• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum kebiri bagi pelaku pedofilia dalam perspektif hukum Islam dan peluang penerapannya di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum kebiri bagi pelaku pedofilia dalam perspektif hukum Islam dan peluang penerapannya di Indonesia."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum

untuk Memenuhi PersyaratanGelar Sarjana Syariah (S.SV.)

Universltas lslam Negen SYARIF }IIDAYATULI-AH .IAKARTA

Oleh

:

Ahmad Sandi

NIM

: 1110043200038

KONSENTRASI PERBAI\DINGAN

HUKUM

PROGRAM STTIDI PERBAI\DINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS

SYARHH DAI\ HUKUM

T]NWERSITAS

ISLAM

I\IEGERI

SYARMF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

I TI-,

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah d an Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna

Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S. SV)

Oleh

Ahmad Sandi

NIM:

1110043200038

Di

Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing

II

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

I{UKUM

F'AKULTAS SYARIAH

DAN

HUKUM

T]NIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF

HIDAYATULLAH

(3)

II\DONESIA

telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal

22

September

2015. Skripsi

ini

telah

diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh

gelar

Sarjana Syariah (S.Sy.) pada progra studi Perbandingan

Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum.

J akata, 22 Septemb er 2015 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

PANITIA UJIAN MTINAQASAH

1.

Ketua

2.

Sekretaris

3.

Pembimbing

I

4.

Pembimbing

II

5.

Penguji

I

6.

Penguji

II

Fahmi Muhammad Ahmadi. S.Ag..M.Si (

NIP. 1 974 1 2 132003 t21002

Siti Hana" Lc.

MA

NrP. I 97402 1 620080 120 l 3

Fahmi Muhammad Ahmadi. S.Ag..M.Si

NIP. I 974 12 132003t2r002

Afuan Faizin. MA.

NrP. 1 972 1 0262003 r2r00

|

Dr. Ahmad Sudirman Abbas.

MA

NIP. I 969 120 1 I 99903 1003

Dedy Nursy?msi.SH. M.Hum

NIP. I 972 1 0262003 r2r00 t

Dr. AsepSa-diudin

Jahlr.

MA.
(4)

ii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar di Strata Satu (S-1) di

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya sendiri

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 25 juni 2015 8 Ramadhan 1436 H

(5)

iii

anak beberapa waktu lalu atau biasa menyebutnya dengan tindak pedofilia yang dipandang sangat mengkhawatirkan karena dampak yang timbul reaksi negatif bagi korbannya seperti trauma, rasa malu, pandangan penyimpangan mengenai hal yang berkonotasi seksual, terluka atau bahkan penyakit menular akibat penyimpangan seksual tersebut dianggap sangat meresahkan bagi orang tua terutama anak-anak sebagai sasaran. Dampak dari kasus pedofilia sangat besar, dimana korban yang masih anak-anak dan menbutuhkan perlindungan justru mendapatkan perilaku penyimpangan.

Sanki bagi pelaku tindak pidana pedofilia dalam hukum Pidana Indonesia sebagai dasar hukum yang berlaku, yaitu pasal 294 KUHP dan menurut Undanga-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sudah ditetapkan, namun kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak justru semakin meningkat tiap tahunnya. Tindakan tersebut bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dilakukan oleh orang terdekat atau orang asing sekalipun sehingga korbannya tidak hanya satu bahkan bisa mencapai puluhan.

Dalam Hukum Pidana Indonesia memang sudah ditentukan sanksinya. Apabila melihat dari sundut pandang lain, hukuman yang sudah ditetapkan apakah dapat meberikan efek jera dan dipandang setimpal dengan perbuatan si pelaku yang membunuh keceriaan dan psikologi anak-anak. Dari pernyataan tersebut kemudian lahir suatu opini mengenai hukuman pedofilia dengan memberikan sanksi kebiri. Hukuman kebiri sudah di tetapkan beberapa negara Eropa dan sebagian negara Asia sebagai upaya menekan timbulnya korban. Berdasarkan permasalahan diatas, skripsi ini akan membahas tinjauan hukum Islam dan keberlakuan hukuman kebiri di Indonesia.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji atau menganalisis data primer dan sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia, jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research).

Kata kunci : Tindak pidana pedofilia, Hukuman kebiri bedah (surgical castration)

dan kimia (chemical castration).

(6)

iv

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru

sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi

mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi

Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya.

Berkat adanya taufik, hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya

penulis dapat menyelesaikan skripsi degan judul "HUKUM KEBIRI BAGI

PELAKU PEDOFILIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

PELUANG PENERAPANNYA DI INDONESIA." Karya ini tentunya tidak

dapat terselesaikan tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari

teman-teman serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide,

motivasi, masukan serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis

merasa wajib untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,M.Si., selaku Ketua Prodi

Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Pembimbing I serta guru bagi

penulis yang selalu memberi masukan, arahan, bimbingan serta ilmu

(7)

v

4. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

serta Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada

penulis.

5. Ayahanda tercinta Hasanuddin dan Ibunda terkasih Rositi, serta adik-adik

dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. H. Saelan.

6. Teman-teman seperjuangan Ramdhani ‘sambit’, Wiwin ‘jenggot’, Ilyas

‘damva’, Aidz, Bambang, Laka, Teddy, Fanny, Rafika, Winda, Muzi, dan

teman-teman PH 2010 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima

kasih untuk semua semangat.

7. Teman berkeluh kesah adinda Ayu Sari Asih, semoga kesabaran dan

penantianmu dibalas oleh Allah SWT.

Jakarta, 25 Juni 2015

8 Ramadhan 1436 H

(8)

vi

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEDOFILIA A. Penegertian dan Ruang Lingkup Pedofilia ... 14

1. Pengertian Pedofilia ... 14

2. Ruang Lingkup Pedofilia ... 20

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan ... 26

BAB III: SANKSI KEBIRI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA A. Hak dan Kebutuhan Perlindungan Anak menurut UU Perlindungan Anak.. ... 36

1. Hak-hak Anak ... 36

2. Kebutuhan Anak ... 46

B. Pelaksanaan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tidak Pidana Pedofilia ... 48

1. Surgical Castration (Pengebirian Bedah) ... 49

2. Chemical Castration (Pengebirian Kimia) ... 50

(9)

vii

1. Pedofilia Sebagai Perbuatan Jarimah... ... 63 2. Hukuman Zina dalam Pandangan Hukum Islam ... ...69 3. Hukuman Kebiri Kimia menurut padangan hukum islam.... .... ....78 C. Kemungkinan Penerapan Hukum Kebiri Kimia di Indonesia... ... ....85

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan... ... ...95 B. Saran... ... ...96

(10)

1

Pelecehan seksual dan kekerasan seksual merupakan penyimpangan

psikologis dimana hal ini mengarah kepada suatu kegiatan seks yang tidak

seimbang sehingga menimbulkan ancaman terhadap individu tertentu.

Peristiwa pelecehan seksual dan kekerasan seksual dapat digolongkan ke

dalam beberapa tindakan, bahkan mungkin saja pernah dialami oleh beberapa

orang, antara lain adalah lelucon seks, menggoda secara terus-menerus

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seks, baik secara langsung melaluli

ucapan atau dengan surat digital. penyiksaan secara verbal akan hal-hal yang

terkait dengan kegiatan seks.1

Tidakan tersebut biasanya dilakukan secara berulang-ulang oleh pelaku

dengan tujuan melampiaskan kebutuhan biologis yang belum bisa terpenuhi

secara maksimal sehingga mendapat suatu sensasi yang berbeda dari apa yang

ia lakukan sebelumnya. Banyak efek negatif yang timbul akibat

penyimpangan ini, sehingga menjadikannya sebuah hal yang patut dibahas

secara mendalam dan bahkan dunia menyebutnya sebagai "Folk-Devil".

Banyak kasus yang timbul mengenai dua variabel (kekerasan dan

pelecehan seks). Korban yang timbul bukan hanya orang dewasa yang

dianggap memiliki kematangan perilaku dan cara berfikir, bahkan remaja

dibawah umur atau lebih mengarah kepada anak-anak tidak luput menjadi

(11)

sasaran penyimpangan psikologis ini. Seiring berkembangnya zaman dan

dunia teknologi yang sangan pesat, kegiatan tersebut menjadi lebih modern

dan mudah untuk didapat bagi para pelaku. Salah satu bentuknya adalah

Pornografi kepada anak-anak melalui website.

Ribuan gambar mengganggu mengenai anak-anak sebagai salah satu

tindakan penyimpangan lain, sehingga fenomena ini menarik banyak pihak

untuk mulai bergerak dan menelisik kepada hal yang lebih signifikan.2 Upaya

pemberantasan banyak dilakukan di beberapa negara sebagai usaha untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya pornografi kepada anak yang berakibat

kepada kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Kekerasan dan pelecehan

seksual kepada anak juga disebut dengan pedophilia. Istilah pedofilia pertama

kali disebutkan pada abad ke-19 merujuk kepada kondisi psikologis dan

tindakan pemerkosaan yang rentan terhadap anak-anak, pelecehan seksual dan

bentuk-bentuk lain dari eksploitasi anak di bawah umur.

Dalam buku karangan Evy Rachmawati pedofilia digambarkan sebagai

manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang dengan

anak-anak. Kata pedofilia sendiri berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan

philia (cinta)3. Kelainan yang dialami tersebut merupakan suatu dorongan seksual yang intens dan berulang-uang terhadap fantasi anak-anak pra-remaja

sebagai suatu penyimpangan seks dan juga pelanggaran hukum yang sangat

fatal.

2Lowenkron, Laura. Artikel : "All Againts Pedophilia". Ethnograpic notes About a

Contemporary moral crusade.

(12)

Pada dasarnya, pedofilia dikategorikan sebagai perlakuan salah secara

seksual kepada anak (child sexual abuse) yang relatif sulit diketahui karena

dianggap tidak mungkin terjadi. namun demikian, hal ini diperjelas oleh Baker

dan Duncan yang menyatakanbahwa:

Anak diperlakukan salah secara seksual ketika orang lain (dewasa) melibatkan anak. keterlibatan anak tersebut diharapkan dapat menimbulkan getaran seksual oleh orang dewasa (pelaku).4

Peristiwa-peristiwa demikian yang menjadikan anak sebagai korban,

sebagian besar terjadi di lingkungan keluarga (intra familial) namun ada pula

yang terjadi di luar lingkungan keluarga (masyarakat). Seringkali dari

beberapa kasus yang ada sulit diperoleh fakta dominan mengenai hal tersebut.

kecenderungan yang banyak diperoleh dari data pelaku relatif banyak

sekalipun ada unsur-unsur mencolok yang mempengaruhinya.

Dalam Pasal 19 konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa :

Anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, eksploitasi dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua atas orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka.

Perilaku seksual yang lebih terarah pada gagasan kekerasan hanya

berlaku kepada segala bentuk cedera fisik. Namun, menurut Vigarello

pelecehan dan kekerasan seksual pada anak atau pedofilia merupakan :

Governed by Divine Law, the so called crimes of lust, such as sodomy, fornication and adultery, were seen as acts of desecration and contagious degradation that merged criminal and victim in the same indignity (vigarello-1988).

Vigarello menyatakan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terhadap

anak di bawah umur tidak merupakan kategori pidana khusus yang berdiri

(13)

sendiri, melainkan suatu tindakan penyimpangan moral yang sudah ada dan

diatur oleh "divine law".

Undang-Undang Brazil 1890 menyebutkan bahwa

"crimes against the security of the honor and honesty of families and public offense to modesty" - were not defined as acts of violence against the person offended, but as offenses against family honor. The control of women's sexuality and the maintenance of young girls' chastity were understood as a means to safeguard the honor of males (husbands, brothers and fathers).5

Pelanggaran seksual didefinisikan sebagai serangan moral terhadap

nilai-nilai kekeluargaan yang dipahami dengan unit sosial dan moral dasar

masyarakat. Dalam hal ini, filsafat pencerahan abad ke-18 (Vigarello,1998;

Borrillo 2009) mengakui dasar untuk perubahan aksiologi menentukan

munculnya model baru atas regulasi hukum seksual dan untuk partikulasi

konsep "kekerasan sekusal".

Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menetapakan umur pada

pelecehan seksual tersebut, biasanya dibawah umur 15 atau 18 tahun (belum

puber). Beberapa negara bagian lain menyatakan bahwa pelaku harus beberapa

tahun lebih tua (minimal 5 tahun) untuk dipandang sebagai perbuatan

kriminal.6

Cal. Penal Code, Selection 288.5 (1999)

a.) Any person who either tesides in the same home with the mirror child or has recurring acces to the child, who over a period of time, not less than three months in duration, engages in three or more acts of substantial sexual conduct with a child under the age of 14 years at the time of the comission of the offense.. or three or more acts of lewd or lascivious conduct under section

5Williams,Linda. artikel :Police Investigation: Identification of Evidence and Criminals,

Brazilian Child and Adolescent Statute, 1990 (ECA/90).

(14)

288, with a child under the age of 14 years at the time of the commission of the offense is guilty of the offense of continuous sexual abuse of a child.7

Undang-undang negara bagian California menetapkan bahwa tindakan

yang dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan dan terlibat tiga kali kegiatan

seksual pada anak usia 14 tahun atau dibawahnya, dan tindakan cabul pada

anak usia dibawah 14 tahun dianggap bersalah atas tuduhan tindakan

pelecehan seksual pada anak.

Maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa

lemahnya jaminan keamanan. Bahkan orang dewasa yang seharusnya menjadi

pelindung justru menjadi sumber ancaman bagi anak-anak. Hal ini

menggambarkan bahwa keluarga dan lingkungan sekitar tidak dapat

menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman. Sebagai usaha untuk

melindungi hak-hak anak atas kejahatan seksual, dibeberapa negara Eropa dan

Amerika menerapkan sanksi kebiri sebagai hukuman yang setimpal bagi

kejahatan psikologi semacam ini.8

Berbagai macam hukuman tengah menjadi perbincangan dalam kasus

pelecehan seksual, terutama terhadap anak-anak. Menimbulakan efek jera

dirasa kurang mampu memberikan dampak yang begitu signifikan karena

pelaku penyimpakan psikologi tersebut melakukannya bukan hanya pada satu

anak. Keinginan untuk melakukan atau melampiaskan kebutuhan biologisnya

hanya pada anak walaupun hukuman yang diberikan cukup berat, apabila

hasrat itu kembali muncul akan ada kemungkinan timbul korban lain.

7 Titus Reid,Sue.Criminal Law Fifth Edition,(United State:R.R. Donnelly & Sons Company. 2000). hlm, 208.

(15)

Merujuk pada kasus yang terjadi di Sukabumi, Andri Sobari alias Emon

telah ditetapkan sebagai tersangka kasus sodomi atau kejahatan seksual pada

anak. Kasus lain yang terjadi di sekolah bertaraf Internasional. Samai, pelaku

sodomi pada ratusan anak-anak di Tegal. Beberapa kasus tersebut bisa kita

ketahui bahwa korban bukan hanya satu orang, melainkan puluhan bahkan

ratusan.

Data kekerasan seksual pada anak beberapa tahun terakhir menunjukan

intensitas yang terus meningkat. Diperkirakan, setiap satu hingga dua menit

terjadi kekerasan dan pelecehan seksual pada anak sehingga setiap tahunnya

tercatat sekitar 788.000 kasus. Catatan Komnas anak pada tahun 2013

mencapai 736 kasus, meliputi 44,43% kekerasan seksual, 31,66% kekerasa

fisik, dan 23,91% kekerasan psikis dan penelantaran. Sedangkan tahun 2014

sampai dengan pertengahan tahun 2014 sudah teracatat 426 kasus, meliputi

52% kekerasan seksual 28,5% kekerasan fisik , kemudian sisanya adalah

kekerasan psikis dan penelantaran.9 Berdasarkan kutipan dari press release

SoB, Inc (Striving on Branding), data Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI) hingga April 2015 menunjukkan bahwa masalah terkait anak

berturut-turut meliputi kasus anak berhadapan dengan hukum mencapai 6.006 kasus,

kasus pengasuhan (3.160 kasus), kasus pendidikan (1.764 kasus), kesehatan

dan napza (1.366 kasus), dan cybercrime-pornografi (1.032 kasus).10 Terlihat

(16)

dari data tersebut bahwa kasus kekerasan seksual pada anak sudah

menunjukan pada angka yang sangat tinggi sehingga harus ada suatu regulasi

hukum yang dapat memberikan dampak pada pelaku kejahan seksual tersebut.

Salah satu opsi yang muncul ialah hukuman kebiri kepada pelaku

kejahan seksual sebagai upaya untuk mengurangi hasrat yang dianggap telah

keluar kendali. Opsi hukuman kebiri di Indonesia bagi pelaku kejahatan

seksual memang masih menjadi wacana, namun dibeberapa negara Eropa dan

Amerika sudah diberlakukan untuk menanggulangi masalah ini, diantaranya

adalah :

1. Amerika merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukum kebiri

di beberapa negara bagian seperti California sejak tahun 1996. Sedangkan

Florida hukuman tersebut diberlakukan sejak tahun 1997.

2. Hukum kebiri di Argentina baru diberlakukan di Provinsi Mendoza sejak

tahun 2010. Dengan adanya aturan yang disahkan melalui dekri oleh

Pemerintah Provinsi, setiap pelaku kejahatan seksual atau pemerkosaan di

Mendoza terancam hukuman kebiri. Selain itu, dengan menjalani hukuman

kebiri, pelaku kejahan seksual juga mendapatkan imbalan peringanan

hukuman penjara yang harus mereka jalani.

3. Parlemen Rusia meloloskan aturan hukum yang mengizinkan Pengadilan

untuk menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Hukum

tersebut mengancam pelaku kejahatan seksual yang menyerang anak-anak

di bawah usia 14 tahun. Berdasar aturan yang berlaku, perintah hukum

(17)

oleh pengadilan yang menangani kasus kejahatan seksual tersebut.11

Masih banyak lagi negara-negara yang memberlakukan hukum

kebiripada pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak dan pemerkosaan

sebagai salah satu upaya memberikan efek jera serta usaha menekan

banyaknya kasus yang kapan saja bisa terjadi. Namun, dari keefektifan

hukaman kebiri bagaimanakah Islam memandang hal ini?

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang

permasalahan yang menarik, Penulis tertarik untuk meneliti masalah yang

timbul antara memberikan perlindungan kepada anak-anak sebagai objek

pelecehan seksual dengan memberikan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia

serta pandangan Islam mengenai hukuman tersebut dan mengangkat

permasalahan ini dalam skripsi dengan judul : "Hukum Kebiri Bagi Pelaku

Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peluang Penerapannya di

Indonesia"

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan yang

akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap hukuman

kebiri bagi pelaku tindak pidana pedofilia?

2. Bagaimana kemungkinan penerapannya di Indonesia?

11 Osterweil, Ara. Artikel :"Reconstructing Shirley: Pedophilia and Interracial Romance

(18)

C. Tujuan Penelitian

Skripsi ini bertujuan untuk :

1. Meneliti hukum mengenai pedofilia yang berluka di Negara- negara Eropa

bisa diterapkan di Indonesia.

2. Bagaimana islam memandang antara pedofilia dan hukuman kebiri bagi

tindak kejahatan psikologi tersebut.

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para

mahasiswa/mahasiswi yang berminat dalam permasalahn pedofilia.

2. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas

permasalahan kekerasan seksual atau pedofilia.

3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana-1 pada Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari

berbagai cara dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan

data-data dan bahan-bahan yang diperlukan untuk melengkapi penyusunan skrips.

penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan

penelusuran literatur hukum serta menganalisa data sekunder untuk

memperoleh data-data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan

yang berlaku guna mendapatkan kepastian hukum tetap. selain Library

(19)

1. Metode Penelitian Hukum Normatif, pada penelitian ini hukum

dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundangan-undangan atau yang ditetapkan sebagai kaidah dijadikan sebuah patokan

untuk mendapatkan hukum obyektif dalam suatu pembahasan.

2. Sumber Data.

Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan teknik Studi

Pustaka sebagai salah satu upaya untuk memperoleh dokumen-dokumen

tertulis yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum yangmengikat terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP), Penal Code, Al-Quran, Hadist, Kitab Fiqh dan peraturan

lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang berupa

tulisan-tulisan ilmiah di bidang hukumnya dapat memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku mengenai

perlindungan hak-hak anak serta buku-buku hukum mengenai

kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur di Indonesia.

c. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan-bahan atau tulisan-tulisan yang

dapat menambah penjelasan terhadap bahan hukum primer dan tersier,

terdiri dari artikel, kliping, seminar, internet, kamus hukum dan

lainnya.

3. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis pembahasan yang telah dihimpun, penulis

(20)

a. Metode Normatif, Komparatif adalah penelitian yang dilakukan

dengan meneliti bahan pustaka atau data-data sekunder dilakuakn

untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum tertentu dan

kemudian secara tetap membandingankan satu datum dengan datum

yang lain serta secara tetap membandingkan kategori dengan kategori

lain.12

b. Metode deduktif, menarik fakta yang bersifat umum untuk menjadikan

fakta atau kesimpulan yang didapat sebelumnya menjadi sesuatu yang

bersifat khusus.

c. Langkah-langkah analisis data:

1) Mencatat yang mengahasilkan data, dengan hal ini diberikan kode

agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,

2) Mengumpulkan, memilah - memilih, mengklasifikasikan, membuat

ikhtisar, dan membuat indeksnya,

3) Berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai

makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan,

dan membuat temuan-temuan umum.13

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada

masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah

12 Moleong. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitati. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal 288

(21)

pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang

dikemukakan dalam tiap bab.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta

sistematika penulisan. isi penelitian akan dibahas pada bab II,III,IV

serta seluruh hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya

terangkum pada bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANAPEDOFILIA

Membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak

pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian pedofilia, ciri-ciri dan

faktor-faktor penyebab terjadi di Indonesia.

BAB III: SANKSI KEBIRI PELAKU TINDAK PIDANAPEDOFILIA

Membahas tentang pengertian anak, hak-hak anak menurut UU

No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pelaksanaan

sanksi kebiri bagi pelaku tindak pidana phedofilia menurut "Penal

Code" yang berlaku di Eropa, serta pandangan ahli hukum

mengenai hukuman kebiri.

BAB IV : PEDOFILIA DAN HUKUM KEBIRI DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

(22)

yang berlaku di beberapa negara Eropa serta kemungkinan

penerapannya di Indonesia.

BAB V : KESIMPULAN

Merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi

(23)

14

1. Pengertian Pedofilia

Pedofilia adalah salah satu kelainan seksual yang termasuk dalam kategori

parafilia. Istilah parafilia pertama kali disebutkan oleh seorang psikoterapis

bernama Wilhelm Stekel dalam bukunya yang berjudul Sexual Aberation tahun

1925. Parafilia mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan

seksual terhadap obyek yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa

(Davidson dan Neale dalam Fausiah, 2003).14 Paraphilia adalah perasaan seksual

atau perilaku yang dapat melibatkan mitra seksual yang tidak manusia, tanpa izin,

atau yang melibatkan penderitaan atau siksaan oleh satu atau kedua pasangan.

Beberapa jenis penyimpangan seksual yang termasuk dalam kategori parafilia

adalah sebagai berikut:15

a. Eksibisionisme adalah kelainan seks yang suka memperlihatkan organ

kelamin kepada orang lain yang tidak ingin melihatnya. Dalam beberapa

kasus, orang dengan eksibisionisme juga suka melakukan autoeroticism

(praktek seksual merangsang diri sendiri atau masturbasi) sambil

memperlihatkannya kepada orang lain.

14 Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual . (Bandung:: Mandar Maju.

2009)). hal 12

15Davison, Gerald C. Neale, dkk. Psikologi Abnormal, Edisi ke-9.(Jakarta:Rajawali

(24)

b. Fethisisme adalah orang dengan gangguan ini mencapai kepuasan seksual dengan menggunakan obyek bukan manusia, paling sering pakaian dalam perempuan, sepatu, stocking, atau item pakaian lainnya.

c. Froteurisme adalah kepuasan seksual yang diperoleh oleh seorang pria dengan menyentuh, meraba ataupun meremas bagian tubuh atau alat kelamin wanita tanpa persetujuan dari wanita.

d. Pedofilia adalah gangguan yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak kecil, umumnya di bawah usia 13. Beberapa pendapat mendeskripsikan kriteria orang dengan pedofilia berusia diatas 16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari si anak yang dijadikan obyek seksualnya.

e. Masokisme adalah istilah yang digunakan untuk kelainan seksual tertentu, namun yang juga memiliki penggunaan yang lebih luas. Gangguan seksual ini melibatkan kesenangan dan kegembiraan yang diperoleh dari rasa sakit pada diri sendiri, baik yang berasal dari orang lain atau dengan diri sendiri.

f. Sadisme seksual adalah seorang individu sadisme mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti orang lain.

g. Voyeurisme adalah paraphilia di mana seseorang menemukan kenikmatan seksual dengan menyaksikan atau mengintip orang yang telanjang, membuka baju, atau melakukan seks.

h. Fethisisme transvestik adalah gangguan ini dicirikan dengan laki-laki heteroseksual yang mengenakan pakaian perempuan untuk mencapai respons seksual.

(25)

j. Incest adalah hubungan seks dengan sesame anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-laki.

k. Necrophilia/Necrofil adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat atau orang mati.

l. Zoophilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan.

m. Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesame jenis (homo) maupun dengan perempuan.

n. Gerontopilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakek-kakek).

Menurut kategori penyimpangan seksual diatas, pedofilia adalah salah satu

penyimpangan atau parafilia yang dalam arti bahasa adalah cinta pada anak-anak.

Akan tetapi, pada kenyataannya penyimpangan seksual yang menjadikan

anak-anak sebagai objek kekerasan dan pelecehan seksual tidak hanya disebut pedofilia.

Terdapat beberapa jenis kategori yang digolongkan dalam kelompok parapilia dan

salah satu yang paling umum dikenal adalah pedofilia. Memang hampir terdapat

persamaan dalam beberapa pengertian mengenai penyimpangan seksual lainnya,

Marshall (1989) berpendapat bahwa :

(26)

molesters and hebephiles by distinguishing characteristics.16

Beberapa kriteria yang termasuk pada pedofilia adalah :

a. Minimal 6 bulan secara berulang, intens terhadap fantasi sensual,

dorongan seksual atau perilaku yang melibatkan aktifitas seksual

terhadap anak pra-remaja atau anak-anak (umumnya usia 13 atau lebih

muda).

b. Seseorang yang menuruti dorongan seksual dikarenakan faktor atau

usaha untuk menghilangkan stress dan kesulitan pribadi pada dirinya.

c. Orang tersebut setidaknya 16 tahun atau bahkan 5 tahun lebih tua dari

anak pra-remaja atau anak-anak dalam tindakannya.17

Secara umum pedofilia digunakan sebagai istilah untuk menerangkan

salah satu kelainan perkembangan psikoseksual terhadap individu yang

memiliki hasrat erotis abnormal terhadap anak-anak.18 Keintiman seksual

dicapai melalui manipulasi alat genital anak-anak atau melakukan

penetrasi penis sebagian atau kesuluruhan terhadap alat genital anak.

Sering juga anak-anak dipaksakan melakukan relasi oral genital atau anal

genital. Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan

memuaskan hasrat diri sendiri maupun komersil, dapat memberikan

pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tersebut

16John F. Stinneford, Incapacitation through Maiming: Chemical Castration, the Eighth

Amendment, and the Denial of Human Dignity, University of St. Thomas Law Journal (2006),Volume 3 | Issue 3

17. Hickey Eric W,Sex Crime and Paraphilia, Pearson Education, New Jersey, 2006, hlm 309-310

(27)

memiliki pandangan yang menyimpang mengenai hal yang berhubungan

dengan seks dikarenakan pengalaman yang dilaminya. Kejadian-kejadian

demikian dapat pula terjadi di lingkungan keluarga, berpedoman pada

penelitian yang dilakukan di Amerika Serikta oleh Donleary dan Goodwin

(1989) yang menyebutkan bahwa tindakan tersebut terbanyak dilakukan

oleh ayah (31%), selebihnya oleh laki-laki lain (19%), kakak (10%), baby

sitter (7%), Paman (5%), teman laki-laki ibu (5%), sepupu (4,5%), kakek

(4%), Anak lain (3,5%) dan lain-lain (2%).19

Diantara kasus yang ada, pelaku pedofil banyak yang sudah

memiliki keluarga sebagai salah satu bentuk kamuflase yang dilakukan

untuk menutupi kelainan psikoseksualnya. Dengan memanfaatkan

kepolosan anak-anak, Para pelaku tindak pidana pedofilia mendekati

korbannya dengan menjadi teman atau pendamping yang baik bagi anak

dan bahkan kebanyakan pedofil bekerja di sebuah sekolah atau daerah lain

yang melibatkan anak-anak sebagai upaya untuk lebih dekat dengan calon

korban. Selain itu upaya lain untuk memuaskan gairah seksualnya adalah

dengan membujuk anak-anak atau korban dengan hal yang bisa menarik

perhatian sehinga ia mau menuruti apa yang diinginkan oleh pelaku bahkan tidak jarang penderita pedofilia memaksa dengan ancaman

terhadap anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan kesenangan

seksual.20

19 Mardjono Reksodiputro, Arti dan Linglup Masalah PERLINDUNGAN ANAK, Jurusan Kriminologi FISIP-UI, Jakarta : 1999, hlm 95

(28)

Kekerasan seksual ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang

melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan serta patut dikatagorikan

sebagi jenis kejahatan melawan manusia (crime against humanity). Perlu

diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa

kejahatan seksual (sexual crime) itu bermacam-macam seperti: perzinahan,

homo seksual, kumpul kebo (samen leven), lesbian, prostitusi (pelacuran),

pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di

luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Namun

demikian, perkembangan hak asasi manusia lebih menitik beratkan pada

menikmati seks merupakan hak (right) orang dewasa sehingga hubungan

seks yang dilakukan tanpa ada paksaan di sebagian negara merupakan hal

yang dianggap wajar.21 Perkembangan-perkembangan dalam aspek lain

pun akan berubah seiring adanya pergeseran pada pemikiran masyarakat

mengenai kesusilaan. Anggapan yang menyebutkan bahwa hubungan seks

adalah suatu hak dapat menimbulkan masalah lain seperti penyakit yang

berhubungan dengan seks, dengan ini pemerintah akan akan melakukan

pencegahan namun bukan pada penyebab sebelumnya.

Beberapa waktu lalu pada peringatan hari HIV AIDS sedunia di

beberapa daerah di Indonesia membagikan alat kontrasepsi secara

cuma-cuma pada masyarakat sekitar dan tidak memandang apakah orang itu

sudah menikah atau belum, ini membuktikan bahwa secara tidak langsung

daerah tersebut memberikan dukungan untuk melakukan hubungan seks

bebas pada masyarakatnya. Perkembanga pada aspek kehidupan/

(29)

masyarakat ini akan berdampak pada nilai kesusilaan, hal tersebut juga

menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah untuk menata kembali kebiasaan

dan paradigma yang menyimpang.

2. Ruang Lingkup Pedofilia

a. Macam-Macam Perilaku Penyimpangan Seksual Terhadap Anak

Perbuatan perlakuan salah secara sekual pada anak (child seksual

abuse) merupakan salah satu masalah dalam ruang lingkup

penelantaraan anak (child abuse) yang dianggap sebagai suatu

kejahatan dikaranakan terdapat pelanggaran hukum didalamnya.

menyadari tingkat keseriusan kejahatan tersebut sebagai salah satu

masalah sosial, usaha formal yaitu dengan mengajukan ke sistem

Peradilan Pidana, maupun reaksi masyarakat yang informal sebagai

upaya untuk memberikan rasa aman serta melindungi hak-hak anak

bebas dari tindak kekerasan seksual yang mengintai.

Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan

objek seksual maupun untuk komersial, memberikan pengaruh negatif

bagi perkembangan jiwa anak. Perilaku seksual yang menyimpang

dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori penyimpangan sebagai

berikut:22

1) Untuk tujuan objek seksual:

a) Pedofilia, terdiri dari pedofilia homoseksual dan pedofilia

heteroseksual.

b) Incest

(30)

c) Hiperseksualitas.

d) Keterbatasan kesempatan (isolated geografis) dan keterbatasan

kemampuan sosial ekonomis.

2) Untuk tujuan sebagai pencari nafkah keluarga:

a) Orang tua yang dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai

tenaga pencari uang dengan memaksa anak menjual diri,

melakukan kegiatan prostitusi. Keadaan ini sering terjadi pada

lingkungan keluarga yang taraf sosial ekonominya sangat

rendah dan norma (standar) moralnya-pun rendah.

b) Germo (pengelola praktek prostitusi), yang akan terus berusaha

mencari gadis muda untuk melayani para pelanggannya.

Biasanya, mereka akan mencari gadis yang masih polos dan

lugu.

3) Untuk tujuan avonturir seksual

Disamping kategori tersebut diatas ada pula sementara anak

perempuan dan laki-laki yang mencari kehangatan emosional diluar

rumah melalui perilaku seksual eksesif dan bersifat avonturir, baik

dengan rekan sebaya maupun pasangan dewasa. Biasanya, mereka ini

berasal dari keluarga yang tidak memberikan kasih sayang, kehangatan

emosional dan perhatian yang cukup. Bahkan, sering menolak

kehadiran mereka (rejected).

Anak-anak tersebut merasa kurang aman dan biasanya standar

moral keluarganya pun sangat rendah. Kelompok anak perempuan

(31)

istilah “gongli” (singkatan dari istilah bagong lieur). Sedangkan untuk

anak laki-laki lebih sering disebut dengan istilah kelompok “gerepe”.

Mereka sama sekali tidak memikirkan akan akibat fatal dari perbuatan

mereka tersebut. Bagi anak perempuan akibatnya jauh lebih parah,

karena apabila keterlibatan perilaku seksualnya sudah eksesif, secara

tidak sadar ia justru dimanfaatkan oleh orang dewasa dan bahkan

sering dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi yang profesional.

Kepribadian anak perempuan semacam ini cenderung berkembang

ke arah keperibadian neurotic dengan gejala hysteric. Perlu dicatat

bahwa pada kategori ini, aktivitas semula berasal dari pihak anak-anak

yang didasari oleh usaha mencari kehangatan emosional melalui

kontak fisik dengan lawan jenis.

b. Macam-macam Pedofil

Objek seksual pada pedofilia adalah anak-anak dibawah umur.

Pedopilia terdiri dari dua jenis, yaitu:

1) Pedofilia homoseksual, yaitu objek seksualnya adalah anak

laki-laki dibawah umur;

2) Pedofilia heteroseksual, yaitu objek seksualnya adalah anak

perempuan dibawah umur.

Secara lebih singkat, Robert G Meyer dan Paul Salmon

membedakan beberapa tipe pedophilia. Tipe pertama adalah

mereka yang memiliki perasaan tidak mampu secara seksual,

khususnya bila berhadapan dengan wanita dewasa. Tipe kedua

(32)

vitalnya.23 Penyebab Pedofilia antara lain sebagai berikut:

a) Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan

ketidak mampuan penderita menjalin relasi heterososial dan

homososial yang wajar;

b) Kecenderungan keperibadian antisosial yang ditandai dengan

hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai

oleh hambatan perkembangan moral;

c) Terdapat kombinasi regresi, ketakutan impotent, serta

rendahnya tatanan etika dan moral.

3) Dampak – Dampak Kekerasaan Seksual Terhadap Anak

Ciri-ciri Umum Anak yang Mengalami kekerasan seksual atau

Sexual abuse:24

a) Tanda-Tanda Perilaku

(1) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari

bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke

isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia;

(2) Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih

agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku

dia sebelumnya;

(3) Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau

terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk;

(4) Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal

perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap

23 Muhammad Asmawi, Lika-liku Seks Meyimpang, Nuansa Cendikia. hlm. 95

(33)

jempol, dan sebagainya;

(5) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu

anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak;

(6) Perilaku menghindar: takut akan atau menghindar dari

orang tertentu (orang tua, kakak, saudara lain,

tetangga/pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos

sekolah;

(7) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan,

berbahasa atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku

seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar

porno;

(8) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang

khususnya pada anak remaja;

(9) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (

self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan,

berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi,

percobaan atau melakukan bunuh diri.

b) Tanda-Tanda Kognisi

(1) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan

mengkhayal, fokus perhatian singkat / terpecah;

(2) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap

pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya;

(3) Respons reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan

(34)

c) Tanda-Tanda Sosial-Emosional

(1) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga;

(2) Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam

khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak

berhubungan;

(3) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan

ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin

bunuh diri;

(4) Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan

terhadap orang lain;

(5) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang

seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman

sebayanya.

d) Tanda-Tanda Fisik

(1) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit

perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat

badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara

memadai, muntah-muntah;

(2) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit

kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan

pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat

kelamin.

(35)

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan.

Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi

oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh

norma-norma pergaulan yaitu norma kesopanan. Norma kesopanan berpijak

pada pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi

setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.25 Patokan patut

atau tidak patut yang dianggap menimpang terhadap kesopanan itu tidak

hanya sekedar pada kepentingan individu, melainkan lebih kepada sifat yang

secara umum dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak baik walaupun

mengenai beberapa hal lebih terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu.

Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi dalam suatu masyarat tercermin

dalam undang-undang atau norma-norma hukum mengenai tindak pidanan

kesopanan, terutama dalam bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan

terhadap kesopanan dan Bab VI buku III KUHP mengenai pelanggaran

terhadap kesopanan.

Berdasarkan pertimbangan pembentukan undang-undang mengenai objek

rasa kesopanan masyarakat, dapat dipilih terhadap rasa kesopanan yang

bercorak kejahatan dimana sifat penyerangan pada kepentingan hukum

mengenai rasa kesopanan yang lebih berat dari pada penyerangan terhadap

rasa kesopanan yang bercorak pelanggaran maka undang-undang membagi

tidak pidana kesopanan ini, menjadi kejahatan kesopanan dimuat dalam Bab

XIV (Misrijven tegen de zeden) : Pasal 281-300 bis dan pelanggaran

(36)

kesopanan Bab VI (Overtredingen betreffende de zeden) : pasal 532-547,

untuk kata zeden dalam kalimat Mesdrijven tegen de zeded dapat diartikan

sebagai kesusilaan dan kata zeden pada kalimat Overtredingen betreffende de

zeden diartikan dengan kesopanan. Apabila melihat kembali beberapa

pendapat mengenai kata zeden umumnya ahli hukum menyatakan bahwa

kesusilaan adalah suatu pengertian adat istiadat mengenai tingkah laku dalam

pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah

seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa

"…..kesusilaan juga mengenai adat kebiasaan yang baik, tetapi secara khusus

lebih banyak mengenai kelamin (sex) manusia".26

Jika diamati lebih lanjut mengenai kitab undang-undang Hukum Pidana

(KUHP), mengemis, penyiksaan binatang, minuman keras dan perjudian

termasuk dalam Bab XIV tentang kejahatan kesusilaan. Terhadap delik ini,

Mr. J.M. van Bemmelen mengutaran pendapatnya yang sama: tentang delik

terhadap kesusilaan tidak hanya memuat berbagai kejahatan seksual, akan

tetapi juga beberapa delik yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan

seksualitas, memberi minuman yang memabukkan kepada orang atau anak di

bawah enam belas tahun, menyerahkan atau membiarkan anak yang ada di

bawah kekuasaannya kepada orang lain, padahal mengetahui bahwa anak itu

akan dipakai untuk atau pada waktu mengemis, penganiayaan

binatang.27Kejahatan terhadap kesusilaan diartikan lebih sempit yaitu

26Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Eresco: 1986,hlm 111

(37)

pelangaran/kejahatan terhadap nilai susila masyarakat (adat istiadat yang baik,

sopan santun, kesopanan, keadaban) dalam bidang seksual, sehingga cakupan

kejahatan kesusilaan sebenarnya meliputi kejahatan terhadap kesusilaan.28

Kata "kesusilaan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "perihal

susila" atau "yang berkaitan dengan sopan santun". Kata "susila" sendiri

berarti :29

1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan;

2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban,kesusilaan

Kata "susila" dalam Bahasa Inggris adalah "moral", "ethics", "decent" yang

biasa diterjemahkan berbeda-beda. Kata "moral" diterjemahkan dengan

"moril" atau "kesopanan". Sedangkan "ethic" diterjemahkan "kesusilaan" dan

"decent" diterjemahkan dengan "kepatutan".30 Ketiganya pada hakikatnya

merupakan persepsi nilai dari masyarakat. "Moral" merupakan pertimbangan

atas dasar baik/tidak baik, sedangkan etika merupakan ketentuan atau norma

perilaku (code of conduct).

Dengan demikian makna dari "kesusilaan" adalah berkenaan dengan

moral, etika, yang telah diatur didalam perundang-undangan.31 Sementara jika

diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti

kesusilaan lebih condong kepada perilaku yang benar atau salah, khususnya

28 Mudzakir.Suparman, Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual dalam Perspektif

Politik Kriminal, Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, hlm 146

29Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm 1110

30 Wojowasito.S dan Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia

Inggris,Bandung: Hasta:, 1980, hal 268

(38)

dalam hubungan seksual (behaviour as to right or wrong, especially in

relation to sexual matter). Beberapa pernyataan lain menyebutkan tentang pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan

dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam

penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam pergaulan

masyarakat.

Bukan hal yang mudah untuk menentukan batas dan ruang lingkup tindak

pidana kesusilaan, terlebih dengan begitu beragamnya nilai-nilai yang

berkembang dalam masyarakat yang disebabkan karena begitu banyaknya

tradisi dan budaya bangsa Indonesia sesuai dengan komunitasnya. Batas dan

ruang lingkup tindak pidana kesusilaan yang ada dalam masyarakat tertentu

akan berbeda dengan masyarakat yang lainnya.

Sebagai perbandingan, dalam berbagai KUHP Asing, pengelompokan

delik kesusilaan juga berbeda-beda dan tampaknya tergantung pada

kesepakatan dan kebijakan pembuat undang-undang.32 Dalam KUHP Jepang

tindak pidana kesusilaan diatur dalam Bab XXII Buku II di bawah judul

Crimes of Indecency, Rape And Bigamy. Sementara dalam KUHP Korea

diatur dalam Bab XXII dengan judul Crimes Against Morals, sedangkan

dalam KUHP Malaysia yang hampir sama dengan KUHP Singapura diatur

dalam Bab XIV di bawah judul Offences Affecting The Public Health,

Safety,Convenience, Decency And Morals. Dalam KUHP Polandia diatur

dalam Bab XXIII dengan judul Offences Agains Decency dan dalam KUHP

Thailand tidak ada bab yang secara eksplisit berjudul "Tindak Pidana

(39)

Terhadap Kesusilaan", yang ada ialah bab mengenai "Tindak Pidana Yang

Berhubungan Dengan Seksualitas" (Offences Relating to Sexuality) dalam Bab

IX. Yugoslavia, Norwegia, Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa

pengelompokan dan ruang lingkup delik kesusilaan di berbagai negara juga

sangat bervariasi tergantung pada kebijakan teknik perundang-undangan yang

diambil, juga disebabkan perbedaan landasan idiil filosofi dan konsep moral

yang melatar belakangi politik hukum dari masing-masing negara.

Dengan adanya beberapa pendapat yang menyatakan bahwa walaupun

pengelompokan atau ruang lingkup delik kesusilaan berbeda-beda, namun

patut dicatat bahwa dalam menentukan isi (materi/substansi)-nya harus

bersumber dan mendapat sandaran kuat dari moral agama. Selain itu,

penentuan delik kesusilaan juga harus berorientasi pada "nilai-nilai kesusilaan

nasional" (NKN) yang telah disepakati bersama dan juga memperhatikan

nilai-nilai kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat.

Nilai kesusilaan nasional ini dapat digali antara lain dari produk Legislatif

Nasional (berbentuk Undang-Undang Dasar atau

Undang-undang).33Kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan/moral yang ada di

masyarakat sebenarnya mencakup hal yang sangat luas. Nilai-nilai kesusilaan

tidak hanya terdapat dalam bidang seksual (yang lebih bersifat pribadi), tetapi

juga dalam hubungan pergaulan rumah tangga, dalam pergaulan dengan orang

lain di masyarakat dan bahkan dalam semua segi kehidupan bermasyarakat

atau bernegara. Wajar bila dalam setiap tatanan kehidupan bermasyarakat

terdapat nilai-nilai kesusilaan/moral, karena setiap masyarakat atau negara

(40)

dibangun diatas landasan nilai-nilai filsafati, ideologi dan moralitas tertentu.

Seiring dengan batasan dan ruang lingkup tindak pidana kesusilaan

sebagaimana terurai di atas, kejahatan seks serta kejahatan yang menyangkut

seks (sex relatedcrimes) yang dirumuskan dalam hukum pidana sebagai delik

susila senantiasa harus dipahami secara kontekstual dalam hubungannya

dengan perkembangan budaya dan perubahan-perubahan struktur sosial yang

ada dimasyarakat.34 KUHP mengatur berbagai kejahatan atau delik, termasuk

diantaranya adalah delik kesusilaan, namun hukum pidana Indonesia (KUHP)

tidak mengatur secara eksplisit tentang kejahatan kesusilaan, tetapi hanya

mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Secara juridis, delik

kesusilaan menurut KUHP yang berlaku saat ini terdiri dari 2 (dua) kelompok

tindak pidana, yaitu "kejahatan kesopanan" meliputi bidang kesusilaan dan

yang diluar dalam bidang sekusal (diatur dalam Bab XIV Buku II misdrijven

tegen de zeden Pasal281-303) dan "pelanggaran kesopanan" dalam bidang seksual dan hal-hal yang diluar bidang seksual (diatur dalam Bab VI Buku

IIIovertredugen betreffende de zeden Pasal532-547). Kelompok kejahatan

kesopanan (Pasal 281-303KUHP) meliputi perbuatan-perbuatan :

1. kejahatan kesopanan dibidang kesusilaan.

a. Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (281);

b. Kejahatan pornagrafi (282);

c. Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (283);

d. Kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (283 bis);

e. Kejahatan perzinaan (284);

34 Kusuma Mulyana W, Perumusan Tindak Pidana Kesusilaan (Perzinaan Dan

(41)

f. Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (285);

g. Kejahatan bersetubuh diluar kawin kepada perempuan dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya (286)

h. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya

belum 15 tahun (287);

i. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang

belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka (288);

j. Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau peruatan yang menyerang

kehormatan kesusilaan (289);

k. Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang

umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk kawin (290), dan

keadaan yang memberatkan apabila menimbulkan luka-luka berat bagi

korban (291 ayat 1), dan perbuatan cabul pada orang yang dalam

keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun dalam keadaan yang

memberatkan yakni apabila menimbulkan akibat kematian korban (291

ayat1);

l. Kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang yang

belum dewasa (293);

m. Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah

pengawasannya dan lain-lain yang belum dewasa (294);

n. Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan

laon-lain yang belum dewasa (295);

o. Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau

(42)

p. Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum

dewasa (297);

q. Kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa

hamilnya dapat digugurkan (299).

2. Kejahatan kesopanan diluar hal-hal yang berhubungan dengan masalah

seksual:

a. Kejahatan berupa : memberikan minuman keras pada orang yang telah

mabuk, membuat mabuk seorang anak yang belum berumur enam

belas tahun, dan memaksa orang untuk meminum minuman yang

memabukkan (300);

b. Kejahatan menyerahkan anak yang umurnya belum dua belas tahun

pada orang lain untuk dipakai melakukan kegiatan mengemis (301);

c. Kejahatan penganiayaan dan penganiayaan ringan terhadap binatang

atau hewan (302);

d. Pelanggaran mengenai perjudian (303 dan 303 bis).

Pelanggaran kesopanan yang diatur dalam Bab VI Buku III Pasal 532-547

meliputi sebagai berikut :

a. Pelanggaran kesopanan dibidang seksual

1) Pelanggaran dengan menyanyikan lagu-lagu atau pidato di muka

umum yang melanggar kesusilaan atau di muka umum

mengandung tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan (532);

2) Pelanggaran pornografi (533);

3) Pelanggaran dengan mempertunjukkan dan lain sebagainya sarana

(43)

4) Pelanggaran dengan mempertunjukkan dan lain sebagianya sarana

untuk menggugurkan kandungan (535).

b. Pelanggaran kesusialaan diluar bidang seksual 1) Pelanggaran dengan mabuk d jalan umum (536);

2) Pelanggaran menjual atau memberikan minuman keras kepada anggota TNI (537);

3) Pelanggaran berupa menjual minuman keras kepada anak yang belum berumur enam belas tahun (538);

4) Pelanggaran berupa menyediakan cuma-cuma atau menkanjikan sebagai hadiah minuman keras pada pesta keramaian umum (539); 5) Pelanggaran mengenai menggunaan binatang dalam pekerjaan

yang melebihi kekuatannya atau dengan cara yang menyakitkan

dan lain sebagainya (540);

6) Pelanggaran mengenai penggunaan kuda yang belum dewasa

(541);

7) Pelanggaran dengan mengadakan adu ayam atau jangkrik di

pinggir jalan atau di jalan umum (544);

8) Pelanggaran dengan melakukan peramalan sebagai mata

pencaharian (545);

9) Pelanggaran dalam hal menjual, menawarkan, menyerahkan dan

lain sebagainya jimat dan benda-benda lain yang dikatakannya

mempunyai kekuatan gaib (546);

10)Pelanggaran berupa memakai jimat atau benda-benda sakti pada

saan memberikan keterangan di bawah sumpah di muka sidang

(44)

Dari beberapa jenis delik kesusilaan yang tercakup dalam tindak pidana

kesopanan diatur dalam KUHP sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa

pengertian kesusilaan tidak hanya sebatas di bidang seksual saja melainkan

juga meliputi perbuatan yang dianggap tidak sesuai dalam pandangan

masyarakat karena memiliki kemungkinan besar merugikan orang lain.

Sementara dalam Konsep KUHP yang saat ini tengah dirumuskan juga

meliputi pengertian kesusilaan tidak hanya dibidang seksual saja seperti

halnya KUHP yang sekarang berlaku.

Dengan telah terjadinya perkembangan kejahatan seksual, mengakibatkan

perubahan di tengah masyarakat. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat

berubah dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global universal. Hal ini

pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai dan norma,

khususnya norma hukum dan kesusilaan. Dengan mengetahui dan memahami

kejadian/kasus kesusilaan baik mengenai hal yang baru atau pun yang sudah

ada dalam KUHP maka gambaran keadaan tersebut dapat dilukiskan dan

kemudian upaya-upaya ataupun pencegahan/revensi terhadap kejahatan

(45)

36

1. Kebutuhan Anak

Menurut The minimum Age Convention Nomor 138 (1973),

pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of The Child (1989) yang

telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres Nomor 39 tahun

1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke

bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk

yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang–Undang Nomor 4

Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan

undang–undang perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun.35

Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang

usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan

mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan

kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan

sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang

umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Mengenai

hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB

tanggal 20 Nopember 1959, dengan memproklamasikan deklarasi hak–hak

anak.

(46)

Dengan demikian deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak, baik

individu, orang tua, organisasi sosial, pemerintah dan masyarakat

mengakui hak–hak tersebut dan mendorong semua upaya untuk

memenuhinya. Ada 10 prinsip tentang hak anak menurut deklarasi

tersebut, yaitu:

Prinsip 1: Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam

deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan

diskriminasi.

Prinsip 2: Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus

diberikan kesempatan dan fasilitas hukum atau peralatan lain,

sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental,

moral, spiritual dan sosial dalam cara yang sehat dan normal.

Prinsip 3: Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan idenditas

kebangsaan.

Prinsip 4: Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial.

Prinsip 5: Setiap anak yang baik secara baik secara fisik,mental dan sosial

mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan

khusus,pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan

kondisinya.

Prinsip 6: Untuk perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang

setiap anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.

Prinsip 7: Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan

(47)

Prinsip 8: Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan

dan bantuan yang pertama.

Prinsip 9: Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk ketelantaran,

tindakan kekerasan, dan eksploitasi.

Prinsip10: Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi

berdasarkan rasial, agama dan bentuk – bentuk lainnya.

Disamping itu, dalam Pasal 2 Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:

a. Anak berhak atas dasar kesejahteraan, perawatan, asuhan dan

bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun

dalam asuhannya khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian

bangsa, untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa

kandungan maupun sesudah dilahirkan.

d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan

dengan wajar.

Di samping menguraikan hak anak–anak menurut Undang–Undang

Nomor 4 Tahun 1979 diatas pemerintah Indonesa juga telah meratifikasi

Konvensi Hak Anak (KHA) PBB melalui Nomor 39 Tahun 1990. Menurut

(48)

tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal–usul

keturunan, agama, maupun bahasa mempunyai hak – hak yang mencakup

empat bidang :

a. Hak atas kelangsungan hidup, yang mencakup hak atas tingkat hidup

yang layak dan pelayanan kesehatan.

b. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi,

waktu luang, kegiatan seni dan budaya, serta kebebasan berpikir,

berkeyakinan dan beragama serta hak anak cacat atas pelayanan,

perlakuan dan perlindungan khusus.

c. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala eksploitasi,

perlakuan kejam dan perlakuan sewenang – wenang dalam proses

peradilan pidana.

d. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat,

berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam

pengambilan keputusan yang menyangkut hidup dirinya. 36

Adapun hak asasi anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 yang merupakan hak mendasar bagi anak dan dilindungi oleh negara,

pemerintah, keluarga, orang tua. Sedangkan hal itu hak setiap manusia

yang paling asasi. hak tersebut meliputi hak untuk hidup, kelangsungan

hidup, dan perkembangan, uraiannya sebagai berikut:

a. Anak mendapat perlindungan orang tua, masyarakat dan negara ( Pasal

62 ayat (1)).

(49)

b. Hak melindungi sejak dini dalam kandungan ( Pasal 52 ayat (1)).

c. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan ( Pasal 52 ayat (1)).

d. Hak mendapat nama dan status kewarganegaraan ( Pasal 53 ayat (2)).

e. Hak mendapat perawatan, pendidikan, pelatihan dnabantuan khusus

anak cacat fisik atau mental ( Pasal 54).

f. Hak untuk beribadah untuk agamanya, berfikir dan berekspresi ( Pasal

55).

g. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang tuanya ( Pasal 55

ayat (1)).

h. Hak diasuh dan diangkat anak oleh orang lain ( Pasal 56 ayat (2)).

i. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing

orang tua/wali ( Pasal 57 ayat (1)).

j. Hak mendapat orang tua angkat atau wali ( Pasal 57 ayat (2)).

k. Hak perlindungan hukum ( Pasal 58 ayat (1)).

l. Hak pemberatan hukuman bagi orang tua, wali/pengasuh yang

menganiaya anak (fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk dan

pelecehan seksual dan pembunugan ( Pasal 60 ayat (2)).

m. Hak tidak dipisahkan dari orang tua ( Pasal 59 ayat (1)).

n. Hak bertemu dengan orang tua ( Pasal 59 ayat (2)).

o. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran ( Pasal 60 ayat (1)).

p. Hak mencari, menerima dan memberikan informasi (Pasal 60 ayat (2)).

q. Hak beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, bermain dan berekreasi

( Pasal 62).

(50)

s. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa senjata, kerusuhan

sosial dan peristiwa kekerasan ( Pasal 63).

t. Hak perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang

membahayakan dirinya ( Pasal 64).

u. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,

penculikan, perdagangan anak dan dari penyalahgunaan narkotika,

psikotropika dan zat adiktif lainnya ( Pasal 65).

v. Hak tidak dijatuhkan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusawi ( Pasal 66 ayat (1)).

w. Hak tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup ( Pasal

66 ayat (2)).

x. Hak tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum ( Pasal

66 ayat (3)).

y. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai upaya

terakhir ( Pasal 66 ayat (4)).

z. Hak perlakuan yang manusiawi bagi anak yang dirampas

kemerdekaannya dan dipisahkan oleh orang dewasa (Pasal 66 ayat

(5)).

aa.Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif bagi anak yang

dirampas kebebasannya ( Pasal 66 ayat (6)).

bb.Hak membela diri dan memperoleh keadil

Referensi

Dokumen terkait

Dengan contoh perhitungan tersebut, maka normalisasi matriks direct- relation untuk hubungan antar kriteria dapa dilihat pada Tabel 4.2, normalisasi

Pembahasannya akan dimulai dari menguak latar belakang historis munculnya riba, konsep riba dan bunga dalam ekonomi Islam, kritik terhadap teori-teori bunga dan

Ibid, "hal" 177.. Perilaku konsumen juga ditentukan oleh kebudayaan, yang tercermin pada cara hidup, kebiasaan dan tradisi dalam permintaan akan bermacam-macam barang dan

Berdasarkan hasil penelitian Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Pelaksanaan 10T pada Antenatal Care ( ANC ) di Puskesmas Musuk 1 Kabupaten Boyolali adalah

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan

Penggunaan produk daun lamtoro fermentasi dengan Trichoderma viride dan Bacillus laterosporus sebanyak 20% di ransum itik Pitalah dan perlakuan R3 penurunan lemak (18,50%),

cara yang konvensional maka akan menjadi semakin tidak menarik. Maka dari itu diperlukan adanya sebuah media yang dapat menarik minat remaja. Sekarang ini remaja sudah

I Nyoman Puriska (2009: dalam http://www.undiksha.ac.id) menyatakan, jika dianalisis, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu terdiri dari