1
KEMUNAFIKAN: “D
AH
ULU, KINI DAN ESOK”
ADA sebuah hadits yang sangat populer, yang menjelaskan tentang kriteria orang munafik. Tiga kriteria tersebut, kata para ulama, cukup memadai untuk mendeteksi siapakah orang munafik itu hingga kini. Karena, dengan mengenal tiga kriteria tersebut, kita bisa mengenal derivasinya dengan sangat mudah. Benarkah?
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu menyatakan, bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ُ ةَيآ
ُ
ُِ ِفاَ
ْ ا
ُ
ُ ثَاَث
:ُ
اَذِإ
ُ
َُثََّح
ُ
، َبَذَك
ُ
اَذِإَو
ُ
ََُّعَو
ُ
، َفَ ْخ
َ
أ
ُ
اَذِإَو
ُ
َُ ِ تْؤا
ُ
َُناَخ
لُ
“Tanda orang munafik ada tiga. Jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, jika diberi amanah ia berkhianat.” (Hadits Riwayat al-Bukhari
dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 15, hadits no. 33, dan Muslim, Shahîh Muslim, juz I, hal. 56, hadits no. 220).
Sementara itu, ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu ‘anhu menyatakan, bahwa untuk memahami siapa orang munafik itu, secara lebih akurat, beliau menyatakan bahwa kriterianya ada 4 (empat). Sebagaimana Sabda Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
ُ عَبْر
َ
أ
ُ
ُْ َم
ُ
َُ ك
ُ
ُِ يِف
ُ
َُن ََ
ُ
اً ِفاَ م
ُ
،ا ًصِ اَخ
ُ
ُْ َمَو
ُ
ُْتَن ََ
ُ
ُِ يِف
ُ
ُ ةَ ْصَخ
ُ
َُ ْ ِم
ُ
ُْتَن ََ
ُ
ُِ يِف
ُ
ُ ةَ ْصَخ
ُ
َُ ِم
ُ
ُِقاَ ِّا
ُ
ُ ََّح
ُ
ََُّي
اَ َع
ُ
اَذِإ
ُ
َُ ِ تْؤا
ُ
،َناَخ
ُ
اَذِإَو
ُ
َُثََّح
ُ
، َبَذَك
ُ
اَذِإَو
ُ
ََُّه ََ
ُ
،َرََّغ
ُ
اَذِإَو
ُ
َُ َصاَخ
ُ
َُرَجَف
لُ
“Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafik tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 15, hadits no. 34)
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Jâmi'ul
‘Ulûm wal Hikam, juz I, hal 430-431, membagi kemunafikan dalam dua jenis.
2
pada zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Para ulama, bahwa
ada seorang yang ‘Abdullah bin Ubay yang – dengan sengaja -- menyebarkan HOAX (Kabar Bohong), yang dikenal di dalam sejarah Islam dengan sebutan Hadîtsul Ifki, bahwa antara Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ dan Shafwan bin Mu'aththal radhiyallâhu ‘anhu ‘ada affair’. Dialah orang yang dianggap melakukan nifâq akbar.
Kedua, kemunafikan kecil (nifâq asghar), yang ditandai dengan tindakan-tindakan, atau bersifat ‘amaliy. Biasanya, si pelaku bersikap hipokrit (munafik) dengan menampakkan kebaikan yang sejatinya tidak demikian. Sebagian ciri-ciri kemunafikan seperti ini ditunjukkan dengan: “kebohongan, ingkar janji, dan khianat.”
Semua orang sudah memahami, bahwa kebohongan -- utamanya dalam berbicara -- adalah sifat yang tidak terpuji. Apalagi kalau kebohongan itu dilakukan kepada kepada orang yang percaya akan kejujuran si pembicara.
Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ُْتَ َُك
ُ
ًُةَناَيِخ
ُ
ُْن
َ
أ
ُ
َُثَِّ
ُ
ُ
َُكاَخ
َ
أ
ُ
اًثيَِّح
ُ
َُ ه
ُ
َُ َ
ُ
ُِ ِب
ُ
ُ قِّ َص
ُ
َُتْن
َ
أَو
ُُ
َ
ل
ُ
ُِ ِبُ
ُ بِذ ََ
“Sebuah pengkhianatan yang besar jika kamu berbicara dengan saudaramu dan ia percaya kepadamu (bahwa kamu tidak akan berdusta), sedangkan kamu berdusta kepadanya.” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Nawwas bin
Sam’an radhiyallâhu ‘anhu, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal. 183, hadits no. 17672, dan Abu Dâwud dari Sufyan bin Asid al-Hadhrami radhiyallâhu
‘anhu, Sunan Abî Dâwud, juz IV, hal. 293, hadits no.4971)
Sementara itu, ingkar janji adalah perkara yang dilarang keras dalam Islam, baik dalam urusan yang besar maupun remeh.
Abdullah bin Amir radhiyallâhu ‘anhu pernah bercerita,
ُ ِنْتَعَد
ُ
ُ ِّ
أ
ُ
اًمْ َي
ُ
ُ ل سَرَو
ُ
ُِلا
ُ
َُّ َص
ُ
ُ َّا
ُ
ُِ ْيَ َع
ُ
َُ َ َسَو
ُ
ُ ِّعاَق
ُ
ُ ِف
ُ
َُِتْيَب
اُ
،ُ
ُْتَلاَ َف
ُ:
اَه
ُ
َُلاَعَت
ُ
، َ يِطْع
أ
ُ
َُلاَ َف
ُ
اَ َ
ُ
ُ ل سَر
ُ
ُِلا
ُ
َُّ َص
ُ
ُ َّا
ُ
ُِ ْيَ َع
ُ
َُ َ َسَو
ُُ:
اَمَو
ُ
ُِتْدَر
َ
أ
ُ
ُْن
َ
أ
ُ
؟ِ يِطْع ت
ُ
ُْتَلاَق
ُ:
ُِ يِطْع
أ
ُ
،اًرْ َت
ُ
َُلاَ َف
ُ
اَ َ
ُ
ُ ل سَر
ُ
ُِلا
ُ
َُّ َص
ُ
ُ َّا
ُ
ُِ ْيَ َع
ُ
َُ َ َسَو
ُ:
اَم
َ
أ
ُ
ُِ َنِإ
ُ
َُُْ
ُْ َُ
ُِ ِطْع ت
ُ
اًئْيَش
ُ
ُْتَبِت
ك
ُ
ُِ ْي
َ َع
ُ
3
“Suatu ketika (Rasulullah) Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkunjung ke rumah kami. Ketika itu aku masih kecil. Tatkala aku hendak keluar rumah untuk bermain, ibuku memanggilku, (Abdullah) Kemarilah! Ibumu mempunyai sesuatu untukmu.” Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bertanya,
“Apa yang akan kamu berikan untuk anakmu?” “Akan kuberi kurma,” jawab ibuku. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Seandainya kamu tidak memberi apa-apa kepada anakmu maka kamu dicatat telah berbuat dusta.” (Hadits Riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Amir radhiyallâhu ‘anhu, Sunan Abî Dâwud, juz IV, hal. 298, hadits no. 4991).
Mengenai amanah, ia merupakan perwujudan kepercayaan orang kepada yang diamanahi. Sangat tidak wajar jika ada orang yang menitipkan barangnya kepada pengkhianat. Selayaknya seorang Muslim membalas kepercayaan saudaranya dengan menjaga amanah yang dibebankan kepadanya.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
َُل
ُ
َُناَ يِإ
ُ
ُْ َ ِ
ُ
َُل
ُ
َُةَناَم
َ
أ
ُ
،
ل
َ
ُ
َُلَو
ُ
َُ يِد
ُ
ُْ َ ِ
ُ
َُل
ُ
َُّْ َع
ُُ
َ
لل
ُ
“Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanahnya; dan tiada agama
pada orang yang tidak menunaikan janjinya.” (Hadits Riwayat Ahmad bin
Hanbal dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz III, hal. 135, hadits no. 12406)
Simpulan pentingnya, bahwa menjaga diri dari tiga sifat atau empat di atas sangatlah perlu. Jika tiga atau empat sifat itu bersemayam dalam diri seseorang dan tidak segera diobati, maka sifat-sifat itu pun pada akhirnya akan menggiring dirinya pada nifâq akbar (kemunafikan besar), yang ancamannya adalah: “api neraka.”Na’ûdzu billâhi min dzâlik!
Oleh karena itu, bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, pada masa lalu, pernah mengingatkan pada diri umatnya untuk berhati-hati agar tidak memiliki sifat-sifat yang mengindikasikan kemunafikan itu. Maka pada saat ini
dan (juga) di masa yang akan datang, ‘kita’ harus selalu menjaga diri, agar diri kita tidak memiliki atau – dengan kata lain – ‘memelihara’ sifat-sifat tersebut.
Agar kita tehindar dari bahaya ‘kemunafikan’, naik dalam bentuk nifâq ashghar (kemunafikan keci), apalagi nifâq akbar (kemunafikan besar).
Ibda’ bi nafsik!