KABUPATEN OGAN KOMRING ILIR PROVINSI
SUMATERA SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperole hgelar
Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh: RODI HANEDI NIM: 108054000010
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i NAMA: RODY HANEDY
NIM: 108054000010
JUDUL: Etos Kerja Masyarakat Pesisir DI Desa Simpang Tiga Jaya Kecamatan Tulung Selapan Kabupatyen Ogan Komring Ilir Provinsi Sumatra Selatan.
Sebagai Negara maritime Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kawasan inilah yang disebut kawasan pesisir yang memiliki potensi dan sumber daya alam yang berlimpah. Walaupun wilayah pesisir dihuni oleh banyak orang yang gagal memanfaatkannya. Maka wilayah pesisir sering dikatakan sebagai kantung-kantung kemiskinan yang strurtural dan potensial.khususnya di desa simpang tiga jaya terjadinya kesenjangan perekonomian, sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya potensi kelautan Indonesia sangat beragam dan melimpah. Namun mengapa justru para penduduk pantai khususnya petani dan nelayan tradisioanal justru terlilit masalah kemiskinan.
Mayoritas masyarakat kita adalah islam, dan dalam konteks ini peran agama menjadi sangat penting, terutama dalam kaitannya membentuk Etos Kerja produktif dan mandiri. Penelitian ini dilakukan di Pesisir pantai Desa Simpang Tija Jaya. Kabupaten Ogan Komring Ilir Sumatra Selatan. Dan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Etos Kerja Masyarakar pesisir di desa simpang tiga jaya ? serta bagaimana keterkaitan Etos Kerja yang sudah dimiliki masyarakat pesisir pantai simpang tiga jaya dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
ii
Alhamdulillahllahirabbilalamiin atas berkat rahmat Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang selalu memberikan limpahan karunia kepada hambanya. Skripsi yang berjudul “”Etos Kerja Masyarakat Pesisir di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komring Ilir Provinsi Sumatera selatan” ini telah berhasil penulis rakumangkan. Guna mendapatkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam tak lupa selalu penulis curahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umat yang selalu setia
pada syafaatnya hingga akhir zaman. Terima kasih penulis hanturkan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini. Atas bantuan
baik itu berupa dukungan, tenaga maupun waktu dan materi. Tiada kata-kata yang bisa mengugkapkan rasa terima kasih penulis selain ’Jazakumullah Khairaa Katsira” semoga kebaikan dari semua pihak dibalas Allah dengan berlipat ganda. Adapun pihak-pihak yang berjasa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
mendalam kepada :
1. Bapak Dr. Arif subhan M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Wati Nilamsari, M.Si. selaku KETUA jurusan Pengembangan Masyarakat
Islam.
3. Bapak M. Hudri, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pengembangan Masyarakat
Islam.
4. Ibu Nurul Hidayati, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi petunjuk dan nasehat
iii
6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan
Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmul Komunikasi yang telah
menyediakan buku dan fasilitas Wifi untuk mendapatkan referensi dan
memperkaya skripsi ini.
7. Keluarga Tercinta, Ayahanda Muhammad Damiri Afendi dan Ibunda Jamila
beserta adik-adikku Rizal Afendi, Mardina, Rosaldi Bagus Santoso yang selalu setia memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril dan materil, serta kasih sayang yang besar sehingga penuh dapat menyelesaikan study ini dengan baik dan lancar.
8. Sahabat-sahabatku terimah kasih yang selalu meberikan dukungan baik suka
dan duka dan kebersamaan selama penulis menggarap skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan mahasiswa (Pengembangan Masyarakat Islam)
angkatan 2008
Terima kasih dengan tulus untuk semuanya,penulis hanya bisa berdo’a
semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan study di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dibalas oleh Allah
SWT.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca padaumumnya.
Jakarta, 30 September 2014
iv HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIBIMBING
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR. ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL. ... vii
DAFTAR LAMPIRAN. ... BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ... 1
B. Batasan Masalah. ... 6
C. Rumusan Masalah. ... 7
D. Tujuan Penelitian. ... 7
E. Manfaat Penelitian. ... 8
F. Metodologi Penulisan ... 8
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Etos Kerja ... 10
1. Pengertian Etos Kerja. ... 10
2. Terbentuknya Etos Kerja Islami. ... 12
v
B. Masyarakat Pesisir ... 21
1. Pengertian Masyarakat Pesisir ... 21
2. Karacteristik Masyaakat Pesisir ... 27
3. Sistim Kekerabatan Mayarakat Nelayan ... 29
4. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. ... 32
5. Gaya Hidup Nelayan ... 36
6. Strategi Pemberdayaan Nelayan. ... 36
7. Perspektif Nelayan Terhadap Pendidikan Dini. ... 39
BAB III METODOLOGI PRNELITIAN. A. Metodologi Penelitian. ... 42
B. Lokasi dan Jadwal Penelitian. ... 43
C. Populasi dan Sampel... 43
D. Variabel.. ... 44
E. Tekhnik Pengumpulan Data. ... 44
1. Observasi.. ... 45
2. Dokumentasi... 46
3. Wawancara. ... 46
4. Angket. ... 47
vi
B. Deskriptip Data Responden Penelitian. ... 57
C. Deskripsi Data. ... 58
D. Hasil Penelitian. ... 59
BAB V KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan. ... 76
B. Saran . ... 77
DAFTAR PUSTAKA. ... 78
1 A. Latar Belakang Masalah
Sebagai Negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia,
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dari 67.439 desa di Indonesia kurang
lebih 9.261 desa dikatagorikan sebagai desa pesisir. Yang sebagian besar
penduduknya miskin.1
Sebagai daerah peralihan antara daratan dan lautan, kawasan pesisir
merupakan kawasan yang unik ditinjau dari karakteristiknya ekososio-sistemnya,
yakni: (a) kawasan pesisir merupakan multiple-use zona yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, dan memiliki open access untuk semua yang
berkepentingan, (b) beberapa habitat di kawasan pesisir menpunyai atribut
ekologis” (spesies endemic, spesies langka dll) dan ”proses-proses ekologis”
(daerah pemijahan, daerah asuhan, alur migrasi biodata dll) yang menentukan
daya dukungan kawasan pesisir dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan, dan (c) seluruh limbah dan sediment yang berasal dari daratan
(kawasan hulu) akan mengalir dan terakumulasi di kawasan pesisir.2
Jika ditinjau dari fungsinya, ekosistem pesisir memiliki empat fungsi utama
bagi kehidupan manusia, yaitu:
1) Sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan.
Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan
1
Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2006),h-1 2
3 Sebagai penyedia sumber daya alam
4 Sebagai penerima atau penyerap limbah
Sebagai pendukung eksistensi kehidupan manusia. Wilayah pesisir
menyediakan jasa-jasa pendukung kehidupan seperti udara yang sangat segar, air
yang bersih dan juga ruang bagi barbagai kegiatan manusia.3
Bank dunia memper hitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49% dari total
penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan
tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari.
Badan Pusat Statistik (BPS) dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank
dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia “hanya” sebesar 34,96 juta
orang (15,42%). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan
ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka
tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdebatkan masalah
banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi
untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat
minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47%) penduduk miskin
di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan
bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan)
hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp.
48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat
antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya
angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah
lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya
lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung
dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan
jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang
dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan.
Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi
masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan
yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
Wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan
merupakan sumber daya pontensial di Indonesia. Wilayah ini merupakan kawasan
yang mempunyai karakteristik dan problem yang unik dan kompleks. Unik secara
ekonomi karena berkontribusi penting sebagi sarana pelabuhan dan bisnis
komersial lainnya, yang dapat menghasilkan banyak keuntungan financial. Karena
itu tidaklah mengherankan jika wilayah pesisir dihuni oleh oleh lebih dari
setengah penduduk dunia.4
Berdasarkan pada potensi wilayah tersebut, sumber daya kelautan akan
menjadi tumpuan harapan bangsa di masa depan. Di dalam wilayah laut dan
pesisir tersebut terkandung sejumlah potensi pembangunan yang besar dan
beragam, antara lain sumber daya bisa diperbaharui, sumber daya yang tidak bisa
4
diperbaharui, environmental service, dan lagi temuan benda-benda berharga asal
muatan kapal yang tenggelam dibawah permukaan laut yang memiliki nilai
ekonomi dan sejarah yang tinggi.5
Mereka yang menghuni wilayah pesisir disebut sebagai masyarakat pesisir.
Masyarakat pesisir diartikan sebagai kelompok orang yang bermukin di wilayah
pesisir, mempunyai mata pencaharian dari sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan pesisir dan laut, misalnya nelayan, penbudidaya ikan atau udang,
pedagang, pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut,
pemilik galangan kapal dan coastal dan engineering.6
Walaupun wilayah pesisir dihuni oleh banyak orang serta memiliki potensi
yang sangat besar, namun tidak sedikit orang gagal memanfaatkannya. Sebagai
contoh masyarakat pesisir nelayan kecil, umumnya masih sangat miskin dengan
tingkat pendapatan rendah, posisi tawar mereka sangat rendah dan permasalahan
hidup lainnya.7
Oleh karena banyak orang yang gagal memanfaatkan wilayah pesisir maka
wilayah pesisir sering dikatakan sebagai kantong-kantong kemiskinan struktural
yang pontesial. Pada dasarnya pengelolaan sosial dalam masyarakat nelayan dapat
ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi
atau peralatan tangkap, struktur masyarakat nelayan terbagi dalam katagori
nelayan pemilik (alat produksi) dan nelayan buruh. Dalam kegiatan produksi
nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dan memperoleh hak-hak
5
Moh. Ali Azis, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005),h-133
6
Burhanudin Safari, dkk, h-14 7Ibid.,
yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya,
struktur masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan besar dan nelayan
kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam
usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya.
Ketiga dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan,
masyarakat nalayan modern reltif kecil dibandingkan nelayan tradisional.8
Dalam masa-masa sepi penghasilan, biasanya para istri dan anak-anak
nelayan, harus berjuang keras ikut mencari nafkah dengan melakukan segala
pekerjaan yang mendatangkan penghasilan. Demikan juga ketika sedang tidak
melaut, nelayan buruh dapat berkerja apa saja di daratan untuk memperoleh
penghasilan sehingga kelangsungan hidup rumah tangganya dapat dijamin. Seperti
bekerja di tambak udang atau ikan, itu salah satu artenatif jalan keluar jika
datangnya musin para pelaut anjelok. Akan tetapi, sejauh mana peluang-peluang
kerja tersebut bisa di peroleh anggota-anggota rumah tangga nelayan buruh sangat
ditentukan juga oleh karakteristik struktur sumber ekonomi desa setempat.9
Oleh sebab itu keadaan seperti ini akan mengakibatkan keadaan mereka
manjadi terpuruk. Sebagi mana yang dikatakan oleh Yusuf Solichien
Martadiningrat ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
di Medan, Sumatera Utara, belum lama ini, data yang ia miliki menyatakan bahwa
sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 92% dari 16,2 juta nelayan di Indonesia hidup di
bawah garis kemiskinan.10
8
Kusnadi, Komflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta : LKIS, 2006), h-9 9Ibid.,
h-7 10
Begitu pula dengan yang terjadi pada masyarakat pantai pesisir di desa
simpang tiga jaya yang mayoritas di desa ini adalah nelayan, setelah peneliti
mengamati adanya kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Maka dari itu penulis ingin mengetahui lebih dalam faktor yang menjadikan desa
ini mengalami kesenjangan sosial khususnya dalam hal kesejahteraan dalam
bidang ekonomi sehari-hari.
Atas dasar hal-hal yang telah dibahas maka sepertinya menjadi penting bagi
kita untuk mengetahui atau mempelajari sudahkah etos kerja diterapkan oleh
masyarakat dalam meningkatkan taraf kesejahteraannya, yang khususnya dalam
hal ini adalah masyarakat pantai pesisir di desa Simpang Tiga Jaya.
Hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh bagaimana
etos kerja yang diterapkan oleh masyarakat pesisir desa Simpang Tiga Jaya serta
bagaimana kaitannya dengan peningkatan taraf kesejahteraannya. Untuk penulis
memilih judul ”Etos Kerja Masyarakat Pesisir di Desa Simpang Tiga Jaya,
Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komring Ilir Provinsi
Sumatera selatan”.
B.Batasan Masalah
Agar masalah penelitian ini tidak terlalu luas maka peneliti memberikan
batasan masalah:
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Etos kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebiasaan kerja
atau cara kerja yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di desa simpang
2. Kesejahteraan ekonomi yaitu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang
mendasar pada setiap masyarakat yang tinggal di desa simpang tiga
jaya. Kebutuhan-kebutuhan yang dapat menunjang kehidupan
masyarakat menjadi lebih mudah seperti pendidikan dan lembaga
swadaya masyarakat yang turut menunjang dan andil untuk mencapai
kesejahteraan suatu daerah.
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan yang dijelaskan, maka rumusan masalah
pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana etos kerja masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya?
2. Apakah etos kerja yang dimiliki masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya
dapat memperbaiki kesenjangan sosial yang terjadi di desa tersebut?
3. Apa faktor penyebab yang mempengaruhi etos kerja masyarakat Desa
Simpang Tiga Jaya?
D.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui etos kerja yang dimiliki masyarakat desa simpang
tiga jaya.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana etos kerja yang dimiliki
oleh masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya.
3. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi etos kerja
E.Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi universitas
yang membidangin ilmu sosial, khususnya jurusan pengembang masyarakat,
dalam rangka menciptakan program pendidikan, kurikulum, serta network
untuk pendidikan.
2. Penelitian ini agar diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan
pengaruh, baik bagi para pembacanya maupun bagi para praktisi
pengembangan masyarakat, khususnya yang membidangi ilmu sosial.
3. Penelitian ini ddiharapkan dalap memberikan informasi dan bahan masukan
bagi lembaga-lembaga khususnya yang berada di desa simpang jaya agar
lebih meningkatkan lagi sumber daya masyarakat untuk tercapainya
perekonomian yang lebih baik.
F.Metodologi Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis yaitu menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian
berupa data dan informasi yang berkaitan dengan tema yang diteliti.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etos kerja yang dimiliki
masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya. Maka untuk mengetahui lebih dalam etos
kerja yang dimiliki masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya peneliti mempersiapkan
angket yang akan disebarkan kepada sampel yang telah dipilih secara random atau
acak dari banyaknya populasi yang ada di Desa Simpang Tiga Jaya. Adapun
pengamatan dan menggunakan data dokumentasi, wawancara kepada beberapa
pihak yang terpilih untuk memperkuat analisa peneliti dan upaya melengkapi
BAB II
kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu.Etos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta system nilai yang diyakini.11
Menurut Nurcholis Madjid, etos berasal dari bahasa yunani (ethos), artinya
watak atau karakter. Secara etos adalah karakter dan sikap, kebiasaan serta
kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau
sekelompok manusia.12
Sedangkan menurut Geertz, etos suatu bangsa adalah sifat, watak, kualitas
kehidupan mereka, moral, gaya, estetis, dan suasana-suasana hati mereka. Etos
adalah sikap mendasar terhadap dari mereka dan terhadap dunia mereka yang
direfleksikan dalam kehidupan.13
Berdasarkan defenisi etos diatas maka peneliti mendefinisikan etos sebagai
sikap atau pola prilaku seseorang terhadap sesuatu.
11 K. H. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerji, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 15 12 Ibid.,
h.26 13
Kusnadi, JaminaSosial Nelayan, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,2007), h.102
Teori Weber tertarik untuk membahas masalah manusia yang dibentuk oleh
budaya di sekitarnya, khususnya agama. Weber tertarik untuk mengkaji pengaruh
agama, pada saat itu adalah protestanisme yang mempengaruhi munculnya
kapitalisme modern di Eropa. Pertanyaan yang diajukan oleh Weber adalah
mengapa beberapa negara di Eropa dan Eropa mengalami kemajuan yang pesat di
bawah system kapitalisme. Setelah itu, Weber melakukan analisis dan mencapai
kesimpulan bahwa salah satu penyebabnya adalah Etika Protestan.
Kepercayaan atau etika protestan menyatakan bahwa hal yang menentukan
apakah mereka masuk surge atau masuki neraka adalah keberhasilan kerjanya
selama di dunia. Apabila dia melakukan karya yang bermanfaat luas maka dapat
dipastikan bahwa dia akan mendapatkan surga setelah mati. Semangat inilah yang
membuat orang protestan melakukan kerja dengan sepenuh hati dan etos kerja
yang tinggi. Dengan demikian, seluruh pekerjaan yang dilakukan akan serta-merta
menghasilkan surga dan agregat semangat individual inilah yang memunculkan
kapitalisme di Eropa dan Amerika.
Hasil penelitian Weber ini merupakan penelitian pertama yang
menghubungkan antara agama dan pertumbuhan ekonomi. Dan jika diperluas,
maka agama bisa menjadi sebuah kebudayaan dan hal ini kemudian merangsang
penelitian mengenai bagaimana hubungan antara kebudayaan dan pertumbuhan
ekonomi. Selanjutnya, istilah Etika Protestan ini menginspirasi Robert Bellah
yang menulis tentang agma Tokugawa yang ada di Jepang dan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ekonomi di Jepang, hal itu bisa dilihat bagaimana tingginya
diIndonesia, bahwa semangat agama di Indonesia dapat mendukung, mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.14
1.2. Pengertian Kerja
Ada pun kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) kegiatan
melakukan sesuatu yang dilakukan (diperbuat) yang dilakukan untuk mencari
nafkah atau mata pencaharian.15
Dalam buku Membudayakan Etos Kerja Islami, makna bekerja bagi seorang
muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh
aset, pikir, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya
sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga kita
katakana bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.16
Berdasarkan definisi kerja diatas, maka peneliti mendefinisikan kerja
sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, dan
kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan.
1.3. Pengertian Etos Kerja
Etos kerja, menurut Mochtar Buchori dapat diartikan sebagai sikap dan
pandangan terhadapat kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai
cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa. Sedangkan dalam buku Dakwah Penberdayaan Masyarakat, etos kerja pada
hakikatnya dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem nilai-nilai yang dianut oleh
14
http://febasfi.blogspot.com/2013/05/teori-modernisasi-max-weber-etika. 15
Hoetomo, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h.266 16
seseorang dalam bekerja kemudian membentuk semangat yang membedakanya,
antara yang satu dan yang lain.17
Dengan demikian etos kerja Islam merupakan refleksi pribadi seorang
khalifah yang berkerja dengan bertumpu pada kemampuan konseptual yang
dimilikinya, bersifat kreatif dan inovatif.18
2. Terbentuknya Etos Kerja Islami
Manusia bukan entitas homogeny, melainkan suatu realitas heterogen yang
tidak jarang merupakan carut-marut yang tak teratur. Menurut Hanna Djumhana
Bastaman (seorang psikolog yang serius mengkaji keterkaitan psikologi dengan
Islam) ciri manusia antara lain: ia merupakan kesatuan dari empat dimensi, yakni:
fisik-biologis, mental-psikis, sosio-kultural, dan spiritual. Sehingga untuk
memahami tingkah laku seseorang perlu dipertimbangkan perasaan, keinginan,
harapan dan aspirasinya.
Sehingga penelitian dan pembahasan cara terbentuknya etos kerja manusia
tidak boleh mengabaikan kenyataan-kenyataan seperti yang diungakap di atas.
Salah satu karakteristik yang melekat pada etos kerja manusia, ia merupakan
pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja. Dikarenakan latar
belakang keyakinan dan motivasi berlainan, maka cara terbentuknya etos kerja
yang tidak bersangkut paut agama (non agama) dengan sendirinya mengandung
perbedaan dengan cara terbentuknya etos kerja yang berbasis ajaran agama, dalam
hal ini etos kerja islami. Tentang bagaimana etos kerja dapat diaktualisasiakan
17
Moh. Ali Azis, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005), h.35
dalam kehidupan manusia yang bersifat dinamis, majemuk, berubah-ubah, dan
antara satu dengan lainya mempunyai latar belakang, kondisi sosial dan
lingkungan yang berbeda. Perubahan sosial ekonomi seseorang dalam hal ini juga
dapat mempengaruhi etos kerjanya. Disamping terpengaruh oleh faktor eksternal
yang amat beraneka ragam, meliputi faktor fisik, lingkungan, pendidikan dan
latihan, ekonomi dan imbalan, Ternyata etos kerja juga sangat dipengaruhi oleh
faktor internal bersifat psikis yang begitu dinamis dan bagian diantaranya
merupakan dorongan alamiah seperti basic need dengan berbagai habatannya.
Ringkasnya, etos kerja seseorang tidak teruntuk oleh hanya satu dua variabel.
Proses terbentuknya etos kerja (termasuk etos kerja Islami) seiring dengan
kompleksitas manusia yang besifat kodrati, melibatkan kondisi, prakondisi dan
faktor-faktor yang banyak: fisik bilogis, mental psikis, sosio-kultural dan mungkin
spiritual transcendental. Jadi, etos kerja bersifat kompleks serta dinamis.19
Kemajuan Islam tidak terlepas dari peran serta ilmuan Islam, termasuk para
ekonom muslim. Peran para ilmuwan muslim tersebut terinspirasi oleh pesan
wahyu Al-Quran untuk pendayagunaan akal. Inilah mutiara yang hilang dewasa
ini dan sebagai akibatnya Dunia Islam tertinggal dan kehilangan daya saing.
Motivasi keilmuwan lebih banyak diisi oleh keinginan memiliki materi sebanyak
mungkin (materialisme).
Materialisme mengajarkan bahwa kesejahteraan diukur dari pemilikan
barang-barang mewah. Semakin banyak barang mewah yang dimiliki maka
tingkat kesejahteraannya semakin tinggi pula, begitu pun sebaliknya logika
19Ibid.
masyarakat sekarang tentang kesejahteraan terkontruksi dengan pemikiran
materialisme. Dimana sangat tidak masuk akal dalam arti lain sangat susah untuk
diterima oleh akal jika mengatakan bahwa orang yang tinggal di gubuk sederhana
jauh lebih sejahtera dibanding dengan orang yang tinggal di apartemen mewah,
atau menganggap gila jika ada yang mengatakan bahwa orang yang hanya
memiliki sepeda butut jauh lebih sejahtera dibanding dengan orang yang memiliki
BMW limitted edition. Adanya perubahan struktur sosial masyarakat saat ini tidak
dapat dipisahkan dari sistem ekonomi yang dianut. Sistem ekonomi kapitalis yang
memuja materi sebagai indikator kesejahteraan (economisentris). Atas dasar
kalkulasi-kalkulasi ekonomi yang ada dalam benak dan pikiran yang kemudian
membangun relasi-relasi sosial ekonomi masyarakat. Inilah yang membentuk
penerimaan individu terhadap masyarakat. Orang akan lebih dihargai jika
memiliki ekonomi yang bagus.
Sisi-sisi buruk pembangunan ekonomi, secara sosial yang diakibatkan oleh
ketimpangan distribusi pendapatan, dimana golongan kaya semakin kaya dan
golongan miskin semakin memiriskan. Relasi-relasi sosial semakin menurun,
lebih menghargai individu yang memiliki atau bagus secara ekonomi dibanding
individu yang memiliki kualitas sosial dan moral yang bagus. Hal ini terbukti
ketika saat ini masyarakat ternyata lebih menghargai individu yang punya banyak
uang walau seorang koruptor dibanding orang alim atau baik hati tapi miskin.
Lebih dari itu perlu dijadikan catatan penting bahwa manusia adalah mahluk
biologis, sosial, intelektual, spiritual dan pencarian Tuhan. Ia berjiwa dinamis.
sering mengalami kesukaran untuk membebaskan diri dari pengaruh faktor-faktor
tertentu, baik yang bersifat internal maupun eksternal.Yang bersifat internal
timbul dari faktor psikis misalnya dari dorongan kebutuhan, frustasi, suka atau
tidak suka, persepsi, emosi, kemalasan, dan sebagianya. Sedangkan yang bersifat
eksternal, datangnya dari luar seperti faktor fisik, lingkungan alam sekitar,
pergaulan, budaya, pendidikan pengalaman dan latihan, keadaan politik, ekonomi,
imbalan kerja, seperti janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran agama. Serta
kesehatan pun memainkan peranan amat penting20
3. Indikasi-Indikasi Orang Beretos Kerja Tinggi
Indikasi-indikasi etos kerja yang terefleksi dari pendapat-pendapat para
ahli yang dikemukakan berdasarkan konteks daerah, isme atau Negara-negara
tertentu, namun secara universal kiranya cukup menggambarkan etos kerja yang
baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai
sebagai etos kerja yang diaktualisasikan dalam aktivitas kerja. Adapun
indikasi-indikasi orang beretos kerja tinggi pada umumnya meliputi sifat-sifat:21
1. Aktif dan suka bekerja keras
2. Bersemangat dan hemat
3. Sederhana, tabah dan ulet
4. Mandiri
5. Tekun dan professional
6. Jujur, disiplin, dan bertanggung jawab
20Ibid.
, h.32-33 21Ibid.
7. Rasional serta mempunyai visi yang jauh kedepan
8. Efisien dan kreatif
9. Percaya diri namun mampu bekerja sama dengan orang lain
10. Sehat jasmani dan rohani.22
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
Faktor-faktor yang pontensial mempengaruhi proses terbentuknya etos kerja
selain banyak, dan tidak banyak di latar belakangi oleh kauslitas plural yang
kompleks hingga memunculkan berbagai kemungkinan. Maka, tidak aneh kalu
sejumlah pakar lalu menampilkan teori bertolak dari tinjauan tertentu yang
berbeda antara satu dengan lainnya.Dapat ditambahkan kiranya teori iklim yang
dikemukakan oleh sejumlah pakar ilmu sosial. Mereka berpendapat iklim
berpengaruh terhadap etos kerja penduduk. Negara yang berlokasi didaerah
subtropik mempunyai iklim yang merangsang warganya untuk bekerja lebih giat.
Sebaliknya Negara-negara yang terletak di sekitar khatulistiwa, karena iklimnya
panas, meyebabkan warga negaranya kurang giat bekerja dan lebih cepat lelah.
David C. McCelland menyatakan terori ini mengandung banyak kelemahan.
Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa Negara-negara yang iklimnya
relative tidak berdeda jauh, ternyata pertumbuhan ekonominya berbeda. Kalau
dianalisis lebih cermat, pendapat Miller dan Form, mungkin mengandung
kebenaran meskipun tidak seluruhnya. Apa yang dikemukakan McCellend juga
serupa itu. Karena faktor-faktor yang melatar belakangi manusia giat bekerja atau
sebaliknya, hakikatnya tidak terbatas pada hanya satu, dua atau tiga faktor saja.
22Ibid.
Demikian pula berkenaan dengan teori-teori lainya yang menonjolkan faktor ras,
penyebaran budaya, dan sebagainya. Masing-masing tidak ada yang menjadi
faktor satu-satunya penyebab, tetapi sangat mungkin masing-masing ikut
memberikan pengaruh dan ikut berperan dalam rangka terbentuknya etos kerja.23
Manusia memang makhluk yang sangat kompleks.Ia memiliki rasa suka,
benci, marah gembira, sedih, berani, takut, dan lain-lain.Ia juga mempunyai
kebutuhan, kemauan, cita-cita, dan angan-angan. Manusia mempunyai dorongan
hidup tertentu, pikiran dan pertimbangan-pertimbangan dalam mentukan sikap
dan pendirian. Selain itu, ia juga mempunyai lingkungan pergaulan dirumah atau
ditempat kerjanya. Realitas sebagaimana tersebut diatas tentu mempengaruhi
dinamika kerjanya secara langsung atau tidak. Sebagi misal ras benci yang
terdapat pada seorang pekerja, ketidak cocokan terhadap atasan atau teman satu
tim, keadaan seperti itu sangat potensial untuk menimbulkan dampak negative
pada semangat, konzentrasi, dan stabilitas kerja orang yang bersngkutan.
Sebaliknya rasa suka pada pekerjaan, kehidupan keluarga yang harmonis, keadaan
sosio cultural, sosial ekonomi dan kesehatan yang baik, akan sangat mendukung
kegairahan dan kativitas kerja. Orang yang bekerja sesuai dengan bidangnya dan
cita-cita dibandingkan dengan orang yang bekerja diluar bidang dan kehendak
mereka, niscaya tidak sama dalam antusias dan ketekunan kerja masing-masing.24
Disamping itu faktor lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim
dan sebagainya berpengaruh terhadap sikap kerja orang itu, sedangkan dimensi
transcendental adalah dimensi yang melampui batas-batas nilai materi yang
23Ibid.
, h.39-40 24Ibid.
mendasari etos kerja manusia hingga pada demensi ini kerja dipandang sebagai
ibadah.Jalaludin secara lebih tegas mengemukakan agama dapat menjadi sumber
motivasi kerja, karena didorong oleh rasa ketaatan dan kesadaran ibadah.Etos
kerja terpencar dari sikap hidup mendasar manusia tehadap kerja. Konsekuesinya
pandangan hidup yang bernilai transenden juga dapat menjadi sumber motivasi
yang berpengaruh serta ikut berperan dalam proses terbentuknya sikap itu.
Nilai-nilai transenden akan menjadi landasan bagi berkembangnya spiritualitas sebagai
salah satu faktor yang efektif membentuk kepribadian. Etos kerja tidak terbentuk
oleh kualitas pendidikan dan kemampuan semata.Faktor-faktor yang berhubungan
dengan inner life, suasana batin dan semangat hidup yang terpancar dari
keyakinan dan keimanan ikut menentukan pula. Oleh karena itu agama (islam)
jelas dapat menjadi sumber nilai dan sumber mitivasi yang mendasari aktivitas
hidup, termasuk etos kerja pemeluknya.25
5. Karakteristik Etos Kerja dalam Islam
5.1. Kerja merupakan Penjabaran Aqidah
Ajaran agama merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan sebab
timbulnya keyakinan, pandangan serta sikap hidup mendasar yang menyebabkan
etos kerja tinggi manusia terwujud. Maka etos kerja dalam islam merupakan
pancaran keyakinan orang muslim dan muslimah bahwa kerja berkaitan dengan
tujuan mencari ridhaa Allah, yakni dalam rangka ibadah. Dan bahwasanya untuk
mendekatkan diri serta memperoleh ridha Allah, seorang hamba harus melakukan
amal saleh yang dikerjakan dengan ikhlas hanya karena dia semata, yakni dengan
25Ibid.
memurnikan tauhid. Definisi ibadah mencakup perkataan dan perbuatan apa saja
yang disukai dan di ridhai oleh Allah SWT baik yang bersifat lahir dan batin.
Yang bersifat lahir atau Nampak misalnya pengamalan rukun Islam, berbicsrs
benar, menunaikan amanah, dan silaturahmi. Adapun yang bersifat batin seperti
ikhlas, sabar, bersyukur tawakal berusaha mencintai keadilan dan kebenaran, dan
kegiatan-kegiatan batin lain yang disukai dan mendapat ridha Allah. Maka kerja
dan perbuatan posistif yang (pada mulanya) bernilai sukuler dan bersifat duniawi
belaka dapat beubah menjadi bernilai ibadah seperti kegiatan dibidang pertanian,
bisnis, pekerjaan rumah tangga, dan olah raga yang dilakukan secara baik-baik,
dengan syarat didasri niat, motivasi, atau komitmen ibadah.26
5.2. Kerja Dilandasi Ilmu
Tanpa iman kerja hanya dapat berorientasi pada pengejaran materi.
Kemungkinan besar hal itu akan melahirkan keserakahan, sikap terlalu
mementingkan diri sendiri, merugikan diri sendiri dan orang lain. Kerja tanpa
iman dapat mendorong prilaku manusia tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan
dan melahirkan alienated man. Oleh karena itu, tanpa ilmu iman mudah menjadi
salah satu arah yang dapat mengoyakan keimanan kita atau mengelincirkan kita,
karena dilandasi pemahaman yang tidak proposional. Keadaan demikian akan
mengakibatkan keyakinan dan sikap keliru pada orang yang bersangkutan. Jadi
iman, ilmu dan kerja dalam rangka mewujudkan amal ibadah, ternyata
masing-masing memegang atau memaikan peranan urgen bagi yang lain. Keistimewaan
sekaligus kelebihan manusia terutama bertolak dari akal yang dianugrahkan tuhan
26Ibid.
kepadanya. Dan karena mempunyai akallah, manusia berhasil menguasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, mencapai kebudayaan dan peradaban tinggi.
Karenanya, manusia juga dapat mangatur dan memanfaatkan alam sekitar bagi
kesejahteraannya baik untuk mas kini maupun mendatang.27
5.3. Kerja Dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi Serta Mengikuti Petunjuk-petunjuknya
Kalau dikaji lebih jauh, memang banyak sifat-sifat manusia yang
mempunyai nama, sebutan, bahkan indikasi yang serupa dengan Al-Asma’ Ul
-Husna dan sifat-sifat Allah. Namun demikian, tentu saja dalam bentuk sarta
kualitas yang sangat jauh berbeda karena tidak ada satupun yang bisa
menyerupainya. Namun dari meneladani sifat-sifat ilahi dapat di gali sikap kerja
aktif, kreatif, tekun, konsekuen, adil, kerja didukung ilmu pengetahuan dan
teknologi, visioner, berusaha efektif dan efisien, percaya diri, dan mandiri. Allah
menunjuk betapa Dia memiliki sifat maha sempurna dalam bekerja. Maka
manusia juga dapat mengembangkan aktivitas dan prestasinya sampai tingkat
tinggi menurut ukuran manusiawi, kalau dia berusaha sesungguh-sungguhnya.
Manusia punya pontensi untuk mengembangkan karakteristik etos kerja tinggi
seperti aktif, berencana, efisien, efektif, disiplin, professional, ilmiah, kritis
konstruktif, dan indikasi-indikasi etos kerja tinggi lainya.Allah Maka Kuasa (Al-
Malik) dengan kekuasan yang tak terbatas dan maha pengatur (Al-Mudabbir),
manusia juga punya potensi untuk menguasai memimpin, dan mngembangkan
manajemen di bidang usaha, plitik, sosial, dan lain-lain.28
27Ibid.
, h. 112-113 28Ibid.,
B. Masyarakat Pesisir
1. Pengertian Masyarakat Pesisir
Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama,
yang kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpulbersama,
hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya
mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat (Indonesia).29
Menurut Abdul Syani bahwa masyarakat merupakan kelompok-kelompok
makhluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut
hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan yang tersendiri.
Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga
tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak
dalam kehidupan.
Supaya dapat menjelaskan pengertian masyarakat secara umum, maka
perlu ditelaah tentang ciri-ciri dari masyarakat itu sendiri. Menurut Soerjono
Soekanto, menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk
kehidupan bersama manusia, maka masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok
yaitu:
1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang
mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah
manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya
ada dua orang yang hidup barsama.
29
Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan (Bandung: PT Bumi Aksara,
2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia
tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya
kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia,
maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat
bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai
keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya.
Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan
timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia
dalam kelompok tersebut.
3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan
bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok
merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.30
Nelayan di dalam Ensiklopedia Indonesia digolongkan sebagai pekerja,
yaitu orang-orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik
secara langsung maupun tidak lansung sebagai mata pencahariannya.31 Dalam
kamus besar Indonesia pengertian nelayan adalah orang yang mata pencaharian
utama dan usaha menangkap ikan di laut.32
Masyarakat nelayan sendiri secara geografis adalah masyarakat yang hidup,
tumbuh, dan berkembang dikawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara
30
Ibid., h. 32
31
Ensklopidia Indonesia 1983, Ichtiar Baru-Van Heave dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, h. 133
32
wilayah darat dan laut.33 Sedangkan menurut M. Khalil Mansyur mengatakan bahwa masyarakat nelayan dalam hal ini bukan berarti mereka yang dalam
mengatur hidupnya hanya mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarganya
akan tetapi juga orang-orang yang integral dalam lingkungan itu.34
Dari beberapa definisi masyarakat nelayan dan definisi nelayan yang telah
disebutkan diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa:
1) Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang mempunyai mata
pencaharian menangkap ikan laut.
2) Masyarakat nelayan bukan hanya mereka yang mengatur kehidupannya
hanya bekerja dan mencari ikan di laut, melainkan mereka yang juga
tinggal disekitar pantai walaupun mata pencaharian mereka adalah
bercocok tanam dan berdagang.
Jadi pengertian nelayan secara luas adalah sekelompok manusia yang
mempunyai mata pencaharian pokok mencari ikan di laut dan hidup di daerah
pantai, bukan mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, walaupun tidak
menutup kemungkinan mereka juga mencari ikan di laut karena mereka bukan
termasuk komunitas orang yang memiliki ikatan budaya masyarakat pantai.
Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori
sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan
simbol-simbol kebudayaan sebagai refrensi prilaku mereka sehari-hari.
33
Kusnadi, Keberadaan Nelayan Dan Dinamika Ekonomi Pesisir, (Yogyakarta: Ar- RuzzMedia, 2009), h. 27
34
Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari
kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung
maupun tidak langsung, menggantungkan kalangsungan hidupnya dari
mengelolah potensi sumber daya perikanan. Mereka menjadi komponen utama
konstruksi masyarakat maritim Indonesia.
Seperti juga masyarakat yang lain, masyarakat menghadapi sejumlah
masalah politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang
datang setiap saat.
2) Keterbatasan akses modal, teknologi, dan pasar, sehingga mempengaruhi
dinamika usaha.
3) Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada.
4) Kualitas SDM yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan publik.
5) Degradasi sumber daya lingkungan baik dikawasan pesisir, laut, maupun
pulau-pulau kecil.
6) Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai
pilar utama pembangunan nasional.
Masalah-masalah di atas saling terkait satu sama lain misalnya, masalah
kemiskinan. Ini disebabkan oleh hubungan-hubungan korelatif antara keterbatasan
akses, lembaga ekonomi belum berfungsi, kualitas SDM rendah, degradasi
nasional yang berorientasi kesektor maritim. Atau sebaliknya, kemiskinan
menjadi penyebab timbulnya kualitas SDM dan degradasi sumberdaya
lingkungan. Karena itu, penyelesaian persoalan kemiskinan dalam masyarakat
pesisir harus bersifat integralistik.
1) Masalah aktual lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa potensi untuk
berkembangnya jumlah penduduk miskin dikawasan pesisir cukup
terbuka. Hal ini disebabkan dua hal penting sebagai berikut: Meningkatnya
degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan pesisir laut. Degradasi
lingkungan ini terjadi karena pembuangan limbah dari wilayah darat atau
perubahan tata guna lahan di kawasan pesisir untuk kepentingan
pembangunan fisik. Disamping itu, ancaman terhadap kelangsungan hidup
sumber daya perikanan berasal dari praktik-praktik penangkapan yang
merusak ekosistem laut.
2) Membengkaknya biaya operasi penangkapan karena meningkatnya bahan
bakar minyak (bensin dan solar). Sehingga nelayan menyiasati kenaikan
harga bahan bakar dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah
dicampur dengan oli bekas atau solar. Hal ini berdampak negatif terhadap
kerusakan mesin perahu, sehingga dapat membebani biaya investasi
nelayan.35
Persoalan lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah
ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan penangkapan. Faktor-faktor
ketergantungan ini sangat beragam. Akan tetapi, jika ketergantungan itu terjadi di
35
tengah-tengah masih tersedia pekerjaan lain di luar sektor perikanan, tentu saja hal
ini sangat mengurangi daya tahan nelayan dalam menghadapi tekanan-tekanan
ekonomi. Keragaman sumber pendapatan sangat membantu kemampuan nelayan
dalam beradaptasi terhadap kemiskinan. Nelayan juga kurang menyadari bahwa
kondisi ekosistem perairan mudah berubah setiap saat, sehingga bisa berpengaruh
terhadap pendapatan nelayan.36
Pada musim ikan, aktivitas ekonomi sangat tinggi, pada musim lain,
aktivitas para nelayan nyaris tidak ada, mereka menunggu musim panen. Sebagian
nelayan melakukan aktivitas perikanan tangkap lain misalnya memancing.
Sebagian lain berprofesi menjadi tukang atau kuli bangunan, melakukan aktivitas
produksi dan penjualan ikan asap.37
Di samping hal-hal diatas, rendahnya ketrampilan nelayan untuk melakukan
diversifikasi kegiatan penangkapan dan keterikatan yang kuat terhadap
pengoperasian satu jenis alat tangkap telah memberikan kontribusi terhadap
timbulnya kemiskinan nelayan. Karena terikat pada satu jenis alat tangkap dan
untuk menangkap ikan tertentu maka ketika sedang tidak musim jenis ikan
tersebut, nelayan tidak dapat berbuat banyak. Dengan demikian,diversifikasi
penangkapan sangat diperlukan untuk membantu nelayan dalam mengatasi
masalah kemiskinan.38
Dalam kamus bahasa Indonesia, masyarakat diartikan: pergaulan hidup
manusia; sehimpunan manusia yang hidup besama dalam suatu tempat dengan
ikatan-ikatan aturan tertentu, orang banyak; khalayak ramai.39
36
Akar Kemiskinan Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), h. 7-8
37
Budi Siswanto, Kemiskinan Dan Perlawanan Kaum Nelayan, (Malang: Laksbang Mediatama, 2008), h. 96-97
38
Kusnadi., h. 8 39
Sedangkan pesisir diartikan sebagai tanah dasar berpasir dipantai ditepi
laut.40
Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah
pesisir, mempunyai mata pencarian dari sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan pesisir dan laut, misalnya nelayan, penbudidaya ikan, pedagang,
pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik atau
pekerja pertambangan dan energi di wilayah pesisir, pemilik atau pekerja industri
maritime misalnya galagan kapal, dan coastal and engineering.41
Berdasarkan definisi masyarakat pesisir diatas, maka peneliti
mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan orang yang bertempat
tinggal di tepi pantai dan bermata pencaharian dari sumber daya laut dan pantai
tersebut.
2. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah
pesisir, mempunyai mata pencaharian dari sumber daya alam atau jasa-jasa
lingkungan pesisir laut itu sendiri, misalnya nelayan, pembudidaya ikan,
pedagang, pegelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut. Sifat
dan karakteristik masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan
mereka. Menurut Fachrudin (1997) bahwa masyarakat pesisir bebeda dengan
masyarakat lainnya. Perbedaan tersebut terletk pada karakteristik aktivitas
ekonomi masyarakat pesisir dari latar belakang budaya meraka.Sifat dan
40Ibid, h.384 41
karakteristik nelayan berbedah dengan pedagang. Nelayan memiliki dinamika
kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan, musim dan pasar, sehingga
kehidupannya tidak menentu.42
Pada dasarnya pegelola sosial Burhanudin Safari, dalam masyarakat nelayan
dapat ditinjau dari tiga sudut pandang.Pertama dari segi penguasaan alat-alat
produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lainya).
Struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat
produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi.
Dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya
menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat
terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur
masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan besar dan nelayan kecil.
Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha
perikanan relative banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya.
Ketiga, dipandang darri tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan,
masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan modern dan nelayan
tradisional.43
Yang dimaksud nelayan tradisional adalah nelayan memanfaatkan sumber
daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan
organisasi penangkapan yang relative sederhana.44
42Ibid
, h. 14-16 43
Kusnadi, Komflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h.1-4 44
Jumlah nelayan modern relative lebih kecil dibandingkan nelayan
tradisional. Perbedaan tersebut membawa implikasi pada tingkat pendapatan dan
kemampuan atau kesejahteraan sosial ekonomi. Baik nelayan besar atau nelayan
modern maupun nelayan kecil atau nelayan tradisional, biasanya masing-masing
merupakan katagori sosial ekonomi yang relatif sama, dengan orientasi usaha dan
prilaku yang berbeda-beda.
3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Nelayan
Dalam masyarakat nelayan, keluarga dikenal sebagai satuan kehidupan
sosial yang terpenting. Menurut pola kehidupan masyarakatnya, keluarga
merupakan unit dasa, sementara rumah tangga merupakan tempat tinggal. Di
dalam keluarga, anggota rumah tangga dibesarkan dan dijadikan sebagai manusia,
dengan suatu identitas masyarakat. Karena di dalamnya, mereka memperoleh
proteksi atau perlindungan serta pertolongan dari anggota-anggota keluarga atas
segala kesulitan atau bahaya yang mengancam baik pada masa anak-anak,
dewasa, maupun ketika menjadi tua jompo.
Keluarga merupakan segala-galanya dalam kehidupan masyarakat Fungsi
pokoknya adalah menjamin kebutuhan hidup keturunannya dan melestarikan
ikatan kekeluargaan. Sebab, hubungan diantara anggota keluarga merupakan
hubungan perorangan yang mendalam dan belangsung lama. Jadi, bukan semata
dalam batas dilahirkan oleh sepasang orang tua yang sama atau satu keturunan,
tetapi juga terdapat hubungan persahabatan mendalam yang terwujudkan dalam
bentuk saling berkorban, saling tolong menolong, dan saling melindungi sehingga
dengan hubungan pengabdian, karena ada keterkaitan dan jaringan yang tidak
terpisahkan dengan penguasaan maupun fungsi lahan, terutama dari subsistem
secara keseluruhan.
Sistem hubungan yang berlaku di atas sangat dipengaruhi oleh pola
perkawinan suami dan istri. Masyarakat adat melalui kekuatan ikatan sosialnya
menetapkan bahwa hubungan dalam keluarga seperti diatas telah mendasari suatu
keluarga atau rumah tangga yang dibentuk dengan system perkawinan, yaitu istri
masuk dan menjadi bagian dari keluarga suami. Prinsip ini menetapkan garis
kekerabatannya yang hanya menghubungkannya dengan keluarga suami. Tradisi
ini menggaris bawahi peran suami istri, di mana suami adalah kepala dan
pemimpin keluarga yang berkewajiban memberikan proteksi terhadap anak-anak,
istri, dan seluruh anggota keluarganya, baik menyangkut kenyamanan psikologis
maupun kesejahteraan jasmani.
Sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab dengan
aktivitas domistiknya, seperti menyediakan makan untuk suami dan anaknya,
mengasuh anak, memerhatikan pendidikan anak, maupun sosialisasi anak.
Sebagaimana dalam suatu masyarakat pedesaan umumnya, perkawinan
merupakan asas pembentukan keluarga dalam ikatan kekerabatan. Sistem
kekeluargaan terbentuk melalui jaringan rumah tangga, darah dan perkawinan.
Oleh karena itu, menurut tradisi masyarakat nelayan, perkawinan harus dilakukan
dengan sangat sakral dan penting dalam setiap perjalanan anggota keluarga,
dengan cara tersebut, ia baru dianggap sebagai warga penuh dan memperoleh
kelompok kerabat. Menurut Koentjaraningrat, mengatakan bahwa garis kekerabat
kekerabatan dapat dibedakan menjadi dua jalur, yaitu: pertama, menurut jalinan
hubungan kerabat yang didasarkan pada keturunan atau hubungan darah, dan
kedua, menurut jalinan hubungan kekerabatan yang didasarkan pada kerabatan
sosiologis.
Sistem kekerabatan merupakan suatu cara tertentu untuk mengatur
hubungan kekeluargaan dalam kehidupan masyarakatnya. Sistem kekerabatan
demikikian menurut Husain menganut tiga kelompok keluarga yaitu: pertama,
keluarga inti, dimana terdapat satu keluarga beranggotakan seorang suami, istri,
dan anak-anaknya yang belum menikah serta tinggal bersama dalam satu rumah
tangga. Suami adalah kepala keluarga dan istri kepala rumah tangga dibawah
pengawasan suami. Kedua, kelompok keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang
beranggotakan suami, istri, dan anak-anaknya yang sudah menikah dan
mempunyai anak.
Keluarga demikian, dalam tradisi masyarakat nelayan, berperan sebagai lalu
lintas hubungan di antara keluarga dalam satu kerabatnya serta menjadi pusat
perlindungan baik dalam hal keamanan maupun sebagai sumber pertimbangan dan
petuah dan nasihat-nasihat untuk menentukan sebuah keputusan langkah hidup
yang akan ditempuh. Keputusan mana dalam kehidupan mereka sekarang tidak
selalu mengikat. Namun, sanksi-sanksi moral atas hubungan-hubungan mereka
akan terganggu dan cacat manakala terjadi pengabaian terhadap peran keluarga
kelompok keluarga campuran yang biasanya beasal dari kelompok kekerabatan
yang berpusat
pada nenek moyang.45
4. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh pemberdayaan masyarakat
nelayan dalam mewujudkan pendekatan sosial budaya ini adalah dengan
mengedepankan pikiran, tindakan, dan sikap sebagai berikut:
1) Mewujudkan rasa simpati, empati, dan kepekaan sosial terhadap
kehidupan masyarakat, khususnya peduli pada kesulitan-kesulitan sosial
ekonomi yang mereka hadapi setiap hari.
2) Menempatkan masyarakat sebagai subjek pemberdayaan sosial ekonomi.
3) Mudah beradaptasi secara sosial budaya dan dapat menghargai nilai-nilai
budaya dalam masyarakat.
4) Memperluas interaksi dan pergaulan sosial dengan berbagai pihak agar
memperoleh informasi luas tentang masyarakat.
5) Menjalin komunikasi yang intensif dan terstruktur dengan tokoh-tokoh
masyarakat lokal.
6) Membangun rapor diri yang baik, dengan menghindarkan diri dari konflik
sosial atau personal dan dengan menunjukkan sikap untuk membantu
masyarakat.
45
Upaya untuk mengidentifikasi aspek-aspek sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat nelayan dalam rangka memahami kehidupan mereka dapat dilakukan
dengan strategi sebagai berikut:
1) Melaksanakan identifikasi secara umum tentang kondisi lingkungan desa
dan kehidupan masyarakat, dengan jalan menyerap informsi sebanyak
mungkin dari berbagai pihak.
2) Mengidentifikasi modal sosial, menguraikannya, dan mengidentifikasikan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat nelayan. Modal sosial adalah
segala sesuatu berposisi sebagai pilar atau tumpuan kehidupan dan
kelangsungan hidup masyarakat. Modal sosial masyarakat terdiri atas
unsur-unsur sebagai berikut:
a) Kelembagaan sosial ekonomi, seperti kelompok pengajian, arisan,
simpan-pinjam, paguyuban sosial, sistem perdagangan, dan
sebagainya.
b) Organisasi perahu dan pranata sistem bagi hasil.
c) Jaringan sosial budaya, termasuk relasi patron-klien.
d) Adat istiadat, sistem etika dan sopan santun upacara-upacara
tradisional, dan nilai-nilai budaya lokal.
e) Sistem pembagian kerja secara seksual (the devision of labor by sex)
yang berlaku.
3) Mengidentifikasi model-model penguasa dan pengelolaan sumber daya
sosial ekonomi lokal oleh kelompok-kelompok sosial yang ada, relasirelasi
ekonomi, sistem produksi, dan pemasaran.
4) Mengidentifikasi pihak-pihak atau kelompok sosial yang berpengaruh dan
menjadi referensi sosial budaya masyarakat pesisir beserta perananperanan
yang dimainkan mereka. Yang termasuk dalam katagori sosial ini adalah:
a) orang-orang yang sukses secara ekonomi seperti pemilik perahu,
pedagang ikan berskala besar, dan nahkoda perahu (juragan), dan b)
tokoh-tokoh masyarakat lainnya, seperti ulama lokal, pemimpin informal,
dan pemimpin formal lokal.
5) Mengidentifikasi jenis-jenis konflik sosial yang terjadi dan perekat
integrasi sosial pada masyarakat pesisir. Identifikasi ini dilengkapi dengan
latar belakang, pelaku yang terlibat, akibat yang terjadi, dan
penyelesaiannya.
6) Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah,
khususnya program-program pemberdayaan yang pernah ada pada
masyarakat setempat, disertai dengan inventarisasi data-data tentang
respons masyarakat pada program-program tersebut dan dampak positif
dan negatifnya terhadap kehidupan masyarakat.
7) Menarik relasi fungsioanal antar unsur sosial budaya dan kebijakan
pembangunan yang ada atau yang pernah ada untuk memperoleh
8) Berdasarkan hasil kajian pemberdaya dan masukan dari berbagai pihak di
dalam masyarakat pesisir, mulai menentukan jenis-jenis modal sosial dan
pihak-pihak yang berpengaruh, yang diharapkan peranannya dapat
membantu kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat pesisir.
Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan para pemberdaya masyarakat
nelayan memiliki pemahaman yang baik tehadap aspek-aspek kehidupan sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat yang akan diberdayakan.46
Dari segi geografis permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan yaitu,
desa-desa di daerah pantai pada umumnya relatif lebih rendah keadaan lingkungan
hidupnya, baik dilihat dari kondisi prasarana perumahan, kesehatan lingkungan
dan pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan teknologi yang
dimilikinya, telah menimbulkan gejala-gejala yang membahayakan kelestarian
lingkungan hidup di daerah itu.
Cara mengatasi suatu masalah yang terjadi dikalangan para nelayan yaitu
dengan cara sebagai berikut:
1) Mengajukan kepemerintah kabupaten/ kota agar merancang skim kredit
khusus berbunga rendah untuk pengusaha pemindangan.
2) Membangun kerja sama dengan lembaga perbankan yang terdekat untuk
memudahkan akses modal usaha.
3) Membentuk unit simpan-pinjam (USP) berbasis masyarakat berbudaya
lokal.47
46
Kusnadi, Komflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2006),h. 40-42
47
5. Gaya Hidup Nelayan
Dalam konteks ini, ada tiga jenis capital yang berpengaruh besar terhadap
penentuan kualitas status sosial seorang nelayan, yaitu:
1) Kapital Politik berkaitan dengan pemilikan akses kekuasaan oleh
seseorang terhadap pusat-pusat kebijakan lokal, seperti ditingkat desa dan
kecamatan. Misalnya, eksistensi seseorang senantiasa dipertimbangkan
aspirasi dan pemikiran dalam penentuan kebijakan politik local atau bisa
mempengaruhi perubahan kebijakan pembagunan setempat.
2) Kapital Ekonomi berhubungan dengan pemikiran usaha ekonomi yang
berkala besar dan beragam, misalnya memiliki beberapa perahu, usaha
pengelola hasil tangkap, rumah yang bagus, mobil, ternak yang banyak,
dan memiliki tanah persawahan-tegal yang luas.48
3) Kapital Budaya berkaitan dengan pemilikan symbol-simbol kesalehaan
beragama, misalnya sudah menuaikan haji, suka beramal atau dermawan,
memiliki kepedulian besar terhadap berbagai persoalan yang terjadi di
lingkungan masyarakat, dan bergaya hidup yang lebih dari kebiasaan
local.
6. Strategi Pemberdayaan Nelayan
Dalam rangka memperbaiki taraf hidup dan memberikan peluang kepada
nelayan tradisional agar dapat melakukakan mobilitas vartikal, paling tidak ada
dua yang bisa ditempuh, yaitu:49
1) Adalah dengan cara mendorong pergeseran status nelayan tradisional
menjadi nelayan modern.
48Ibid, h. 107 49
2) Dengan cara tetap membiarkan nelayan tradisional dalam status
tradisional, tetapi mempasilitasi meraka agar lebih berdaya dan memiliki
kemampuan penyengga ekonomi keluarga yang kenyal terhadap tekanan
krisis.
Pilihan manapun yang diambil yang jelas, pertimbangan utama yang
semestinya dijadikan dasar pengambilan keputusan adalah kepentingan dan nasib
nelayan tradisional itu sendiri sebagai subjek pembangunan.Berikut ini, beberapa
hal yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan program pemberantasan
kemiskinan stuktural nelayan tradisional adalah.50
1) Pemberdayaan nelayan tradisional seyogyanya mempertimbangkan, dan
bahkan lurus bertumpuh pada keberadaan pranata sosial budaya di
masing-masing komunitas local nelayan tradisio nal.51
2) Apapun bantuan yang diberikan kepada kelompok nelayan tradisional
tidak beroriantasi pada kepentingan jangka pendek, sekedar menekankan
pada kepentingan efisiensi pengambilan dana. Padahal semestinya, harus
lebih berorientasi pada pemumpukan investasi sosial yang berjangka
panjang dan bersifat strategis.52
3) Berusaha mengurangi kadar kerentanan keluarga nelayan tradisional
dengan cara meningkatkan daya tahan dan nilai tawar dari produk yang
mera hasilkan.
4) Pemberdayaan perempuan dan lansia untuk mendukung proses penguatan
5) Bagai mana memutus mata rantai eksploitasi yang selama ini merugikan
posisi nelayan tradisional. Caranya tidak semata-mata mengandalkan
kebijakan regulative dan pemerintahan atau pemberdayaan komunitas
nelayan tradisional itu sendiri sebagai sebuah kelompok sosial.53
6) Perlu disadari bahwa yang namanya nelayan atau komunitas desa pantai
sebetulnya bukanlah kelompok yang homogeny. Buruh nelayan dan
nelayan tradisional umumnya adalah golongan masyarakat pesisir yang
pada lapisan sosial paling bawah, yang dalam banyak hal memiliki
kadarkerentanan, ketidak berdayaan, kelemahan jasmani, kemisinan, dan
keterisolasian yang lebih parah dibandingkan nelayan modern. Oleh
karena itu yang dibutuhkan adalah spesifikasi program, terutama program
yang bertujuan untuk memberdayakan nelayan tradisional.
7) Sebagai tindak lanjut dari program pelindung dan pemberdayaan
keluarga nelayan tradisional melalui program pengembangan
diversifikasi usaha, tahap berikutnya yang tak kalah penting untuk
dikembangkan di lingkungan komunitas pesisir adalah bagaimana
mendorong nelayan tradisional agar dapat lebih produktif, efisien, dan
lebih mampu berkompetisi di sector perikanan atau sctor non perikanan
yang ditekuninnya.
7. Perspektif Nelayan Terhadap Pendidikan Anak
Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya
manusia. Pendidikan memberikan sumbangan langsung terhadap pertumbuhan