• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir di Desa Bahoi Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir di Desa Bahoi Sulawesi Utara"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI DASAR

PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN PESISIR DI DESA

BAHOI SULAWESI UTARA

MUHAMMAD FAHRUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Muhammad Fahruddin

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD FAHRUDDIN. Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara.Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium. Fungsi ekosistem lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang.

Laju produksi ekosistem lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun selang waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan dengan satuan berat kering per m² per hari (gbk/m²/hari). Bila dikonversi ke produksi karbon maka produksi biomassa lamun berkisar antara 500-1000 gC/m²/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat. Produksi yang didapatkan bisa lebih kecil dari produksi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanan.

Lamun juga merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikan-ikan dan krustasea muda. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Desa Bahoi diperkirakan mempengaruhi ekosistem lamun, seperti kegiatan pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, pembuatan kapal, pencemaran minyak, pembuangan sampah, aliran drainase, MCK (mandi, cuci, kakus) dan aktivitas penangkapan langsung di daerah lamun seperti menjaring dan menombak akan berdampaka pada lamun. Kegiatan seperti ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan lamun, sehingga pertumbuhan, produksi ataupun biomassanya akan mengalami penyusutan.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisa struktur komunitas dan produktifitas lamun serta menganalisis proses gangguan produktifitas lamun dan strategi pengelolaannya.

Metode yang digunakan adalah dengan pengambilan contoh purpose sampling berdasarkan pendekatan habitat mangrove, lamun, dan habitat terumbu karang. Stasiun 1 (dekat mangrove), stasiun 2 (lamun), dan stasiun 3 (dekat terumbu karang) yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh sembilan kuadran yang berukuran 150x50 cm.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan enam jenis lamun yaitu E. acoroides, T. hemprichii, C. rotundata, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis. Struktur komunitas lamun pada stasiun dekat mangrove memiliki nilai tertinggi dan produktifitas dalam hal ini biomassa tertinggi terdapat pada stasiun 2 habitat lamun dengan jenis yang berukuran besar seperti E. acoroides dan T. hemprichii memiliki nilai tertinggi pada seluruh parameter pengamatan. Hal ini karena jenis lamun ini memiliki penyebaran yang luas dan secara morfologi memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan jenis lainnya.

(5)

pemanfaatan lamun berbasis masyarakat akan memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman dan pendapatan masyarakat serta mengurangi resiko kerusakan ekosistem lamun dan ekosistem pesisir lainnya.

(6)

SUMMARY

MUHAMMAD FAHRUDDIN. A Study on Seagrass Ecosystem Ecology as a Basis of Preparation of Strategy for Coastal Management in Bahoi Village, North Sulawesi. Supervised: FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI.

Seagrass ecosystem is the primary producer in the marine food chain and its primary productivity ranges between 900-4650 gC/m2/year. Growth, morphology, abundance and primary productivity of Seagrass in the waters are generally determined by the availability of nutrients such as phosphate, nitrate and ammonium. The function of Seagrass ecosystem indeed complements mangrove and coral reef ecosystems.

Production rate of Seagrass ecosystem is defined as the increased in Seagrass biomass at specified interval with production rate (productivity), which is often expressed in units of dry weight per m² per day (gbk/m²/day). If it is converted to carbon production, then the Seagrass biomass production shall be ranged between 500-1000 gC/m²/year and even it could be doubled. The production obtained can be smaller than the actual production because the loss of litter and the effect of grazing by herbivorous animals consuming seagrass as food are not taken into account. Seagrass is also the foundation for an ecosystem and as a primary producer, where the habitat is often used as a place supporting the lives of fish and young crustaceans.

The development activities in the coastal areas at BahoiVillage are assumed to affect Seagrass ecosystem, such as the development activities of coastal area, marine traffic, shipbuilding, oil pollution, waste disposal, drainage, sanitary facilities (a facility for bathing, washing, as well as serving as a lavatory) and direct fishing activities in the Seagrass area such as catching and piking will affect Seagrass. This kind of activity shall affect the lives of Seagrass either directly or indirectly, so that the growth, production or biomass will experience shrinkage.

The aims of this study are to analyze the community structure and productivity of Seagrass and analyze the process of Seagrass productivity disturbances as well as its management strategy.

The method used in collecting the sample was purposive sampling based on approach to mangrove, Seagrass and coral reef habitats. Station 1 (near to the mangrove), station 2 (Seagrass), and station 3 (near to coral reefs) are respectively repeated 3 times, in order to obtain the nine quadrants measuring 150x50 cm.

The results showed that there were six species of Seagrass, such as E. acoroides, T.hemprichii, C.rotundata, S.isoetifolium, H. ovalis and H.uninervis. Structure of Seagrass community in the station, which was near to mangrove had the highest score while in this case of productivity, the highest biomass was in station 2 of Seagrass habitat with large species such as E. acoroides and T.

hemprichii. They have the highest value in the whole observation parameter. It is because that these seagrass species has wide distribution and morphologically they have larger size than other species.

(7)

understanding and incomes as well as reduce the risk of damage to Seagrass ecosystem and other coastal ecosystems.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

KAJIAN EKOLOGI EKOSISTEM LAMUN SEBAGAI DASAR

PENYUSUNAN STRATEGI PENGELOLAAN PESISIR DI DESA

BAHOI SULAWESI UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhannahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Kajian Ekologi Ekosistem Lamun sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengelolaan Pesisir Di Desa Bahoi Sulawesi Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc dan Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah Iskandar Bckn., S. Sos., MM, Ibu Sry Suhada Abdullah Qisman Amry, S.Pd, Kakak Fahri Rahman, Adik Muhammad Aditya Warman dan Anita Prihatini Ilyas S.Pi., M.Si, atas segala doa, motivasi dan kasih sayangnya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh rekan-rekan SDP 12 yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu di Laboratorium Produktivitas Lingkungan MSP FPIK IPB, Laboratorium Pakan Ikan BDP FPIK IPB, Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, PT. Water Laboratory Nusantara (WLN) Manado Sulawesi Utara, Pemberdayaan & Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA), Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB, dan Bapak Maxi Lahading dan Opi yang telah membantu di lapangan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 METODE 5 Waktu dan Lokasi 6

Alat dan Bahan 6

Prosedur Penelitian 7

Analisis Data 10

Analisis SWOT 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 6 KESIMPULAN DAN SARAN 35 Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 43

RIWAYAT HIDUP 53

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan yang digunakan dalam mengukur parameter fisika,

kimia dan biologi perairam 6

2 Estimasi/penilaian tutupan lamun 9

3 Kriteria status penutupan lamun 9

4 Faktor strategi internal 11

5 Faktor strategi eksternal 12

6 Diagram matriks SWOT 12

7 Nilai rata-rata parameter kualitas air 13

8 Inkdeks Nilai Penting 23

9 Rata-rata kandungan nutrien dan tekstur substrat 26

10 Matriks pengelolaan ekosistem lamun 30

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Skema pendekatan masalah 5

2 Peta lokasi penelitian 6

3 Kerapatan jenis (A) dan kerapatan relatif (B) 17

4 Frekuensi jenis(A) dan frekuensi relatif (B) 20

5 Penutupan jenis (A) dan penutupan relatif (B) 22

6 Biomassa 24

DAFTAR LAMPIRAN

1. Rata-rata kerapatan jenis lamun antar stasiun 42 2. Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan jenis lamun antar stasiun 42 3. Uji lanjut Duncan kerapatan jenis lamun antar stasiun 42 4. Rata-rata kerapatan relatif lamun antar stasiun 43 5. Analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan relatif antar stasiun 43 6. Uji lanjut Duncan kerapatan relatif lamun antar stasiun 43 7. Rata-rata frekuensi jenis lamun antar stasiun 44 8. Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi jenis lamun antar stasiun 44 9. Uji lanjut Duncan frekuensi jenis lamun antar stasiun 45 10. Rata-rata Frekuensi Relatif lamun antar stasiun 45

11. Analisis sidik ragam (ANOVA) frekuensi relatif lamun antar stasiun 45

12. Uji lanjut Duncan frekuensi relatif lamun antar stasiun 46

13. Rata-rata tutupan jenis lamun antar stasiun 46

14. Analisis sidik ragam (ANOVA) tutupan jenis lamun antar stasiun 46

15. Uji lanjut Duncan tutupan jenis lamun antar stasiun 47

16. Rata-rata tutupan relatif lamun antar stasiun 47

17. Analisis sidik ragam (ANOVA) tutupan relatif lamun antar stasiun 48

18. Uji lanjut Duncan tutupan relatif lamun antar stasiun 48

19. Rata-rata Biomassa jenis lamun antar stasiun 49

20. Analisis sidik ragam (ANOVA) Biomassa lamun antar stasiun 49

21. Uji lanjut Duncan biomassa lamun antar stasiun 49

22. Analisis sidik ragam (ANOVA) substrat antar stasiun 50

23. Uji lanjut Duncan substrat antar stasiun 50

24. Tingkat kepentingan faktor strategi internal dalam pengelolaan kawasan ekosistem lamun 50

25. Tingkat kepentingan faktor eksternal dalam pengelolaan kawasan ekosistem lamun 51

26. Penilaian bobot faktor strategi internal dalam pengelolaan ekosistem lamun 51

27. Penilaian bobot faktor strategi eksternal dalam pengelolaan ekosistem lamun 51

28. Matrik IFE 51

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizome, daun dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery dan

spawning ground, sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrien (Philips & Menez 2008), dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan(carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe 2009). Habitat lamun merupakan komponen penting pada lingkungan perairan laut, seperti siklus nutrisi, penyediaan makanan, dan penanggulangan perubahan iklim (Orth et al. 2006; Waycott et al. 2009). Menurut Kusnadi et al. (2008), lamun merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting, baik secara fisik maupun biologis. Selain sebagai stabilisator sedimen dan penahan endapan, ekosistem lamun berperan sebagai produsen utama dalam jaring-jaring makanan.

Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium (Green & Short 2003). Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan lamun di dunia telah mengalami degradasi 54 % (Bjork et al. 2008). Fungsi ekosistem lamun sebenarnya melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang. Lamun juga merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan sebagai produsen primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang mendukung kehidupan ikan-ikan dan krustasea muda (Hori et al. 2009; Watson et al. 1993; Benstead et al.

2006). Lamun melindungi organisme-organisme tersebut dari para predator (Barbier et al. 2011).

Selain sebagai produsen primer dan habitat biota, lamun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai penangkap sedimen dan pendaur zat hara (Azkab 1999). Memiliki peran kunci membuat lamun dapat berfungsi sebagai indikator yang baik bagi sebuah lingkungan perairan (Paynter et al. 2001; Vichkovitten 1998 ). Selanjutnya ditambahkan Bjork et al. (2008) selain memiliki peranan ekologis, lamun juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu digunakan sejak lama sebagai pengisi kasur, penutup atap rumah dan pupuk tanaman, beberapa spesies lamun benihnya dapat dimakan oleh manusia.

(16)

2

lamun selang waktu tertentu dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan dengan satuan berat kering per m² per hari (gbk/m²/hari). Bila dikonversi ke produksi karbon maka produksi biomassa lamun berkisar antara 500-1000 gC/m²/tahun bahkan dapat lebih dua kali lipat. Produksi yang didapatkan bisa lebih kecil dari produksi yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh hewan-hewan herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanan (Azkab 2000).

Produktivitas lamun dibatasi terutama oleh ketersediaan hara dan cahaya (Peterson dan Heck 1999; Ruiz dan Romero 2003), ditambahkan dalam (McKenzie, 2008) bahwa lamun membutuhkan 4,4-20% cahaya permukaan serta suhu < 40oC. Newmaster et al. (2011) menyatakan bahwa lamun menyukai substrat berlumpur, berpasir, tanah liat, ataupun substrat dengan patahan karang serta pada celah-celah batu. Tumbuh subur di bawah kondisi cahaya yang baik dan substrat yang stabil (Gartside et al. 2013; Bjork et al. 2008; McKenzie 2008; Holmer dan Kendrick 2012), namun tidak dapat hidup pada daerah dengan paparan gelombang yang tinggi dan arus yangkuat karena akan terjadi transportasi sedimen yang berlebihan sehingga dapat mengubur lamun (Koch et al. 2006). Penyebarannya sendiri dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik seperti yang diungkapkan dalam Borum

et al. (2004), dan pola distribusinya dapat berubah dengan cepat, hal ini terkait dengan respon lamun terhadap perubahan lingkungan (Bjork et al. 2008) terutama oleh variasi rendaman dan cahaya yang melalui kolom air (Mateo et al. 2006).

Suatu yang sangat ironis jika diperhatikan fungsi lamun yang begitu penting tetapi di sisi lain perhatian terhadap ekosistem ini sangat kurang . Jika melihat dua hal mendasar, 1) sebaran dan luasan ekosistem lamun di Indonesia; serta 2) tingkat kerusakan ekosistem lamun di Indonesia. Jawaban yang didapatkan adalah sebaran secara kualitatif, tetapi luasan tidak pernah didapatkan. Adapun jawaban yang kedua jangan harap akan ada penjelasan untuk skop nasional. Pertumbuhan dan kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut, turbiditas, salinitas dan temperatur perairan. Kegiatan manusia di wilayah pesisir seperti perikanan, pembangunan perumahan, pelabuhan dan rekreasi, baik langsung maupun tidak langsung juga dapat mempengaruhi eksistensi lamun. Oleh karena itu segala bentuk perubahan di wilayah pesisir akibat aktivitas manusia yang tidak terkontrol dapat menimbulkan gangguan fungsi sistem ekologi ekosistem lamun. Fenomena ini akan berpengaruh terhadap hilangnya unsur lingkungan seperti daerah pemijahan,

nurseryground bagi ikan maupun udang.

(17)

3 menjadi isu yang penting untuk dipikirkan bersama, seperti kegiatan transplantasi lamun pada suatu habitat yang telah rusak dan penanaman lamun buatan untuk menjaga kestabilan dan mempertahankan produktivitas perairan.

Perumusan Masalah

Ekosisitem lamun merupakan ekosistem perairan pantai yang banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang dilakukan di darat maupun di laut seperti yang terjadi di perairan Desa Bahoi Minahasa Utara. Daerah ekosistem lamun di Desa Bahoi Minahasa Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Tangkapan utama para nelayan ini berupa ikan lencam (Lethrinidae), baronang (Siganidae), dan kakatua (Lebridae).

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tradisional, saat ini terjadi penurunan kelimpahan dan ukuran ikan. Penurunan kelimpahan dan ukuran ini diduga terjadi akibat adanya degradasi lingkungan, khususnya lamun. Degradasi lamun diakibatkan oleh ancaman yang berasal dari pengaruh alami dan aktivitas manusia. Ancaman yang terlihat jelas dan mendominasi degradasi lamun di perairan Desa Bahoi berasal dari pengaruh antropogenik. Ancaman tersebut meliputi pembangunan daerah pantai, lalu lintas kapal/perahu, perbaikan kapal/perahu, pembuangan sampah rumah tangga, aliran (drainase) limbah domestik, dan MCK (mandi,cuci, kakus).

Ancaman-ancaman yang telah disebutkan diatas akan berdampak terhadap lamun. Dampak tersebut memberikan kerusakan fisik lamun oleh jangkar, baling-baling dan pencemaran oleh minyak, cat, dempul dan bahan kimia lainnya yang digunakan dapat mencemari lingkungan. Tertutupnya lamun oleh sampah mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh lamun. Meningkatnya kadar nutrien akan mengakibatkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh lamun untuk fotosintesis. MCK juga dapat meningkatkan bahan organik serta bahan polutan yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun.

Selain itu perairan pantai Desa Bahoi banyak dimanfaatkan sebagai wilayah pemukiman, industri dan perikanan yang semua buangan dari berbagai aktivitas tersebut masuk ke dalam ekosistem lamun. Aktivitas manusia yang berlangsung secara terus menerus dan kesadaran pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem lamun dan juga akan berpengaruh terhadap struktur komunitas dan pertumbuhan.

Struktur komunitas dan produktivitas lamun banyak dipengaruhi oleh seluruh aktivitas yang berlangsung disekitarnya. Aktivitas tersebut ada yang berdampak positif dan negatif bagi komunitas lamun. Dampak positifnya adalah lamun memperoleh kebutuhan hara dalam bentuk fosfat dan nitrat yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhannya maupun perkembangbiakannya akan tetapi di lain pihak material yang diterimanya akan berdampak merugikan dan menjadi penghalang dalam pertumbuhan maupun perkembangbiakannya.

(18)

4

yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Selain itu kecepatan arus sangat berpengaruh terhadap substrat dasar perairan akan semakin kasar biasanya terdiri dari pasir dan pecahan karang sedangkan apabila arusnya lambat substrat dasar perairan kebanyakan terdiri dari lumpur dan pasir halus yang diduga banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun.

Tingginya aktivitas yang terjadi di kawasan ini dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan ekosistem lamun seperti yang telah terjadi di Banten dan mengganggu fungsi fisik dan ekologis lamun. Oleh karena itu, pengelolaan ekosistem lamun di kawasan pesisir yang merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar dapat meminimalkan dampak negatif terhadap kerusakan sumberdaya ekosistem lamun sehingga lingkungan ekosistem lamun dikawasan pesisir tetap lestari. Selain itu juga diperlukan usaha peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat pengguna dan pemanfaat ekosistem lamun. Skema pendekatan masalah dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis struktur komunitas dan produktivitas lamun.

2. Menganalisis proses gangguan ekologi lamun dan upaya pengelolaannya. Manfaat Penelitian

1. Menghasilkan data tentang struktur komunitas dan kondisi oseanografi perairan yang dapat membatasi produktivitas lamun maupun peranan lamun. 2. Mengetahui produktivitas lamun dalam hubungannya dengan parameter

lingkungan melalui pendugaan biomassa lamun.

(19)

5

Gambar 1. Skema pendekatan masalah

2

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah berupa percobaan langsung di lapangan, dengan menggunakan teknik pengambilan contoh secara Purposive sampling. Tahapan penelitian dilakukan dengan persiapan penelitian meliputi survey lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan stasiun penelitian, pengambilan sampel lamun dan substrat serta beberapa parameter pendukung berupa data kualitas air. Data yang diperoleh berupa kerapatan, frekuensi, penutupan, biomassa, fraksi substrat dan unsur hara substrat.

Karakteristik Lamun

•Pelindung pantai

•Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan

•Daerah tangkapan ikan •Bahan kerajinan dan obat

Anthropogenic stress

•Lalu lintas kapal/perahu yang berdampak pada kerusakan fisik lamun oleh jangkar, baling-baling, pencemaran perairan oleh tumpahan minyak

•Pembuangan sampah rumah tangga akan berdampak pada tertutupnya lamun oleh sampah mengurangi intensitas cahaya yang akan diterima lamun

•Aliran (drainase) limbah domestik akan meningkatkan kadar nutrien dan kekeruhan mengakibatkan berkurangnya cahaya yang diterima oleh lamun untuk fotosintesis •MCK (mandi, cuci dan kakus) dapat meningkatkan bahan

organik serta bahan polutan yang dapat mengganggu pertumbuhan lamun.

•Sumber utama produktivitas primer •Penstabil dasar perairan

•Tempat berlindung bagi biota

•Tempat perkembangbiakan, pengasuhan serta sumber makanan bagi biota

Pemanfaatan Perikanan :

• Banyak jenis ikan bernilai ekonomis penting hidup di lingkungan lamun Wisata :

• Memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak • Pembangunan rumah terapung

• Pembangunan lahan pemancingan Konservasi :

• Melindungi habitat krisis

• Mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya ekosistem lamun • Melindungi keanekaragaman hayati ekosistem lamun

• Melindungi struktur dan fungsi serta proses-proses ekologi ekosistem lamun

(20)

6

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015 di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 2), Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ikan BDP, FPIK, IPB, Laboratorium Ilmu Tanah, FP, IPB dan PT. Water Laboratory Nusantara (WLN), Manado, Sulawesi Utara. Perlakuan dan pengambilan contoh langsung dilakukan di lapangan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur parameter fisika, kimia dan biologi perairan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam mengukur parameter fisika, kimia dan biologi perairan.

Parameter Satuan Alat Keterangan

Fisika

Suhu oC Termometer In Situ

kedalaman cm Meteran Roll In Situ

Salinitas ppm Hand Refractometer In Situ

Kekeruhan NTU Turbidimeter Lab.

Kimia

Oksigen terlarut mg/l DO Meter In Situ

pH - pH Meter In Situ

(21)

7

Fosfat mg/l Spektrofotometer Lab

Biologi

Kerapatan Individu/m² Kuadran In Situ

Frekuensi % Kuadran In Situ

Penutupan % Kuadran In Situ

Biomassa gram Timbangan, oven Lab.

Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan pengambilan sampel hal yang perlu dilakukan adalah penentuan stasiun pengamatan. Dalam Penelitian ini jumlah stasiun telah ditetapkan sebanyak tiga stasiun. Jarak dan letak stasiun ditentukan berdasarkan pendekatan habitat mangrove, lamun dan terumbu karang (coral). Stasiun 1 (dekat mangrove), stasiun 2 (habitat lamun), stasiun 3 (dekat terumbu karang). Setiap stasiun memiliki masing-masing tiga ulangan yang merupakan stasiun pengamatan dengan jarak yang berbeda-beda, sehingga dalam penelitian ini terdapat sembilan transek kuadran yang berukuran 150x50 cm.

Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dengan cara pengukuran langsung di lapangan (In Situ) dan pengambilan sampel untuk dianalisis di laboratorium. Parameter yang diukur secara langsung di lapangan meliputi suhu, kedalaman, salinitas, pH dan oksigen terlarut. Sedangkan sampel air yang tidak dapat diukur langsung di lapangan meliputi nitrat, fosfat dan kekeruhan, dimasukkan kedalam “coolbox” yang berisi es dengan tujuan agar sampel air tidak rusak dalam perjalanan untuk dianalisis di laboratorium.

Kerapatan Jenis

Kerapatan jenis (Ki) lamun adalah jumlah total individu dalam satu unit area (English et al. 1994). Kerapatan jenis lamun dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

Ki =NiA

Keterangan :

Ki = Kerapatan jenis (ind/m²)

Ni = Jumlah total tegakan individu spesies ke-i A = Luas area total pengambilan sampel Kerapatan Relatif

(22)

8

KRi =Σn xNi

Keterangan :

KRi = Kerapatan jenis relatif

Ni = Jumlah total tegakan individu spesies ke-i

Σn = Jumlah total tegakan seluruh spesies

Frekuensi Jenis

Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun dalam area atau petak yang diamati. Frekuensi jenis dapat menggambarkan seberapa sering suatu jenis lamun muncul pada area tertentu (Brower et al. 1988). Frekuensi jenis dirumuskan sebagai berikut :

Fi =��

Pi

� �=1

Keterangan :

Fi = Frekuensi spesies ke-i

Pi = Jumlah petak contoh dimana ditemukan spesies ke-i

∑� Pi

�=1 = Jumlah total petak contoh yang diamati Frekuensi Relatif

Frekuensi relatif (FRi) merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i (Fi) dengan frekuensi seluruh jenis (Brower et al. 1988). Frekuensi relatif dapat dirumuskan sebagai berikut :

FRi =FiFi

�=1 �

Keterangan :

FRi = Frekuensi relatif Fi = Frekuensi spesies ke-i

∑��=1Fi = Jumlah frekuensi seluruh spesies Penutupan Jenis (Persentase Tutupan)

Analisa persentase tutupan lamun menggunakan metode Rapid Assesment. Menurut English et al. 1994, untuk menentukan persentase tutupan (Ci) pada setiap 50 x 50 cm kuadran adalah menggunakan rumus sebagai berikut :

(23)

9 Keterangan :

Mi = Mid Point (titik tengah)

fi = Frekuensi kemunculan spesies ke-i

Σf = Jumlah total frekuensi kemunculan seluruh spesies Tabel 2 Etimasi/penilaian tutupan lamun

Class Jumlah substratum yang ditutupi

% substratum yang ditutupi

Titik tengah (Mi)

5 ½ - seluruh 50 – 100 75

4 ¼ - ½ 25 – 50 37,5

3 1/8 – ¼ 12,5 – 25 18,75

2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 9,38

1 < 1/16 < 6,25 3,13

0 Tidak ada lamun 0 0

Kemudian kondisi ekosistem lamun di daerah pengamatan ditentukan statusnya menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004, dengan kriteria seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria status penutupan lamun

Kondisi Penutupan (%)

Baik Kaya/Sehat > 60 %

Sedang Kurang Kaya/Kurang Sehat 30 % - 59,9 %

Rusak Miskin < 29,9 %

Penutupan Relatif

Persentase penutupan relatif (CRi) merupakan perbandingan antara penutupan individu jenis ke-i dengan jumlah penutupan seluruh jenis seperti yang dirumuskan oleh Mc Kenzie et al. 2009 sebagai berikut :

CRi =�CiCi �=1 x100 Keterangan :

CRi = Penutupan relatif

Ci = Luas area yang tertutupi spesies ke-i

∑��=1Ci = Penutupan seluruh spesies Indeks Nilai Penting

(24)

10

tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah (Brower et al. 1988).

INP = KRi + FRi + CRi Keterangan:

KRi = Kerapatan relatif FRi = Frekuensi relatif CRi = Penutupan relatif

Biomassa Lamun

Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2) (Zieman & Wetzel 1980). Biomassa lamun menggunakan rumus sebagai berikut :

B =WA

Keterangan :

B = Biomassa lamun (berat dalam gram/m2) W = Berat kering (gram)

A = Luas area dalam m2 Analisis Substrat Dasar

Substrat dasar diambil dengan menggunakan pipa paralon dengan diameter tiga inci dari tiga lokasi dalam setiap stasiun, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik untuk dianalisis di laboratorium. Substrat dibagi dalam tujuh fraksi (pasir kasar sekali, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus, pasir halus sekali, debu dan liat). Penentuan setiap fraksi tersebut menggunakan metode pipet dan gravitasi. Pada penentuan tipe substrat ke tujuh fraksi tersebut digabung menjadi tiga fraksi (pasir, debu dan liat) dan dikelompokkan dalam segitiga Millar (Brower & Zar 1977). Penentuan konsentrasi nitrat, fosfat dan C-organik sedimen adalah dengan mengambil sedimen sampai kedalaman 30 cm dengan corer pada seluruh stasiun pengamatan, kemudian dimasukkan kedalam plastik sampel untuk dibawa ke laboratorium. Selama pengangkutan dari lapangan ke laboratorium dimasukkan ke dalam coolbox yang di dalamnya berisi es, yang kemudian dibawa ke laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB untuk dianalisis.

Analisis Data

(25)

11 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan internal (Rangkuti 2005).

Hal pertama yang dilakukan dalam menentukan matriks SWOT adalah mengetahui faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS) (Rangkuti 2005). Penentuan berbagai faktor, bobot setiap faktor dan tingkat kepentingan setiap faktor didapatkan dari hasil wawancara dengan orang-orang yang berkompeten dibidangnya dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Hal ini dilakukan agar sifat obyektif dari analisis ini dapat diminimalkan.

a. Cara pertama penentuan faktor strategi Internal (Tabel 4):

1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan yang menjadi bagian dari pengelolaan.

2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00.

3. Menghitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem lamun di pesisir Bahoi (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting).

4. Mengalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasil dari perkalian ini

akan berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor. Tabel 4 Faktor strategi internal

No Faktor-faktor strategi Bobot Rating Skor 1 Kekuatan

2 Kelemahan

b. Cara penentuan faktor strategi eksternal (Tabel 5):

1. Menentukan faktor yang menjadi peluang serta ancaman dari kegiatan pengelolaan

2. Memberi bobot masing-masing faktor tersebut sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00

3. Menghitung rating (kolom 3) untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem lamun di pesisir Bahoi (nilai : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting).

(26)

12

Tabel 5 Faktor strategi eksternal

No Faktor-faktor strategi Bobot Rating Skor 1 Peluang

2 Ancaman

c. Pembuatan matriks SWOT

Matriks IFAS dan EFAS digunakan untuk memperoleh beberapa alternatif strategi. Matriks ini memungkinkan empat kemungkinan strategi.

Tabel 6 Diagram matriks SWOT IFAS

Tentukan faktor ancaman eksternal

IFAS : Internal Strategic Factor Analysis EFAS : External Strategic Factor Summary Analysis Summary

d. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi

Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem lamun. jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Air

(27)

13 memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya (Tomascick et al. 1997). Kondisi perairan di suatu ekosistem meliputi suhu, kedalaman, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), kekeruhan, nitrat, dan fosfat. Kualitas perairan di pesisir Desa Bahoi secara umum disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai rata-rata parameter kualitas air

Parameter Satuan Stasiun

1 2 3

Sumber Data Primer 2015

Hasil pengukuran suhu pada keseluruhan stasiun pengamatan berkisar antara 28-30 °C dengan rata-rata 28,8-29,8 °C. Berdasarkan data Tabel 7 rata-rata suhu pada stasiun 1 adalah 28,8 °C, stasiun 2 29,8 °C, dan stasiun 3 29 °C. Hal ini disebabkan oleh rentang waktu dalam pengambilan sampel yang dekat pada tiap stasiun yaiu pada pukul 11.00-13.00 WITA. Kondisi suhu pada perairan pesisir Desa Bahoi ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lee et al. (2007) dimana, pada daerah tropis dan sub tropis lamun mampu tumbuh optimal pada kisaran suhu 23 °C dan 32 °C. Menurut Kadi (2006), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah 28-30 °C, dimana suhu dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu proses fotosintesis, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fotosintesis ini akan menurun dengan tajam apabila suhu berada di luar kisaran optimal. Pada suhu 38 °C dapat menyebabkan lamun menjadi stres dan pada suhu 48 °C dapat menyebabkan kematian Mckenzie (2008). Collier & Waycott (2014) menambahkan bahwa suhu 43 °C akan menyebabkan kematian masal lamun setelah dua hingga tiga hari, sehingga dengan kenaikan suhu yang ekstrim akan mempengaruhi fungsi ekologis lamun pada daerah tropis.

(28)

14

kedalaman 30 cm, stasiun 2 42 cm, dan stasiun 3 60 cm. Berdasarkan hasil penelitian Saputra (2007), bahwa pantai yang landai memiliki hubungan yang erat dengan adanya sebaran sedimen. Pantai yang landai dapat menyebabkan proses pengendapan semakin tinggi dengan proses sedimentasi yang cepat, sedangkan tingkat pengendapan yang besar dapat mengakibatkan pantai menjadi landai. Kedalaman di perairan juga sangat mempengaruhi keberadaan lamun, semakin dalam suatu perairan maka kemampuan lamun untuk melakukan proses fotosintesis juga akan terhambat. Dahuri (2001) menambahkan distribusi lamun terbatas pada kedalaman yang tidak lebih dari 10 m dikarenakan lamun membutuhkan intensitas cahaya yang cukup bagi proses fotosintesis di perairan.

Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam pada air tawar secara definisi, kurang dari 0,5 ppt. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau. Lebih dari 30 ppt, merupakan air laut Romimohtarto & Juwana (2007). Nilai salinitas akan berbeda-beda pada setiap jenis perairan, untuk perairan pesisir nilai salinitas sangat dipengaruhi masukan air tawar. Salinitas perairan berpengaruh terhadap lamun secara langsung seperti yang dilaporkan Hartati et al. (2012) salinitas berpengaruh terhadap kerapatan dan biomassa lamun. Ditambahkan dalam Touchette (2007) kerapatan dan biomassa lamun berhubungan dengan produktivitas primer yang berlangsung, hal ini terkait dengan penyerapan nutrisi yang sangat dipengaruhi salinitas. Lamun memiliki toleransi yang tinggi terhadap fluktuasi salinitas, lamun masih dapat ditemukan pada perairan dengan salinitas 10-40 ppm. Kisaran salinitas yang optimal untuk kehidupan lamun antara 24 hingga 35 ppm. Berdasarkan data kualitas air pada tabel 7 nilai salinitas pada seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 38-40 ppm dengan kisaran rata-rata 38,7-40 ppm, dimana pada stasiun 1 nilai salinitas 39,3 ppm, stasiun 2 38,7 ppm, dan stasiun 3 40 ppm. Pesisir Desa Bahoi menunjukkan bahwa nilai salinitas pada perairan ini masih sesuai untuk kehidupan lamun, namun perairan pesisir Desa Bahoi nilai salinitas ini tidak termasuk dalam kriteria untuk pertumbuhan lamun yang optimal. Seperti yang dikemukakan oleh Supriharyono (2009) bahwa salinitas yang optimal secara umum untuk pertumbuhan lamun adalah berkisar antara 25-35 ppm. Nilai salinitas yang tinggi pada perairan pesisir Desa Bahoi disebabkan oleh tidak adanya sungai, sehingga masukan air dari darat pada perairan ini hanya tergantung curah hujan.

(29)

15 memiliki produktifitas yang sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan perairan yang tidak produktif lagi. Ditambahkan Effendi (2003) kondisi perairan dengan nilai pH tertentu akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi pada perairan tersebut, yaitu proses biokimia dan toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh nilai pH.

Oksigen terlarut (DO) merupakan kandungan oksigen dalam bentuk terlarut didalam air. Keberadaan DO sangat penting di perairan karena semua biota air (kecuali mamalia) tidak mampu mengambil oksigen udara. Diffusi oksigen dari udara ke dalam air melalui permukaannya, yang terjadi karena adanya gerakan molekul-molekul udara yang tidak berurutan karena terjadi benturan dengan molekul air sehingga O2 terikat di dalam air. Hasil pengukuran DO pada penelitian

ini berkisar antara 7,9-8,8 mg/l dengan rata-rata seluruh stasiun 8,4-8,6 mg/l, yaitu pada stasiun 1 8,4 mg/l, stasiun 2 8,5 mg/l, dan stasiun 3 8,6 mg/l (Tabel 7). Konsentrasi DO yang terukur pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, masih memenuhi kriteria konsentrasi DO yang dapat menunjang kehidupan biota laut yaitu lebih dari 5 mg/l. Kebutuhan organisme terhadap oksigen terlarut relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kadar oksigen terlarut di permukaan memang umumnya lebih tinggi karena adanya proses difusi antara air dan udara bebas serta adanya proses fotosintesis (Salmin 2005). Effendi (2003) menjelaskan bahwa kadar DO dalam perairan alami sangat bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air serta tekanan atmosfer. Perubahan kadar DO dalam suatu perairan dapat berdampak negatif bagi beberapa biota yang tidak memiliki kemampuan dalam merespon perubahan dengan cepat. Penurunan kadar DO dapat menghambat proses fotosintesis yang kemudian akan menurunkan produktivitas primer lamun.

(30)

16

lamun dari pasir dan bongkahan karang mati juga menyebabkan adanya kekeruhan di perairan.

Nitrat merupakan suatu unsur penting dalam sintesa protein tumbuhan, namun pada badan perairan yang memiliki nitrat yang berlebih akan menyebabkan kurangnya oksigen terlarut di perairan dan menyebabkan banyak organisme yang mati (Agawin & Duarte 2002). Kandungan nitrat dalam penelitian ini menunjukkan kisaran 0,005-0,01 mg/l dengan rata-rata pada setiap stasiun yaitu, stasiun 1 0,005 mg/l, stasiun 2 0,007 mg/l, dan stasiun 3 0,005 mg/l. Perairan pesisir Desa Bahoi memiliki kadar nitrat yang sesuai untuk kehidupan lamun. Herkul & Kotta (2009) menjelaskan bahwa kadar nitrat yang melebihi dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif. Sedangkan menurut Baron et al. (2006) kadar nitrat yang melebihi 0,02 mg/l dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara cepat (blooming). Barus (2002) menyatakan bahwa senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amonia dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat.

Secara keseluruhan kadar fosfat di perairan Desa Bahoi berkisar antara 0,005 mg/l dengan rata-rata 0,005 mg/l, sesuai dengan kadar fosfat yang dijumpai di perairan laut yang normal umumnya. Kadar fosfat di perairan laut yang normal berkisar antara 0,00031-0,124 mg/l (Edward & Tarigan 2003). Kadar fosfat di perairan ini masih berada di batasan konsentrasi yang dipersyaratkan Disebutkan bahwa baku mutu konsentrasi fosfat yang layak untuk kehidupan biota laut dalam keputusan Menteri Lingkungan Hidup, KLH (2004) adalah 0,015 mg/l. Sumber fosfor di perairan dan sedimen adalah deposit fosfor, industri, limbah domestik, aktivitas pertanian, pertambangan batuan fosfat, dan penggundulan hutan (Ruttenberg 2004). Fosfat di perairan secara alami berasal dari pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik. Sedimen merupakan tempat penyimpanan utama fosfor dalam siklus yang terjadi di lautan. Umumnya dalam bentuk partikulat yang berikatan dengan oksida besi dan senyawa hidroksida. Senyawa fosfor yang terikat di sedimen dapat mengalami dekomposisi dengan bantuan bakteri maupun melalui proses abiotik menghasilkan senyawa fosfat terlarut yang dapat mengalami difusi kembali ke dalam kolom air (Paytan & Mc Laughlin 2007).

Struktur Komunitas Lamun

1. Kerapatan Jenis Lamun

(31)

17 melalukan aktivitas reproduksi. Dengan kondisi lingkungan yang baik, maka lamun memiliki kesempatan dalam memperbanyak diri yang pada akhirnya memberikan pengaruh pada kerapatannya. Rata-rata kerapatan jenis dan kerapatan relatif lamun disajikan pada Gambar 3.

A B

Gambar 3 Kerapatan jenis (A) dan kerapatan relatif (B)

Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan enam jenis lamun yang terdapat di pesisir Desa bahoi meliputi Enhalus acoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Keenam jenis lamun ditemukan hampir pada seluruh stasiun pengamatan. Jenis lamun yang berasosiasi dengan pada kuadran pengamatan mencapai empat hingga enam jenis yang merupakan jumlah yang banyak, mengingat terdapat 13 jenis dari jenis lamun yang terdapat diseluruh dunia terdapat di Indonesia. Kondisi ini mencerminkan bahwa perairan pesisir Desa Bahoi memenuhi persyaratan hidup lamun sehingga beberapa jenis lamun dari berukuran besar sampai berukuran kecil dapat hidup dengan baik. Pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan kerapatan yang berbeda-beda. Kerapatan yang berbeda pada tiap stasiun pengamatan tidak berarti menggambarkan perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) kerapatan jenis lamun antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05) (Lampiran 2), namun kerapatan jenis masing-masing stasiun memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Perbedaan kerapatan jenis lamun pada tiap stasiun pengamatan menggambarkan sebaran yang bervariasi, hal ini disebabkan oleh karakteristik kondisi lingkungan yang mewakili habitat mangrove, habitat lamun dan habitat terumbu karang. Meskipun lamun diketahui memiliki kemampuan beradaptasi dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, namun lamun tetap memiliki syarat hidup terhadap lingkungan.

Karakteristik lingkungan pada stasiun 1 yang berdekatan dengan habitat mangrove, tentu memiliki karakteristik yang berbeda pula dengan kondisi lingkungan pada stasiun 2 dan 3 yang merupakan habitat lamun dan habitat yang berdekatan dengan terumbu karang. Karakteristik lingkungan pada habitat mangrove cenderung lebih terlindung dan relatif lebih tenang, hal ini terkait mangrove yang dalam meredam gelombang dan arus. Sehingga lamun sebagai vegetasi yang hidup pada pesisir dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada

0

E. acoroides T. hemprichii C. rotundata S. isoetifolium H. ovalis H. uninervis

0

(32)

18

stasiun 1 ditemukan enam jenis lamun, jenis lamun kerapatan tertinggi pada stasiun ini adalah jenis E. acoroides mencapai 319 ind/m2, diikuti oleh jenis T. hemprichii

239 ind/m2, H. ovalis 173 ind/m2, C. rotundata 117 ind/m2, S. isoetifolium 103 ind/m2, dan H. uninervis yang memiliki kerapatan jenis paling rendah 4 ind/m2.

Kerapatan relatif lamun merupakan perbandingan antara jumlah individu jenis lamun dengan jumlah total individu seluruh jenis lamun. Hasil perhitungan kerapatan relatif jenis lamun di seluruh stasiun dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai rata-rata kerapatan relatif lamun tertinggi didapatkan oleh jenis E. acoroides dengan nilai 31 %, diikuti oleh jenis T. hemprichii pada stasiun 2 dan 3 dengan nilai masing-masing 38 % dan 36 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah ditunjukkan oleh jenis H. uninervis. Tingginya kerapatan relatif jenis E. acoroides pada stasiun 1 dan jenis T. Hemprichii pada stasiun 2 dan 3 sejalan dengan nilai rata-rata kerapatan jenis lamun ini yang tinggi. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) rata-rata kerapatan relatif tiap stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05) (Lampiran 5), namun memberikan perbedaan pada masing-masing jenis lamun (Lampiran 6).Menurunnya nilai kerapatan pada stasiun 2 dan 3 dikarenakan mulai berkurangnya komposisi jenis lamun, yang mana pada stasiun ini hanya ditemukan lima jenis lamun. Berkurangnya jenis lamun disebabkan oleh karakteristik dari lamun itu sendiri serta karakteristik dari lingkungan pada stasiun ini, seperti jenis lamun C. rotundata yang yang hanya ditemukan pada stasiun 1 yang berdekatan dengan habitat mangrove dan tidak ditemukan di stasiun 2 dan 3. Hal ini dikarenakan jenis lamun ini memiliki daun yang pipih dan panjang dan jika terkena gelombang akan mudah terbawa oleh arus. Seperti yang di jelaskan oleh Bengen (2001), bahwa C. rotundata umumnya di jumpai pada daerah intertidal dekat hutan mangrove. Berbeda halnya pada jenis H. uninervis yang pada stasiun ini memiliki kerapatan jenis yang tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, karena jenis lamun ini membentuk padang lamun jenis tunggal dan hidup pada rataan terumbu karang yang rusak (Bengen 2001). Selain itu pengaruh langsung dari masyarakat pesisir Desa Bahoi yang melakukan kegiatan di daerah lamun dan dekat terumbu karang yang melakukan kegiatan penangkapan secara tidak langsung lamun terinjak-injak dan pengaruh oleh jangkar kapal yang ditancapkan dan aktivitas lalu lintas perahu yang mana baling-balingnya dapat mencabut lamun. Kelebihan nutrisi atau sedimen adalah penyebab yang paling umum dari penurunan ekosistem lamun. Peningkatan nutrisi dapat menyebabkan pertumbuhan ganggang dan epifit. Epifit adalah tumbuhan yang tumbuh di permukaan tanaman dan jika keberadaannya terlalu banyak, tanaman tersebut menutupi permukaan perairan dan mencegah cahaya mencapai lamun. Pengaruh langsung dari organisme lain (bulu babi) juga telah menyebabkan kerugian dalam skala yang cukup besar serta kerusakan mekanis langsung dari aktivitas manusia yang menginjak-injak lamun dan membuang jangkar.

(33)

19 berada pada stasiun 2 diikuti oleh stasiun 3 dan terendah stasiun 1. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diketahui masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan rata-rata jumlah tegakan setiap jenis lamun bervariasi. Anggraini (2008) menjelaskan jenis lamun ini biasanya paling banyak ditemukan dan berasosiasi dengan jenis lainnya, biasanya tumbuh baik sampai kedalaman 25 m dan umumnya tumbuh pada substrat berpasir. Lamun T. hemprichii memiliki jumlah yang cukup berlimpah dan sering dominan pada padang lamun campuran. Lamun ini tumbuh pada substrat pasir berlumpur yang berbeda atau pasir medium kasar atau pecahan koral kasar (Dahuri 2003). Takaendengan & Azkab (2010) menambahkan bahwa dua jenis lamun yang berukuran besar yaitu T. hemprichii

dan E. acoroides hampir merata pada seluruh lokasi penelitian di Kepulauan Talise yang berdekatan dengan Desa Bahoi, Sulawesi Utara. Selain lamun yang berukuran besar, jenis lamun yang berukuran kecil pada panelitian ini tersebar merata pada seluruh stasiun pengamatan, hal ini di tambahkan oleh Nontji (1987), hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai substrat yang berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang khas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan mangrove dan terumbu karang. Lamun terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 50 atau 60 m. Namun mereka tampak sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah tropik. Semua tipe substrat dihuni oleh lamun ini, mulai dari lumpur encer sampai batu-batuan, tetapi daerah yang paling luas dijumpai pada substrat yang lunak. Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horizontal, maka boleh dikatakan ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Dengan letak yang berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun tidak terisolisasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem (Nybaken 1992). Setiap daerah akan memiliki variasi komposisi yang beragam serta jumlah jenis yang beragam, semakin banyak jenis lamun yang dapat ditemukan maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan bahkan lingkungan sekitar dalam kondisi yang baik oleh karena dapat menunjang kehidupan dan keberadaan banyak jenis lamun, mengingat juga bahwa lamun dapat digunakan sebagai bioindikator sebuah perairan.

2. Frekuensi Jenis Lamun

(34)

rata-20

rata frekuensi jenis lamun E. acoroides, T. Hemprichii, S. isoetifolium, H. ovalis,

dan H. uninervis antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05), namun kerapatan jenis lamun C. rotundata memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) (Lampiran 9). Tingginya frekuensi jenis lamun yang berukuran besar pada seluruh stasiun pengamatan ini sesuai dengan pendapat Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa lamun jenis ini mempunyai kecepatan pertumbuhan dan kemampuan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Pada stasiun 1 E. acoroides memiliki nilai frekuensi tertinggi diikuti oleh jenis T. hemprichii, H. ovalis, C. rotundata dan S. isoetifolium, dan H. uninervis, hal ini berarti E. acoroides dan T. hemprichii hampir ditemukan pada semua stasiun pengamatan.

A B

Gambar 4 Frekuensi jenis (A) dan frekuensi relatif (B)

Rata-rata nilai frekuensi jenis pada stasiun 2 dan 3 berbeda jenis lamun yang ditemui dengan stasiun 1, dimana hanya ditemukan lima jenis lamun yaitu dengan rata-rata tertinggi T. hemprichii 0,12 %, disusul oleh jenis E. acoroides dan S. isoetifolium dengan frekuensi yang sama 0,11 %, dan jenis lamun dengan frekuensi jenis terendah H. uninervis 0,01 %, sedangkan jenis lamun H. uninervis tidak ditemukan di daerah ini terkait dengan jenis lamun ini yang bersiafat pionir dan sering dijumpai didekat habitat rataan terumbu karang yang rusak. Hal ini sesuai dengan Mcroy & Mcmillan (1997), Zieman & Netzel (1980) yang mengatakan bahwa kedalaman, jenis sedimen, arus, suhu, dan salinitas merupakan parameter yang berpengaruh dalam pertumbuhan lamun di suatu perairan. Cahaya dan zat hara juga merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun. Menurut Wimbaningrum (2003), karena faktor lingkungan yang dibutuhkan oleh jenis E. acoroides dan T. hemprichii memiliki kesamaan maka pola sebaran kedua jenis ini selalu bersamaan dalam suatu daerah. Kedua jenis ini dapat tumbuh pada substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir berlumpur, pasir dan karang, hidup di perairan dangkal dan sedang, kecerahan 100 % (kiswara 2004).

Frekuensi relatif merupakan perbandingan antara frekuensi jenis ke-i dengan frekuensi seluruh jenis (Gambar 4). Berdasarkan hasil pengamatan mengenai 0.00

E. acoroides T. hemprichii C. rotundata S. isoetifolium H. ovalis H. uninervis

0

(35)

21 frekuensi relatif dalam penelitian ini menunjukkan perbandingan antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya berbeda-beda, hampir memperlihatkan hasil yang sama dengan frekuensi jenis. Pada stasiun 1 yang merupakan daerah yang dekat dengan mangrove, lamun yang berukuran lebih besar seperti E. acoroides memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 31 %, diikuti oleh jenis T. hemprichii 25 %, H. ovalis

20 %, C. rotundata dan S. Isoetifolium 11 % dan jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi terendah adalah H. uninervis 2 %. Stasiun 2 merupakan daerah habitat lamun memperlihatkan nilai yang berbeda, dimana keberadaan lamun pada stasiun ini mulai berkurang sama halnya dengan stasiun 3 karena hanya ditemukan lima jenis lamun, yaitu jenis T. hemprichii yang memiliki rata-rata tertingi 31 %, diikuti oleh jenis E. acoroides 26 %, S. isoetifolium 25 %, H. ovalis 14 %, dan jenis dengan frekuensi terendah adalah H. uninervis 4 %. Sedangkan stasiun 3 merupakan daerah yang berdekatan dengan terumbu karang dimana karakteristik habitatnya berbeda dengan stasiun 1 dan 2, nilai frekuensi relatif pada stasiun ini memperlihatkan bahwa masih didominasi oleh T. hemprichii dan E. acoroides yang diikuti oleh jenis lamun yang berukuran kecil yaitu H. ovalis, S. isoetifolium, dan H. uninervis. Hanya terdapat lima jenis lamun pada stasiun ini disebabkan oleh perbedaan jenis substrat yang mana terdiri dari pecahan-pecahan karang, sehingga hanya jenis jenis tertentu yang mampu bertahan yang diantaranya adalah lima jenis lamun yang telah disebutkan sebelumnya. Jenis lamun yang tidak terdapat pada stasiun ini adalah jenis lamun C. rotundata yang mana dalam keseluruhan stasiun pengamatan merupakan jenis lamun yang memiliki nilai frekuensi terendah. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 11) menunjukkan bahwa nilai rata-rata frekuensi relatif jenis lamun E. acoroides, T. Hemprichii, S. isoetifolium, H. ovalis dan H. uninervis antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05), namun kerapatan relatif jenis C. rotundata memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) (Lampiran 12).

3. Penutupan Jenis Lamun

Penutupan jenis lamun seperti yang ditampilkan pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa tutupan jenis lamun perairan pesisir Desa Bahoi didominasi oleh lamun yang berukuran besar yaitu E. acoroides stasiun 1 yang memiliki nilai rata-rata tutupan tertinggi dengan nilai 74 %, kemudian disusul oleh jenis T. hemprichii 65 %, dan jenis lamun yang memiliki tutupan terendah adalah jenis H. uninervis 8 %. Stasiun 2 jenis lamun yang memiliki tutupan tertinggi jenis T. hemprichii 74 %, disusul oleh jenis E. acoroides dengan tutupan mencapai 65 %, dan tutupan terendah ditunjukkan oleh jenis H. uninervis 8 %. Sedangkan stasiun 3 rata-rata tertinggi ditunjukan T. hemprichii 74 % dan terendah adalah H. uninervis

16 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 14) menunjukan bahwa penutupan jenis lamun antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0.05), namun rata-rata tutupan jenis lamun antar stasiun memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) (lampiran 15). Tingginya nilai penutupan lamun E. acoroides

(36)

22

A B

Gambar 5 Penutupan jenis (A) dan penutupan relatif (B)

Rata-rata penutupan relatif jenis lamun di setiap stasiun memiliki persentase yang berbeda-beda berkisar antara 0-74 %. Nilai penutupan relatif tertinggi pada seluruh stasiun pengamatan didominasi oleh jenis lamun yang berukuran besar yaitu E. acoroides dan T. hemprichii. Sedangkan nilai penutupan relatif terendah adalah jenis H. uninervis. Tingginya nilai tutupan relatif sejalan dengan tingginya nilai tutupan jenis lamun tersebut, jenis E. acoroides dan T. hemprichii memiliki nilai tutupan yang tinggi, karena memiliki ukuran daun yang lebih besar, jika dibandingkan dengan empat jenis lamun lainnya. Sedangkan jenis lamun yang berukuran lebih kecil, relatif akan memiliki nilai persentase penutupan yang lebih kecil pula. Secara keseluruhan rata-rata nilai penutupan relatif pada setiap stasiun adalah sebagai berikut. Stasiun 1 E. acoroides memiliki nilai tutupan sebesar 26 %, disusul oleh jenis T. hemprichii 24 %, H. ovalis 21 %, S. isoetifolium 14 %, C. rotundata 13 %, dan yang terendah H. uninervis 3 %. Stasiun 2 yang merupakan daerah lamun dan hanya terdapat lima jenis lamun yaitu T. hemprichii 29 %, disusul oleh jenis E. acoroides 26 %, S. isoetifolium 25 % kemudian jenis H. ovalis 17 % dan H. uninervis 3 % yang merupakan jenis terendah pada stasiun ini. Stasiun 3 yang merupakan daerah dekat dengan terumbu karang nilai penutupan relatif mulai berubah sama seperti stasiun 2, dimana pada stasiun ini hanya lima jenis lamun yang ditemukan, akan tetapi masih didominasi oleh jenis lamun yang berukuran besar yaitu jenis T. hemprichii dengan nilai rata-rata tutupan yang tertinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya yang mencapai 31 %, diikuti oleh jenis lamun E. acoroides 28 %, H. ovalis 18 %, S. isoetifolium 14 %, dan H. uninervis

dengan persentase terendah 8 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 17) menunjukkan bahwa rata-rata penutupan relatif jenis lamun antar stasiun tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05), akan tetapi rata-rata penutupan relatif antar jenis lamun memberikan perbedaan yang nyata (p<0,05) (Lampiran 18). Lamun jenis lainnya seperti H. uninervis, merupakan spesies lamun yang bersifat pionir yang tumbuh di perairan yang sangat dangkal dengan substrat pecahan karang, karena jenis ini bersifat pionir maka dalam proses perkembangan substrat dasar tentunya akan ikut tergeser oleh jenis lainnya. Menurut Waycott et al. (2004),

0

E. acoroides T. hemprichii C. rotundata S. isoetifolium H. ovalis H. uninervis

0

(37)

23 bahwa jenis lamun pionir umumnya memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan cepat sehingga dapat menstabilkan substrat.

Penutupan lamun berhubungan erat dengan habitat atau bentuk morfologi dan ukuran suatu spesies lamun. Kerapatan yang tinggi dan kondisi pasang surut saat pengamatan juga dapat mempengaruhi nilai estimasi penutupan lamun. Satu individu E. acoroides dan T. hemprichii akan memiliki nilai penutupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan satu individu H. uninervis karena ukuran daun E. acoroides yang jauh lebih besar. Sedangkan individu lamun yang berukuran lebih kecil seperti Halophila minor akan memiliki nilai persentase penutupan yang lebih kecil pula (Short & Coles 2003). Berdasarkan Gambar 5, total penutupan jenis lamun di seluruh stasiun pengamatan di perairan pesisir Desa Bahoi dikategorikan dalam kondisi baik dengan persen penutupan sehat/kaya (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004).

Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Indeks nilai penting lamun antar stasiun pengamatan di perairan Desa Bahoi disajikan pada tabel 8.

Tabel 8 Indeks Nilai Penting Jenis Lamun

Indeks Nilai Penting (%) Stasiun

1 2 3

E. acoroides* 87 81 77

T. hemprichii* 78 98 103

C. rotundata 35 0 0

S. isoetifolium 33 73 43

H. ovalis 61 38 47

H. uninervis 6 10 25

Total 300 300 295

Keterangan: * jenis lamun dominan

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa lamun jenis E. acoroides memiliki INP tertinggi pada stasiun 1 dekat habitat mangrove 87 % dan T. hemprichii

memiliki INP tertinggi pada stasiun 2 habitat lamun dan stasiun 3 dekat terumbu karang 97 dan 102 %. Hal ini berarti secara ekologis, jenis lamun E. acoroides dan

(38)

24

Lamun yang diamati di perairan Desa Bahoi tumbuh secara bergerombol baik jenis yang sama maupun dengan jenis yang berbeda. Pada pengamatan didapatkan air yang ditumbuhi lamun hangat, ini bisa dikarenakan pencahayaan oleh matahari yang menyebabkan air tersebut hangat. Lamun tumbuh pada daerah yang memiliki pencahayaan matahari yang baik pada siang hari (Syari 2005). Tempat tumbuh lamun yang diamati pada setiap stasiun berbeda-beda, tempat tumbuh meliputi substrat berlumpur, pasir berlumpur, dan substrat kasar. Setiap tempat tumbuh memiliki jenis lamun ataupun biota asosiasi yang berbeda-beda. Pada jenis lamun Thallasia sp. didapatkan lamun jenis ini tumbuh pada setiap tempat tumbuh.

Biomassa Lamun

Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2). Biomassa yang dihitung dalam penelitian ini merupakan biomassa kering baik yang berada di permukaan yaitu daun dan tangkai maupun yang di bawah yaitu rhizom dan akar. Hasil perhitungan pada Gambar 6, bahwa rata-rata biomassa tertinggi pada seluruh stasiun pengamatan didominasi oleh jenis lamun E. acoroides dengan nilai rata-rata biomassa tertinggi berada pada stasiun 1 75,7, diikuti oleh stasiun 2 68,9 dan 58,6 gbk/m2 pada stasiun 3.

Gambar 6 Biomassa

Selain E. acoroides jenis lain yang memiliki nilai biomassa yang tinggi adalah T. hemprichii yang mana memiliki nilai tertinggi pada stasiun 2 sebesar 45,7 gbk/m2. sedangkan jenis lamun yang memiliki nilai terendah adalah jenis H.

uninervis 1,4 gbk/m² pada stasiun 3. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 20) rata-rata biomassa antar stasiun tidak membrikan perbedaan yang nyata (p>0,05), namun pada Lampiran 21 rata-rata biomassa lamun E. acoroides

(39)

25 namun rata-rata biomassa lamun jenis T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis dan H. uninervis tidak memberikan perbedaan yang nyata (p>0,05).

Tingginya biomassa jenis E. acoroides dan T. hemprichii dikarenakan jenis ini merupakan jenis lamun yang berukuran besar dan selain itu jenis lamun ini memiliki penyebaran yang luas. Walau kekayaan jenis lamun di daerah tropis tinggi, namun biasanya terdapat satu jenis yang dominan dalam hubungannya dengan biomassa (Hemminga & Duarte 2000), karena hal ini berkaitan dengan morfologi dan laju pertumbuhan yang berbeda di antara jenis lamun (Vermaat et al. 1995). Beberapa hal yang menjadikan E. acoroides berperan nyata antara lain secara morfologi jenis lamun E. acoroides berukuran lebih besar dibandingkan jenis lamun yang lain sehingga dapat mengakumulasi karbon lebih banyak pada jaringan tubuhnya. Simpanan karbon di bawah substrat E. acoroides yang tinggi disebabkan oleh ukuran rhizoma dan akar yang besar, disamping penetrasi akar yang bisa mencapai 40 cm. Enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun yang paling melimpah di perairan Indonesia dan mempunyai ukuran morfologi yang besar. Lamun jenis Enhalus acoroides merupakan spesies yang umum tumbuh di substrat lumpur. Jenis Enhalus acoroides dapat tumbuh menjadi padang yang monospesifik ataupun seringkali tumbuh bersama dengan jenis lamun Thalassia hemprichii. Sebaran vertikal jenis Enhalus acoroides dapat tumbuh mencapai kedalaman 25 m. Enhalus acoroides

merupakan naungan yang penting bagi ikan ikan muda (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008). Kelebihan yang dimiliki oleh Enhalus acoroides yaitu dalam pertumbuhannya terbilang lebih cepat dibandingkan jenis lamun yang lainnya. Selain itu keistimewaan secara ekonomis adalah buah Enhalus acoroides dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (BTNKpS 2007). Salah satu fungsi tingginya penyimpanan biomassa di bawah substrat adalah memperkuat penancapan lamun (Supriadi & Arifin 2005). Menurut Laffoley & Grimsditch (2009), jenis lamun yang secara morfologi berukuran besar cenderung mengembangkan biomassa yang tinggi di bawah substrat, dan karena itu mempunyai kapasitas untuk mengakumulasi karbon yang lebih tinggi. Selain itu karbon di bawah substrat merupakan tempat menyimpan hasil fotosintesis yang akan mendukung pertumbuhan lamun jika proses fotosintesis tidak berjalan secara optimal (Alcoverro et al. 2001). Sedangkan lamun yang berukuran kecil dalam penelitian ini memiliki rata-rata biomassa yang rendah diakibatkan oleh arus pasang surut yang kuat yang menyebabkan lamun sulit menancapkan akarnya pada dasar perairan sehingga kurang berkembang biak dengan baik. Ombak yang kuat juga membuat vegetasi lamun tersebut dapat tercabut dari substratnya.

Subtsrat

Gambar

Gambar 1. Skema pendekatan masalah
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Tabel 2 Etimasi/penilaian tutupan lamun
Tabel 4 Faktor strategi internal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Neoplasma rongga mulut merupakan keganasan yang jarang ditemukan di negara Barat, namun cukup banyak ditemukan di Asia.. Di USA, angka insidensinya berkisar antara 3-4%

Sektor, Kemenkeu dan K/L Cetak dan Upload Surat Pengantar dan Rekapitulasi Usulan Konfirmasi Hasil Penilaian Usulan Kegiatan DAK oleh Daerah Pengusul Exercise Pagu Indikatif Per

Suatu titik itu visible dengan pointcode jika nilai l, r, t dan b adalah nol, artinya jika salah satu nilai dari l, r, t dan b tidak sama degan nol maka dapat diketahui bahwa titik

Rata-rata karyawan memiliki skor dimensi Big Five Personality (extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience) yang berada pada kategori

yaitu tingkat fixed tangible assets, tingkat profitabilitas, tingkat pertumbuhan perusahaan (growth), dan ukuran perusahaan (size) terhadap struktur hutang, baik hutang jangka

Apabila tidak ada nama, dipilih nama kampung yang dianggap populer(terkenal), serta mempunyai aksesibilitas (sekolah dan fasilitas umum) terhadap mobilitas antarpermukiman.

Gambar 11 : Subordinate Pass Proses 2 Semua tahap tersebut dari melakukan level dekomposisi DWT untuk transformasi citranya yang berguna menampilkan nilai citra

Menanggapi berbagai orientasi ideologis gerakan-gerakan Islam yang muncul, Muhammad Abduh (dalam Gibb: 1978:33) memperjuangkan pemurnian Islam dengan empat rumusan,