• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Karyawan Dalam Pelaksanaan Cara Produksi Pangan Yang Baik (Cppb) Di Industri Mie Basah Kota Medan Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Karyawan Dalam Pelaksanaan Cara Produksi Pangan Yang Baik (Cppb) Di Industri Mie Basah Kota Medan Tahun 2008"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN KARYAWAN DALAM PELAKSANAAN CARA PRODUKSI

PANGAN YANG BAIK (CPPB) DI INDUSTRI MIE BASAH KOTA MEDAN TAHUN 2008

TESIS

Oleh

YANTI AGUSTINI 067031011/MKLI

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Hal-hal yang menjadi permasalahan keamanan pangan di Indonesia diantaranya adalah rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan. Khususnya pada industri rumah tangga pangan yaitu dengan ditemukannya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan (penggunaan bahan tambahan yang dilarang, cemaran kimia berbahaya, cemaran mikrobiologi yang patogen, masa kadaluarsa), serta perlunya penerapan CPPB dalam industri produk pangan termasuk mie basah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan karyawan dalam pelaksanaan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) pada IRT mie basah di kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian survai bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan Cross Sectional study. Jumlah responden sebanyak 60 orang dari dua industri mie basah di kota Medan. Analisis data yang digunakan adalah analisa univariat, bivariat dengan memakai uji

chi-square pada tingkat kepercayaan = 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan (P = 0,046) , mengikuti penyuluhan (P = 0,003), masa kerja (P = 0,003), pengetahuan (P = 0,001), sikap (P = 0,01), motivasi (P = 0,000), dan sarana informasi (P = 0,001) terhadap tindakan karyawan, sedangkan variabel kebijakan perusahaan dan fasilitas perusahaan tidak dapat diuji secara statistik karena data terdistribusi normal.

Perlu peningkatan kerjasama antara pihak industri, karyawan dan pemerintah dalam rangka pelaksanaan CPPB di industri mie basah, dengan tujuan melindungi masyarakat dari produk pangan yang dapat membahayakan kesehatan.

(3)

ABSTRACT

Food safety is a condition and an attempt needed to avoid the food from the possibility of being polluted by biological, chemical and other substances that can disturb, inflict loss and endanger human health. The problem of food safety in Indonesia include low level of education, skill and responsibility of the food producers on food quality and safety, especially in food home industry proven by the finding of the food product which does not meet the quality and safety requirements (using the illegal additional material, dangerous chemical pollution, patogenic microbiological pollution, expired time), as well as the need to apply good FMP (Food Manufacturing Practice) in food product industry including wet noodles (mie basah) in the city of Medan.

The purpose of this descriptive analytical study with cross sectional design is to analyze the factors related to the action of the employees in the implementation of good FMP (Food Manufacturing Practice) in the 2 (two) home industries producing wet noodles (mie basah). The data obtained were analyzed by means of univariate and bivariate analysis through Chi-square test at the level of confidence = 0,05.

The result of this study shows that there is a significant relationship between employees’ education (p = 0,046), attending extension (p = 0,003), length of service (p = 0,003), knowledge (p = 0,001), attitude (p = 0,01), motivation (p = 0,000), and information facility (p = 0,001) and the action of employees. The variables of company’s policy and company’s facility could not statistically tested because the data were normally distributed.

Thus, the improvement of cooperation between the industry management, the employees and the government in the implementation of good FMP (Food Manufacturing Practice) in wet noodle industry is needed to protect the consumers or community from the health risking food product.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wata’ala atas rahmat dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul : Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Karyawan Dalam Pelaksanaan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB) Di Industri Mie Basah Kota Medan Tahun 2008.

Proses penulisan tesis ini dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan maupun Doa dari berbagai pihak. Dalam Kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Chairun Nisa B, MSc, Direktur Pasca Sarjana Universutas Sumatera Utara.

2. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, Ketua Program Studi Magister Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Ketua Komisi Pembanding yang banyak memberikan bimbingan, masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Dr.Drs.R. Kintoko Rochadi, MKM., Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan dukungan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ir. Indra Chahaya S, MSi., Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, masukan dan dukungan yang diberikan untuk menyelesaikan tesis ini.

(5)

sekaligus sebagai dosen pembanding tesis atas bimbingan, masukan dan dukungan yang diberikan dalam penyempurnaan penulisan

6. Suami tercinta Ir. Erwin Batubara dan ketiga putra-putri permata hati M. Farrel Farakhan, M. Daffa Iuliano, dan Keiza Kamilah Deandra, karena telah menjadi motivator utama penulis untuk menyelesaikan kuliah

7. Ayahanda Alm. H.Syahmiden Harahap dan Ibunda tercinta Hj. S. Maryam HSB, serta kakak, abang dan adik atas segala kasih sayang, dukungan dan cinta yang tidak berkesudahan yang telah diberikan.

8. Ibu Mertua dan keluarga besar Batubara atas dukungan yang diberikan

9. Rekan-rekan Mahasiswa Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri angkatan perdana 2006 khususnya Sahat TH Marpaung S.Si.,Apt, Butet Benny Manurung S.Si., Apt. dan Meirinda ST.

10.Pejabat struktural di lingkungan Balai Besar POM di Medan atas izin dan dukungan yang telah diberikan, serta rekan-rekan keluarga besar Balai Besar POM di Medan atas dukungannya selama penulis menyelesaikan kuliah.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritikan, saran dan masukan dari berbagai pihak demi perbaikan penulisan tesis ini.

Atas perhatian yang telah diberikan penulis mengucapkan terimakasih. Medan, Agustus 2008

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Yanti Agustini

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/ Tanggal Lahir : Penyabungan, 26 Agustus 1969

Agama : Islam

Alamat : Jalan Silangge No. 73 Kejaksaan Medan

Telp : 061-77660869

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri 03 Penyabungan : 1976-1982 2. SMP Negeri 01 Penyabungan : 1982-1985

3. SMA Negeri Penyabunagn : 1985-1988

4. Fakultas MIPA Jurusan Farmasi (S-1)

Universitas Sumatera Utara : 1989-1996 5. Program Profesi Pendidikan Apoteker

Universitas Sumatera Utara : 1996-1997 6. Program Magister Manajemen Kesehatan

Lingkungan Industri Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara : 2006-2008

RIWAYAT PEKERJAAN

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 4

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.4.Hipotesis ... 4

1.5.Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Keamanan Pangan ... 6

2.2. Good Manufacturing Practices (GMP) ... 8

2.2.1. Sanitasi ... 13

2.2.2. Higiene Personalia ... 14

2.2.3. Sanitasi Peralatan dan ruangan ... 14

2.3. Sistem Jaminan Mutu Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP ... 15

2.4. Keamanan Pangan Mie Basah ... 22

2.5. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Keamanan Pangan ... 25

2.5.1. Pengetahuan ... 26

2.5.2. Sikap ... 27

2.5.3. Tindakan ... 28

2.5.4. Perilaku Keamanan Pangan ... 29

2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 34

BAB III. METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Jenis Penelitian ... 35

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3. Populasi dan Sampel ... 35

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

3.5. Defenisi Operasional ... 36

3.6. Aspek Pengukuran ... 38

(8)

3.8. Analisa Data ... 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN... 46

4.1. Dekripsi Lokasi Penelitian ... 46

4.2. Distribusi Karakteristik Responden ... 47

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan dan Motivasi Tentang Penerapan CPPB di Industri Mie Basah ... 49

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kesediaan Fasilitas dan Sarana Informasi untuk mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah ... 51

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Penerapan CPPB di Industri Mie Basah ... 52

4.6. Hubungan Karakteristik Responden dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah ... 53

4.7. Hubungan Kebijakan dan Motivasi dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah ... 58

4.8. Hubungan Fasilitas dan Ketersediaan sarana Informasi dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah... 60

BAB V. PEMBAHASAN ... 62

5.1. Distribusi Responden ... 62

5.2. Hubungan Karakteristik Responden dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah ... 65

5.3. Hubungan Kebijakan dan Motivasi dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah ... 72

5.4. Hubungan Fasilitas dan Ketersediaan Sarana Informasi dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah... 75

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

6.1. Kesimpulan ... 78

6.2. Saran ... 78

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Bahaya-bahaya yang terdapat pada pangan ... 17

2.2. Identifikasi Bahaya dan Cara Pencegahan pada Mie Basah ... 18

2.3. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 ...23

2.4. Jenis bahan, dosis dan fungsi obat mie ...24

3.1. Defenisi Operasional Penelitian...38

4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan di IRT Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ...48

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan tentang Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008... ...50

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi untuk Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ...50

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ...51

4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Informasi untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008...52

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ... 53

(10)

4.8. Hubungan Mengikuti Penyuluhan dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan

pada Tahun 2008 ...54 4.9. Hubungan Masa Kerja dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB

di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ...55 4.10. Hubungan Pengetahuan Karyawan dengan Tindakan

Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan

pada Tahun 2008 ... 56 4.11. Hubungan Sikap Karyawan dengan Tindakan Pelaksanaan

CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun

2008... 57 4.12. Hubungan Kebijakan dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di

Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun

2008... 58 4.13. Hubungan Motivasi dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di

Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ...59 4.14. Hubungan fasilitas dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di

Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008 ...60 4.15. Hubungan Sarana Informasi dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Program dan Pengawasan Keamanan Pangan ...8

2. Proses pembuatan Mie Basah dan Titik-titik Kritis ... 19

3. Komponen Health Belief Model dan Keterkaitannya ...32

4. Teori Tindakan Beralasan ...33

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia Sehat 2010 yang telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan, mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.(Notoatmodjo, 2005)

Pola hidup rakyat Indonesia telah mengalami perubahan cukup besar, yakni mereka lebih banyak menggunakan waktu di luar rumah, sehingga menuntut jenis bahan makanan yang praktis dalam penyiapan dan penyajian (Haezah, 1993 dan Budianto dkk, 1998). Konsumsi makanan jadi lebih meningkat terutama yang berasal dari tepung terigu seperti mie, roti, dan kue kering. Miskelly (1998) menyatakan di Indonesia 60 – 70 % tepung terigu dikonsumsi dalam bentuk produk mie, berupa mie basah, mie kering dan mie instant. Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mie digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Mie dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mie baso, mie goreng, soto mie, mie ayam, dan lain sebagainya.

(14)

ditemukannya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan (penggunaan bahan tambahan yang dilarang, cemaran kimia berbahaya, cemaran patogen, masa kadaluarsa). Pangan yang aman untuk dikonsumsi adalah pangan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia misalnya bahan yang dapat menimbulkan penyakit atau keracunan.

Industri Rumah Tangga (disingkat IRT) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Pimpinan dan karyawan IRT harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman. Pemilik/penanggung jawab harus sudah pernah mengikuti penyuluhan tentang Cara Produksi pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT).

Pemilik/penanggung jawab tersebut harus menerapkannya serta mengajarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada karyawan yang lain. Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI, maka industri mie basah dikategorikan kepada Industri Rumah Tangga (IRT). (SK Kepala Badan POM RI., 2003)

(15)

dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus dari CPPB adalah memberikan prinsip-prinsip dasar dalam memproduksi pangan yang baik dan mengarahkan IRT agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi yang baik seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, pengendalian hama, higiene karyawan, pengendalian proses dan pengawasan.

Penerapan CPPB akan menjamin keamanan pangan secara efektif dan rasional. Untuk menerapkan CPPB di IRT, selama ini dilakukan penyuluhan untuk mendapatkan nomor register yang disebut nomor Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT).

Berdasarkan data dari Balai Besar POM di Medan, saat ini terdapat dua IRT mie basah yang terdaftar di Kota Medan. Sebelum memperoleh nomor P-IRT, pimpinan kedua IRT mie basah ini telah mendapatkan penyuluhan keamanan pangan. Setelah memperoleh penyuluhan keamanan pangan, pimpinan kedua IRT mie basah tersebut diharapkan dapat menerapkan pedoman CPPB kepada karyawannya.

(16)

dilaksanakan secara baik di dalam proses produksinya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui penyebab belum dilaksanakannya pedoman CPPB.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian dalam uraian diatas maka dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tindakan karyawan dalam pelaksanaan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) pada Industri Mie Basah di Kota Medan.

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan karyawan dalam pelaksanaan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) pada IRT mie basah di kota Medan.

1.4. Hipotesis

1. Ada hubungan karakteristik karyawan dengan pelaksanaan CPPB pada IRT mie basah di kota Medan.

2. Ada hubungan ketersediaan fasilitas dan sarana industri rumah tangga dengan pelaksanaan CPPB pada IRT mie basah di kota Medan.

(17)

1.5. Manfaat Penelitian

Penerapan CPPB dengan benar dan lengkap pada proses produksi mie akan menjamin mutu dan keamanan produk mie basah. Dengan demikian, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1.5.1. Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan pengolahan pangan, dan sebagai dokumen ilmiah yang dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

1.5.2. Pemerintah

Dapat memberi masukan bagi pemerintah, khususnya Departemen Perindustrian, Departemen Kesehatan dan Badan POM RI dalam menyusun program dan kebijakan di bidang keamanan pangan.

1.5.3. Produsen

Dapat memberi masukan kepada produsen mie basah, sejauh mana tindakan karyawannya dalam pelaksanaan CPPB, dan menjadi dasar dalam pemberian penghargaan ataupun sanksi terhadap karyawan serta memberi pengetahuan bagi bagaimana cara terbaik melaksanakan produksi sesuai pedoman CPPB. 1.5.4. Peneliti selanjutnya

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Forsythe and Hayes (1998) mengatakan tujuan utama peraturan keamanan pangan adalah pemilik perusahaan diisyaratkan dapat mengidentifikasi dan mengawasi resiko keamanan pangan pada semua tahap persiapan dan penggunaan makanan menggunakan ’analisis bahaya’. Prinsip-prinsip dalam keamanan pangan adalah: 1) Analisis potensi bahaya dalam makanan pada tahap operasi; 2) Identifikasi titik-titik dalam operasi dimana bahaya dapat terjadi; 3) Menentukan titik kritis untuk menjamin keamanan pangan; 4) Identifikasi dan implementasi prosedur pengawasan dan pemantauan secara efektif pada titik kritis, dan 5) Memeriksa sistem secara berkala.

Fardiaz (2002) mengatakan empat masalah di bidang keamanan pangan di Indonesia yaitu:

(19)

termasuk produk import yang belum terdaftar, cara peredaran dan distribusi yang tidak memenuhi syarat, dan ditolaknya produk pangan di pasar internasional karena alasan mutu dan keamanan pangan.

2. Masih ada terjadi kasus keracunan karena makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya.

3. Masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan, terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga.

4. Masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan karena terbatasnya pengetahuan dan rendahnya kemampuan daya beli untuk produk pangan yang bermutu dan tingkat keamanannya yang tinggi.

(20)

Gambar 1. Program dan Pengawasan Keamanan Pangan (Fardiaz, 2002)

Berdasarkan Gambar 1. tersebut di atas dapat dikenali bahwa program GMP merupakan tahap ke tiga dari program pengawasan keamanan pangan, yaitu pada tahapan pengolahan dan HACCP terdapat pada tahapan penanganan bahan mentah, pengolahan dan konsumen. Dengan demikian GMP dan HACCP merupakan bagian dari program pengawasan pangan.

2.2. Good Manufacturing Practices (GMP)

Yang dimaksud dengan Good Manufacturing Practices dalam sistem produksi dan distribusi pangan adalah bagaimana menyiapkan pengolahan pangan secara benar dengan mutu yang telah ditentukan dan menjamin bahwa hasil jadi (finished goods) memenuhi standar pangan olahan, siap konsumsi tanpa tercemar dalam kondisi apapun (Martoatmodjo, 1995).

(21)

Peraturan-peraturan yang tercantum dalam payung Good Manufacturing Practices atau praktek pengolahan yang baik merupakan pelaksanaan dari sanitasi dasar yang antara lain meliputi aspek-aspek seperti pekerja, sanitasi pangan, sanitasi peralatan dan bangunan. Sanitasi dapat didefinisikan sebagai faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut. Dalam industri pangan, sanitasi meliputi kegiatan-kegiatan secara aseptik dalam persiapan, pengolahan dan pengemasan produk pangan, pembersih dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Kegiatan yang berhubungan dengan produk pangan meliputi pengawasan mutu bahan mentah, perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari peralatan, pekerja, dan hama pada semua tahap selama pengolahan, pengemasan dan penggudangan produk akhir (Laksmi, 1996).

Praktek-praktek yang tidak higienis merupakan penyebab utama terjadinya berbagai penyakit pada manusia. Sebagian besar masalah higienis pangan disebabkan oleh penanganan pangan pada produk olahan dan yang dikemas. Karena itu codex

mencurahkan banyak perhatian pada masalah tersebut.

Penerapan Good Manufacturing Practices secara efektif pada industri makanan adalah suatu yang tidak sulit dalam teori tetapi sangat sulit dalam praktek (Winarno, 1993).

(22)

Indonesia (2003) menyusun buku Pedoman Penerapan Cara Produksi Yang Baik (CPPB) untuk Industri Rumah Tangga (IRT) yang mengatur :

1. Lingkungan Produksi

Untuk menetapkan lokasi IRT perlu dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang diproduksinya.

2. Bangunan dan fasilitas IRT

Bangunan dan fasilitas IRT dapat menjamin bahwa pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi.

3. Peralatan produksi

Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya didisain, dikonstruksi, dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan.

4. Suplai Air

Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum.

(23)

Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan.

6. Pengendalian hama

Hama (tikus, serangga, dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan.

7. Kesehatan dan higiene karyawan

Kesehatan dan higiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran.

8 Pengendalian proses

Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

(1) Penetapan spesifikasi bahan baku;

(2) Penetapan komposisi dan formulasi baru; (3) Penetapan cara produksi yang baku;

(4) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan

(24)

9. Label Pangan

Label pangan harus jelas dan informatif untuk memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan.

10.Penyimpanan

Penyimpanan yang baik dapat menjamin mutu dan keamanan bahan produk pangan yang diolah.

11.Penanggung jawab

Seorang penanggung jawab diperlukan untuk mengawasi seluruh tahap proses produksi serta pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman.

12.Penarikan Produk

Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan.

13.Pencatatan dan Dokumentasi

Pencatatan dan dokumentasi yang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi.

14.Pelatihan Karyawan

(25)

pangan yang ditanganinya agar dapat memprodusi pangan yang bermutu dan aman. (Depkes RI, 1996); Badan POM RI, 2003)

Dalam penerapan CPPB dimungkinkan untuk tidak diterapkan persyaratan secara menyeluruh oleh Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP), misalnya karena alasan modal yang terbatas, fasilitas lingkungan yang tidak menunjang dan sebagainya. Di dalam penelitian ini pedoman CPPB diringkas menjadi 4 persyaratan saja, yaitu 1) Bangunan dan fasilitas IRT ; 2) Kesehatan dan higiene karyawan; 3) higiene pengolahan; dan 4) sanitasi peralatan dan ruangan.

Cara produksi yang baik untuk pangan merupakan sasaran pokok dalam kegiatan pengawasan pangan. Tujuan dari pengawasan tersebut adalah : agar masyarakat mendapat pangan yang bermutu dan aman sehingga tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan keselamatan masyarakat (Susilastuti, 1996).

2.2.1. Sanitasi

(26)

aseptik dilakukan dengan peralatan atau sarana untuk menghindari mikroba. Di industri pangan tindakan sanitasi tidak dapat dilakukan secara sepotong-sepotong melainkan harus disemua jalur dan mata rantai operasi industri dari sejak pengadaan bahan baku atau mentah sampai produk akhir dipasarkan. Sanitasi dalam pabrik pangan merupakan sistem penjagaan lingkungan yang meliputi penciptaan kebersihan lingkungan, cara kerja higienis, penjagaan kesehatan pekerja serta pembinaan sikap, kebiasaan dan tingkah laku bersin. Cara kerja higienis yaitu : cara kerja dengan menghindari masuknya kuman (Soekarto, 1990).

2.2.2. Higiene Personalia

Para pekerja yang menangani bahan pangan seperti memproses, menyimpan, mengangkut, dan mempersiapkan sering menyebabkan kontaminasi mikrobiologis pada bahan pangan ini. Para pekerja yang terinfeksi oleh patogen dapat mengkontaminasi makanan tersebut dengan memegangnya.

Kontaminasi makanan oleh pekerja dapat diatasi dengan :

(a) Pemeliharaan kesehatan para pekerja yang menangani pangan. (b) Penanganan pangan secara higienis dan

(c) Penggunaan alat atau pakaian pelindung bagi personal seperti, sarung

tangan dan cuci tangan, tutup kepala, tutup hidung (masker), tidak makan, merokok di ruang produksi (Laksmi , 1997).

2.2.3. Sanitasi Peralatan dan ruangan

(27)

proses juga dapat menghilangkan sebagiaan besar mikroba melalui kerja fisik dari pencucian dan pembilasan hal ini saja dapat efektif dalam mengendalikan populasi mikroba, terutama bila benda yang dicuci kemudian dikeringkan dengan baik. Untuk mencapai dan mempertahankan pengendalian mikroba, proses pembersihan harus cukup mereduksi populasi mikroba untuk membantu mencapai hal ini maka proses pembersihan harus diikuti dengan desinfeksi oleh panas dan bahan kimia. Bila obyek yang dibersihkan dan telah didesinfeksi akan dibiarkan tidak digunakan hingga keesokan harinya, maka setelah pembersihan harus dikeringkan, dan didesinfeksi lagi sebelum digunakan. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembersihan pabrik dan peralatan pangan pada umumnya merupakan campuran komplek berbagai bahan kimia yang menghasilkan suatu tujuan yang spesifik. Sifat-sifat bahan pembersih yang baik adalah : ekonomis, tidak beracun, tidak korosif, tidak menggumpal dan tidak berdebu, mudah diukur, stabil selama penyimpanan dan mudah larut sempurna. Jenis-jenis pembersih yaitu pembersih alkali (Natrium Carbonat, Trinatrium Fosfat, Sekueteran, Survactan, Kloramin Organik dan Klorin Dioxida) (Laksmi S, 1997). 2.3 Sistem Jaminan Mutu Keamanan Pangan Berdasarkan HACCP

(28)

tahapan prosese produksi yang pengendaliannya dapat dilakukan dengan mengendalikan bahaya-bahaya tersebut (Bambang. H. H. 1998)

Untuk menjamin keamanan suatu produk pangan, National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF) menetapkan 7 prinsip HACCP sebagai berikut :

1. Analisa bahaya (hazard).dan penetapan resiko yang berhubungan dengan pertumbuhan, permanenan, bahan mentah dan ingredien , pengolah pangan, distribusi, penjualan, persiapan dan konsumsi.

2. Penetapan titik pengendalian kritis (CCP) yang dibutuhkan untuk mengendalikan bahaya yang mungkin terjadi.

3. Penetapan batas kritis yang dipenuhi untuk setiap CCP yang ditentukan 4. Penetapan prosedur untuk memantau CCP.

5. Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan selama pemantauan.

6. Penetapan sistem pencatatan yang efektif yang merupakan dokumen penting program HACCP.

7. Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil atau masih efektif (Fardiaz, 1997, Forsythe and Hayes, 1998 dan Mortimore and Wallece, 1998)

(29)

identifikasi CCP, pembatasan dari aspek teknik dapat ditarget dalam manajemen; dan 3) disiplin terhadap penerapan HACCP yang selalu berorientasi pada perkembangan kualitas produk (Mortimore and Wallace, 1998). Disamping itu HACCP dapat meningkatkan hubungan antara produsen dan pengawas pangan (SEAMEO-TROPMED Regional Center for Community Nutrion, Universitas Indonesia, 1996).

Analisa bahaya adalah evaluasi spesifik terhadap produk pangan dan bahan mentah atau ingrediennya untuk menentukan resiko bahaya biologis, kimia dan fisika. Sedangkan Forsythe dan Hayes, 1998, mengatakan bahwa 3 sumber essensial dari bahaya biologis adalah : 1) bahan mentah, 2) lingkungan (udara, air, dan peralatan) dan 3) pekerja/personil. Tabel 2.1 mengutip bahaya yang mungkin terdapat pada pangan menurut Snyder (1995) dalam Forsythe dan Hayes (1998)

Tabel 2.1. Bahaya-Bahaya yang Terdapat Pada Pangan

BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA BAHAYA FISIKA

Makrobiologi: lalat, tikus Mikrobiologi:

Bakteri phatogen Virus

Parasit dan protozoa Mycotoksin Nitrat, nitrit, dan komponem N-N-nitroso

Bagian dari hewan

Sumber : Forsythe dan Hayes (1998)

(30)

beberapa persiapan seperti deskripsi produk, membuat daftar bahan mentah dan ingredient yang diperlukan dalam proses dan membuat diagram alir proses produksi.

Tabel 2.2. Identifikasi Bahaya dan Cara Pencegahan pada Mie Basah

No

Bahan mentah/ ingredient/bahan

tambahan

Bahaya

Kelompok Jenis Bahaya Cara pencegahannya 1. telur ulat, kutu

Residu pestisida, logam berat

Kotoran

E.coli, Shigella, dll

Logam berat, obat-obat pertanian

Pasir, kotoran lain

Cemaran kimia

Cemaran kimia, logam berat

Produk ketengikan

Memenuhi spesifikasi / di bawah batas cemaran mikroba Memenuhi spesifikasi / di bawah batas cemaran kimia Pengayakan; atau memenuhi persyaratan bahan baku

Memenuhi persyaratan air

untuk pengolahan makanan;mati pada suhu

pemasakan

Memenuhi persyaratan air untuk pengolahan makanan; penyaringan dengan karbon aktif

Memenuhi persyaratan air untuk pengolahan makanan; penyaringan

Memenuhi spesifikasi Memenuhi spesifikasi sesuai dengan peraturan

Men Kes No. 722/MenKes/Per/IX/88

Memenuhi spesifikasi Sumber : Departemen Kesehatan RI (1998)

(31)

untuk bahaya biologis / mikrobiologis , kimia dan fisik. Penetapan CCP yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya ada 2 macam, yaitu :1) CCP-1 : menjamin dapat mencegah atau menghilangkan bahaya, dan 2) CCP-2 : mengurangi bahaya, tetapi tidak menjamin dapat mencegah / menghilangkan bahaya (Forsye and Hayes, 1998 dan Fardiaz, 1997). Gambar 2. menyajikan prosedur pembuatan mie basah dan titik kritisnya.

Tepung terigu Air Garam Alkali Bahan Tambahan Pangan CCP (1)

Pencampuran/Mixing

Pengistirahatan/Resting

Pembuatan lembaran/Sheeting

Pemotongan/Cutting

Pemasakan/Boiling CCP (2)

Pembilasan/Rinsing

Pengeringan/Draining

Pemberian minyak/Oiling CCP (3)

Pendinginan/Cooling CCP (4)

Pengemasan CCP (5)

MIE BASAH

Gambar 2. Proses pembuatan Mie Basah dan Titik-titik Kritis (Departemen Kesehatan RI, 1998 dan Miskelly, 1998)

Keterangan :

(32)

cemaran kimia dan khusus untuk BTP bahkan bahan yang berbahaya yang tidak dapat dihilangkan dengan proses pengolahan dalam pembuatan mie basah.

2. CCP (2) : Proses pemasakan. Proses pemasakan merupakan satu-satunya proses pemanasan di dalam pengolahan mie yang dapat menghilangkan mikroba berbahaya dan mikroba pembusuk yang mungkin terdapat di dalam bahan baku dan bahan penolong.

3. CCP (3) : Pemberian minyak. Minyak goreng ditambahkan setelah pemasakan mie sehingga tidak ada tahap proses yang dapat menghilangkan cemaran di dalam minyak goreng, baik cemaran mikroba maupun kimia,

4. CCP (4) : Pendinginan. Selama pendinginan kemungkinan terjadi pencemaran kembali terhadap produk sebelum dilakukan pengemasan. Kondisi ruangan pendinginan harus cukup bersih dan bebas dari kemungkinan cemaran-cemaran yang berbahaya.

5. CCP (5) : Pengemasan. Pengemasan ditujukan untuk menghindarkan produk dari kemungkinan kontaminasi selama distribusi dan penjualan serta mencegah kerusakan produk. Kemasan yang digunakan harus tepat dan penutupan kemasan harus rapat dan tidak bocor.

(33)

Pendataan tertulis seluruh program HACCP menjamin bahwa program tersebut dapat diperiksa kembali dan dipertahankan selama periode waktu tertentu. Catatan yang teliti dan dokumentasi harus dilakukan terhadap semua pengukuran terhadap CCP, tindakan terhadap penyimpangan kritis, dan tindakan akhir terhadap produk. Catatan tersebut dapat diserahkan kepada pengawas pangan jika diminta, sehingga pemeriksa dapat berlangsung cepat dan praktis dan dapat digunakan sebagai acuan bagi seorang operator jika terjadi gangguan dalam peralatan kerja sehingga dapat melakukan tindakan koreksi (Fardiaz, 1997, Corlett, 1998).

Menurut Winarno (1997), sumber kontaminasi dapat terjadi pada :

1. Bahan baku mentah : diperkirakan proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan tanah dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah. 2. Peralatan / mesin yang kontak langsung dengan makanan. Alat ini harus

dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu yang agak sering untuk menghilangkan sisa makanan dan tanah yang memungkinkan untuk pertumbuhan kuman.

3. Air untuk pengolahan makanan, sebaiknya belum memenuhi persyaratan kualitas air minum.

4. Peralatan / mesin yang menangani produk akhir, harus dalam keadaan kering dan bersih untuk menjaga agar tidak terjadi kontaminasi.

(34)

sementara, maupun penyajian. Peralatan dapur seperti alat pemotong, papan pemotong (talenan), dan alat saji merupakan sumber kontaminasi bagi makanan. Sedangkan tindakan higienis yang penting bagi pekerja pengolah makanan adalah pencucian tangan, kebersihan, dan kesehatan diri, termasuk penggunaan celemek (apron) yang bersih dan tidak boleh digunakan untuk lap tangan.

2.4. Keamanan Pangan Mie Basah

Mie adalah hasil olahan yang dibuat dari tepung terigu yang dijadikan adonan tanpa fermentasi ragi, dilebarkan menjadi lembaran tipis, kemudian diiris panjang-panjang dan dikeringkan (Sediaoetama, 1989), Mie pertama kali dibuat dan berkembang di negara Cina, hingga dikenal sebagai Oriental Noodle. Marco Polo menyebarkan teknologi mie dari Cina ke Italia dan kemudian berkembang di seluruh dunia, termasauk Indonesia.

Secara garis besar mie dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mie basah dan mie kering. Winarno (1997) menyatakan berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, mie dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :

1. Mie mentah/segar, dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%.

2. Mie basah adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami penggodokan dalam air mendidih selama 1-2 menit, dengan kadar air 52%, yang disebut dengan Hokkien noodles.

(35)

5. Mie instan (mie siap hidang), di Jepang produk ini disebut Sokusekimen, adalah mie mentah yang telah mengalami pengukusan dan di keringkan menjadi mie instant kering atau digoreng menjadi mie instant goreng (instant friednoodles).

Tabel 2.3. Syarat Mutu Mie Basah menurut SNI 01-2987-1992

No. Kriteria Uji Persyaratan

1.

Abu (dihitung dasar bahan kering), %, b/b

Protein (N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering,%. B/b

Bahan Tambahan Makanan : 5-1 Boraks dan asam borat 5-2 Pewarna

5.3 Formalin Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb), mg/kg 6.2. Tembaga (Cu),mg/kg 6.3. Seng (Zn), mg/kg 6.4. Raksa (Hg),mg/kg Arsen (As, mg/kg Cemaran mikroba :

8.1. Angka lempengan total koloni/g 8.2. E.coli

Tidak boleh ada

Sesuai SNI 0222-M dan peraturan Men Kes No.722/MenKes/Per/IX/88

Tidak boleh ada

Maksimum 1,0 Sumber : Departemen Perindustrian, 1992

Pembuatan mie basah sebenarnya sama dengan pembuatan mie pada umumnya, bedanya pada mie basah secara tradisional biasanya ditambah dengan

(36)

lebih maju, berbagai bahan tambahan diberikan untuk mengganti kansui atau kie yang disebut dengan obat mie atau dough improver. Dengan obat mie tersebut akan dihasilkan mie yang baik dan cukup awet tanpa menggunakan boraks. Tabel 2.4. berikut menyajikan komposisi obat mie.

Tabel 2.4 Jenis Bahan, Dosis dan Fungsi Obat Mie

No Jenis Bahan Dosis Fungsi phosphate (TPP) Na5P3O10

Memberi rasa, memperkuat tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat serta mengikat air

Meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning, dengan flavor yang lebih baik. KCO untuk meningkatkan kekenyalan dan NaCO untuk kehalusan tekstur.

Meningkatkan elastisitas dan flektibilitas adonan.

Meningkatkan ketahanan terhadap air, mempertahankan keempukan selama penyimpanan, meningkatkan daya serap air dan memperbaiki tekstur.

Sebagai pengawet untuk mencegah terbentuknya lendir dan kapang.

Sumber : Winarno, 1997

(37)

Formulasi mie basah hasil penelitian Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan mempunyai komposisi 25 kg terigu, 8.5 kg air, 0.075 % (25 gram) Ca-propianat, 2.5% Na-Asetat (35 gram), 0.025 % (8.5 gram) Paraben. Formulasi ini aman untuk dikonsumsi dan memiliki daya awet 2 hari (IPB, 2005).

2.5. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Keamanan Pangan

Perilaku pada hakekatnya adalah suatu aktivitas pada manusia, baik yang dapat diamati secara langsung atau pun dapat ditaati secara tidak langsung. (Notoatmojo, 1993). Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subyek tersebut. Bentuk dari respon tersebut adalah : 1) bentuk pasif atau respon internal, yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, berupa pikiran, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan, dan 2) bentuk aktif, yakni apabila perilaku tersebut jelas dapat diobservasi secara langsung dalam bentuk tindakan nyata atau overt behavior (Notoatmojo, 1993).

(38)

meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Berikut diuraikan bentuk operasional dari perilaku, yakni pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.5.1. Pengetahuan

Menurut Sjamsuri (1989) yang dimaksud dengan pengetahuan adalah apa yang diketahui tentang alam lingkungan. Sedangkan Sumantri (1987) mengatakan pengetahuan adalah segenap apa yang diketahui tentang suatu obyek, termasuk di dalamnya ilmu.

Secara umum seseorang memiliki dua jenis pengetahuan yakni : 1) pengetahuan umum tentang lingkungan dan perilaku, yang mengacu pada interpretasi seseorang terhadap informasi yang relevan di lingkungannya, dan 2) pengetahuan prosedural tentang bagaimana melakukan sesuatu, yang disimpan dalam ingatan sebagai suatu produksi. Ke dua jenis pengetahuan tersebut, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan prosedural memiliki pengaruh terhadap perilaku (Peter dan Olson, 2000). Hal senada dikemukakan oleh Notoatmojo (1993) yang mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

(39)

diaktifkan ketika seseorang berada dalam suasana hati yang menyenangkan, sementara arti yang lebih negative diaktifkan ketika orang yang sama dengan berada dalam suasana hati yang sebaliknya, 3) apabila pengetahuan tersebut dihubungkan dengan arti lain yang juga diaktifkan. Sifat penting dari sistem kognitif manusia adalah kapasitasnya yang terbatas, yakni hanya dapat mengingat sejumlah kecil pengetahuan pada saat yang bersamaan.

2.5.2. Sikap

Menurut Notoatmodjo (1993) sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau obyek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi indakan suatu perilaku. Newstrom dan Davis (1997) mengatakan bahwa sikap adalah perasaan dan kepercayaan yang ditentukan bagaimana seseorang akan merasa di lingkungannya, melakukan tindakan yang diharapkan dan akhirnya berperilaku. Selanjutnya dikatakan sikap meliputi perasaan, pikiran arti bertindak. Sedangkan Peter dan Olson (2000) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi konsep secara menyeruh yang dilakukan oleh seseorang.

(40)

tindakan, situasi atau ide) dan 2) Sikap adalah evalusi yang digambarkan dalam satu kotinum dari negatif, lewat daerah netral ke positif (Green dan Kreuter, 1991 dan Suryabrata 1998).

2.5.3.Tindakan

Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu tindakan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, yakni fasilitas dan faktor pendukung (support) dari pihak lain. Menurut Peter dan Olson (2000) perilaku (behaviors) adalah tindakan khusus yang ditujukan pada beberapa objek target.

Tindakan dapat dikelompokkan ke dalam 4 tingkatan, yaitu : 1) Persepsi

(perception) adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; 2) Respon terpimpin (guided response) dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh; 3) mekanisme

(41)

2.5.4. Perilaku Keamanan Pangan

Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulasi yang berkaitan dengn sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Salah satu perilaku kesehatan tersebut adalah perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respon seseorang tehadap makanan sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, pengelolaan makanan, dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh (Notoatmodjo, 1993). Dalam pengelolaan pangan agar diperoleh pangan yang aman dikonsumsi perlu diterapkannya CPPB dan

Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Dillon dan Griffith (1996) mendefiisikan HACCP adalah sistem manajemen keamanan pangan, dengan strategi mencegah bahaya dan resiko yang terjadi pada titik-titik kritis pada rantai produksi pangan. Yang dimaksud dengan perilaku keamanan pangan adalah respon seseorang terhadap stimulasi yang berkaitan dengan analisis bahaya dan pengendaliannya pada titik-titik kritis proses produksi pangan.

(42)

kelompok, yang meliputi ketersediaan, keterjangkauan dan kemampuan pelayanan kesehatan dan sumber daya masyarakat; dan 3) Faktor pendorong (reinforcing factor)

yaitu faktor yang berkaitan dengan mekanisme umpan balik yang diterima orang lain dapat positif atau negatif, meliputi dukungan sosial, pengaruh teman sebaya, nasehat dan umpan balik dari tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

Teori dan model perilaku dan kesehatan yang lain adalah Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model / HBM). Di dalam teori HBM menganggap perilaku kesehatan merupakan fungsi dari pengetahuan dan sikap. Secara khusus model ini menegaskan bahwa persepsi seseorang tentang kerentanan dan kemanjuran pengobatan dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam perilaku-perilaku kesehatan (Graff, et al, 1996).

Strecher and Rosenstock (1997) mengatakan ada 7 komponen dan HBM, yaitu:

1) Pengertian tentang kerentanan penyakit (perceived susceptibility). Misalnya pengertian tentang seberapa besar kemungkinan seseorang dapat dihinggapi penyakit atau terlibat dalam masalah kesehatan yang bersangkutan.

2) Pengertian tentang keparahan penyakit (perceived severity). Misalnya pengertian tentang seberapa parahnya bila ia sampai terjangkit penyakit atau terlibat masalah kesehatan yang bersangkutan.

(43)

tindakan apakah ancaman kerentanan dan keparahan penyakit akan berkurang atau teratasi.

4) Pengertian tentang hambatan untuk melakukan tindakan yang bersangkutan

(perceived barriers). Misalnya yang menyangkut biaya, bahaya efek samping atau komplikasi, khawatir menhadapi rasa sakit atau ketidaknyamanan lainnya.

5) Dorongan untuk bertindak (cues of action). Adanya sumber informasi tambahan yang akan mempengaruhi pengertian-pengertian tersebut di atas, seperti pendidikan, gejala-gejala penyakit, media informasi.

6) Kemampuan diri untuk berperilaku melaksanakan tindakan yang bersangkutan (self-efficacy). Misalnya dengan kondisi yang ada pada dirinya apakah ia merasa mampu berperilaku sebagaimana yang seharusnya.

(44)

Persepsi individu

Pengertian kerentanan dan keparahan penyakit

Faktor-faktor yang Gejala penyakit, sakit

Media informasi

Gambar 3. Komponen Health Belief Model dan Keterkaitannya (Strecher and Rosenstock, 1997)

Di samping ke dua teori perilaku di atas, yakni teori precede and proceed dan HBM, teori lain tentang perubahan perilaku dikemukakan oleh Fishbein yakni teori tindakan beralasan (theory of reasoned action). Di dalam teori tindakan beralasan dikemukakan faktor paling penting dalam mempengaruhi perilaku adalah keinginan berperilaku (behavioral intention) seseorang. Keinginan berperilaku adalah suatu proposisi yang menghubungkan diri dengan tindakan yang akan datang. Faktor yang langsung mempengaruhi keinginan berperilaku adalah sikap terhadap perilaku

(45)

seseorang tentang apa yang mereka anggap bahwa orang lain ingin agar mereka lakukan. Norma subyektif dipengaruhi oleh kepercayaan normative (normative beliefs) dan motivasi untuk memenuhi harapan (motivation to comply). Menurut teori tindakan beralasan seseorang cenderung melaksanakan perilaku yang dievaluasi dan diterima secara baik oleh orang lain dan cenderung menahan diri dari perilaku yang dianggap tidak baik dan tidak menyenangkan orang lain (Montano, Kasprzyk and Taplin, 1997 dan Peter dan Olson, 2000). Gambar di bawah ini mencantumkan teori tindakan beralasan

Gambar 4. Teori Tindakan Beralasan (Montano, Kasprzyk and Taplin, 1997 Pengaruh Lingkungan :

1. Lingkungan

1. Nilai, tujuan akhir 2. Pengetahuan

lainnya, kepercayaan dan sikap 3. Sifat pribadi 4. Pola gaya hidup

berperilaku Sikap

terhadap

berperilaku Perilaku Kepercayaan

(46)

Pimpinan dan pengawas pengolah pangan seharusnya mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip-prinsip dan praktek higiene pangan agar dapat menduga resiko yang mungkin terjadi, dan bila perlu dapat memperbaiki penyimpangan yang terjadi(Dirjen POM, Depkes RI, 1996).

Carleet (1998) menyatakan keberhasilan sistem keamanan pangan, termasuk HACCP tergantung pada pendidikan dan pelatihan (penyuluhan) pada pimpinan dan pekerja dalam memproduksi pangan yang aman dan informasi tentang pengendalian bahaya pada semua tahap pengelolaan makanan.

2.6. Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independent

Karakteristik Karyawan - Pendidikan

- Mengikuti Penyuluhan - Masa kerja

- Sikap - Pengetahuan

Variabel dependent - Kebijakan dari IRT mie basah

berkaitan dengan CPPB(sanksi & penghargaan)

- Motivasi yang diperoleh karyawan (Dari pimpinan, pengawas)

Tindakan karyawan dalam pelaksanaan CPPB

- Ketersediaan fasilitas Dalam pelaksanaan CPPB

- Ketersediaan sarana memperoleh Informasi CPPB (penyuluhan)

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian dengan analitik observasional dengan menggunakan rancangan Cross Sectional, yaitu melakukan observasi atau pengukuran variabel pada saat tertentu.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di dua industri mie basah di Kota Medan. Alasan pemilihan lokasi tersebut dikarenakan hanya terdapat dua IRT mie basah yang terdaftar di kota Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 6 bulan sejak bulan Januari sampai dengan Juli 2008. Dimulai dari pelaksanaan, konsultasi judul, persiapan proposal penelitian, persiapan proposal kolokium/seminar proposal, pengumpulan data serta melakukan analisa data, penyusunan hasil penelitian, seminar hasil penelitian dan ujian komprehensif.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan yang bekerja di dua industri mie basah di kota Medan.

(48)

sebanyak 21 orang, IRT mie basah B sebanyak 39 orang. Sampel merupakan karyawan yang bekerja mulai dari penerimaan bahan awal sampai produk jadi dan pengambilan sampel adalah dari setiap masing – masing ruangan IRT mie basah. 3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Diperoleh dari hasil wawancara berupa kuesioner terhadap faktor-faktor berhubungan dengan tindakan karyawan dalam pelaksanaan CPPB di industri mie basah kota Medan meliputi: pendidikan, mengikuti penyuluhan, masa kerja, pengetahuan, sikap, Kebijakan dari IRT mie basah berkaitan dengan CPPB (sanksi & penghargaan), motivasi yang diperoleh karyawan (dari pimpinan, pengawas), ketersediaan fasilitas dalam pelaksanaan CPPB, dan ketersediaan sarana memperoleh informasi CPPB (penyuluhan)

3.4.2. Data Sekunder

Diperoleh dari Balai Besar POM di Medan tentang jumlah IRT mie basah di kota Medan dan dari 2 IRT mie basah di kota Medan tentang jumlah karyawan yang bekerja mulai dari penerimaan bahan awal hingga produk jadi di kedua IRT tersebut.

3.5. Defenisi Operasional Variabel Independen (Bebas) : 1. Karakteristik

(49)

b. Mengikuti Penyuluhan adalah pernah atau tidak pernahnya karyawan mengikuti penyuluhan/pelatihan keamanan pangan baik yang diadakan oleh pemerintah maupun oleh IRT itu sendiri.

c. Masa kerja adalah lamanya waktu bekerja responden di industri mie basah terhitung mulai masuk bekerja.

d. Pengetahuan adalah pengertian dan pengetahuan responden tentang penerapan CPPB di industri mie basah yang telah diatur oleh Badan POM RI dalam pedoman penerapan CPPB dalam Industri Rumah Tangga (IRT).

e. Sikap adalah tanggapan karyawan tentang penarapan CPPB pada IRT dalam hal ini industri mie basah.

2. a. Kebijakan IRT mie basah adalah berbagai ketentuan yang diambil oleh pihak produsen IRT mie basah meliputi ada tidaknya peraturan tertulis tentang penerapan CPPB yang diterbitkan IRT mie basah dengan mengacu pada peraturan diatasnya dan diketahui oleh karyawan, serta ada tidaknya sanksi dan perhargaan pelaksanaan prosedur tetap penerapan CPPB.

b. Motivasi yang diperoleh karyawan ada tidaknya dukungan berupa ucapan, sikap dan tindakan teman, atasan langsung dan petugas pengawas yang biasa mendorong karyawan menerapkan CPPB.

3. a. Ketersediaan fasilitas IRT ádalah mendukung pelaksanaan CPPB pada IRT yang tercantum dalam pedoman CPPB sesuai dengan keputusan kepala

Badan POM RI Nomor : HK.00.05.5.1639.

(50)

tidaknya kegiatan pelaksanaan di industri mie basah seperti: buku atau brosur: serta sosialisasi peraturan tertulis berupa prosedur tetap pelaksanaan CPPB. Variabel Dependent (terikat)

Tindakan adalah tindakan karyawan yang nyata dalam pelaksanaan CPPB di IRT mie basah.

Tabel 3.1. Defenisi Operasional Penelitian

Variabel

2. Mengikuti Penyuluhan

3. Masa kerja

Baik (skor > 50% total nilai) Kurang (skor ≤ 50% total nilai)

Baik (skor > 50% total nilai) Kurang (skor ≤ 50% total nilai)

Baik (skor > 50% total nilai) Kurang (skor ≤ 50% total nilai)

Baik (skor > 50% total nilai) Kurang (skor ≤ 50% total nilai)

Ordinal

Ordinal

1. Ketersediaan Fasilitas dalam penerapan CPPB

2. Ketersediaan sarana memperoleh informasi

Baik (skor > 50% total nilai) Kurang (skor ≤ 50% total nilai)

Baik (skor > 50% total nilai) Kurang (skor ≤ 50% total nilai)

Ordinal

Ordinal

(51)

Untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, tindakan, kebijakan IRT berkaitan dengan pelaksanaan CPPB, motivasi yang diperoleh karyawan, ketersediaan fasilitas dalam pelaksanaan CPPB, dan ketersediaan sarana memperoleh informasi CPPB, Skala pengukuran yang digunakan adalah : skala Guttman.

3.6.1. Tingkat Pengetahuan

Untuk mengukur tingkat pengetahuan digunakan skala ordinal dengan dua kategori benar dan salah. Untuk memperoleh kategori benar dan salah yaitu menggunakan sistem pembobotan (skoring).

Penilaian untuk pertanyaan yang bernilai positip dilakukan sebagai berikut : a. Jawaban benar diberi skor 1 (satu)

b. Jawaban salah diberi skor 0 (nol)

Penilaian untuk pertanyaan yang bernilai negatif dilakukan sebagai berikut: a. Jawaban salah diberi skor 1 (satu)

b. Jawaban benar diberi skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor dari 16 pertanyaan yang diajukan, maka tingkat Pengetahuan responden diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu :

1. Baik, apabila jawaban responden memiliki total skor > 50% dari 16 pertanyaan yang diajukan.

(52)

3.6.2. Sikap

Pengukuran sikap dilakukan dengan mengajukan 16 pertanyaan dan masing-masing pertanyaan diberikan 2 pilihan jawaban sikap, dengan total skor 32.

Penilaian untuk pernyataan yang bernilai positip dilakukan sebagai berikut : 1. Jawaban setuju diberi skor 1 (satu)

2. Jawaban tidak setuju diberi skor 0 (nol)

Penilaian untuk pernyataan yang bernilai negatif dilakukan sebagai berikut: 1. Jawaban tidak setuju diberi skor 1 (satu)

2. Jawaban setuju diberi skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor jawaban sikap dari 16 pernyataan yang diajukan, maka sikap responden digolongkan dalam kategori yaitu :

1. Baik, apabila jawaban responden memiliki total skor > 50% dari 16 pernyataan yang diajukan.

2. Kurang, apabila jawaban responden memiliki total skor ≤ 50% dari 16 pernyataan yang diajukan.

3.6.3. Tindakan

Tindakan responden diukur dengan mengajukan 10 pertanyaan yang telah diberi skor. Masing-masing diberikan 2 pilihan jawaban dengan total skor sama dengan 20. Kriteria pilihan jawaban tindakan adalah sebagai berikut :

(53)

Berdasarkan total skor dari 10 pertanyaan tersebut, maka tindakan responden diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :

1. Baik, bila responden memiliki total skor > 50% dari 10 pertanyaan yang diajukan.

2. Kurang, bila responden memiliki total skor ≤ 50% dari 10 pertanyaan yang diajukan.

3.6.4. Ketersediaan fasilitas pelaksanaan CPPB

Pengukuran ketersediaan fasilitas dalam pelaksanaan CPPB menggunakan pertanyaan yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan yang diajukan sebanyak 7 dan masing-masing pertanyaan diberikan 2 pilihan jawaban dengan total skor adalah 14. Kriteria pilihan jawaban adalah sebagai berikut :

1. Jawaban Ada diberikan skor 1 (satu) 2. Jawaban Tidak diberikan skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor dari 7 pertanyaan yang diajukan, ketersediaan fasilitas pelaksanaan CPPB medis diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :

1. Baik, bila responden memiliki total skor > 50%dari 7 pertanyaan yang diajukan.

2. Kurang, bila responden memiliki total skor ≤ 50% dari 7 pertanyaan yang diajukan.

3.6.5. Ketersediaan sarana memperoleh informasi pelaksanaan CPPB

(54)

sebanyak 7 dan masing-masing diberikan jawaban 2 pilihan jawaban dengan total skor 14. Kriteria pilihan jawaban adalah sebagai berikut :

1. Jawaban Ada diberikan skor 1 (satu) 2. Jawaban Tidak diberikan skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor dari 7 pertanyaan yang diajukan, ketersediaan sarana memperoleh informasi CPPB diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :

1. Baik, bila responden memiliki total skor > 50% dari 7 pertanyaan yang diajukan.

2. Kurang, bila responden memiliki total skor ≤ 50% dari 7 pertanyaan yang diajukan.

3.6.6. Kebijakan IRT mie basah tentang CPPB

Kebijakan IRT mie basah berkaitan dengan CPPB, diukur dengan menggunakan pertanyaan yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan yang diajukan sebanyak 3 dan dan masing-masing diberikan jawaban 2 pilihan jawaban dengan total skor 6. Kriteria pilihan jawaban adalah sebagai berikut :

1. Jawaban Ada diberikan skor 1 (satu) 2. Jawaban Tidak diberikan skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor dari 3 pertanyaan yang diajukan, ketersediaan sarana memperoleh informasi pelaksanaan CPPB diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :

(55)

2. Kurang, bila responden memiliki total skor ≤ 50% dari 3 pertanyaan yang diajukan.

3.6.7. Motivasi yang diperoleh karyawan

Motivasi yang diperoleh karyawan diukur dengan menggunakan pertanyaan yang telah diberi bobot. Jumlah pertanyaan yang diajukan sebanyak 6 dan masing-masing diberikan jawaban 2 pilihan jawaban dengan total skor 12. Kriteria pilihan jawaban adalah sebagai berikut :

1. Jawaban Ada diberikan skor 1 (satu) 2. Jawaban Tidak diberikan skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor dari 6 pertanyaan yang diajukan, ketersediaan sarana memperoleh informasi pelaksanaan CPPB diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :

1. Baik, bila responden memiliki total skor > 50% dari 7 pertanyaan yang diajukan.

2. Kurang, bila responden memiliki total skor ≤ 50% dari 7 pertanyaan yang diajukan.

3.7. Tehnik Pengumpulan Data

Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan dianalisis dengan proses pengolahan data yang mencakup antara lain kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

(56)

2. Tabulasi, data dikelompokkan sesuai dengan sifat yang dimiliki dan dipindahkan ke dalam suatu tabel dan disesuaikan dengan tujuan kemudian dianalisis secara deskriptif.

3. Coding, yaitu untuk memudahkan proses entri data tiap jawaban diberi kode dan skor.

4. Entri, data yang diperoleh dientri ke dalam sistem SPSS. 5. Penyajian data/laporan. Data disajikan dalam bentuk tabel. 3.8. Analisis Data

3.8.1. Univariat

Yaitu melakukan analisis pada seluruh variabel yaitu karakteristik (Pendidikan, mengikuti penyuluhan, masa kerja, pengetahuan, sikap); Kebijakan IRT mie basah berkaitan dengan CPPB (sanksi & penghargaan), motivasi yang diperoleh karyawan (dari pimpinan, pengawas); ketersedian fasilitas dalam pelaksanaan CPPB, ketersediaan sarana memperoleh informasi CPPB (penyuluhan) terhadap tindakan karyawan dalam pelaksanaan CPPB di industri mie basah kota Medan. Tujuan dari analisis univariat adalah untuk mendeskripsikan atau menjelaskan tiap variabel yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, data hasil wawancara diklasifikasikan dalam beberapa kategori untuk setiap variabel independen dan variabel dependen.

3.8.2. Bivariat

(57)

1. Karakteristik (pendidikan, mengikuti penyuluhan, masa kerja, sikap, pengetahuan) dengan variabel dependen (tindakan karyawan dalam pelaksanaan CPPB di industri mie basah kota Medan).

2. Kebijakan IRT berkaitan dengan pelaksanaan CPPB, dan motivasi yang diperoleh karyawan dengan variabel dependen (tindakan karyawan dalam pelaksanaan CPPB di industri mie basah kota Medan).

3. Ketersediaan fasilitas dalam pelaksanaan CPPB, ketersediaan sarana memperoleh informasi CPPB dengan variabel dependen (tindakan karyawan dalam pelaksanaan CPPB di industri mie basah kota Medan).

(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 2 (dua) industri mie basah yang terdapat di kota Medan, yaitu pada UD. Arias Subur dan UD Berkat Jaya, dimana kedua industri tersebut merupakan industri mie basah yang masih tetap mampu beroperasi setelah adanya isu penggunaan formalin pada mie basah tahun 2005 yang mengakibatkan sejumlah industri mie basah di kota Medan dan umumnya di Sumatera Utara tutup. Adapun deskripsi lokasi kedua industri tersebut adalah:

4.1.1. UD Arias Subur

Industri ini terletak di daerah Sei Sikambing Medan, dan didirikan pada tahun 1997, diatas lahan seluas 1.600 meter persegi. Industri ini merupakan industri mie basah yang terdaftar sebagai Usaha Dagang.

(59)

mencegah kontaminasi silang, meski demikian pembinaan dan pelatihan oleh pihak manajemen pabrik tetap dilakukan secara berkesinambungan, serta pembinaan oleh pemerintah dalam hal ini oleh petugas Balai Besar POM di Medan.

4.1.2. UD. Berkat Jaya

Industri yang terdaftar sebagai UD (Usaha Dagang) ini terletak di daerah Tanjung Morawa, dan didirikan pada tahun 1999, diatas lahan seluas14.500 meter persegi. Konstruksi bangunan terbuat dari batu sedangkan mesin pembuat mie basahnya sendiri terbuat dari besi dan baja stainless stell, tetapi disamping menggunakan mesin atomatis, masih ada juga beberapa proses yang menggunakan teknik manual yang lebih sederhana. Jumlah karyawan pada industri tersebut sebanyak 53 orang, dimana 39 orang bekerja di bagian produksi dan 14 orang lagi bekerja di bagian administrasi dan menejerial. Sebagian lantai masih terbuat dari semen, dan penempatan peralatan sesuai alur produksi untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.

Proses penerapan CPPB sendiri telah dilakukan secara bertahap di industri tersebut sejak awal berdirinya, baik dengan penyuluhan dan pelatihan oleh pihak manajemen pabrik terhadap karyawannya, maupun pembinaan berkesinambungan oleh pemerintah dalam hal ini oleh petugas Balai Besar POM di Medan.

4.2. Distribusi Karakteristik Responden

(60)

Tabel 4.1.Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan di IRT Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

No Karakteristik Jumlah Persentase

Pendidikan

1. SMP 29 48,33

2. SMA 29 48,33

3. S1 2 3,34

Total 60 100

Mengikuti Penyuluhan

1. Tidak Pernah 29 48,33

2. Pernah 31 51,67

Total 60 100

Masa Kerja

1. Baru 36 60,00

2. Lama 24 40,00

Total 60 100

Pengetahuan

1. Kurang 27 45,00

2. Baik 33 55,00

Total 60 100

Sikap

1. Kurang 31 51,67

2. Baik 29 48,33

(61)

Pada Tabel 4.1. terlihat bahwa responden yang berpendidikan SMP sebanyak 29 orang (48,33%), yang berpendidikan SMA juga sebanyak 29 orang (48,33%), sedangkan yang berpendidikan S1 hanya 2 orang (3,34%). Responden yang tidak pernah mengikuti penyuluhan sebanyak 29 orang (48,33%), sedangkan yang pernah mengikuti penyuluhan sebanyak 31 orang (51,67%). Responden yang masa kerja telah lama sebanyak 24 orang (40,00%), sedangkan yang masa kerja masih baru sebanyak 36 orang (60,00%). Responden yang memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 33 orang (55,00%), sedangkan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik sebanyak 27 orang (45,00%). Responden yang memiliki sikap yang baik sebanyak 29 orang (48,33%), sedangkan yang memiliki sikap yang kurang baik sebanyak 31 orang (51,67%).

4.3Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan dan Motivasi tentang Penerapan CPPB di Industri Mie Basah

4.3.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan tentang Penerapan CPPB di Industri Mie Basah

(62)

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan tentang Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

No Kebijakan Jumlah Persentase

1. Kurang 0 00,00

2. Baik 60 100,00

Total 60 100

Pada Tabel 4.2. terlihat bahwa keseluruhan (100,00%) responden menanggapi baik terhadap kebijakan tentang penerapan CPPB di industri mie basah. 4.3.2. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi untuk Penerapan CPPB di

Industri Mie Basah

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap responden di dua industri mie basah kota Medan, dapat diketahui distribusi responden berdasarkan motivasi yang diberikan atasan untuk penerapan CPPB di industri mie basah, yang dapat dilihat pada Tabel 4.3. berikut:

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi untuk Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

No Motivasi Jumlah Persentase

1. Kurang 23 38,33

2. Baik 37 61,67

(63)

Pada Tabel 4.3. terlihat bahwa responden yang menanggapi motivasi yang diberi atasannya adalah baik sebanyak 37 orang (61,67%), sedangkan yang menganggap kurang baik sebanyak 23 orang (38,33%).

4.4Distribusi Responden Berdasarkan Kesediaan Fasilitas dan Sarana Informasi untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah

4.4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kesediaaan Fasilitas untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap responden di dua industri mie basah kota Medan, dapat diketahui distribusi responden berdasarkan fasilitas yang disediakan untuk mendukung penerapan CPPB di industri mie basah, yang dapat dilihat pada Tabel 4.4. berikut:

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

No Fasilitas Jumlah Persentase

1. Kurang 0 00,00

2. Baik 60 100,00

Total 60 100

(64)

4.4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Informasi untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap responden di dua industri mie basah kota Medan, dapat diketahui distribusi responden berdasarkan sarana informasi yang disediakan untuk mendukung penerapan CPPB di industri mie basah, yang dapat dilihat pada Tabel 4.5. berikut:

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Informasi untuk Mendukung Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

No Sarana Informasi Jumlah Persentase

1. Kurang 34 56,67

2. Baik 26 43,33

Total 60 100

Pada Tabel 4.5. terlihat bahwa responden yang menanggapi sarana informasi yang diberikan untuk mendukung penerapan CPPB adalah baik sebanyak 26 orang (43,33%), sedangkan yang menganggap kurang baik sebanyak 34 orang (56,67%). 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Penerapan CPPB di

Industri Mie Basah

(65)

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Penerapan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

No Tindakan Jumlah Persentase

1. Kurang 18 30,00

2. Baik 42 70,00

Total 60 100

Pada Tabel 4.6. terlihat bahwa responden yang memiliki tindakan yang baik sebanyak 42 orang (70,00%), sedangkan yang memiliki tindakan yang kurang baik sebanyak 18 orang (30,00%).

4.6. Hubungan Karakteristik Responden dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah

4.6.1. Hubungan Pendidikan Karyawan dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah

Berdasarkan hasil penelitian untuk mengetahui hubungan pendidikan karyawan dengan tindakan pelaksanaan CPPB di indutri mie basah, terlihat pada Tabel 4.7. berikut:

Tabel 4.7. Hubungan Pendidikan Karyawan dengan Tindakan Pelaksanaan CPPB di Industri Mie Basah di Kota Medan pada Tahun 2008

Tindakan

Kurang Baik Total Pendidikan

n % N % n %

p value

SMP 13 27,67 16 26,67 29 48,33

SMA 5 8,33 24 40,00 29 48,33

S1 0 0,00 2 3,33 2 3,33

Total 18 30,00 42 70,00 60 100

Gambar

Gambar 1. Program dan Pengawasan Keamanan Pangan (Fardiaz, 2002)
Tabel 2.1. Bahaya-Bahaya yang Terdapat Pada Pangan
Tabel 2.2. Identifikasi Bahaya dan Cara Pencegahan pada Mie Basah
Tabel 2.3. Syarat Mutu Mie Basah menurut SNI 01-2987-1992
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kecemasan bertanding atlet, khususnya bagi atlet Taekwondo yang tergabung dalam Taekwondo Dojang/Klub

Pada penelitian tersebut Sany Aji Marsetio mendeteksi sudut pada gambar 2D dengan metode Harris Corner Detector maka perbedaan penelitian yang akan dibuat penulis dan

untuk mengerosi tulang. peningkatan level TNF- α pada pasien dengan destruksi tulang. Peningkatan ekspresi TNF- α pada otitis media kronik dan adanya hubungan positif yang

Penulis akan meneliti bagaimana penjaminan hak sipil di Kota Semarang dengan melihat hubungan antara pribumi dengan kelompok etnis Cina di Kota Semarang pada saat sekarang

Meskipun masih terlalu dini untuk dapat mengevaluasi dampak kenaikan harga bensin dan solar yang terjadi pada bulan Juni 2013, Bank Indonesia menyatakan bahwa dampak inflasi

Strategi umum – khusus merujuk kepada penggunaan kata atau frasa yang membawa makna umum pada bahagian awal ayat sebelum bergerak kepada makna khusus pada bahagian tengah

Selain itu rencana kegiatan ( work plan ) oleh pihak penyelenggara kerjasama masih mengalami kendala. Pihak SEAMOLEC harus menanyakan dan mencatat keinginan work plan

Berdasarkan uraian sebagaimana terungkap dalam poin 1, 2, 3 dan 4 di atas, maka terhadap kemungkinan respon dan berdampak negatif di masa yang akan datang terhadap operasional