PRINSIP PERTUMBUHAN BAKTERI
Filed under:
Mikrobiologi
Laju Pertumbuhan Bakteri
Istilah pertumbuhan bakteri lebih mengacu kepada pertambahan jumlah sel bukan mengacu
kepada perkembangan individu organisme sel. Bakteri memiliki kemampuan untuk
menggandakan diri secara eksponensial dikarenakan sistem reproduksinya adalah pembelahan
biner melintang, dimana tidap sel membelah diri menjadi dua sel. Selang waktiu yang
dibutuhkan sel untuk membelah diri disebut dengan
waktu generasi
.
Tiap spesies bakteri memiliki waktu generasi yang berbeda-beda, seperti
Escherichia coli
,
bakteri umum yang dijumpai di saluran pencernaan dan di tempat lain, memiliki waktu generasi
15-20 menit. Hal ini artinya bakteri
E. coli
dalam waktu 15-20 menit mampu menggandakan
selnya menjadi dua kali lipat. Misalnya pada suatu tempat terdapat satu sel bakteri
E. coli
, maka
ilustrasinya dapat berlangsung sebagai berikut
Tabel 2 :
Contoh
Pembelahan biner Bakteri tiap 15 menit
0’
15’
30’
45’
60’
75’
90’
105’
120’
135’
1 sel 2 sel
4 sel
8 sel
16 sel
32 sel
64 sel
128 sel 256 sel 512 sel
2
02
12
22
32
42
52
62
72
82
9Hal ini menunjukkan hubungan antara pertambahan sel dengan waktu adalah berbentuk
geometrik eksponensial dengan rumus 2
n.
Jadi, bakteri
E. coli
dalam waktu 10 jam berkembang dari satu sel menjadi 1,09×10
12sel atau
lebih dari 1 triliun sel. Sekarang bagaimana apabila jumlah sel awal lebih dari 1 sel???
Kurva Pertumbuhan Bakteri
Apabila satu bakteri tunggal (seperti
E. coli
di atas) diinokulasikan pada suatu medium dan
memperbanyak diri dengan laju yang konstan/tetap, maka pada suatu waktu pertumbuhannya
akan berhenti dikarenakan sokongan nutrisi pada lingkungan sudah tidak memadai lagi, sehingga
akhirnya terjadi kemerosotan jumlah sel akibat banyak sel yang sudah tidak mendapatkan nutrisi
lagi. Hingga akhirnya pada titik ekstrim menyebabkan terjadinya kematian total bakteri.
Kejadian di atas apabila digambarkan dalam bentuk kurva adalah sebagaimana di bawah.
Kurva di atas disebut sebagai kurva pertumbuhan bakteri. Ada empat fase pada pertumbuhan
bakteri sebagaimana tampak pada kurva, yaitu :
Tabel 3 :
Ciri dan Fase pada Kurva Pertumbuhan
Fase Pertumbuhan
Ciri
Lag
(lambat)
Tidak ada pertumbuhan populasi karena sel mengalami
perubahan komposisi kimiawi dan ukuran serta
bertambahnya substansi intraseluler sehingga siap
untuk membelah diri.
Logaritma
atau eksponensial
Sel membela diri dengan laju yang konstan, massa
menjadi dua kali lipat, keadaan pertumbuhan
seimbang.
Stationary
(stasioner/tetap)
Terjadinya penumpukan racun akibat metabolisme sel
dan kandungan nutrien mulai habis, akibatnya terjadi
kompetisi nutrisi sehingga beberapa sel mati dan
lainnya tetap tumbuh. Jumlah sel menjadi konstan.
Death
(kematian)
Sel menjadi mati akibat penumpukan racun dan
habisnya nutrisi, menyebabkan jumlah sel yang mati
lebih banyak sehingga mengalami penurunan jumlah
sel secara eksponensial.
Pengetahuan akan kurva pertumbuhan bakteri sangat penting untuk menggambarkan
karakteristik pertumbuhan bakteri, sehingga akan mempermudah di dalam kultivasi
(menumbuhkan) bakteri ke dalam suatu media, penyimpanan kultivasi dan penggantian media.
http://rachdie.blogsome.com/2006/10/14/prinsip-pertumbuhan-bakteri/
Mikrobiologi (pendahuluan)
Februari 18, 2008 Iqbal AliTinggalkan komentarGo to comments
7 Votes
tentang makhluk-makhluk hidup yang kecil-kecil. Makhluk-makhluk hidup yang kecil-kecil
tersebut disebut juga dengan mikroorganisma, mikrobia,mikroba, jasad renik atau protista.
Beberapa aspek yang dibahas dalam mikrobiologi, anatara lain mengkaji tentang
1. karakteristik sel hidup dan bagaimana mereka melakukan kegiatan
2. karakteristik mikroorganisme, suatu kelompok organisme penting yang mampu hidup
bebas, khususnya bakteri.
3. keanekaragaman dan evolusi, membahas perihal bagaimana dan mengapa muncul
macam-macam mikroorganisme.
4. keberadaan mikroorganisme pada tubuh manusia, hewan dan tumbuhan.
5. peranan mikrobiologi sebagai dasar ilmu pengetahuan biologi
6. bagaimana memahami karakteristik mikroorganisme dapat membantu dalam memahami
proses-proses biologi organisme yang lebih besar termasuk manusia.
Mikroorganisma tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan biotic maupun lingkungan abiotik
dari suatu ekosistem karena berperan sebagai pengurai. Oleh karena itu organisme yang hidup di
dalam tanah berperan aktif dalam proses-proses pembusukan, humifikasi dan mineralisasi. Ada
juga mikroorganisme tertentu yang dapat mengikat zat lemas (N) dari udara bebas sehungga
dapat menyuburkan tanah.
Dalam sejarah kehidupan, mikroorganisme telah banyak sekali memberikan peran
sebagai bukti keberadaannya. Mulai dari pembentukan minyak bumi di dasar-dasar samudra
sampai proses pembuatan tempe, semuanya merupakan ‘pekerjaan’ mikroorganisme. Bukan
Cuma itu, sekarang mikroorganisme telah digunakan dalam pembuatan antibiotika, berbagai
bahan makanan, sampai pada teknik rekayasa genetika modern. Begitu banyak dan dominannya
peranan mikroorganisme dalam kehidupan ini menjadi salah satu unsur dalam cakupan
mikrobiologi.
Dengan semakin majunya teknologi mikroskop, semakin mendukung perkembangan
mikrobiologi, sehingga pembahasan tentang ilmu ini semakin luas dan mendalam. Bahkan
mikrobiologi telah dibagi menjadi beberapa cabang, seperti mikrobiologi pertanian, mikrobiologi
kedokteran/medis, mikrobiologi lingkungan dan lain-lain. Pembagian ini bertujuan untuk
Mikrobiologi dalam kehidupan telah diterapkan di banyak sekali sektor kehidupan, yang paling
mashur adalah di bidang pangan; pembuatan tempe, bir, tape, keju dan lain-lain, di bidang
kedokteran; telah banyak dihasilkan berbagai jenis serum dan antibiotika dari mikrobia, di
bidang lingkungan mikroba telah menjadi bahasan penting, dan banyak lagi di bidang-bidang
lainnya.
Cakupan mikrobiologi dalam kehidupan sangatlah luas, dikarenakan hampir semua sektor
kehidupan melibatkan mikrobia di dalamnya, seperti yang telah dijelaskan di atas.
semoga ini memjadi awalan untuk artikle-artikel tentang mikrobiologi, kami juga menharapkan
bantuan dan koreksi jika saja disini terdapat banyak konsep-konsep yang kurang tepat atau
tambhannya jika kurang lengkap!
http://iqbalali.com/2008/02/18/mikrobiologi-pendahuluan/
http://blog.unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/07/kultivasi-reproduksi-dan-pertumbuhan-bakteri.pdf
Transformasi Gen Resistensi Higromisin (hph)
ke Kapang Monascus purpureus Mutan Albino
melalui Mediasi Agrobacterium tumefaciens.
Oleh :
Dr. Marlia Singgih Wibowo
Tiana Milanda, M.Si
Elin Julianti, M.Si.
Dibiayai melalui Proyek Penelitian Fundamental DP3M-DIKTI
Surat perjanjian Nomor : 322/SP3/PP/DP2M/II/2006
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2006
2
HALAMAN PENGESAHAN
1.
Judul Penelitian
: Transformasi Gen Resistensi Higromisin (
hph
) ke
Kapang
Monascus purpureus
Mutan Albino melalui
Mediasi
Agrobacterium tumefaciens
2.
Ketua Peneliti
a.
Nama Lengkap
: Dr. Marlia Singgih Wibowo
b.
NIP
: Institut Teknologi Bandung
h.
Pusat Penelitian
: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Institut Teknologi Bandung
3.
Jumlah Tim Peneliti
: 3 orang
4.
Lokasi Penelitian
: Penelitian dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi dan Laboratorium Kimia
Medisinal/Bioproses, Sekolah Farmasi ITB
5.
Kerja Sama dengan Institusi
Lain
Bandung, 28 September 2006
Mengetahui,
Dekan Sekolah Farmasi ITB
NIP. 130 675 825
Ketua Peneliti,
Dr. Marlia Singgih Wibowo
NIP. 131 835 237
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian,
Prof. Dr. Emmy Suparka
NIP. 130 515 659
3
RINGKASAN
Monascus purpureus merupakan jamur berfilamen yang memberikan warna merah kepada beras “angkak”. Jamur ini menghasilkan metabolit sekunder zat warna, monakolin K, sitrinin dan beberapa metabolit sekunder lain. Zat warna yang dihasilkan Monascus secara tradisional digunakan sebagai pewarna makanan dan pengawet daging. Monakolin K mempunyai aktivitas antihiperkolesterolemia. Sitrinin merupakan antibakteri terhadap bakteri Gram positif, namun bersifat karsinogen, teratogen dan merusak ginjal, sehingga pembentukannya perlu ditentukan agar beras angkak aman untuk dikonsumsi. Ketiga metabolit sekunder tersebut disintesis melalui alur yang sama yaitu alur biosintesis poliketida dari prekursor tetraketida. Informasi mengenai alur biosintesis poliketida pada kapang Monascus sangat terbatas, dikarenakan gen-gen yang terlibat belum diketahui. Jumlah kromosom, ukuran genom maupun kemungkinan mentransformasikan DNA asing ke kapang tersebut juga belum diketahui. Seluruh informasi ini diperlukan untuk memulai studi molekular gen-gen yang terlibat dalam biosintesis zat warna atau sitrinin dalam Monascus purpureus. Informasi sistem transformasi yang efisien merupakan informasi penting dalam penelitian awal rekayasa genetik untuk
menghilangkan sitrinin. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem transformasi genetik menggunakan marka seleksi gen resistensi higromisin B (hph) dalam plasmid pUR5750 ke protoplas, miselium dan spora mutan albino Monascus purpureus ITBCC-HD-F002 dengan mediasi Agrobacterium tumefaciens LBA 1100.
Penelitian diawali dengan menguji konsentrasi hambat minimum (KHM)
higromisin B terhadap Monascus purpureus ITBCC-HD-F002. Protoplas dibuat dengan menggunakan enzim pendegradasi dinding sel. Kultur Agrobacterium tumefaciens LBA 1100 yang mengandung plasmid disiapkan dari biakan muda dengan cara pengocokan. Transformasi dilakukan dengan kokultur antara protoplas, miselium dan spora Monascus purpureus ITBCC-HD-F002 dengan kulturAgrobacterium tumefaciens LBA 1100 yang mengandung plasmid pUR5750 dengan volume yang sama, kemudian diinkubasi pada medium LB padat dan medium YMP padat dengan suhu 25
C dan 28
0C. Transforman diseleksi dengan menumbuhkan
pada kertas saring diatas medium YMP padat mengandung higromisin B, kertas
4
saring selanjutnya dipindahkan ke medium seleksi dengan posisi dibalik dan tanpa dibalik. Stabilitas transforman diuji dengan menumbuhkan sampai lima generasi berturut-turut pada medium mengandung higromisin B yang dilanjutkan pada medium yang mengandung higromisin B dengan konsentrasi dua kali lipat. Transforman dikarakterisasi dengan metoda polimerase chain reaction (PCR) dengan membandingkan pita-pita transforman dengan plasmid pUR5750 sebagai kontrol positif dan induk mutan albino Monascus purpureus sebagai kontrol negatif. DNA transforman dan Monascus purpureus ITBCC-HD-F002 diisolasi
menggunakan prosedur standar kit pemurnian DNA genom Wizard. Proses PCR diawali dengan denaturasi pada suhu 95
0
C selama 4 menit, siklus yang terdiri dari
denaturasi pada suhu 95
0
C selama 45 detik, hibridisasi pada suhu 60
0C selama 1
menit dan pemanjangan fragmen DNA pada suhu 72
0C selama 90 detik dan
polimerisasi akhir selama 10 menit. Produk PCR dikarakterisasi menggunakan elektroforesis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi hambat minimum
higromisin B terhadap
Monascus purpureus
ITBCC-HD-F002 adalah 10
µ
g/ml
medium. Protoplas yang diperoleh sebanyak 2,85 x 10
7protoplas/ml.
Agrobacterium
tumefaciens yang mengandung plasmid tumbuh baik melalui pengocokan.
Transforman diperoleh hanya induk Monascus berupa protoplas. Transforman yang tumbuh berasal dari pemidahan kertas saring dengan posisi tidak dibalik, frekwensi transformasi yang diperoleh sebesar 350 koloni/10
7
protoplas dengan stabilitas
transforman 53,8 % pada medium YMP padat mengandung higromisin B 50
µ
g/ml.
Keberhasilan transformasi terbukti dengan adanya gen hph pada transforman yang diperbanyak dengan PCR yang ditunjukkan dengan adanya pita yang identik dengan pita dari plasmid pada elektroforegram.
PRAKATA
Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya
penelitian dan penulisan laporan ini, namun hasil yang dilaporkan pada tulisan ini belum sepenuhnya sesuai dengan rencana yang tercantum pada proposal,dikarenakan terjadinya keterlambatan pengiriman pereaksi yang diperlukan untuk proses akhir (Southen blot) sehingga tidak dapat dilaporkan sampai pada waktunya. Atas kekurangan ini kami mohon maaf.
Selanjutnya kami berterimakasih pada Direktorat Pendidikan Tinggi melalui
Proyek Penelitian Fundamental yang telah memberikan bantuan pada kami untuk melakukan penelitian ini. Kami juga berterimakasih pada LPPM ITB dan pihak Sekolah Farmasi ITB atas dukungan dan bantuan dalam penelitian ini.6
DAFTAR TABEL
Tabel
V.1
Hasil Penentuan KHM Higromisin B terhadap
M. purpureus
ITBCC-
HD-F002
... 15
V.2
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar
II.1
Kapang
M. purpureus
(A) di medium beras (beras angkak) (B) di
medium YMP (ekstrak ragi, ekstrak malt, epton, glukosa)... 2 II.2Proses transformasi DNA dari sel donor ke sel penerima ... 4
II.3
Transformasi T-DNA dari sel
A. tumefaciens
ke sel tanaman ... 6
II.4
Skema plasmid Ti dari
A. tumefaciens
A. tumefaciens
... 7
II.5
Struktur molekul
acetosyringone
... 7
II.6
Struktur molekul higromisin B... 10
II.7
Gen resistensi higromisin B (
hph
, higromisin fosfotranferase) dari
E.coli
... 10
V.1
Hasil uji stabilitas transforman higromisin dari
M. purpureus
ITBCC-
HD-F002 ... 19V.2
8
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... i
RINGKASAN ... ... ii
PRAKATA ... ... iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 12
IV. METODE PENELITIAN ... ... 12
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
9
I.
PENDAHULUAN
Monascus purpureus
adalah kapang berfilamen yang digunakan dalam
fermentasi beras yang menghasilkan beras angkak. Produk fermentasi ini telah lama digunakan sebagai pewarna makanan, pengawet daging dan obat tradisional,terutama di daerah Cina Selatan, Jepang dan Asia Tenggara (Blanc et al. 1998). Dari beras angkak telah diisolasi berbagai metabolit sekunder, antara lain zat warna, zat antihiperkolesterolemia, asam-asam organik dan enzim (Pastrana et al., 1995 ; K. Lakrod et al., 2000).
Pada tahun 1977, Wong dan Bau mengisolasi senyawa antibakteri
Monascus
yang diberi nama monascidin A. Tetapi Blanc et al. (1995) menunjukkan senyawa tersebut adalah sitrinin, suatu senyawa karsinogenik, teratogenik dan nefrotoksik. Adanya sitrinin menyebabkan keraguan terhadap keamanan produk fermentasi Monascus (Blanc et al. 1998).Berbagai cara dilakukan untuk menghasilkan produk
Monascus
yang bebas
sitrinin.Upaya-upaya tersebut dapat menghilangkan atau menekan jumlah sitrinin, tetapi produksi zat warna dan monakolin K juga menurun secara bermakna (Blanc et al., 1998). Hal ini disebabkan ketiga metabolit sekunder tersebut sama-samadisintesis melalui alur biosintesis poliketida, yang dikatalisis oleh multienzim poliketida sintase (PKS). Tetapi enzim-enzim maupun gen-gen pengkode PKS yang terlibat dalam alur biosintesis tersebut belum diketahui (Hajjaj et al. 1999).
Untuk memulai studi molekular terhadap enzim-enzim dan gen-gen PKS,
diperlukan sistem transformasi genetik yang efisien untuk M. purpureus.Transformasi gen atau fragmen DNA dalam suatu vektor ke genom kapang berfilamen dapat dilakukan melalui mediasi bakteri Agrobacterium tumefaciens. Selanjutnya sel transforman diseleksi berdasarkan marka seleksi tertentu, baik berupa marka dominan (gen resistensi antibiotik) atau melalui skrining positif terhadap mutan auksotrof yang termutasi pada gen tertentu (S. Campoy et al., 2003).
Pada penelitian ini dilakukan pencarian sistem transformasi genetik yang
efisien untuk
M. purpureus
mutan albino
menggunakan marka gen resistensi
higromisin (
hph
) melalui mediasi
A. tumefaciens.
Penggunaan
mutan albino sebagai
sel penerima dikarenakan kembalinya produksi zat warna dapat digunakan sebagai
10
marka dalam studi molekuler gen-gen PKS yang terlibat dalam biosintesis zat warna, monakolin K dan sitrinin.
Monascus
sp. adalah kapang berfilamen yang termasuk divisi Ascomycotina,
kelas Ascomycetes, sub kelas Plectomycetidae, ordo Eurotiales dan familiMonascaceae. Salah satu spesiesnya, yaitu M. purpureus pertama kali diisolasi oleh Went (1895) dari beras angkak yang berasal dari Jawa, Indonesia (Blanc et al., 1998). Dari beras angkak ini telah diisolasi berbagai metabolit sekunder, antara lain zat warna, zat antihiperkolesterolemia, asam-asam organik dan enzim (Pastrana et al., 1995 ; K. Lakrod et al., 2000).
Gambar II.1. Kapang
M. purpureus
(A) di medium beras (beras angkak), (B) di
medium YMP (ekstrak ragi, ekstrak malt, pepton, glukosa)
Zat warna
Monascus
terdiri dari
ankaflavine
dan
monascine
(berwarna
kuning), rubropunctatine dan monascorubrine (jingga) serta rubropunctamine dan monascorubramine (ungu). Seluruh zat warna Monascus larut dalam lemak dan pelarut organik, sedangkan bentuk kompleksnya larut dalam air. Zat warna ini sangat stabil terhadap pengaruh suhu, cahaya, oksigen, ion logam dan perubahan pH, sehingga dapat menggantikan zat warna sintetik pada makanan dan kosmetik (L. Pastrana et al., 1995; K. Lakrod et al., 2000).Monascus
juga menghasilkan beberapa zat antihiperkolesterolemia berupa
senyawa statin, yang diberi nama monakolin J, K dan L. Senyawa yang paling potensial adalah monakolin K atau mevinolin atau lovastatin, yaitu senyawa(A)
(B)
11
hipolipidemik yang menginhibisi kerja HMG-KoA reduktase. Enzim ini berperan dalam metabolisme HMG-KoA menjadi asam mevalonat (Blanc et al., 1998; Z. Hai, 1998; Keane, 1999 ).
Pada tahun 1977, Wong dan Bau mengisolasi zat antibakteri dari
Monascus
,
yang diberi nama monascidin A. Penelitian Blanc et al. (1995) menunjukkan bahwa monascidin A adalah sitrinin, yaitu suatu senyawa mikotoksin yang bersifatkarsinogenik, teratogenik dan nefrotoksik.
Adanya sitrinin dalam produk fermentasi
Monascus
menimbulkan keraguan
akan keamanan zat warna Monascus dan Monakolin K. Berbagai cara telahTetapi enzim-enzim maupun gen-gen pengkode PKS yang terlibat dalam alur biosintesis tersebut belum diketahui (Hajjaj et al. 1999).
Pada tahun 1985, More
et al.
meneliti alur biosintesis lovastatin (monakolin
K) pada kapang
Aspergillus tereus.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa
lovastatin disintesis melalui alur biosintesis poliketida dari prekursor
poli-β
-keto-asil-KoA. Selanjutnya, Hajjaj et al. (1999) melakukan penelitian terhadap alur biosintesis sitrinin pada M. ruber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sitrinin dan zat warna juga diproduksi melalui alur biosintesis poliketida dari prekursor
tetraketida. Seluruh reaksi dalam alur biosintesis tersebut dikatalisis
oleh multienzim
poliketida sintase (PKS) (Blanc
et al
., 1998; Hajjaj
et al
., 1999).
Beberapa spesies
Penicillium
dan
Aspergillus
juga menghasilkan sitrinin,
tetapi dari prekursor pentaketida dan tidak memproduksi zat warna (Hajjaj et al., 1999). Informasi tersebut memberikan kemungkinan baru untuk mengembangkan strategi produksi zat warna dan monakolin K yang bebas sitrinin. Produksi sitrinin dapat dikendalikan secara spesifik melalui represi terhadap satu atau beberapa gen biosintesis sitrinin melalui teknik rekayasa genetik. Aplikasi teknik biomolekular ini12
memerlukan informasi tentang enzim-enzim maupun gen-gen PKS yang terlibat dalam alur biosintesis zat warna, monakolin K dan sitrinin (Blanc et al., 1998 ; Lakrod et al., 2000).
Untuk memulai studi molekular terhadap enzim-enzim dan gen-gen PKS,
diperlukan sistem transformasi genetik yang efisien untuk M. purpureus.Transformasi gen atau fragmen DNA dalam suatu vektor ke genom kapang berfilamen dapat dilakukan melalui berbagai metode transformasi, seperti metode protoplas-polietilenglikol (PEG), elektroporasi maupun transformasi DNA yang dimediasi bakteri Agrobacterium tumefaciens. Selanjutnya sel transforman diseleksi berdasarkan marka seleksi yang digunakan, baik berupa marka seleksi dominan (gen resistensi antibiotik) atau melalui skrining positif terhadap mutan auksotrof yang termutasi pada gen tertentu (S. Campoy et al., 2003).
II.2. Transformasi dan Kompetensi Sel
Transformasi DNA adalah proses pengambilan DNA asing dari lingkungan
oleh sel penerima, yang menghasilkan sel transforman atau sel rekombinan. Ada 2 jenis transformasi, yaitu transformasi alami dan transformasi buatan. Padatransformasi alami, sel mengambil DNA asing dari lingkungan secara alami, karena memiliki sel yang kompeten. Kompetensi atau kemampuan sel mengambil DNA asing ini diregulasi oleh beberapa gen tertentu. Tetapi kebanyakan sel bakteri, mikroorganisme eukariot, sel tanaman dan sel hewan mempunyai sel non kompeten, sehingga harus diberi perlakuan khusus untuk menjadi sel kompeten dan
Gambar II.2 Proses transformasi DNA dari sel donor ke sel penerima ()
Sel donor
DNA bebas Sel penerima
13
DNA asing yang diambil oleh sel kompeten dapat berupa DNA bebas atau
DNA sisipan dalam suatu vektor. Vektor-vektor yang membawa DNA tersebut terdiri dari plasmid, bakteriofaga dan kosmid (L. Snyder & W. Champness, 1997).Plasmid adalah molekul DNA untai tunggal berbentuk sirkular berukuran 1
kb sampai lebih dari 500 kb, yang merupakan DNA ekstrakromosomal. Setiap plasmid membawa sekuens origin of replication (ori), sehingga dapat bereplikasi secara mandiri tanpa tergantung pada kromosom. Kemampuan plasmid bereplikasi secara otonom, membuat molekul DNA ini digunakan sebagai vektor yang membawa DNA sisipan (T.A. Brown, 1995).Plasmid yang digunakan dalam proses kloning harus merupakan vektor
episomal atau vektor integratif, yaitu vektor yang dapat terintegrasi ke salah satu kromosom sel penerima. Vektor-vektor integratif tersebut tersedia untuk berbagai spesies sel penerima, termasuk jamur berfilamen seperti Aspergillus nidulans dan Neurospora crassa (T.A. Brown, 1995).Berbagai bakteri seperti
Escerichia coli, Bacillus subtilis
dan
Agrobacterium
tumefasciens seringkali digunakan sebagai sel penerima. Plasmid yang digunakanpada transformasi DNA yang dimediasi A. tumefasciens, harus mempunyai ori E. coli maupun A. tumefasciens (shuttle cloning vector) (T.A. Brown, 1995).
Pada penelitian ini digunakan plasmid pUR5750 (15 kb), suatu plamid R
yang merupakan vektor biner E.coli-Agrobacterium yang membawa gen resistensi higromisin (hph) dari E. coli, yang diinsersikan diantara promoter gdp dan terminator trp</b>C dari Aspergillus nidulans dan diapit oleh batas kiri dan batas kanan T-DNA.II.3 Transformasi DNA melalui mediasi Agrobacterium tumefaciens
Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri berbentuk batang, Gram negatif,
tidak berspora dan motil, yang umumnya ditemukan di permukaan akar (rizosfir) tanaman. Bakteri ini dapat menyebabkan crown gall tumour (tumor di daerah antara akar dan batang) pada berbagai tanaman dikotil, terutama dari keluarga mawar-mawaran. Tumor ini diinduksi oleh proses transfer dan integrasi fragmen T-DNA (transferred DNA) dalam plasmid Ti (tumour inducing) dari sel A. tumefasciens ke ke genom sel tanaman (J. Deacon et al., 2003).14
mengandung daerah T-DNA sepanjang 12-24 kb. Di daerah T-DNA terdapat 2 tipe gen, yaitu gen-gen onkogenik yang mengendalikan biosintesis auksin dan sitokinin serta gen-gen yang mengendalikan biosintesis opin. Pada ujung 5’ T-DNA terdapat sekuens batas kanan (right border), sedang pada di ujung 3’ terdapat sekuens batas kiri (left border), yang keduanya tersusun dari unit berulang sepanjang 25 pb. Dalam plasmid Ti, di luar T-DNA, terdapat gen-gen untuk katabolisme opin, gen-gen untuk transfer plasmid Ti dari bakteri ke bakteri dan dari bakteri ke sel tanaman (gen-gen vir). Proses transfer T-DNA dimediasi oleh protein yang dikode oleh gen-gen vir ini (B.R. Glick & J.J. Pasternak, 1994 ; de la Riva et al, 2004).
Proses transfer dan integrasi T-DNA dari sel A. tumefaciens ke sel tanaman
berlangsung melalui beberapa tahap, yaitu kolonisasi bakteri, induksi sistem virulensi bakteri, pembentukan kompleks transfer DNA, transfer DNA dan integrasi T-DNA ke genom sel tanaman (de la Riva et al, 2004 ).Gambar II.3 Transformasi T-DNA dari sel A. tumefasciens ke sel tanaman (J.
Deacon et al., 2003)
15
Gambar II.4 Skema plasmid Ti dari A. tumefasciens (B.R. Glick & J.J. Pasternak,
1994).
A. tumefasciens, baik yang memiliki atau kehilangan plasmid Ti, akan
bergerak ke situs luka pada jaringan tanaman sebagai respon terhadap senyawa-senyawa fenolik, seperti acetosyringone maupun monosakarida tertentu yang dikeluarkan luka tanaman. Tetapi galur yang memiliki plasmid Ti akan merespon lebih kuat, karena adanya protein sensor transmembran dimerik yang spesifik, yaitu VirA (dikode gen vir</b>A) yang dapat mengenali acetosyringone pada konsentrasi sangat rendah (10Gambar II.5. Struktur molekul acetosyringone (B.R. Glick & J.J.Pasternak,
1994).
Proses integrasi T-DNA akan mengaktifkan gen-gen pengkode produksi
sitokinin, auksin dan opin. Produksi auksin dan sitokinin akan mengganggu pertumbuhan normal sel tanaman dan menyebabkan terbentuknya crown gall tumour. Sedangkan opin merupakan sumber karbon dan sumber energi utama bagi A. tumefasciens (J. Deacon et al., ; B.R. Glick & J.J. Pasternak, 1994).16
terutama pada tanaman dikotil. Gen asing diinsersikan ke dalam T-DNA pada plasmid Ti, lalu T-DNA dipotong, ditransfer dan berintegrasi ke genom sel tanaman bersama-sama gen sisipannya (J. Deacon et al., 2003). Tetapi untuk digunakan sebagai vektor kloning, plasmid Ti harus melalui beberapa proses rekayasa, yaitu penghilangan gen pengkode auksin, sitokinin, dan segmen-segmen DNA dalam plasmid Ti yang tidak diperlukan (temasuk gen-gen vir). Selanjutnya pada plasmid Ti harus memiliki polylinker (multiple cloning site), o<b>rigin of replication dari E. coli dan gen marka seleksi (umumnya gen pengkode neomisin fosfotransferase, yang
menyebabkan resistensi kanamisin) (B.R. Glick & J.J. Pasternak, 1994).
Karena gen-gen vir dihilangkan, maka plasmid Ti hasil rekayasa tidak
mampu mentransfer dan mengintegrasi daerah T-DNA ke sel penerima. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan 2 strategi (B.R. Glick & J.J. Pasternak, 1994), yaitu :1.
Strategi vektor biner
Gen asing dan gen marka seleksi disisipkan di daerah antara batas kiri dan batas kanan T-DNA secara in vitro, ditransformasi ke sel E. coli, lalu ditransfer ke sel A. tumefaciens memiliki plasmid Ti defektif (disarmed) melalui konjugasi. Plasmid Ti defektif adalah plasmid Ti memiliki gen-gen vir, tetapi kehilangan sebagian atau seluruh T-DNA.
2.
Strategi vektor kointegratif
Insersi gen asing dan gen marka seleksi dilakukan secara in vitro dalam plasmid yang memiliki sebagian kecil T-DNA. Plasmid tersebut ditransformasi ke sel E coli, lalu dikonjugasikan ke sel A. tumefaciens yang memiliki plasmid Ti
defektif. Proses konjugasi berlangsung dengan bantuan plasmid konjugatif pRK melalui prosedur triparental mating.
Prosedur transformasi DNA melalui mediasi Agrobacterium dilakukan
dengan mengkokultur sel A. tumefasciens, yang membawa vektor-gen sisipan, dengan sel atau protoplas tanaman. Selanjutnya sel transforman diseleksi menggunakan medium pertumbuhan yang mengandung antibiotik tertentu,sedangkan sel bakteri dibunuh menggunakan antibiotik sefotaksim atau moksalatum. Sel transforman akan membentuk kultur jaringan, lalu beregenerasi menjadi tanaman
17
dewasa (B.R. Glick & J.J. Pasternak, 1994; J. Deacon et al., 2003). Kelebihan metode transformasi ini adalah menghasilkan efisiensi transformasi yang tinggi, dengan mengurangi jumlah kopi (copy number) transgen (de la Riva et al, 2004 ).
II.4 Seleksi Sel Transforman
Selain metode transformasi, pencarian suatu sistem transformasi sangat
tergantung pada adanya vektor-vektor kloning yang membawa marka seleksi tertentu untuk menyeleksi sel transforman. Ada 2 jenis marka seleksi yang umum digunakan pada kapang berfilamen, yaitu marka dominan (gen resistensi terhadap inhibitor metabolik atau antibiotik) serta marka yang menggunakan konversi mutasi auksotrof pada gen-gen tertentu (M.J. Daboussi et al., 1989; Woloshuk et al., 1989).banyak galur kapang yang sensitif terhadap konsentrasi tertentu inhibitor metabolik atau antibiotik. Gen resistensi tersebut umumnya mengkode suatu enzim yang dapat menginaktifkan suatu antibiotik, sehingga transformasi gen tersebut ke sel kapang yang sensitif akan mengubahnya menjadi sel yang resisten (M.J. Daboussi et al., 1989 ; Woloshuk et al., 1989).
Berbagai penelitian melaporkan penggunaan marka gen resistensi antibiotik
higromisin B pada kapang berfilamen. Higromisin B adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang dihasilkan oleh Streptomyces hygroscopicus. Antibiotik ini dapat menginhibisi sintesis protein dengan mengganggu proses translokasi dan menyebabkan kesalahan translasi (mistranslation) pada ribosom 70S (Invivogen, 2004). Higromisin B direkomendasikan sebagai marka seleksi dan pemeliharaan sel transforman (genetic selection marker) pada konsentrasi 100-800µg/mL
(Sigma-Gambar II.6 Struktur molekul higromisin (Sigma-Aldrich, 2004)
Keterangan : Formula empiris :C 20
Resistensi terhadap higromisin disebabkan oleh adanya gen hph (higromisin B fosfotrasferase) dari E. coli sepanjang 1026 pb (Invivogen, 2004).
181
atgaaaaagc ctgaactcac cgcgacgtct
361 aatagctgcg ccgatggttt ctacaaagat cgttatgttt atcggcactt tgcatcggcc 421 gcgctcccga ttccggaagt gcttgacatt ggggaattca gcgagagcct gacctattgc 481 atctcccgcc gtgcacaggg tgtcacgttg caagacctgc ctgaaaccga actgcccgct 541 gttctgcagc cggtcgcgga ggccatggat gcgatcgctg cggccgatct tagccagacg 601 agcgggttcg gcccattcgg accgcaagga atcggtcaat acactacatg gcgtgatttc 661 atatgcgcga ttgctgatcc ccatgtgtat cactggcaaa ctgtgatgga cgacaccgtc 721 agtgcgtccg tcgcgcaggc tctcgatgag ctgatgcttt gggccgagga ctgccccgaa 781 gtccggcacc tcgtgcacgc ggatttcggc tccaacaatg tcctgacgga caatggccgc 841 ataacagcgg tcattgactg gagcgaggcg atgttcgggg attcccaata cgaggtcgcc 901 aacatcttct tctggaggcc gtggttggct tgtatggagc agcagacgcg ctacttcgag 961 cggaggcatc cggagcttgc aggatcgccg cggctccggg cgtatatgct ccgcattggt 1021 cttgaccaac tctatcagag cttggttgac ggcaatttcg atgatgcagc ttgggcgcag 1081 ggtcgatgcg acgcaatcgt ccgatccgga gccgggactg tcgggcgtac acaaatcgcc 1141 cgcagaagcg cggccgtctg gaccgatggc tgtgtagaag tactcgccga tagtggaaac 1201 cgacgcccca gcactcgtcc gagggcaaag gaatag
Gambar II.7 Gen resistensi higromisin (hph, higromisin fosfotransferase) dari E.
coli (Gene Bank, K01193)
Setelah transformasi, dilakukan proses identifikasi sel transforman pada
medium yang mengandung higromisin B. Hanya sel yang memiliki kontruksi plasmid-gen hph yang dapat tumbuh, sedangkan sel non transforman tidak dapat19
tumbuh. Selanjutnya dilakukan deteksi gen tersebut dalam genom sel transforman melalui metode deteksi tertentu (de la Riva et al, 2004 ).
II.5 Deteksi Gen Marka Seleksi dalam Sel Transforman
Deteksi vektor-gen sisipan dalam sel transforman dapat dilakukan dengan
mengampilifikasi sebagian atau seluruh vektor-gen sisipan secara in vitro melalui metode Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR adalah proses amplifikasi DNA menggunakan sepasang primer yang memiliki urutan basa yang komplementer terhadap urutan basa tertentu pada vektor-gen sisipan. Primer-primer tersebut diperpanjang oleh enzim DNA polimerase, menggunakan monomer-monomer deoksinukleotida trifosfat (dNTP) (Newton & Graham, 1984).Melalui metode PCR, amplifikasi fragmen DNA dapat dilakukan secara
cepat, spesifik dan tidak memerlukan jumlah dan kualitas cetakan DNA yang tinggi. Pada kapang berfilamen, cetakan DNA berupa DNA yang diisolasi dari spora atau miselium, baik dari biakan segar, biakan beku atau dari herbarium. Tetapi tidak ada protokol PCR yang dapat diterapkan pada setiap sampel, sehingga setiap aplikasi PCR memerlukan tahap optimasi (Newton & Graham, 1984)Amplifikasi dilakukan melalui inkubasi komponen-komponen reaksi PCR
dalam alat Thermalcycer selama beberapa siklus PCR. Setiap siklus terdiri dari tahap denaturasi (pemisahan untai ganda DNA menjadi untai tunggal), tahap hibridisasi (penempelan primer pada urutan basa yang komplementer) serta tahapelongasi/polimerisasi (perpanjangan rantai DNA). Jumlah siklus PCR ditentukan oleh panjang cetakan DNA yang diamplifikasi. Setelah sejumlah x cetakan DNA diamplifikasi selama n siklus, maka dihasilkan (2
n
-2n)X amplikon (Newton &
Graham, 1984).
°C selama 3 menit,
dilanjutkan tahap denaturasi pada suhu 90-95
°C selama 30 detik. Pada tahap
hibridisasi, primer akan menempel pada urutan DNA komplementer pada suhu 40-46
°C. Sedangkan tahap elongasi untai DNA berlangsung pada suhu 70-75°C, dengan
waktu inkubasi yang tergantung pada panjang DNA yang diamplifikasi (Newton &Graham, 1984).
20
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh metode transformasi gen resistensi
higromisin B (hph) dalam plasmid pUR5750 ke genom kapang M. purpureus mutan albino melalui mediasi Agrobacterium tumefasciens LBA1100, yang menghasilkan sel transforman yang stabil. Hasil penelitian ini merupakan suatu sistem transformasi genetik untuk kapang M. purpureus, yang diperlukan untuk mengkarakterisasi gen-gen PKS yang terlibat dalam biosintesis zat warna, Monakolin K dan sitrinin.Jika gen-gen biosintesis ini telah dikarakterisasi, maka satu atau beberapa gen
dapat dinonaktifkan untuk memperoleh galur M. purpureus non produksi sitrinin. Dengan menggunakan galur baru tersebut, maka zat warna Monascus dapat dikembangkan menjadi zat warna alami yang aman untuk makanan dan kosmetik. Sedangkan Monakolin K dapat dikembangkan sebagai obat antihiperkolesterolemia alternatif bagi para penderita hiperkolesterolemia.IV. METODE PENELITIAN
Higromisin B dengan variasi konsentrasi 10, 50, 100, 150 dan 200
µg/mL
masing-masing ditambahkan ke dalam 5 mL medium YMP padat yang masih cair. Campuran tersebut dihomogenkan, dituang ke cawan-cawan petri, lalu dibiarkan memadat pada suhu kamar. Sebanyak 10
7
spora M. purpureus ITBCC-HD-F002
dalam volume 100 µL diratakan di atas permukaan agar, lalu seluruh cawan
diinkubasi pada suhu 28
°C selama 7-14 hari. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
pleomisin terletak pada konsentrasi terkecil higromisin B yang masih dapatmenghambat pertumbuhan M. purpureus ITBCC-HD-F002. Dengan cara yang sama, dilakukan penentuan KHM menggunakan konsentrasi higromisin sebesar 0, 2, 4, 6,
8 dan 10
µg/mL .
A. tumefaciens LBA1100 yang membawa plasmid pUR5750 ditumbuhkan di
medium LB padat yang ditambahkan kanamisin 100
µg/mL selama 48 jam pada suhu
28
µg/mL, lalu dikocok pada kecepatan 200 rpm pada suhu 28°C selama
12 jam. Biakan cair diinokulasikan ke medium induksi bakteri (LB cair yang mengandung acetosyringone 200µM ) sampai tercapai kekeruhan pada OD
600= 0,2,
21
dan dikocok pada kecepatan 100 rpm selama 5-6 jam atau sampai OD
600= 0,8-1,0
(10
9koloni/mL).
Biakan padat M. purpureus ITBCC-HD-F002 berumur 10-12 hari digerus
halus dan disuspensikan dalam NaCl fisiologis. Suspensi tersebut disaringmenggunakan kertas saring Whatman No. 1, lalu filtratnya disentrifugasi 5.000 rpm selama 10 menit. Endapan spora diresuspensikan dalam air suling, lalu jumlah sporanya dihitung menggunakan hemasitometer.
Sebanyak 5 mL susupensi spora M. purpureus ITBCC-HD-F002
ditambahkan pada 95 mL medium YMP cair, lalu dikocok dengan kecepatan 200 rpm pada suhu 28
o
C selama 20 jam. Biakan cair tersebut disaring dengan kertas
Whatman No 1, lalu endapan miseliumnya dicuci dua kali dengan air suling. Sebanyak 1 gram miselium disuspensikan dalam 1 mL air suling ganda, sedangkan sisa miselium digunakan untuk preparasi protoplas.Untuk mendapatkan protoplas, miselium disuspensikan dalam 20 mL larutan
enzim pelisis (enzim pelisis dari T. harzianum 5 mg/mL, selulase 10 mg/mL danmaserozim 10 mg/mL) dalam dapar PKM (dapar fosfat 50 mM pH 5,8, KCl 0,5 M dan MgSO
4
0,1 M), lalu dikocok dengan kecepatan 100 rpm selama 3 jam pada suhu
28
°C. Pembentukan protoplas terus diamati di bawah mikroskop. Protoplas difilter
melalui kertas Whatman No.1, dipekatkan melalui sentrifugasi 3.000 rpm selama 20menit. Endapan dicuci dan disuspensikan dalam 1 mL dapar Tris HCl pH 7,0 yang mengandung kalsium klorida 50 mM. Jumlah protoplas yang diperoleh dihitung menggunakan hemasitometer.
Transformasi dilakukan melalui kokultivasi 1 mL suspensi spora, 1 mL (1
gram/mL) miselium dan 1 mL protoplas M. purpureus ITBCC-HD-F002 masing-masing dengan 1 mL biakan cair A. tumefaciens LBA1100. Sebanyak 100 µL hasil kokultivasi diratakan di atas kertas Whatman No.1, yang diletakkan di atas di medium YMP padat yang ditambah 200µM acetosyringone (AS +) dan di atas
medium YMP padat saja (AS-). Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 22-25
°C
dan 26-28
(YMP padat yang mengandung higromisin 50
µg/mL dan sefotaksim 400 µM).
Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 28
°C sampai tampak pertumbuhan
koloni-koloni transforman higromisin (7-14 hari). Kertas Whatman yang ditumbuhi koloni-koloni
22
tersebut ditransfer ke medium seleksi yang baru. Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 28
°C sampai tampak pertumbuhan koloni-koloni transforman higromisin (7
hari). Koloni-koloni yang tumbuh di masing-masing cawan petri dihitung, lalu ditentukan frekwensi transformasi berupa koloni transforman per 107
spora atau per
10
7
protoplas atau per gram miselium M. purpureus ITBCC-HD-F002.
Sekitar 50 transforman generasi kedua dipilih secara acak dari beberapa
proses transformasi, lalu ditumbuhkan dalam medium seleksi transformasi dan medium non seleksi selama 7 hari pada suhu 28o
C. Diameter koloni generasi ketiga
pada kedua medium diukur untuk mengetahui efek penambahan higromisin dan sefotaksim terhadap laju pertumbuhan koloni. Koloni-koloni dari medium seleksi ditumbuhkan kembali di medium seleksi baru (generasi keempat). Selanjutnya, koloni-koloni yang bertahan hidup ditumbuhkan pada medium seleksi transformasi yang mengandung higromisin sebanyak 200
µg/mL. Jumlah transforman yang
tumbuh pada generasi kelima dihitung, untuk menentukan stabilitas mitotik dari transforman.
Untuk mendeteksi gen higromisin (hph)
dalam sel transforman higromisin,
digunakan sepasang primer hph</b>122U (5’-TTCGATGTAGGAGGGCGTGGAT-3’) dan hph</b>725L (5’-CGCGTCTGCTGCTCCATACAAG-3’) berdasarkan urutan nukleotida gen hph dari E. coli (1.026 pb) pada Gene Bank. Primer-primer tersebut dapat mengamplifiksi fragmen pada gen hph sepanjang 600 pb. Sintesis primer dilakukan oleh Proligo-Sigma, Singapura.
Reaksi PCR dilakukan terhadap DNA genom dari transforman higromisin
yang dipilih secara acak, DNA plasmid pUR5750 sebagai kontrol positif dan DNA genom M. purpureus ITBCC-HD-F002 sebagai kontrol negatif. Komponen PCR terdiri dari 5µL DNA genom, 0,5 µL primer hph</b>122U 20 pmol/µL dan 0,5 µL
primer hph</b>725L 20 pmol/
µL, 0,5 µL deoksinukleotida trifosfat 20 mM, 0,2 µL Taq
DNA polymerase 5U/
µL dan 2,5 µL larutan daparnya yang sudah mengandung
magnesium klorida
serta 0,5
PCR diawali denaturasi awal (4 menit, 95
°C), 35 siklus PCR yang terdiri dari
denaturasi (45 detik, 94
°C), hibridisasi (1,5 menit, 60°C) dan elongasi (1 menit 30
detik, 72
°C) dan ditutup elongasi akhir (72°C, 10 menit).
23
Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan gel agarosa 0,8% (b/v)
dalam dapar elektroforesis TAE 1X, selama 50 menit pada tegangan 100 Volt. DNA marka yang digunakan adalahλ/Hind</b>III/Eco</b>RI.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) higromisin terhadap M.
purpureus ITBCC-HD-F002 adalah sebesar 4,0
µg/mL (Tabel V.1).
Keterangan : + ada pertumbuhan koloni
- tidak ada pertumbuhan koloni
Sedangkan hasil penelitian Campoy et al. (2003) menunjukkan bahwa M.
purpureus IBBC1, yang merupakan mutan over produksi zat warna, mempunyai KHM higromisin sebesar 100
µg/mL. Hal tersebut menunjukkan M. purpureus
ITBCC-HD-F002 sangat sensitif terhadap higromisin dibandingkan M. purpureus lainnya, sehingga lebih cocok digunakan sebagai sel penerima proses transformasi yang menggunakan marka seleksi gen resistensi higromisin. Konsentrasi higromisin yang digunakan medium seleksi adalah 12,5 kali harga KHM, yaitu 50
µg/mL
Pertimbangan penggunaan konsentrasi tersebut adalah mengantisipasi jumlah sel kapang yang ditumbuhkan lebih banyak daripada yang digunakan pada saat penentuan KHM
.
A. tumefaciens LBA 1100 yang membawa plasmid pUR5750 harus ditanam
pada medium LB yang mengandung kanamisin 100
µg/mL, karena marka seleksi
plasmid tersebut dalam sel bakteri adalah kanamisin. Bakteri tersebut ditanam dalam LB cair selama 12 jam untuk mendapatkan biakan muda, dilanjutkan pengocokan selama 4-6 jam untuk mendapatkan biakan fase logaritmik tanpa penambahan
24
kanamisin, karena dikhawatirkan mengganggu proses tranformasi. Pada preparasi biakan fase logaritmik ditambahkan asetosyringone, dengan tujuan untuk memulai proses aktivasi gen vir pada Agrobacterium.
Preparasi protoplas dilakukan melalui pelisisan dinding sel menggunakan
enzim pelisis dari T. harzianum, selulase dan maserozim. Penggunaan campuran enzim dilakukan untuk memperkuat kerja enzim pelisis dari T. harzianum, karena sebagian besar komponen dinding sel jamur tersusun dari selulosa.Pada tahap preparasi spora, miselium dan protoplas sel kapang, diperoleh spora sebanyak 1,2 X 108
spora/mL, miselium sebanyak 5,67 gram berat basah dan protoplas sebanyak
2,89 X 10
7
protoplas/mL.
lainnya yang menggunakan medium pelantara padat berupa membran nilon, membran nitroselulosa dan membran selulosa (kertas saring Whatman).
Proses kokultivasi berlangsung pada 2 variasi waktu, yaitu 22-25
°C dan
25-28
°C dengan waktu inkubasi selama 72 jam. Hal ini berdasarkan literatur bahwa
waktu inkubasi terbaik untuk kokultivasi kapang berfilamen adalah 72 jam pada suhu 24°C, karena pada suhu di atas 26°C mulai terjadi penurunan fekwensi transformasi,
bahkan diatas suhu 30
°C tidak diperoleh koloni transforman. Hal ini disebabkan pada
suhu di atas 30
°C terjadi perubahan konformasi protein VirA sehingga protein
tersebut tidak aktif dan tidak dapat menginduksi aktivitas gen-gen vir lainnya.Selanjutnya kertas saring tersebut dipindahkan ke medium seleksi padat yang
mengandung higromisin 50
µg/mL dan sefotaksim 400 µM. Penambahan sefotaksim
bertujuan untuk membunuh sel Agrobacterium yang telah mentransfer dan mengintegasikan gen hph dalam T-DNA ke genom sel kapang. Setelah terlihat pertumbuhan koloni, kertas saring tersebut ditransfer dalam posisi tidak dibalik ke
25
medium seleksi baru sebagai generasi kedua. Koloni yang tumbuh di medium seleksi kedua dihitung untuk menentukan frekwensi transformasi, karena koloni yang tumbuh pada generasi pertama sebagian merupakan koloni non transforman yang sempat tumbuh di medium induksi. Hasil tranformasi plasmid pUR5750 ke sel M. purpureus ITBCC-HD-F002 melalui mediasi A. tumefaciens LBA 1100 dapat dilihat pada Tabel V.2.
Tabel V.2 Hasil Transformasi Plasmid pUR5750 ke Sel M. purpureus ITBCC-HD-
F002 melalui Mediasi Agrobacterium tumefaciens LBA1100
Jenis sel
+
Keterangan : (+) adalah kondisi transformasi yang dipilih
Dari Tabel V.2 dapat dilihat bahwa kondisi optimum untuk melakukan
transformasi gen resistensi higromisin (hph) ke sel M. purpureus ITBCC-HD-F002 dengan mediasi Agrobacterium tumefaciens LBA100 adalah jenis sel protoplas, kokultur dengan penambahan asetosyringone 200µM pada suhu inkubasi 25-28°C.
26
Pada kondisi optimum tersebut diperoleh 26 koloni, dengan frekwensi transformasi 350 transforman/10
7
protoplas. Tidak diperolehnya transforman dari sel penerima
berbentuk spora dan miselium disebabkan oleh ukuran plasmid pUR5750 sebesar 15 kb, sehingga menyulitkan proses integrasi plasmid ke dalam genom sel transforman. Sebagai kontrol negatif, sel bakteri dan sel kapang ditumbuhkan dalam medium YMP tanpa penambahan asetosyringone (AS-).
Uji stabilitas terhadap transforman higromisin dilakukan dengan
27
(A)
(B)
(C)
(A)
(B)
(D)
(E)
(F)
Gambar V.1 Hasil uji stabilitas transforman higromisin dari M. purpureus ITBCC-
HD-F002
Keterangan : A. Generasi 1
B. Generasi 2
C. Generasi 3, di medium seleksi (1) dan non seleksi (2)
D. Generasi 4
E. Generasi 5
higromisin (Gambar V.2).
28
Gambar V.3 Elektroforegram hasil amplifikasi gen hph dalam sel transforman
higromisin dari M. purpureus ITBCC-HD-F002
Keterangan : A. DNA marka
λ/Hind</b>III/Eco</b>RI
B. DNA plasmid pUR5750 (kontrol positif)
C. DNA M. purpureus ITBCC-HD-F002 (kontrol negatif)
D. DNA transforman higromisin B dari M. purpureus ITBCC-HD-
F002
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Transformasi gen hph dari plasmid pUR5750 ke dalam protoplas Monascus
purpureus ITBCC-HD-F002 melalui mediasi Agrobacterium tumefaciens LBA1100 dapat menghasilkan frekwensi transformasi sebesar 350 transforman/107
protoplas
dengan stabilitas transforman 100 % selama 5 generasi. Bahkan generasi kelima tetap stabil pada medium seleksi dengan konsentrasi higromisin sebesar 4 kali KHM.
VI.2 Saran
600 pb
A B C D
29
DAFTAR PUSTAKA
Blanc, P. J., Loret, M. O., and Goma, G. (1998), Pigment and Citrinin Production
During Cultures of Monascus in Liquid and Solid Media,
Advance in Solid State
Fermentation, Departement Genie Biochimique et Alimentaire, France, 393-399.
Blanc, P. J., Loret, M. O., Santerre, A. L., Pareilleux, A., Prome, D., Laussac, J. P.
and Goma, G. (1994), Pigments of Monascus,
Journal of Food Science, 59 (4),
862-865.
Bloom, M.V., G.A. Freyer, and D.A. Micklos (1995),
Laboratory DNA Science,
Benjamin Publ. Co. Press., New York, 281-288.
Brown, T. A. (1991),
Pengantar Kloning Gena, Yayasan Essentia Medica,
Yogyakarta.
Campoy, S., F. Perez, J.F. Martin, S. Gutierrez, P. Liras (2003) Stable Transformats
of A. Nidulans obtained by Protoplast Transformation and Agrobacterium-mediated
DNA Transfer,
Cur. Genet., 43 : 447-452.
Deden, I . D. (2004), Mutasi Kapang Monascus sp. Dengan Etil Metana Sulfonat dan
Analisis Kadar Sirtinin Hasil Fermentasi cair Galur Induk dan Mutannya,
Tesis
Magister Jurusan Farmasi ITB, Bandung.
Deacon, J. W., (1997),
Modern Mycology, Blackwell Science, London, 37-39
Fincham, R.S. (1989) Transformation in Fungi,
J. Microbiol. Rev., 53 (1), 148-170.
Groot, M.J.A., Bundock, P., Hooykaas, P.J.J., Beijersbergen, A.G.M., 1998,
agrobacterium tumefasiens-mediated Transformation of Filamentous fungi,
Nat
Biotechnology 16, 839-842.
Hajjaj, H., A. Klaebe, M.O. Loret, G. Goma, P.J. Blanc, and J. Francois (1999)
Revealed by
13C Nuclear Magnetic Resonance,
Appl. And Environ. Microbiol.,
65(1), 311-314.
Herzog, R.W., H. Daniell, N.K. Singh, and P.A. Lemke (1996) A Comparative Study
on The Trnasformation of Aspergillus nidulans by Microprojectile Bombardment of
Conidia and a More Conventional Procedure Using Protoplast Treated with
Polyethylenglycol,
J. Appl. Microbiol. Biotechnol., 45, 333-337.
Keane, M. (1999)
The Red Yeast Rice Cholesterol Solution, Adams Media Corp.,
Massachusetts, 1-90.
30
Lakrod, K., Chaisrisook, C., and Skinner, D.Z. (2003), Tanasformation of Monascus
purpureus to hygromycin B resistance with cosmid pMOcosX reduces fertility,
Molecular Biology and Genetics, 6(2).
Malonek, S., F. Meinhardt (2001) Agrobacterium tumefasciens-mediated Gene
Transformation of The Phytopathogenic Ascomycete Calonectria morganii,
Curr.
Genet. 40:152-156.
Pastrana, L., P.J. Blanc, A.L. Santerre, M.O. Loret, and G. Goma (1995) Production
of Red Pigments by Monascus ruber in Synthetic Media with a Strictly Controlled
Nitrogen Source,
Process Biochem., 30(4):333-341.
Riva, G.A., Cabrera, J.G., Padron, R.V., and Pardo, C.A., 2006, The Agrobacterium
tumefasiens gene Transfer to Plant Cell,
www.ejbiotechnology.info
, Juni 2006.
Sambrook, J., Fritsch, E. F., Maniatis, T. (1989),
Molecular Cloning a Laboratory
Manual 2
ndEd., Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.
Snyder L, and W. Champness, (1997)
Molecular Genetics of Bacteria, 2
ndEdition,
http://74.6.146.127/search/cache?ei=UTF- 8&p=metode+penelitian+monascus+purpureus&rd=r1&fr=yfp-t-713&u=pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/laporan_akhir_fundamental.pdf&w=metode+penelitian+monascus+purpureu
s&d=C0y561tsWBjo&icp=1&.intl=id&sig=5U_S4yQgTeVpbb.PkQWeTw--Entomopatogen dan Angkak Atasi DBD
Selasa, 8 Desember 2009Memasuki musim penghujan, merebaknya kasus demam berdarah sudah menjadi rutinitas masyarakat Indonesia. Departemen Kesehatan mencatat, jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) terus meningkat. Hingga bulan Juli 2009, di seluruh Indonesia tercatat 77.000 orang terjangkit penyakit tersebut.
Sedangkan pada 2008, Depkes mencatat 136.399 kasus demam berdarah yang menelan korban jiwa hingga 1.170 orang, dan sebagian besar korban adalah anak-anak. Di wilayah DKI Jakarta, tahun ini kasus DBD tertinggi pada April sebanyak 4.261 penderita, dengan 3 orang korban meninggal. Sedangkan hingga Juli 2009, berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, total penderita DBD di seluruh wilayah ibukota mencapai 22.609 orang dengan 31 kematian.
Tingginya jumlah korban menunjukkan penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) merupakan penyakit virus yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan kematian pada penderita dalam waktu yang sangat pendek.
Upaya pengendalian penyakit DBD telah banyak dilakukan, antara lain dengan cara meningkatkan sistem imunitas penderita, melalui terapi spesifik. Sedangkan cara penanggulangan lainnya dengan
mengembangkan vaksin, atau mengendalikan populasi vektornya.
Dari sisi keberhasilannya, pengendalian populasi vektor DBD, seperti penggunaan lavarsida (temephos) atau pengasapan (fogging), ternyata lebih efektif untuk pencegahan penyakit ini. Namun, fogging ternyata belum mampu menuntaskan permasalahan populasi nyamuk Ae.aegypti, bahkan terkadang malah memicu munculnya permasalahan baru, seperti membunuh serangga bukan target dan menimbulkan resistensi akibat penggunaan insektisida yang berkesinambungan.
Deni Zulfiana MS, peneliti biomaterial dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan teknik pengendalian hayati dapat menjadi metode alternatif untuk mengontrol populasi nyamuk
Ae.aegypti. “Pengembangan metode ini diharapkan bersifat lebih efektif, efisien dan ramah lingkungan,” ujarnya.
LIPI mengembangkan teknik pengendalian hayati ini melalui pemanfaatan jamur entomopatogen. Menurut Deni, jamur entomopatogen memiliki larvasida, seperti metarhizium anisopliae yang menghasilkan senyawa destruxin.
diperoleh dari penelitian sebelumnya, yaitu Metarhizium sp. Jamur ini sudah terbukti potensial digunakan sebagai biokontrol serangga hama pertanian seperti kumbang dan rayap,” ujarnya.
Deni memaparkan, pada tahun pertama penelitian menghasilkan produk berupa cairan hasil fermentasi jamur Metarhizium Sp. Berdasarkan hasil uji (bioassay skala laboratorium), fermentasi jamur ini
menyebabkan kematian pada larva nyamuk Aedes aegypti (vektor demam berdarah) hingga tingkat 60-100 persen dalam waktu 24 jam.
“Berdasarkan analisis dengan menggunakan SEM (Scanning Microscope Electron) terlihat adanya kerusakan yang disebabkan serangan spora atau konidia jamur pada seluruh permukaan badan larva atau jentik bila dibandingkan dengan materi tanpa cairan fermentasi jamur Metarhizium Sp,” paparnya.
Untuk itu, kata Deni, pemanfaatan jamur sebagai larvasida hayati untuk mengendalikan populasi nyamuk Ae.aegypti, diharapkan dapat menjadi solusi untuk membantu program pemerintah dalam upaya
menekan tingkat kejadian dan kematian akibat demam berdarah di Indonesia. “Bahkan, Larvasida hayati ini juga diharapkan dapat menggantikan larvasida kimia karena lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Dr Novik Nurhidayat, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), infeksi yang disebabkan demam berdarah bisa ditanggulangi melalui kapang Monascus purpureus (M. purpureus ). “Komponen pigmen dan derivat asam aminonya memiliki aktivitas antioksidasi dan anti patogen. Secara in vivo, kapang ini menunjukan aktivitas modulasi respon immunitas yang penting dalam penanggulangan infeksi termasuk infeksi demam berdarah,” ujarnya.
Dalam penelitian, terungkap M. purpureus dapat digunakan dalam penanggulangi infeksi karena komponen pigmen dan turunan asam aminonya memiliki aktivitas antibakteri. “Komponen pigmen Monascus berperan dalam respon immuniotas seperti peningkatan aktivitas limfoid dan penghambatan imflamasi. Hal ini penting diperhatikan karena infeksi menyebabkan suatu penyakit, jika respon sistem immunitas tidak dapat lagi bertahan untuk melawannya. Jadi, bila obat antibiotik sudah tidak efisien karena resistensi patogen, maka sistem immunitas perlu diperkuat,” papar Novik.
M. purpureus, lanjut dia, menghambat infeksi melalui aktivitas komponen pigmen merah dan derivat asam amino fenilalanin dan tyrosin yang memiliki aktivitas antibakteri Kapang jenis ini sudah dimanfaatkan dalam pengobatan Cina sejak abad XIV, namun keragaman dan keunikan jenis justru berlimpah di Indonesia. “Selain untuk penanggulangan infeksi, juga dapat menurunkan kolesterol dan penyakit kardiovaskuler,” ujarnya.Hasil olah M. purpureus, secara tradisional yaitu angkak. Melalui media beras, dunia tradisional Cina telah memanfaatkan sebagai obat dan pengawet serta pewarna makanan (buku the Ming Chinesse Pharmacopeia 1368-1644).
Kapang ini juga diidentifikasikan dan dilaporkan pada 1884 oleh van Tieghem dengan sampel dari Buitenzorg (Bogor) sebagai M. purpureus van Tieghem (1884) dan Went (1894). Selanjutnya dikenal juga M. ruber yang lebih berpigmen kuning dan M. pilosus yang lebih berwarna kelabu.
Secara praktis, untuk menghindari resiko keracunan citrinin, hindari jenis hasil olah M. purpureus berwarna lebih kuning dalam bentuk ekstrak. Atau mengurangi kadar citrinin dengan mendidihkan sediaan dan mendapatkan ekstrak air, bukan ekstrak lipid (citrinin lebih terekstraksi). Jumlah ambang batas citrinin yang diatur pemerintah Jepang adalah 0,2 µg/g (200 ppb) (The Ministry of Health and Welfare of Japan, 2000).
Technology Indonesia, 8 Desember 2009
http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1260226425&&2009
Makalah Biologi
Home
ENGLISH PUISI
PASANG IKLAN GRATIS Aneka Artikel dan Jurnal CERITA LUCU
SERBA-SERBI
Subcribe And Share :
Labels
About Me (1) bakteri (2) Biotik (1)
Darah (6) Hama (1) INFO (2)
Jaringan Pada Tumbuhan (1) Karbohidrat (2)
KONTES SEO (2) makalah biologi (45) makalah ekonomi (2) makalah pendidikan (14) Metabolisme (3)
Organik (1) Pertanian (9) PPKN (1)
Tanaman Kultur (1) Urin (1)
Link
TERSENYUM MAKALAH
PUISI SAHABAT
Rabu, 28 Juli 2010
Tanaman Kedelai
Share1.1 Latar Belakang
Kalau pada postingan saya sebelumnya kita telah membahas tentang tanaman rambutan kali ini giliran tanaman kedelai yang akan kita bahas
Pada dasarnya Kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahun selalu meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan perbaikan pendapatan perkapita. Oleh karena itu, diperlukan suplai kedelai tambahan yang harus diimpor karena produksi dalam negeri belum dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Lahan budidaya kedelai pun diperluas dan produktivitasnya ditingkatkan. Untuk pencapaian usaha tersebut, diperlukan pengenalan mengenai tanaman kedelai yang lebih mendalam.
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.
Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Indonesia saat ini mendapatkan pasokan kedelai terbesar dari Amerika dan Argentina. Konsumsi kedelai di negara kita adalah 2 juta ton/tahun dan komoditi kedelai telah menyedot devisa sebanyak 3 trilyun/tahun.
sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia.Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan biji dapat dibuat menjadi :
1. tahu (tofu),
2. bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam),
3. tempe
susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa),
4. tepung kedelai,
5. minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel
1.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum lapang ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan tanaman kedelai varietas Argoporo dengan populasi dua (P2 V5), dan untuk memenuhi sayarat praktkum 3 sks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Singkat Kedelai
dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan Afrika.
2.2 Taksonomi Tanaman kedelai
Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycinemax (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species: Glycine max (L.) Merill
2.3 Morfologi Tanaman Kedelai
2.3.1 Biji
2.3.2 Kecambah
Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keping biji muncul diatas tanah. Warna hipokotil, yaitu bagian batang kecambah dibawah kepaing, ungu atau hijau yang berhubungan dengan warna bunga. Kedelai yang berhipokotil ungu berbunga ungu, sedang yang berhipokotil hijau berbunga putih. Kecambah kedelai dapat digunakan sebagai sayuran.
2.3.3 Akar
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembapan tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar. Bintil akar tersebut berupa koloni dari bakteri pengikat nitrogen Bradyrhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai. Pada tanah yang telah mengandung bakteri ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari setelah tanam. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat digunakan oleh
kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3).
2.3.4 Batang dan Cabang
Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal akar sampai kotiledon. Hopikotil dan dua keeping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledon tersebut dinamakan epikotil.
pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas (determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas (semi-indeterminate). Tipe terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi. Tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe tidak terbatas memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan tumbuhan terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karakteristik antara kedua tipe lainnya.
2.3.5 Bunga
Sebagian besar kedelai mulai berbunga pada umur antara 5-7 minggu. Bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat jantan dan alat betina. Penyerbukan terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong.
Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia.
2.3.6 Daun
bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang.
2.3.7 Buah atau Polong
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak.
2.4 Syarat Pertumbuhan
Tanah dan iklim merupakan dua komponen lingkungan tumbuh yang berpengaruh dan pada pertumbuhan tanaman kedelai. Pertumbuhan kedelai tidak bisa optimal bila hanya ada satu komponen lingkungan tumbuh optimal. Hal ini dikarenakan kedua komponen ini harus saling mendukung satu sama lain sehingga pertumbuhan kedelai bisa optimal.
2.4.1 Tanah
a) Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air tetap tersedia. Jagung merupakan tanaman indikator yang baik bagi kedelai. Tanah yang baik ditanami jagung, baik pula ditanami kedelai.