• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awal perkembangan pers di Indonesia pada masa VOC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Awal perkembangan pers di Indonesia pada masa VOC"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK : Pers dapat tumbuh di Indonesia sejak abad ke-17 pada masa Kolonial Belanda di mana pada saat itu kemerdekaan masih belum Indonesia miliki, hingga pers menjadi salah satu yang sangat penting bagi Negara Indonesia sendiri seperti sekarang ini . Walaupun demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain media masa dimasa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini. Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia.

(2)

A. Latar Belakang

Di Indonesia, pers memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan nasional. Pers Indonesia pada awal perkembangannya memusatkan perhatian terhadap masalah masalah yang timbul dalam masyarakat kolonial dengan ketegasan membela kepentingan tujuan pergerakan nasional. Bahkan pers nasional bertindak sebagai oposisi dari pers kolonial, yang lebih mengutamakan kepentingan. pemerintah Hindia Belanda. Pers nasional setidaknya memiliki sejarah panjang sebagai institusi pemberdaya masyarakat serta alat perjuangan bangsa. Pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press.1

Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak. Definisi pers yaitu, suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan jenis media dan segala jenis saluran yang tersedia. Dan Indonesia pun ialah Negara penganut sistem demokrasi. Sebelum menganut sistem pers ini , Negara kita mengalami beberapa revolusi dalam bidang pers. Tak dapat dipungkiri pengaruh pers di negara kita sangat besar. Keberadaan kaum pers di Indonesia baik buruknya selalu menjadi kelompok yang memiliki peran yang cukup besar bagi Negara ini.

Sepak terjang kaum dari pers pun sering kali menjadi hal yang controversial di dunia informasi, dan sering menjadi pula pihak pers menjadi korban atas kejelasan bukti yang mereka ungkapkan mengenai tokoh-tokoh informan. Perkembangannya pun juga temasuk sangat kompleks, pers di Indonesia terbagi beberapa periode dimana satu periode ,mewakili satu era/masa dimulai dari pers di masa kolonial VOC. Di Indonesia, aktifitas junalistik dapat dilacak jauh kebelakang sejak penjajahan Belanda. Pers mulai dikenal abad ke-18 tepatnya pasa 1744, ketika sebuah surat kabar bernama Bataviasch Nouvelles diterbitkan dengan pengunaan orang-orang Belanda. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ikhwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya selalu disimpan sebagai keperluan.2

1 Reny ,Triwardani.(2010). Pembreidelan Pers di Indonesia dalam Prespektif Politik Media (Online) Tersedia: http:// www.google.com/jurnal-awal-pers/reny.html. Diakses pada tanggal 17 September 2014.

(3)

Dalam makalah ini akan membahas tentang awal perkembangan pers di Indonesia, yang akan dibagi menjadi tiga bagian. Bab pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, studi terdahulu dan pentingnya tulisan. Bab kedua tentang pembahasan seperti awal perkembangan pers di Indonesia dan Bab ketiga tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan implikasi.

B. Pentingnya Tulisan

Makalah ini memberikan informasi akan sejarah awal perkembangan pers di Indonesia, yang penting untuk dikaji. Makalah menjabarkan / mendeskripsikan perjalanan pers di Indonesia ,agar memberi kesan menggabarkan dan kita dapat mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa sejarah ini. Dan tujuan pers bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, media masa disamping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya.

1.1. Awal Perkembangan Pers di Indonesia

Percetakan di Indonesia3 bermula pada kedatangan Belanda di kepulauan itu.

Peryumbuhan dan perkembangannya berjalan sejajar dengan ekspansi bertahap kolonialisme Belanda.4 Sejarahnya dimulai keteika Verenigde Nederlandsche

Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC) menyadari manfaat pers untuk mencetak aturan hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah. Pengenalan percetakan

2014.

3 Muller Kruger, Th.1969. Indonesia dan orang-orang Indonesia, dalam:S. Ichimura dan Koentjaraningrat (ed.), Indonesia: Masalah dan Peristiwa; Bunga Rampai. hlm. 1-25.

(4)

itu juga diprakasai oleh para misionaris Gereja Protestan Belanda yang menggunakannya untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah untuk keperluan penginjilan.

Para minoritas Gereja itu jugalah mula-mula berusaha memperkenalkan percetaka Hindia-Belanda dengan membeli sebuah mesin cetak dari Belanda pada 1624. Namun, karena tak ada tenaga terampil yang menjalankannya, mesin cetak itu pun menganggur belaka. Guna memenuhi kebutuhan tenaga pencetak untuk menertibkan pencetak untuk menertibkan kitab keagamaan dan traktat-traktat, pengurus Gereja mengusulkan kepada pemerintah pusat di Batavia untuk mencari dab menugaskan seorang tenaga operator terampil dari Belanda. Tetapi upaya memperkenalkan percetakan tidaklah terwujud hingga 1659 sampai seseorang bernama Kornelis Pijl memprakasai percetakan dengan memproduksi sebuah Tijkboek, yakni sejenis almanak, atau “buku waktu”.5

Setelah itu tidak ada percetakan hingga 1667, yaitu ketika pemerintah pusat berinisiatif mendirikan sebuah percetakan dan memesan alat cetak yang lebih baik termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf. Produk pertama percetakan ini adalah Perjanjian Bingaya, yaitu perjanjian perdamaian yang ditandatangani Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di Makassar pada 15 Maret 1668.6 Dokumen

ini dicetak oleh Hendrick Brant yang pada Agustus 1668 mendapat kontrak mencetak dan menjilid buku atas nama VOC.7 Menurut kontak itu, Brant mendapat upah 86 dollar, yang

dibayarkan secara mencicil, tapi percetakan tetaplah kepunyaan kompeni. Brant diberi hak sebagai pencetak tunggal untuk Batavia dan VOC selama tiga tahun. Tak lama kemudian, ia menjalin kerja sama dengan Jan Bruyning. Percetakan itu terletak di Prinsestraat, Batavia.

Setelah kontrak dengan Brant berakhir pada 16 Februari 1671, VOC menandatangani kontrak baru dengan Pieter Overwater dan tiga pegawai kompeni lainnya. Percetakan ini ( kontraknya berlaku hingga 1695) dinamakan Boeckdrucker der Edele Compagnie (pencetak buku Kompeni).8 Kemudian , nama-nama lain muncul sebagai pencetak resmi

VOC. Tapi, tokoh yang paling penting adalah seorang mantan pendeta, Andreas Lambertus Loderus, yang pada 1699 mengambil alih percetakan itu untuk didayagunakan secara maksimal. Banyak karya penting dalam bahasa Belanda, Melayu dan Latin lahir

5 Graaf, H.. J de. 1969. ‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern Hemisphere. Amsterdam: Bangent, hlm. 12.

6 Chijs, J.A. van der.1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870); Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke-39, 1 Batavia.hlm.2.

7 Isa, Zubaidah.1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana University).hlm.13.

(5)

dari percetakannya, termasuk sebuah kamus Latin –Belanda-Melayu yang disusun oleh Loderus sendiri.

Walaupun para pencetak di batavia tersebut diatas telah diberi kontrak bekerja untuk VOC, pemerintahan pusat tetap merasa perlu mendirikan percetakan sendiri di benteng ( kasteel, kastil) Batavia untuk mencetak dokumen-dokumen resmi. Percetakan ini baru terwujud pada 1718 setelah personel dan peralatannya tiba dari Belanda. Dengan berdirinya percetakan pemerintahan ini, pencetak di Batavia tadi hanya diperbolekan mencetak pesanan swasta, sedangkan semua cetakan resmi diserahkan kepada percetakan pemerintah.

Keberadaan dua percetakan pada tahun-tahun pertama abad ke-18 itu menandakan bahwa percetakan akan berperan penting di Hindia Belanda dan akan secara tetap digunakan untuk “menghemat tenaga penulis pengganda”9.Namun sementara percetakan

cukup aktif mencetak dokumen dan buku-buku Kompeni untuk para pegawainya, tidak terlihat upaya menertibkan surat kabar sampai sekitar 120 tahun setelah sebuah percetakan berdiri di Batavia.

Sebelum surat kabar pertama muncul, sebuah laporan berkala para saudagar dalam tulisan tangan, Memorie der Nouvelles, telah beredar. Laporan berkala ini sebetulnya merupakan kompilasi berita dan saripati surat-surat, semuanya menggunakan tulisan tangan. Dalam bentuk lembaran, laporan ini diedarkan dikalangan pegawai VOC yang bertugas jauh dipelosok, yang sangat haus akan berita. Penyebaran berita seperti ini konon sudah ditempuh oleh Jan Pieterazoon Coen pada 1615.10 Baru pada 1744, dibawah

pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, surat kabar tercetak pertama lahir dari Benteng. Nomor contoh surat kabar itu Bataviase Nouvelles, muncul pada 8 Agustus 1744. Bataviase Nouvelles hanya terdiri dari selembar kertas berukuran folio yang kedua halamannya masing- masing berisi dua kolom. Pembaca diberi tahu bahwa mereka bisa mendapatkannya setiap senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan milik Kompeni di Benteng.11

Selain membuat maklumat pemerintahan, surat kabar itu juga menyisipkan iklan yang biasanya berisi pengumuman lelang. Surat kabar itu akhirnya diberi petunjuk untuk menghentikan penerbitannya pada 20 Juni 1746, setelah baru menikmati dua tahun keberadaannya, meskipun penerbitnya, Jordens, telah mendapat jaminan izin terbit selama

9 Graaf, H. J de 1969.‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern Hemisphere. Amsterdam: Bangent.hlm. 13.

10 Wormser, C.W. (s.a.)a. Drie en dertigjaren op Java. Jil. III: In het dagbladwezen. Amsterdam: W.ten Have. Hlm.6.

(6)

tiga tahun. Surat kabar pertama yang pertama yang bersentuhan dengan orang Indonesia adalah Vendu Nieuws, yang terbit pada 1776, tiga dasawarsa setelah Batviase Nouvelles. Diterbitkan oleh L. Dominicus, pencetak di Batavia, Vendu Nieuws sebetulnya merupakan media iklan minggua, terutama mengenai berita lelang. Dikenal oleh masyarakat setempat sebagai “Soerat lelang”, koran ini juga memuat ,maklumat penjualan sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan.

Vendu Nieuws merupakan surat kabar kedua dan terakhir yang terbit selamat masa VOC. Vendu Nieuws menghentikan penerbitannya pada 1809 semasa pemerintahan Jenderal Herman Willem Daendels yang menjabar Gubernur membeli percetakan sejak 1808 hingga 1811. Daendles membeli percetakan Kota dan menggabungkannya dengan percetakan Benteng menjadi Landsrdrukkerij ( Percetakan Negara) yang masih terus bekerja sampai pemerintahan kolonial berakhir. Percetakan resmi pemerintah itu merangsang Daendels menertibkan media resmi pemerintah untuk mempublikasikan kegunaan reformasi pemerintahannya di Jawa. Pada 15 Januari 1810 terbit edisi pertama mingguan Bataviasche Koloniale Courant di Batavia. Diterbitkan dalam format kuarto lebar, koran ini diasuh sejak 1788.12

Selama masa pemerintahan Inggris, Batavia menyaksikan terbitnya koran resmi yang lain. Pada 29 Februari 1812, pemerintahan yang baru menerbitkan Java Government Gazette, sebuah mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris, dicetak oleh A.H. Hubbard. Isinya menceritakan perseteruan antara Belanda dan Inggris. Namun, surat kabar ibi pun memuat berita-berita dari Eropa dan berbagai artikel tentang kehidupan dan adat istiadat anak negeri.13 Tetapi, surat kabar ini pun berhenti terbit sewaktu Belanda

kembali berkuasa pada 1816, namun segera digantikan oleh Bataviasche Courant yang terbit pada 20 Agustus 1816. Dua belas tahun kemudian , surat kabar ini berganti nama menjadi Javasche Courant.14

Koran-koran resmi pemerintah tampaknya hanya berhasil mendapatkan beberapa pelanggan (mengikat peredarannya). Dan baru pada 1831 muncul surat kabar partikelir yang pertama. Lahirnya surat kabar yang terlambat ini mungkin akibat sedikitnya orang di Hindia Belanda yang bisa membaca. Lagi pula, kecuali percetakan milik pemerintah dan misionaris, sangat sedikit percetakan yang diupayakan pihak swasta. Salah satu

12 Faber, G.H. von.1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya: Kolff. hlm. 18.

13 Faber, G.H. von. .1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya: Kolff. hlm.29.

(7)

kendalanya adalah kesulitan mendapatkan alat untuk membuat huruf timah. Tetapi, lebih penting dari itu adalah ketiadaan tenaga ( kompositor) terampil. Karena percetakan misionaris menjadi satu-satunya percetakan non pemerintah yang bergiat dalam cetak-mencetak selama abad ke- 18.

1.1.1. Percetakan Misionaris

Setelah gagal mencoba mendirikan percetakan misionaris yang pertama di Batavia pada 1624, komunitas gereja tidak lagi punya kesempatan mengoperasikan mesin percetakan hingga 119 tahun kemudian, ketika pada 1743 Seminarium Theologicum di Batavia memperoleh satu unit alat percetakan. Tidak banyak yang diketahui tentang nasib percetakan ini, tetapi ada laporan, percetakan itu pernah menertibkan perjanjian baru dan beberapa buku doa dalam terjemahan Melayu.15

Hidupnya pun Cuma sebentar, sebab pada 1755 percetakan itu dipaksa bergabung dengan Percetakan Benteng.16 Percetakan misionaris terhadap percetakan tentu jelas

sekali. Percetakan penting dalam pekerjaan penginjilan, terutama untuk pmemublikasikan kepustakaan Kristen dan penerjemahan Injil serta katekisma-katekisma keagamaan. Percetakan juga merupakan aset yang berharga dalam upaya menyebabkan kemampuan membaca dan pendidikan gereja di kalangan anak-anak pribumi.

Jumlah misionaris di Hindia berfluktuasi selama pemerintahan VOC,17 tapi

terus bertambah setelah 1800. Juga setelah VOC bubar, usaha percetakan yang digunakan kalangan misionaris kian bertambah.18 Kegiatan misionaris semakin

menonjol setelah tebentuknya Nederlandsch Zendelingen Genootschap19 pada 1797

pada 1831, sebagian besar rintangan misionaris protestan dapat diatasi, yang berpuncak pada didirikannya sejumlah pos mini Protestan. Menjelang pertengahan abad ke-19, perhatian misionaris dibidang percetakan melebar ke penerbitan surat kabar dalam bahasa anak negeri.

15 Chijs, J. A. Van der. 1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870); Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke- 39, 1 Batavia.hlm.7.

16 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana University). hlm.22.

17 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana University).hlm.19.

18 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana University).hlm.19.

(8)

Percetaka pertama milik misionaris adalah kepunyaan Joseph Kam, yang tiba dikepulauan Maluku pada 1813. Percetakan misi yang paling terkenal adalah percetakan seminari yang didirikan Walter Henry Medhurst. Sebagai misionaris yang tertarik pada dunia cetak-mencetak, Medhurst menerbitkan produk dalam bahasa Inggris, Belanda ,Cina, Jepang dan Melayu. Pada 1828 percetakan itu menggunakan litografi dan demikian produktifnya hingga antara 1823 dan 1842 telah menerbitkan total 189.294 cetakan dari berbagai karya. Penerbitan ini meliputi khotbah, bagian-bagian dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebuah kamus dan beberapa pamflet sekular dari berbagai jenis.20

Percetakan misi lainnya yang juga aktif pada abad ke- 19 meliputi sejumlah percetakan yang terdapat di Ambon, Tohoman, Tondano,Kupang dan Banjarmasin. Lembaga misoinaris aktif mencetak buku-buku keagamaan dan kepustakaan gereja pada umumnya, dan baru pada paruh kedua abad ke-19 masuk ke dunia penertiban surat kabar. Mungkin itu disebabkan oleh ketatnya peraturan sensor untuk percetakan sebelum undang-undang percetakan direvisi pada 1856. Betapapun ,prioritas utama misionaris adalah menyebarkan penertiban keagamaan dan buku-buku pendidikan untuk sekolah misi mereka.21

1.1.2. Munculnya koran berbahasa Belanda

Kuartal kedua abad ke-19 membuka sebuah babak baru persurat kabaran di Hindia Belanda. Periode ini ditandai dengan munculnya percetakan milik swasta dan tampilannya koran yang diusahakan oleh swasta. Pada 1825, Landsdrukkerij menertibkan Bataviaasch Advertentieblad di Batavia. Surat kabar lain berorientasi komersial, Nederlandsch Indisch Handelsbland, juga terbit di Batavia pada 1829. Tetapi, penerbit dan percetakannya tak diketahui, kendati bisa dipastikan surat kabar ini tidak dicetak di Percetakan Negara.22 Di Surabaya muncul surat kabar pertama

dalam bentuk mingguan, Soerabayasche Courant pada 1837, mungkin diterbitkan oleh C.F. Smith, yang sekitar 1834 membeli sebuah percetakan dari H.J. Domis, residen Semarang, Pasuruan dan Surabaya antara 1827 dan 1834, sebelum pensiun dan pulang ke Belanda. Pada 1845, di Semarang juga terbit mingguan media

20Isa, Zubaidah. Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana University).hlm.19.

21 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hlm.11.

(9)

pengiklan dengan nama Semarangsch Advertentieblad, yang pada 1852 berganti menjadi De Locomotief. Semarangsch Advertentieblad ini menyaksikan terbitnya sebuah surat kabar lagi, Semarangsche Courant.

Pada paruh kedua abad ke-19, Semarang menjadi pusat industri surat kabar yang penting, yang bersaing ketat dengan Surabaya dan Batavia dalam menerbitkan surat kabatr termuka berbahasa Belanda dan Melayu. Sebagai kota pelabuhan pusat lalu lintas pengapalan hasil pertanian, Batavia, Semarang dan Surabaya cenderung menarik saudagar dan pedagang berbagai bangsa. Mereka membutuhkan media pengiklanan, bukan hanya untuk memasarkan komoditas mereka tetapi juga mengetahui harga terakhir di pasar serta informasi mengenai kedatangan dan keberangkatan kapal dan benda pos. Demikianlah pertama kali muncul di kota-kota besar tersebut pada dasawarsa terakhir abad ke- 19 koran ( secara populer pada masa itu dikenal dengan surat kabar berita dan iklan itu). Sebelum 1856, tidak kurang dari 16 surat kabar, baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta mundul di Hindia Belanda.

Semua surat kabar dan berkala yang terbit sebelum 1855 menggunakan bahasa Belanda. Tingginya tingkat buta huruf di kalangan pribumi menyebabkan penerbitan dalam bahasa anak negeri sulit dibayangkan pada periode ini. Walaupun penduduk muslim umumnya mengikuti pendidikan agama tradisional di pesantren dan langgar, kemampuan baca tulis di kalangan penduduk terbatas pada kemampuan membaca teks-teks Arab, yang lebih sering dikutip tanpa pemahaman. Meskipun orang Jawa mempunyai tradisi sastra, akses ke sana dimonopoli oleh lapisan atas masyarakat dan biasannya terbatas pada para penulis keraton. Upaya pertama memperkenalkan bentuk pendidikan Barat kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para misionaris, didalam karya penginjilan mereka, dengan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan membaca dan menulis dalam bahasa Arab Melayu dan Rumi. Hingga 1850, perhatian pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya terbatas pada pribumi Kristen di Maluku.23

Sekolah pertama yang dikelola oleh lembaga gerejawi VOC kebanyakan didirikan di Ambon, dimana bahasa Belanda digantikan oleh bahasa Melayu sebagai alat pengajaran pada sekitar dasawarsa ketiga abad ke-18. Mecoloknya peningkatan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Hindia Belanda membantu pertumbuhan dan perkembangan pers berbahasa Melayu pada paruh kedua abad ke-19. Karena itu, latar

(10)

belakang sejarah perkembangan bahasa Melayu, seperti yang digunakan di sejumlah kota besar, dimana kegiatan cetak-mencetak sangat aktif, patut mendapat perhatian.24

1.1.3. Perkembangan bahasa “Melayu rendah”

Ragam bahasa Melayu percakapan tersebut adalah jenis yang sederhana, yang biasanya dikenal sebagai bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah. Ragam bahasa Melayu inilah yang umumnya digunakan dalam pergaulan antara pribumi dan pendatang.25 Di Batavia, ragam bahasa ini menjalani sejarahnya sendiri cukup

dipengaruhi oleh kehadiran Portugis dan Belanda, varian ini kemudian disebut Melayu Betawi.26 Banyak orang non-Melayu menggangap ragam Melayu Betawi

paling mudah diterima karena kelenturannya dalam menyerap kata asing, bahkan dalam sintakis.27

Di pulau-pulau luar Jawa, ragam Melayu rendah juga memiliki keunikan tersendiri. Di Minahasa ragam itu dinamakan Melayu Menado, sebuah varian yang berkembang sebagai akibat penggunannya di gereja dan sekolah-sekolah. Di kepulauan Maluku, bahasa Melayu menemukan bentuknya yang lain. Berkat pemakaiannya oleh para misionaris sebagai bahasa gereja dan pendidikan , bahasa ini diterima luas oleh masyarakat luas. Di Jawa, apa yang dikenal sebagai Melayu Betawi di kota-kota lain disebut juga Melayu rendah, atau bahasa Melayu adukan ( campuran ), Melayu kaun dan Melayu pasar. Ragam ini merupakan bahsa yang dipahamiu oleh orang kebanyakan dari berbagai suku disejumlah kota dan bandar perniagaan.

Belanda, karena dipaksa keadaan, sejak jaman VOC sudah menerima bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar tak resmi serta sebagai bahasa administrasi dan perdagangan. Meskipun demikian, tetap saja ada kontroversi mengenai ragam bahasa Melayu mana yang sebaiknya dianjukan dan dipopulerkan. Kontroversi ini berlanjut hingga pertengshsn abad ke-19. Meskipun para misionaris dan orang awam lebih akrab dengan apa yang disebut Melayu rendah, para penguasa administrasi tratif di Batavia, bahkan sejak jaman VOC, selalu menganjurkan bentuk bahasa Melayu yang lebih murni yaitu Melayu tinggi. Menjelang pertengahan abad ke-19, perkembangan dan pertumbuhannya lebih terpacu ketika koran dan terbitan berkala dalam bahasa

24 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 14.

25 Crawfurd, John. 1852. A Grammar and Dictionary of the Malay Language with Preliminary Dissertation.2 Jil. London.hlm.10.

26 Hoffman, John.1979. A Foreign Investment: Indies Malay to 1901, Indonesia no.27.hlm.68.

(11)

Melayu rendah mulai bermunculan disejumlah kota dan kotapraja. Ragam ini bukan hanya dipakai orang pribumi, tapi juga oleh orang Tionghoa, Eropa (tulen atau Indo), Arab serta semua orang timur asing yang tinggal di Hindia dan bekerja di sektor perdagangan.28

1.1.4. Masyarakat Kolonial

Mayoritas orang asing berkecimpung dalam berbagai kegiatan ekonomi, memberi warna kota-kota besar pesisir di pulau Jawa, misalnya Batavia, Semarang dan Surabaya. Kota-kota pesisir di pulau-pulau luar Jawa, misalnya Padang, Medan dan Makassar, juga merupakan kota dagang utama yang menarik orang asing. Pada 1973, populasi warga asing di Jawa terdiri dari 27.448 Eropa, 153.186 Tionghoa, 5.608 Arab dan 16.456 orang nonpribumi lainnya. Daya tarik industri gula yang menguntungkan dan pembukaan koloni untuk perusahaan swasta juga banyak menggoda orang Belanda yang berstatus sosial bagus datang ke Hindia Belanda untuk mencari peruntungan.29

Untuk mengetahui perkembangan pers pada paruh kedua abad ke-19, penting menyimak asing, khususnya Eropa dan Tionghoa. Kedua komunitas inilah yang menjadi pembaca surat kabar pada hari-hari pers di Hindia Belanda. Pelanggan surat kabar berbahasa Belanda adalah para pejabat, pedagang dan warga sipil Eropa. Tetapi untuk orang Tionghoa pedagang dan pemukiman di perkotaan, surat kabar perlu untuk mempromosikan kepentingan bisnis dan perniagaan mereka sehingga, ketika surat kabar berbahsa anak negeri mulai muncul, merekalah yang mendukung sirkulasinya dengan menjadi pelanggan, bersama para priyai bergaji, alias pegawai pribumi pada sekitar pertengahan abad ke-19, jumlah orang Tionghoa sudah cukup lumayan dibeberapa kota penting di Jawa, yakni di Batavia, Semarang dan Surabaya. Di luar Jawa kota-kota seperti Medan , Padang , Makassar dan Banjarmasin juga berpenduduk Tionghoa cukup banyak. Orang Tionghoa ini menjebatani populasi pribumi dengan orang Eropa lewat usaha dagang dan komersial, diantarannya menjadi pengelola rumah candu, pegadaian dan rumah judi.

Ada dua kategori orang Tionghoa, sebagian bear orang Tionghoa di Jawa pada abad ke-19 adalah peranakan yaitu mereka yang nenek moyangnya Tionghoa dan

28 Ahmat B. Adam..2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.16.

(12)

pribumi.30 Budaya peranakan, yang aslinya berkembang di Batavia dan Jawa, lambat

laut mengembangkan bahasa sendiri, campuran antara dialek Hokkien dan Melayu Betawi.31 Menjelang pertengahan abad ke-19, mayoritas orang Tionghoa adalah

peranakan. Baru pada 1860-an orang Tionghoa didatangkan langsung dari negerinya untuk keperluan tenaga kerja bagi perkebunan dan pertambangan di luar Jawa.32

Kelompok peranakan lain yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan surat kabar berbahasa anak negeri pada paruh kedua abad ke-19 adalah komunitas Indo atau Indo-Eropa. Seperti peranakan Tionghoa , komunitas Indo ini lahir dari perkawinan campuran atau pengendakan dengan pertemuan pribumi. Meskipun secara resmi dikategorikan sebagai Eropa, orang Indo ini tetap mewarisi dua budaya, Eropa dan Pribumi. Dari total 1800 orang Eropa di Jawa pada 1854, sekitar 9.000 sesungguhnya adalah Indo. Seperti sudah diterangkan di atas dalam hierarki masyarakat kolonial, orang Indo secara teoritis menikmati status setara dengan Eropa. Kendati demikian dalam kenyataanya status orang Indo terutama ditentukan oleh posisi ekonomi dan latar belakang pendidikannya.33 Orang Indonesia,

mereka umumnya yang berbahasa Belanda atau Melayu rendah disebut sinyo atau disingkat nyo. Secara kultural, mereka menyerap unsur-unsur dari budaya Eropa dan Indonesia. Pada abad ke- 19 peringkat status mencerminkan menguatnya peran ras dan kriteria pembedaan. Sementara orang Eropa berada dipuncak hierarki status dalam masyarakat kolonial dan orang Timur asing ( meliputi Tionghoa, Arab ,India dan orang asing lainnya).

Pada sekitar 1850 keadaan ekonomi penduduk pribumi di Jawa menyedihkan. Meskipun cultuurstelsel (sistem tanam paksa) tampaknya menguntungkan elite masyarakat Jawa, bagian terbesar populasi pribumi tidak memperoleh banyak dari sistem itu.34 Kesulitan petani pribumi Jawa sudah kentara sejak menjelang 1840-an.

Pengetatan tanam paksa , yang bertujuan memacu produksi kopi, gula dan nila berakibat pada pengabaian produksi beras. Secara tak meningkat tajam, sementara itu wabah penyakit ternak terjangkit secara sporadis dan cuaca yang tidak bersahabat

30 Broek, J.O.M. 1942. Economic Development of the Netherlands Indies. New York: Institue of Pacific Relations.hlm.25.

31 Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the East:The Metamorphosis of a Colonial Capital. Berkeley. [Desertasi, University of California].hlm.199.

32 Ahmat B. Adam. Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.19.

33 Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the East:The Metamorphosis of a Colonial Capital. Berkeley. [Desertasi, University of California].hlm.149.

(13)

membuat panen gagal serius, yang ,mengakibatkan kekurangan pangan yang gawat, sehingga menimbulkan kelaparan dan epidemi sepanjang 1843 hingga 1849.35

Penderitaan orang pribumi Jawa membuka mata banyak orang akan kegagalan besar sistem pemerintahan.

Salah seorang yang mencela perlakuan kejam penduduk pribumi di bawah Tanam Paksa adala W.R. Baron van Hoevell, editor Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie. Baron van Hoevell sendiri sudah bosan akan sewenang-wenangan pemerintah yang mengontrol opini publik dan memberangus pers. Upayanya menyingkap kegagalan Tanam Paksa melalui Tijdschrift sering dirintangi oleh apa yang dianggapnya sebagai campur tangan pemerintah yang terang-terangan dan berkelanjut dengan perundungan terhadap penerbitan berkala itu oleh Sekretariat Negara, yang berkuasa atas hidup matinya penerbitan. Tentangan terhadap tanam Paksa juga mulai muncul di Belanda, dibangkitkan oleh kalangan liberal di Majelis Tinggi. Menjelang akhir 1840-an, perhatian terhadap manajemen negeri-negeri kolonial memang kian meningkat di Parlemen Belanda. Keinginan membuka mata para anggota Majelis Rendah akan berbagai kejadian di Hindia serta merta membawa kesadaran mengenai perlunya mengubah undang-undang yang dirancang pada 1848.36

1.1.5. Perubahan UU 1848 dan pengumuman UU Pers

Pada 1848 reformasi konstitusional dilembagakan supaya Majelis Tinggi bisa bersuara lebih banyak mengenai tata pemerintahan di Hindia Belanda, serta menambah hak para anggota Partai Liberal dan Partai Kristen untuk mengkritik dampak Tanam Paksa. Harapan akan perubahan tampaknya tidak hanya didukung oleh para politikus Belanda, tapi juga kelas menengah yang menjadi sejahtera berkat keuntungan ekonomi Belanda yang dipetik dari Jawa. Tekanan untuk mengganti Tanam Paksa dengan perdagangan terbuka bermuara pada imbauan melakukan liberalisasi yang lebih besar dalam ekonomi kolonial dan menghapuskan sejumlah hambatan hukum yang membatasui usaha swasta secara berlebihan . terkait dengan tuntutan untuk usaha swasta ini adalah kebutuhan akan kemerdekaan pers yang lebih besar.37

35 Mansvelt, W.M.F. dan P. Creutzberg. 1978. Changing Economy in Indonesia: A Selection of Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940. Jil. Ke-4:Rice

Price.s’Gravenhage:Nijhoff.hlm.25

(14)

Hasil agitasi untuk perubahan ke bentuk sistem pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip liberal ialah lahirnya konstitusi baru untuk Hindia Belanda, yang disebut Regeerings Reglement pada 1854, konstitusi ini baru meliputi pasal 110 mengenai pers:

Penyeliaan terhadap pers oleh pemerintah harus diatur oleh ordonasi, yang sesuai dengan prinsip bahwa publikasi gagasan dan sentimen oleh pers dan izin memasukkan barang cetakan dari luar Belanda tidak dibatasi, kecuali hal itu untuk menjamin ketertiban masyarakat.

Pasal ini tidak menetapkan bagaimana penyeliaan terhadap pers akan diatur, tetapi bagaimanapun juga menghasilkan sebentuk penyeliaan preventif. Kegagalan menaati peraturan tersebut akan membahayakan kelangsungan usaha sebuah percetakan atau penerbit. UU Pers ini juga memberi kekuasaan kepada Gubernur Jenderal untuk menutup sebuah percetakan yang dianggap melakukan pelanggaran serius terhadap undang-undang. UU Pers yang terakhir ini tidak pernah dilaksanakan hingga 1856, dan ketika muncul, banyak pihak yang berharap banyak akan kemerdekaan Pers menjadi kecewa. Apa yang dituangkan dalam UU Pers 1856 dari Resolusi Kerajaan 8 April 1856 (staatsblad 1854 No.74) tidak lebih sebuah undang-undang preventif dan represif.38 Pada dasarnya UU Percetakan atau

Drukpersreglement itu bertujuan mengintimidasi dan mengekang pers yang baru mulai bangkit. UU itu dirancang untuk melumpuhkan kritik terhadap pemerintahan kolonial melalui cara-cara preventif dan represif. Inilah latar belakang yang menumbuhkan dan mengembangkan pers berbahasa anak negeri di Indonesia.39

1.2. Asal Usul Pers Berbahasa Anak Negeri

Tinjauan terhadap sejarah awal surat kabar dan terbitan berkala bahasa anak negeri serta peran orang yang terlibat di dalamnya memperlihatkan bahwa pada tahun-tahun pertama penerbitan itu berangkat dari motivasi komersial, tetapi beberapa diantarannya adalah oranf idealis, dan yang lain melihat pers sebagai alat yang bermanfaat untuk

37 Ahmat B. Adam. . 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.22.

38 Louter, J.de. 1914. Handboek van het staats- en administratief recht van Nederlandsch-Indie. Amsterdam.hlm.161.

(15)

menjaring pengikut. Karena itu, beberapa dari mereka bertujuan terutama menyediakan bahan bacaan bagi sejumlah sekolah pribumi dan lembaga pelatihan guru yang baru berdiri, sementara misionaris Kristen mengupayakan penebitan brosur guna menyebarkan agama mereka.

Jumlah pembaca dan isi ketiga jenis surta kabar dan penerbitan berkala ini yakni yang komersial, yang idealis dan misionaris karena itu harus diteliti. Sementara itu pertumbuhan pers di Jawa dan luar Jawa dari 1855 hingga 1873 harus ,mempertimbangkan pula penyebaran pendidikan model barat melalui sekolah-sekolah pemerintah dan misi, serta peran pendidikan model baru itu dalam perkembangan pers disini.

1.2.1. Para Pionir

Sejarah Pers berbahasa daerah di Indonesia dimulai ketika mingguan berbahasa Jawa, Bromartani, meluncurkan penebitan perdanannya pada 25 Januari 1855. Dipimpin oleh C.F. Winter Sr.,40 dan putranya,Gustaaf Winter, surat kabar itu

terbit setiap kamis dari percetakan Hartevelt di Surakarta. Lingkungan di sekitar kelahirannya cukup menarik, begitu pula hal-ikhwal yang memicu penebitan surat kabar ini. Bromartani didirikan setelah UU tahun 1854 (Regeerings Reglement) yang membayangkan kelonggaran peraturab pers di Hindia diumumkan. Tatkala surat kabar itu terbit untuk pertama kalinya, UU Pers masih diperdebatkan oleh Parlemen Belanda. Entah merupakan respon terhadap janji”kemerdekaan” pers yang disiratkan oleh UU tahun 1854 atau hanya sebuah kebetulan , Bromartani lahir ditengah pengharapan yang besar akan liberalisme pers hanya setahun sebelum UU Pers 1856 diperkenalkan. Namun, ketatnya UU Pers itu ketika akhirnya tersusun, hasruslah ditempatkan dalam konteks masa itu, ketika kritik kaum Liberal terhadap sistem Tanam Paksa Van den Bosch diangkat dan digaungkan oleh pers swasta Belanda yang lahir di Hindia.41

Peraturan pers yang baru itu dimaksudkan untuk mematahlan kritik terhadap pemerintahan kolonial tersebut. Meskipun demikian, dibanding dengan periode sebelumnya, ketika pemerintah tidak mengubris dan karena itu bahkan tidak mengakui, keberadaan pers, UU pers 1856 yang baru mungkin dapat dianggap sebagai suatu kemajuan. Sebelumnya pemerintah mempunyai wewenang melarang

40Encyclopaedae, Encyclopaedae van Nederlandsch-Indie. Cet 2.’s-Gravenhage: Nijhoff. Leiden:Brill.Jil.4.hlm. 786.

(16)

barang cetakan apa saja semau-maunya, dan Gubernur Jenderal berkuasa penuh mengusir siapa saja yang dianggap mengancam keamanan Hindia Belanda. Keadaan ini pun menyebabkan tak seorangpun yang berani mengambil resiko menerbitkan suatu sebelum meminta izin dari pemerintah. Jadi, kendai undang-undang yang baru ini sangat ketat, beberapa orang melihatnya sebagai sedikit kemajuan, dan mungkin untuk sebagian menjelaskan mengapa muncul sejumlah surat kabar baru milik swasta termasuk Bromartani, surat kabar berbahasa daerah yang pertama.42

Sebenarnya Bromartani bukanlah satu-satunya publikasi berbahasa daerah yang muncul pada Januari 1855. Secara stimulan muncul pula sebuah penerbitan berkala, Poespitamantjawarna. Dipimpin dan diterbitkan oleh Gustaaf Winter, yang menguasai bahasa dan sastra Jawa. Seperti Bromartani, Poespitamantjawarna mungkin juga bisa dikategorikan sebagai penerbitan idealistis, dengan muatan sastra dan pendidikan yang bertujuan menyajikan semacam dorongan belajar bagi pribumi Indonesia. Baik Bromartani maupun Poespitamantjawarna menggunakan bahasa kromo inggil, ragam bahasa Jawa tinggi. Ini tentu bukan sesuatu yang luar biasa, sebab keduanya terbit dan beredar di kota Keraton Surakarta. Seperti Yogyakarta, Surakarta, Ibu kita Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran, yang memiliki Keraton Susuhunan dan Pangeran Adipati Mangkunegara adalah wilayah kebudayaan dan tradisi Jawa. Kegiatan sastra di sebuah lembaga kajian bahasa Jawa, seperti Raden Panji Puspowilogi dan Raden Ngabei Reksodiputro, bersama para ahli Eropa.43

Sekolah- sekolah di Surakarta itu segera menemui kesulitan memperoleh buku yang layak untuk para muridnya. Karena itu , kepala sekolah guru, Palmer van den Broek, yang selalu berusaha mengumpulkan bahan bacaan bagi para muridnya, menyambut baik kelahiran Bromartani dan Poespitamantjawarna. Memang, mungkin saja C.F. Winter dan Hartevelt bersaudara membayangkan siswa di Surakarta itu menerbitkan korannya, sebab isinya seolah-olah ditunjukan kepada siswa sekolah. Berita dari berbagai daerah sejumlah artikel tentang ilmu atau fisika, perhatian kepada subjek tertentu seperti berat udara, air dan berbagai jenis materi, jelas ditunjukan untuk siswa sekolah guru, kalau tak bisa dikatakan untuk semua murid secara umum. Namun untuk pembaca umum, Bromartani juga menyuguhkan topik-topik seperti berita kamatian, berita kelahiran, obral, lelang, maklumat pemerintah, penunjukan dan

42 Ahmat B. Adam. . 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.28.

(17)

mutasi pejabat serta berbagai artikel tentang perkembangan pertanian, industri, hikayat dan berita-berita yang menggugah minat pembaca tentang peristiwa-peristiwa dunia. Berita lokal dan disekitar Surakarta juga dimuat. Pada 1856, misalnya surat kabar tersebut melaporkan secara rinci upacara penobatan sultan Yogyakarta yang baru, Hamengku Buwono VI. Surat kabar itu juga memuat iklan, pengumunan lelang, serta jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal.44

Sampai akhir abad ke-1856 jumlah pelanggan surat kabar tersebut tak lebih dari 290 sehingga penerbit mengumumkan, kelak mereka akan menghadapi kesulitan.45 Karena tidak mampu menarik pelanggan, Hartevelt terpaksa

menghentikan penerbitan sebab, sebagai usaha bisnis, surat kabar tersebut telah gagal. Edisi terakhir Bromartani terbit pada 23 Desember 1856, tetapi penerbit menyatakan harapan mereka bahwa penghentian ini hanya bersifat sementara dan bahwa akan ada pihak yang lain yang melanjutkan. Penerbit pun berharap kelak isinya lebih berkembang. Ternyata, surat kabar itu tidak terbit lagi hingga 1871, ketika penerbitan di Surakarta, P.F. Voorneman, menerbitkan lagi Bormartani dengan kop yang sama, dan tarif berlangganan rata-rata 12 gulden pertahun.46

Pada 1856, ketika Bormartani memasuki tahun kedua penerbitannya, seorang penerbit di Surabaya, E.Fuhri menerbitkan surat kabar pertama berbahsa Melayu di Indonesia, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe. Penerbitan diumumkan oleh De Oostpost, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang beredar di Surabaya. Edisi pertama Soerat Kabar Bahasa Melaijoe yang berorientasi komersial itu terbit pada 5 Januari 1856, dan penerbitnya menjanjikan terbit setiap Sabtu. Karena berorientasikan komersial, pemvaba surat kabar tersebut diperkirakan komunitas pedagang Tionghoa, serta saudagar Arab dan pribumi di kota. Oplahnya yang pasti tidak diketahui, tetapi pembacanya tidaklah lebih banyak dari tiga sampai empat ratus orang dan mungkin, sebabnya surat kabar ini gagal mendapatkan pelanggan yang menyebabkan berhenti terbit setelah edisinya yang ke-13, artinya hanya bertahan sekitar tiga bulan. Kematiannya mungkin sebagian disebabkan karena tak pernah meiliki seorang editor permanen. Meskipun menggunakan bahasa Melayu rendah, surat kabar ini gagal menjaring cukup pelanggan untuk bertahan.47

44 Ahmat B. Adam.Ibid.hlm.31.

45 Hartevelt.1856. Gebroeders Hartevelt en Co. Brosur yang dilampirkan pada Bromartani, edisi Agustus 1856.

(18)

Tahun 1856 bukan hanya tahun munculnya surat kabar, tetapi juga penerbitan berkala berbahasa Melayu yang pertama di Hindia. Jurnal bulanan ini, Bintang Oetara, terbit perdana pada 5 Februari 1856. Diterbitkan oleh H.Nygh di Rotterdam, jurnal ini mula-mula dipimpin oleh P.P Roorda van Eysinga, profesor filologi di Delft, yang konon jatuh cinta pada ragam bahasa Melayu Tinggi seperti digunakan, misalnya di Padang dan Palembang. Setelah P.P Roorda van Eysinga wafat, putranya W.A.P Roorda van Eysinga, yang kemudian memimpin Bintang Oetara menyatakan, karena penebitan berkala itu punya pasar yang bagus di Jawa, ia akan mencoba menggunakan ragam bahasa Melayu yang lebih sederhana, yang disebutnya Melayu Luar. Distributor penerbitan berkala ini adalah Lange dan Co., sebuah toko buku di Batavia.48

Bintang Oetara, adalah penerbitan berkala yang berorientasi pada pencerahan, yang menyediakan halaman-halamannya untuk hikayat Melayu dan Indo-Persia, pantun, artikel pengetahuan umum dan reportase berbagai peristiwa di negeri-negeri yang jauh, seperti Amerika dan Belanda. Muatan lain Bintang Oetara adalah permainan catur,kuis dan teka-teki, cerita kiasan bergambar, fabel dan artikel tentang tempat-tempat seperti Amsterdam, Instanbul, Prancis, Rusia dan Tiongkok. Sebagai pemikat untuk pembaca pribumi, redaktur juga memuat cerita-cerita tentang ajaran moral, misalnya tentang kehidupan Nabi Muhammad, sahabat-sahabatnya dan keluarganya. Bentuk sastra Melayu yang digunakannya ternyata menjadi rintangan kelanjutan sirkulasinya, sebab orang Jawa dan Sunda sulit memahaminya. Sekali lagu kekurangan pembaca memaksa sebuah penerbitan berkala dalam bahasa anak negeri menghentikan penerbitannya dan menjelang pertengahan 1857, nama Bintang Oetara tak lagi terdengar, meskipun isinya telah mencerahkan dan menghibur serta menggugah para pembaca berbahsa Melayu.49

Sekitar setahun setelah kematian Bintang Oetara, Lange dan Co., pemilik toko buku di Batavia yang bertindak sebagai agen jurnal, meluncurkan surat kabar sendiri yang berbahsa Melayu Soerat Chabar Betawi. Rupanya pengalaman buruk dengan Soerat Kabar Bahasa Melajoe tidak membuat mereka jera untuk mencoba menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu. Tetapi hidup Soerat Chabar Betawi

47 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.33.

48 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.33.

(19)

berlangsung singkat. Upaya membangun citra komersial demi menarik pembaca dan pelanggan dari kalangan bisnis dan perdagangan di Batavia, tak membantu mendapatkan pelanggan yang cukup untuk mendukung kehadirannya. Soerat Chabar Betawi harus menghentikan penerbitannya pada 1858, dan kehadirannya sudah dilupakan oleh dunia pers pada tahun berikutnya.50

Periode antara 1855 dan 1860 menandai fase pertama sejarah pers di Indonesia. Itulah periode eksperimentasi bagi para penerbit yang giat mendirikan pers, dan lahan ujinya adalah kota-kota Surakarta, Surabaya dan Batavia. Pada periode itu terbit tiga surat kabar mingguan dan dua penerbitan berkala. Kendari semua berusia singkat dan keberadaannya didera oleh sedikitnya pelanggan, potensi pers itu untuk menemukan “rumah”-nya di kora-kota provinsi tak bisa diabaikan, terlebih jika pendidikan lebih tersebar diantara penduduk asli Hindia. Pertumbuhan sekolah dan pusat pendidikan guru pada dasawarsa berikutnya ternyata menunjang pertumbuhan pers dalam bahasa anak negeri di Hindia Belanda.51

1.2.2. Pertumbuhan pers berbahasa anak negeri , 1860-1873

Periode antara 1863 dan 1871 adalah titik balik yang menentukan kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan. Jumlah sekolah untuk anak pribumi segera bertambah dan ditunjuklah seorang inspektur pendidikan pribumi. Sejak 1867, departemen pendidikan, kepercayaan masyarakat dan industri mengambil alih pengelolaan pendidikan secara terpusat di Jawa, pada periode anatar 1849 dan 1871 berdiri 77 sekolah pemerintahan.52 Yaitu sekolah-sekolah kabupaten, sekolah

pemerintah kebanyakan terdapat di Semarang, Surabaya, Surakarta dan Batavia. Untuk pulau berpenduduk padat seperti Jawa, jumlahnya sangat kecil.53

Pembukaan jaringan telegram pada 1856 dan diperkenalkan jasa pelayanan pos yang modern pada 1862, diikuti oleh pembukaan jakur kereta api yang pertama pada 1867, secara tidak langsung memfasilitasi perkembangan pers. Pelayanan pos jauh lebihj mempermudah dan mempercepat para penerbit mengirimkan surat kabar mereka kepada para pelanggan serta menerima berita tulisan dari koresponden.

50 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.35.

51 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.35.

52 Kroeskamp, H. 1974. Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of

Experiments in School Education in 19 th Century Indonesia. Assen : Van Gorcum.hlm.331.

(20)

Pelayanan telegram menyebabkan redaktur dapat menerima berita dan laporan dari sumber-sumber pemerintah dan redaktur surat kabar yang lain. Semua ini, berbarengan dengan pertumbuhan sekolah pribumi di Jawa dan pulau-pulau lainnya, membuka babak kedua sejarah pers di Hindia Belanda. 54

Dasawarsa antara 1860 dan 1870 adalah periode konsolidasi bagi pers. Dari lima surat kabar di Jawa ( Bintang Timor, Selompret Melajoe, Djoeroemartani, Bintang Barat dan Biang-Lala) dan satu di Minahasa (Tjahaja Siang),Bintang Timor dan Selompret Melajoe yang paling hidup, dan karena itu paling populer. Berita dari kedua surat kabar ini sering dimuat kembali oleh koran lainnya.

Menjelang awal 1870-an pers dalam bahasa anak negeri telah meneguhkan pijakannya di kota-kota penting di Jawa dan luar Jawa. Pada tahun awal terbit sejumlah surat kabar dana penerbitan berkala yang mencerahkan dengan kecenderungan bahasa dan sastra yang dipimpin oleh orang Belanda dan Indo, sedangkan pada tahun 1860-an dan 1870-an pers berkembang lebih bersifat komersial dan brorientasi misi. Selama periode ini, pertumbuhan dan ekspansi pers berlangsung lebih cepat di kota-kota pesisir, yakni kawasan permukiman para pembaca multirasial dan lingkungan urban kosmopolitan. Di kota-kota bandar pula ragam bahasa Melayu rendah berkembang dan menjadi medium pers, kendati bahasa Jawa tetap berfungsi sebagai bahasa sejumlah surat kabar yang terbit di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).

Periode 1870-an dan sesudahnya akan memetakan perkembangan baru pers berbahasa anak negeri. Pentingnya pertumbuhan itu kini ditandai tidak hanya oleh bertambahnya penerbit dan editor, tetapi juga oleh minat yang diperhatikan pembaca dari berbagai latar belakang. Perkembangannya dimasa depan akan tergantung tidak hanya pada upaya para penerbit Belanda dan Editor Indo, tetapi juga pada partisipasi golongan Tionghoa peranakan dan orang Indonesia. Namun, para editor Indo-lah yang pertama-tama menunjukkan cara mengelola surat ,kabar dan menggunakannya sebagai agen perubahan sosial.

1.3. Pembredeilan Pers dan Penyebabnya

Penguasa negara merumuskan kebijakan yang mengatur kehidupan pers sejak zaman kolonial. Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan pada tahun

(21)

1856, dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandch-Indie, yang bersifat pengawasan preventif. Terbaca dalam RR 1856 (KB 8 April 1856 Ind.Stb.no 74) antara lain; Semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi dan Algemene Secretarie. Pengiriman harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan ditandatangani. Jika ketentuan tersebut tidak dipatuhi, maka karya cetak tersebut disita. Tindakan itu bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau penyimpanan barang-barang cetakan itu.55

Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntut setiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Dalam perubahan tahun 1906 (KB 19 Maret 1906 Ind.Stb.no.270) dihapuskan ketentuan yang bersifat preventif sehingga penyerahan eksemplar kepada pejabat tersebut dilakukan dalam waktu 24 jam setelah barang cetakan diedarkan. Ketentuan bahwa pada karya cetak tersebut harus dicantumkan nama dan tempat tinggal si pencetak dan penerbitnya masih berlaku. Pelanggaran ketentuan ini tidak akan mengakibatkan penyitaan, melainkan denda flO-flOO.56

Dua puluh lima tahun kemudian, pada 1931, pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie. Aturan ini memberikan hak kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan yang dinilai bisa "mengganggu ketertiban umum". Larangan terbit baru dilaksanakan setelah penerbitan yang bersangkutan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai penerbitan yang dilarang terbit untuk sementara. Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Bahkan bisa diperpanjang sampai dengan tiga puluh hari berturut-turut. Selain Persbreidel Ordonnantie, dikenal pula tindakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers berdasarkan Haatzaai Artikelen.57

Pasal 154,155,156 dan 157 Wetboek van Strafrecht. Aturan ini mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda, yang berlaku sejak 1918. Pada zaman pendudukan Jepang, untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan Undang-undang No.16 58

yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Dua segi yang menonjol dari UU

55 Surjomihardjo, Abdurrahman (red). 2001. Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas. Hlm 171-172.

56 Surjomihardjo, Abdurrahman (red). 2001. Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas. hlm 171-172.

57 Surjomihardjo, Abdurrahman (red). 2001. Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas. hlm 173.

(22)

itu terkait dengan berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif, yaitu pasal 1 menyatakan bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit. Pasal 2 melarang semua penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang untuk meneruskan penerbitannya.59

Ketentuan mengenai sensor preventif ditegaskan dalam pasal 4: Semua barang cetakan, sebelum diedarkan harus melewati badan sensor Balatentara Jepang. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa Sala) dan Surabaya. Kantor pusat sensor ditempatkan di Jakarta. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas "penasehat" ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi. Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara oleh pemerintahan Republik Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954.60

Penghapusan aturan ini juga dikarenakan adanya perjuangan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang didirikan di Sala 9 Februari 1946. Dalam kongres ke-7 di Denpasar bulan Agustus 1953 misalnya, PWI mengeluarkan keputusan: Menuntut kepada Pemerintah supaya segera mengeluarkan Undang-Undang Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan berpikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan pasal 18 dan 19 Undang Undang Dasar Sementara. Akan tetapi sebelum UU Pokok Pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers Indonesia masih menghadapi peratuan-peraturan yang dirasa menekan para wartawan. 61

Perkembangan politik turut mempengaruhi lahirnya peratutan-peraturan tersebut. Pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan

59 Surjomihardjo, Abdurrahman (red). 2001. Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas. Hlm 175-176.

60 Surjomihardjo, Abdurrahman (red). 2001. Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas. Hlm 175-176.

(23)

wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan.62

3.1. Kesimpulan

Bahwa pers merupakan sebuah produk sampingan usaha orang Eropa di bidang budaya, dan ekonomi yang bermula pada masa awal VOC pada abad ke-17. Perkembangan pers pun di dorong oleh motif-motif ekonomi, sosio-kultural, dan misionaris. Selain itu menghujahkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pers yang mantap merupakan produk lingkungan urban, dengan sejumlah sekolah, infrastruktur dan komunikasi modern, termasuk khususnya sebuah Lingua Franca, yakni ragam bahasa Melayu rendah, dan Melayu pasar. Proses modernisasi mendorong perkembangan pers, memacu pertumbuhan intelektual di kalangan orang Indonesia yang lambat laut ingin sekali menandingi orang Eropa dan

(24)

Tionghoa dalam meraih modernitas. Sehingga modernitas ini pun pada gilirannya merangsang orang Indonesia mendirikan pers sendiri, serta membangun organisasi sosial-ekonomi, keagamaan dan politik. Semua upaya ini merupakan pengejawantahan kesadaran nasional modern yang telah bangkit di kalangan cendikiawan Indonesia.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Rujukan Sumber :

Adam. B.Ahmat.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855- 1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

De H.J.Graaf.1969. ‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern Hemisphere. Amsterdam: Bangent.

De J. Louter.1914. Handboek van het staats- en administratief recht van Nederlandsch-Indie. Amsterdam.

C.W. Wormser. (s.a.)a. Drie en dertigjaren op Java. Jil. III: In het dagbladwezen. Amsterdam:W.ten Have.

Encyclopaedae, Encyclopaedae van Nederlandsch-Indie. Cet 2.’s-Gravenhage: Nijhoff. Leiden:Brill.Jil.4.

Hartevelt.1856. Gebroeders Hartevelt en Co. Brosur yang dilampirkan pada Bromartani, edisi Agustus 1856.

H, Kroeskamp.1974. Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of

Experiments in School Education in 19 th Century Indonesia. Assen : Van Gorcum. John ,Crawfurd, 1852. A Grammar and Dictionary of the Malay Language with Preliminary

Dissertation.2 Jil. London.

John, Hoffman.1979. A Foreign Investment: Indies Malay to 1901, Indonesia.

J.O.M.Broek. 1942. Economic Development of the Netherlands Indies. New York: Institue of Pacific Relations.

Manual. 1918. A Manual of Nedherlands India ( Dutch East Indies). Naval Staff Intelligence Departement.

(26)

Muller.Th.1969. Indonesia dan orang-orang Indonesia, dalam:S. Ichimura dan Koentjaraningrat (ed.), Indonesia: Masalah dan Peristiwa; Bunga Rampai. M.C. Ricklefs.1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792, A History of the

Division of Java. London: Oxford University Press.

S.M. Zwemer. 1911. Islam and Christianity in Malaysia. The Modern Word.Jil. ke—1. Van der J.A. Chijs.1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);

Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke-39, 1 Batavia.

Von , G.H. Faber.1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya: Kolff.

W.M.F. Mansvelt, dkk. 1978. Changing Economy in Indonesia: A Selection of Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940. Jil. Ke-4:Rice

Price.s’Gravenhage:Nijhoff.

1981. A History of Modern Indonesia. London:MacMillan.

Zubaidah, Isa.1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana University).

Rujukan Jurnal:

Referensi

Dokumen terkait

Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember | 222 mengganggu kelompoknya sehingga kelompok tersebut mengalami kegagalan serta jika tugas yang

Dari ketiga metode PSOLA dengan besar overlap yang berbeda terlihat bahwa semakin panjangnya data yang akan di overlap-kan maka menyebabkan panjang data dari

Pada Tabel 2, dapat kita amati bahwa penerimaan PBB di Kecamatan Sukabumi Kota Bandar Lampung selalu mengalami peningkatan, akan tetapi penerimaan tersebut masih

Pengujian dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05 (α=5%). Ketentuan penerimaan atau penolakan hipotesis adalah sebagai berikut:.. 2) Jika nilai

Predvsem progesteronske preparate źe već, let uporabljamo pri zdravljenju metastaskega in recidivnega karcinoma telesa mateľnice, odgovor na terapijo, po podatkih iz

(3) Kepala Perangkat Daerah terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan evaluasi kelengkapan dan kebenaran serta kesesuaian terhadap ketentuan yang ada

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan serta hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: (1) Kecenderungan hasil belajar matematika

Dengan sederhana Erhamwilda mendefinisikan konseling sebaya sebagai layanan bantuan konseling yang diberikan oleh teman sebayanya (biasanya seusia/tingkatan pendidikannya