SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :
NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT AHMADIYAH
INDONESIA (JAI) DI LOMBOK
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.)
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh Nurhikmah NIM: 086322011
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :
NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI LOMBOK
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh Nurhikmah NIM: 086322011
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
KATA PENGANTAR
Mempelajari kajian budaya merupakan salah satu hasrat saya untuk bisa terus
belajar. Namun, dalam prakteknya, belajar itu butuh legitimasi dan tanggung jawab
intelektual dan moral. Tesis ini salah satu manifestasinya. Sebagai tugas akhir yang dibaca
sebagai produk intelektual, saya tertarik untuk mengkaji kekerasan dalam sebuah
kelompok. Saya melihat kekerasan sebagai sesuatu yang harusnya tidak terjadi, akan tetapi
itu menjadi semacam hukum alam yang tak bisa dihindari. Ada semacam “kehausan” dari
diri saya untuk melihat fenomena kekerasan khususnya dari perspektif si korban, apalagi
pernah berkesempatan meneliti beberapa fenomena tentang hal ini. Dan semoga saja ini
bukan semacam pemuasan keingintahuan belaka.
Penulisan tesis ini bukanlah sebuah proses yang singkat dan mudah. Rencana
Tuhan, Allah memang mewujud dalam tangan gaibnya untuk menjadikan ini akhirnya
terjadi. Dia adalah sumber dari “Rahmah al-Intinan” yang dilukiskan Ibn’Arabii, rahmat
yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja-rahmat yang bahkan
bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik. Setiap saya merasa lemah, Dia selalu
mengingatkan saya dalam salah satu surahNya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan. Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara)
dua barat” (Qs.Ar-Rahman :16-17).
Saya haturkan terima kasih dan hormat kepada Dr. Fx. Baskara T Wardaya, yang
tak henti-hentinya memberikan semangat dan mengajak untuk selalu berpikir logis dan
sistematis termasuk dalam kajian ini. Juga Dr.St.Sunardi, yang dalam setiap obrolan selalu
punya cara pandang yang mencerahkan. Dr. G. Budi Subanar, S.J., Katrin Bandel, Mba
Devi, Dr. Budiawan yang dalam 3 semester banyak menunjukkan dan mengingatkan untuk
tidak banal dalam berpikir. Terima kasih kepada seluruh dosen yang pernah mengajar saya
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, juga Mba Desy, Staf di IRB atas bantuan dan
perhatiannya.
Teruntuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok : Koordinator Pengungsi
Syahidin, Penasehat JAI Mln.Nasiruddin, Mubalig Basyiruddin, Ir. Jauzi selaku ketuai JAI,
kenikmatan yang terselubung. Terimakasih juga atas kesabaran dan keterbukaan pemikiran
yang tak pernah habis diberikan karena menulis tesis ini (ternyata) memakan waktu yang
cukup lama.
Terima kasih tak terhingga buat kedua orang tua dan keempat kakak beserta
keluarga kalian masing-masing, yang selalu memberikan dukungan, cinta, dan
kesabarannya. Buat Essa Putra, semoga kita jadi lebih baik dan kuat kedepannya. Ucapan
terima kasih juga buat teman-teman komunitas di Yogyakarta juga IRB’08, rekan-rekan di
Taliwang, Sumbawa Barat, dan seluruh pihak yang telah terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penulisan tesis ini. Salam.
ABSTRAK
Nurhikmah. 2013. Satu Dekade Jadi Rumpun Terasing : Narasi Identitas dalam Kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Dalam sejarahnya, sejak masuk ke Indonesia, Jemaat Ahmadiyah selalu mengalami kontroversi, tak terkecuali di Lombok. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Lombok, telah menjadi sasaran kekerasan sejak 1998-2010 lalu. Tindak kekerasan yang terjadi selalu diawali dengan pemicu terlebih dahulu baik berupa ceramah dari Tuan Guru (sebutan ulama di Lombok) di Masjid, atau brosur dan selebaran yang disebarkan ke masyarakat umum, yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran “sesat”. Selang beberapa lama, muncullah sekumpulan massa yang kemudian merusak, menjarah, dan mengusir JAI dari tempat tinggalnya. Akibatnya, bermukimlah mereka di Asrama Transito selama 7 tahun ini sebagai pengungsi. Peristiwa kekerasan menunjukkan adanya aktor yang bermain sebagai kelas hegemonik dalam mempengaruhi wacana tentang “kesesatan” Ahmadiyah di tengah masyarakat, khususnya Tuan Guru dan tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ahmadiyah, oleh beberapa elemen, dianggap telah merebut jouissance dari umat Islam “mainstream”.
Sebagai sasaran dari tindak kekerasan, JAI bukanlah muncul sebagai korban semata. Bersama dengan pengurus dan pemimpin organisasinya, JAI khususnya di Lombok akhirnya melawan dengan caranya sendiri. “Jihad dengan pena”, itulah cara mereka melakukan counter hegemony dalam perlawanannya. Mereka menangkis segala tuduhan dan fitnah yang dianggap telah membentuk identitas JAI di tengah masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia. Di satu sisi, sebagian kelompok dan ormas Islam menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan bukanlah bagian dari Islam. Namun, di sisi yang lain, JAI mati-matian menunjukkan identitas mereka sebagai orang Islam. Atas hal tersebut, kajian ini ingin menunjukkan bentuk-bentuk pertarungan hegemoni serta pola-pola yang menentukan identitas JAI di Lombok sebagai subjek atau gerakan sipil keagamaan.
ABSTRACT
Nurhikmah. 2013. “One Decade of Exclusion: The Narration Identity in Violence towards
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Lombok”. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, University of Sanata Dharma.
In their history, since they entered Indonesia, JAI has always got bad experiences and become controversial. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), in particular in Lombok, has become target of violence from 1998 to 2010. There is always a trigger before violence happens, for example speeches from Tuan Guru (term for Scholar of Islam, Ulama in Indonesia) in Mosque, or some brochures or leaflets given to public or society. It doesn’t take a long process before the people suddenly come to the housing of JAI to damage, plunder, and expel them from their home. As the result, JAI has to live in Transito barracks for almost 7 years as refugees. The violence happening towards JAI has indicated that there are actors who play as the hegemonic class to influence the discourse about Ahmadiyah as a “deviant” religious group, for example Tuan Guru and Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Jemaat Ahmadiyah Indonesia is thought to have seized the jouissance from moslem on majority or mainstream.
However, as a target of violence, JAI doesn’t appear as powerless victims only. The refugees of JAI in Transito, together with the board and leaders of Ahmadiyah in Lombok, bring a spirit to fight by their own method. “The holy war (Jihad) with pen” is their way to do a counter hegemony upon them fight. JAI has repulsed all of the accusation and slander which have shaped their identity among Indonesian society, especially among the Islam society. On one side, many groups and mass organizations have shown Ahmadiyah as a deviant religious teaching and they are not a part of Islam. On the other side, JAI has struggled very hard to show that they are moslem and belong to Islam. Therefore, this study wants to show the various forms of hegemony struggles and also observe what pattern which determines the identity of JAI in Lombok as a subject or religious civil movement.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Tinjauan Pustaka ... 12
F. Kerangka Teoritis ... 15
F. 1. Subjek Lacanian………. ... 15
F. 2. Hegemoni Gramsci ……….. ... 19
F. 3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal ……….. ... 22
G. Metode Penelitian ... 26
H. Sistematika Penulisan ... 27
BAB II JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH ... 29
A. Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia ... 29
B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu ... 38
BAB III JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA, GERAKAN SIPIL
KEAGAMAAN... 54
A. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai Sasaran Kekerasan Komunal di Lombok ... 54
A. 1. Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok... 57
A. 2. Wajah-wajah di Bilik Transito ... 64
A. 3. Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik ... 72
B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca Kekerasan Komunal di Lombok ... 82
B. 1. Suara-suara di Balik Kekerasan ... 83
B. 2. Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan ... 95
B. 3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena ...108
BAB IV JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DALAM PERTARUNGAN IDENTITAS DAN HEGEMONI ...116
A. Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik ...118
B. Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah ...125
C. Jihad dengan Pena : Artikulasi Subjek yang “Berdaya” ... 133
BAB V PENUTUP ...139
DAFTAR GAMBAR
http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
Dokumentasi Pribadi, 15 Desember 2010
Dokumentasi Pribadi, 15 Desember 2010
Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut . Selengkapnya
di:http://www.perisai.net/agama/warga_ahmadiyah_masih_bertahan_di_asrama_transito#ixzz2nblRnxFU
Penampungan Jamaah Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram, NTB. TEMPO/ Supriyanto Khafid,
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/21/058490183/Anak‐Warga‐Ahmadiyah‐ Terancam‐Sulit‐Sekolah diunduh pada tangal 16 Desember 2013
Jemaat Ahmadiyah melaksanakan upacara bendera HUT RI ke 68 di lapangan asrama transito, lingkungan Majeluk, Lombok, NTB, (17/8). Ratusan Jemaat Ahmadiyah telah mengungsi di asrama transito selama 7 tahun.
TEMPO/Dwianto Wibowo, http://edsus.tempo.co/konten
berita/politik/2013/08/20/505787/282/Inilah‐Lima‐Tokoh‐yang‐Merekatkan‐Indonesia
diunduh pada 16 Desember 2013
Salah satu sudut sekat kamar pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
http://www.portalkbr.com/nusantara/nusatenggara/2681598_4265.html diunduh pada 16 Desember 2013
http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1376715903/upacara‐bendera‐ahmadiyah‐ mataram, diunduh pada 16 Desember 2013
Ruang Mushola. http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
http://theahmadiyya.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, diunduh pada 16 Desember 2013
http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada periode pasca-Orde Baru, Indonesia dilanda ketegangan dan
kekerasan primordial berdasarkan perbedaan identitas. Perubahan iklim politik
dari Orde Baru ke Orde Reformasi memunculkan peralihan bentuk kekerasan dan
diskriminasi dari yang bersifat ideologis (terhadap komunisme) menjadi
primordial, berdasarkan perbedaan identitas agama dan etnis. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Yayasan Denny
JA.1 Berdasarkan hasil survei tersebut, sejak 1998 telah terjadi 2.398 kasus
kekerasan. Sebanyak 65 persen dari kasus kekerasan tersebut terjadi karena
perbedaan agama atau paham keagamaan, 20 persen kasus perbedaan etnis, dan 15
persen kasus kekerasan gender. Pelakunya rata-rata dari elemen masyarakat.
Contoh untuk ketiga jenis kasus kekerasan tersebut bermacam-macam.
Kasus berlatar belakang perbedaan etnis antara lain menimpa suku Dayak dan
Madura di Sampit. Ada pula kekerasan massal atas etnis Tionghoa di Jakarta pada
Mei 1998. Contoh kekerasan gender adalah hukuman untuk wanita yang tidak
mengenakan jilbab di Aceh atau pemerkosaan massal terhadap wanita Tionghoa
di Era Reformasi. Kasus kekerasan akibat perbedaan agama atau paham
1
keagamaan bisa dilihat pada konflik pemeluk Islam versus penganut Kristen di
Maluku, muslim Sunni dan Syiah di Sampang (Madura), serta umat muslim
dengan pemeluk Ahmadiyah di berbagai daerah.
Kasus kekerasan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir di
Indonesia cukup banyak didominasi oleh konflik berlabel agama. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya “keran” Reformasi yang terbuka
terlampau lebar, sehingga memungkinkan gerakan underground atau organisasi
kemasyarakatan (ormas) muncul ke permukaan. Kelompok Pam Swakarsa dan
Front Pembela Islam (FPI) merupakan beberapa ormas yang cukup menonjol
dalam hal ini. Sementara itu, isu komunisme yang di masa Orde Baru menjadi
pemicu kekerasan juga sedikit berkurang atau menurun. Selain itu, ada perebutan
pengaruh antar-organisasi massa berlabel agama. Terjadinya bentuk-bentuk
kekerasan ini merupakan hal yang sangat ironis mengingat agama, yang
seharusnya menghadirkan kedamaian, telah menjadi penyulut konflik tiada henti.
Di antara kasus-kasus kekerasan di atas, satu kasus kekerasan yang paling
menyita perhatian justru merupakan konflik internal umat beragama, sebagaimana
tampak dalam kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Peristiwa ini cukup meresahkan karena konfliknya terjadi dalam satu agama
tertentu, yaitu Islam. Hal ini tampak dalam hasil penelitian Setara Institutetentang
toleransi umat beragama. Dalam konferensi pers bertajuk “Paparan Survei
Keberagaman Publik dan Sikapnya terhadap Ahmadiyah” pada 20112, anggota
tim peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan toleransi antarumat
beragama di Indonesia masih dapat dikatakan baik. Namun demikian, kondisi
2
sebaliknya terjadi pada persoalan perbedaan internal pada suatu agama, misalnya
dalam agama Islam terkait dengan Jemaat Ahmadiyah.
Ada banyak rentetan kejadian kekerasan yang menimpa Jemaat
Ahmadiyah. Sejak penyerangan di Lombok Barat pada 1998, kekerasan yang
menimpa warga Ahmadiyah terjadi secara massif di sejumlah tempat, seperti
-Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), dan
Makassar (20/6/2008). Kekerasan mutakhir terjadi pada 6 Februari 2011 di
Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam kekerasan di Cikeusik, terlihat bahwa
negara tak memberi perlindungan secara memadai ketika massa menyerang dan
membunuh empat anggota Jemaat Ahmadiyah.3 Pada 13 Januari 2012, Gabungan
Ormas Islam di Yogyakarta juga menggelar aksi menuntut pembubaran kegiatan
pengajian Ahmadiyah di Kompleks Sekolah Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI). Tahun 2013 ditandai dengan adanya sekelompok orang yang merusak
Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 5 Mei 2013. 4
Penelitian ilmiah mengenai Ahmadiyah penting untuk dilakukan, karena
ada begitu banyak peristiwa kekerasan yang dialami pemeluk Ahmadiyah dalam
kurun waktu lebih dari satu dekade. Menyitir pernyataan Iskandar Zulkarnain
dalam acara bedah bukunya yang berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia
(2007), Ahmadiyah menarik untuk diteliti karena merupakan gerakan yang
3
Saat itu, ribuan orang menyerang rumah Suparman, pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang. Bentrokan tak seimbang pun meletup. Sekitar 1.500 orang merangsek menuju rumah Suparman. Mereka melempari dan menghancurkan rumah. Anak muda Ahmadiyah yang sempat melakukan perlawanan lari tunggang-langgang. Tidak semuanya bisa selamat. Tiga anggota rombongan Deden, Ketua Pengamanan Nasional Ahmadiyah, yaitu Warsono, Chandra, dan Roni tewas. Hingga 2 minggu setelah kejadian, belum dipastikan otak dari pelaku penyerangan tersebut. Lih Majalah TEMPO, 14-20 Februari 2011.
4
berpengaruh, tapi kurang mendapat porsi perhatian yang cukup dalam sejarah
Indonesia.5
Melihat rentetan kekerasan tersebut, penelitian ini akan berfokus pada
kasus kekerasan terhadap warga JAI di Lombok. Ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Pertama, di daerah Lombok, kekerasan (dalam hal ini penyerangan
terhadap JAI) berlangsung lama, yakni dari 1998 hingga 2010. Kedua, sampai saat
ini, warga JAI yang selamat dari penyerangan itu telah mengungsi selama 7 tahun
di daerahnya sendiri. Sejak 4 Februari 2006 silam, mereka yang melakukan
eksodus dari Lombok Timur itu tinggal berdesak-desakan di Asrama Transito,
Kota Mataram. Ketiga, meski menjadi pengungsi dan sasaran kekerasan selama
setidaknya satu dekade, warga JAI terkesan tegar dan memilih bertahan dalam
koridor keimanannya. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana JAI di
Lombok membentuk identitasnya di tengah kemelut yang dihadapi.
Berbicara mengenai Jemaat Ahmadiyah tak dapat lepas dari ajaran yang
dibawakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), pendiri Ahmadiyah.
Ajaran tersebut sudah berkembang di 185 negara. Ghulam Ahmad diberi gelar
Imam Mahdi dan Masih Mau’ud. Dipercayai bahwa dia muncul sebagai pemimpin
agama yang khusus “diutus” oleh Tuhan untuk membimbing umat manusia dan
menjadi Pembaharu (mujaddid) yang dijanjikan di akhir zaman.
Secara historis, Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai mujaddid
pada 1886. Sebelumnya, Ghulam Ahmad berkhalwat selama 40 hari dan merasa
5
diperintahkan oleh Allah untuk membentuk kelompok jemaat. Tepatnya pada 23
Maret 1889 atau 20 Rajab 1306 Hijriah, untuk pertama kalinya Ghulam Ahmad
secara resmi menerima baiat dari khalayak. Saat itulah, fondasi bangunan Jemaat
Ahmadiyah diletakkan. Selanjutnya, pada 1891, Mirza Ghulam Ahmad
mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih, sebagaimana yang
dijanjikan Rasulullah SAW, guna menghidupkan agama Islam dan menegakkan
syariat di akhir zaman.6
Dalam konteks internasional, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan
bagian dari Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian), yang notabene memiliki
banyak pengikut dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia disebut
Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Dalam sejarahnya, Gerakan Ahmadiyah
Indonesia juga menyisakan jejak perdebatan penting dengan berbagai kalangan
umat Islam. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah cenderung mengalami kontroversi
sejak awal kedatangannya di Tapaktuan pada 1925. Perdebatan sengit dengan
berbagai organisasi massa dan elemen masyarakat memberi dampak besar bagi
Ahmadiyah. 7
Mengenai hal tersebut, sampai saat ini tidak semua umat Islam menerima
keberadaan dan ajaran JAI. Apalagi ajarannya tentang kemunculan Imam Mahdi
masih menjadi perdebatan. Hal ini ditambah pula dengan pengembangan wacana
oleh pihak-pihak tertentu, yang menyebutkan Ahmadiyah memiliki syahadat,
6
Hal ini disebutkan dalam berbagai literatur. Namun, salah satu literatur yaitu Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerima perintah kerasulan ummati (sebagai umat Rasulullah) dari Allah SWT pada bulan Maret 1882 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1908.
7
Lihat Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 89.
nabi, dan kitab suci yang berbeda. Kelompok Ahmadiyah pun dituduh eksklusif.
Ada pula dugaan bahwa mereka mendapat bantuan asing, yakni dari Inggris. Di
Indonesia, pihak yang menggulirkan wacana ini biasanya adalah tokoh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) atau ulama setempat. Sedangkan untuk konteks Lombok,
tokoh yang berperan adalah Tuan Guru. Bagi Jemaat Ahmadiyah (Ahmadi), MUI
memiliki level yang sama dengan ormas lainnya dari segi Undang-Undang
Keormasan. Jadi, menurut JAI, lembaga tersebut tidak berhak menyatakan suatu
kaum sebagai sesat atau menentukan hidup dan matinya suatu golongan.
Akan tetapi, masyarakat, terutama umat muslim, kemudian mengikuti apa
yang disampaikan oleh ulama sebagai kalangan yang diakui keberadaan dan
ucapannya. Mulailah bermunculan penentangan dan kekerasan atas nama sesatnya
sebuah aliran. Padahal, tak ada satu pun alasan yang dapat digunakan untuk
membenarkan tindak kekerasan terhadap kelompok lain, termasuk dalam ranah
agama.
Namun demikian, tindak kekerasan terhadap warga JAI di Lombok tak
dapat dielakkan. Kekerasan tersebut telah menyebabkan rumah-rumah warga
dihancurkan dan dijarah. Penganut Ahmadiyah diusir dari kampungnya. Selain
itu, jatuh pula korban. Akibatnya, warga JAI harus tinggal di Asrama Transito,
Kota Mataram, sebagai pengungsi. Mereka adalah anggota komunitas JAI yang
sudah melakukan eksodus dari Lombok Timur sejak kejadian Pancor pada 2002,
yang menyebabkan mereka kehilangan harta benda dan harus meninggalkan
kampung halaman di Lombok Timur. Sejak saat itu, mereka berpencar dan
berpindah tempat, tidak peduli ke mana, asalkan bisa sejenak mendapatkan
tinggal di Transito ada sekitar 150 orang. Mirisnya, aparat, dalam hal ini polisi
misalnya, terlihat melakukan pembiaran terhadap kejadian tersebut. Sampai saat
ini, belum ada upaya penyelesaian berarti yang dilakukan oleh pemerintah.
Setiap tindak kekerasan pasti akan menorehkan kisah tersendiri dari
korbannya, baik berupa trauma, kesedihan, maupun rasa tertekan. Oleh karena itu,
tak mengherankan jika ada perubahan sikap karena kejenuhan yang membuncah,
aspirasi yang tak tersampaikan, dan trauma penyerangan yang terus membayangi.
Secara psikologis, pengalaman kekerasan yang diderita warga atau pengungsi JAI
pun telah memicu stres. Muncul semacam ketakutan di diri mereka karena
mendapat ancaman terus-menerus. Menariknya, hal itu tidak mereka tampakkan
sebagai sesuatu yang dominan. Mereka justru memperlihatkan hal sebaliknya,
yaitu keteguhan dan keyakinan. Dari segi akidah dan keyakinan, mereka mengaku
malah semakin kuat dan tabah menjadi bagian dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Gerakannya yang dianggap kontroversial di kalangan ormas-ormas Islam
lainnya telah membuat kekerasan terhadap JAI menjadi begitu massif dan
berulang. Hal ini terjadi karena tersebarnya banyak informasi mengenai ajaran
Ahmadiyah versi ormas-ormas Islam yang keliru. Selain itu, JAI tidak melakukan
perlawanan secara frontal, dengan akibat ormas Islam lainnya dapat bertindak
dengan bebas.
Kasus kekerasan terhadap warga JAI telah diselimuti ideologi
pembenaran. Akibatnya, aksi kekerasan bisa terus dilakukan. Salah satunya
melalui Fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang larangan menyebarkan aliran
Ahmadiyah. Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk berfatwa, MUI
pokok ajaran Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Indonesia dan
menghentikan kegiatan penodaan dan pelecehan terhadap agama. Fatwa MUI
tahun 1980 dan -2005 makin diperkuat dengan munculnya Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri. Peraturan ini sering menjadi acuan pemerintah daerah.
Bahkan, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berniat membubarkan JAI
karena menurut dia JAI telah melecehkan agama Islam. 8
Berbicara tentang ajaran atau akidah, Jemaat Ahmadiyah dan
pengurusnya, terutama di Lombok, banyak mengoreksi fitnah-fitnah yang
berkembang melalui media yang ditujukan kepada mereka. Mereka menjelaskan
bahwa kitab, nabi, atau syahadatnya sama dengan orang Islam lainnya. Adapun
tentang tuduhan eksklusif, mereka melihat itu sebagai tuduhan yang berlebihan.
Warga JAI mengaku rindu berkumpul dan beribadah dengan umat Islam yang
lain, tetapi adanya stigma “sesat” serta berbagai celaan dan makian terhadap
mereka membuat hal itu sukar dilakukan.
Peran media, khususnya di tingkat lokal, dalam hal ini cukup penting,
khususnya dalam mengarahkan opini publik tentang JAI. Tak jarang banyak
pemberitaan di media turut memperkeruh suasana. Banyak media massa,
khususnya media lokal, melakukan kekerasan dalam bentuk pemberitaan yang
tidak seimbang. Sumber yang diambil hanya dari pemerintah daerah, dan sering
mengandung opini masyarakat yang cenderung menentang Ahmadiyah. Media
tersebut juga jarang menampilkan berita yang seimbang dan sesuai konteks. Hal
ini bisa dilihat dalam salah satu contoh tentang pernyataan: “Pokoknya
Ahmadiyah itu sesat, tidak ada dialog lagi”, yang disampaikan oleh oleh seorang
8
tokoh MUI Nusa Tenggara Barat. Bagi MUI, tidak ada tawar-menawar lagi
dengan JAI karena solusi itu saja yang dianggap bisa meredam masyarakat. Ini
untuk menanggapi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Ketapang pada
2006 silam.9 Pelarangan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah bagi penulis
opini itu dianggap sebagai suatu kewajaran tanpa melihat sisi humanitasnya.
Mengenai pihak yang “terlibat” di pengungsian Transito memang cukup
beragam. Ini bisa dilihat dari daftar pengunjung Transito, yaitu ada pegiat media
(wartawan) baik nasional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat,
serta pemerintah daerah. Beberapa ormas Islam, seperti Nadhlatul Wathan (NW),
sempat datang berkunjung beberapa kali, itu pun untuk memberikan ceramah,
tanpa dialog sama sekali. Sedangkan peran partai politik sangat minim. Pernah
ada satu partai politik yang memberi bantuan pada 2007, tapi setelah itu tidak lagi.
Berbagai LSM juga datang untuk memberikan bantuan dan advokasi.
Kebijakan dan intervensi negara telah memunculkan bentuk diskriminasi
terhadap warga JAI. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain mereka dilarang
tinggal di atas tanahnya sendiri. Menurut JAI, SKB Tiga Menteri misalnya hanya
melarang warga Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, bukan melarang untuk
tinggal di daerah tertentu. Artinya, SKB tidak mencabut hak warga JAI untuk
tinggal di Nusa Tenggara Barat. Namun nyatanya, selama tujuh tahun terakhir ini
mereka masih tetap mengungsi.
Atas kekerasan yang dialami secara beruntun, Jemaat Ahmadiyah
bukannya tanpa upaya atau ikhtiar. Warga JAI berusaha meminta dukungan
keamanan kepada Gubernur hingga Presiden. Bahkan kepada gubernur dan
9
presiden mereka pernah mengirimkan surat. Pimpinan wilayah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Lombok Barat juga menyayangkan sikap pemerintah yang hanya
diam tanpa berusaha melindungi- masyarakat yang teraniaya. Meski hidup dalam
keadaan yang tak pasti, warga JAI di Transito selalu mendapat dukungan
kerohanian dari organisasi. Mereka menyikapi kekerasan yang dialami dalam
koridor keimanan dan kerohanian. Hal inilah yang turut membentuk pola bertahan
dan identitas mereka dalam menghadapi kekerasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, tesis ini bermaksud membahas beberapa
masalah, yaitu
a. Bagaimana sejarah kekerasan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di Lombok?
b. Bagaimana bentuk pertarungan hegemoni antara JAI dengan pihak di luar
nya dalam menentukan identitas JAI?
c. Bagaimana mereka memandang dan memaknai kekerasan yang dialaminya
secara berkala dan massif (1998-2010) pada level ideologis dan level
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengambil salah satu potret kekerasan yang dialami pengungsi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok, penelitian ini bertujuan untuk
melihat wacana lain seputar pengalaman dan suara JAI atas peristiwa kekerasan
yang dialami. Suara-suara tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan subjek
dan identitas JAI. Akan tetapi, yang dilihat bukan hanya semata-mata dari
perspektif JAI sebagai korban, tapi juga menilik bagaimana kekuatan kelas
hegemonik mempengaruhi keberlangsungan mereka khususnya di Lombok.
Biasanya peristiwa kekerasan berdampak besar pada identitas individu
maupun kelompok. Dalam membentuk identitasnya, kelompok sasaran tidak
selamanya memandang dirinya sebagai korban karena mereka sebenarnya
memiliki kemampuan untuk bertahan dan berstrategi. Kemampuan tersebut
bertemu dengan ideologi kelompok yang dominan sehingga memunculkan proses
negosiasi atau bahkan sebuah pertarungan.
D. Manfaat Penelitian
Berawal dari kegelisahan dan keingintahuan melihat maraknya konflik
antar-kelompok khususnya dalam konteks umat beragama, penelitian ini mulai
dirancang. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi salah satu potret
kekerasan yang disorot, karena identitas yang diberikan padanya sebagai ajaran
“sesat” dan eksklusif. Terlepas dari pro kontra ajaran aliran Ahmadiyah, wacana
dan identitas mana yang dominan muncul pada pengungsi JAI di Asrama
Transito.
Pertarungan identitas dan hegemoni setidaknya bisa membantu untuk
memetakan potret kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya entitas Umat Islam
di Indonesia. Lebih spesifik lagi, hal ini akan menjadi gambaran bagaimana
sebuah aliran—yang menyebut dirinya bagian dari Islam—bisa bertahan dan
ditentukan hidup atau matinya oleh ideologi tertentu.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang Ahmadiyah memang sudah banyak dilakukan, namun
sebagian besar menyorot permasalahan akidah, terutama yang kontra terhadapnya.
Penelitian yang menyorot tajam keberadaan Ahmadiyah di dunia misalnya, ditulis
oleh Abdullah Hasan Al-Hadar (1980) dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang
Bulat di Panggung Sejarah. Dia melihat bagaimana Ahmadiyah lahir,
berkembang, penuh gejolak di India, dan menyorot identitas seorang Imam Mahdi
secara cukup detail. Dalam tulisan ini pula banyak asosiasi negatif yang muncul
seputar Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad. Kata-kata lugas seperti
Ahmadiyah sesat, sosok Mirza yang “gila” gelar keislaman banyak dipakai dalam
buku tersebut.
Penelitian lain yang juga kontra terhadap Ahmadiyah datang dari Jurnal
Ulama (Majelis Ulama Indonesia Provinsi D.I Yogyakarta : 2008). Jurnal yang
bertajuk Merekontruksi Ukhuwah dan Memahami Aliran Sesat tersebut, mengulas
sebenarnya sudah sangat lama sejak 1980-an. Salah satunya adalah vonis sesat
terhadap Ahmadiyah yang telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
setelah Nabi Muhammad. Tulisan itu menyebutkan fatwa MUI tidaklah
mengada-ngada, melainkan justru mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab lembaga
keulamaan dalam membimbing umat dan menjaga akidah mereka. Akan tetapi,
dalam tulisan tersebut juga menampilkan protes terhadap MUI yang menilai
lembaga ini telah memicu kekerasan, padahal yang berhak melakukan vonis suatu
aliran sesat atau tidak adalah Allah SWT. MUI kemudian membela diri dengan
mengatakan manusia bisa menilai sesat tidaknya sebuah ajaran berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan, karena apabila tidak maka akan terjadi kekaburan
antara yang hak dan batil.
Ada pula penelitian yang relatif objektif tentang Ahmadiyah yang
dilakukan oleh Dr. Iskandar Zulkarnain (2005), dalam bukunya Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia. Pengajar di UIN Sunan Kalijaga ini meneliti sejarah
Ahmadiyah sebagai aliran yang kontroversial, pada 1920-1942. Menurutnya,
Gerakan Ahmadiyah memang belum banyak dipahami umat Islam lainnya,
padahal ajaran ini telah banyak menyebarkan agama Islam.
Kajian hukum datang dari buku yang diterbitkan The Indonesian Legal
Resource Center (ILRC) tahun 2008 lalu. Buku tersebut menyorot keberadaan
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem)
dan sejauh mana legalitasnya berperan dalam mengawasi agama atau kepercayaan
di Indonesia. Penelitian terhadap Tim Pakem ini diharapkan mampu menjawab
persoalan kebebasan beragama/kepercayaan dan keragaman, serta membuka mata
Banyak penelitian tentang Ahmadiyah, terutama yang beredar di
Indonesia, lebih memfokuskan dirinya pada telaah teologis terhadap ajaran yang
lahir di tanah India itu. Namun, Pusat Data dan Analisa TEMPO (2005),
menyusun dan menerbitkan buku Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, yang
berisi fakta sosial tentang Ahmadiyah sebagai komunitas dan ajaran yang sudah
tumbuh berkembang di Indonesia. Banyak fakta menarik disajikan buku ini yang
bisa menjadi rujukan penelitian, tentang suara-suara para Ahmadi (sebutan bagi
Jemaat Ahmadiyah), dan juga membahas sejarah Ahmadiyah di India dan
Indonesia. Hanya saja, buku ini memaparkan fakta tentang JAI, dan sepertinya
tidak bermaksud untuk mengelaborasi fakta tersebut dengan teori-teori sosial.
Maraknya kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah terutama di tahun
2000-an juga telah mendorong beberapa lembaga melakukan penelitian. Salah
satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Komisi untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2008 lalu, menerbitkan buku yang
berjudul Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di
Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…, salah satunya memuat
tentang terhadap kekerasan JAI di Manislor Kuningan (2007) dan rentetan
kekerasan JAI di Lombok sejak 1998. Segelintir kekerasan yang ditulis disertai
dengan analisis hasil temuan investigasi, misalnya melihat modus kekerasan dan
peran aparatur negara didalamnya. Namun, tulisan ini merupakan hasil penelitian
berbasis investigasi yang tidak disertai dengan kerangka teori atau konseptual
untuk menganalisisnya.
Ulasan tentang kajian sosial dan budaya lainnya memang belum banyak
mengambil sisi lain sebagai fokus penelitian dalam kajian ini, yaitu Ahmadiyah
dari segi personalnya, kaitannya dengan kekerasan yang dialami dalam kurun
waktu satu dekade ini. Bagaimana Jemaat Ahmadiyah bisa bertahan secara pribadi
dan keorganisasian? Identitas seperti apa yang dominan muncul setelah berbagai
kejadian kekerasan? Lalu, bagaimana orang di luar JAI atau liyan
mengidentifikasi mereka? Atas hal tersebut, persoalan tentang Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, khususnya di Lombok menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah.
F. Kerangka Teoritis
1. Subjek Lacanian
Kasus kekerasan yang dialami JAI menunjukkan perhatian pada objek
psikoanalisa Lacanian tentang pembentukan subjek, yaitu subject of lack ke usaha
subjek dan Other (Liyan) untuk merepresentasikan dirinya dalam kehidupan
sosial. Subjek-subjek bertemu dengan lack dan alienasi di saat mereka mencari
kesempurnaan (keutuhan) atau autre (baca:other). 10
Lacan menegaskan kembali subjek dari psikoanalisa bukanlah subjek
pengetahuan (subject of knowledge), melainkan ketidaksadaran yang direpresi,
dan mempengaruhi perkembangan subjek selanjutnya. Hal ini bertentangan
dengan semangat pencerahan—gagasan dalam tradisi filsafat—yang memberi
penghargaan tinggi pada akal dan kesadaran (“consciousness”). Subject as cogito,
justru diperlihatkan sebagai subject of lack.
10
Subjek yang mencari Liyan bisa dibaca sebagai upaya untuk mengisi lack.
Other (huruf besar) atau Liyan tersebut bukanlah sosok ibunya, melainkan bahasa.
Subjek dalam arti sebenarnya ketika seseorang mencoba bersatu dan meyakini
bahwa Liyan mampu memenuhi kebutuhan lack nya, mengikuti banyak hal, dan
beraktivitas dengan harapan memiliki pengalaman yang menyatu antara anak dan
“ibu”. Dalam adagium There is no Other of Other, tercermin subjek yang lack
ingin bertemu Other untuk memenuhi kebutuhannya (need), tapi ternyata Liyan
juga selalu mengalami lack.
Bagaimana kita melihat status lack pada Liyan? Pastinya, lack yang
dimaksud adalah lack atas sesuatu (lost object). Pada teori Lacan, yang dimaksud
dengan lack of jouissance adalah hilangnya sesuatu pada fase pre-simbolik,
kenikmatan yang nyata (real enjoyment) selalu diposisikan sebagai sesuatu yang
hilang atau dikorbankan ketika memasuki sistem simbolik dari bahasa dan realitas
sosial.
Namun, akhirnya subjek menyadari bahwa Liyan tidak mampu memenuhi
lack-nya. Lalu, muncullah Desire. Dalam pandangan Lacan, desire hanya akan
dialami setelah subjek merasa tidak pernah mendapatkan kepuasan dari dunia
simbolik atau Liyan. Ketika subjek memahami bahwa ternyata hukum dan dunia
verbal tidak bisa memuaskan sama sekali, saat itulah muncul hasrat untuk
menemukan kembali objek a (baca: autre). Desire merupakan upaya untuk
menemukan kembali jejak-jejak yang menyebabkan subjek mengalami lack.
Konsep desire berbeda dengan need atau kebutuhan. Dalam tataran
Munculnya tuntutan berdasarkan need dari subjek yang semata-mata merupakan
kebutuhan organik atau hewani untuk bertahan.
Tidak adanya pemenuhan dalam level simbolik telah membawa subjek
keluar dari frustrasi yang dikenal dengan ranah fantasi. Dalam Lacan, struktur
yang kita temui dalam fantasi adalah relasi antara subjek yang split (terbelah),
subjek yang mengalami lack (hilang), dan janji untuk mengeliminasi kekurangan
tersebut. Jika kondisi manusia ditandai oleh kenikmatan yang tak tercapai atau
hilang, maka fantasi menyediakan janji pertemuan dengan jouissance yang
berharga untuk menutupi lack dan mengisi ruang kosong pada subjek.
Fantasi seperti itu akan lebih bisa dimengerti bila dihubungkan dengan
konsep Lacanian lainnya yaitu simtom. Dalam analisis sosial, simtom adalah
tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek a.
Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang
direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam
simtom-simtom tersebut.
Dampak dari kekerasan memunculkan resistensi dan representasi terhadap
suatu kelompok, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Resistensi
tersebut muncul, karena berbagai bentuk “pengawasan” terhadap warga
Ahmadiyah, yang merupakan bentuk diskriminasi dan stigma. Stigma
dikonstruksi secara sosial melalui label-label yang melekat pada diri seseorang
atau kelompok.
Subject of lack dan simtom dapat dilihat pada korban kekerasan.
Dampaknya adalah identifikasi pada subject of lack dan Liyan. Representasi yang
mental. Kata trauma sengaja diberi tanda petik karena konsep ini berlaku unik
bagi Jemaat Ahmadiyah. Mereka melibatkan unsur keimanan dalam rangka
pemulihan diri. JAI yang menjadi korban kekerasan muncul dengan optimisme
yang berasal dari diri sendiri dengan bimbingan kerohanian. Pengabaian dan
pembiaran yang dilakukan aparat hanya bisa disikapi dengan pasrah dan
menunggu penghakiman Allah. Dalam hal ini, pengungsi JAI di Asrama Transito
tidak berjuang sendiri, melainkan bersama pemimpin dan mubalignya.
Relevansi Lacan untuk analisis sosial politik dapat dilihat dalam diskursus
tentang subjek dan dan politik.11 Teori politiknya Lacan adalah diskursus tentang
impossibility atau lacking. Titik awal pertama untuk membahasnya adalah konsep
Lacan tentang subjek, yang split (subjek mengalami lack) dan teralienasi menjadi
lokus dari “impossible identity” di mana identifikasi politik mengambil tempat.
Subjek ini merupakan kontribusi terbesar Lacan dalam analisis politik
kontemporer.
Subjek Lacanian akan relevan untuk perbincangan politik secara filosofis
karena ini tidak identik dengan “individu” atau “subjek yang berkesadaran”.
Subjek Lacanian melampaui esensialis atau penyederhanaan dari subjektivitas,
dalam arti subjek tidak diturunkan menjadi ego. Dia juga melawan dan melampaui
segala tendensi yang bergerak sesuai aturan. Lacan melihat ego tidak bisa
menopang dirinya itu sendiri, dan bahwa mitos tentang kesatuan personalitas,
perpaduan segala sesuatu yang berasal dari objek sesungguhnya akan melahirkan
keretakan, ketakutan, ataupun misrecognition dari berbagai pengalaman.
11
Ibid. Hal 7. Dalam penjelasannya, Stavrakakis menyebut Lacan bukanlah seorang ahli politik, apalagi seorang filsuf. Akan tetapi, psikoanalisa politik, meminjam istilah Sherry Turkle (1992), merupakan istilah yang menjadi pertemuan antara Lacan dan politik. Lacan menggunakan konsep dari Freud tentang konsep objektivitas yang menjadi pendekatan objektivitas sosial.
Adanya ketergantungan pada susunan simbol sosial menjadi keterkaitan
antara psikoanalisa dan sosial politik. Penerapan teori Lacan yang dirumuskan
oleh Ernesto Laclau- Chantal Mouffe dapat difokuskan pada titik pertemuan
faktor yang menentukan dalam implementasi aksi politik. Laclau-Mouffe
menggunakan konsep atau istilah psikoanalisa untuk menjelaskan fenomena
ideologi dan politik secara luas sebagai pemikiran “individual psyche”, faktor
dalam cara kerja ideologi. Pembentukan identitas bisa diusahakan melalui proses
identifikasi dengan diskursus sosial seperti ideologi. 12 Kaitan dengan kasus JAI di
Lombok, cukup penting untuk melihat bagaimana para pengungsi membentuk
identitasnya melalui sebuah ideologi Ahmadiyah.
2. Hegemoni Gramsci
Konsep teoritis lainnya yang dapat digunakan untuk membaca kasus JAI
di Lombok adalah hegemoni. Membicarakan tentang konsep hegemoni, tentu tak
bisa dilepaskan dari pemikiran Antonio Gramsci, yang telah mempengaruhi
perkembangan teori Marxis pasca Althusserian pasca tahun 1960-an. Hegemoni—
salah satu kesadaran politik Gramsci—merupakan sebuah kesadaran untuk
mengetahui kelompok kepentingan dalam perkembangan sekarang dan masa
depan, melampaui kelas ekonomi semata, yang bisa menjadi kepentingan dari
kelas subordinasi.
Hegemoni menjadi formula Gramsci yang diartikulasikan pada level
analisis mode produksi dengan formasi sosial. Konsep yang akan disorot dalam
hegemoni-nya Gramsci adalah manifestasi dari kelompok sosial sebagai
12
“dominasi” dan “kepemimpinan intelektual dan moral”.13 Hegemoni yang selalu
menjadi basis dioperasikan oleh masyarakat sipil melalui artikulasi kelompok
kepentingan.
Subjek tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan karena adanya proses
determinasi dalam ranah ideologi. Oleh karena itu, subjektivitas selalu merupakan
produk dari praktik sosial. Ideologi sebagai praktik menghasilkan subjek,
membutuhkan struktur materi dan institusi untuk mengelaborasi kemunculannya.
Aparatus, oleh Gramsci, merupakan struktur ideologi dari kelas dominan.
Sedangkan level struktur di mana ideologi diproduksi dan disebar disebut
masyarakat sipil.
Gramsci melihat adanya keunggulan superstruktur ideologi dibandingkan
dengan ekonomi, karena lebih diutamakannya masyarakat sipil (berdasarkan
konsensus) daripada masyarakat politik (berdasarkan kekuatan semata). Hal ini
ditandai dengan perjuangan ideologi yang berusaha membentuk kesatuan antara
ekonomi, politik, dan keseimbangan intelektualitas demi kepentingan bersama
bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.
Untuk menjalankan proses hegemonik, maka strategi menjadi sangat
penting. Kelas pekerja yang sedang berjuang tidak boleh mengisolasi dirinya
dalam kelas proletariatnya semata. Tapi sebaliknya, kelas ini harus mencoba
menjadi “kelas kebangsaan” yang merepresentasikan dan mengartikulasikan
kepentingannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kelompoknya. Hal itu
akan menyebabkan perpecahan di kelas borjuis sehingga terjadi disharmoni
karena adanya pemblokan atau tidak diartikulasikannya suara mereka. Adanya
13
pertarungan hegemoni di antara kelas-kelas sosial termasuk yang antagonistik
menyebabkan kelas fundamental atau berkuasa ingin memenangkan kontestasi
tersebut. 14
Dalam kasus di Lombok, terjadi pertarungan hegemoni dari berbagai
elemen yang turut menentukan identitas JAI. Stigma adalah salah satu upaya
hegemoni kelas tertentu dalam memasukkan ideologi tertentu. Kelas hegemonik
tersebut, apabila menyitir Althusser dan Gramsci, merupakan Ideologi Aparatus
Negara (IAN) dan Represi Aparatus Negara (RAN). Pemerintah dalam hal ini
mengambil peran RAN yang melakukan beragam pembiaran atas rangkaian
peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Tindakan represif tersebut mewujud dalam pembiaran dan upaya
“melegalkan” setiap tindakan kekerasan. Dalam catatan, setiap tindakan
pengrusakan massa yang dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah selalu dijaga oleh
polisi. Bahkan, beberapa saat sebelum kejadian kekerasan berlangsung, aparat
sudah datang untuk berjaga-jaga. Hal itu bisa dibaca sebagai upaya pemerintah
yang dilematis menghadapi persoalan Ahmadiyah ini. Dilematis dalam arti
mereka tidak mampu menghalangi massa dalam melakukan kekerasan. Selain itu,
mereka juga tidak mampu bertindak tegas terhadap massa. Jadi, upaya
perlindungan yang “setengah hati” terhadap Ahmadiyah. tidak adanya upaya
penindakan terhadap pelaku kekerasan juga menunjukkan indikasi tersebut.
Pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk menangani pengungsi yang
sudah 7 tahun hidup di Asrama Transito, Mataram. Aktor kekuatan politik dari
kelas yang berkuasa bukan hanya terdiri dari militer atau polisi, tapi juga yang
14
berhubungan dengan ideologi, yang merasuk ke dalam masyarakat secara massif
dan seolah tak disadari. Aparatus ideologis yang berperan misalnya tokoh-tokoh
agama dan media.
3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal
Setelah melihat alur pemikiran Lacan dan Gramsci, cukup penting untuk
membincangkan relasi antara Psikoanalisa dan Ekonomi Politik Marxis, yaitu
bahwa simtom di psikoanalisa juga terjadi pada ideologi Marx. Adalah Ernesto
Laclau-Chantal Mouffe sebagai pemikir post-marxis yang masih concern pada
kapitalisme. Gagasan dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985)15 tentang
Demokrasi Radikal akan dipakai dalam menganalisis permasalahan yang sedang
diteliti. Keduanya merupakan pemikir yang menjadi pionir dalam perdebatan
pascamarxis. Hal ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni dan linguistik yang
digunakan Laclau-Mouffe untuk membangun logika Demokrasi Radikal.
Semangat Demokrasi Radikal bisa dilihat dari maknanya. Demokrasi
harus bersifat plural, yaitu suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian
ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya otonomi pada setiap
unsur. Demokrasi jenis ini juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan
suatu masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan pusat.
Radikal juga menunjuk pada kesatuan sosial yang tidak pernah berhasil menjadi
identitas kelompok, jadi harus dibentuk ulang secara terus menerus.
Logika Demokrasi Radikal muncul dari gagasan Gramsci tentang
hegemoni yang kemudian dielaborasi oleh Laclau-Mouffe. Beberapa konsep yang
15
bisa dipakai di sini misalnya Bagaimana kesatuan sosial bisa terbentuk? Mereka
bersatu secara spontan atau dibutuhkan semacam pemimpin untuk
mempersatukannya. Kalau ada pemimpin, apakah pemimpin itu hanya
mengumpulkan kepentingan-kepentingan mereka atau perlu melakukan intervensi
secara ideologis atau konseptual? Apa hakekat hubungan-hubungan yang
mempersatukan unsur-unsur dalam kesatuan sosial? Ekonomi atau politis? Atau
kedua-duanya? Bagaimanakah sifat kesatuan sosial tersebut; tertutup atau
terbuka? Sejauh mana mapan dan sejauh mana labil? Apa implikasinya bagi
subjek agen-agen sosial?16
Landasan pertama yang dipakai oleh Laclau-Mouffe untuk membangun
teorinya adalah tradisi linguistik struktural-pascastruktural.17 Konsep
Laclau-Mouffe ini berfokus pada pembentukan wacana lewat praktik artikulatoris. Dilihat
dari logika artikulasi, masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah
selesai diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya
bisa dituntaskan dalam artikulasi (dengan momen-momen sebagai satuannya),
melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu.
Keberadaan etika penting dalam Demokrasi Radikal karena berusaha
menginstitusionalisasikan lack dalam realitas politik. Salah satu konsep dalam
etika Lacanian, yaitu simtom. 18 Dalam pemikiran Gramsci juga dipakai istilah
16
Ibid. Hal 5.
17 Ibid. Hal 5.
Walaupun kemudian keduanya melampaui tradisi linguistik, prinsip dasar tetap mereka pakai, terutama yang berkaitan dengan konsep tentang bahasa. Akses kita pada realitas hanya bisa dicapai lewat bahasa. Hanya saja, berbeda dengan Saussure, mereka melihat bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam omongan, bukan dalam sistem umum.
18
kemunculan simtom untuk menggambarkan struktur sosial, kelas buruh, atau
kelas yang tidak dominan. Simtom sebagai manifestasi dari kelas yang terepresi,
merupakan kata-kata atau penanda yang kelihatannya mengikuti hukum bahasa
atau simbolik, tapi sebenarnya tidak. Pengalaman tidak terpenuhinya need
kemudian menimbulkan simtom.
Simtom dapat ditemukan dalam kelompok yang tersubordinasi atau
menjadi sasaran kekerasan seperti JAI. Seperti yang telah dibahas dalam konsep
Gramsci di atas, muncul stigmatisasi yang dilakukan oleh kelas hegemonik.
Fantasi dalam konstruksi utopia kemudian disandingkan dengan sesuatu yang
menakutkan, paranoid yang membutuhkan korban terstigmatisasi. Stigmatisasi
biasanya diikuti oleh pembasmian. Utopia bisa saja bekerja atas dasar kekerasan
atau antagonisme yang memunculkan enemy atau musuh, sehingga muncullah
demonisasi.
Dengan konsep hegemoni-nya, Gramsci membawa spirit baru dalam
Marxisme, yang menekankan strategi kelas proletar atau tersubordinasi. Kasus
JAI di Lombok juga menunjukkan adanya counter hegemony (hegemoni
tandingan) yang dilakukannya terhadap kelas yang berkuasa atau hegemonik
dalam masyarakat. Ini menjadi salah satu strategi JAI.
Berbicara mengenai strategi tentu tak bisa dilepaskan dari subjek.
Pemikiran Lacan dan Gramsci (baca : Gramsci yang ditafsirkan oleh Laclau)
memiliki perhatian pada subjek. Gramsci lebih menekankan subjek sebagai
produk dari praktik sosial karena adanya proses determinasi dalam ranah ideologi.
Hal inilah yang menjadi mediasi antara individu dengan komunalnya atau partikular dengan universal. Sublimasi mengakui lack dan pusat dari real sebagai ganti dari eliminasi ketidakmungkinan dan identifikasi dari yang ideal. Sublimasi menciptakan ruang yang ideal untuk pemenuhan desire.
Diskursus tentang ideologi dipahami sebagai artikulasi (mata rantai) dari elemen
ideologi.
Ideologi sebetulnya adalah janji kolektif yang bisa memenuhi lack subjek.
Untuk merumuskan ideologi, maka perlu diperhatikan apa yang menjadi lack
masyarakat yang bersangkutan, dan bagaimana cara memenuhinya. Setiap orang
dalam masyarakat sebenarnya memiliki sejarah kehidupan masing-masing.
Sejarah tadi akan menentukan ideologi atau objek yang diinginkan oleh subjek
atau masyarakat. Pada hakikatnya, fungsi sentral dari ideologi adalah integrasi
serta penjagaan atas status quo.
Berbicara tentang hegemoni tidak bisa dilepaskan dari bicara tentang
subjek politik. Laclau-Mouffe mengingatkan bahwa politik bukanlah masalah
“mendaftar kepentingan-kepentingan yang sudah ada melainkan memainkan peran
penting dalam pembentukan subjek-subjek politik” (Laclau dan Mouffe,
1985:vii).19 Dengan kata lain, politik bukanlah sekedar melakukan mobilisasi
orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama (misalnya kepentingan
ekonomis), melainkan juga harus meliputi pembentukan subjek-subjek politik.
Gagasan Laclau-Mouffe terkait Demokrasi Radikal akan mengarah pada
revolusi demokrasi sebagai medan artikulasi hegemonik dilihat dalam fenomena
gerakan-gerakan sosial baru yang muncul sejak paruh kedua abad ke-20. Gerakan
ini bisa dibaca sebagai munculnya bentuk-bentuk antagonisme baru dalam
masyarakat, karena adanya jenis-jenis hubungan subordinatif yang belum terlihat
di zaman sebelumnya. Laclau-Mouffe melihat jenis-jenis hubungan subordinatif
itu sebagai akibat komodifikasi hubungan sosial (karena sistem produksi
19
kapitalis), birokratisasi hubungan sosial (karena intervensi negara dalam
melindungi rakyat namun secara paradoks justru menghasilkan hubungan
subordinatif baru), dan hegemonisasi hubungan sosial (karena moda baru dalam
penyebaran budaya lewat media massa). 20
G. Metode Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian utama adalah di tempat pengungsian warga Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, Asrama Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, juga beberapa wilayah di Lombok Barat dan Sumbawa.
b. Sumber Data
Sumber data berasal dari sejarah lisan melalui ingatan dan pengalaman dari
para informan, yakni orang yang mengalami kekerasan baik langsung ataupun
tidak terutama yang menyangkut masalah penelitian. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder, baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
c. Metode Pengumpulan Data
Data primer saya kumpulkan melalui teknik wawancara terbuka dan
observasi. Wawancara saya lakukan dengan para pengungsi Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, koordinator pengungsi, pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, Pengurus Lembaga atau Ormas Islam di NTB, pegiat LSM (seperti
Lembaga Studi Kemanusiaan), dan masyarakat. Selain itu, saya juga
20
melakukan penelisikan data sekunder melalui media dan dokumen yang
relevan tentang Ahmadiyah.
d. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, saya mencoba melakukan pendekatan sosiologis, yang
memadukan antara kajian yang eksploratif dan eksplanatoris. Dengan tidak
bermaksud menguji hipotesa, penelitian ini berusaha menghasilkan suatu
deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan data-data yang diperoleh
melalui studi kasus. Metode pengolahan data, yaitu melalui penulisan narasi
dan makna dari tuturan, serta dokumen atau literatur berdasarkan
konsep-konsep teori yang digunakan. Penulisan ini bukan hanya melihat makna dari
tuturan individu maupun kolektif, akan tetapi juga melihat kekuatan sosial
politik yang turut membentuknya.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menguraikan kajian tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini,
saya membaginya dalam beberapa bab. Bab Pertama merupakan Pendahuluan
yang menulis detail tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Bab Kedua akan berisi penjelasan historis atau sejarah literer
kemunculan Jemaat Ahmadiyah di dunia, lalu masuknya ke Indonesia yang
kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Lombok.
Sedangkan dalam Bab Ketiga, saya akan menguraikan Jemaat Ahmadiyah
komunal di Lombok. Pada sub-bab pertama, saya akan bercerita tentang
kekerasan yang menimpa JAI di Lombok selama satu dekade, dan adanya sebuah
kontinuitas yang menyebabkan mereka tercerai berai dari tanah kelahiran sendiri.
Dalam bagian ini pula akan saya pertontonkan teks tentang suara-suara mereka di
bilik pengungsian Transito serta aktor yang berada di balik kekerasan tersebut.
Sub-bab kedua merupakan torehan perjalanan JAI di Lombok yang menjadi
pengungsi di Asrama Transito selama 7 tahun ini. Sub-bab ini juga
memperlihatkan bagaimana pola bertahan dan strategi yang dilakukan JAI dalam
mempertahankan identitasnya.
Bab keempat merupakan hasil kajian atau refleksi dari fakta yang dilihat di
bagian ketiga dengan menggunakan konsep subjek-nya Lacan, adanya
pertarungan hegemoni, hingga terbentuknya identitas yang dominan dari suatu
kelompok, dalam hal ini JAI sebagai sebuah gerakan sipil keagamaan. Terakhir,
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan tentang apa yang sudah saya
BAB II
JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH
A.Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia
Sebelum membahas kekerasan ideologis21 yang terjadi selama lebih dari
satu dekade terhadap para pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
Asrama Transito Mataram, kita akan melihat sekelumit perjalanan Ahmadiyah
dari masa tumbuh dan berkembang, pengaruh di berbagai belahan dunia, hingga
masuk dan menyebarnya di Indonesia, termasuk di Lombok.
Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan lahir di India pada akhir
abad ke-19 dengan latar belakang kemunduran umat Islam di bidang agama,
politik, ekonomi, sosial, dan sejumlah bidang kehidupan lainnya. Hal ini terjadi
terutama setelah pecahnya Revolusi India tahun 1857, berakhir dengan
kemenangan Inggris yang terpenting di Asia.
Pendiri Ahmadiyah adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang lahir pada
hari Jumat, 13 Februari 1835 di sebuah dusun bernama Qadian, Gurdaspur, 25
KM arah Timur Laut Amritsar di Provinsi Punjab. India, negara tempat lahirnya
Ghulam Ahmad pada masa-masa itu, bahkan jauh sebelum Mirza Ghulam Ahmad
lahir diwarnai oleh pergolakan, peperangan, dan perebutan kekuasaan. Negeri
dengan mayoritas penduduk pemeluk Hindu dan Buddha itu pernah dikuasai oleh
21
Kekerasan ideologis disini hanya merupakan penamaan saja, untuk menyebut kekerasan beruntun yang terjadi di dalam pertarungan ideologi-ideologi yang ada, aktor-aktor yang berperan, dan kontestasi di dalamnya.
sebelas dinasti Mughal (1526-1858 M) selama lebih kurang delapan setengah
abad.
Benih pertama “pohon” Ahmadiyah ditanam pada tanggal 23 Maret 1889
ketika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mendirikan suatu jemaat guna memberikan
bimbingan kepada segenap umat manusia supaya mengenal Tuhan Yang Hakiki
dan menunjukkan jalan yang telah dirintis oleh Baginda Nabi Besar Muhammad
SAW. Namun, dalam sejumlah literatur Ahmadiyah disebutkan bahwa Ghulam
Ahmad memperoleh ilham dari Allah SWT untuk pertama kali pada 1886.22
Ketika itu, ia berusia 40 tahun, saat ayahnya sedang sakit. Dikatakan
bahwa ilham itu diawali dengan kata-kata: “Persumpahan demi Langit yang
merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah
tenggelamnya matahari pada hari ini”. Ilham itu kemudian menyampaikan kabar
penting, yakni bahwa ayahnya akan meninggal setelah magrib. Ternyata benar.
Beberapa saat kemudian, tak lama setelah isyarat gaib itu turun, ayahnya
meninggal saat matahari terbenam.
Menurut pengakuan Ghulam Ahmad, dengan turunnya ilham itu, ia merasa
sedih dan khawatir akan nasibnya di kemudian hari. Sebagai manusia, Ghulam
Ahmad sangat sedih dan gelisah ketika mendapat kabar demikian. Sebagian besar
penghidupan keluarganya bergantung pada ayahnya yang biasa mendapat pensiun
serta hadiah yang agak besar dari pemerintah. Dengan wafatnya sang ayah, semua
itu akan dihentikan.
22
Setelah didera kesedihan dan kegelisahan seperti itu—menurut pengakuan
Ghulam Ahmad—ia mendapat ilham kedua dari Allah yang menentramkan
hatinya. Katanya tentang ilham kedua itu : “Dari ilham ini hati saya menjadi
teguh, bagai luka parah yang tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih karena suatu
obat…”. Ilham itu diceritakan kepada seorang penduduk Qadian beragama Hindu,
Malawa Mal. 23
Menurut pengikutnya, Jemaat Ahmadiyah seutuhnya bukan agama baru
dan tidak pula membawa ajaran baru. Akidah dasar (kepercayaan pokok) anggota
Jemaat Ahmadiyah adalah Islam, kitab sucinya adalah Al-Quran yang terdiri dari
30 juz dan 114 surah, dan nabinya Nabi Muhammad SAW berdasar kepada 5
Rukun Islam dan 6 Rukun Iman. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah melaksanakan
sholat tetap menghadap kiblat (Kabah), dan berhaji ke Tanah Suci Mekkah. 24
Terkait dengan penamaan, Jemaat Ahmadiyah merupakan nama aliran atau
ajaran yang tidak merujuk pada nama pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Namun,
mereka ambil dari nama Nabi Muhammad SAW, yang memiliki dua nama yaitu
Muhammad (nama sifat keagungan) dan Ahmad (nama sifat keindahannya). 25
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah kedua Jemaat Ahmadiyah
menjelaskan istilah jemaat bukan merujuk pada sebutan jumlah massa, melainkan
lebih ditekankan pada tujuan bersama.
23
Lihat tulisan R.Ahmad Anwar. Pohon Ahmadiyah Tumbuh di Persada Indonesia. Dalam Souvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994. Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 39.
24
Enam Rukun Iman itu adalah Iman kepada Allah, Iman Kepada Malaikat Allah, Iman pada Kitab Allah, Iman kepada Rasul Allah, Iman kepada Hari Akhirat, dan Iman kepada Qadha dan Qadar. Sedangkan 5 Rukun Islam itu adalah Mengucapkan 2 kalimat syahadat, Menunaikan Shalat, Melaksanakan Puasa, Mengeluarkan zakat, dan Menunaikan haji bagi yang mampu.
25
Mahmud Ahmad mengatakan ribuan dan jutaan individu tak dapat disebut satu
jemaat, melainkan jemaat itu dikatakan kepada individu-individu yang berkumpul
dan bersatu-padu untuk bertekad bekerja dan melaksanakan satu program
bersama.
Hal ini juga tercermin dalam Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia saat
menjawab pertanyaan Komisi VIII DPR RI.26 Menurut JAI, organisasi-organisasi
Islam di India dan Pakistan menggunakan kata jemaat. Atas hal tersebut, maka
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga menggunakan kata tersebut yang diserap
dari bahasa Urdu yang berarti organisasi atau perkumpulan. Kata jemaat juga
telah terdaftar secara resmi sebagai nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam
badan hukum. Untuk mengubahnya perlu proses panjang.
Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai organisasi kerohanian,
bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Mereka
mengaku bersifat keagamaan dan semata-mata hendak mewujudkan persatuan di
kalangan umat Islam. “Ahmadiyah tidak menginginkan kerajaan atau adanya
ambisi dalam pemerintahan. Singkatnya, Ahmadiyah tidak memiliki tujuan
politik. Jemaat Ahmadiyah memiliki hasrat untuk memperbaiki kehidupan agama
orang-orang Islam serta mengkonsolidasikan mereka sehingga dapat bersatu padu
untuk dapat mengkonfrontir musuh-musuh Islam dengan senjata akhlak dan
kerohanian”, tulis Mahmud Ahmad.27
26
Op.cit. hal 10. Saat itu, Hasyim Wahab (FPDIP) mengusulkan agar nama “Jemaat” sebaiknya diganti dengan “Jamaah” atau “Jam’iyah” sesuai asalnya dari Arab, karena Jemaat bahasa Indonesia lebih sering digunakan istilahnya oleh orang Kristen Indonesia. Dalam Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
27
Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa
loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang
berkuasa (Ulil Amri)di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Kelompok ini juga mengenal istilah Bai’at untuk masuk ke dalam Jemaat
Ahmadiyah. Sebagian syarat-syaratnya antara lain: Tiap-tiap orang yang hendak
bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah harus berjanji dengan ikhlas hatinya
bahwa dia akan berjanji menjauhi syirik sampai meninggal dunia; akan menjauhi
diri dari zina, berdusta, memandang wanita yang bukan muhrim, menjauhi segala
macam kedurhakaan dan kemaksiatan, penganiayan dan pengkhianatan; tidak
akan membiarkan dirinya dikalahkan oleh dorongan-dorongan hawa nafsunya,
betapapun kuat dan hebatnya. Jemaat Ahmadiyah juga tidak akan menyakiti
seorangpun daripada makhluk Allah pada umumnya, dan kaum muslimin pada
khususnya, baik dengan tangannya maupun dengan lidahnya, ataupun dengan
jalan lain. Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih
Mau’ud a.s) semata-mata karena mencari mencari keridhaan Allah Taala.28
Sepeninggal ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis artikel yang
dimuat di surat kabar. Tak cuma artikel di surat kabar, ketika lawan-lawannya
semakin gencar menyerang Islam, ia mulai menulis buku tentang kebenaran
agama Islam. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Menurut klaim
Ahmadiyah, bagian pertama buku itu saja, berupa seruan dan pengumuman,
mampu mengguncangkan dan menggemparkan seluruh negeri.
28
Berkat buku itu, ia diakui sebagai seorang yang cakap. Lebih dari itu, Ghulam
Ahmad dianggap sebagai seorang mujaddid, sang pembaharu.29
Pada tahun-tahun berikutnya dakwah yang dilakukan Ghulam Ahmad
adalah untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam beragama.
Ketika menyaksikan banyak kepercayaan ditumpahkan ke pundaknya oleh umat,
yakinlah dia bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan sebagai orang yang dipilih
oleh Allah, sebagai Al-Masih yang dijanjikan untuk menegakkan kembali
keagungan Islam.
Mulailah bermunculan kontroversi yang tiada henti sampai kini. Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad dari Dusun Qadian, India ini mengumandangkan
pengakuan sebagai Imam Mahdi dan Masih Yang dijanjikan atas perintah Tuhan.
Selain itu, dalam versi Ghulam Ahmad, Nabi Isa AS telah wafat sekaligus dia
menunjukkan makamnya di Kashmir, dan oleh karena itu tidak akan turun lagi ke
dunia. Pendakwaan mengenai dirinya mulai diumumkan melalui selebaran dan
dinyatakan secara eksplisit melalui karya Ghulam Ahmad yaitu Fateh islam,
Tauzih Maram, dan Izalah Auham yang terbit pada 1890-1891.
Sejak itu sebagian orang yang semula membelanya mulai menolak.
Namun, sebagian tetap mengikuti bahkan menjadi pengikut setia. Ajarannya
waktu itu berpusat di Qadian dan di situ mulailah dibangun Sekolah Dasar.
Ghulam Ahmad kemudian mencanangkan dakwah Islam ke Eropa melalui
majalah The Review of Religions. Lewat media ini, pembaca bisa memahami
pembahasan ajaran agama dan melihat keunggulan Islam.
29