• Tidak ada hasil yang ditemukan

Satu dekade jadi rumpun terasing narasi identitas dalam kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Satu dekade jadi rumpun terasing narasi identitas dalam kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :

NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT AHMADIYAH

INDONESIA (JAI) DI LOMBOK

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.)

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh Nurhikmah NIM: 086322011

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :

NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT

AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI LOMBOK

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh Nurhikmah NIM: 086322011

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Mempelajari kajian budaya merupakan salah satu hasrat saya untuk bisa terus

belajar. Namun, dalam prakteknya, belajar itu butuh legitimasi dan tanggung jawab

intelektual dan moral. Tesis ini salah satu manifestasinya. Sebagai tugas akhir yang dibaca

sebagai produk intelektual, saya tertarik untuk mengkaji kekerasan dalam sebuah

kelompok. Saya melihat kekerasan sebagai sesuatu yang harusnya tidak terjadi, akan tetapi

itu menjadi semacam hukum alam yang tak bisa dihindari. Ada semacam “kehausan” dari

diri saya untuk melihat fenomena kekerasan khususnya dari perspektif si korban, apalagi

pernah berkesempatan meneliti beberapa fenomena tentang hal ini. Dan semoga saja ini

bukan semacam pemuasan keingintahuan belaka.

Penulisan tesis ini bukanlah sebuah proses yang singkat dan mudah. Rencana

Tuhan, Allah memang mewujud dalam tangan gaibnya untuk menjadikan ini akhirnya

terjadi. Dia adalah sumber dari “Rahmah al-Intinan” yang dilukiskan Ibn’Arabii, rahmat

yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja-rahmat yang bahkan

bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik. Setiap saya merasa lemah, Dia selalu

mengingatkan saya dalam salah satu surahNya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah

yang kamu dustakan. Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara)

dua barat” (Qs.Ar-Rahman :16-17).

Saya haturkan terima kasih dan hormat kepada Dr. Fx. Baskara T Wardaya, yang

tak henti-hentinya memberikan semangat dan mengajak untuk selalu berpikir logis dan

sistematis termasuk dalam kajian ini. Juga Dr.St.Sunardi, yang dalam setiap obrolan selalu

punya cara pandang yang mencerahkan. Dr. G. Budi Subanar, S.J., Katrin Bandel, Mba

Devi, Dr. Budiawan yang dalam 3 semester banyak menunjukkan dan mengingatkan untuk

tidak banal dalam berpikir. Terima kasih kepada seluruh dosen yang pernah mengajar saya

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, juga Mba Desy, Staf di IRB atas bantuan dan

perhatiannya.

Teruntuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok : Koordinator Pengungsi

Syahidin, Penasehat JAI Mln.Nasiruddin, Mubalig Basyiruddin, Ir. Jauzi selaku ketuai JAI,

(8)

kenikmatan yang terselubung. Terimakasih juga atas kesabaran dan keterbukaan pemikiran

yang tak pernah habis diberikan karena menulis tesis ini (ternyata) memakan waktu yang

cukup lama.

Terima kasih tak terhingga buat kedua orang tua dan keempat kakak beserta

keluarga kalian masing-masing, yang selalu memberikan dukungan, cinta, dan

kesabarannya. Buat Essa Putra, semoga kita jadi lebih baik dan kuat kedepannya. Ucapan

terima kasih juga buat teman-teman komunitas di Yogyakarta juga IRB’08, rekan-rekan di

Taliwang, Sumbawa Barat, dan seluruh pihak yang telah terlibat baik secara langsung

maupun tidak langsung selama penulisan tesis ini. Salam.

(9)

ABSTRAK

Nurhikmah. 2013. Satu Dekade Jadi Rumpun Terasing : Narasi Identitas dalam Kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

Dalam sejarahnya, sejak masuk ke Indonesia, Jemaat Ahmadiyah selalu mengalami kontroversi, tak terkecuali di Lombok. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Lombok, telah menjadi sasaran kekerasan sejak 1998-2010 lalu. Tindak kekerasan yang terjadi selalu diawali dengan pemicu terlebih dahulu baik berupa ceramah dari Tuan Guru (sebutan ulama di Lombok) di Masjid, atau brosur dan selebaran yang disebarkan ke masyarakat umum, yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran “sesat”. Selang beberapa lama, muncullah sekumpulan massa yang kemudian merusak, menjarah, dan mengusir JAI dari tempat tinggalnya. Akibatnya, bermukimlah mereka di Asrama Transito selama 7 tahun ini sebagai pengungsi. Peristiwa kekerasan menunjukkan adanya aktor yang bermain sebagai kelas hegemonik dalam mempengaruhi wacana tentang “kesesatan” Ahmadiyah di tengah masyarakat, khususnya Tuan Guru dan tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ahmadiyah, oleh beberapa elemen, dianggap telah merebut jouissance dari umat Islam “mainstream”.

Sebagai sasaran dari tindak kekerasan, JAI bukanlah muncul sebagai korban semata. Bersama dengan pengurus dan pemimpin organisasinya, JAI khususnya di Lombok akhirnya melawan dengan caranya sendiri. “Jihad dengan pena”, itulah cara mereka melakukan counter hegemony dalam perlawanannya. Mereka menangkis segala tuduhan dan fitnah yang dianggap telah membentuk identitas JAI di tengah masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia. Di satu sisi, sebagian kelompok dan ormas Islam menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan bukanlah bagian dari Islam. Namun, di sisi yang lain, JAI mati-matian menunjukkan identitas mereka sebagai orang Islam. Atas hal tersebut, kajian ini ingin menunjukkan bentuk-bentuk pertarungan hegemoni serta pola-pola yang menentukan identitas JAI di Lombok sebagai subjek atau gerakan sipil keagamaan.

(10)

ABSTRACT

Nurhikmah. 2013. “One Decade of Exclusion: The Narration Identity in Violence towards

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Lombok”. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, University of Sanata Dharma.

In their history, since they entered Indonesia, JAI has always got bad experiences and become controversial. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), in particular in Lombok, has become target of violence from 1998 to 2010. There is always a trigger before violence happens, for example speeches from Tuan Guru (term for Scholar of Islam, Ulama in Indonesia) in Mosque, or some brochures or leaflets given to public or society. It doesn’t take a long process before the people suddenly come to the housing of JAI to damage, plunder, and expel them from their home. As the result, JAI has to live in Transito barracks for almost 7 years as refugees. The violence happening towards JAI has indicated that there are actors who play as the hegemonic class to influence the discourse about Ahmadiyah as a “deviant” religious group, for example Tuan Guru and Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Jemaat Ahmadiyah Indonesia is thought to have seized the jouissance from moslem on majority or mainstream.

However, as a target of violence, JAI doesn’t appear as powerless victims only. The refugees of JAI in Transito, together with the board and leaders of Ahmadiyah in Lombok, bring a spirit to fight by their own method. “The holy war (Jihad) with pen” is their way to do a counter hegemony upon them fight. JAI has repulsed all of the accusation and slander which have shaped their identity among Indonesian society, especially among the Islam society. On one side, many groups and mass organizations have shown Ahmadiyah as a deviant religious teaching and they are not a part of Islam. On the other side, JAI has struggled very hard to show that they are moslem and belong to Islam. Therefore, this study wants to show the various forms of hegemony struggles and also observe what pattern which determines the identity of JAI in Lombok as a subject or religious civil movement.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Kerangka Teoritis ... 15

F. 1. Subjek Lacanian………. ... 15

F. 2. Hegemoni Gramsci ……….. ... 19

F. 3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal ……….. ... 22

G. Metode Penelitian ... 26

H. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH ... 29

A. Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia ... 29

B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu ... 38

(12)

BAB III JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA, GERAKAN SIPIL

KEAGAMAAN... 54

A. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai Sasaran Kekerasan Komunal di Lombok ... 54

A. 1. Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok... 57

A. 2. Wajah-wajah di Bilik Transito ... 64

A. 3. Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik ... 72

B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca Kekerasan Komunal di Lombok ... 82

B. 1. Suara-suara di Balik Kekerasan ... 83

B. 2. Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan ... 95

B. 3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena ...108

BAB IV JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DALAM PERTARUNGAN IDENTITAS DAN HEGEMONI ...116

A. Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik ...118

B. Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah ...125

C. Jihad dengan Pena : Artikulasi Subjek yang “Berdaya” ... 133

BAB V PENUTUP ...139

(13)

DAFTAR GAMBAR

 

http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013 

 

Dokumentasi  Pribadi, 15  Desember 2010 

 

(14)

 

Dokumentasi Pribadi, 15 Desember 2010 

 

Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut . Selengkapnya

di:http://www.perisai.net/agama/warga_ahmadiyah_masih_bertahan_di_asrama_transito#ixzz2nblRnxFU

(15)

Penampungan Jamaah Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram, NTB. TEMPO/ Supriyanto Khafid,

http://www.tempo.co/read/news/2013/06/21/058490183/Anak‐Warga‐Ahmadiyah‐ Terancam‐Sulit‐Sekolah diunduh pada tangal 16 Desember 2013 

 

 

Jemaat Ahmadiyah melaksanakan upacara bendera HUT RI ke 68 di lapangan asrama transito, lingkungan Majeluk, Lombok, NTB, (17/8). Ratusan Jemaat Ahmadiyah telah mengungsi di asrama transito selama 7 tahun.

TEMPO/Dwianto Wibowo, http://edsus.tempo.co/konten 

berita/politik/2013/08/20/505787/282/Inilah‐Lima‐Tokoh‐yang‐Merekatkan‐Indonesia 

diunduh pada 16 Desember 2013 

(16)

 

Salah satu sudut sekat kamar pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

http://www.portalkbr.com/nusantara/nusatenggara/2681598_4265.html diunduh pada  16 Desember 2013 

http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1376715903/upacara‐bendera‐ahmadiyah‐ mataram, diunduh pada 16 Desember 2013 

(17)

 

Ruang Mushola. http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16  Desember 2013 

 

 

http://theahmadiyya.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, diunduh pada 16  Desember 2013 

 

(18)

 

http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013 

 

 

 

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pada periode pasca-Orde Baru, Indonesia dilanda ketegangan dan

kekerasan primordial berdasarkan perbedaan identitas. Perubahan iklim politik

dari Orde Baru ke Orde Reformasi memunculkan peralihan bentuk kekerasan dan

diskriminasi dari yang bersifat ideologis (terhadap komunisme) menjadi

primordial, berdasarkan perbedaan identitas agama dan etnis. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Yayasan Denny

JA.1 Berdasarkan hasil survei tersebut, sejak 1998 telah terjadi 2.398 kasus

kekerasan. Sebanyak 65 persen dari kasus kekerasan tersebut terjadi karena

perbedaan agama atau paham keagamaan, 20 persen kasus perbedaan etnis, dan 15

persen kasus kekerasan gender. Pelakunya rata-rata dari elemen masyarakat.

Contoh untuk ketiga jenis kasus kekerasan tersebut bermacam-macam.

Kasus berlatar belakang perbedaan etnis antara lain menimpa suku Dayak dan

Madura di Sampit. Ada pula kekerasan massal atas etnis Tionghoa di Jakarta pada

Mei 1998. Contoh kekerasan gender adalah hukuman untuk wanita yang tidak

mengenakan jilbab di Aceh atau pemerkosaan massal terhadap wanita Tionghoa

di Era Reformasi. Kasus kekerasan akibat perbedaan agama atau paham

      

1

(20)

keagamaan bisa dilihat pada konflik pemeluk Islam versus penganut Kristen di

Maluku, muslim Sunni dan Syiah di Sampang (Madura), serta umat muslim

dengan pemeluk Ahmadiyah di berbagai daerah.

Kasus kekerasan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir di

Indonesia cukup banyak didominasi oleh konflik berlabel agama. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal, misalnya “keran” Reformasi yang terbuka

terlampau lebar, sehingga memungkinkan gerakan underground atau organisasi

kemasyarakatan (ormas) muncul ke permukaan. Kelompok Pam Swakarsa dan

Front Pembela Islam (FPI) merupakan beberapa ormas yang cukup menonjol

dalam hal ini. Sementara itu, isu komunisme yang di masa Orde Baru menjadi

pemicu kekerasan juga sedikit berkurang atau menurun. Selain itu, ada perebutan

pengaruh antar-organisasi massa berlabel agama. Terjadinya bentuk-bentuk

kekerasan ini merupakan hal yang sangat ironis mengingat agama, yang

seharusnya menghadirkan kedamaian, telah menjadi penyulut konflik tiada henti.

Di antara kasus-kasus kekerasan di atas, satu kasus kekerasan yang paling

menyita perhatian justru merupakan konflik internal umat beragama, sebagaimana

tampak dalam kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Peristiwa ini cukup meresahkan karena konfliknya terjadi dalam satu agama

tertentu, yaitu Islam. Hal ini tampak dalam hasil penelitian Setara Institutetentang

toleransi umat beragama. Dalam konferensi pers bertajuk “Paparan Survei

Keberagaman Publik dan Sikapnya terhadap Ahmadiyah” pada 20112, anggota

tim peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan toleransi antarumat

beragama di Indonesia masih dapat dikatakan baik. Namun demikian, kondisi

      

2

(21)

sebaliknya terjadi pada persoalan perbedaan internal pada suatu agama, misalnya

dalam agama Islam terkait dengan Jemaat Ahmadiyah.

Ada banyak rentetan kejadian kekerasan yang menimpa Jemaat

Ahmadiyah. Sejak penyerangan di Lombok Barat pada 1998, kekerasan yang

menimpa warga Ahmadiyah terjadi secara massif di sejumlah tempat, seperti

-Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), dan

Makassar (20/6/2008). Kekerasan mutakhir terjadi pada 6 Februari 2011 di

Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam kekerasan di Cikeusik, terlihat bahwa

negara tak memberi perlindungan secara memadai ketika massa menyerang dan

membunuh empat anggota Jemaat Ahmadiyah.3 Pada 13 Januari 2012, Gabungan

Ormas Islam di Yogyakarta juga menggelar aksi menuntut pembubaran kegiatan

pengajian Ahmadiyah di Kompleks Sekolah Perguruan Islam Republik Indonesia

(PIRI). Tahun 2013 ditandai dengan adanya sekelompok orang yang merusak

Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 5 Mei 2013. 4

Penelitian ilmiah mengenai Ahmadiyah penting untuk dilakukan, karena

ada begitu banyak peristiwa kekerasan yang dialami pemeluk Ahmadiyah dalam

kurun waktu lebih dari satu dekade. Menyitir pernyataan Iskandar Zulkarnain

dalam acara bedah bukunya yang berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia

(2007), Ahmadiyah menarik untuk diteliti karena merupakan gerakan yang

      

3

Saat itu, ribuan orang menyerang rumah Suparman, pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang. Bentrokan tak seimbang pun meletup. Sekitar 1.500 orang merangsek menuju rumah Suparman. Mereka melempari dan menghancurkan rumah. Anak muda Ahmadiyah yang sempat melakukan perlawanan lari tunggang-langgang. Tidak semuanya bisa selamat. Tiga anggota rombongan Deden, Ketua Pengamanan Nasional Ahmadiyah, yaitu Warsono, Chandra, dan Roni tewas. Hingga 2 minggu setelah kejadian, belum dipastikan otak dari pelaku penyerangan tersebut. Lih Majalah TEMPO, 14-20 Februari 2011. 

4

(22)

berpengaruh, tapi kurang mendapat porsi perhatian yang cukup dalam sejarah

Indonesia.5

Melihat rentetan kekerasan tersebut, penelitian ini akan berfokus pada

kasus kekerasan terhadap warga JAI di Lombok. Ada beberapa alasan yang

mendasarinya. Pertama, di daerah Lombok, kekerasan (dalam hal ini penyerangan

terhadap JAI) berlangsung lama, yakni dari 1998 hingga 2010. Kedua, sampai saat

ini, warga JAI yang selamat dari penyerangan itu telah mengungsi selama 7 tahun

di daerahnya sendiri. Sejak 4 Februari 2006 silam, mereka yang melakukan

eksodus dari Lombok Timur itu tinggal berdesak-desakan di Asrama Transito,

Kota Mataram. Ketiga, meski menjadi pengungsi dan sasaran kekerasan selama

setidaknya satu dekade, warga JAI terkesan tegar dan memilih bertahan dalam

koridor keimanannya. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana JAI di

Lombok membentuk identitasnya di tengah kemelut yang dihadapi.

Berbicara mengenai Jemaat Ahmadiyah tak dapat lepas dari ajaran yang

dibawakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), pendiri Ahmadiyah.

Ajaran tersebut sudah berkembang di 185 negara. Ghulam Ahmad diberi gelar

Imam Mahdi dan Masih Mau’ud. Dipercayai bahwa dia muncul sebagai pemimpin

agama yang khusus “diutus” oleh Tuhan untuk membimbing umat manusia dan

menjadi Pembaharu (mujaddid) yang dijanjikan di akhir zaman.

Secara historis, Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai mujaddid

pada 1886. Sebelumnya, Ghulam Ahmad berkhalwat selama 40 hari dan merasa

      

5

(23)

diperintahkan oleh Allah untuk membentuk kelompok jemaat. Tepatnya pada 23

Maret 1889 atau 20 Rajab 1306 Hijriah, untuk pertama kalinya Ghulam Ahmad

secara resmi menerima baiat dari khalayak. Saat itulah, fondasi bangunan Jemaat

Ahmadiyah diletakkan. Selanjutnya, pada 1891, Mirza Ghulam Ahmad

mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih, sebagaimana yang

dijanjikan Rasulullah SAW, guna menghidupkan agama Islam dan menegakkan

syariat di akhir zaman.6

Dalam konteks internasional, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan

bagian dari Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian), yang notabene memiliki

banyak pengikut dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia disebut

Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Dalam sejarahnya, Gerakan Ahmadiyah

Indonesia juga menyisakan jejak perdebatan penting dengan berbagai kalangan

umat Islam. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah cenderung mengalami kontroversi

sejak awal kedatangannya di Tapaktuan pada 1925. Perdebatan sengit dengan

berbagai organisasi massa dan elemen masyarakat memberi dampak besar bagi

Ahmadiyah. 7

Mengenai hal tersebut, sampai saat ini tidak semua umat Islam menerima

keberadaan dan ajaran JAI. Apalagi ajarannya tentang kemunculan Imam Mahdi

masih menjadi perdebatan. Hal ini ditambah pula dengan pengembangan wacana

oleh pihak-pihak tertentu, yang menyebutkan Ahmadiyah memiliki syahadat,

      

6

Hal ini disebutkan dalam berbagai literatur. Namun, salah satu literatur yaitu Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerima perintah kerasulan ummati (sebagai umat Rasulullah) dari Allah SWT pada bulan Maret 1882 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1908. 

7

Lihat Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 89.

(24)

nabi, dan kitab suci yang berbeda. Kelompok Ahmadiyah pun dituduh eksklusif.

Ada pula dugaan bahwa mereka mendapat bantuan asing, yakni dari Inggris. Di

Indonesia, pihak yang menggulirkan wacana ini biasanya adalah tokoh Majelis

Ulama Indonesia (MUI) atau ulama setempat. Sedangkan untuk konteks Lombok,

tokoh yang berperan adalah Tuan Guru. Bagi Jemaat Ahmadiyah (Ahmadi), MUI

memiliki level yang sama dengan ormas lainnya dari segi Undang-Undang

Keormasan. Jadi, menurut JAI, lembaga tersebut tidak berhak menyatakan suatu

kaum sebagai sesat atau menentukan hidup dan matinya suatu golongan.

Akan tetapi, masyarakat, terutama umat muslim, kemudian mengikuti apa

yang disampaikan oleh ulama sebagai kalangan yang diakui keberadaan dan

ucapannya. Mulailah bermunculan penentangan dan kekerasan atas nama sesatnya

sebuah aliran. Padahal, tak ada satu pun alasan yang dapat digunakan untuk

membenarkan tindak kekerasan terhadap kelompok lain, termasuk dalam ranah

agama.

Namun demikian, tindak kekerasan terhadap warga JAI di Lombok tak

dapat dielakkan. Kekerasan tersebut telah menyebabkan rumah-rumah warga

dihancurkan dan dijarah. Penganut Ahmadiyah diusir dari kampungnya. Selain

itu, jatuh pula korban. Akibatnya, warga JAI harus tinggal di Asrama Transito,

Kota Mataram, sebagai pengungsi. Mereka adalah anggota komunitas JAI yang

sudah melakukan eksodus dari Lombok Timur sejak kejadian Pancor pada 2002,

yang menyebabkan mereka kehilangan harta benda dan harus meninggalkan

kampung halaman di Lombok Timur. Sejak saat itu, mereka berpencar dan

berpindah tempat, tidak peduli ke mana, asalkan bisa sejenak mendapatkan

(25)

tinggal di Transito ada sekitar 150 orang. Mirisnya, aparat, dalam hal ini polisi

misalnya, terlihat melakukan pembiaran terhadap kejadian tersebut. Sampai saat

ini, belum ada upaya penyelesaian berarti yang dilakukan oleh pemerintah.

Setiap tindak kekerasan pasti akan menorehkan kisah tersendiri dari

korbannya, baik berupa trauma, kesedihan, maupun rasa tertekan. Oleh karena itu,

tak mengherankan jika ada perubahan sikap karena kejenuhan yang membuncah,

aspirasi yang tak tersampaikan, dan trauma penyerangan yang terus membayangi.

Secara psikologis, pengalaman kekerasan yang diderita warga atau pengungsi JAI

pun telah memicu stres. Muncul semacam ketakutan di diri mereka karena

mendapat ancaman terus-menerus. Menariknya, hal itu tidak mereka tampakkan

sebagai sesuatu yang dominan. Mereka justru memperlihatkan hal sebaliknya,

yaitu keteguhan dan keyakinan. Dari segi akidah dan keyakinan, mereka mengaku

malah semakin kuat dan tabah menjadi bagian dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Gerakannya yang dianggap kontroversial di kalangan ormas-ormas Islam

lainnya telah membuat kekerasan terhadap JAI menjadi begitu massif dan

berulang. Hal ini terjadi karena tersebarnya banyak informasi mengenai ajaran

Ahmadiyah versi ormas-ormas Islam yang keliru. Selain itu, JAI tidak melakukan

perlawanan secara frontal, dengan akibat ormas Islam lainnya dapat bertindak

dengan bebas.

Kasus kekerasan terhadap warga JAI telah diselimuti ideologi

pembenaran. Akibatnya, aksi kekerasan bisa terus dilakukan. Salah satunya

melalui Fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang larangan menyebarkan aliran

Ahmadiyah. Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk berfatwa, MUI

(26)

pokok ajaran Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Indonesia dan

menghentikan kegiatan penodaan dan pelecehan terhadap agama. Fatwa MUI

tahun 1980 dan -2005 makin diperkuat dengan munculnya Surat Keputusan

Bersama Tiga Menteri. Peraturan ini sering menjadi acuan pemerintah daerah.

Bahkan, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berniat membubarkan JAI

karena menurut dia JAI telah melecehkan agama Islam. 8

Berbicara tentang ajaran atau akidah, Jemaat Ahmadiyah dan

pengurusnya, terutama di Lombok, banyak mengoreksi fitnah-fitnah yang

berkembang melalui media yang ditujukan kepada mereka. Mereka menjelaskan

bahwa kitab, nabi, atau syahadatnya sama dengan orang Islam lainnya. Adapun

tentang tuduhan eksklusif, mereka melihat itu sebagai tuduhan yang berlebihan.

Warga JAI mengaku rindu berkumpul dan beribadah dengan umat Islam yang

lain, tetapi adanya stigma “sesat” serta berbagai celaan dan makian terhadap

mereka membuat hal itu sukar dilakukan.

Peran media, khususnya di tingkat lokal, dalam hal ini cukup penting,

khususnya dalam mengarahkan opini publik tentang JAI. Tak jarang banyak

pemberitaan di media turut memperkeruh suasana. Banyak media massa,

khususnya media lokal, melakukan kekerasan dalam bentuk pemberitaan yang

tidak seimbang. Sumber yang diambil hanya dari pemerintah daerah, dan sering

mengandung opini masyarakat yang cenderung menentang Ahmadiyah. Media

tersebut juga jarang menampilkan berita yang seimbang dan sesuai konteks. Hal

ini bisa dilihat dalam salah satu contoh tentang pernyataan: “Pokoknya

Ahmadiyah itu sesat, tidak ada dialog lagi”, yang disampaikan oleh oleh seorang

      

8

(27)

tokoh MUI Nusa Tenggara Barat. Bagi MUI, tidak ada tawar-menawar lagi

dengan JAI karena solusi itu saja yang dianggap bisa meredam masyarakat. Ini

untuk menanggapi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Ketapang pada

2006 silam.9 Pelarangan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah bagi penulis

opini itu dianggap sebagai suatu kewajaran tanpa melihat sisi humanitasnya.

Mengenai pihak yang “terlibat” di pengungsian Transito memang cukup

beragam. Ini bisa dilihat dari daftar pengunjung Transito, yaitu ada pegiat media

(wartawan) baik nasional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat,

serta pemerintah daerah. Beberapa ormas Islam, seperti Nadhlatul Wathan (NW),

sempat datang berkunjung beberapa kali, itu pun untuk memberikan ceramah,

tanpa dialog sama sekali. Sedangkan peran partai politik sangat minim. Pernah

ada satu partai politik yang memberi bantuan pada 2007, tapi setelah itu tidak lagi.

Berbagai LSM juga datang untuk memberikan bantuan dan advokasi.

Kebijakan dan intervensi negara telah memunculkan bentuk diskriminasi

terhadap warga JAI. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain mereka dilarang

tinggal di atas tanahnya sendiri. Menurut JAI, SKB Tiga Menteri misalnya hanya

melarang warga Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, bukan melarang untuk

tinggal di daerah tertentu. Artinya, SKB tidak mencabut hak warga JAI untuk

tinggal di Nusa Tenggara Barat. Namun nyatanya, selama tujuh tahun terakhir ini

mereka masih tetap mengungsi.

Atas kekerasan yang dialami secara beruntun, Jemaat Ahmadiyah

bukannya tanpa upaya atau ikhtiar. Warga JAI berusaha meminta dukungan

keamanan kepada Gubernur hingga Presiden. Bahkan kepada gubernur dan

      

9

(28)

presiden mereka pernah mengirimkan surat. Pimpinan wilayah Jemaat Ahmadiyah

Indonesia di Lombok Barat juga menyayangkan sikap pemerintah yang hanya

diam tanpa berusaha melindungi- masyarakat yang teraniaya. Meski hidup dalam

keadaan yang tak pasti, warga JAI di Transito selalu mendapat dukungan

kerohanian dari organisasi. Mereka menyikapi kekerasan yang dialami dalam

koridor keimanan dan kerohanian. Hal inilah yang turut membentuk pola bertahan

dan identitas mereka dalam menghadapi kekerasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, tesis ini bermaksud membahas beberapa

masalah, yaitu

a. Bagaimana sejarah kekerasan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) di Lombok?

b. Bagaimana bentuk pertarungan hegemoni antara JAI dengan pihak di luar

nya dalam menentukan identitas JAI?

c. Bagaimana mereka memandang dan memaknai kekerasan yang dialaminya

secara berkala dan massif (1998-2010) pada level ideologis dan level

(29)

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengambil salah satu potret kekerasan yang dialami pengungsi

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok, penelitian ini bertujuan untuk

melihat wacana lain seputar pengalaman dan suara JAI atas peristiwa kekerasan

yang dialami. Suara-suara tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan subjek

dan identitas JAI. Akan tetapi, yang dilihat bukan hanya semata-mata dari

perspektif JAI sebagai korban, tapi juga menilik bagaimana kekuatan kelas

hegemonik mempengaruhi keberlangsungan mereka khususnya di Lombok.

Biasanya peristiwa kekerasan berdampak besar pada identitas individu

maupun kelompok. Dalam membentuk identitasnya, kelompok sasaran tidak

selamanya memandang dirinya sebagai korban karena mereka sebenarnya

memiliki kemampuan untuk bertahan dan berstrategi. Kemampuan tersebut

bertemu dengan ideologi kelompok yang dominan sehingga memunculkan proses

negosiasi atau bahkan sebuah pertarungan.

D. Manfaat Penelitian

Berawal dari kegelisahan dan keingintahuan melihat maraknya konflik

antar-kelompok khususnya dalam konteks umat beragama, penelitian ini mulai

dirancang. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi salah satu potret

kekerasan yang disorot, karena identitas yang diberikan padanya sebagai ajaran

“sesat” dan eksklusif. Terlepas dari pro kontra ajaran aliran Ahmadiyah, wacana

(30)

dan identitas mana yang dominan muncul pada pengungsi JAI di Asrama

Transito.

Pertarungan identitas dan hegemoni setidaknya bisa membantu untuk

memetakan potret kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya entitas Umat Islam

di Indonesia. Lebih spesifik lagi, hal ini akan menjadi gambaran bagaimana

sebuah aliran—yang menyebut dirinya bagian dari Islam—bisa bertahan dan

ditentukan hidup atau matinya oleh ideologi tertentu.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang Ahmadiyah memang sudah banyak dilakukan, namun

sebagian besar menyorot permasalahan akidah, terutama yang kontra terhadapnya.

Penelitian yang menyorot tajam keberadaan Ahmadiyah di dunia misalnya, ditulis

oleh Abdullah Hasan Al-Hadar (1980) dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang

Bulat di Panggung Sejarah. Dia melihat bagaimana Ahmadiyah lahir,

berkembang, penuh gejolak di India, dan menyorot identitas seorang Imam Mahdi

secara cukup detail. Dalam tulisan ini pula banyak asosiasi negatif yang muncul

seputar Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad. Kata-kata lugas seperti

Ahmadiyah sesat, sosok Mirza yang “gila” gelar keislaman banyak dipakai dalam

buku tersebut.

Penelitian lain yang juga kontra terhadap Ahmadiyah datang dari Jurnal

Ulama (Majelis Ulama Indonesia Provinsi D.I Yogyakarta : 2008). Jurnal yang

bertajuk Merekontruksi Ukhuwah dan Memahami Aliran Sesat tersebut, mengulas

(31)

sebenarnya sudah sangat lama sejak 1980-an. Salah satunya adalah vonis sesat

terhadap Ahmadiyah yang telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi

setelah Nabi Muhammad. Tulisan itu menyebutkan fatwa MUI tidaklah

mengada-ngada, melainkan justru mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab lembaga

keulamaan dalam membimbing umat dan menjaga akidah mereka. Akan tetapi,

dalam tulisan tersebut juga menampilkan protes terhadap MUI yang menilai

lembaga ini telah memicu kekerasan, padahal yang berhak melakukan vonis suatu

aliran sesat atau tidak adalah Allah SWT. MUI kemudian membela diri dengan

mengatakan manusia bisa menilai sesat tidaknya sebuah ajaran berdasarkan

kriteria yang telah ditentukan, karena apabila tidak maka akan terjadi kekaburan

antara yang hak dan batil.

Ada pula penelitian yang relatif objektif tentang Ahmadiyah yang

dilakukan oleh Dr. Iskandar Zulkarnain (2005), dalam bukunya Gerakan

Ahmadiyah di Indonesia. Pengajar di UIN Sunan Kalijaga ini meneliti sejarah

Ahmadiyah sebagai aliran yang kontroversial, pada 1920-1942. Menurutnya,

Gerakan Ahmadiyah memang belum banyak dipahami umat Islam lainnya,

padahal ajaran ini telah banyak menyebarkan agama Islam.

Kajian hukum datang dari buku yang diterbitkan The Indonesian Legal

Resource Center (ILRC) tahun 2008 lalu. Buku tersebut menyorot keberadaan

Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem)

dan sejauh mana legalitasnya berperan dalam mengawasi agama atau kepercayaan

di Indonesia. Penelitian terhadap Tim Pakem ini diharapkan mampu menjawab

persoalan kebebasan beragama/kepercayaan dan keragaman, serta membuka mata

(32)

Banyak penelitian tentang Ahmadiyah, terutama yang beredar di

Indonesia, lebih memfokuskan dirinya pada telaah teologis terhadap ajaran yang

lahir di tanah India itu. Namun, Pusat Data dan Analisa TEMPO (2005),

menyusun dan menerbitkan buku Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, yang

berisi fakta sosial tentang Ahmadiyah sebagai komunitas dan ajaran yang sudah

tumbuh berkembang di Indonesia. Banyak fakta menarik disajikan buku ini yang

bisa menjadi rujukan penelitian, tentang suara-suara para Ahmadi (sebutan bagi

Jemaat Ahmadiyah), dan juga membahas sejarah Ahmadiyah di India dan

Indonesia. Hanya saja, buku ini memaparkan fakta tentang JAI, dan sepertinya

tidak bermaksud untuk mengelaborasi fakta tersebut dengan teori-teori sosial.

Maraknya kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah terutama di tahun

2000-an juga telah mendorong beberapa lembaga melakukan penelitian. Salah

satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Komisi untuk Orang

Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2008 lalu, menerbitkan buku yang

berjudul Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di

Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…, salah satunya memuat

tentang terhadap kekerasan JAI di Manislor Kuningan (2007) dan rentetan

kekerasan JAI di Lombok sejak 1998. Segelintir kekerasan yang ditulis disertai

dengan analisis hasil temuan investigasi, misalnya melihat modus kekerasan dan

peran aparatur negara didalamnya. Namun, tulisan ini merupakan hasil penelitian

berbasis investigasi yang tidak disertai dengan kerangka teori atau konseptual

untuk menganalisisnya.

Ulasan tentang kajian sosial dan budaya lainnya memang belum banyak

(33)

mengambil sisi lain sebagai fokus penelitian dalam kajian ini, yaitu Ahmadiyah

dari segi personalnya, kaitannya dengan kekerasan yang dialami dalam kurun

waktu satu dekade ini. Bagaimana Jemaat Ahmadiyah bisa bertahan secara pribadi

dan keorganisasian? Identitas seperti apa yang dominan muncul setelah berbagai

kejadian kekerasan? Lalu, bagaimana orang di luar JAI atau liyan

mengidentifikasi mereka? Atas hal tersebut, persoalan tentang Jemaat Ahmadiyah

Indonesia, khususnya di Lombok menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis

1. Subjek Lacanian

Kasus kekerasan yang dialami JAI menunjukkan perhatian pada objek

psikoanalisa Lacanian tentang pembentukan subjek, yaitu subject of lack ke usaha

subjek dan Other (Liyan) untuk merepresentasikan dirinya dalam kehidupan

sosial. Subjek-subjek bertemu dengan lack dan alienasi di saat mereka mencari

kesempurnaan (keutuhan) atau autre (baca:other). 10

Lacan menegaskan kembali subjek dari psikoanalisa bukanlah subjek

pengetahuan (subject of knowledge), melainkan ketidaksadaran yang direpresi,

dan mempengaruhi perkembangan subjek selanjutnya. Hal ini bertentangan

dengan semangat pencerahan—gagasan dalam tradisi filsafat—yang memberi

penghargaan tinggi pada akal dan kesadaran (“consciousness”). Subject as cogito,

justru diperlihatkan sebagai subject of lack.

      

10

(34)

Subjek yang mencari Liyan bisa dibaca sebagai upaya untuk mengisi lack.

Other (huruf besar) atau Liyan tersebut bukanlah sosok ibunya, melainkan bahasa.

Subjek dalam arti sebenarnya ketika seseorang mencoba bersatu dan meyakini

bahwa Liyan mampu memenuhi kebutuhan lack nya, mengikuti banyak hal, dan

beraktivitas dengan harapan memiliki pengalaman yang menyatu antara anak dan

“ibu”. Dalam adagium There is no Other of Other, tercermin subjek yang lack

ingin bertemu Other untuk memenuhi kebutuhannya (need), tapi ternyata Liyan

juga selalu mengalami lack.

Bagaimana kita melihat status lack pada Liyan? Pastinya, lack yang

dimaksud adalah lack atas sesuatu (lost object). Pada teori Lacan, yang dimaksud

dengan lack of jouissance adalah hilangnya sesuatu pada fase pre-simbolik,

kenikmatan yang nyata (real enjoyment) selalu diposisikan sebagai sesuatu yang

hilang atau dikorbankan ketika memasuki sistem simbolik dari bahasa dan realitas

sosial.

Namun, akhirnya subjek menyadari bahwa Liyan tidak mampu memenuhi

lack-nya. Lalu, muncullah Desire. Dalam pandangan Lacan, desire hanya akan

dialami setelah subjek merasa tidak pernah mendapatkan kepuasan dari dunia

simbolik atau Liyan. Ketika subjek memahami bahwa ternyata hukum dan dunia

verbal tidak bisa memuaskan sama sekali, saat itulah muncul hasrat untuk

menemukan kembali objek a (baca: autre). Desire merupakan upaya untuk

menemukan kembali jejak-jejak yang menyebabkan subjek mengalami lack.

Konsep desire berbeda dengan need atau kebutuhan. Dalam tataran

(35)

Munculnya tuntutan berdasarkan need dari subjek yang semata-mata merupakan

kebutuhan organik atau hewani untuk bertahan.

Tidak adanya pemenuhan dalam level simbolik telah membawa subjek

keluar dari frustrasi yang dikenal dengan ranah fantasi. Dalam Lacan, struktur

yang kita temui dalam fantasi adalah relasi antara subjek yang split (terbelah),

subjek yang mengalami lack (hilang), dan janji untuk mengeliminasi kekurangan

tersebut. Jika kondisi manusia ditandai oleh kenikmatan yang tak tercapai atau

hilang, maka fantasi menyediakan janji pertemuan dengan jouissance yang

berharga untuk menutupi lack dan mengisi ruang kosong pada subjek.

Fantasi seperti itu akan lebih bisa dimengerti bila dihubungkan dengan

konsep Lacanian lainnya yaitu simtom. Dalam analisis sosial, simtom adalah

tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek a.

Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang

direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam

simtom-simtom tersebut.

Dampak dari kekerasan memunculkan resistensi dan representasi terhadap

suatu kelompok, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Resistensi

tersebut muncul, karena berbagai bentuk “pengawasan” terhadap warga

Ahmadiyah, yang merupakan bentuk diskriminasi dan stigma. Stigma

dikonstruksi secara sosial melalui label-label yang melekat pada diri seseorang

atau kelompok.

Subject of lack dan simtom dapat dilihat pada korban kekerasan.

Dampaknya adalah identifikasi pada subject of lack dan Liyan. Representasi yang

(36)

mental. Kata trauma sengaja diberi tanda petik karena konsep ini berlaku unik

bagi Jemaat Ahmadiyah. Mereka melibatkan unsur keimanan dalam rangka

pemulihan diri. JAI yang menjadi korban kekerasan muncul dengan optimisme

yang berasal dari diri sendiri dengan bimbingan kerohanian. Pengabaian dan

pembiaran yang dilakukan aparat hanya bisa disikapi dengan pasrah dan

menunggu penghakiman Allah. Dalam hal ini, pengungsi JAI di Asrama Transito

tidak berjuang sendiri, melainkan bersama pemimpin dan mubalignya.

Relevansi Lacan untuk analisis sosial politik dapat dilihat dalam diskursus

tentang subjek dan dan politik.11 Teori politiknya Lacan adalah diskursus tentang

impossibility atau lacking. Titik awal pertama untuk membahasnya adalah konsep

Lacan tentang subjek, yang split (subjek mengalami lack) dan teralienasi menjadi

lokus dari “impossible identity” di mana identifikasi politik mengambil tempat.

Subjek ini merupakan kontribusi terbesar Lacan dalam analisis politik

kontemporer.

Subjek Lacanian akan relevan untuk perbincangan politik secara filosofis

karena ini tidak identik dengan “individu” atau “subjek yang berkesadaran”.

Subjek Lacanian melampaui esensialis atau penyederhanaan dari subjektivitas,

dalam arti subjek tidak diturunkan menjadi ego. Dia juga melawan dan melampaui

segala tendensi yang bergerak sesuai aturan. Lacan melihat ego tidak bisa

menopang dirinya itu sendiri, dan bahwa mitos tentang kesatuan personalitas,

perpaduan segala sesuatu yang berasal dari objek sesungguhnya akan melahirkan

keretakan, ketakutan, ataupun misrecognition dari berbagai pengalaman.

      

11

Ibid. Hal 7. Dalam penjelasannya, Stavrakakis menyebut Lacan bukanlah seorang ahli politik, apalagi seorang filsuf. Akan tetapi, psikoanalisa politik, meminjam istilah Sherry Turkle (1992), merupakan istilah yang menjadi pertemuan antara Lacan dan politik. Lacan menggunakan konsep dari Freud tentang konsep objektivitas yang menjadi pendekatan objektivitas sosial.

(37)

Adanya ketergantungan pada susunan simbol sosial menjadi keterkaitan

antara psikoanalisa dan sosial politik. Penerapan teori Lacan yang dirumuskan

oleh Ernesto Laclau- Chantal Mouffe dapat difokuskan pada titik pertemuan

faktor yang menentukan dalam implementasi aksi politik. Laclau-Mouffe

menggunakan konsep atau istilah psikoanalisa untuk menjelaskan fenomena

ideologi dan politik secara luas sebagai pemikiran “individual psyche”, faktor

dalam cara kerja ideologi. Pembentukan identitas bisa diusahakan melalui proses

identifikasi dengan diskursus sosial seperti ideologi. 12 Kaitan dengan kasus JAI di

Lombok, cukup penting untuk melihat bagaimana para pengungsi membentuk

identitasnya melalui sebuah ideologi Ahmadiyah.

2. Hegemoni Gramsci

Konsep teoritis lainnya yang dapat digunakan untuk membaca kasus JAI

di Lombok adalah hegemoni. Membicarakan tentang konsep hegemoni, tentu tak

bisa dilepaskan dari pemikiran Antonio Gramsci, yang telah mempengaruhi

perkembangan teori Marxis pasca Althusserian pasca tahun 1960-an. Hegemoni—

salah satu kesadaran politik Gramsci—merupakan sebuah kesadaran untuk

mengetahui kelompok kepentingan dalam perkembangan sekarang dan masa

depan, melampaui kelas ekonomi semata, yang bisa menjadi kepentingan dari

kelas subordinasi.

Hegemoni menjadi formula Gramsci yang diartikulasikan pada level

analisis mode produksi dengan formasi sosial. Konsep yang akan disorot dalam

hegemoni-nya Gramsci adalah manifestasi dari kelompok sosial sebagai

      

12

(38)

“dominasi” dan “kepemimpinan intelektual dan moral”.13 Hegemoni yang selalu

menjadi basis dioperasikan oleh masyarakat sipil melalui artikulasi kelompok

kepentingan.

Subjek tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan karena adanya proses

determinasi dalam ranah ideologi. Oleh karena itu, subjektivitas selalu merupakan

produk dari praktik sosial. Ideologi sebagai praktik menghasilkan subjek,

membutuhkan struktur materi dan institusi untuk mengelaborasi kemunculannya.

Aparatus, oleh Gramsci, merupakan struktur ideologi dari kelas dominan.

Sedangkan level struktur di mana ideologi diproduksi dan disebar disebut

masyarakat sipil.

Gramsci melihat adanya keunggulan superstruktur ideologi dibandingkan

dengan ekonomi, karena lebih diutamakannya masyarakat sipil (berdasarkan

konsensus) daripada masyarakat politik (berdasarkan kekuatan semata). Hal ini

ditandai dengan perjuangan ideologi yang berusaha membentuk kesatuan antara

ekonomi, politik, dan keseimbangan intelektualitas demi kepentingan bersama

bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.

Untuk menjalankan proses hegemonik, maka strategi menjadi sangat

penting. Kelas pekerja yang sedang berjuang tidak boleh mengisolasi dirinya

dalam kelas proletariatnya semata. Tapi sebaliknya, kelas ini harus mencoba

menjadi “kelas kebangsaan” yang merepresentasikan dan mengartikulasikan

kepentingannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kelompoknya. Hal itu

akan menyebabkan perpecahan di kelas borjuis sehingga terjadi disharmoni

karena adanya pemblokan atau tidak diartikulasikannya suara mereka. Adanya

      

13

(39)

pertarungan hegemoni di antara kelas-kelas sosial termasuk yang antagonistik

menyebabkan kelas fundamental atau berkuasa ingin memenangkan kontestasi

tersebut. 14

Dalam kasus di Lombok, terjadi pertarungan hegemoni dari berbagai

elemen yang turut menentukan identitas JAI. Stigma adalah salah satu upaya

hegemoni kelas tertentu dalam memasukkan ideologi tertentu. Kelas hegemonik

tersebut, apabila menyitir Althusser dan Gramsci, merupakan Ideologi Aparatus

Negara (IAN) dan Represi Aparatus Negara (RAN). Pemerintah dalam hal ini

mengambil peran RAN yang melakukan beragam pembiaran atas rangkaian

peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.

Tindakan represif tersebut mewujud dalam pembiaran dan upaya

“melegalkan” setiap tindakan kekerasan. Dalam catatan, setiap tindakan

pengrusakan massa yang dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah selalu dijaga oleh

polisi. Bahkan, beberapa saat sebelum kejadian kekerasan berlangsung, aparat

sudah datang untuk berjaga-jaga. Hal itu bisa dibaca sebagai upaya pemerintah

yang dilematis menghadapi persoalan Ahmadiyah ini. Dilematis dalam arti

mereka tidak mampu menghalangi massa dalam melakukan kekerasan. Selain itu,

mereka juga tidak mampu bertindak tegas terhadap massa. Jadi, upaya

perlindungan yang “setengah hati” terhadap Ahmadiyah. tidak adanya upaya

penindakan terhadap pelaku kekerasan juga menunjukkan indikasi tersebut.

Pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk menangani pengungsi yang

sudah 7 tahun hidup di Asrama Transito, Mataram. Aktor kekuatan politik dari

kelas yang berkuasa bukan hanya terdiri dari militer atau polisi, tapi juga yang

      

14

(40)

berhubungan dengan ideologi, yang merasuk ke dalam masyarakat secara massif

dan seolah tak disadari. Aparatus ideologis yang berperan misalnya tokoh-tokoh

agama dan media.

3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal

Setelah melihat alur pemikiran Lacan dan Gramsci, cukup penting untuk

membincangkan relasi antara Psikoanalisa dan Ekonomi Politik Marxis, yaitu

bahwa simtom di psikoanalisa juga terjadi pada ideologi Marx. Adalah Ernesto

Laclau-Chantal Mouffe sebagai pemikir post-marxis yang masih concern pada

kapitalisme. Gagasan dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985)15 tentang

Demokrasi Radikal akan dipakai dalam menganalisis permasalahan yang sedang

diteliti. Keduanya merupakan pemikir yang menjadi pionir dalam perdebatan

pascamarxis. Hal ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni dan linguistik yang

digunakan Laclau-Mouffe untuk membangun logika Demokrasi Radikal.

Semangat Demokrasi Radikal bisa dilihat dari maknanya. Demokrasi

harus bersifat plural, yaitu suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian

ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya otonomi pada setiap

unsur. Demokrasi jenis ini juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan

suatu masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan pusat.

Radikal juga menunjuk pada kesatuan sosial yang tidak pernah berhasil menjadi

identitas kelompok, jadi harus dibentuk ulang secara terus menerus.

Logika Demokrasi Radikal muncul dari gagasan Gramsci tentang

hegemoni yang kemudian dielaborasi oleh Laclau-Mouffe. Beberapa konsep yang

      

15

(41)

bisa dipakai di sini misalnya Bagaimana kesatuan sosial bisa terbentuk? Mereka

bersatu secara spontan atau dibutuhkan semacam pemimpin untuk

mempersatukannya. Kalau ada pemimpin, apakah pemimpin itu hanya

mengumpulkan kepentingan-kepentingan mereka atau perlu melakukan intervensi

secara ideologis atau konseptual? Apa hakekat hubungan-hubungan yang

mempersatukan unsur-unsur dalam kesatuan sosial? Ekonomi atau politis? Atau

kedua-duanya? Bagaimanakah sifat kesatuan sosial tersebut; tertutup atau

terbuka? Sejauh mana mapan dan sejauh mana labil? Apa implikasinya bagi

subjek agen-agen sosial?16

Landasan pertama yang dipakai oleh Laclau-Mouffe untuk membangun

teorinya adalah tradisi linguistik struktural-pascastruktural.17 Konsep

Laclau-Mouffe ini berfokus pada pembentukan wacana lewat praktik artikulatoris. Dilihat

dari logika artikulasi, masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah

selesai diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya

bisa dituntaskan dalam artikulasi (dengan momen-momen sebagai satuannya),

melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu.

Keberadaan etika penting dalam Demokrasi Radikal karena berusaha

menginstitusionalisasikan lack dalam realitas politik. Salah satu konsep dalam

etika Lacanian, yaitu simtom. 18 Dalam pemikiran Gramsci juga dipakai istilah

      

16

Ibid. Hal 5. 

17 Ibid. Hal 5.

Walaupun kemudian keduanya melampaui tradisi linguistik, prinsip dasar tetap mereka pakai, terutama yang berkaitan dengan konsep tentang bahasa. Akses kita pada realitas hanya bisa dicapai lewat bahasa. Hanya saja, berbeda dengan Saussure, mereka melihat bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam omongan, bukan dalam sistem umum.  

18

(42)

kemunculan simtom untuk menggambarkan struktur sosial, kelas buruh, atau

kelas yang tidak dominan. Simtom sebagai manifestasi dari kelas yang terepresi,

merupakan kata-kata atau penanda yang kelihatannya mengikuti hukum bahasa

atau simbolik, tapi sebenarnya tidak. Pengalaman tidak terpenuhinya need

kemudian menimbulkan simtom.

Simtom dapat ditemukan dalam kelompok yang tersubordinasi atau

menjadi sasaran kekerasan seperti JAI. Seperti yang telah dibahas dalam konsep

Gramsci di atas, muncul stigmatisasi yang dilakukan oleh kelas hegemonik.

Fantasi dalam konstruksi utopia kemudian disandingkan dengan sesuatu yang

menakutkan, paranoid yang membutuhkan korban terstigmatisasi. Stigmatisasi

biasanya diikuti oleh pembasmian. Utopia bisa saja bekerja atas dasar kekerasan

atau antagonisme yang memunculkan enemy atau musuh, sehingga muncullah

demonisasi.

Dengan konsep hegemoni-nya, Gramsci membawa spirit baru dalam

Marxisme, yang menekankan strategi kelas proletar atau tersubordinasi. Kasus

JAI di Lombok juga menunjukkan adanya counter hegemony (hegemoni

tandingan) yang dilakukannya terhadap kelas yang berkuasa atau hegemonik

dalam masyarakat. Ini menjadi salah satu strategi JAI.

Berbicara mengenai strategi tentu tak bisa dilepaskan dari subjek.

Pemikiran Lacan dan Gramsci (baca : Gramsci yang ditafsirkan oleh Laclau)

memiliki perhatian pada subjek. Gramsci lebih menekankan subjek sebagai

produk dari praktik sosial karena adanya proses determinasi dalam ranah ideologi.

        Hal inilah yang menjadi mediasi antara individu dengan komunalnya atau partikular dengan universal. Sublimasi mengakui lack dan pusat dari real sebagai ganti dari eliminasi ketidakmungkinan dan identifikasi dari yang ideal. Sublimasi menciptakan ruang yang ideal untuk pemenuhan desire.

(43)

Diskursus tentang ideologi dipahami sebagai artikulasi (mata rantai) dari elemen

ideologi.

Ideologi sebetulnya adalah janji kolektif yang bisa memenuhi lack subjek.

Untuk merumuskan ideologi, maka perlu diperhatikan apa yang menjadi lack

masyarakat yang bersangkutan, dan bagaimana cara memenuhinya. Setiap orang

dalam masyarakat sebenarnya memiliki sejarah kehidupan masing-masing.

Sejarah tadi akan menentukan ideologi atau objek yang diinginkan oleh subjek

atau masyarakat. Pada hakikatnya, fungsi sentral dari ideologi adalah integrasi

serta penjagaan atas status quo.

Berbicara tentang hegemoni tidak bisa dilepaskan dari bicara tentang

subjek politik. Laclau-Mouffe mengingatkan bahwa politik bukanlah masalah

“mendaftar kepentingan-kepentingan yang sudah ada melainkan memainkan peran

penting dalam pembentukan subjek-subjek politik” (Laclau dan Mouffe,

1985:vii).19 Dengan kata lain, politik bukanlah sekedar melakukan mobilisasi

orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama (misalnya kepentingan

ekonomis), melainkan juga harus meliputi pembentukan subjek-subjek politik.

Gagasan Laclau-Mouffe terkait Demokrasi Radikal akan mengarah pada

revolusi demokrasi sebagai medan artikulasi hegemonik dilihat dalam fenomena

gerakan-gerakan sosial baru yang muncul sejak paruh kedua abad ke-20. Gerakan

ini bisa dibaca sebagai munculnya bentuk-bentuk antagonisme baru dalam

masyarakat, karena adanya jenis-jenis hubungan subordinatif yang belum terlihat

di zaman sebelumnya. Laclau-Mouffe melihat jenis-jenis hubungan subordinatif

itu sebagai akibat komodifikasi hubungan sosial (karena sistem produksi

      

19

(44)

kapitalis), birokratisasi hubungan sosial (karena intervensi negara dalam

melindungi rakyat namun secara paradoks justru menghasilkan hubungan

subordinatif baru), dan hegemonisasi hubungan sosial (karena moda baru dalam

penyebaran budaya lewat media massa). 20

G. Metode Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian utama adalah di tempat pengungsian warga Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, Asrama Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, juga beberapa wilayah di Lombok Barat dan Sumbawa.

b. Sumber Data

Sumber data berasal dari sejarah lisan melalui ingatan dan pengalaman dari

para informan, yakni orang yang mengalami kekerasan baik langsung ataupun

tidak terutama yang menyangkut masalah penelitian. Data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder, baik yang bersifat

kualitatif maupun kuantitatif.

c. Metode Pengumpulan Data

Data primer saya kumpulkan melalui teknik wawancara terbuka dan

observasi. Wawancara saya lakukan dengan para pengungsi Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, koordinator pengungsi, pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia, Pengurus Lembaga atau Ormas Islam di NTB, pegiat LSM (seperti

Lembaga Studi Kemanusiaan), dan masyarakat. Selain itu, saya juga

      

20

(45)

melakukan penelisikan data sekunder melalui media dan dokumen yang

relevan tentang Ahmadiyah.

d. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, saya mencoba melakukan pendekatan sosiologis, yang

memadukan antara kajian yang eksploratif dan eksplanatoris. Dengan tidak

bermaksud menguji hipotesa, penelitian ini berusaha menghasilkan suatu

deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan data-data yang diperoleh

melalui studi kasus. Metode pengolahan data, yaitu melalui penulisan narasi

dan makna dari tuturan, serta dokumen atau literatur berdasarkan

konsep-konsep teori yang digunakan. Penulisan ini bukan hanya melihat makna dari

tuturan individu maupun kolektif, akan tetapi juga melihat kekuatan sosial

politik yang turut membentuknya.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menguraikan kajian tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini,

saya membaginya dalam beberapa bab. Bab Pertama merupakan Pendahuluan

yang menulis detail tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, dan sistematika

penulisan. Bab Kedua akan berisi penjelasan historis atau sejarah literer

kemunculan Jemaat Ahmadiyah di dunia, lalu masuknya ke Indonesia yang

kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Lombok.

Sedangkan dalam Bab Ketiga, saya akan menguraikan Jemaat Ahmadiyah

(46)

komunal di Lombok. Pada sub-bab pertama, saya akan bercerita tentang

kekerasan yang menimpa JAI di Lombok selama satu dekade, dan adanya sebuah

kontinuitas yang menyebabkan mereka tercerai berai dari tanah kelahiran sendiri.

Dalam bagian ini pula akan saya pertontonkan teks tentang suara-suara mereka di

bilik pengungsian Transito serta aktor yang berada di balik kekerasan tersebut.

Sub-bab kedua merupakan torehan perjalanan JAI di Lombok yang menjadi

pengungsi di Asrama Transito selama 7 tahun ini. Sub-bab ini juga

memperlihatkan bagaimana pola bertahan dan strategi yang dilakukan JAI dalam

mempertahankan identitasnya.

Bab keempat merupakan hasil kajian atau refleksi dari fakta yang dilihat di

bagian ketiga dengan menggunakan konsep subjek-nya Lacan, adanya

pertarungan hegemoni, hingga terbentuknya identitas yang dominan dari suatu

kelompok, dalam hal ini JAI sebagai sebuah gerakan sipil keagamaan. Terakhir,

Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan tentang apa yang sudah saya

(47)

BAB II

JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH

A.Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia

Sebelum membahas kekerasan ideologis21 yang terjadi selama lebih dari

satu dekade terhadap para pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di

Asrama Transito Mataram, kita akan melihat sekelumit perjalanan Ahmadiyah

dari masa tumbuh dan berkembang, pengaruh di berbagai belahan dunia, hingga

masuk dan menyebarnya di Indonesia, termasuk di Lombok.

Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan lahir di India pada akhir

abad ke-19 dengan latar belakang kemunduran umat Islam di bidang agama,

politik, ekonomi, sosial, dan sejumlah bidang kehidupan lainnya. Hal ini terjadi

terutama setelah pecahnya Revolusi India tahun 1857, berakhir dengan

kemenangan Inggris yang terpenting di Asia.

Pendiri Ahmadiyah adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang lahir pada

hari Jumat, 13 Februari 1835 di sebuah dusun bernama Qadian, Gurdaspur, 25

KM arah Timur Laut Amritsar di Provinsi Punjab. India, negara tempat lahirnya

Ghulam Ahmad pada masa-masa itu, bahkan jauh sebelum Mirza Ghulam Ahmad

lahir diwarnai oleh pergolakan, peperangan, dan perebutan kekuasaan. Negeri

dengan mayoritas penduduk pemeluk Hindu dan Buddha itu pernah dikuasai oleh

      

21

Kekerasan ideologis disini hanya merupakan penamaan saja, untuk menyebut kekerasan beruntun yang terjadi di dalam pertarungan ideologi-ideologi yang ada, aktor-aktor yang berperan, dan kontestasi di dalamnya.

(48)

sebelas dinasti Mughal (1526-1858 M) selama lebih kurang delapan setengah

abad.

Benih pertama “pohon” Ahmadiyah ditanam pada tanggal 23 Maret 1889

ketika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mendirikan suatu jemaat guna memberikan

bimbingan kepada segenap umat manusia supaya mengenal Tuhan Yang Hakiki

dan menunjukkan jalan yang telah dirintis oleh Baginda Nabi Besar Muhammad

SAW. Namun, dalam sejumlah literatur Ahmadiyah disebutkan bahwa Ghulam

Ahmad memperoleh ilham dari Allah SWT untuk pertama kali pada 1886.22

Ketika itu, ia berusia 40 tahun, saat ayahnya sedang sakit. Dikatakan

bahwa ilham itu diawali dengan kata-kata: “Persumpahan demi Langit yang

merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah

tenggelamnya matahari pada hari ini”. Ilham itu kemudian menyampaikan kabar

penting, yakni bahwa ayahnya akan meninggal setelah magrib. Ternyata benar.

Beberapa saat kemudian, tak lama setelah isyarat gaib itu turun, ayahnya

meninggal saat matahari terbenam.

Menurut pengakuan Ghulam Ahmad, dengan turunnya ilham itu, ia merasa

sedih dan khawatir akan nasibnya di kemudian hari. Sebagai manusia, Ghulam

Ahmad sangat sedih dan gelisah ketika mendapat kabar demikian. Sebagian besar

penghidupan keluarganya bergantung pada ayahnya yang biasa mendapat pensiun

serta hadiah yang agak besar dari pemerintah. Dengan wafatnya sang ayah, semua

itu akan dihentikan.

      

22

(49)

Setelah didera kesedihan dan kegelisahan seperti itu—menurut pengakuan

Ghulam Ahmad—ia mendapat ilham kedua dari Allah yang menentramkan

hatinya. Katanya tentang ilham kedua itu : “Dari ilham ini hati saya menjadi

teguh, bagai luka parah yang tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih karena suatu

obat…”. Ilham itu diceritakan kepada seorang penduduk Qadian beragama Hindu,

Malawa Mal. 23

Menurut pengikutnya, Jemaat Ahmadiyah seutuhnya bukan agama baru

dan tidak pula membawa ajaran baru. Akidah dasar (kepercayaan pokok) anggota

Jemaat Ahmadiyah adalah Islam, kitab sucinya adalah Al-Quran yang terdiri dari

30 juz dan 114 surah, dan nabinya Nabi Muhammad SAW berdasar kepada 5

Rukun Islam dan 6 Rukun Iman. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah melaksanakan

sholat tetap menghadap kiblat (Kabah), dan berhaji ke Tanah Suci Mekkah. 24

Terkait dengan penamaan, Jemaat Ahmadiyah merupakan nama aliran atau

ajaran yang tidak merujuk pada nama pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Namun,

mereka ambil dari nama Nabi Muhammad SAW, yang memiliki dua nama yaitu

Muhammad (nama sifat keagungan) dan Ahmad (nama sifat keindahannya). 25

Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah kedua Jemaat Ahmadiyah

menjelaskan istilah jemaat bukan merujuk pada sebutan jumlah massa, melainkan

lebih ditekankan pada tujuan bersama.

      

23

Lihat tulisan R.Ahmad Anwar. Pohon Ahmadiyah Tumbuh di Persada Indonesia. Dalam Souvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994. Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 39. 

24

Enam Rukun Iman itu adalah Iman kepada Allah, Iman Kepada Malaikat Allah, Iman pada Kitab Allah, Iman kepada Rasul Allah, Iman kepada Hari Akhirat, dan Iman kepada Qadha dan Qadar. Sedangkan 5 Rukun Islam itu adalah Mengucapkan 2 kalimat syahadat, Menunaikan Shalat, Melaksanakan Puasa, Mengeluarkan zakat, dan Menunaikan haji bagi yang mampu. 

25

(50)

Mahmud Ahmad mengatakan ribuan dan jutaan individu tak dapat disebut satu

jemaat, melainkan jemaat itu dikatakan kepada individu-individu yang berkumpul

dan bersatu-padu untuk bertekad bekerja dan melaksanakan satu program

bersama.

Hal ini juga tercermin dalam Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia saat

menjawab pertanyaan Komisi VIII DPR RI.26 Menurut JAI, organisasi-organisasi

Islam di India dan Pakistan menggunakan kata jemaat. Atas hal tersebut, maka

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga menggunakan kata tersebut yang diserap

dari bahasa Urdu yang berarti organisasi atau perkumpulan. Kata jemaat juga

telah terdaftar secara resmi sebagai nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam

badan hukum. Untuk mengubahnya perlu proses panjang.

Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai organisasi kerohanian,

bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Mereka

mengaku bersifat keagamaan dan semata-mata hendak mewujudkan persatuan di

kalangan umat Islam. “Ahmadiyah tidak menginginkan kerajaan atau adanya

ambisi dalam pemerintahan. Singkatnya, Ahmadiyah tidak memiliki tujuan

politik. Jemaat Ahmadiyah memiliki hasrat untuk memperbaiki kehidupan agama

orang-orang Islam serta mengkonsolidasikan mereka sehingga dapat bersatu padu

untuk dapat mengkonfrontir musuh-musuh Islam dengan senjata akhlak dan

kerohanian”, tulis Mahmud Ahmad.27

      

26

Op.cit. hal 10. Saat itu, Hasyim Wahab (FPDIP) mengusulkan agar nama “Jemaat” sebaiknya diganti dengan “Jamaah” atau “Jam’iyah” sesuai asalnya dari Arab, karena Jemaat bahasa Indonesia lebih sering digunakan istilahnya oleh orang Kristen Indonesia. Dalam Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 

27

(51)

Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa

loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang

berkuasa (Ulil Amri)di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.

Kelompok ini juga mengenal istilah Bai’at untuk masuk ke dalam Jemaat

Ahmadiyah. Sebagian syarat-syaratnya antara lain: Tiap-tiap orang yang hendak

bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah harus berjanji dengan ikhlas hatinya

bahwa dia akan berjanji menjauhi syirik sampai meninggal dunia; akan menjauhi

diri dari zina, berdusta, memandang wanita yang bukan muhrim, menjauhi segala

macam kedurhakaan dan kemaksiatan, penganiayan dan pengkhianatan; tidak

akan membiarkan dirinya dikalahkan oleh dorongan-dorongan hawa nafsunya,

betapapun kuat dan hebatnya. Jemaat Ahmadiyah juga tidak akan menyakiti

seorangpun daripada makhluk Allah pada umumnya, dan kaum muslimin pada

khususnya, baik dengan tangannya maupun dengan lidahnya, ataupun dengan

jalan lain. Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih

Mau’ud a.s) semata-mata karena mencari mencari keridhaan Allah Taala.28

Sepeninggal ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis artikel yang

dimuat di surat kabar. Tak cuma artikel di surat kabar, ketika lawan-lawannya

semakin gencar menyerang Islam, ia mulai menulis buku tentang kebenaran

agama Islam. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Menurut klaim

Ahmadiyah, bagian pertama buku itu saja, berupa seruan dan pengumuman,

mampu mengguncangkan dan menggemparkan seluruh negeri.

      

28

(52)

Berkat buku itu, ia diakui sebagai seorang yang cakap. Lebih dari itu, Ghulam

Ahmad dianggap sebagai seorang mujaddid, sang pembaharu.29

Pada tahun-tahun berikutnya dakwah yang dilakukan Ghulam Ahmad

adalah untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam beragama.

Ketika menyaksikan banyak kepercayaan ditumpahkan ke pundaknya oleh umat,

yakinlah dia bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan sebagai orang yang dipilih

oleh Allah, sebagai Al-Masih yang dijanjikan untuk menegakkan kembali

keagungan Islam.

Mulailah bermunculan kontroversi yang tiada henti sampai kini. Hazrat

Mirza Ghulam Ahmad dari Dusun Qadian, India ini mengumandangkan

pengakuan sebagai Imam Mahdi dan Masih Yang dijanjikan atas perintah Tuhan.

Selain itu, dalam versi Ghulam Ahmad, Nabi Isa AS telah wafat sekaligus dia

menunjukkan makamnya di Kashmir, dan oleh karena itu tidak akan turun lagi ke

dunia. Pendakwaan mengenai dirinya mulai diumumkan melalui selebaran dan

dinyatakan secara eksplisit melalui karya Ghulam Ahmad yaitu Fateh islam,

Tauzih Maram, dan Izalah Auham yang terbit pada 1890-1891.

Sejak itu sebagian orang yang semula membelanya mulai menolak.

Namun, sebagian tetap mengikuti bahkan menjadi pengikut setia. Ajarannya

waktu itu berpusat di Qadian dan di situ mulailah dibangun Sekolah Dasar.

Ghulam Ahmad kemudian mencanangkan dakwah Islam ke Eropa melalui

majalah The Review of Religions. Lewat media ini, pembaca bisa memahami

pembahasan ajaran agama dan melihat keunggulan Islam.

      

29

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan ukuran palet dilakukan dengan melihat komponen apa saja yang digunakan dalam stasiun kerja tersebut, langkah selanjutnya adlah dengan melakukan  pengukuran terhadap

Penundaan umur panen menyebabkan penurunan kadar P dalam buah okra, dan hasil ini memiliki kemiripan dengan hasil percobaan yang dilaporkan Mirdehghan dan Rahemi (2007)

Wanita yang terdedah kepada maklumat tentang kanser serviks menerusi televisyen bukan sahaja tidak menyedari bahayanya penyakit ini dan risiko berkaitan dengan kanser

Terminal Tanjung Niaga merupakan terminal tipe C dengan luas 2000 m² yang fungsinya sebagai terminal angkutan dalam kota, angkutan pedesaan dan angkutan antar

Kelompok kedua adalah aliran Mu‘at  ilah yang beranggapan bahwa Allah merupakan dzat yang suci dari segala hal yang berhubungan dengan tasybih dan tajassum, termasuk

Dalam hal Bank belum dapat melakukan proses estimasi yang memadai dan belum memiliki data kerugian historis yang memadai untuk menentukan besarnya penurunan nilai

Alat yang dipakai untuk perawatan modifikasi pertumbuhan pada maloklusi kelas III skeletal adalah chin cap (untuk pertumbuhan mandibula yang berlebih) dan face

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut sudah jelas bahwa tersangka memiliki hak untuk segera dilakukan penyidikan agar perkaranya segera dilimpahkan kepada penuntut