PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASIATONIK
TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK LADA
(
Piper ningrum L
.)
Tri Septiani
trityan30@gmail.com
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Puangrimaggalatung Sengkang
Abstrak
Usaha pengembangan tanaman lada di Indonesia telah banyak diusahakan di daerah Lampung dan Pulau Bangka sebagai sentra produksi yang diunggulkan, selain itu berkembang pula ke daerah lain seperti di Kalimantan, Sulawesi dan umumnya di seluruh kawasan Indonesia sudah mulai diusahakan karena kondisi tanah juga cocok ditanami lada. Khususnya Sulawesi Selatan pertanaman lada mulai menyebar ke beberapa daerah diantaranya Sinjai, Bulukumba, Tator, Palopo. Hal ini menunjukkan tidak rumitnya tempat persyaratan tumbuh yang dikehendaki oleh tanaman lada bahkan di Kabupaten Wajo sendiri sudah mulai dikembangkan oleh beberapa petani yang ada di kawasan bendungan Kalola sebagai tanaman sela diantara tanaman Kakao.Hasil penelitian menunjukkan perlakuan perendaman konsentrasi atonik 1 cc perliter air memberikan pengaruh terbaik terhadap waktu bertunas, panjang tunas, dan jumlah daun setek lada.
Kata Kunci: Konsentrasi, Atonik, Lada
Abstract
Efforts to develop pepper plants in Indonesia have been widely cultivated in Lampung and Bangka Island as seeded production centers, while also developing into other regions such as in Kalimantan, Sulawesi and generally throughout Indonesia has begun to be cultivated because the soil conditions are also suitable for planting pepper. Especially South Sulawesi pepper plants began to spread to several areas including Sinjai, Bulukumba, Tator, Palopo. This shows the complexity of where the growing requirements desired by pepper plants even in Wajo Regency itself has begun to be developed by some farmers in the Kalola dam area as intercropping plants among the Kakao plants. best for germination time, length of shoots, and number of pepper cuttings.
.
Keywords: Concentration, Atonik, Pepper
PENDAHULUAN
Tanaman lada merupakan
tanaman tahunan menjalar di tanah atau dapat dirambatkan pada sebuah tiang, tetapi tidak dibiarkan memanjat sampai mencapai ketinggian lebih 10 m, melainkan dibentuk atau dibuat dengan ketinggian 4-5 m (Kanisius, 1980).
Akar tanaman lada dibentuk pada buku-buku setiap ruas batang pokok dan
cabang. Tanaman lada mempunyai dua jenis akar, yaitu akar yang terdapat di dalam tanah yang disebut akar utama dan akar di atas tanah yang disebut akar lekat atau akar panjat. Akar lekat ini berguna untuk melekat atau memanjat pada tajarnya, sehingga tanaman bisa menjalar ke atas. Akar ini hanya tumbuh pada buku batang orthotrop, sedang pada cabang-cabang buah tidak akan tumbuh
47 akar lekat. Akar utama tumbuh pada pangkal batang, sehingga pada satu batang bisa terdapat 10-20 akar utama.
Pada akar utama itu akan tumbuh akar samping dengan bulu akar yang banyak sekali. Bulu-bulu akar tersebut bisa berkembang dipermukaan tanah dan berguna untuk menghisap makanan yang
dperlukan. Apabila keadaan tanah
memungkinkan maka akar itu dapat menembus tanah sedalam 1-2 m, sedangkan panjang akar bisa mencapai 2-4 m. Tetapi pada umumnya sistem perakaran lada cukup dangkal, hanya mencapai kedalaman antara 30-60 cm saja (Kanisius, 1980).
Tanaman lada yang berbatang pokok satu pada hakekatnya membentuk dua jenis cabang (dimorphicy) yaitu : (1) cabang orthotropis (vertikal) (2) cabang
plagiatropis (horizontal). Cabang
orthotropis yang tumbuhnya vertikal membentuk kerangka dasar pohon lada berdiameter 4-6 cm mengayu dan terdiri dari ruas-ruas yang rata-rata penjangnya 5-12 cm (Rismunandar, 2001).
Daun lada bentuknya sederhana,
tunggal, bentuk bulat meruncing
pucuknya, bertangkai panajng 2-3 cm dan membentuk aluran di bagian atasnya ukuran daun 8-20 x 4-12 cm. Berurat 5-7 helai, hijau tua warnya, mengkilap dibagian atasnya, pucat di bagian bawah. Di bagian bawah ini nampak titik-tititk
kelenjar. Bentuk daun lada beraneka ragam, perbedaan ini berdasarkan letak tumbuhnya (Rismunandar, 2001).
Bunga tanaman lada berbentuk
malai, yang agak menggelantung,
panjang 3-25 cm, tidak bercabang, berporos tunggal tempat tumbuh bunga-bunga kecil berjumlah hingga 150 buah lebih. Bunga tumbuh berhadapan dengan daun dari cabang atau ranting-ranting yang plagiotropis. Bunga bisa uniseksual dalam bentuk : (1) monoecious atau berumah satu yang berarti pada satu tanaman membentuk bunga betina dan jantan terpisah. (2) Dicocious atau berumah dua, yang berarti bunga betina dan jantan masing-masing terpisah pada pohon yang berlainan.
Kepala putik dapat menerima tepung sari selama 10 hari setelah mulai
subur dan tingkat kesuburannya
mencapai 3-5 hari. Setelah mulai nampak, bunga mulai membuka di bagian bawah malai terus naik ke atas dan selesai setelah 7-8 hari. Tepung sari membentuk gumpalan seperti bahan perekat, bila hujan turun maka dapat mengurangi dan tertangkap oleh papila dari kepala putik, maka terjadilah persarian dan sekaligus angin serta
serangga ikut membantu persarian
(Rismunandar, 2001).
Buah tanaman lada tidak
bulat berdiameter 4-6 cm, berdaging, kulitnya hijau pada saat muda dan apabila sudah masak warnanya berubah menjadi merah. Buah yang masih hijau kulitnya akan menjadi kehitam-hitaman bila dijemur di bawah terik sinar matahari. Malai buah bisa mencapai
panjang 15 cm, minimal 5 cm
(Rismunandar, 2001).
Tanaman lada sangat cocok pada tanah berpasir banyak mengandung organik atau huus, berdrainase baik, kadar keasaman (PH) tanah berkisar 5-6,5 , warna tanah merah sampai merah merah kuning, jenis tanah atau tipe tanah yaitu lateritik, podsolik, kompleks,
latosol dan utisol serta topografi
datar/landai sampai bergelombang
(Sarpian. T, 1998). Tanaman lada dipengaruhi pula oleh iklim khusunya curah hujan dan suhu udara serta lamanya penyinaran. Curah hujan yang dibutuhkan 2.000 – 2.500 mm pertahun. Suhu udara dengan temperatur optimum 25 0 C – 300 C, kelembaban optimum 80 – 90 %, serta tinggi tempat yang diinginkan yaitu 0 – 50 m dari permukaan laut (Sarpian. T, 1998).
Tanaman lada biasanya ditanam pada daratan rendah, dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Ketinggian tempat di bawah 600 m di atas permukaan laut dan membutuhkan curah hujan minimal 2.200 mm dan maksimal
5.000 mm dalam jangka waktu satu tahun, tetapi pada tempat-tempat yang tinggi penguapan berkurang, curah hujan 1.800 mm telah cukup walaupun tidak ada musim kemarau sama sekali, lada dapat tumbuh dengan baik (Kanisius, 1980).
Menjelang musim berbunga dan berbuah, tanaman tersebut membutuhkan musim kemarau yang tegas, maka pada
tanaman itu akan selalu terjadi
pertumbuhan vegetatif. Tetapi dengan adanya musim kemarau yang tegas, maka daun-daun akan berguguran, pada ruas-ruas daun yang gugur itu setelah hujan datang akan tumbuh tunas, sekaligus akan tumbuh malai bunga. Suhu minimal adalah 200 C dan lengas kelembaban relatif minimal 68 % dan maksimal 93 %.
Tanaman lada sangat peka sekali terhadap goncangan angin. Dengan
adanya angin yang besar dapat
mematahkan atau merobohkan tajar yang sudah ada sebagai rambatan
lada. Angin tersebut juga dapat melepaskan sulur-sulur dan cabang-cabang yang melekat pada tajarnya jadi perlu diikat. Jika tidak diikat akan memanjat lagi, akibatnya akan menjadi sulur gantung atau tetap berrcabang disitu saja (Kanisius, 1980).
Zat pengatur tumbuh pada
49
hara dalam jumlah sedikit dapat
mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologistumbuhan (Daisy Sriyanti dan Ari Wijayani, 1999).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Abidin (1995), di dalam dunia
tumbuhan, zat pengatur tumbuh
mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan untuk kelangsungan hidupnya. Zat pengatur tumbuh pada tanaman merupakan senyawa organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),
menghambat (inhibit) dan dapat
mengubah proses fisiologi tanaman. Sedangkan hormon tumbuh adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologi tumbuhan.
Menurut Pinus Lingga (1989), Zat pengatur tumbuh berfungsi sebagai pengatur yang dapat mempengaruhi jaringan berbagai organ maupun sistem organ tumbuhan.
Keuntungan memakai hormon atau perangsang tumbuh adalah (1)
memperbaiki sistem perakaran,
mempercepat keluarnya akar bagi
tanaman muda, (2) membantu tanaman
menyerap unsur hara dari tanah,
termasuk pupuk yang diberikan (3) mencegah gugurnya daun, bunga dan buah, (4) mempercepat pematangan buah dengan warna yang seragam dan hasil
tinggi, (5) meningkatkan proses
fotosintesis. Dari sejumlah kegunaan hormon tersebut tidak semuanya didapat dari satu jenis hormon saja, melainkan diperoleh dari semua jenis hormon yang ada (Lingga, 1994).
Salah satu zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah Atonik. Atonik merupakan hormon berbentuk cairan yang merangsang pertumbuhan akar tanaman, meningkatkan keluarnya kuncup, pembuahan serta memperbaiki kualitas hasil panen (Pinus Lingga, 1989).
Atonik tidak beracun dan bisa dicampurkan dengan pestisida dan pupuk daun. Selain itu Atonik dapat diberikan hampir pada semua jenis tanaman, baik
sayuran, palawija dan tanamna
perkebunan (Pinus Lingga, 1989). BAHAN DAN METODE
Perobaan ini dilaksanakan di kelurahan Bulu Pabulu, Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo dari Juni sampai September 2017.
Percobaan ini dilaksanakan
dengan menggunakan bahan seperti batang, tanaman lada, tanah, pupuk kandang, polybag ukuran 17 x 11,5 cm, plastik bening ukuran 25 x 14,5 cm, atonik, air, bambu, atap nipah,tiang dari kayu. Sedangkan alat yang digunakan
yaitu cangkul, skop, parang, ember, pisau, setek dan alat tulis menulis.
Metode percobaan terdapat 32 tanaman, adapun simbol perlakuan, yaitu : Kontrol (A0), direndam dalam larutan
atonik 1 cc perliter air (A1), direndam
dalam larutan atonik 1,5 cc perliter air, direndam dalam larutan atonik 2 cc perliter air (A3).
Pengatur pengamatan dilakukan pada semua tanaman yaitu : waktu mulai bertunas, panjang tunas, dan jumlah daun dihitung pada akhir percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil percobaan menunjukkan
bahwa perlakuan perendaman
konstentrasi atonik berbeda tidak nyata terhadap waktu bertua, panjang tunas dan jumlah daun setek lada. Perendaman konsentrasi atonik 1 cc perliter air (A1)
memberikan pertumbuhan terbaik
dibanding perlakuan tanpa perendaman
konsentrasi atonik, perendaman
konsentrasi atonik 1,5 cc perliter air dan perendaman konssntrasi atonik 2 cc perliter air. Hal ini diduga perendaman atonik 1 cc perliter air menyebabkan cukup tersedianya zat pengatur tumbuh di dalam tanaman yang memegang peranan penting untuk mendorong reaksi
biokimia dan perubahan-perubahan
komposisi kimia dalam tanaman.
Bersama dengan terjadinya
perubahan-perubahan tersebut di dalam tubuh
tanamn yang akhirnya mendorong
terbntuklah bagian vegetatif tanaman seperti akar dan daun. Ketersediaan zat pengatur tumbuh ini selain diperoleh dari luar yakni dengan perendaman atonik juga diperoleh dalam tanaman itu sendiri secara alami yakni berubah auksin, sitokinin dan giberellin. Menurut Sarpian (2001), bahwa pemberian zat pengatur
tumbuh berfungsi untuk mengatur
proses-proses fisiologi tanaman seperti pembelahan sel, pemanjangan sel hingga terjadi pembentukan akar, batang, daun, dahan, ranting, bunga dan buah. Menurut Gardner (1991) zat pengatur tumbuh alami yang terdapat pada tanaman antara lain auksin, sitokinin, dan giberellin
yang berfungsi untuk merangsang
perpanjangan sel dan pemanjangan batang.
Perlakuan tanpa perendaman
atonik memperlihatkan pertumbuhan yang lebih lambat, hal ini disebabkan kurangnya zat pengatur tumbuh dalam
tanaman sehingga reaksi biokimia
lambat yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan tanaman.
Sedangkan perlakuan
perendaman atonik, 1,55 cc dan 2 cc
perliter air juga memperlihatkan
pertumbuhan yang lambat dibanding perlakuan perendaman atonik 1 cc perliter air hal ini diduga disebabkan
51 karena zat pengatur tumbuh di dalam
jumlah yang berlebih sehingga
menghambat pertumbuhan tanaman. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sarpian (2001), bahwa pemakaian zat pengatur tumbuh yang berlebihan akan berakibat
sebaliknya, zat tersebut bukan
merangsang, tetapi akan menghambat pertumbuhan tanaman.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan
dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman konsentrasi atonik 1 cc perliter air memberikan pengaruh terbaik terhadap waktu bertunas, panjang tunas dan jumlah daun setek lada.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1995. Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa: Bandung
Daisy Srijayanti dan Ari Wijayani, 1999.
Teknik Kultur Jaringan. Kanisius: Yogyakarta
Gardner P. Franklin, Pearce R. Brent,
Mitchell L. Roger, 1991.
Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia: Jakarta
Kanisius, 19980. Bercocok Tanaman
Lada. Kanisius: Yogyakarta
Koesriningrum dan Sri Setyati, 1973.
Pembiakan Vegetatif. Departemen Agronomi: Fakultas Pertanian IPB
Pinus Lingga, 1994. Petunjuk
Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya: Jakarta
Pinus Lingga, 1989. Petunjuk
Penggunaan Pupuk. Swadaya: Jakarta
Rini Wudianto, 1988. Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. Penebar Swadaya: Jakarta
Risminandar, 2001. Lada Budidaya dna Tata Niaga. Penebar Swadaya Jakarta
Sarpian. T, 2001. Lada Mempercepat
Berbuah Meningkatkan Produksi Memperpanjang Umur. Penebar Swadaya, Jakarta