SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum
untuk Memenuhi PersyaratanGelar Sarjana Syariah (S.SV.)
Universltas lslam Negen SYARIF }IIDAYATULI-AH .IAKARTA
Oleh
:Ahmad Sandi
NIM
: 1110043200038KONSENTRASI PERBAI\DINGAN
HUKUM
PROGRAM STTIDI PERBAI\DINGAN MADZHAB HUKUM
FAKULTAS
SYARHH DAI\ HUKUM
T]NWERSITASISLAM
I\IEGERISYARMF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
I TI-,
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah d an Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna
Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S. SV)
Oleh
Ahmad Sandi
NIM:
1110043200038Di
Bawah BimbinganPembimbing I Pembimbing
II
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
I{UKUM
F'AKULTAS SYARIAH
DANHUKUM
T]NIVERSITASISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
II\DONESIA
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah danHukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal
22
September2015. Skripsi
ini
telah
diterima sebagai salah satu syaratmemperoleh
gelar
Sarjana Syariah (S.Sy.) pada progra studi PerbandinganMadzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum.
J akata, 22 Septemb er 2015 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN MTINAQASAH
1.
Ketua2.
Sekretaris3.
PembimbingI
4.
PembimbingII
5.
PengujiI
6.
PengujiII
Fahmi Muhammad Ahmadi. S.Ag..M.Si (
NIP. 1 974 1 2 132003 t21002
Siti Hana" Lc.
MA
NrP. I 97402 1 620080 120 l 3
Fahmi Muhammad Ahmadi. S.Ag..M.Si
NIP. I 974 12 132003t2r002
Afuan Faizin. MA.
NrP. 1 972 1 0262003 r2r00
|
Dr. Ahmad Sudirman Abbas.
MA
NIP. I 969 120 1 I 99903 1003
Dedy Nursy?msi.SH. M.Hum
NIP. I 972 1 0262003 r2r00 t
Dr. AsepSa-diudin
Jahlr.
MA.ii
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar di Strata Satu (S-1) di
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya sendiri
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 25 juni 2015 8 Ramadhan 1436 H
iii
anak beberapa waktu lalu atau biasa menyebutnya dengan tindak pedofilia yang dipandang sangat mengkhawatirkan karena dampak yang timbul reaksi negatif bagi korbannya seperti trauma, rasa malu, pandangan penyimpangan mengenai hal yang berkonotasi seksual, terluka atau bahkan penyakit menular akibat penyimpangan seksual tersebut dianggap sangat meresahkan bagi orang tua terutama anak-anak sebagai sasaran. Dampak dari kasus pedofilia sangat besar, dimana korban yang masih anak-anak dan menbutuhkan perlindungan justru mendapatkan perilaku penyimpangan.
Sanki bagi pelaku tindak pidana pedofilia dalam hukum Pidana Indonesia sebagai dasar hukum yang berlaku, yaitu pasal 294 KUHP dan menurut Undanga-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sudah ditetapkan, namun kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak justru semakin meningkat tiap tahunnya. Tindakan tersebut bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dilakukan oleh orang terdekat atau orang asing sekalipun sehingga korbannya tidak hanya satu bahkan bisa mencapai puluhan.
Dalam Hukum Pidana Indonesia memang sudah ditentukan sanksinya. Apabila melihat dari sundut pandang lain, hukuman yang sudah ditetapkan apakah dapat meberikan efek jera dan dipandang setimpal dengan perbuatan si pelaku yang membunuh keceriaan dan psikologi anak-anak. Dari pernyataan tersebut kemudian lahir suatu opini mengenai hukuman pedofilia dengan memberikan sanksi kebiri. Hukuman kebiri sudah di tetapkan beberapa negara Eropa dan sebagian negara Asia sebagai upaya menekan timbulnya korban. Berdasarkan permasalahan diatas, skripsi ini akan membahas tinjauan hukum Islam dan keberlakuan hukuman kebiri di Indonesia.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji atau menganalisis data primer dan sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia, jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research).
Kata kunci : Tindak pidana pedofilia, Hukuman kebiri bedah (surgical castration)
dan kimia (chemical castration).
iv
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya.
Berkat adanya taufik, hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi degan judul "HUKUM KEBIRI BAGI
PELAKU PEDOFILIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
PELUANG PENERAPANNYA DI INDONESIA." Karya ini tentunya tidak
dapat terselesaikan tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari
teman-teman serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide,
motivasi, masukan serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis
merasa wajib untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,M.Si., selaku Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Pembimbing I serta guru bagi
penulis yang selalu memberi masukan, arahan, bimbingan serta ilmu
v
4. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
serta Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada
penulis.
5. Ayahanda tercinta Hasanuddin dan Ibunda terkasih Rositi, serta adik-adik
dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. H. Saelan.
6. Teman-teman seperjuangan Ramdhani ‘sambit’, Wiwin ‘jenggot’, Ilyas
‘damva’, Aidz, Bambang, Laka, Teddy, Fanny, Rafika, Winda, Muzi, dan
teman-teman PH 2010 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima
kasih untuk semua semangat.
7. Teman berkeluh kesah adinda Ayu Sari Asih, semoga kesabaran dan
penantianmu dibalas oleh Allah SWT.
Jakarta, 25 Juni 2015
8 Ramadhan 1436 H
vi
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEDOFILIA A. Penegertian dan Ruang Lingkup Pedofilia ... 14
1. Pengertian Pedofilia ... 14
2. Ruang Lingkup Pedofilia ... 20
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan ... 26
BAB III: SANKSI KEBIRI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA A. Hak dan Kebutuhan Perlindungan Anak menurut UU Perlindungan Anak.. ... 36
1. Hak-hak Anak ... 36
2. Kebutuhan Anak ... 46
B. Pelaksanaan Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Tidak Pidana Pedofilia ... 48
1. Surgical Castration (Pengebirian Bedah) ... 49
2. Chemical Castration (Pengebirian Kimia) ... 50
vii
1. Pedofilia Sebagai Perbuatan Jarimah... ... 63 2. Hukuman Zina dalam Pandangan Hukum Islam ... ...69 3. Hukuman Kebiri Kimia menurut padangan hukum islam.... .... ....78 C. Kemungkinan Penerapan Hukum Kebiri Kimia di Indonesia... ... ....85
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan... ... ...95 B. Saran... ... ...96
1
Pelecehan seksual dan kekerasan seksual merupakan penyimpangan
psikologis dimana hal ini mengarah kepada suatu kegiatan seks yang tidak
seimbang sehingga menimbulkan ancaman terhadap individu tertentu.
Peristiwa pelecehan seksual dan kekerasan seksual dapat digolongkan ke
dalam beberapa tindakan, bahkan mungkin saja pernah dialami oleh beberapa
orang, antara lain adalah lelucon seks, menggoda secara terus-menerus
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seks, baik secara langsung melaluli
ucapan atau dengan surat digital. penyiksaan secara verbal akan hal-hal yang
terkait dengan kegiatan seks.1
Tidakan tersebut biasanya dilakukan secara berulang-ulang oleh pelaku
dengan tujuan melampiaskan kebutuhan biologis yang belum bisa terpenuhi
secara maksimal sehingga mendapat suatu sensasi yang berbeda dari apa yang
ia lakukan sebelumnya. Banyak efek negatif yang timbul akibat
penyimpangan ini, sehingga menjadikannya sebuah hal yang patut dibahas
secara mendalam dan bahkan dunia menyebutnya sebagai "Folk-Devil".
Banyak kasus yang timbul mengenai dua variabel (kekerasan dan
pelecehan seks). Korban yang timbul bukan hanya orang dewasa yang
dianggap memiliki kematangan perilaku dan cara berfikir, bahkan remaja
dibawah umur atau lebih mengarah kepada anak-anak tidak luput menjadi
sasaran penyimpangan psikologis ini. Seiring berkembangnya zaman dan
dunia teknologi yang sangan pesat, kegiatan tersebut menjadi lebih modern
dan mudah untuk didapat bagi para pelaku. Salah satu bentuknya adalah
Pornografi kepada anak-anak melalui website.
Ribuan gambar mengganggu mengenai anak-anak sebagai salah satu
tindakan penyimpangan lain, sehingga fenomena ini menarik banyak pihak
untuk mulai bergerak dan menelisik kepada hal yang lebih signifikan.2 Upaya
pemberantasan banyak dilakukan di beberapa negara sebagai usaha untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya pornografi kepada anak yang berakibat
kepada kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Kekerasan dan pelecehan
seksual kepada anak juga disebut dengan pedophilia. Istilah pedofilia pertama
kali disebutkan pada abad ke-19 merujuk kepada kondisi psikologis dan
tindakan pemerkosaan yang rentan terhadap anak-anak, pelecehan seksual dan
bentuk-bentuk lain dari eksploitasi anak di bawah umur.
Dalam buku karangan Evy Rachmawati pedofilia digambarkan sebagai
manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang dengan
anak-anak. Kata pedofilia sendiri berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan
philia (cinta)3. Kelainan yang dialami tersebut merupakan suatu dorongan seksual yang intens dan berulang-uang terhadap fantasi anak-anak pra-remaja
sebagai suatu penyimpangan seks dan juga pelanggaran hukum yang sangat
fatal.
2Lowenkron, Laura. Artikel : "All Againts Pedophilia". Ethnograpic notes About a
Contemporary moral crusade.
Pada dasarnya, pedofilia dikategorikan sebagai perlakuan salah secara
seksual kepada anak (child sexual abuse) yang relatif sulit diketahui karena
dianggap tidak mungkin terjadi. namun demikian, hal ini diperjelas oleh Baker
dan Duncan yang menyatakanbahwa:
Anak diperlakukan salah secara seksual ketika orang lain (dewasa) melibatkan anak. keterlibatan anak tersebut diharapkan dapat menimbulkan getaran seksual oleh orang dewasa (pelaku).4
Peristiwa-peristiwa demikian yang menjadikan anak sebagai korban,
sebagian besar terjadi di lingkungan keluarga (intra familial) namun ada pula
yang terjadi di luar lingkungan keluarga (masyarakat). Seringkali dari
beberapa kasus yang ada sulit diperoleh fakta dominan mengenai hal tersebut.
kecenderungan yang banyak diperoleh dari data pelaku relatif banyak
sekalipun ada unsur-unsur mencolok yang mempengaruhinya.
Dalam Pasal 19 konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa :
Anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, eksploitasi dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua atas orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka.
Perilaku seksual yang lebih terarah pada gagasan kekerasan hanya
berlaku kepada segala bentuk cedera fisik. Namun, menurut Vigarello
pelecehan dan kekerasan seksual pada anak atau pedofilia merupakan :
Governed by Divine Law, the so called crimes of lust, such as sodomy, fornication and adultery, were seen as acts of desecration and contagious degradation that merged criminal and victim in the same indignity (vigarello-1988).
Vigarello menyatakan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual terhadap
anak di bawah umur tidak merupakan kategori pidana khusus yang berdiri
sendiri, melainkan suatu tindakan penyimpangan moral yang sudah ada dan
diatur oleh "divine law".
Undang-Undang Brazil 1890 menyebutkan bahwa
"crimes against the security of the honor and honesty of families and public offense to modesty" - were not defined as acts of violence against the person offended, but as offenses against family honor. The control of women's sexuality and the maintenance of young girls' chastity were understood as a means to safeguard the honor of males (husbands, brothers and fathers).5
Pelanggaran seksual didefinisikan sebagai serangan moral terhadap
nilai-nilai kekeluargaan yang dipahami dengan unit sosial dan moral dasar
masyarakat. Dalam hal ini, filsafat pencerahan abad ke-18 (Vigarello,1998;
Borrillo 2009) mengakui dasar untuk perubahan aksiologi menentukan
munculnya model baru atas regulasi hukum seksual dan untuk partikulasi
konsep "kekerasan sekusal".
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menetapakan umur pada
pelecehan seksual tersebut, biasanya dibawah umur 15 atau 18 tahun (belum
puber). Beberapa negara bagian lain menyatakan bahwa pelaku harus beberapa
tahun lebih tua (minimal 5 tahun) untuk dipandang sebagai perbuatan
kriminal.6
Cal. Penal Code, Selection 288.5 (1999)
a.) Any person who either tesides in the same home with the mirror child or has recurring acces to the child, who over a period of time, not less than three months in duration, engages in three or more acts of substantial sexual conduct with a child under the age of 14 years at the time of the comission of the offense.. or three or more acts of lewd or lascivious conduct under section
5Williams,Linda. artikel :Police Investigation: Identification of Evidence and Criminals,
Brazilian Child and Adolescent Statute, 1990 (ECA/90).
288, with a child under the age of 14 years at the time of the commission of the offense is guilty of the offense of continuous sexual abuse of a child.7
Undang-undang negara bagian California menetapkan bahwa tindakan
yang dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan dan terlibat tiga kali kegiatan
seksual pada anak usia 14 tahun atau dibawahnya, dan tindakan cabul pada
anak usia dibawah 14 tahun dianggap bersalah atas tuduhan tindakan
pelecehan seksual pada anak.
Maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa
lemahnya jaminan keamanan. Bahkan orang dewasa yang seharusnya menjadi
pelindung justru menjadi sumber ancaman bagi anak-anak. Hal ini
menggambarkan bahwa keluarga dan lingkungan sekitar tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman. Sebagai usaha untuk
melindungi hak-hak anak atas kejahatan seksual, dibeberapa negara Eropa dan
Amerika menerapkan sanksi kebiri sebagai hukuman yang setimpal bagi
kejahatan psikologi semacam ini.8
Berbagai macam hukuman tengah menjadi perbincangan dalam kasus
pelecehan seksual, terutama terhadap anak-anak. Menimbulakan efek jera
dirasa kurang mampu memberikan dampak yang begitu signifikan karena
pelaku penyimpakan psikologi tersebut melakukannya bukan hanya pada satu
anak. Keinginan untuk melakukan atau melampiaskan kebutuhan biologisnya
hanya pada anak walaupun hukuman yang diberikan cukup berat, apabila
hasrat itu kembali muncul akan ada kemungkinan timbul korban lain.
7 Titus Reid,Sue.Criminal Law Fifth Edition,(United State:R.R. Donnelly & Sons Company. 2000). hlm, 208.
Merujuk pada kasus yang terjadi di Sukabumi, Andri Sobari alias Emon
telah ditetapkan sebagai tersangka kasus sodomi atau kejahatan seksual pada
anak. Kasus lain yang terjadi di sekolah bertaraf Internasional. Samai, pelaku
sodomi pada ratusan anak-anak di Tegal. Beberapa kasus tersebut bisa kita
ketahui bahwa korban bukan hanya satu orang, melainkan puluhan bahkan
ratusan.
Data kekerasan seksual pada anak beberapa tahun terakhir menunjukan
intensitas yang terus meningkat. Diperkirakan, setiap satu hingga dua menit
terjadi kekerasan dan pelecehan seksual pada anak sehingga setiap tahunnya
tercatat sekitar 788.000 kasus. Catatan Komnas anak pada tahun 2013
mencapai 736 kasus, meliputi 44,43% kekerasan seksual, 31,66% kekerasa
fisik, dan 23,91% kekerasan psikis dan penelantaran. Sedangkan tahun 2014
sampai dengan pertengahan tahun 2014 sudah teracatat 426 kasus, meliputi
52% kekerasan seksual 28,5% kekerasan fisik , kemudian sisanya adalah
kekerasan psikis dan penelantaran.9 Berdasarkan kutipan dari press release
SoB, Inc (Striving on Branding), data Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) hingga April 2015 menunjukkan bahwa masalah terkait anak
berturut-turut meliputi kasus anak berhadapan dengan hukum mencapai 6.006 kasus,
kasus pengasuhan (3.160 kasus), kasus pendidikan (1.764 kasus), kesehatan
dan napza (1.366 kasus), dan cybercrime-pornografi (1.032 kasus).10 Terlihat
dari data tersebut bahwa kasus kekerasan seksual pada anak sudah
menunjukan pada angka yang sangat tinggi sehingga harus ada suatu regulasi
hukum yang dapat memberikan dampak pada pelaku kejahan seksual tersebut.
Salah satu opsi yang muncul ialah hukuman kebiri kepada pelaku
kejahan seksual sebagai upaya untuk mengurangi hasrat yang dianggap telah
keluar kendali. Opsi hukuman kebiri di Indonesia bagi pelaku kejahatan
seksual memang masih menjadi wacana, namun dibeberapa negara Eropa dan
Amerika sudah diberlakukan untuk menanggulangi masalah ini, diantaranya
adalah :
1. Amerika merupakan salah satu negara yang memberlakukan hukum kebiri
di beberapa negara bagian seperti California sejak tahun 1996. Sedangkan
Florida hukuman tersebut diberlakukan sejak tahun 1997.
2. Hukum kebiri di Argentina baru diberlakukan di Provinsi Mendoza sejak
tahun 2010. Dengan adanya aturan yang disahkan melalui dekri oleh
Pemerintah Provinsi, setiap pelaku kejahatan seksual atau pemerkosaan di
Mendoza terancam hukuman kebiri. Selain itu, dengan menjalani hukuman
kebiri, pelaku kejahan seksual juga mendapatkan imbalan peringanan
hukuman penjara yang harus mereka jalani.
3. Parlemen Rusia meloloskan aturan hukum yang mengizinkan Pengadilan
untuk menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Hukum
tersebut mengancam pelaku kejahatan seksual yang menyerang anak-anak
di bawah usia 14 tahun. Berdasar aturan yang berlaku, perintah hukum
oleh pengadilan yang menangani kasus kejahatan seksual tersebut.11
Masih banyak lagi negara-negara yang memberlakukan hukum
kebiripada pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak dan pemerkosaan
sebagai salah satu upaya memberikan efek jera serta usaha menekan
banyaknya kasus yang kapan saja bisa terjadi. Namun, dari keefektifan
hukaman kebiri bagaimanakah Islam memandang hal ini?
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang
permasalahan yang menarik, Penulis tertarik untuk meneliti masalah yang
timbul antara memberikan perlindungan kepada anak-anak sebagai objek
pelecehan seksual dengan memberikan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia
serta pandangan Islam mengenai hukuman tersebut dan mengangkat
permasalahan ini dalam skripsi dengan judul : "Hukum Kebiri Bagi Pelaku
Pedofilia Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peluang Penerapannya di
Indonesia"
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan yang
akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap hukuman
kebiri bagi pelaku tindak pidana pedofilia?
2. Bagaimana kemungkinan penerapannya di Indonesia?
11 Osterweil, Ara. Artikel :"Reconstructing Shirley: Pedophilia and Interracial Romance
C. Tujuan Penelitian
Skripsi ini bertujuan untuk :
1. Meneliti hukum mengenai pedofilia yang berluka di Negara- negara Eropa
bisa diterapkan di Indonesia.
2. Bagaimana islam memandang antara pedofilia dan hukuman kebiri bagi
tindak kejahatan psikologi tersebut.
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para
mahasiswa/mahasiswi yang berminat dalam permasalahn pedofilia.
2. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas
permasalahan kekerasan seksual atau pedofilia.
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana-1 pada Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari
berbagai cara dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan
data-data dan bahan-bahan yang diperlukan untuk melengkapi penyusunan skrips.
penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan
penelusuran literatur hukum serta menganalisa data sekunder untuk
memperoleh data-data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan
yang berlaku guna mendapatkan kepastian hukum tetap. selain Library
1. Metode Penelitian Hukum Normatif, pada penelitian ini hukum
dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundangan-undangan atau yang ditetapkan sebagai kaidah dijadikan sebuah patokan
untuk mendapatkan hukum obyektif dalam suatu pembahasan.
2. Sumber Data.
Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan teknik Studi
Pustaka sebagai salah satu upaya untuk memperoleh dokumen-dokumen
tertulis yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yangmengikat terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Penal Code, Al-Quran, Hadist, Kitab Fiqh dan peraturan
lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang berupa
tulisan-tulisan ilmiah di bidang hukumnya dapat memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku mengenai
perlindungan hak-hak anak serta buku-buku hukum mengenai
kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur di Indonesia.
c. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan-bahan atau tulisan-tulisan yang
dapat menambah penjelasan terhadap bahan hukum primer dan tersier,
terdiri dari artikel, kliping, seminar, internet, kamus hukum dan
lainnya.
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis pembahasan yang telah dihimpun, penulis
a. Metode Normatif, Komparatif adalah penelitian yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data-data sekunder dilakuakn
untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum tertentu dan
kemudian secara tetap membandingankan satu datum dengan datum
yang lain serta secara tetap membandingkan kategori dengan kategori
lain.12
b. Metode deduktif, menarik fakta yang bersifat umum untuk menjadikan
fakta atau kesimpulan yang didapat sebelumnya menjadi sesuatu yang
bersifat khusus.
c. Langkah-langkah analisis data:
1) Mencatat yang mengahasilkan data, dengan hal ini diberikan kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,
2) Mengumpulkan, memilah - memilih, mengklasifikasikan, membuat
ikhtisar, dan membuat indeksnya,
3) Berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan,
dan membuat temuan-temuan umum.13
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada
masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah
12 Moleong. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitati. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal 288
pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang
dikemukakan dalam tiap bab.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta
sistematika penulisan. isi penelitian akan dibahas pada bab II,III,IV
serta seluruh hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya
terangkum pada bab V, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANAPEDOFILIA
Membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak
pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian pedofilia, ciri-ciri dan
faktor-faktor penyebab terjadi di Indonesia.
BAB III: SANKSI KEBIRI PELAKU TINDAK PIDANAPEDOFILIA
Membahas tentang pengertian anak, hak-hak anak menurut UU
No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pelaksanaan
sanksi kebiri bagi pelaku tindak pidana phedofilia menurut "Penal
Code" yang berlaku di Eropa, serta pandangan ahli hukum
mengenai hukuman kebiri.
BAB IV : PEDOFILIA DAN HUKUM KEBIRI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
yang berlaku di beberapa negara Eropa serta kemungkinan
penerapannya di Indonesia.
BAB V : KESIMPULAN
Merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi yang berisi
14
1. Pengertian Pedofilia
Pedofilia adalah salah satu kelainan seksual yang termasuk dalam kategori
parafilia. Istilah parafilia pertama kali disebutkan oleh seorang psikoterapis
bernama Wilhelm Stekel dalam bukunya yang berjudul Sexual Aberation tahun
1925. Parafilia mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan
seksual terhadap obyek yang tidak biasa atau aktifitas seksual yang tidak biasa
(Davidson dan Neale dalam Fausiah, 2003).14 Paraphilia adalah perasaan seksual
atau perilaku yang dapat melibatkan mitra seksual yang tidak manusia, tanpa izin,
atau yang melibatkan penderitaan atau siksaan oleh satu atau kedua pasangan.
Beberapa jenis penyimpangan seksual yang termasuk dalam kategori parafilia
adalah sebagai berikut:15
a. Eksibisionisme adalah kelainan seks yang suka memperlihatkan organ
kelamin kepada orang lain yang tidak ingin melihatnya. Dalam beberapa
kasus, orang dengan eksibisionisme juga suka melakukan autoeroticism
(praktek seksual merangsang diri sendiri atau masturbasi) sambil
memperlihatkannya kepada orang lain.
14 Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual . (Bandung:: Mandar Maju.
2009)). hal 12
15Davison, Gerald C. Neale, dkk. Psikologi Abnormal, Edisi ke-9.(Jakarta:Rajawali
b. Fethisisme adalah orang dengan gangguan ini mencapai kepuasan seksual dengan menggunakan obyek bukan manusia, paling sering pakaian dalam perempuan, sepatu, stocking, atau item pakaian lainnya.
c. Froteurisme adalah kepuasan seksual yang diperoleh oleh seorang pria dengan menyentuh, meraba ataupun meremas bagian tubuh atau alat kelamin wanita tanpa persetujuan dari wanita.
d. Pedofilia adalah gangguan yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak kecil, umumnya di bawah usia 13. Beberapa pendapat mendeskripsikan kriteria orang dengan pedofilia berusia diatas 16 tahun, dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari si anak yang dijadikan obyek seksualnya.
e. Masokisme adalah istilah yang digunakan untuk kelainan seksual tertentu, namun yang juga memiliki penggunaan yang lebih luas. Gangguan seksual ini melibatkan kesenangan dan kegembiraan yang diperoleh dari rasa sakit pada diri sendiri, baik yang berasal dari orang lain atau dengan diri sendiri.
f. Sadisme seksual adalah seorang individu sadisme mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti orang lain.
g. Voyeurisme adalah paraphilia di mana seseorang menemukan kenikmatan seksual dengan menyaksikan atau mengintip orang yang telanjang, membuka baju, atau melakukan seks.
h. Fethisisme transvestik adalah gangguan ini dicirikan dengan laki-laki heteroseksual yang mengenakan pakaian perempuan untuk mencapai respons seksual.
j. Incest adalah hubungan seks dengan sesame anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-laki.
k. Necrophilia/Necrofil adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat atau orang mati.
l. Zoophilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan.
m. Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesame jenis (homo) maupun dengan perempuan.
n. Gerontopilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakek-kakek).
Menurut kategori penyimpangan seksual diatas, pedofilia adalah salah satu
penyimpangan atau parafilia yang dalam arti bahasa adalah cinta pada anak-anak.
Akan tetapi, pada kenyataannya penyimpangan seksual yang menjadikan
anak-anak sebagai objek kekerasan dan pelecehan seksual tidak hanya disebut pedofilia.
Terdapat beberapa jenis kategori yang digolongkan dalam kelompok parapilia dan
salah satu yang paling umum dikenal adalah pedofilia. Memang hampir terdapat
persamaan dalam beberapa pengertian mengenai penyimpangan seksual lainnya,
Marshall (1989) berpendapat bahwa :
molesters and hebephiles by distinguishing characteristics.16
Beberapa kriteria yang termasuk pada pedofilia adalah :
a. Minimal 6 bulan secara berulang, intens terhadap fantasi sensual,
dorongan seksual atau perilaku yang melibatkan aktifitas seksual
terhadap anak pra-remaja atau anak-anak (umumnya usia 13 atau lebih
muda).
b. Seseorang yang menuruti dorongan seksual dikarenakan faktor atau
usaha untuk menghilangkan stress dan kesulitan pribadi pada dirinya.
c. Orang tersebut setidaknya 16 tahun atau bahkan 5 tahun lebih tua dari
anak pra-remaja atau anak-anak dalam tindakannya.17
Secara umum pedofilia digunakan sebagai istilah untuk menerangkan
salah satu kelainan perkembangan psikoseksual terhadap individu yang
memiliki hasrat erotis abnormal terhadap anak-anak.18 Keintiman seksual
dicapai melalui manipulasi alat genital anak-anak atau melakukan
penetrasi penis sebagian atau kesuluruhan terhadap alat genital anak.
Sering juga anak-anak dipaksakan melakukan relasi oral genital atau anal
genital. Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan
memuaskan hasrat diri sendiri maupun komersil, dapat memberikan
pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tersebut
16John F. Stinneford, Incapacitation through Maiming: Chemical Castration, the Eighth
Amendment, and the Denial of Human Dignity, University of St. Thomas Law Journal (2006),Volume 3 | Issue 3
17. Hickey Eric W,Sex Crime and Paraphilia, Pearson Education, New Jersey, 2006, hlm 309-310
memiliki pandangan yang menyimpang mengenai hal yang berhubungan
dengan seks dikarenakan pengalaman yang dilaminya. Kejadian-kejadian
demikian dapat pula terjadi di lingkungan keluarga, berpedoman pada
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikta oleh Donleary dan Goodwin
(1989) yang menyebutkan bahwa tindakan tersebut terbanyak dilakukan
oleh ayah (31%), selebihnya oleh laki-laki lain (19%), kakak (10%), baby
sitter (7%), Paman (5%), teman laki-laki ibu (5%), sepupu (4,5%), kakek
(4%), Anak lain (3,5%) dan lain-lain (2%).19
Diantara kasus yang ada, pelaku pedofil banyak yang sudah
memiliki keluarga sebagai salah satu bentuk kamuflase yang dilakukan
untuk menutupi kelainan psikoseksualnya. Dengan memanfaatkan
kepolosan anak-anak, Para pelaku tindak pidana pedofilia mendekati
korbannya dengan menjadi teman atau pendamping yang baik bagi anak
dan bahkan kebanyakan pedofil bekerja di sebuah sekolah atau daerah lain
yang melibatkan anak-anak sebagai upaya untuk lebih dekat dengan calon
korban. Selain itu upaya lain untuk memuaskan gairah seksualnya adalah
dengan membujuk anak-anak atau korban dengan hal yang bisa menarik
perhatian sehinga ia mau menuruti apa yang diinginkan oleh pelaku bahkan tidak jarang penderita pedofilia memaksa dengan ancaman
terhadap anak-anak di bawah umur untuk mendapatkan kesenangan
seksual.20
19 Mardjono Reksodiputro, Arti dan Linglup Masalah PERLINDUNGAN ANAK, Jurusan Kriminologi FISIP-UI, Jakarta : 1999, hlm 95
Kekerasan seksual ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan serta patut dikatagorikan
sebagi jenis kejahatan melawan manusia (crime against humanity). Perlu
diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa
kejahatan seksual (sexual crime) itu bermacam-macam seperti: perzinahan,
homo seksual, kumpul kebo (samen leven), lesbian, prostitusi (pelacuran),
pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di
luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Namun
demikian, perkembangan hak asasi manusia lebih menitik beratkan pada
menikmati seks merupakan hak (right) orang dewasa sehingga hubungan
seks yang dilakukan tanpa ada paksaan di sebagian negara merupakan hal
yang dianggap wajar.21 Perkembangan-perkembangan dalam aspek lain
pun akan berubah seiring adanya pergeseran pada pemikiran masyarakat
mengenai kesusilaan. Anggapan yang menyebutkan bahwa hubungan seks
adalah suatu hak dapat menimbulkan masalah lain seperti penyakit yang
berhubungan dengan seks, dengan ini pemerintah akan akan melakukan
pencegahan namun bukan pada penyebab sebelumnya.
Beberapa waktu lalu pada peringatan hari HIV AIDS sedunia di
beberapa daerah di Indonesia membagikan alat kontrasepsi secara
cuma-cuma pada masyarakat sekitar dan tidak memandang apakah orang itu
sudah menikah atau belum, ini membuktikan bahwa secara tidak langsung
daerah tersebut memberikan dukungan untuk melakukan hubungan seks
bebas pada masyarakatnya. Perkembanga pada aspek kehidupan/
masyarakat ini akan berdampak pada nilai kesusilaan, hal tersebut juga
menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah untuk menata kembali kebiasaan
dan paradigma yang menyimpang.
2. Ruang Lingkup Pedofilia
a. Macam-Macam Perilaku Penyimpangan Seksual Terhadap Anak
Perbuatan perlakuan salah secara sekual pada anak (child seksual
abuse) merupakan salah satu masalah dalam ruang lingkup
penelantaraan anak (child abuse) yang dianggap sebagai suatu
kejahatan dikaranakan terdapat pelanggaran hukum didalamnya.
menyadari tingkat keseriusan kejahatan tersebut sebagai salah satu
masalah sosial, usaha formal yaitu dengan mengajukan ke sistem
Peradilan Pidana, maupun reaksi masyarakat yang informal sebagai
upaya untuk memberikan rasa aman serta melindungi hak-hak anak
bebas dari tindak kekerasan seksual yang mengintai.
Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan
objek seksual maupun untuk komersial, memberikan pengaruh negatif
bagi perkembangan jiwa anak. Perilaku seksual yang menyimpang
dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori penyimpangan sebagai
berikut:22
1) Untuk tujuan objek seksual:
a) Pedofilia, terdiri dari pedofilia homoseksual dan pedofilia
heteroseksual.
b) Incest
c) Hiperseksualitas.
d) Keterbatasan kesempatan (isolated geografis) dan keterbatasan
kemampuan sosial ekonomis.
2) Untuk tujuan sebagai pencari nafkah keluarga:
a) Orang tua yang dengan sengaja menjadikan anaknya sebagai
tenaga pencari uang dengan memaksa anak menjual diri,
melakukan kegiatan prostitusi. Keadaan ini sering terjadi pada
lingkungan keluarga yang taraf sosial ekonominya sangat
rendah dan norma (standar) moralnya-pun rendah.
b) Germo (pengelola praktek prostitusi), yang akan terus berusaha
mencari gadis muda untuk melayani para pelanggannya.
Biasanya, mereka akan mencari gadis yang masih polos dan
lugu.
3) Untuk tujuan avonturir seksual
Disamping kategori tersebut diatas ada pula sementara anak
perempuan dan laki-laki yang mencari kehangatan emosional diluar
rumah melalui perilaku seksual eksesif dan bersifat avonturir, baik
dengan rekan sebaya maupun pasangan dewasa. Biasanya, mereka ini
berasal dari keluarga yang tidak memberikan kasih sayang, kehangatan
emosional dan perhatian yang cukup. Bahkan, sering menolak
kehadiran mereka (rejected).
Anak-anak tersebut merasa kurang aman dan biasanya standar
moral keluarganya pun sangat rendah. Kelompok anak perempuan
istilah “gongli” (singkatan dari istilah bagong lieur). Sedangkan untuk
anak laki-laki lebih sering disebut dengan istilah kelompok “gerepe”.
Mereka sama sekali tidak memikirkan akan akibat fatal dari perbuatan
mereka tersebut. Bagi anak perempuan akibatnya jauh lebih parah,
karena apabila keterlibatan perilaku seksualnya sudah eksesif, secara
tidak sadar ia justru dimanfaatkan oleh orang dewasa dan bahkan
sering dijerumuskan ke dalam dunia prostitusi yang profesional.
Kepribadian anak perempuan semacam ini cenderung berkembang
ke arah keperibadian neurotic dengan gejala hysteric. Perlu dicatat
bahwa pada kategori ini, aktivitas semula berasal dari pihak anak-anak
yang didasari oleh usaha mencari kehangatan emosional melalui
kontak fisik dengan lawan jenis.
b. Macam-macam Pedofil
Objek seksual pada pedofilia adalah anak-anak dibawah umur.
Pedopilia terdiri dari dua jenis, yaitu:
1) Pedofilia homoseksual, yaitu objek seksualnya adalah anak
laki-laki dibawah umur;
2) Pedofilia heteroseksual, yaitu objek seksualnya adalah anak
perempuan dibawah umur.
Secara lebih singkat, Robert G Meyer dan Paul Salmon
membedakan beberapa tipe pedophilia. Tipe pertama adalah
mereka yang memiliki perasaan tidak mampu secara seksual,
khususnya bila berhadapan dengan wanita dewasa. Tipe kedua
vitalnya.23 Penyebab Pedofilia antara lain sebagai berikut:
a) Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menyebabkan
ketidak mampuan penderita menjalin relasi heterososial dan
homososial yang wajar;
b) Kecenderungan keperibadian antisosial yang ditandai dengan
hambatan perkembangan pola seksual yang matang disertai
oleh hambatan perkembangan moral;
c) Terdapat kombinasi regresi, ketakutan impotent, serta
rendahnya tatanan etika dan moral.
3) Dampak – Dampak Kekerasaan Seksual Terhadap Anak
Ciri-ciri Umum Anak yang Mengalami kekerasan seksual atau
Sexual abuse:24
a) Tanda-Tanda Perilaku
(1) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari
bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke
isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia;
(2) Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih
agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku
dia sebelumnya;
(3) Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau
terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk;
(4) Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal
perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap
23 Muhammad Asmawi, Lika-liku Seks Meyimpang, Nuansa Cendikia. hlm. 95
jempol, dan sebagainya;
(5) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu
anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak;
(6) Perilaku menghindar: takut akan atau menghindar dari
orang tertentu (orang tua, kakak, saudara lain,
tetangga/pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos
sekolah;
(7) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan,
berbahasa atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku
seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar
porno;
(8) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang
khususnya pada anak remaja;
(9) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (
self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan,
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi,
percobaan atau melakukan bunuh diri.
b) Tanda-Tanda Kognisi
(1) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan
mengkhayal, fokus perhatian singkat / terpecah;
(2) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap
pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya;
(3) Respons reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan
c) Tanda-Tanda Sosial-Emosional
(1) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga;
(2) Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam
khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak
berhubungan;
(3) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan
ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin
bunuh diri;
(4) Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan
terhadap orang lain;
(5) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang
seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman
sebayanya.
d) Tanda-Tanda Fisik
(1) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit
perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat
badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara
memadai, muntah-muntah;
(2) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit
kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan
pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat
kelamin.
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Delik Kesusilaan.
Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi
oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh
norma-norma pergaulan yaitu norma kesopanan. Norma kesopanan berpijak
pada pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi
setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat.25 Patokan patut
atau tidak patut yang dianggap menimpang terhadap kesopanan itu tidak
hanya sekedar pada kepentingan individu, melainkan lebih kepada sifat yang
secara umum dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak baik walaupun
mengenai beberapa hal lebih terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu.
Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi dalam suatu masyarat tercermin
dalam undang-undang atau norma-norma hukum mengenai tindak pidanan
kesopanan, terutama dalam bab XIV buku II KUHP mengenai kejahatan
terhadap kesopanan dan Bab VI buku III KUHP mengenai pelanggaran
terhadap kesopanan.
Berdasarkan pertimbangan pembentukan undang-undang mengenai objek
rasa kesopanan masyarakat, dapat dipilih terhadap rasa kesopanan yang
bercorak kejahatan dimana sifat penyerangan pada kepentingan hukum
mengenai rasa kesopanan yang lebih berat dari pada penyerangan terhadap
rasa kesopanan yang bercorak pelanggaran maka undang-undang membagi
tidak pidana kesopanan ini, menjadi kejahatan kesopanan dimuat dalam Bab
XIV (Misrijven tegen de zeden) : Pasal 281-300 bis dan pelanggaran
kesopanan Bab VI (Overtredingen betreffende de zeden) : pasal 532-547,
untuk kata zeden dalam kalimat Mesdrijven tegen de zeded dapat diartikan
sebagai kesusilaan dan kata zeden pada kalimat Overtredingen betreffende de
zeden diartikan dengan kesopanan. Apabila melihat kembali beberapa
pendapat mengenai kata zeden umumnya ahli hukum menyatakan bahwa
kesusilaan adalah suatu pengertian adat istiadat mengenai tingkah laku dalam
pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah
seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa
"…..kesusilaan juga mengenai adat kebiasaan yang baik, tetapi secara khusus
lebih banyak mengenai kelamin (sex) manusia".26
Jika diamati lebih lanjut mengenai kitab undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), mengemis, penyiksaan binatang, minuman keras dan perjudian
termasuk dalam Bab XIV tentang kejahatan kesusilaan. Terhadap delik ini,
Mr. J.M. van Bemmelen mengutaran pendapatnya yang sama: tentang delik
terhadap kesusilaan tidak hanya memuat berbagai kejahatan seksual, akan
tetapi juga beberapa delik yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
seksualitas, memberi minuman yang memabukkan kepada orang atau anak di
bawah enam belas tahun, menyerahkan atau membiarkan anak yang ada di
bawah kekuasaannya kepada orang lain, padahal mengetahui bahwa anak itu
akan dipakai untuk atau pada waktu mengemis, penganiayaan
binatang.27Kejahatan terhadap kesusilaan diartikan lebih sempit yaitu
26Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Eresco: 1986,hlm 111
pelangaran/kejahatan terhadap nilai susila masyarakat (adat istiadat yang baik,
sopan santun, kesopanan, keadaban) dalam bidang seksual, sehingga cakupan
kejahatan kesusilaan sebenarnya meliputi kejahatan terhadap kesusilaan.28
Kata "kesusilaan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "perihal
susila" atau "yang berkaitan dengan sopan santun". Kata "susila" sendiri
berarti :29
1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan;
2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban,kesusilaan
Kata "susila" dalam Bahasa Inggris adalah "moral", "ethics", "decent" yang
biasa diterjemahkan berbeda-beda. Kata "moral" diterjemahkan dengan
"moril" atau "kesopanan". Sedangkan "ethic" diterjemahkan "kesusilaan" dan
"decent" diterjemahkan dengan "kepatutan".30 Ketiganya pada hakikatnya
merupakan persepsi nilai dari masyarakat. "Moral" merupakan pertimbangan
atas dasar baik/tidak baik, sedangkan etika merupakan ketentuan atau norma
perilaku (code of conduct).
Dengan demikian makna dari "kesusilaan" adalah berkenaan dengan
moral, etika, yang telah diatur didalam perundang-undangan.31 Sementara jika
diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti
kesusilaan lebih condong kepada perilaku yang benar atau salah, khususnya
28 Mudzakir.Suparman, Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual dalam Perspektif
Politik Kriminal, Yogyakarta : Fakultas Hukum UII, hlm 146
29Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm 1110
30 Wojowasito.S dan Tito Wasito, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia
Inggris,Bandung: Hasta:, 1980, hal 268
dalam hubungan seksual (behaviour as to right or wrong, especially in
relation to sexual matter). Beberapa pernyataan lain menyebutkan tentang pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan
dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam
penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam pergaulan
masyarakat.
Bukan hal yang mudah untuk menentukan batas dan ruang lingkup tindak
pidana kesusilaan, terlebih dengan begitu beragamnya nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat yang disebabkan karena begitu banyaknya
tradisi dan budaya bangsa Indonesia sesuai dengan komunitasnya. Batas dan
ruang lingkup tindak pidana kesusilaan yang ada dalam masyarakat tertentu
akan berbeda dengan masyarakat yang lainnya.
Sebagai perbandingan, dalam berbagai KUHP Asing, pengelompokan
delik kesusilaan juga berbeda-beda dan tampaknya tergantung pada
kesepakatan dan kebijakan pembuat undang-undang.32 Dalam KUHP Jepang
tindak pidana kesusilaan diatur dalam Bab XXII Buku II di bawah judul
Crimes of Indecency, Rape And Bigamy. Sementara dalam KUHP Korea
diatur dalam Bab XXII dengan judul Crimes Against Morals, sedangkan
dalam KUHP Malaysia yang hampir sama dengan KUHP Singapura diatur
dalam Bab XIV di bawah judul Offences Affecting The Public Health,
Safety,Convenience, Decency And Morals. Dalam KUHP Polandia diatur
dalam Bab XXIII dengan judul Offences Agains Decency dan dalam KUHP
Thailand tidak ada bab yang secara eksplisit berjudul "Tindak Pidana
Terhadap Kesusilaan", yang ada ialah bab mengenai "Tindak Pidana Yang
Berhubungan Dengan Seksualitas" (Offences Relating to Sexuality) dalam Bab
IX. Yugoslavia, Norwegia, Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa
pengelompokan dan ruang lingkup delik kesusilaan di berbagai negara juga
sangat bervariasi tergantung pada kebijakan teknik perundang-undangan yang
diambil, juga disebabkan perbedaan landasan idiil filosofi dan konsep moral
yang melatar belakangi politik hukum dari masing-masing negara.
Dengan adanya beberapa pendapat yang menyatakan bahwa walaupun
pengelompokan atau ruang lingkup delik kesusilaan berbeda-beda, namun
patut dicatat bahwa dalam menentukan isi (materi/substansi)-nya harus
bersumber dan mendapat sandaran kuat dari moral agama. Selain itu,
penentuan delik kesusilaan juga harus berorientasi pada "nilai-nilai kesusilaan
nasional" (NKN) yang telah disepakati bersama dan juga memperhatikan
nilai-nilai kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat.
Nilai kesusilaan nasional ini dapat digali antara lain dari produk Legislatif
Nasional (berbentuk Undang-Undang Dasar atau
Undang-undang).33Kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan/moral yang ada di
masyarakat sebenarnya mencakup hal yang sangat luas. Nilai-nilai kesusilaan
tidak hanya terdapat dalam bidang seksual (yang lebih bersifat pribadi), tetapi
juga dalam hubungan pergaulan rumah tangga, dalam pergaulan dengan orang
lain di masyarakat dan bahkan dalam semua segi kehidupan bermasyarakat
atau bernegara. Wajar bila dalam setiap tatanan kehidupan bermasyarakat
terdapat nilai-nilai kesusilaan/moral, karena setiap masyarakat atau negara
dibangun diatas landasan nilai-nilai filsafati, ideologi dan moralitas tertentu.
Seiring dengan batasan dan ruang lingkup tindak pidana kesusilaan
sebagaimana terurai di atas, kejahatan seks serta kejahatan yang menyangkut
seks (sex relatedcrimes) yang dirumuskan dalam hukum pidana sebagai delik
susila senantiasa harus dipahami secara kontekstual dalam hubungannya
dengan perkembangan budaya dan perubahan-perubahan struktur sosial yang
ada dimasyarakat.34 KUHP mengatur berbagai kejahatan atau delik, termasuk
diantaranya adalah delik kesusilaan, namun hukum pidana Indonesia (KUHP)
tidak mengatur secara eksplisit tentang kejahatan kesusilaan, tetapi hanya
mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Secara juridis, delik
kesusilaan menurut KUHP yang berlaku saat ini terdiri dari 2 (dua) kelompok
tindak pidana, yaitu "kejahatan kesopanan" meliputi bidang kesusilaan dan
yang diluar dalam bidang sekusal (diatur dalam Bab XIV Buku II misdrijven
tegen de zeden Pasal281-303) dan "pelanggaran kesopanan" dalam bidang seksual dan hal-hal yang diluar bidang seksual (diatur dalam Bab VI Buku
IIIovertredugen betreffende de zeden Pasal532-547). Kelompok kejahatan
kesopanan (Pasal 281-303KUHP) meliputi perbuatan-perbuatan :
1. kejahatan kesopanan dibidang kesusilaan.
a. Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (281);
b. Kejahatan pornagrafi (282);
c. Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (283);
d. Kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (283 bis);
e. Kejahatan perzinaan (284);
34 Kusuma Mulyana W, Perumusan Tindak Pidana Kesusilaan (Perzinaan Dan
f. Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (285);
g. Kejahatan bersetubuh diluar kawin kepada perempuan dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya (286)
h. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya
belum 15 tahun (287);
i. Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan yang
belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka (288);
j. Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau peruatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan (289);
k. Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang
umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk kawin (290), dan
keadaan yang memberatkan apabila menimbulkan luka-luka berat bagi
korban (291 ayat 1), dan perbuatan cabul pada orang yang dalam
keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun dalam keadaan yang
memberatkan yakni apabila menimbulkan akibat kematian korban (291
ayat1);
l. Kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang yang
belum dewasa (293);
m. Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah
pengawasannya dan lain-lain yang belum dewasa (294);
n. Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya dan
laon-lain yang belum dewasa (295);
o. Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau
p. Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum
dewasa (297);
q. Kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa
hamilnya dapat digugurkan (299).
2. Kejahatan kesopanan diluar hal-hal yang berhubungan dengan masalah
seksual:
a. Kejahatan berupa : memberikan minuman keras pada orang yang telah
mabuk, membuat mabuk seorang anak yang belum berumur enam
belas tahun, dan memaksa orang untuk meminum minuman yang
memabukkan (300);
b. Kejahatan menyerahkan anak yang umurnya belum dua belas tahun
pada orang lain untuk dipakai melakukan kegiatan mengemis (301);
c. Kejahatan penganiayaan dan penganiayaan ringan terhadap binatang
atau hewan (302);
d. Pelanggaran mengenai perjudian (303 dan 303 bis).
Pelanggaran kesopanan yang diatur dalam Bab VI Buku III Pasal 532-547
meliputi sebagai berikut :
a. Pelanggaran kesopanan dibidang seksual
1) Pelanggaran dengan menyanyikan lagu-lagu atau pidato di muka
umum yang melanggar kesusilaan atau di muka umum
mengandung tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan (532);
2) Pelanggaran pornografi (533);
3) Pelanggaran dengan mempertunjukkan dan lain sebagainya sarana
4) Pelanggaran dengan mempertunjukkan dan lain sebagianya sarana
untuk menggugurkan kandungan (535).
b. Pelanggaran kesusialaan diluar bidang seksual 1) Pelanggaran dengan mabuk d jalan umum (536);
2) Pelanggaran menjual atau memberikan minuman keras kepada anggota TNI (537);
3) Pelanggaran berupa menjual minuman keras kepada anak yang belum berumur enam belas tahun (538);
4) Pelanggaran berupa menyediakan cuma-cuma atau menkanjikan sebagai hadiah minuman keras pada pesta keramaian umum (539); 5) Pelanggaran mengenai menggunaan binatang dalam pekerjaan
yang melebihi kekuatannya atau dengan cara yang menyakitkan
dan lain sebagainya (540);
6) Pelanggaran mengenai penggunaan kuda yang belum dewasa
(541);
7) Pelanggaran dengan mengadakan adu ayam atau jangkrik di
pinggir jalan atau di jalan umum (544);
8) Pelanggaran dengan melakukan peramalan sebagai mata
pencaharian (545);
9) Pelanggaran dalam hal menjual, menawarkan, menyerahkan dan
lain sebagainya jimat dan benda-benda lain yang dikatakannya
mempunyai kekuatan gaib (546);
10)Pelanggaran berupa memakai jimat atau benda-benda sakti pada
saan memberikan keterangan di bawah sumpah di muka sidang
Dari beberapa jenis delik kesusilaan yang tercakup dalam tindak pidana
kesopanan diatur dalam KUHP sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
pengertian kesusilaan tidak hanya sebatas di bidang seksual saja melainkan
juga meliputi perbuatan yang dianggap tidak sesuai dalam pandangan
masyarakat karena memiliki kemungkinan besar merugikan orang lain.
Sementara dalam Konsep KUHP yang saat ini tengah dirumuskan juga
meliputi pengertian kesusilaan tidak hanya dibidang seksual saja seperti
halnya KUHP yang sekarang berlaku.
Dengan telah terjadinya perkembangan kejahatan seksual, mengakibatkan
perubahan di tengah masyarakat. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat
berubah dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global universal. Hal ini
pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai dan norma,
khususnya norma hukum dan kesusilaan. Dengan mengetahui dan memahami
kejadian/kasus kesusilaan baik mengenai hal yang baru atau pun yang sudah
ada dalam KUHP maka gambaran keadaan tersebut dapat dilukiskan dan
kemudian upaya-upaya ataupun pencegahan/revensi terhadap kejahatan
36
1. Kebutuhan Anak
Menurut The minimum Age Convention Nomor 138 (1973),
pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of The Child (1989) yang
telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres Nomor 39 tahun
1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke
bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk
yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang–Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan
undang–undang perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun.35
Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang
usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan
mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan
kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan
sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang
umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Mengenai
hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB
tanggal 20 Nopember 1959, dengan memproklamasikan deklarasi hak–hak
anak.
Dengan demikian deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak, baik
individu, orang tua, organisasi sosial, pemerintah dan masyarakat
mengakui hak–hak tersebut dan mendorong semua upaya untuk
memenuhinya. Ada 10 prinsip tentang hak anak menurut deklarasi
tersebut, yaitu:
Prinsip 1: Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam
deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan
diskriminasi.
Prinsip 2: Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus
diberikan kesempatan dan fasilitas hukum atau peralatan lain,
sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental,
moral, spiritual dan sosial dalam cara yang sehat dan normal.
Prinsip 3: Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan idenditas
kebangsaan.
Prinsip 4: Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial.
Prinsip 5: Setiap anak yang baik secara baik secara fisik,mental dan sosial
mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan
khusus,pendidikan dan pemeliharaan sesuai dengan
kondisinya.
Prinsip 6: Untuk perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang
setiap anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.
Prinsip 7: Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan
Prinsip 8: Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan
dan bantuan yang pertama.
Prinsip 9: Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk ketelantaran,
tindakan kekerasan, dan eksploitasi.
Prinsip10: Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi
berdasarkan rasial, agama dan bentuk – bentuk lainnya.
Disamping itu, dalam Pasal 2 Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:
a. Anak berhak atas dasar kesejahteraan, perawatan, asuhan dan
bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun
dalam asuhannya khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa, untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
dengan wajar.
Di samping menguraikan hak anak–anak menurut Undang–Undang
Nomor 4 Tahun 1979 diatas pemerintah Indonesa juga telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak (KHA) PBB melalui Nomor 39 Tahun 1990. Menurut
tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal–usul
keturunan, agama, maupun bahasa mempunyai hak – hak yang mencakup
empat bidang :
a. Hak atas kelangsungan hidup, yang mencakup hak atas tingkat hidup
yang layak dan pelayanan kesehatan.
b. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi,
waktu luang, kegiatan seni dan budaya, serta kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama serta hak anak cacat atas pelayanan,
perlakuan dan perlindungan khusus.
c. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala eksploitasi,
perlakuan kejam dan perlakuan sewenang – wenang dalam proses
peradilan pidana.
d. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat,
berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut hidup dirinya. 36
Adapun hak asasi anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 yang merupakan hak mendasar bagi anak dan dilindungi oleh negara,
pemerintah, keluarga, orang tua. Sedangkan hal itu hak setiap manusia
yang paling asasi. hak tersebut meliputi hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan, uraiannya sebagai berikut:
a. Anak mendapat perlindungan orang tua, masyarakat dan negara ( Pasal
62 ayat (1)).
b. Hak melindungi sejak dini dalam kandungan ( Pasal 52 ayat (1)).
c. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan ( Pasal 52 ayat (1)).
d. Hak mendapat nama dan status kewarganegaraan ( Pasal 53 ayat (2)).
e. Hak mendapat perawatan, pendidikan, pelatihan dnabantuan khusus
anak cacat fisik atau mental ( Pasal 54).
f. Hak untuk beribadah untuk agamanya, berfikir dan berekspresi ( Pasal
55).
g. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang tuanya ( Pasal 55
ayat (1)).
h. Hak diasuh dan diangkat anak oleh orang lain ( Pasal 56 ayat (2)).
i. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing
orang tua/wali ( Pasal 57 ayat (1)).
j. Hak mendapat orang tua angkat atau wali ( Pasal 57 ayat (2)).
k. Hak perlindungan hukum ( Pasal 58 ayat (1)).
l. Hak pemberatan hukuman bagi orang tua, wali/pengasuh yang
menganiaya anak (fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk dan
pelecehan seksual dan pembunugan ( Pasal 60 ayat (2)).
m. Hak tidak dipisahkan dari orang tua ( Pasal 59 ayat (1)).
n. Hak bertemu dengan orang tua ( Pasal 59 ayat (2)).
o. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran ( Pasal 60 ayat (1)).
p. Hak mencari, menerima dan memberikan informasi (Pasal 60 ayat (2)).
q. Hak beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, bermain dan berekreasi
( Pasal 62).
s. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa senjata, kerusuhan
sosial dan peristiwa kekerasan ( Pasal 63).
t. Hak perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang
membahayakan dirinya ( Pasal 64).
u. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,
penculikan, perdagangan anak dan dari penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya ( Pasal 65).
v. Hak tidak dijatuhkan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusawi ( Pasal 66 ayat (1)).
w. Hak tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup ( Pasal
66 ayat (2)).
x. Hak tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum ( Pasal
66 ayat (3)).
y. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai upaya
terakhir ( Pasal 66 ayat (4)).
z. Hak perlakuan yang manusiawi bagi anak yang dirampas
kemerdekaannya dan dipisahkan oleh orang dewasa (Pasal 66 ayat
(5)).
aa.Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif bagi anak yang
dirampas kebebasannya ( Pasal 66 ayat (6)).
bb.Hak membela diri dan memperoleh keadil