yang berbeda

dengan fasa reaktan yaitu katalis yang digunakan dalam fasa padat yang

dapat mengikat sejumlah reaktan dalam fasa cair atau gas pada

permukaannya berdasarkan adsorpsi dan akhirnya menghasilkan produk.

Misalnya pada reaksi dekomposisi senyawa fenol (cair), katalis yang

dapat digunakan adalah Fe(III)-HY (padat) (Noorjahan et al., 2005)

karena fasa keduanya berbeda maka katalis Fe(III)-HY merupakan katalis

heterogen.

Dari kedua kelompok katalis yang telah dipaparkan di atas, katalis heterogen

merupakan sistem katalis yang luas digunakan dalam bidang industri. Hal ini

dikarenakan katalis heterogen memiliki banyak keunggulan dibandingkan

dengan katalis homogen, antara lain: dapat digunakan pada suhu tinggi

sehingga dapat dioperasikan pada berbagai kondisi (Andriani, 2005),

kemudahan pemisahan katalis dari campuran reaksi, kemudahan untuk

digunakan dalam berbagai media, dan penggunaan ulang katalis (Moffat,

1990; Frenzer and Maier, 2006). Persyaratan utama suatu katalis heterogen

adalah permukaan yang aktif dan mampu menyerap (adsorpsi) reaktan.

Situs-situs aktif memegang peranan utama dalam proses katalitik. Dalam

pembuatan katalis, pemilihan situs yang tepat akan menghasilkan suatu

(12)

maupun bahan mineral sintetik maupun semi sintetik. Logam-logam tersebut

umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong

atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan

sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell,

1998).

Berdasarkan fakta tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan

pembuatan katalis heterogen dengan logam aktif Fe dalam bentuk oksidanya

dengan metode sol-gel. Katalis Fe diketahui telah digunakan secara luas

karena dapat lebih meningkatkan produksi metanol (Haider et al., 2009).

Berdasarkan mekanisme reaksi Fischer-Tropsch dengan Fe sebagai logam

aktif (Blanchard et al., 1982), tingkat oksidasi logam Fe mempengaruhi

aktivasi logam Fe dalam reaksi tersebut. Selain itu, diketahui bahwa logam

Fe dalam bentuk Fe3O4 lebih aktif bila dibandingkan dengan logam Fe pada

keadaan tingkat oksidasinya +2.

Beberapa tahun terakhir, Fe3O4 menjadi bahan kajian yang menarik perhatian para ahli karena peluang aplikasinya yang luas. Dilaporkan bahwa Fe3O4

memiliki aplikasi pada bidang industri seperti; keramik, katalis, ferofluida,

serta biomedis (Bakar et al., 2007). Bahkan kajian mutakhir yang sampai

detik ini masih terus dikembangkan adalah pemanfaatan Fe3O4 pada sistem penyebaran obat-obatan dalam tubuh manusia atau yang biasa dikenal dengan

Drug Delivery System (DDS) (Iida et al., 2007).

(13)

magnetit mempunyai struktur kristal spinel dengan sel unit kubik yang terdiri

dari 32 ion oksigen, dimana celah-celahnya ditempati oleh ion Fe2+ dan ion Fe3+. Delapan ion Fe3+ dalam tiap sel berada pada bagian tetrahedral, karena

berlokasi di tengah sebuah tetrahedron yang keempat sudutnya ditempati ion

oksigen. Sisanya delapan ion Fe3+ dan delapan ion Fe2+ berada pada bagian oktahedral, karena ion-ion oksigen sekitarnya menempati sudut-sudut sebuah

oktahedron yang sudut-sudutnya ditempati oleh enam atom oksigen (Perdana

F.A., 2010).

C. Metode Preparasi Katalis

Karakteristik katalis sangat dipengaruhi metode preparasi yang digunakan.

Pemilihan metode preparasi yang tepat akan memberikan karakteristik katalis

yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang

tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis adalah mendapatkan

struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang tinggi dan situs aktif

yang lebih terbuka.

(14)

Dewasa ini ada beberapa metode preparasi katalis yang dikenal, yaitu

sonochemical, ultrasonic spray pyrolysis, microwave plasma (Grabis et al.,

2008), co-precipitation (Sun et al., 2006), dan salah satunya adalah sol-gel.

1. Metode Sol-gel

Sol-gel adalah suatu suspensi koloid dari partikel yang digelkan ke

bentuk padatan. Proses ini melibatkan perubahan jaringan-jaringan

anorganik melalui reaksi polimerisasi kondensasi. Pada proses sol-gel,

sol merupakan partikel halus dari senyawa hidroksida atau senyawa

oksida logam dalam suatu larutan. Sol selanjutnya mengalami proses

gelasi untuk membentuk jaringan dalam suatu fasa cair yang kontinyu,

sehingga terbentuk gel (Sopyan dkk, 1997).

Proses yang mungkin terjadi pada saat sol mengalami proses gelasi

membentuk suatu gel, disajikan pada Gambar 2.

(15)

Pada proses sol-gel, suhu berpengaruh pada kecepatan pembentukan gel.

Proses sol-gel yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar

menyebabkan laju hidrolisis yang lebih cepat sehingga pembentukan gel

terjadi lebih cepat (Meacanizie and Ultrych, 1984).

Metode sol-gel digunakan secara luas dalam pembuatan katalis

berpendukung logam. Dalam penelitian ini, metode sol-gel dipilih

karena metode ini diketahui memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan

dengan metode lain. Keuntungan dari metode ini meliputi : dispersi yang

tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada permukaan

katalis, tekstur porinya memberikan kemudahan difusi dari reaktan untuk

masuk ke dalam situs aktif (Lecloux and Pirard, 1998), luas permukaan

yang cukup tinggi (Lambert and Gonzalez, 1998), produk yang

dihasilkan memiliki kehomogenan dan kemurnian yang tinggi, tidak

bereaksi dengan senyawa sisa (Lambert and Gonzalez, 1998), dan suhu

pengerjaan relatif rendah sehingga kehilangan bahan akibat penguapan

dapat diperkecil (Jamarun, 2000).

Metode sol-gel yang dilakukan pada penelitian ini, merujuk pada

penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Akbar et al (2004),

yaitu menggunakan senyawa Fe nitrat (Fe(NO3)3.9H2O) dan asam sitrat dalam pelarut air. Dari metode sol-gel tersebut, akan diperoleh Fe2O3 yang kemudian diberi perlakuan dengan mengalirkan gas H2 sehingga

(16)

2. Pengeringan dan kalsinasi

Pengeringan umumnya dilakukan di dalam oven dengan temperatur

rendah. Pada saat pengeringan berlangsung, volume pelarut semakin

berkurang sehingga sedikit demi sedikit gel menyusut atau berkondensasi.

Dalam gel yang belum dikeringkan, partikel-partikel kecil hasil

kondensasi atau reaksi berikatan saling-silang membentuk struktur

jaringan dimana di dalam struktur tersebut terdapat pori-pori yang

dipenuhi oleh pelarut. Ketika gel dikeringkan, proses hilangnya pelarut

dimulai dari ukuran pori yang besar dan selanjutnya ke pori yang kecil

hingga akhirnya terbentuk gel yang bebas pelarut. Oleh karena itu pada

prinsipnya, pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan

cairan sebelum dikonversi ke produk akhir melalui tahapan kalsinasi.

Kalsinasi dilakukan pada temperatur tinggi dengan tujuan untuk

mendekomposisi komponen prekursor. Pada penelitian ini, kalsinasi

akan dilakukan sampai temperatur 350oC dalam lingkungan oksigen untuk membentuk fase oksidanya (Pinna, 1998). Aspek lain yang terkait

dengan pemanfaatan katalis adalah adanya hubungan antara unjuk kerja

dan karakteristiknya.

D. Karakterisasi Katalis

Aspek lain yang terkait dengan pemanfaatan katalis adalah adanya hubungan

antara unjuk kerja dan karakteristiknya, karena hubungan tersebut

(17)

Karakterisasi katalis dilakukan untuk mendapatkan sifat-sifat katalis meliputi

sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik antara lain adalah luas permukaan, volum

pori, diameter pori, kekerasan dan distribusi logam. Karakterisasi kimia

antara lain adalah jumlah kandungan logam, keasaman, kristalinitas dan

ikatan kimia. Pada penelitian ini karakterisasi kimia ditinjau yaitu kristalinitas,

morfologi permukaan dan keasaman dari katalis yang dibuat.

1. Keasaman Katalis

Keasaman suatu katalis memegang peranan yang cukup penting dalam

mempengaruhi aktivitas katalis. Keasaman suatu katalis dapat diukur

dengan menghitung jumlah asam atau basa yang teradsorpsi secara kimia

(kemisorpsi) dalam fase gas oleh katalis. Basa yang dapat digunakan

sebagai adsorbat sebagai penentu keasaman katalis antara lain adalah

NH3, piridin, piperidin, quinolin, trimetil amin dan pirol (Richardson,

1989). Pada penelitian ini basa yang digunakan adalah piridin dengan

asumsi bahwa ukuran molekul piridin yang relatif besar sehingga hanya

dapat teradsorbsi pada permukaan katalis (Rodiansono et al., 2007).

Metode yang biasa dipakai untuk mengukur keasaman atau kebasaan

suatu katalis adalah metode gravimetri, yaitu dengan menghitung daya

adsorpsi katalis terhadap basa ataupun asam adsorbat. Banyaknya mol

basa yang teradsorbsi pada situs asam menyatakan kekuatan asam dari

katalis (Richardson, 1989).

Pada penelitian ini sifat keasaman dari katalis kemudian dievaluasi untuk

(18)

2. Spektroskopi Infra Merah

Metode yang biasa dipakai untuk mengukur keasaman katalis adalah

metode gravimetri dan metode spektrofotometri inframerah. Pada metode

gravimetri dapat diukur jumlah gas yang teradsorpsi pada permukaan

katalis. Sedangkan pada metode spektrofotometri inframerah, dari

spektra yang dihasilkan dapat diketahui jenis situs asam

(Bronsted-Lowry atau Lewis) yang terdapat dalam katalis. Jenis situs

asam tersebut dapat diketahui melalui puncak-puncak serapan yang

dihasilkan dari interaksi basa adsorbat dengan situs–situs asam tersebut.

Pada penggunaan piridin sebagai basa adsorbat, situs asam

Bronsted-Lowry akan ditandai dengan puncak serapan pada

bilangan-bilangan gelombang 1485-1500, ~1620, dan ~1640 cm-1. Sedangkan untuk situs asam Lewis ditandai dengan puncak-puncak

serapan pada bilangan-bilangan gelombang 1447-1460, 1448-1503,

~1580, dan 1600-1633 cm-1 (Tanabe,1981).

Berdasarkan Gambar 3, prinsip kerja spektrofotometer IR adalah sebagai

berikut: sinar dari sumber (A) dibagi menjadi dua berkas, yakni satu

berkas (B) melalui cuplikan (berkas cuplikan) dan satu berkas lainnya (H)

sebagai baku. Kedua berkas itu dipantulkan oleh chopper (C) yang

berupa cermin berputar (~10 x per detik). Hal ini menyebabkan berkas

cuplikan dan berkas baku dipantulkan secara bergantian ke kisi difraksi

(D). Kisi difraksi berputar lambat, dan setiap frekuensi dikirim ke

(19)

Jika pada suatu frekuensi cuplikan menyerap sinar, detektor akan

menerima intensitas berkas baku yang besar dan berkas cuplikan yang

lemah secara bergantian. Hal ini menimbulkan arus bolak-balik dalam

detektor lalu akan diperkuat oleh amplifier. Arus bolak-bolak yang

terjadi digunakan untuk menjalankan suatu motor (G) yang dihubungkan

dengan suatu alat penghalang berkas sinar yang disebut baji optik (H).

Gerakan baji dihubungkan pena alat rekorder (I) sehingga gerakan baji

ini merupakan pita serapan pada spektra (Sudjadi, 1983).

Daerah infra merah dari spektrum elektromagnetik terdiri dari panjang gelombang antara 0,7 dan 500 m atau pada bilangan gelombang 14000

cm-1 sampai 20 cm-1. Daerah spektra yang menjadi perhatian untuk

analisis kimia berada dalam mid-infra merah yang frekuensinya meliputi

bilangan gelombang 4000 cm-1 sampai 200 cm-1 atau 2,5 m sampai 50 m (Willard et al., 1988).

(20)

3. X-Ray Diffraction (XRD)

Karakterisasi struktur kristal dan fasa kristalin dapat ditentukan dengan

alat difraktometer sinar-X (XRD) karena setiap fasa kristal memiliki sifat

pola difraksi sinar-X spesifik yang dapat digunakan sebagai jejak

(fingerprint) untuk identifikasinya. Penampakan tiga dimensi suatu bahan

bukan amorf diperlihatkan secara jelas dan teratur berdasarkan

pengulangan lapisan permukaan atom yang membentuk kisi kristal.

Ketika berkas sinar-X berinteraksi dengan lapisan permukaan kristal,

sebagian sinar-X ditransmisikan, diserap, direfleksikan dan sebagian lagi

dihamburkan serta didifraksikan. Pola difraksi yang dihasilkan analog

dengan pola difraksi cahaya pada permukaan air yang menghasilkan

sekelompok pembiasan.

Sinar-X yang didifraksikan oleh setiap kristal mineral bersifat spesifik,

dan bergantung bagaimana atom menyusun kisi kristal mineral tersebut

serta bagaimana atom sejenis tersusun. Ketika sinar-X menumbuk

(21)

kristal dapat ditentukan berdasarkan hukum Bragg pada Persamaan 2,

yaitu :

n = 2 d sin Ө ………. 2)

n adalah bilangan bulat dan merupakan tingkat difraksi sinar-X, adalah

panjang gelombang yang dihasilkan oleh katoda yang digunakan, seperti Cu Kα = 1,5414 Å, sedangkan d merupakan jarak antara batas lapisan

permukaan, dan Ө merupakan sudut difraksi sinar-X terhadap permukaan

kristal.

Selanjutnya, secara kualitatif ditentukan struktur kristal atau fasa kristal

yang dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan cara

membandingkan nilai d atau yang terukur dengan nilai d atau

pada data standar. Data standar didapat melalui Joint Committee On

Powder Diffraction Standard (JCPDS). Gambar 6 menunjukkan

difraktogram dari nanopartikel Fe3O4 murni.

(22)

4. Scanning Electron MicroscopeEnergy Dispersive X-Ray Spectrometer

(SEM-EDX)

Untuk melakukan karakterisasi material yang heterogen pada permukaan

bahan pada skala mikrometer atau bahkan submikrometer serta

menentukan komposisi unsur sampel secara kualitatif maupun kuantitatif

dapat dilakukan dengan menggunakan satu perangkat alat SEM

(Scanning Electron Microscope). Pada SEM (Scanning Electron

Microscope) dapat diamati karakteristik bentuk, struktur, serta distribusi

pori pada permukaan bahan (Sartono, 2007).

Karakterisasi menggunakan SEM dilakukan melalui adsorpsi isotermis

gas oleh padatan sampel. Jumlah molekul gas yang diadsorpsi pada

permukaan luar padatan sampel sangat sedikit dibandingkan dengan yang

diadsoprsi oleh porinya. Alat ini dilengkapi sumber cahaya yang berupa

suatu filamen dan biasanya suatu kawat tungsten.

(23)

Gambar 7. Skema alat Scanning Electron Microscope

Prinsip kerja Scanning Electron Microscope, dengan cara mengalirkan

arus pada kawat filamen tersebut dan perlakuan pemanasan, sehingga

dihasilkan elektron. Elektron tersebut dikumpulkan dengan tegangan

tinggi dan berkas elektron difokuskan dengan sederetan lensa

elektromagnetik. Ketika berkas elektron mengenai target, informasi

dikumpulkan melalui tabung sinar katoda (CRT) yang mengatur

intensitasnya.

Setiap jumlah sinar yang dihasilkan dari CRT dihubungkan dengan

jumlah target, jika terkena berkas elektron berenergi tinggi dan

menembus permukaaan target, elektron kehilangan energi, karena terjadi

ionisasi atom dari cuplikan padatan. Elektron bebas ini tersebar keluar

dari aliran sinar utama, sehingga tercipta lebih banyak elektron bebas,

dengan demikian energinya habis lalu melepaskan diri dari target.

Elektron ini kemudian dialirkan ke unit demagnifikasi dan dideteksi oleh

detektor dan selanjutnya dicatat sebagai suatu foto (Wagiyo dan

(24)

EDX merupakan seperangkat alat yang dirangkai dengan SEM untuk

menghasilkan gambar yang menyatakan perbedaan unsur kimia, yang

ditandai dengan warna gelap dan terang. Warna terang menunjukkan

adanya unsur kimia yang lebih tinggi nomor atomnya. Proses

memperoleh hasil gambar EDX diperoleh dari elektron terhambur balik

yang intensitasnya tergantung pada nomor atom unsur yang ada pada

permukaan sampel.

Radiasi yang penting pada EDX adalah sinar-X, karakteristik yang

diemisikan sebagai akibat tumbukan elektron pada atom-atom bahan

pada sampel. Radiasi karakteristik sinar-X dapat menghasilkan informasi

kualitatif dan kuantitatif tentang komposisi dari bagian tertentu dari

sampel, dengan diameter beberapa mikrometer (Anonim F., 2007).

E. Uji Aktivitas

Untuk menentukan hasil kuantitatif dan kualitatif uji katalitik, digunakan

Kromatografi Gas (GC). Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah

penyebaran cuplikan diantara dua fase. Salah satu fase adalah fase diam yang

permukaan nisbinya luas, dan fase yang lain ialah gas yang melewati fase

diam. Berdasarkan kombinasi fasa diam dan fasa gerak, kromatografi gas

dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kromatografi gas padatan yang

disusun dari fasa diam berupa padatan dan fasa gerak berupa gas, yang

prinsipnya berdasarkan pada perbedaan absorbsi suatu komponen,

kromatografi gas-cair, fasa diamnya berupa cairan dan fasa geraknya berupa

(25)

. .

Komponen penting dalam kromatografi gas adalah:

1. Tangki pembawa gas yang dilengkapi dengan pengatur tekanan

2. Tempat injeksi sampel

3. Kolom

4. Detektor yang dilengkapi termostat

5. Pemerkuat arus (amplifyer)

6. Rekorder atau integrator

Fungsi gas pembawa adalah mengangkut cuplikan dari kolom menuju

detektor, gas tersebut haruslah inert dan murni, gas pembawa yang sering

digunakan adalah nitrogen, hidrogen, helium, dan argon. Kolom

kromatografi terdiri dari tiga bagian yaitu wadah luar, isi kolom yang

terdiri dari padatan pendukung dan fasa cairan. Jenis kolom ada 2 macam

yaitu kolom packing dan kolom kapiler, kolom packing lebih besar dari

kolom kapiler (Wikipedia, 2005). Detektor pada kromatografi gas harus

dapat mendeteksi secara terus-menerus, cepat dan dengan sensitifitas yang

tinggi terhadap komponen-komponen yang terdapat dalam gas pembawa Gambar 8. Bagian dasar kromatografi

(26)

ketika keluar dari kolom (Brewer., 1998). Detektor berinteraksi dengan

komponen-komponen sampel berdasarkan sifat-sifat fisika dan/atau kimia.

Interaksi tersebut menghasilkan sinyal elektrik yang ukurannya sebanding

dengan jumlah atau kuantitas dari komponen tersebut. Sinyal-sinyal yang

dihasilkan detektor kemudian dikirim ke alat perekam (Rood., 2007).

Kromatografi gas dalam hal ini sangat efektif berfungsi sebagai pemisah

berbagai komponen-komponen sampel tetapi mempunyai kelemahan

(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Lembaga Penelitian

Universitas Lampung. Analisis difraksi sinar-X (XRD), morfologi

permukaan (SEM), dan analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di

Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,

analisis keasaman dilakukan di Laboratorium Kimia Lembaga Ilmu

Pengetahuan (LIPI) Serpong, dan analisis menggunakan Kromatografi Gas

dilakukan di Laboratorium Afiliasi Departemen Kimia Universitas Indonesia,

dari bulan November 2009 sampai bulan Maret 2010.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah:

reaktor katalis, furnace Lenton 3508, Spektrofotometer Infra Merah (IR)

Shimadzu IrPrestige-21, X-Ray Diffraction (XRD) Philips PW1710, GC

Varian Cp3800 GC, Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray

Spectrometer (SEM-EDX), magnetic stirrer, desikator, dan peralatan gelas.

(28)

C. Cara Kerja

1. Pembuatan Katalis dengan Metode Sol-gel

Sebanyak 25,28 gram Fe3(NO3)3.9H2O ditambahkan ke dalam 100 mL

pelarut asam sitrat/H2O (perbandingan asam sitrat : Fe3(NO3)3.9H2O = 2:1), larutan kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik pada temperatur

±70oC agar logam terdistribusi merata dalam larutan, sampai diperoleh gel. Kemudian gel dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam untuk menghilangkan air, lalu ditimbang dan dihitung rendemen yang

terbentuk.

2. Kalsinasi

Proses kalsinasi dilakukan dengan menggunakan furnace yang diprogram

sesuai dengan perlakuan yang diinginkan, dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

a. Sampel disiapkan.

b. Sampel dimasukkan ke dalam tungku pemanas (furnance).

c. Alat tungku dihubungkan dengan sumber tegangan, kemudian setting

alat dalam keadaan hidup atau "ON".

d. Tungku diatur setting sesuai dengan perlakuan pada sampel.

e. Tungku pemanas dimatikan ketika proses telah selesai.

f. Sampel dikeluarkan dari tungku pemanas.

Pemanasan sampel terbagi menjadi 3 segment, yaitu kenaikan (run),

penahanan (dwell), dan pengakhiran (end). Pertama-tama sampel

(29)

dengan penaikan temperatur 1oC/menit. Setelah mencapai temperatur target (120oC) temperatur ditahan selama 2 jam (120 menit), kemudian

temperatur dinaikkan kembali hingga mencapai temperatur 350 oC dengan penaikan temperatur 1oC/menit. Setelah mencapai temperatur 350 oC,

temperatur ditahan selama 3 jam (180 menit). Selanjutnya alat furnace

akan menghentikan pemicu kenaikan dan penahanan suhu, dan secara

otomatis suhu di dalam furnace akan turun kembali secara perlahan hingga

mencapai suhu kamar (30oC).

3. Reduksi

Sebanyak 35,5 mg katalis yang telah melewati proses kalsinasi

ditempatkan pada tabung reaktor. Katalis dipanaskan sampai temperatur

reaksi yaitu 500 oC dan ditahan pada temperatur tersebut selama 30 menit.

Kemudian dialirkan gas H2 dengan laju alir tertentu pada temperatur penahanan tersebut. Laju alir gas H2 yang digunakan adalah 1,6 L/jam,

1,8 L/jam, dan 2,0 L/jam.

4. Karakterisasi

a. Karakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD)

Pada penelitian ini karakterisasi dengan XRD dilakukan untuk

menganalisis pengaruh variasi laju alir gas H2 terhadap fasa kristalin

yang terbentuk pada tahapan reduksi maupun fasa kristalin pada katalis

(30)

diidentifikasi menggunakan metode Search Match dengan standar File

data yang terdapat dalam program PCPDFWIN 1997.

b. Penentuan Keasaman Katalis

Metode yang digunakan untuk menentukan keasaman dari Fe3O4 adalah metode gravimetri. Katalis diambil sebanyak 0,25 gram

dimasukkan ke dalam wadah dan diletakkan dalam desikator yang di

dalamnya terdapat absorbat piridin (p.a). Desikator ditutup selama 24

jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat

terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. Berat katalis

yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa

yang teradsorpsi pada silika-katalis dengan persamaan di bawah ini

Dengan W1 adalah berat wadah kosong, W2 berat wadah dan cuplikan,

W3 berat wadah dan cuplikan yang telah mengadsorpsi piridin dan berat molekul piridin.

Untuk mengetahui jenis asam yang ada pada katalis digunakan metode

spektrofotometri infra merah. Beberapa mg cuplikan katalis yang

telah dijenuhkan dengan piridin diletakkan pada wadah sampel

spektrofotometer infra merah untuk dianalisis. Sinyal spektrum pada

bilangan gelombang ± 1450 cm-1 dan bilangan gelombang ±1630 cm-1

masing-masing merujuk pada situs asam Brønsted-Lowry dan situs

(31)

c. Karakterisasi dengan SEM-EDX

Untuk melakukan karakterisasi permukaan katalis Fe3O4 pada skala mikrometer atau bahkan submikrometer serta menentukan komposisi

unsur sampel secara kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan

dengan menggunakan satu perangkat alat SEM yang dirangkaikan

dengan EDX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometer). Pada SEM

(Scanning Electron Microscope) dapat diamati karakteristik bentuk,

struktur, serta distribusi pori pada permukaan bahan. Sedangkan pada

EDX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometer) analisis kualitatifnya

adalah proses identifikasi unsur-unsur yang ada dalam sampel dan

analisis kuantitatifnya adalah untuk mengetahui kadar unsur yang

terkandung dalam sampel. Tahapan analisisnya yaitu sejumlah sampel

diletakkan dalam wadah sampel kemudian dilakukan proses coating

(pelapisan) karbon pada sampel lalu dianalisis.

5. Uji Aktivitas Katalis

Aktivitas katalis diuji pada reaktor dengan skema kerja reaktor untuk

konversi gas CO2 menjadi metanol pada Gambar 9.

Sampel katalis sebanyak 20 mg ditempatkan pada tabung reaktor, katalis

dipanaskan sampai temperatur 500oC dan ditahan pada suhu tersebut

selama satu jam. Selama waktu penahanan, katalis direduksi

menggunakan gas hidrogen dan gas argon dengan laju alir 1,8 L/jam untuk

gas hidrogen dan 1,2 L/jam untuk gas argon. Setelah reduksi selesai,

(32)

kemudian dipertahankan selama 30 menit. Kemudian dialirkan gas CO2, H2 dan Ar selama waktu penahanan tersebut dengan laju alir total adalah

50 mL/menit, dan perbandingan gas CO2 : H2 adalah 1:4. Variasi temperatur yang dilakukan adalah 100, 200, 300, dan 400oC. Hasil

katalisis keluar dari tabung reaktor kemudian ditampung dalam wadah

penampung. Hasil dari uji aktivitas ini selanjutnya dianalisis

menggunakan kromtografi gas.

Keterangan :

1-3 = Regulator (flowmeter), 4-6 = Pengatur aliran gas, 7 = Tempat injeksi CO2, 8 = Wadah pencampur, 9-10 = Penghubung swagelock, 11 = Termokopel, 12 = Wadah katalis, 13 = furnace, 14 = Valve, 15 = Kantong penampung hasil analisis.

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengantar

Penelitian ini pada intinya dilakukan dengan dua tujuan utama, yakni

mempelajari pembuatan katalis Fe3O4 dari substrat Fe2O3 dengan metode

sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe3O4 untuk reaksi konversi gas CO2 menjadi metanol.

Secara garis besar, penelitian ini mencakup tiga lingkup kegiatan yakni

pembuatan katalis, karakterisasi katalis, dan uji aktivitas katalis. Pembuatan

katalis diawali dengan pembuatan Fe2O3 dengan metode sol-gel, dilanjutkan dengan kalsinasi pada temperatur 350oC. Fe2O3 yang telah dikalsinasi kemudian direduksi menggunakan gas H2 untuk mengubah Fe2O3 menjadi

Fe3O4. Percobaan ini dilakukan dengan laju alir gas H2 yang berbeda yakni 1,6 L/jam; 1,8 L/jam; dan 2,0 L/jam untuk mendapatkan konversi Fe2O3 menjadi katalis Fe3O4 paling tinggi. Persen konversi ini ditentukan

berdasarkan análisis menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD). Katalis

dengan kandungan fasa kristalin Fe3O4 paling tinggi selanjutnya

dikarakterisasi dengan Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive

X-Ray Spectrometer (SEM-EDX) untuk melihat morfologi permukaan dan

analisis komposisi unsur permukaan, serta metode adsorbsi basa piridin untuk

(34)

dikonfirmasi dengan analisis fungsionalitas menggunakan Spektrofotometer

Infra Merah.

Tahap terakhir adalah pengujian aktivitas katalis terbaik untuk reaksi

konversi gas CO2 menjadi metanol pada temperatur 100, 200, 300, dan 400 oC. Produk reaksi selanjutnya dianalisis menggunakan kromatografi gas dan keadaan katalis setelah uji aktivitas dimonitor kembali menggunakan

X-Ray Diffractometer (XRD) dan Scanning Electron Microscope-Energy

Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDX).

B. Pembuatan Katalis dengan Metode Sol-gel

Pada penelitian ini, pembuatan Fe2O3 menggunakan metode Sol-gel, mengikuti penelitian sebelumnya oleh Akbar et al., (2004). Fe2O3 disiapkan

dengan cara melarutkan prekursor Fe-nitrat ke dalam larutan asam sitrat.

Larutan asam sitrat dibuat dengan melarutkan kristal C6H8O7. H2O ke dalam

aquades, reaksi yang terjadi adalah endoterm. Larutan Fe-nitrat dalam asam

sitrat berwarna merah, seperti yang disajikan pada Gambar 10 berikut:

(35)

Larutan tersebut dipanaskan pada temperatur 80oC sambil diaduk dengan

magnetic stirrer agar homogen. Pada proses pemanasan tersebut terjadi

penguapan air dan pelepasan sedikit gas NO2 yang ditandai dengan keluarnya

gas berwarna kuning kecoklatan.

Dari hasil pemanasan tersebut diperoleh gel yang berwarna merah, seperti

yang disajikan dalam Gambar 11 berikut.

Gel tersebut kemudian dikeringkan di dalam oven pengering dengan

temperatur 60oC selama 24 jam, selanjutnya dilakukan kalsinasi untuk mengubah Fe menjadi oksidanya, karena oksida dari Fe ini akan berperan

sebagai situs aktif dalam proses katalitik.

Kalsinasi dilakukan dalam beberapa tahap. Pada tahap pertama dilakukan

pemanasan dari temperatur ruang (temperatur 30oC) hingga mencapai

temperatur 120oC dengan kenaikan temperatur 1oC/menit, kemudian ditahan selama dua jam. Pada tahap pertama ini, yang terjadi adalah penghilangan

kadar air yang masih terkandung di dalam gel. Tahap kedua, temperatur

(36)

selama tiga jam. Pada tahap ini, terjadi pembebasan gugus nitrat dan mulai

terbentuk fase oksida seperti pada persamaan reaksi berikut:

Kalsinasi dilakukan pada temperatur 350oC karena diharapkan fase oksida yang terbentuk belum cukup stabil, sehingga masih cukup reaktif untuk

melewati tahap selanjutnya. Setelah dilakukan kalsinasi, warna yang

terbentuk adalah merah bata seperti yang dapat dilihat dalam Gambar 12.

Rendemen Fe2O3 yang dihasilkan sebesar94,5 % dari hasil stokiometri.

Fe2O3 yang telah diperoleh kemudian dikonversi menjadi katalis Fe3O4

melalui tahapan reduksi. Pada penelitian ini, reduksi dilakukan dengan laju

alir gas H2 yang bervariasi, yaitu: 1,6 L/jam; 1,8 L/jam; dan 2,0 L/jam. Variasi dilakukan untuk mengetahui laju alir gas H2 optimal yang diperlukan

untuk mereduksi Fe2O3 menjadi katalis Fe3O4. Hasil reduksi dari setiap laju alir gas H2 dimonitor fasa kristalinnya menggunakan difraksi sinar-X yang

(37)

alir gas H2, menghasilkan produk dengan warna berbeda, yang

mengindikasikan kemungkinan perbedaan komposisi.

Perubahan warna katalis yang telah direduksi dengan masing-masing laju alir

gas H2 dapat dilihat seperti yang disajikan dalam Gambar 13.

Hasil yang disajikan dalam Gambar 13 menunjukkan bahwa secara visual ada

pengaruh yang cukup jelas dari laju alir gas H2. Pada katalis yang direduksi

menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam tidak terlihat perubahan warna yang cukup berarti, dibandingkan dengan warna Fe2O3 sebelum direduksi. Tidak terjadinya perubahan warna mengindikasikan bahwa dengan

laju alir 1,6 L/jam jumlah gas H2 yang diasup belum mampu mereduksi Fe2O3 menjadi Fe3O4. Hasil percobaan menggunakan laju alir gas H2 sebesar

1,8 L/jam dan 2,0 L/jam menunjukkan bahwa jumlah gas H2 yang diasup sudah cukup mereduksi Fe2O3 menjadi Fe3O4. Hal ini terlihat dari perubahan warna dari merah bata menjadi hitam. Karena secara visual produk yang

dihasilkan dari percobaan dengan laju alir 1,8 L/jam dan 2,0 L/jam adalah

sama, maka kedua sampel selanjutnya dianalisis menggunakan XRD. Gambar 13. Katalis hasil reduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar

(38)

C. Karakterisasi Katalis

1. Analisis Struktur Kristal menggunakan XRD

Karakterisasi sampel menggunakan sinar-X dilakukan untuk memonitor

hasil reduksi katalis pada setiap variasi laju alir gas H2. Data difraksi yang dihasilkan memberikan informasi berdasarkan sudut 2θ (dalam derajat)

dan intensitas relatif. Hasil pengukuran pola difraksi sinar-X pada katalis

yang direduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam, dapat dilihat dalam Gambar 14. Untuk analisis kualitatif pada setiap sampel

hasil reduksi, digunakan metode pencocokan (search match analysis)

menggunakan program PCPDFWIN 1997 atau JCPDS (International

Center for Diffraction Data)

(39)

Hasil analisis kualitatif difraksi sinar-X seperti yang disajikan pada

Gambar 14 menunjukkan bahwa hasil reduksi menggunakan laju alir gas

H2 sebesar 1,6 L/jam masih berupa Fe2O3. Hal ini dapat diketahui jika

melihat puncak-puncak difraktogram sampel hasil reduksi (B), yang

bersesuaian dengan puncak-puncak pada difraktogram standar yang

mengacu pada PCPDF 33-0664. Identifikasi dilakukan dengan

membandingkan tiga puncak berintensitas tertinggi dari sampel terhadap

data rujukan (Gooden and Mc Carthy, 1972). Kecocokan puncak-puncak

fasa kristalin Fe2O3 terhadap rujukan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Untuk sampel katalis yang direduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam dan 2,0 L/jam terlihat memberikan perubahan warna yang sama,

akan tetapi sebenarnya kedua laju alir gas H2 tersebut memberikan hasil yang berbeda. Hal ini dapat terlihat dari difraktogram kedua sampel yang

memiliki pola berbeda. Difraktogram kedua sampel seperti yang

ditunjukkan dalam Gambar 15.

(40)

Hasil analisis kualitatif difraktogram yang terlihat pada Gambar 15

menunjukkan bahwa reduksi Fe2O3 dengan menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam (B) terbentuk fasa kristalin Fe3O4, terlihat dari pola puncak-puncak difraktogram hasil analisis yang bersesuaian dengan pola

puncak-puncak difraktogram standar PCPDF 19-0629 untuk Fe3O4. Akan tetapi, pada difraktogram tersebut juga terlihat dua puncak yang tidak

bersesuaian dengan pola difraktogram standar Fe3O4 yaitu pada 2θ = 44,63 dan 2θ = 64,99. Melalui metode pencocokan (search match analysis),

diketahui kedua puncak tersebut cocok dengan puncak difraktogram

standar PCPDF 06-0696 untuk fasa kristalin Fe.

(41)

Data Rujukan Hasil Penelitian

Sedangkan pada pola difraktogram katalis yang direduksi menggunakan

laju alir gas H2 sebesar 2,0 L/jam (C), puncak-puncak difraktogram yang

menunjukkan adanya fasa kristalin Fe yaitu pada 2θ = 44,63 dan

2θ = 64,99 mengalami kenaikan intensitas yang cukup tinggi dan

puncak-puncak difraktogram yang menunjukkan adanya fasa kristalin

Fe3O4 terlihat mengalami penurunan intensitas.

(42)

Data Rujukan Hasil Penelitian

Keasaman turut memegang peranan yang cukup penting dalam

mempengaruhi aktivitas katalis. Keasaman suatu katalis atau suatu

material dapat ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri, yaitu

dengan menghitung daya adsorbsi katalis terhadap basa yang mana dalam

penelitian ini yang digunakan adalah piridin. Banyaknya mol piridin yang

teradsorbsi pada situs asam menyatakan kekuatan asam dari katalis

(Richardson., 1989). Pada penelitian ini, berdasarkan hasil perhitungan

yang disajikan dalam Lampiran 3, dengan menggunakan metode

gravimetri diketahui keasaman per-satu gram katalis Fe3O4 adalah sebesar

1,116 mmol piridin.

Metode spektrofotometri inframerah merupakan data penunjang bagi

metode gravimetri untuk mengetahui sisi asam manakah yang berperan

dalam mengikat basa dalam hal ini piridin.

(43)

Spektrum IR katalis Fe3O4 setelah uji keasaman menggunakan basa piridin

seperti yang disajikan dalam Gambar 16.

Pada spektrum infra merah situs asam Brønsted-Lowry ditunjukkan pada

daerah bilangan gelombang 1485-1500 cm-1, sedangkan situs asam Lewis ditunjukkan pada daerah bilangan gelombang 1447-1460 cm-1 (Tanabe., 1981). Dalam Gambar 16 terlihat adanya puncak serapan dari ion

piridinium, yaitu pada 1487,12 cm-1 yang mengindikasikan adanya situs asam Brønsted-Lowry yang berperan pada permukaan katalis. Selain situs

asam Brønsted-Lowry, situs asam Lewis (serapan piridin yang berikatan

dengan logam) juga berperan pada permukaan katalis Fe3O4, yaitu dengan

adanya puncak serapan pada 1448,54 cm-1.

(44)

Adsorbsi piridin pada permukaan katalis Fe3O4 terlihat dengan adanya

serapan vibrasi tarik C-H pada daerah 3020-3070 cm-1, serapan vibrasi tarik C-C pada daerah 1590-1660 cm-1, dan serapan vibrasi untuk C-N

pada daerah 1000-1250 cm-1. Kemudian pada daerah 3400-3500 cm-1 menunjukkan serapan vibrasi N-H yang bertumpangsuh dengan serapan

O-H akibat adsorbsi piridin pada permukaan katalis Fe3O4. Sedangkan

serapan pada daerah sekitar 559,36 cm-1 menunjukkan adanya serapan vibrasi untuk Fe-O yang merupakan karakteristik adanya Fe3O4

(Barizuddin. S., 2006).

Keasaman situs aktif katalis dapat dijelaskan sebagai berikut: gugus

hidroksil dari katalis berikatan kovalen koordinasi dengan piridin

membentuk ion piridinium sehingga membentuk pusat aktif

Brønsted-Lowry. Reaksi yang terjadi adalah:

H

O M O + O M O--- H

Sedangkan pusat aktif asam Lewis pengikatan gugus piridin dapat dilihat

pada reaksi berikut :

O

O M O + O M

M merupakan logam besi (Fe) mempunyai situs asam yang dapat

mengadsorbsi basa piridin. Logam Fe merupakan unsur golongan transisi

(45)

Dominasi antara situs asam Brønsted-Lowry dengan Lewis dapat dilihat

pada spektra analisis. Dari spektrum dapat dilihat bahwa katalis Fe3O4 relatif didominasi oleh situs asam Brønsted-Lowry. Hal ini ditunjukkan

dengan lebih kecilnya % transmitan pada daerah serapan 1487,12 cm-1 bila dibandingkan dengan % transmitan pada daerah 1448,54 cm-1.

3.Analisis SEM-EDS

Analisis menggunakan SEM dilakukan untuk mengevaluasi morfologi

permukaan katalis yang telah dihasilkan. Agar morfologi permukaan ini

dapat terungkap dengan lebih jelas, analisis dilakukan dengan tiga

perbesaran, yakni 1500x, 2000x, dan 20000x. Mikrograf sampel disajikan

dalam Gambar 17.

Hasi analisis dengan perbesaran 1500x (Gambar 17A) menunjukkan

bahwa partikel-partikel Fe3O4 membentuk kelompok-kelompok (cluster) Gambar 17. Struktur mikro katalis Fe3O4 (A) dengan perbesaran

(46)

dengan struktur polimorf (tidak homogen). Diduga pembentukan cluster

ada kaitannya dengan sifat magnet Fe3O4 sehingga partikel condong mengelompok. Untuk memperjelas profil cluster yang teramati, dilakukan

analisis SEM dengan perbesaran 2000x. Hasil analisis dengan perbesaran

yang lebih tinggi menunjukkan cluster ini cukup homogen tetapi belum

memberikan informasi tentang bentuk dan ukuran partikelnya. Atas dasar

itulah, analisis dilakukan dengan perbesaran 20000x seperti yang disajikan

dalam Gambar 18.

Mikrograf dengan perbesaran 20000x seperti yang dapat dilihat dalam

Gambar 18 mampu menunjukkan dua informasi penting yakni bentuk

partikel dan ukuran partikel yang berada dalam rentang mikron. Dalam

Gambar 18 partikel Fe3O4 terlihat tersebar merata dengan bentuk dan ukuran partikel yang kurang homogen, ada yang memiliki bentuk agak

(47)

bulat memanjang dan ada yang agak bulat hampir membentuk struktur

kubik.

Analisis EDX pada sampel Fe3O4 yang diperoleh dari reduksi Fe2O3

menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam dilakukan untuk mengetahui komposisi unsur di dalam sampel. Hasil analisis EDX

disajikan dalam Gambar 19.

Berdasarkan hasil analisis EDX dalam Gambar 19, diketahui bahwa

struktur mikro sampel hasil reduksi Fe2O3 menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam mengandung komposisi unsur Fe, O, C dan F dengan

persen massa relatif unsur Fe sebesar 81,64%, unsur O sebesar 9,97%, Gambar 19. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 hasil reduksi

(48)

unsur C sebesar 7,26%, dan unsur F sebesar 1,13%. Unsur C dan F

kemungkinan besar berasal dari kontaminasi peralatan analisis karena

kedua unsur tersebut tidak ada digunakan dalam preparasi sampel. Unsur

C kemungkinan berasal dari proses coating (pelapisan) yang dikenakan

pada sampel sebelum dianalisis, sedangkan unsur F diduga berasal dari

wadah sampel pada perangkat SEM/EDX.

Berdasarkan komposisi unsur ini dapat diketahui bahwa katalis terdiri dari

Fe3O4 sebesar 64,74% dan Fe 35,24%. Cara perhitungan disajikan dalam

Lampiran 4.

D. Uji Aktivitas Katalis

Dalam penelitian ini, uji aktivitas katalis dilakukan menggunakan reaktor

seperti disajikan dalam Gambar 9 pada bagian metode percobaan.

Percobaan uji aktivitas katalis ini diawali dengan proses reduksi katalis

pada temperatur 500oC selama satu jam dengan menggunakan gas H 2 dengan laju alir 1,8 L/jam dan gas Ar dengan laju alir 1,2 L/jam.

Selanjutnya katalis yang telah tereduksi tersebut dialiri dengan campuran

gas CO2, H2 dan Ar dengan laju alir total 50 mL/menit dan perbandingan gas CO2 : H2 adalah 1:4. Gas CO2 yang terdapat dalam campuran tersebut

akan mengoksidasi katalis tereduki sekaligus menghasilkan gas CO,

(49)

Fe3O4 + H2 FeO/Fe + H2O (1)

FeO/Fe + CO2 Fe3O4 + CO (2)

CO2 + H2 CO + H2O

Gas CO yang terbentuk kemudian diharapkan akan bereaksi dengan gas H2 untuk menghasilkan metanol, sesuai dengan persamaan reaksi berikut ini.

CO + 2H2 CH3OH (3)

Dalam kimia, salah satu faktor termodinamis yang sangat berperan

menentukan reaksi adalah temperatur. Atas dasar ini, dalam penelitian ini

uji aktivitas katalis dilakukan pada empat temperatur yang berbeda, yakni

100, 200, 300, dan 400oC. Hasil percobaan dianalisis dengan kromatografi

gas.

Analisis dengan kromatografi gas menghasilkan kromatogram tanpa

adanya pita serapan untuk semua keadaan temperatur, seperti yang

disajikan dalam Lampiran 6. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi

reaksi konversi menjadi metanol, seperti yang diharapkan. Tidak

berlangsungnya reaksi seperti yang diharapkan diduga terdapat beberapa

alasan yang melatarbelakanginya. Alasan pertama adalah kemungkinan

reaksi yang berlangsung hanya sampai pada konversi gas CO2 menjadi gas

CO, sementara reaksi antara gas CO dan gas H2 tidak berlangsung. Kemungkinan ini didukung oleh hasil analisis katalis dengan XRD, seperti

disajikan dalam Gambar 20.

+

(50)

Difraktogram sampel pada Gambar 20 menunjukkan kristalinitas sampel

sebelum diuji (B) dan setelah diuji (C), serta difraktogram standar (A).

Sampel sebelum digunakan diketahui terdiri dari fasa kristalin Fe3O4 dan Fe. Ini mengindikasikan bahwa proses pembuatan katalis berhasil

dilakukan hingga 64,74%, sementara 35,24% tereduksi hingga menjadi Fe.

Difraktogram untuk sampel yang sudah diuji menunjukkan adanya tiga

fasa kristalin yaitu Fe2O3, Fe3O4, dan Fe, dengan data kecocokan terhadap

standar seperti disajikan dalam Tabel 4 berikut. +

(51)

Data Rujukan Hasil Penelitian

Komposisi masing-masing fase kristalin pada katalis setelah uji aktivitas

tersebut dapat diketahui berdasarkan hasil analisis EDX seperti yangg

disajikan pada Gambar 21.

aktivitas dengan data standar Fe2O3, Fe3O4 dan Fe sebagai rujukan.

(52)

Mengacu pada hasil analisis EDX dalam gambar 21, diketahui bahwa

komposisi unsur Fe dan O pada sampel katalis setelah melalui proses uji

katalitik secara berturut-turut adalah sebesar 95,63% dan 2,82%.

Berdasarkan komposisi unsur ini dapat diketahui bahwa katalis terdiri dari

Fe3O4 sebesar 7,5%, Fe2O3 sebesar 6,32%, dan Fe sebesar 81,8%.

Terlihat persentase Fe sebelum dan sesudah uji aktivitas mengalami

kenaikan sebesar 46,56%. Hal ini memperlihatkan bahwa katalis

mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap gas H2 dari pada gas CO2

sehingga cenderung mengalami reduksi. Walaupun diketahui reaksi

reduksi lebih dominan, tetapi terbentuknya fase kristalin Fe2O3 pada sampel setelah uji aktivitas, menunjukkan bahwa juga terjadi reaksi

oksidasi katalis oleh gas CO2 seperti yang ditunjukkan dengan Persamaan (2). Namun demikian, gas CO yang dihasilkan tidak bereaksi dengan gas

H2, terlihat dari tidak adanya metanol yang terdeteksi dengan kromatografi gas seperti telah dipaparkan sebelumnya. Kegagalan reaksi antara gas CO

dan H2 kemungkinan diakibatkan oleh pengikatan gas CO oleh permukaan

katalis yang tidak mantap sehingga interaksinya dengan gas H2 menjadi sangat terbatas.

Kemungkinan lain yang patut dipertimbangkan adalah karaktersitik katalis,

terutama luas permukaan yang belum mampu mendukung reaksi katalitik

dengan efisien. Dugaan ini didasarkan padaa data analisis dengan SEM

yang menunjukkan bahwa partikel-partikel katalis Fe3O4 membentuk suatu

cluster-cluster yang menyebabkan berkurangnya luas permukaan katalis

(53)

Kemungkinan terakhir adalah reaksi yang berlangsung tidak menghasilkan

metanol, tetapi produk lain yang tidak terdeteksi dengan kondisi metode

analisis yang diterapkan untuk analisi metanol. Beberapa contoh senyawa

yang mungkin terbentuk tetapi tidak dianalisis pada penelitian ini adalah

formate, dioximetilen, formaldehida dan senyawa metoksi (Nakatsuji N.,

1999).

(54)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa

simpulan sebagai berikut:

1. Dengan metode yang digunakan, katalis Fe2O3 dapat tereduksi menjadi

Fe3O4 dengan tingkat capaian persen konversi sebesar 64,74% dan sisanya adalah Fe dengan tingkat capaian persen konversi sebesar

35,24% pada saat diberi asupan gas H2 dengan laju alir sebesar 1,8 L/jam.

2. Situs asam dari katalis Fe3O4 terdiri dari asam Brønsted-Lowry dan

asam Lewis, dengan situs asam Brønsted-Lowry lebih mendominasi.

3. Uji aktivitas katalis menunjukkan konversi gas CO2 menjadi metanol tidak dapat dicapai dengan katalis yang dibuat.

4. Meskipun gagal menghasilkan metanol, dari data penelitian dapat

disimpulkan bahwa katalis yang dibuat mampu mengkonversi gas CO2

menjadi gas CO.

5. Reaksi yang dominan terjadi pada uji aktivitas adalah reaksi reduksi,

(55)

B. Saran

Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk:

1. Melakukan penelitian lebih lanjut dengan metode sintesis lain untuk

mendapatkan katalis Fe3O4 dengan pencapaian tingkat konversi dan karakteristik katalis yang lebih baik.

2. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan promotor

dan/atau pengemban untuk mendukung kinerja katalis dalam

mengkonversi gas CO2 menjadi metanol.

3. Melakukan analisis produk-produk lain yang mungkin terbentuk,

(56)

PEMBUATAN KATALIS Fe

3

O

4

DENGAN METODE

SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK KONVERSI

CO

2

MENJADI METANOL

(Skripsi)

Oleh

Sarah Aliana

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(57)

PEMBUATAN KATALIS Fe

3

O

4

DENGAN METODE

SOL-GEL DAN UJI AKTIVITASNYA UNTUK KONVERSI

CO

2

MENJADI METANOL

Oleh

SARAH ALIANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

(58)

Judul Skripsi : PEMBUATAN KATALIS Fe3O4 DENGAN METODE SOL-GEL DAN UJI

AKTIVITASNYA UNTUK KONVERSI CO2 MENJADI METANOL

Nama Mahasiswa : Sarah Aliana

Nomor Pokok Mahasiswa : 0517011016

Jurusan : Kimia

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc Wasinton Simanjuntak, Ph.D NIP 19600616198811 1001 NIP 19590706198811 1001

2. Ketua Jurusan Kimia

(59)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc. ...

Sekretaris : Wasinton Simanjuntak, Ph.D ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dra. Ilim, M.S ...

2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Sutyarso, M.Biomed NIP 19570424198703 1001

(60)

PENDIDIKAN FORMAL (SD s.d S1)

Tahun 2005 – 2010 : Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung

Periode 2006-2007 : Anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia HIMAKI UNILA

Periode 2007-2008 : Anggota Biro Penerbitan HIMAKI UNILA

NAMA

: Sarah Aliana

Tempat, Tanggal Lahir : Kota Agung, 24 Januari 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Penikahan : Belum menikah

Tinggi / Berat Badan : 158 cm/ 42 Kg

NPM : 0517011016

Nama Orang Tua : Ali Ahmad-Ermalina, S.Pd

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat Rumah Telp.

: Jl. Kelapa Tujuh, Lingkungan III. RT 007 RW 003, Bandar Jaya Barat, Lampung Tengah Alamat Saat Ini

Telp.

: Jl. Jend Sudirman No. 120 Rawa Laut, Pahoman, Bandar Lampung.

No. HP : 081279566699

Tgl. Wisuda : 15 Desember 2010

IPK : 3,30

Nilai EVT (TOEFL) : 440

(61)

ASISTEN PRAKTIKUM YANG PERNAH DIJABAT

HOBI

PENELITIAN DAN TUGAS AKHIR

PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI PENGALAMAN KERJA

Tahun 2005-2006 : Beasiswa BBM Tahun 2008-2009 : Beasiswa BBM

 Pembuatan Katalis Fe3O4 dengan Metode Sol-Gel dan Uji Aktivitasnya untuk Konversi CO2 menjadi Metanol

 Kimia Dasar I dan 2 untuk Fakultas Pertanian dan MIPA  Teknik Pengendalian Dampak Lingkungan untuk D3 Kimia  Kimia Fisik untuk Fakultas MIPA

 Membaca

 Karya Wisata Ilmiah (BEM FMIPA UNILA, 2006)  Mengoprasikan Komputer

 Safety in Laboratory (Biomassa)

Tgl. UP : 22 Oktober 2009

Tgl. HP : 25 Oktober 2010

(62)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Unit sel Fe3O4 ... 12

2. Pertumbuhan ukuran partikel dalam sintesis sol-gel ... 13

3. Skema spektrofotometer IR ... 18

4. Skema alat XRD ... 19

5. Difraksi sinar-X oleh kristal ... 20

6. Difraktogram nanopartikel Fe3O4 ... 21

7. Skema alat Scanning Electron Microscope ... 22

8. Bagian dasar kromatografi gas ... 24

9. Reaktor katalis ... 31

10. Larutan Fe-nitrat dalam asam nitrat ... 33

11. Gel yang terbentuk ……… 34

12. Katalis Fe2O3 yang telah dikalsinasi kemudian digerus ... 35

13. Katalis hasil reduksi menggunakan laju alir gas H2 sebesar 1,6 L/jam; 1,8 L/jam; dan 2,0 L/jam ... 36

(63)

PCPDF 06-0696 untuk Fe dan PCPDF 19-0629 untuk Fe3O4 ... 39

16. Spektrum IR katalis Fe3O4 setelah uji keasaman ... 42

17. Struktur mikro katalis Fe3O4 dengan perbesaran 1500x dan 2000x ... 44

18. Struktur mikro katalis Fe3O4 dengan perbesaran 20000x ... 45

19. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 hasil reduksi Fe2O3 dengan laju alir gas H2 sebesar 1,8 L/jam ... 46

20. Difraktogram dari katalis setelah uji aktivitas, sebelum uji aktivitas, dan difraktogram stándar untuk Fe2O3, Fe3O4 dan Fe ………. 49

21. Spektrum EDX dan komposisi sampel Fe3O4 setelah uji aktivitas ... 50

Gambar

Gambar 2. Pertumbuhan ukuran partikel dalam sintesis sol gel   (Ismunandar, 2006)
Gambar 3. Skema spektrofotometer IR (Sudjadi, 1983)
Gambar 4.  Skema alat XRD
Gambar 5.  Difraksi sinar-X oleh kristal (West,  1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 385 KUHP yaitu menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband (sekarang Hak Tanggungan) atas tanah yang belum bersertifikat. Bahwa yang

Dari hasil penelitian diperoleh jumlah isolat bakteri endofit pada tanaman teh belum menghasilkan (TBM) sebanyak 13, yaitu isolat pada bagian daun terdapat 5

Tujuan penelitian adalah menentukan dosis terbaik jus pepaya terhadap aktivitas SOD jaringan ginjal dan kadar kreatinin serum tikus wistar yang dipapar Pb asetat..

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan keterampilan menyimak berita pada siswa kelas VIII C setelah

Kahayan Hulu Utara, Perbaikan nama sesuai hasil Rakernis Ditjen Bina Pemdes tentang Klarifikasi Data Nama dan Kodefikasi Desa tgl 1 April 2016..

Komponen Sastera dalam Pendidikan Bahasa Melayu atau Komsas bermaksud mengajarkan unsur ilmu Kesusasteraan Melayu seperti struktur karya, tema, watak, plot, gaya

1) Menilai potensi dan tahap pelaksanaan aktiviti pembuatan semula dalam industri automotif Malaysia. 2) Mengenal pasti faktor-faktor yang diperlukan bagi

Penelitian ini menggunakan model campuran yang terdiri dari 3 komponen sumber aliran ( three end member ) dengan dua perunut konservatif. Ada beberapa asumsi jika