PEMIKIRAN POLITIK MASYARAKAT BETAWI
PASCA REZIM SOEHARTO
Skripsi ini diajukan Kepada Fakultas Usuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana (S1) Politik Islam
Oleh:
M. MAKKI. RAHMANI N.I.M: 0033218889
Dibawah Bimbingan:
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
(Dr. MASYKUR HAKIM, MA) (DRS.H. SAIFUDDIN AMSIR) NIM: 150256937 NIM: 150227884
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Usuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PEMIKIRAN POLITIK MASYARAKAT BETAWI PASCA
REZIM SOEHARTO ini telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Usuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 Januari, 2005. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata satu
(S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam.
Jakarta 27 Januari, 2005
Ketua Sidang Sekretaris
Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.
NIP: 150 240483 NIP: 150 270808
Angota
Penguji I Penguji II
Nawiruddin, MA. Idris Thaha, M.Si.
NIP: 150 317723 NIP: 150 317965
Dr. Masykur Hakim, MA. Pembimbing I
(………….) NIP: 150 256937
Drs. H. Saifuddin Amsir. Pembimbing II
(………….)
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI ……… iii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………... 9
C. Tujuan Penelitian ……….……….... 11
D. Manfaat Penelitian ……… 11
E. Metode Penelitian ………. 12
F. Sistematika Pembahasan ………. 14
BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Politik ……… 16
1. Pengertian Politik Secara Bahasa dan Istilah……… 16
2. Pengertian Politik Modern ………. 19
B. Pengertian, Asal Usul Kata Betawi serta Kebudayaan Betawi . 24 1. Pengertian Betawi ……….. 24
2. Asal Usul Kata Betawi ……… 26
3. Kebudayaan Betawi ………... 28
4.Kriteria Betawi dan Orang Betawi ……….. 30
D. Faktor yang Mempengruhi Pemikiran Politik Orang Betawi.. 36
E. Faktor-faktor yang Mendorong Orang Betawi Berpolitik….... 41
1. Faktor Internal ……….. 41
2. Faktor Eksternal ………... 42
BAB III. DISKRIPSI BETAWI
A. Sejarah Singkat Lahirnya Komunitas Betawi ……… 46
B. Sejarah Singkat Kota Jakarta ………. 52
1. Sejarah Kota Pelabuhan Sunda Kalapa ………. 52
2. Hasil Bumi dan Komoditi Ekspor Impor Pelabuhan
Sunda Kalapa ………. 53
3. Keagamaan Masyarakat Sunda Kalapa hingga Penamaan
Jayakarta ……… 56
C. Organisasi yang Mewadahi Pemikiran Politik
Masyarakat Betawi ……….……… 59
BAB IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Arah atau Pola Pikir Politik Masyarakat Betawi terhadap
Perkembangan Politik Nasional Pasca Soeharto ………. 62
1. Demokrasi Negara Versus Demokrasi Orang Betawi ……….. 62
2. Basis Ideologi Politik Masyarakat Betawi ...……….. 68
B. Sumbangan Dokrin Agama Islam dalam Pemikiran
Orang Betawi ………. …. 69
C. Treak Record Politik Masyarakat Betawi terhadap
D. Analisa dan Evaluasi Arah Politik Masyarat Betawi dalam Membangkitkan Semangat Pendidikan Politik dan Perjuangan
Semangat Kebangsaan ………. 77
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……… 83
B. Saran-saran ………. 84
DAFTAR PUSTAKA ... 88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tiga puluh dua tahun sudah perkembangan kediktatoran dan semangat
korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh para politisi dan birokrasi busuk1 baik dari
tingkat pusat hingga jajaran birokrasi yang ada di daerah-daerah itu sendiri, serta
penempatan Jakarta sebagai totaliter Negara Indonesia lintas sektoral, baik dari sektor
ekonomi, politik, hingga industri, yang keseluruhannya tersentralkan oleh kebijakan
pemerintah pusat (central policy).
Imbas terhadap sistem yang dipegang oleh pemerintahan Soeharto ini secara
sengaja telah melupakan eksistensi daerah sebagai pemasok dana yang sangat besar
untuk pusat, sehingga, yang terjadi adalah pembangunan yang tidak merata dan
diskriminasi sumber daya daerah dan masyarakat daerah yang sangat luar biasa tidak
berimbang dengan pusat. Image tersebut seakan-akan telah lama disuarakan oleh raja
dangdut Indonesia Haji Roma Irama: “Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin
miskin”, akan tetapi hal ini tetap akan terus berulang jika sistem dan pemikiran yang ada tetap berpegang kepada otoriterianisme dan totaliterianisme penguasa.
Situasi politik seperti ini dianggap sebagai ‘ideology static’ dari politik rezim Soeharto. Artinya, dalam mempertahankan kekuasaannya, pemerintahan Soeharto
1
yang dibantu ABRI (alat Negara)2, memasung pemahaman politik yang bebas bagi
masyarakat dengan pemahaman politik telah ia titahkan, yaitu, pemahaman politik
arahan demokrasi Pancasila sebagai azas tungggal, yang katanya sudah mencakup
segala bentuk keragaman dan keuniversalitasan bangsa. Pemahaman politik ini
dengan secara tidak langsung melahirkan kebijakan (pemerintah kala itu) yang tidak
dapat diganggu-gugat -bagaikan titah raja-, dan haram hukumnya bagi masyarakat
keluar jalur atau mempunyai ideologi politik yang berseberangan dengan pemerintah
saat itu,3 ini terbukti dengan banyaknya para tahanan dari kalangan politikus (oposan
pemerintah Orba), dan kritikus, yang sangat berani menentang pemerintah Orde Baru
atau katakanlah mereka memperjuangkan kebenaran arti demokrasi. Hal ini
merupakan percontohan dari buruknya sistem demokrasi terpimpin pada saat itu,
serta berimbas buruk pula bagi pendidikan politik rakyat, dan jika tetap dibiarkan,
nantinya akan menjadi sangat buruk lagi dan menyalahi salah satu asas demokrasi,
yaitu, kebebasan berpendapat atau menuangkan pemikiran dan gagasan.
Adalah suatu ciri politik yang mengedepankan atau menjadikan demokrasi
sebagai pembungkus segala kebijakan pemerintah yang kotor, berbau ‘mob rule’4 dari segi hukum dan berstatus quo, berjalan hilir mudik dengan leluasanya di hadapan kita selama tiga dekade, dan sama sekali tidak ada pergerakan-pergerakan massa dari
2
Bakhtiar Effendy, “Islam Politik Pasca Soeharto di Indonesia”, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. V No. 2, 2003, hal. 2
3
Abu Zahra., (ed), Politik Demi Tuhan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-I, h. 133
4
kalangan apapun yang nyata dalam menentang sistem yang ada kala itu dengan
alasan-alasan yang sekiranya membungkam hasrat ingin bebas. Maka dengan
kebesaran Tuhanlah rezim tersebut tumbang dengan diawalinya kerusuhan di pusat
kota dan beberapa daerah lainnya, serta pergerakan seluruh mahasiswa Indonesia
pada tahun 19985 yang menduduki gedung MPR, serta memberikan petisi yang
bertujuan kepada perombakan sistem pemerintahan yang otoriter tersebut.
Para mahasiswa dengan semangat revolusi membawa bendera reformasi untuk
ditancapkan di sadapan sistem politik yang tidak merakyat itu sebagai aksi anti
otoriterianis, dan militeris, hingga pada klimaksnya penyerahan jabatan secara
“paksa” dari Presiden Soeharto kepada Bahrudin Jusuf Habibie atau akrab dengan
nama B.J. Habibie.
Seiring dengan masa transisi sistem politik Indonesia menuju Indonesia baru,
BJ. Habibie lengser dan kemudian kepada KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa
disapa Gus Dur, kemudian kepada Megawati Soekarno Putri,6 dan kemudian kepada
bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Peralihan itu pulalah -setelah masa pemerintah yang otoriter hilang- akan
tetap tercatat dalam sejarah perpolitikan Negara Indonesia, dan kemudian diganti
dengan era baru, sistem baru dan pejabat pemerintah yang baru pula, dengan harapan
mereka dapat memberikan sebuah wacana menuju Indonesia baru.
5
Bakhtiar Effendy, op. cit.,
6
Memang kita tidak dapat pungkiri pada masa pra Habibie, pra Gus Dur dan
pra Mega, kondisi Jakarta sangat stabil, makmur, dapat diakui nyaman, dan politik
nasional terbukti stabil7 dan juga pada saat itu Jakarta layak disebut dengan salah satu
penopang kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam segala bentuk kecemerlangan perekonomian dan ke-eksotikan sarana
yang ada di Jakarta sebagai metropolitan Indonesia. Namun, dibalik itu pula Jakarta
menyimpan kepedihan-kepedihan orang-orang yang hidup jauh dibelakang segala
pernak-pernik warna-warni lampu Jakarta. Khazanah kebudayaan setempat
seakan-akan tertutupi atau mungkin terlupseakan-akan dengan segala bentuk kemewahannya, belum
lagi kemiskinan dan kebodohan serta minimnya tingkat kepekaan sosial masyarakat
metropolis dalam memperhatikan orang-orang yang hidup di pelosok-pelosok kota
dan dibelakang megahnya hotel pencakar langit yang kekar dan berlantaikan marmer
yang mewah.
Fenomena di atas akan kita temui di Jakarta dan sering kali menjadi bahan
cemoohan orang-orang ‘berduit’, dan pedihnya lagi ternyata tempat yang kecil dan
terpinggirkan dari segala bentuk keeksotikan dan kemewahan kota Jakarta adalah
tempat warga asli Jakarta (Betawi) berdomisili serta meratapi nasib mereka yang
seakan-akan telah terasingkan di kota kelahirannya sendiri dengan segala
keterbalikan dari mewahnya dan megahnya gedung-gedung kota kelahiran mereka.
Tampaknya fenomena ini bukan saja warga asli Jakarta yang mengalaminya
seorang diri, namun nasib yang tragis ini juga dialami warga asli Papua misalnya,
7
suatu daerah yang kaya sekali akan emas, tembaga, dan batu besi, akan tetapi ironik
secara faktual jika penduduknya tidak sama sekali mengenal apa yang dinamakan
emas, tembaga, dan batu besi, dan juga mereka tiada merasakan hasil bumi yang
mereka miliki secara natural selama tiga puluh dua tahun pula.8
Pada masa Orde Baru wewenang pengelolaan dan penataan kota atau provinsi
masih dipegang secara sistemik oleh kebijakan pemerintah pusat, sehingga dapat
dikatakan pemerintah pusat sangat berwenang dalam mengintervensi kebijakan
pemerintah daerah dan juga dalam memberikan restu kepada orang yang
dikehendakinya, maka dengan itu pulalah kewenangan harus dituruti secara patuh dan
harus dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau
pemerintahan di tingkat provinsi, KH. Hasyim Muzadi (pasangan Megawati sebagai
calon wakil presiden 2004-2009) mengakui, bahwa pengamalan otonomi daerah
masih belum sepenuhnya dilakukan, maka dari itu proses demokrasi di tingkat daerah
masih sangat tragis, karena masih adanya intervensi yang sangat kuat dari pemerintah
pusat.9 Sebut saja kasus pencalonan Sutiyoso untuk gubernur DKI masa jabatan
1997-2002-2007.
Dalam tiga puluh dua tahun Jakarta tercatat sebagai salah satu provinsi dari 33
provinsi10 yang tersebar di negeri ini, disamping itu entah mengapa tercatat pula putra
daerahnya sendiri belum ada sama sekali yang merasakan bagaimana mengatur dan
8
WWW. Walhi. Or. id
9
Wawancara di ANTV jum’at malam 18-6-2004
10
mengelola kota kelahirannya dengan semangat dan rancangan-rancangan yang telah
mereka siapkan dalam membangun dan menjayakan kota kelahirannya. Hal ini terjadi
di sebabkan persoalan sumberdaya masyarakat Betawi yang masih rendah dan sikap
antipati mereka terhadap perkembangan politik dalam negeri.
Adalah dimensi waktu yang sangat begitu lama dan Jakarta telah mengalami
beberapa kali berulang tahun, dan sekarang ia telah berumur 477 tahun, maka
bersamaan dengan itu pulalah Jakarta diselingi beberapa pergantian kepala daerah
(gubernur) yang dipilih lima tahun sekali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
apalagi sekarang di abad reformasi dan telah ditetapkannya undang-undang otonomi
daerah nomor 22 tahun 199911 perihal pemerintahan daerah, dan realisasi dari
pengamalan undang-undang ini terhitung 1 Januari 2004 hingga sekarang yang masih
digarap oleh pemerintah daerah, ternyata semangat demokrasi dan reformasi masih
belum dapat dirasakan bagi kalangan warga Jakarta asli (Betawi) dan penduduk
minoritas Jakarta (migran).
Seharusnya dengan kesempatan itu dan atas nama semangat otonomi daerah,
adalah momen yang tepat untuk menampilkan putra daerah setempat menjadi kepala
rumahnya sendiri, yang mana rumahnya tersebut telah lama diberikan kepercayaanya
kepada tamu untuk memimpin rumahnya tersebut. Ini merupakan sifat ciri khas dari
kepribadian seorang Betawi yang selalu ‘well come’ atau ’ahlan wa sahlan’ terhadap tamunya, sebagai mana yang dikatakan oleh Cing Oji (47) begitu ia disapa:
11
“Orang Betawi itu orangnye Suka bergaul, jujur, terbuka, agamis, dan ’ahlan wa sahlan’ ame siape aje”12.
Sifat ini ternyata telah membuat mereka kebablasan karena telah terlalu lama
mempercayakan sesuatu pada orang lain, dan orang tersebut tidak mempunyai rasa
terima kasih terhadap mereka (orang Betawi). Sehingga pada kenyataanya, dalam
dekade waktu yang begitu lama dan Jakarta telah berumur sangat tua (477 tahun,
melebihi umur negara) tidak sama sekali putra daerah tersebut pernah mengalami
menjadi pemimpin rumahnya sendiri.
Fenomena di atas kalau kita cermati memang sangat tragis dan menjadi bahan
pertanyaan mengapa dan ada apa dengan sistem politik negara ini di abad reformasi,
dan juga sebagai bahan pekerjaan rumah bagi masyarakat Betawi dalam menyikapi
keadaan politik negara ini secara kritis, dan mencari teka-teki sistem pemerintahan
pusat, wa bil khusus pemerintahan daerah, dan lagi-lagi adalah suatu hal yang sangat
mustahil jika anak dari kepala rumah tangga diberikan kesempatan untuk memimpin
rumahnya sendiri ia enggan, jika kesempatan tersebut memang terbuka untuknya.
Suatu catatan penting pada pemilihan bakal calon gubernur 2002 (balon gubernur)
yang lalu, yang diselengarakan oleh pemerintah daerah Jakarta, dengan menggunakan
sistem yang selalu sama yaitu ‘MP’ (Musyawarah untuk Mufakat).
Permasalahan ini sangat mengecewakan, karena tidak ada transparansi politik
bagi para balon yang lainnya yang berasal dari putra daerah yang jauh lebih baik
mempunyai kridebilitas dan akuntabilitas publik maupun politik dimata masyarakat
12
lapisan bawah (grassroat people) maupun lapisan menengah dibanding Sutiyoso, adapun mereka yang mencalonkan di antaranya Prof. DR. Tuti Alawiyah, Drs.
Ridwan Saidi dan Dr. Abdur Razak, serta kawan-kawan Betawi lainnya, yang telah
sah mengikuti prosedur pencalonan balon Gubernur DKI. Hal ini membuat sebuah
pertanyaan yang sangat besar, dan pertanyaannya adalah, kemana aspirasi mayarakat
Betawi yang berjumlah 2 juta itu, yang pada umumnya mereka (masyarakat Betawi)
menginginkan putra daerah menjadi kepala daerahnya sendiri (Gubernur)?.
Memang kalau dilihat dari garis sejarah politik (political historis) sebelum dan sejak zaman Jendral Jan Pieterszon Coen (1619), orang-orang Betawi mengambil jarak yang sangat jauh dengan politik, upaya ini mereka ambil akibat tromatik politik mereka pada masa yang lalu, sehingga mereka mangambil sikap ‘disengegament’ terhadap politik, langkah seperti ini telah lama mereka lakukan karena kebencian mereka terhadap penjajah, (dalam hal ini adalah Belanda) dan dengan segala macam yang mereka bawa, seperti yang dikatakan oleh Haji Muhyidin (74), “Sampe belajar tulis eja itu di haromin ame orang tue dulu kite”. 13Hal ini masih berbekas disebagian orang-orang Betawi (pengikut aliran Nahdlatul Ulama), karena tulis eja itu berasal dari Belanda dan dianggap Kristen, maka menurut mereka haram untuk dipelajari. Transformasi pendidikan bacaan dan komunikasi pada kalangan orang Betawi saat itu adalah dengan mengunakan bahasa Melayu, adapun gaya tulisan yang mereka gunakan adalah dengan tulisan yang bercirikhaskan Arab Melayu, mengapa, karena menurut mereka sarana seperti inilah yang dianjurkan oleh agama.
Adapun karir politik masyarakat Betawi pada masa kolonial lebih sering
mengambil sikap oposan terhadap pemerintah berkuasa pada saat itu daripada ikut
bermain dalam politik kompeni, sikap ini juga didorong oleh farktor doktrin agama
yang mengharamkan mengikuti orang asing (non-Muslim) dan perintah taat kepada
aturan orang tua, karena sangsi yang akan mereka dapatkan ketika melawan aturan
orang tua adalah ‘kualat’.14
Dari rangkaian permasalahan yang telah diungkapkan diatas, khususnya
kondisi sistem politik pemerintah belakangan ini, serta melirik akan adanya
kemungkinan respon dari masyarakat Betawi sekarang atas sikap politik
13
H. Muhyidin, Sesepuh Betawi Senayan, WawancaraPribadi, Jakarta 3 september 2003
14
pemerintahnya, dan sebagaimana lumrah kita ketahui dalam pola sistem politik akan
adanya input, proses, serta output yang pada akhirnya menghasilkan sebuah umpan
balik. Maka dari itu penulis merasa tertarik dengan dilema politik yang terjadi dan
mencoba mengangkatnya dalam sebuah skripsi, dengan harapan dapat membuka
cakrawala pengetahuan politik masyarakat Betawi pada khususnya dan masyarakat
Jakarta pada umumnya diera reformasi dan demokrasi ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi pelebaran masalah dalam kajian penelitan politik ini, maka
penulis membatasi masalah politik yang hanya dialami oleh masyarakat Betawi. Serta
dibatasi pula masalah tersebut setelah atau pasca keruntuhan presiden Soeharto pada
tahun 1999 hingga sekarang. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat Betawi
adalah masyarakat dengan jumlah populitas tertentu yang telah sangat lama menetap
di Betawi (kota Jakarta), sehingga mereka mempunyai garis keturunan lebih dari lima
generasi, dan mereka juga mempunyai karakteristik budaya, bahasa, dan ciri khas
tersendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pemikiran politik disini adalah sangat
luas penafsirannya, namun penulis membatasi kepada pemikiran politik yang
bernuansa islami yang sejak lama ada pada diri dan benak pikiran masyarakat Betawi.
Masalah penelitian yang diangkat penulis dalam skripsi ini adalah pemikiran
politik masyarakat Betawi pasca ‘rezim Soeharto’. Masalah tersebut dirangkum dan dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa langkah-langka politik yang akan mereka ambil diera
reformasi dan keterbukaan ini setelah hampir 32 tahun tidak
pernah diberikan kesempatan.
2. Sejauh mana interes masyarakat Betawi terhadap perkembangan
politik setelah tumbangnya rezim Soeharto.
3. Apakah mungkin masyarakat Betawi sangat agresif terhadap
politik setelah runtuhnya rezim otoriter atau malah sebaliknya.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan skipsi
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui corak dan pemikiran atau penafsiran politik dalam
persepsi masyarakat Betawi.
2. Untuk mengetahui apakah ada gerakan pemikiran dan pergerakan
politik masyarakat Betawi setelah pemerintahan otoriter musnah.
3. Mengevaluasi pergerakan politik masyarakat Betawi secara jeneral,
atau apa yang telah dilakukan masyarakat Betawi dalam kaitannya
4. Untuk mengetahui apakah sepenuhnya apakah masyarakat Betawi
mempunyai keinginan dalam berpolitik praktis.
5. Untuk memberikan sebagian pengalaman dari penelitian ini kepada
masyarakat umum dan mahasiswa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan (input) bagi kegiatan-kegiatan akademik yang berkenaan dengan pemikiran politik kesukuan atau
kedaerahan di Indonesia. Selain itu juga penelitian ini bermanfaat sebagai masukan
penting yang bersifat ilmiyah, dan juga sebagai sumbangsih untuk masyarakat Jakarta
umumnya dan masyarakat Betawi pada khususnya, guna dijadikan sebagai salah satu
bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang mengangkat masalah dibidang
pemikiran politik.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian pemikiran politik masyarakat Betawi pasca rezim Soeharto ini, penulis menggunakan arah dan metode serta sasaran yang jelas, maka diperlukan beberapa metode yang mendukung penelitian ini antara lain:
1.Metode Diskriftif
Untuk mencapai tujuan dari penulisan ini maksud penulis melakukan langkah
langkah sebagai berikut, antara lain:
b. Mengumpulkan informasi secara aktual dan rinci yang berkenaan
dengan situasi yang ada.
c. Mengindentifikasi masalah atau melakukan pemeriksaan secara
d. Mencermati sikap masyarakat Betawi terhadap masalah politik yang
sedang terjadi, dan belajar dari pengalaman mereka yang menerapkan
rencana-rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
2.Metode Pengumpulan Data
1. Library Research (penelitian kepustakaan), yang digunakan untuk memperoleh data-data sekunder melalui:
a. Leteratur-leteratur tentang keBetawian yang berkaitan erat dengan
topik permasalahan.
b. Data perkembangan masyarakat Betawi yang diperoleh dari dirjen
lembaga kebudayaan Betawi (LKB) dan organisasi pusat masyarakat
Betawi (Bamus Betawi)
2. Field Reseach (penelitian lapangan), yang akan memperkuat data-data sekunder berikutnya, melalui:
a. Wawancara dengan para politikus Betawi.
b. Wawancara dengan para tokoh, sesepuh, dan ulama besar Betawi.
c. Wawancara dengan masyarakat Betawi lapisan bawah.
d. Wawancara dengan tokoh organisasi-organisasi Betawi.
BAB I
Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Latar belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
BAB II
Landasan Teori
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Pengertian Politik.
Pengertian Betawi secara umum, Penafsiaran politik dalam
pemikiran orang Betawi, Manajemen dan Sistem pemikiran
politik orang Betawi, Faktor-faktor yang mendorong
Masyarakat Betawi berpolitik.
BAB III
Diskripsi Betawi
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Sejarah singkat lahirnya
komunitas Betawi, Sejarah singkat kota Jakarta,
organisasi-organisasi yang mewadahi pemikiran politik masyarakat
Betawi.
BAB IV Analisa dan Pembahasan
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Arah atau pola pikir
masyarakat Betawi terhadap politik pemerintah daerah maupun
pusat, perkembangan pengaruh mitos doktrin agama terhadap
pemikiran politik masyarakat Betawi, Track record politik
pasca Soeharto, Analisa dan Evaluasi politik masyarakat
Betawi dalam membangkitkan semangan pendidikan politik
dan perjuangan semangat kebangsaan.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini akan disajikan kesimpulan dari pembahasan
pada bab-bab sebelumnya. Juga di dalamnya memuat
saran-saran yang kiranya bermanfaat umumnya bagi bangsa
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Politik
1. Pengertian Politik Secara Bahasa dan Istilah
Dalam suatu kajian pemikiran apalagi yang berkenaan dengan kajian pemikiran
ilmiyah yang bersifat kualitatif deskriptif, yaitu suatu kajian yang didalamnya
membutuhkan prangkat seperti wawancara, laporan penelitian kutipan-kutipan data
yang didalamnya mencangkup penegertian-pengertian tentang data yang dapat
memperkuat penelitian tersebut.15 Seperti pemikiran politik masyarakat Betawi pasca
rezim Soeharto dengan landasan kajian sosial kemasyarakatan16, dan salah satu dari
pendukung kajian tersebut diperlukannya pengertian-pengertian yang kiranya dapat
mepermudah suatu kajian tersebut agar tidak melebar atau salah dalam melakukan
suatu penafsiran dan penjabarannya ketika kita kolerasikan dengan kajian tersebut.
Dengan adanya pengertian, maka kiranya telah dapat memberikan gambaran yang
menjurus dan terfokus kepada pokok yang akan dipermasalahkan atau dikaji.
Seperti yang kita ketahui bahwa kata politik berasal dari kata ‘polis’, yang berarti masyarakat kota, seperti apa yang telah diungkapkan oleh Plato
(429-347).17Pengertian ini adalah dasar dari pengertian ilmu politik secara bahasa, adapun
ilmu politik dalam istilanya adalah suatu ilmu yang mempelajari sistem (susunan),
15
Ahmad Sonhadji, Bahan-Bahan Kuliah Metode Penelitian, (Malang: Universitas Islam Malang), h. 3
16
Ahmad Sonhadji. Ibid., h. 2
17
bentuk, dan proses pembentukan suatu Negara dan pemerintahan (“The study of formation, form and processes of states and governments”). 18
Dalam diri politik dibutuhkan adanya suatu susunan negara yang sistemik dan
kongkrit, dan masyarakat kota (polis) hadir menjadi satu kesatuan di dalamnya, dan fungsi dari susunan yang sistemik tersebut adalah untuk mengatur kehidupan
masyarakat kota menuju kehidupan yang teratur dan sejahtera di dalam Negara.
Tentunya hal ini tidaklah dapat berjalan secara natural begitu saja, apabila, menurut
pandangan Plato, tidak didukung oleh adanya perangkat hokum yang jelas, baik
hukum secara yuridis maupun dalam pandangan normative,19 seperti etika bergaul
antara individu dengan individu yang lain atau individu dengan kelompok, bahkan
kelompok dengan individu, oleh karenanya hukum disini yang berguna lebih spesifik
dan esensial dalam mengatur kehidupan masyarakat kota tersebut, dan hukum
tersebut juga dapat dikatakan sebagai bagian dari politik.
Berbeda orang berbeda pula keyakinanya, adalah Aristoteles (384-322) murid
Plato yang mempunyai perbedaan keyakinan dalam hal yang berkenaan dengan
penafsiaran politik, pandangannya tentang politik meyakinkan bahwa:
“Manusia adalah makhluk politik (zoon politikon) …yang dapat mencapai kesempurnaan hanya didalam masyarakat dan negara.20
Tentunya hal ini harus dibubuhi oleh pandangan Plato yang telah menerangkan pengertian dari politik atau polis (masyarakat kota), namun Aristoteles lebih menekankan kepada adanya kekuatan supremasi hukum, yang menurutnya di dalam suatu negara entah itu menganut sistem demokrasi, otokrasi ataupun yang lainnya, hukum tetap yang harus
18
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), cet ke-I, h. 19
19
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Ibid., h. 7-9
20
diletakkan di atas segala-galanya, karena dengan tegaknya atau minimal dengan adanya aturan-aturan, maka masyarakat kota akan dapat tertib dalam melakukan segala aktifitasnya.21
Jika kita tarik sebuah pengertian dari kedua pemikir besar politik di atas menjadi sebagai berikut, bahwa pernyataan Plato sang guru yang telah menggambarkan suatu susunan yang sistemik yang tentunya ada hanya dalam suatu negara, dan sedangkan Aristoteles sang murid mengatakan tentang pentingnya prilaku hubungan masyarakat dengan mentaati hukum (konstitusi) yang berlaku sebagai aksi politik mereka terhadap negara. Maka dalam pengertian inilah politik mempunyai arti yang sangat signifikan, yang berguna sebagai pengabadikan masyarakat kota terhadap Negara.
Seiring dengan perkembangan pemikiran dan terjadinya pengalaman-pengalaman yang menyatakan suatu yang ambivelen (perbedaan pengertian politik dan pelaksanaan atau aksi politik) terhadap padangan dasar politik menurut Plato dan Aristoteles di atas, maka adalah kemungkinan besar di sini suatu ilmu yang mempunyai sifat bebas nilai menjadi mempunyai nilai. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat perubahan pola pikir manusia yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang bersifat individualis, matrealis dan semu daripada pemikiran yang universal (masalahah jam’I), dan abadi. Perilaku ini medorong akan pengertian persamaan arti politik dengan kepentingan, yang pada akhirnya terjadi suatu kebiasaan yang telah membudaya dalam politik, yaitu budaya mempreoritaskan kepentingan daripada persahabatan dan kemaslahatan antara para pelaku politik, sehingga timbul sebuah persepsi yang menyatakan: “di dalam politik ada kawan abadi ataupun musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Pandangan ini adalah pandangan politik jahiliyah.22
Pada era kekinian pengertian politik yang seperti diungkapkan di ataslah (tidak ada kawan abadi atau musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi) yang berlaku, pengertian yang bertumpu pada perinsip-prinsip dasar moral sebagaimana yang telah dititahkan para pendahulu politik tidak lagi diindahkan oleh para aktor politik pada masa modern. 2. Pengertian Politik Modern
Mayoritas ahli politik kekinian berpendapat bahwa politik adalah ilmu tentang kekuasaan,23 hal ini merupakan tujuan baku
(objek formal) dari politik, dan pandangan yang seperti ini menurut Maurice Duverger, politik mempunyai satu keunggulan yang lebih mendasar dibandingkan dengan ilmu yang lainnya, yaitu karena ia lebih operasional.24
Pandangan Maurice Duverger ini merupakan salah satu dari pengertian-pengertian politik yang secara langsung melegalkan politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, bagaimana tidak, jika ada sesuatu kendaraan dalam meraih kekuasaan, baik dengan suatu tindakan yang bermoral, ataupun kotor sekalipun, yang penting disini adalah keabsahan dan legalitas menuju kepentingan tersebut dan kekuasaan, mengapa tidak digunakan.
Dalam pengertian yang lebih moderat yang lebih menjurus kepada esensi dan eksistensi dari politik tersebut adalah pandangan Edward Hallet Carr dalam tulisannya yang diberi judul ‘Awal Mula Ilmu Politik dan Ilmu Internasional’ menerangkan:25
“Keinginan mengobati penyakit dalam tubuh politik memberi dorongan dan inspisrasi pada ilmu politik. “Kehendak melahirkan pemikiran” adalah permulaan manusia yang berfikir secara normal.
…Ilmu politik adalah ilmu yang tidak hanya bertaya apakah ini apakah itu, apakah yang seharusnya berlaku”
pandangan ini telah menggambarkan suatu objek atau sasaran yang seharusnya dari politik itu sendiri seperti apa yang dikatakan Aristo teles: “Apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan”,26 dan juga didalamnya tersiratkan
norma-norma yang seharusnya berlaku, dalam artian, ketika sesuatu komunitas masyarakat tidak menghendaki adanya sistem politik yang kotor yang mengeruk kekuasaan secara otoriter dan radikal, maka hal tersebut adalah wajib dijauhkan karena tidak sesuai dengan apa yang seharusnya berlaku pada masyarakat tersebut, atau dengan kata lain adanya kontrak sosial antara para politikus dan masyarakat sebagai penghantar kedepan roda pemerintahan.
Pada kalangan bangsa Arab politik dikenal dengan nama As-Siyasy yang dalam pengertiannya menurut Dr. Syaukat Muhammad I’liyan adalah bentuk kata masdar (sandaran) yang menunjukkan kepada suatu pekerjaan, contohnya, “telah
21
Deliar Noer. Ibid., h. 32
22
Nurcholis Majid, (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) cet. ke-3, h. 125-127
23
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Daniel Dhakidae, trej, (Jakarta: PT GajaGrafindo Persada, 1996), cet. ke-V, h. VIII
24
Maurice Duverger. Ibid. 25
Frans Bona Sihombing, (ed), Ilmu Politik Internasional, (Teori, konsep, dan Sistem), (Jakarta: Ghahlia Indonesia, 1984), cet. ke-II, h.14
26
memimpin seorang pemimpin akan yang dipimpin” (rakyat),27 (pengertian Dr. Syaukat sepertinya menyerupai Edward
Hallet Carr) tidak hanya pada kata dasar dari arti politik saja, disamping itu politik menurut pandangannya menjadi tiga bagian yaitu, pertama politik konstitusi, artinya didalam politik ini terdapat ruang untuk menentukan bentuk hukum yang kemudian diikat dengan kekuasaan politik. Yang kedua implementasi politik yang mempunyai hubungan dengan pelaksanaan politik, dan yang terakhir adalah kebijakan politik, yakni suatu kesimpulan dalam menjatuhkan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang akan sampai kepada rakyat.
Pengertian Dr. Syaukat ini dapat pula disebut dengan pola sistem politik, yang mengandung di dalamnya Input, Proses, dan Output yang akan pada akhirnya menjadi umpan balik atas input tersebut. Dalam suatu Negara input ini sering diartikan dengan masyarakat, organisasi, dan lembaga swadaya atau yang sejenisnya, yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud dengan proses adalah para wakil rakyat yang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat, dan dari merekalah keluar suatu output atau yang sering diartikan sebagai kebijakan (policy) yang akan dikembalikan kepada peng-input tadi.
Disamping itu pula As-Siyasy mempunyai pengertian lain, seperti dalam pandangan As Syekh Abdurrahman Taaj,28
“ As-Siyasah (politik) adalah suatu nama dari perangkat-perangkat hukum, dan juga ia sebagai implementasi dari palaksanaan hukum itu sendiri, yang mengatur rakyat dalam aturan-aturannya (konstitusi politik) dan denganjalanya (kebijakan politik), serta pelaksanaan putusan hukuman itu sendiri (output), dan didalam kekuasaannya (politik) melakukan terobosan-terobosan dan keparlemenan, terobosan yang dimaksud adalah berhubungan dengan politik luar negeri yang secara dengan sendirinya telah mengikatnya demi kepentingan-kepentingan umat (rakyat)”.
Pengertiaan politik seperti ini yang sering dipakai oleh negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Iran, Saudi Arabia, Kuwait, dan Sudan era kekinian walupun ngara tersebut tidak menjalankan sistem demokrasi yang sedang marak sekarang ini29, dimana didalam kontitusi negara ini selalu mengedepankan kemaslahatan kepada ummat daripada kepentingan
pribadinya, sebagaimanna dikatakan oleh agama Islam, “kepentingan bersama harus dikedepankan dari pada kepentingan pribadi”30.
Selain itu tututan dalam menjalankan syariat agama Islam, salah satunya dengan menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara-negara muslim di Timur Tengah ini merupakan salah satu kewajiban politik, sebagai amanah dari Tuhan. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barang siapa yang tidak menggunakan kitab Allah sebagai landasan konstitusi (hukum), maka mereka adalah orang-orang yang kafir, zhalim, fasik”(Qs. Al-Maidah; 47,48,50)31
Dari penegertian-pengertian politik yang telah diungkapkan oleh para pemikir politik baik dari Barat maupun Timur diatas, maka kita dapat mengambil bahan keterangan yang jelas yang berguna nantinya sebagai bahan pijakan dalam kajian ini, yang tentunya kita dapat mengerti setelah mendapatkan lawan32 pemahaman dari para pemikir politik diatas, ada pemikir
yang mengartikan politik sebagai kepentingan pribadi dan ada juga pemikir yang mengedepankan kepentingan umum, walaupun dari masing-masing pemikir mempunyai landasan yang kuat.
Berbagai pengertian yang telah dikemukakan para ahli politik modern Barat maupun Timur di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, yaitu, pertama politik sebagai alat menuju kekuasaan yang legal, dengan cara memaksa atau tidak dalam pengoprasiannya, dan yang kedua sebagai hukum yang sistemik yang berguna untuk mengatur dan mengajarkan kehidupan manusia dengan manusia yang lainnya dalam suatu negara, atau manusia dengan negara itu sendiri, hal ini berguna agar dapat saling berinteraksi menuju kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi,33 ini yang membedakan
kehidupan manusia dengan makhluk lainnya, yang telah menjalankan kehidupannya sesuai fitrah34 sebagaimana yang telah
digariskan oleh Tuhan. Pengertian politik dalam dua kesimpulan diatas menurut penulis adalah menjadikan makna politik menjadi balans, karena kekuasaan tanpa dibekali dengan sistem yang jelas, maka kekuasaan tersebut akan menjadi brutal
27
Syaukat Muhammad I’liyan, An-Nizam As-Siyasi Fil Islam, (Riyad: Jami’ Hukuk Mahfuzhat lil Mualif), h.7
28
Syaukat Muhammad I’liyan. Ibid. 29
Ramlan Surbakti, op. cit., h. 231
30
Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (SA’ADIYAH PUTRA: Jakarta), h. 16
31
Ahmad Bin Hasan At Thabarih, Fathur Rahman, Lithalibat Ayatil al-Qur’an, (Bairut: Al Mathba’ah Ahliyah, 1323), h. 112
32
Muhdhor Achmad, Ilmu dan Keinginan Tahu, (Epistemologi dalam Filsafat), (Bandung: TRIGENDA KARYA, 1994), cet. I, h. 23
33
Nurcholis Majid, (ed), op. cit., h. 124-125
34
dan otoriter, sebaliknya sistem yang jelas tanpa didorong dengan kekuasaan tidak akan berjalan, 35 maka ia akan menjadi
isapan jempol belaka.
B. Pengertian, Asal Usul Kata Serta Kebudayaan Betawi
1. Pengertian Betawi
Kalau kita melihat masyarakat Jakarta dalam perpektif nasional, maka penduduk Jakarta secara keseluruhan merupakan orang Betawi, namun jika ditarik kedalam perspektif kultural, maka orang Betawi adalah orang dengan jumlah tertentu yang memiliki norma, sistem sosial, dan tingkah laku tersendiri, dan tentunya mereka telah lama menetap di Jakarta. Adapun Betawi dalam pandangan politikus besar Betawi Dr. H. Amrullah Asbah:36
“Orang dapat dikatakan sebagai orang Betawi jika ia lama hidup di Betawi (jabotabek) dan tidak bisa berbahasa kecuali bahasa Betawi, selain itu ia konsisten dengan betawinya, artinya jika ia mengadakan acara seperti perkawinan, maka acara tersebut diselenggarakan dengan menggunakan adat Betawi.”
Betawi adalah suku asli yang menempati pertama kalinya kota Jakarta atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Sunda kelapa. Suku Betawi juga termasuk suku tertua yang ada di negeri ini, jadi mereka bukanlah suku yang baru-baru saja muncul atau istilah Bang Ridwan Saidi adalah, ‘suku yang tulangnya masih muda’.37
Suku Betawi ini pada mulanya adalah suatu suku yang kehidupannya hanya mengandalkan persaudaraan sesama mereka saja (eksplisit), --Maka tidak heran kalau di kampung-kampung yang ada di Jakarta ini terdapat masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih mempunyai hubungan darah (famili), seperti kaum Betawi di jalan Senopati (Senayan)-- artinya mereka sangat tertutup terhadap pendatang, khususnya terhadap penjajah dan dengan apa yang mereka (penjajah) bawa. Ini disebabkan karena mereka mengalami ‘political disengegament’ terhadap keadaan politik, dan hal ini pulalah yang menyebabkan mereka egaliter dan terbuka dengan siapa saja (lihat kondisi suku Betawi kontemporer), namun tidak untuk apa saja.
Pada dasarnya mereka mepunyai sikap egaliter yang tinggi terhadap sesama, hal ini didasari kuat oleh nilai-nilai agama, selain itu juga sikap ini timbul disebabkan Jakarta (kekinian) telah dihuni oleh beragam etnis. Maka dengan nilai-nilai agamalah yang menjadi pegangan yang kuat, masyarakat Betawi dapat memilah-milah mana yang mubah menurut agama, dan mana yang diharamkan agama.
Keeksplisitan mereka ternyata tidak lagi mereka gunakan, terutama sejak proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan di negara Indonesia pada tahun 1945, Maka seiring dengan itu kaum Betawi membaur dengan para pendatang, pembauran tersebut terjadi semata-mata mengatasnamakan persaudaraan sesama manusia, apalagi sesama muslim, sebagaimana yang dianjurkan oleh agama mereka (suku Betawi). Untuk lebih dalam lagi kita mengenal Betawi, maka alangkah baiknya jika Betawi ini diberikan suatu pengertian, sebagaimana pemberian pengertian kepada kata politik yang telah lalu diatas, supaya tidak terjadi penerangan yang keliru terhadap asal-usul Betawi yang sekarang banyak disalahkaprahkan pengertiannya.
2. Asal Usul Kata Betawi
Banyak orang yang memberikan persepsi kata Betawi, salah satunya menyatakan bahwa kata Betawi, katanya, diambil dari kata Batavia yang bertepatan dengan masuknya para kompeni dan budak-budak bawaan Jendral Jan Pieterszon Coen (30 Mei 1619) ke Sunda kelapa,38 pengertian kata Betawi seperti ini merupakan kekeliruan data sejarah yang sangat besar.
Menurut sejarawan sekaligus pemikir politik Betawi Drs. Ridwan Saidi, menerangkan, bahwa penamaan Betawi itu sudah muncul jauh sebelum Jendral Jan Pieterszon Coen 1619 hadir ditanah Jakarta dan berambisi untuk membangun kota, maka dengan kemunculan Pieterszon Coen Jakarta dinamakan olehnya dengan nama Batavia.
Menurut Dr. H. Amrullah Asbah:
35
Basofi Sudirman, Lepas Malam, (Jakarta: TRANS TV, 13-10-04)
36
Amrullah Asbah, WawancaraPribadi, Jakarta 28 Desember 2004
37
Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya,
(Jakarta: PT. Gunara Kata, 2004), cet. Ke-4. h. vii
38
“Menurut sejarahnya kata betawi diambil kata Fatawi, dimana fatawi ini adalah nama dari suatu golongan (kaum) yang terdiri dari 40 orang, orang-orang ini adalah para pembawa fatwa dari panglima Fatahilah, dari 40 orang ini dibagi menjadi lima bagian yang mana pembagian tersebut sesuai dengan proporsi keahlian mereka. Ada ahli setrategi, alhi politik, mata-mata, ekonomi, dan agama.
Mereka manyatakan diri mereka senagai kaum fatawi, orang betawi menyebutnya dengan kaum betawi, dengan mengubah fa’ menjadi be’.”
Kalau melihat sumber dari sejarawan Jawa Raden Arya Sastradarma yang pernah meneliti sejarah Jakarta mengatakan: 39
“…orang-orang ini (Betawi) sejak 1865 telah menamakan dirinnya sebagai orang Betawi bercampur dengan sebutan orang selam. Tetapi penyebutan nama selam ini telah lama tidak dipakai oleh orang Betawi sendiri…”
sebelum adanya penamaan Betawi 1865 orang-orang melayu (Muslim) Jakarta
mempunyai sebutan khusus dari para pendatang, baik orang Cina, Arab, bahkan
Eropa sekalipun mereka menyebut orang-orang Melayu Jakarta ini dengan sebutan
orang selam, mengapa mereka disebut dengan nama selam, karena para kaum Melayu
Jakarta ini kebanyakan memeluk agama Islam. Kata selam sendiri diambil dari kata
Islam, penamaan ini masih mereka pakai sampai kira-kira awal abad ke-19, dan
setelah itu mereka orang-orang Betawi lebih sering menyebut mereka sebagai orang
Betawi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Yasmine Zaki Shahab dalam kutipan artikel
yang berjudul ‘ Betawi Dalam Jumlah Dan Permasalahannya’, menegaskan bahwa:
“Kepopuleran istilah Betawi sangat tinggi pada tahun 1970-an hingga sekarang, dan pada umumnya mereka menyebut diri mereka sebagai orang Betawi. Sebelum ini, penduduk asli Jakarta mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu”
begitu pula ulama-ulama dan keturunan-keturunan Betawi, yang pada umumnya
mereka lebih suka menamai akhir dari nama mereka dengan Betawi daripada selam.
Betawi dalam tulisan arabnya al-Batawi, dengan mengubah penyebutan huruf ‘T’
dalam bahasa Indonesia dengan ‘Ta’ (huruf Arab) didalam penulisan dan
39
penyebutannya, yang sering dipergunakan oleh ulama-ulama Betawi sebagai nama
akhir mereka. Seperti Mu’alim Marzuki al-Batawi dan Syeik Junaid al-Batawi.
Melihat dari alur faktual dan kultural orang Betawi yang sangat kesukuan
(kuat dengan nama Betawinya) dan agamis, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
akan penamaan Betawi, bahwa penamaan Betawi ini muncul bukan karena kota
Batavia (Jakarta) yang dinamakan oleh orang Belanda, melihat kebencian mereka
terhadap para penjajah dan sikap keeksplisitan mereka dan juga mereka membenci
dengan apa yang dibawa oleh Belanda, atau pengaruh yang lainnya. Akan tetapi
penamaan tersebut muncul akibat konsensus yang berjalan begitu saja yang tentunya
mempunyai kaitan dengan sikap nasionalaisme dan agama yang mereka anut.
3.Kebudayaan Betawi
Warna dasar budaya Betawi adalah budaya Melayu tetapi karena letak
geografisnya di kelilingi budaya Jawa Barat, maka pengaruh daerah tersebut cukup
dominan (lihat Banjarmasin Pos, 14 Juli 1986). Selanjutnya budaya Betawi banyak juga dipengaruhi budaya Jawa yang dapat dilihat dari adanya berbagai jenis kesenian
wayang. Budaya-budaya lain yang juga mempengaruhi budaya Betawi adalah budaya
Bali, Bugis, Cina, Arab dan Eropa. Pengaruh dari budaya-budaya tersebut dapat
disaksikan pada bentuk-bentuk kesenian Betawi seperti topeng, lenong, tanjidor,
rebana dan lain-lain (Dinas Kebudayaan DKI, 1995).
kebudayan Betawi dalan hal seperti ini sering disebut dengan kebudayaan
dari para imigran yang datang ke negeri mereka, baik imigran Arab, Cina, Bugis
(Bali), ataupun Eropa seperti yang diungkap diatas. Atas dasar demikian mereka
mencampur-baurkan kebudayaan para imigran menjadi kebudayaan Betawi, yang
tentunya pengadopsian tersebut tidak secara penuh artinya hanya setengah-setengah.
Akulturasi budaya orang-orang Betawi ini sangat intens sekali hingga Batavia
berubah nama menjadi Jakarta.40 Hal tersebut terjadi karena orang Betawi tidak
mempunyai raja, senopati atau yang lain sebagainya, dan juga disebabkan mereka
tidak mepunyai ‘lenskip’ atau kraton yang menjadi ‘base’ otoritas kebudayaanya,41
tidak seperti orang keturunan kerajaan Majapait, Demak, Cirebon atau Keraton.
Akibat dari pengadopsian yang setengah-setengah dan mereka tidak
mempunyai Istana kerajaan tertentu, pada akhirnya orang Betawi
berbondong-bondong menjadikan Islam sebagai leanskip kebudayaan mereka, manakala
kebudayaan tersebut tidak sesuai dengan khazanah Islam, maka orang Betawi
meninggalkannya dengan segera.42
Selain itu pula orang Betawi tidak mengenal akan adanya klasifikasi sosial,
priayi atau abangan, atau strata sosial seperti orang hindu, lagi-lagi gambaran derajat
kemanusiaan yang dianggap terhormat yang ada dalam kehidupan orang Betawi
adalah agama dan keterampilan ‘maen pukul’43 (seni beladiri Betawi) seseorang.
40
Ridwan Saidi. Ibid., h. 165
41
Muhammad Rafiudin, “Ulama dan Kepemimpinan Politik Tinjauan Praktek Politik KH. Zainuddin MZ”, Skipsi S1, (UIN Jakarta, 2004), h. 13-14
42
Yasmine Zaki Shahab,”Lenong”, Jurnal Betawi Media Komunikasi Social Budaya. No. 1/Januari 2002, op. cit., h. 23
43
Ketika seseorang telah memahami agama secara baik, maka ia akan mempunyai
kedudukan yang terhormat dimata masyarakat Betawi, begitu juga orang yang
mempunyai keterampilan maen pukul sampai-sampai tidak ada tandingannya juga
disegani oleh orang Betawi44, ini adalah model kepemimpinan masyarakat Betawi
yang masih tetap terjaga hingga hari ini.
4.Kriteria Betawi dan Orang Betawi.
Bamus BETAWI sebagai landasan besar organisasi Betawi yang didirikan
pada tanggal 22 juni tahun 1982, telah menyepakati pengertian Betawi yang
terangkum dalam angaran dasar dan rumah tangga organisasi tersebut (AD/ART
Badan Musyawarah Masyarakat Betawi).
Dalam AD/ART Bamus BETAWI BAB V KEMASYARAKATAN DAN
KRITERIA BETAWI, pada pasal 8 tentang kemasyarakatan di jelaskan, bahwa
pengertian Betawi adalah:
“Penduduk inti kota Jakarta yang hidup secara turun temurun serta memiliki karakteristik kebudayaan sendiri (kebudayaan Betawi)”.
Maka dari itu jelas sudah siapa dan apa yang disebut dengan Betawi, oleh
karenanya penamaan dan justifikasi Betawi yang keliru telah dapat diluruskan dengan
pengertian dan keterangan Betawi dari segi historis dan kultur mereka yang telah di
ungkapkan penulis diatas.
Pada pasal berikutnya berkaitan dengan kemasayarakatan dan kriteria orang
Betawi. Sebagai mana yang telah dirapatkan Bamus Betawi prihal masyarakat dan
44
kriteria orang Betawi, maka Bamus Betawi memutuskan kriteria orang Betawi
menjadi sebagai berikut:45
1. Keturunan Betawi asli (Bapak atau Ibunya orang Betawi).
2. Salah satu Orang tua (Bapak/Ibu) atau (Kakek/Nenek) keturunan
Betawi.
3. Lahir di Jakarta dan sekitarnya.
4. Orang yang peduli dan rela mengabdikan dirinya untuk masyarakat
Betawi (termasuk suku lain yang lahir di Betawi).
5. Orang yang berjasa dan bermanfaat bagi orang Betawi (di sini
termasuk pula para gubernur yang pernah dan sedang memerintah Jakarta).
6. Orang yang mengakui dan diakui oleh masyarakat atau ormas Betawi
sebagai orang Betawi.
7. Mengakui dan menerima budaya Betawi serta melestarikanya.
Keputusan yang telah dibuat oleh Bamus Betawi yang tertuangkan dalam AD/
ART-nya diatas adalah merupakan pengertian Betawi dan pengertian orang betawi
bukan dilihat dari aspek nasionalaisme, namun Bamus melihatnya dari aspek kultural
yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat Betawi yang tersebar di kota Jakarta
dan sekitarnya. Kemungkinan besar dari kesepakatan tersebut adalah merupakan
lisensi sebuah keabsahan pengertian Betawi dan orang Betawi secara mutlak dan
tidak dapat diganggu gugat.
C. Penafsiran Politik Menurut Orang Betawi
Penafsiaran politik yang berkembang pada umumnya adalah menyatakan
bahwa politik adalah ilmu tentang sistem kenegaraan dan pemerintahan46 atau:47
45
Sumber Bamus BETAWI Gedung CIK’S Jl. Cikini Raya No 84-86, Jakarta Pusat. AD/ART Badan Musyawarah Masyarakat Betawi 2002
46
Inu Kencana Syafiie, op. cit., 47
“Politik dalam pengertiannya terkandung tujuan dan etika masyarakat yang jelas. Berpolitik bicara atau membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama.”
Gambaran ini tentulah bersumberkan dari pelbagai buku dan sedikit dimuatkan di
dalamnya pengamatan-pengamatan di lapangan yang ada. Sedangkan politik dalam
penafsiran orang betawi lebih banyak kepada pengetian politik sebagai aksi, salah
satunya sebagaimana yang diutarakan oleh sesepuh kaum Betawi Rempoa Cing Oji
(46) begitu dia disapa kalangan pemuda Rempoa dan jalan Limo Cinere.
Dalam benak pikiran Cing Oji, dia menafsirkan bahwa politik itu, upaya
mendapatkan sesuatu, atau dalam bahasa Betawinya sering dibilang ‘orang nyang
mikirin jeroan perutnye (kepentingan dunyawi) ame kelompoknye aje’, artinya ketika
seseorang terjun kedalam dunia politik, maka pastinya ia akan berusaha mendapatkan
apa yang ia inginkan supaya isi kepentingan dunianya terpenuhi, dan politik
menurutnya salah satu wadah yang dapat mengabulkan kepentingan duniawi.
Penafsiran politik Cing Oji ini lebih kepada praktik-praktik politik praktis
para kaum elit (aksi poltik), sehingga praktik tersebut dirasakan oleh Cing Oji.
Tentunya penafsiran Cing Oji berbeda dari penafsiaran politik sebagai ilmu
Adapaun politik menurut penafsiaran Haji Zayadi Musa (53),48 berdasarkan
kepada hasil pengamatan beliau semasa menjabat sebagai anggota DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah) fraksi PPP, adalah sebagai berikut:
“Politik adalah suatu metode “membunuh atau dibunuh”, dalam artian, ketika seseorang berkecimpung kedalam dunia politik maka ia harus membenamkan segala kepentingan yang tidak sangat penting untuk pribadinya dan kelompok, dan kepentingan pribadi serta kelompok -yang sekarang terreplesentasikan dengan sebuah partai- harus ada dan harus diutamakan dari pada kepentingan yang lainnya,…
…disinilah kotornya politik, dan disini pulalah metode membunuh atau dibunuh itu bermain, (walaupun sesama orang Betawi) akan tetapi sekalipun politik itu kotor dan kejam, saya mau tidak mau harus dijalani karena sistem dan aturannya sudah begitu”.
Uraian H. Zayadi ini adalah sebuah kenyataan politik yang ia alami ketika
anggota parlemen daerah ingin memutuskan suatu kebijakan yang berkenaan dengan
permasalahan daerah, dalam hal ini masalah-masalah yang berada di Jakarta, dan
terlebih lagi pada saat terjadinya proses pemilihan gubernur DKI. 2002-2007 yang
telah berlalu, sehingga putra daerah yang mencalonkan sebagai balon Gubernur
2002-2007 terlululantahkan begitu saja akibat kekalahan proporsi dari jumlah anggota yang
pro Sutiyoso dari yang anti Sutiyoso.
Dari uraian pemikiran politik menurut kedua tokoh ini, seakan-akan
mengakomodir persepsi politik menurut orang Betawi kalangan bawah dan
menengah. Kita telah menyimak, disatu pihak Cing Oji sebagai bagian dari rakyat
kecil yang selalu mengamati keadaan negara, dan mengandalkan pengalaman dan
pengamatanya sebagai dalil logis Cing Oji yang mengatakan politik merupakan suatu
48
keinginan, sedangkan H. Zayadi, salah satu anak Betawi yang pernah berkecimpung
dan merasakan jahat dan mempesonanya dunia politik, dan yang mengatas namakan
rakyat Betawi kalangan menengah mengatakan, ia (politik) metode “dibunuh atau
membunuh” dalam memperjuangkan kepentingan. Dua pandangan tersebut di atas
yang seakan-akan mengambarkan suatu realita politik praktis yang tengah berjalan di
negeri ini, dan seakan-akan mengklaim politik sebagai sesuatu yang kotor menurut
orang Betawi.
Pandangan mereka (H. Zayadi dan Cing Oji) terhadap pengertian politik jauh
mengenai kajian teoritisnya yang tidak pernah sekali-kali mengajarkan bagaimana
meraih kekuasaan dan mempertahankan kepentingan politik, apalagi politik Islam
yang syarat akan pesan-pesan Ilahiyat, namun jika kita kembalikan kepada fakta
politik yang berada dilapangan yang tengah berlaku sekarang, hal tersebut
(memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok dalam politik) adalah telah
menjadi suatu yang lumrah dalam dunia politik praktis.
Dari contoh kasus yang mereka gambarkan yang kurang lebih adalah sama,
yaitu persoalan pemilihan gubernur DKI dan kebijakan yang berkenaan dengan
rakyat kecil. Menurut H. Zayadi dalam persoalan gubernur ini telah terjadi kompromi
politik dan kepentingan kekuasaan akibat aturan politik yang ada, bayangkan jika
didalam parlemen daerah jumlah orang Betawi dapat dihitung dengan jari, sedangkan
jumlah anggota parlemen yang berasal dari tanah Jakarta hanya 7 persen dari jumlah
diambil voting, ini sangat bermasalah, dan adapun jalan penyelesaiannya adalah
perubahan sistem dan aturan pemilihan gubernur yang ada sekarang, begitu menurut
Bapak H. Zayadi. Hal ini pulalah (jumlah 7% dari gabungan masyarakat Betawi yang
duduk di DPRD, dan aturan-aturan yang berlaku di dalam pemilihan balon gubernur)
yang menyebabkan putra daerah tidak berksempatan menjadi gubernur, sehingga
Cing Oji mensinyalir akan adanya pengambilan kekuasaan orang pribumi atas tanah
kelahirannya. Pada kenyataannya kita telah mengetahui banyak orang Betawi yang
telah mejabat menjadi kepala di tingkat Rt atau Rw hingga Lurah bahkan Walikota,
namun menjabat sebagai seorang gubernur DKI merupakan hal yang masih
diperjuang orang Betawi, akan tetapi hal ini tidak akan tercapai jika masyarakat
Betawi tidak mempunyai kualitas yang memadai dibidang politik dan yang lainnya,
sehingga mereka harus benar-benar sadar bahwa masih banyak yang harus mereka
benahi.
Problematika seperti ini merupakan persoalan yang sangat krusisal, yang
sampai saat ini yang masih didiskusikan oleh kalangan cendikiawan dan para sesepuh
politik Betawi untuk mendobrak ketertinggalan masyarakat Betawi dalam segala hal
terhadap para tamu-tamunya.
Adapun politik menurut pandangan KH. Asmuni Rahman ulama senopati49
mengatakan bahwa:
“Politik dalam segi kata yang benar (kata umum orang Betawi sering ucapkan) adalah mengelitik orang, sehingga orang tersebut menjadi tepesona
49
dengan kita, adapun dalam segi bahasa arabnya sering disebut dengan kata asyasah atau siasat, artinya bagaimana manusia atau orang tersebut dapat mensiasati suatu perkara kepada orang lain dengan maksud hanya ia dan Allah yang mengetahuinya.
…adapun kita orang Betawi jangan pernah melakukan penyiasatan kecuali dalam keadaan yang hak”.
Pendapat KH. Asmuni ini lebih menekankan kepada pesan agama, dimana
agama telah berpesan kepada kita bahwa ‘sebaik-baiknya manusia adalah yang lebih
memberikan manfaatnya kepada manusia bukan sebaliknya’. Dalam penafsiaran KH.
Asmuni politik adalah sesuatu yang natural yang dapat dipraktikkan tanpa harus
belajar, karena manusia telah mempunyai potensi tersebut. Kalangan orang tua
Betawi umumnya lebih cenderung untuk memprektikkan petuah KH. Asmuni, dengan
kata lain jika anda bekerja, dan dengan pekerjaan tersebut merugikan orang lain maka
tinggalkanlah pekerjaan tersebut atau anda berdosa.
D. Faktor-faktor yang Mempengruhi Pemikiran Politik Orang Betawi
Orang Betawi seperti yang telah diungkapkan KH. Asmuni Rahman (67)
Ulama Betawi kelahiran Senayan tersebut yang mempunyai pemikiran tersendiri
tentang politik. Dasar dari pemikiran yang dilakukan KH. Asmuni dan orang Betawi
lainnya adalah berdasarkan keyakinan, kepastian, dan kesungguhan50 yang mereka
alami.
Dalam benak KH. Asmuni menyatakan bahwa, politik mengelitik orang atau
mensiasati permasalahan. Dalam ungkapannya terjadi dua pengertian dan dua
maksud. Maksud dan mengertian yang pertama yaitu mengelitik orang, disini
50
tersiratkan petunjuk untuk menaklukan manusia (‘how to tame human’) dengan segala macam cara, yang pastinya harus mengunakan ajaran-ajaran agama, contohnya
sejarah perjuangan nabi Muhammad melawan orang kafir. Yang kedua maksud
mensiasati permasalahan adalah menjadikan suatu perkara yang dialami dirinya atau
orang lain menjadi tepecahkan upaya menghilangkan rasa putus asa sebagaimana
dilarang oleh agama, pemikiran ini semua sangat berkaitan sekali dengan interaksi
sosial orang Betawi dengan orang Betawi dan orang Betawi dengan non Betawi.
Pengaruh pemikiran tersebut di atas sangat terkait dengan perkembangan
manajemen --sedangkan defenisi dari manajemen sendiri adalah untuk mengatur,
untuk menangani, untuk mengkontrol dan untuk membimbing51-- kesehari-harian
mereka yang merdeka, ‘well come’, atau ‘ahlan wa’ sahlan’, menerima apa adanya dan egaliter, oleh karenanya mereka tidak ingin ditunggangi orang lain atau
menunggangi orang lain. Hal seperti ini disebabkan oleh karena orang Betawi
menginginkan kebebasan yang mereka miliki tidak terhalangi, kebebasan orang
Betawi dapat dilihat dari prilaku dan bahasa mereka yang tidak mempunyai pringkat
penggunaan, kecuali moral dan etika berbicara ketika berhadapan dengan orang yang
lebih tua.
Ketika seorang ibu dari orang Betawi mengandung anaknya, maka hal yang
pertama ia lakukan adalah memberikan nasehat dan wejangan kepada anaknya, dan
hal ini akan terus berlanjut sampai sang anak lahir di dunia, setelah anak ini
51
mengalami masa kanak-kanak maka mitos-mitos seperti ‘hati-hati jangan keluar di
waktu magrib nanti di makan kalong wewe’, maksudnya supaya anak itu takut dan
tetap di rumah, adajuga ‘jangan duduk di meje entar kakinye pateh’, maksudnya jaga
sopan santun. Mitos seperti ini diberikan kepada anak-anak sebagai antisipasi dalam
bersikap, dan prilakunya. Pada saat itu pula dokrin-dokrin agama diberikan kepada
anak-anak Betawi dalam upaya membentuk akhlak seorang anak Betawi.
Prinsip moral dan etika dalam agama orang Betawi adalah jauh lebih kuat
diatas kekuatan materi dan yang lainnya. Sebagai contoh iklan motor Honda yang
diperankan oleh aktor kelahiran Betawi Mandra yang berperan sebagai satpam lalu
lintas. Dari contoh tersebut dapat dikenal bahwa moral dan prilaku atau sikap seorang
Mandra terhadap para pengendara motor yang notabene pemuda menjadi sopan
ketika ia behadapan dengan seorang haji yang juga mengendarai motor, dan dari
sinilah kita mengetahui sikap moral orang Betawi yang dipengruhi kuat atas nasehat
orang tua dan dokrin agama.
Permasalahan dan contoh yang telah diutarakan penulis diatas adalah
merupakan suatu pengaruh pemikiran dan tindakan yang dapat mempengaruhi
manajemen pemikiran serta prilaku orang Betawi secara keseluruhan yang
merupakan arti atau maksud dari manajemen tersebut, yaitu dengan mengunakan
sumberdaya mereka yang efektif untuk mencapai sasaran,52 dan hal tersebut dapat
terangkum menjadi empat bagian berikut:
52
1. Nasihat orang tua
2. Mitos
3. Dokrin agama
4. Moral atau orang Betawi lebih mengenalnnya dengan sebutan akhlak
Berdasarkan pengamatan atas pemikiran orang Betawi ada di atas yang terdiri atas empat unsur tersebut, maka dari itu kita dapat mengetahui dengan mudah
manakala pemikiran tersebut dikorelasikan menjadi pemikiran politik orang Betawi
Pada dasarnya pola pikir atau unsur logika manusia dapat terjadi dalam tiga unsur, dan tiga unsur terebut adalah merupakan kegiatan akal budi manusia dalam melakukan suatu pemikiran dan tiga unsur tersebut yaitu: Pertama pengertian, artiya ia menangkap sesuatu masukan seperti apa adanya, yang kedua keputusan, dengan membuat suatu pernyataan sikap apakah yang ia telah dapatkan akan digunakan atau ditindak lanjuti, dan yang terakhir adalah penuturan, hal ini merupakan suatu hasil final dari pernyataan yang telah ia ungkapkan.53.
Tiga pola pikir atau unsur logika manusia tersebut merupakan dasar manusia dalam melakukan sebuah pemikiran yang akan diutarakan, dan dengan itu pulalah manusia dapat mengaktualisasikannya dengan suatu tindakan-tindakan mereka. Hal ini sangat berkaitan erat sekali dengan latar belakang budaya mereka yang sering menggunakan akal atau rasio dalam bertintak.
Ketika masyarakat Betawi ingin melakukan sebuah pemikiran politik, maka yang lebih diutamakan adalah adanya sebuah korelasi nasehat orang tua mereka dengan pengalaman hidup yang mereka miliki, dengan itu mereka melakukan suatu pemikiran berikutnya, kemudian yang kedua adanya pengaruh yang sangat kuat atas diri mereka yang semua itu sangat berkaitan dengan mitos-mitos yang pernah diucapkan atau dipringati oleh orang tua mereka. Mitos tersebut akan tetap berbekas dalam benak fikiran mereka kapanpun dimanapun walau mereka telah mengalami pendidikan yang modern.
Adapun tahapan pemikiran orang Betawi selanjutnya adalah filterisasi diri dari yang pernah orang Betawi dapat dari orang tuanya yang berupa nasehat dan mitos-mitos, dan filterisasi tersebut adalah dengan pendidikan agama, yang pada akhirnya membentuk sebuah karekter seorang Betawi yang berakhlakul karimah serta membuat mental keimanan mereka laksana baja, maka dari itu Almarhum Buya
HAMKA salut dengan akhlak dan pengamalan agama orang Betawi.54 Perumpamaan
tersebut menurut Dhofier Hamam Gastama, MA, seorang dosen Universitas Azzahra,
53
Muhdhor Achmad. Ibid., h. 45
54
adalah merupakan pembentukan sistem budaya Islam yang sangat kuat dalam karakter masyarakat Islam, dan pembentukan tersebut harus mempunyai keempat unsur berikut :
1. Sifat spiritual/ ilahiyyat.
2. Rasional.
3. Perpaduan antara sifat rasional dan spiritual.
4. Ilmu pengetahuan yang dapat dipadukan dengan rasio dan spirit.
Oleh karena itu seringkali orang Betawi melakuan suatu pemikiran dan tindakan pada diri mereka dengan melalui proses-proses di atas, dan juga tindakan atau pemikiran mereka mengenai politik. Proses ini semua adalah merupakan sebuah sistem pemikiran yang merasuki pemikiran politik kebanyakan orang Betawi, dan hal ini pulalah yang menyebabkan orang betawi kekinian tidak banyak yang konsern dalam politik nasional.
E. Faktor-Faktor yang Mendorong Orang Betawi Berpolitik
1. Faktor Iternal
Ada dua faktor penting masyarakat Betawi untuk bangkit dari keterpurukan
mereka, yaitu faktor iternal (di dalam diri masyarakat Betawi) dan eksternal (di luar
diri masyarakat Betawi). Adapu faktor yang pertama yang mendorong masyarakat
Betawi berpolitik adalah di dalam diri masyarakat Betawi mulai sadar akan
pentingnya ilmu yang berkaitan dengan pendidikan (umum dan agama). Selain itu
mereka juga sadar akan hambatan kemampuan mengaktualisasikan budaya mereka
sendiri dalam meningkatkan pengembangan SDM masyarakat Betawi. Hal ini telah
lama diutarakan oleh ketua Forum Pemuda Betawi (FPB) Rahmat HS:
Yang kedua, dirasakannya ketidak adilan yang dialami orang Betawi, yang
menurut mereka (orang Betawi), hal ini terjadi akibat sikap ototriter pemerintah pusat
dan daerah terhadap masyarakat pribumi yang dirampas hak-hak mereka begitu saja.
Seperti penggusuran-penggusuran perkampungan milik pribumi, dengan alasan
kepentingan Negara, dan yang ketiga adalah telah dirasakannya ketidak nyaman
kehidupan mereka di tanah kelahiran mereka yang disebabkan pengusuran hak milik
mereka yang ada di Jakarta.
2. Faktor Eksternal
Factor ini merupakan pionir kesempatan mereka untuk bangkit dari
keterpurukan. Adapaun faktor tersebut diawali dengan munculnya gerakan
pembaharuan melalui perubahan strategi pengembangan SDM bagi masyarakat
Betawi, mengingat mereka tidak hidup seperti zaman kompeni lagi, dan upaya
menghidar dari kemungkinan hilangannya sejarah Betawi (dalam istilah orang Betawi
disebut dengan ‘kematian obor’) bagi para generasi Betawi berikutnya, maka gerakan
pembaharuan tersebut membentuk semisal Badan Musyawarah Masyarakat Betawi
(1982) dan organisasi-organisasi kedaerahan Betawi lainnya yang bergerak dibidang
sosial dan politik, yang dapat mengakomodir aspirasi masyarakat Betawi dan dapat
mensosialisasikan keBetawian terhadap para pendatang, serta kiranya dapat
membawa masyarakat Betawi maninggalkan ketertinggalan mereka terhadap etnis
lain dari berbagai hal, baik ekonomi, sosial, budaya, serta politik, dan obor mereka
Ditetapkannya undang-undang otonomi daerah nomor 22 tahun 1999 dan
uluran Pemda DKI dan Bamus Betawi untuk berpartisipasi dalam pembangunan DKI,
yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat orang Betawi
atas kampung halamannya sendiri. Undang-undang ini merupakan peluang yang
sangat penting bagi masyarakat Betawi untuk meningkatkan kreatifitas dan SDM
mereka kedepan, upaya menjadi tuan dirumahnya sendiri. Terjadi peristiwa sejarah
yang memunculkan arus reformasi pada tahun 1998 dengan segala dampaknya, yang
menggugah masyarakat Betawi untuk menjaga “kampung”nya sendiri dari kerusuhan
dan kebinasaan yang dipicu oleh pihak-pihak yang lebih mengutamakan
kepentingannya sendiri atau kelompoknya daripada kepentingan rakyat banyak.
Dengan pristiwa tersebut adalah merupakan peluang masyarakat Betawi untuk
menjadi sadar dan bangkit untuk menjaga secara penuh “kampungnya”, serta
menunjukkan kepemilikannya terhadap para perusuh.
Dimasa yang akan datang, peranan masyarakat Betawi dibidang politik
nantinya akan banyak lagi bagian dari mereka yang berkecimpung di parlemen, baik
ditingkat pusat atau daerah yang dapat memberikan masukan-masukan yang penting
kepada pemerintah yang berkenaan dengan kemajuan masyarakat Betawi dan kota
Jakarta.
Adapun di bidang keamanan tentu diharapkan untuk benar-benar berfungsi
sebagai pengayom ibukota dari hal yang tidak di inginkan, selain itu menjalin
dan Pemda DKI. Dengan berpedoman pada nilai-nilai budaya Betawi yang pada
dasarnya tidak menyukai kekerasan kecuali bila terdesak, diharapkan pula bahwa
kerja sama itu dapat membuahkan hasil yang diharapkan.
Salah satunya adalah tercapainya tindakan penertiban yang bersifat lebih
manusiawi dan kemasyarakatan, terwujudnya disiplin sosial dan politik yang lebih
baik, dan keamanan negara, khususnya keamanan ibukota negara ini akan menjadi
lebih terjamin, maka dari itu muncullah organisasi-organisasi yang mewadahi
keamanan ibukota dibawah bimbingan oraganisasi besar orang Betawi (Bamus
Betawi), yang kurang lebih ada 73 organisasi yang tersebar di seantero Betawi,
seperti Forum Betawi Rempug (FBR), Forum komunikasi Anak Betawi (FORKABI),
Ikatan Betawi Asli (Ikbas), Forum Pemuda Betawi (FPB), Persatuan Wanita Betawi
(PWB) dan yang sejenisnya. Keberadaan oraganisasi ini sangat terasa manfaatnya
bagi kepentingan masyarakat ibukota pada umumnya, khususnya masyarakat Betawi.
Faktor-faktor yang telah disebutkan diatas merupakan keadaan yang ada di
lapangan sekarang, di mana masyarakat Betawi telah sadar akan kelemahan mereka
selama ini dibandingkan dengan para pendatang. Seiring dengan perubahan kebijakan
pemerintah dan dengan adanya pengusuran-pengusuran lahan yang mereka miliki dan
dengan itu mereka menjadi semakin tepinggirkan dari tanah kelahiran, dan ternyata
hal tersebut membuat masyarakat Betawi sadar akan pentingnya sebuah pendidikan
bagi generasi Batawi yang akan datang agar tidak kehilangan obor (sejarah Betawi)