• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul Tetragonula Laeviceps (Smith) (Hymenoptera Apidae) Dalam Hubungannya Dengan Status Koloni Dan Faktor Cuaca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul Tetragonula Laeviceps (Smith) (Hymenoptera Apidae) Dalam Hubungannya Dengan Status Koloni Dan Faktor Cuaca"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS PENERBANGAN HARIAN TEUWEUL

Tetragonula laeviceps

(SMITH) (HYMENOPTERA:

APIDAE) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN

STATUS KOLONI DAN FAKTOR CUACA

INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) dalam Hubungannya dengan Status Koloni dan Faktor Cuaca adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Indah Putri Januar Yustia

(4)

RINGKASAN

INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA. Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul

Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) dalam Hubungannya dengan Status Koloni dan Faktor Cuaca. Dibimbing oleh AUNU RAUF dan NINA MARYANA.

Salah satu jenis teuweul yang paling umum dijumpai di Indonesia adalah

Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae). Tidak banyak diketahui tentang perilaku penerbangan dari spesies ini. Penelitian ini bertujuan mengkaji jenis-jenis tanaman yang dikunjungi oleh T. laeviceps dan aktivitas penerbangan harian T. laeviceps dalam kaitannya dengan status koloni dan faktor cuaca.

Sebanyak enam koloni T. laeviceps digunakan dan digolongkan sebagai koloni kuat (koloni 1, 3, 4) dan koloni lemah (koloni 2, 5, 6) berdasarkan kondisi umum jumlah pot makanan, sel anakan, dan populasi. Sebelum pengamatan aktivitas penerbangan, sampel polen dikumpulkan dari bagian korbikula pekerja dan disimpan untuk acetolysis. Aktivitas penerbangan (jumlah teuweul yang keluar dan masuk sarang, dengan atau tanpa membawa materi) dihitung mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.

Polen yang dibawa hanya ditemukan pada korbikula pekerja yang berasal dari tiga koloni (koloni 1, 3, 5). Pekerja dari koloni lain (koloni 2, 4, 6) masuk ke sarang tanpa membawa polen. Polen yang dibawa oleh pekerja berasal dari 13 spesies tumbuhan yang tergolong dalam 9 famili. Famili yang paling banyak ditemukan adalah Rubiaceae dan spesiesnya adalah Hedyotis auricularia.

Berdasarkan uji Mann-Whitney, jumlah teuweul yang keluar dan masuk sarang berbeda sangat nyata (p < 0.001) antara koloni kuat dan koloni lemah. Begitu juga jumlah teuweul yang membawa polen, membawa resin dan membu-ang sampah berbeda smembu-angat nyata antara kedua kelompok koloni tersebut. Jumlah teuweul yang keluar dan masuk sarang, baik pada koloni kuat maupun koloni lemah, berbeda sangat nyata (uji Kruskal Wallis, p < 0.001) antara jam-jam pengamatan. Begitu juga jumlah teuweul yang membawa polen, membawa resin, dan membuang sampah berbeda sangat nyata.

Aktivitas keluar dan masuk sarang dimulai sejak pukul 06.00, dengan pun-caknya terjadi pada pukul 11.00-13.00. Ada korelasi positif (sedang) antara suhu udara dengan aktivitas keluar sarang pada koloni kuat (rs = 0.57, p < 0.001) dan koloni lemah (rs = 0.46, p < 0.001). Begitu juga suhu berkorelasi positif (sedang) dengan aktivitas masuk sarang (koloni kuat rs = 0.60, p < 0.001; koloni lemah rs = 0.46, p < 0.001). Intensitas cahaya berkorelasi positif (sedang) dengan aktivitas keluar sarang pada koloni kuat (rs = 0.47, p < 0.001) dan koloni lemah (rs = 0.45, p < 0.001). Sebaliknya, kelembapan udara berkorelasi negatif (sedang) dengan ak-tivitas keluar sarang (koloni kuat rs = -0.55, p < 0.001; koloni lemah rs = -0.43, p < 0.001) dan masuk sarang (koloni kuat rs = 0.60, p < 0.001; koloni lemah rs = -0.43, p < 0.001). Aktivitas lainnya (membawa polen, membawa resin, dan mem-buang sampah) berkorelasi sangat lemah sampai dengan lemah dengan unsur cua-ca yang diamati.

(5)

kolo-ni kuat, akrofase keluar sarang terjadi pada pukul 11.57, lebih awal dibandingkan akrofase masuk sarang (pukul 12.16). Akrofase membawa polen dan membawa resin berturut-turut pukul 11.49 dan 11.15. Akrofase membuang sampah terjadi le-bih awal yaitu pukul 10.57. Secara umum, akrofase untuk seluruh kegiatan terjadi lebih awal pada koloni lemah dibandingkan koloni kuat. Uji Watson-William menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01) antara koloni kuat dan le-mah untuk akrofase keluar sarang, masuk sarang, membawa polen, membuang sampah, dan perbedaan yang nyata (p < 0.05) untuk akrofase membawa resin. Kata kunci: akrofase, aktivitas penerbangan, Tetragonula laeviceps, teuweul

(6)

SUMMARY

INDAH PUTRI JANUAR YUSTIA. Daily Flight Activities of Stingless Bee

Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) as Related to Colony States and Weather Factors. Supervised by AUNU RAUF and NINA MARYANA.

One of the most common species of stingless bees in Indonesia is

Tetragonula laeviceps (Smith). However, informations about its flight behavior are not available adequately. This research was aimed to study species of plants visited by T. laeviceps and daily rhythm of flight activities of T. laeviceps related to condition of colonies and weather factors.

Six colonies of T. laeviceps were used in this study and classified as strong colonies (colony 1, 3, 4) and weak colonies (colony 2, 5, 6) according to their general conditions of brood cells, storage pots, and population. Before flight activities were observed, pollen samples were collected from the foragers’ corbiculae and preserved for acetolysis. The flight activities (the number of stingless bees entering and exiting, with or without materials) were counted from 06.00 until 18.00 (local time).

The pollen loads were only found in foragers’ corbiculae of three colonies (colony 1, 3, 5). The foragers of other colonies (colony 2, 4, 6) showed entering the nest without pollen. The pollen loads contained pollen grains from 13 plants species, belonging to 9 families. Rubiaceae family was frequently visited by T. laeviceps and dominant plant species was Hedyotis auricularia.

Mann-Whitney test showed that number of workers exiting and entering nests was highly significantly different (p < 0.001) between strong and weak colonies. The number of workers carrying pollen and resin, and the ones disposing garbage were significantly different between both groups of colonies. Observation of daily flight activities showed that number of workers exiting and entering nests, on either strong or weak colonies was significantly different (Kruskal Wallis test, p < 0.001) between the hours of observations. Similar data were obtained about number of workers carrying pollen and resin and disposing garbage differed very markedly.

(7)

Rayleigh test revealed time preference (acrophase) for all of daily flight activities, both in strong and weak colonies, with length average of vector (r) was more than 0.7 (p < 0.001). In strong colonies, acrophase for exiting nests occurred at 11.57 hour, earlier than acrophase for entering nests which occurred at 12.16 hour. Acrophase for carrying pollen and resin occurred at 11.49 and 11.15 hours respectively. Acrophase for disposing garbage occurred earlier (10.57 hour) than acrophase of other activities. Acrophase for all activities was generally begun earlier in weak colonies compared to strong colonies. Watson-William test showed a highly significant difference (p < 0.01) between strong and weak colonies in term of acrophases for exiting nest, entering nest, carrying pollen, disposing garbage, and a significant difference (p < 0.05) of acrophase for carrying resin.

Key words: acrophase, flight activity, stingless bees, Tetragonula laeviceps

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

AKTIVITAS PENERBANGAN HARIAN TEUWEUL

Tetragonula laeviceps

(SMITH) (HYMENOPTERA:

APIDAE) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN

STATUS KOLONI DAN FAKTOR CUACA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 sampai Oktober 2015 ini ialah ekologi teuweul, dengan judul Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul Tetragonula laeviceps (Smith) (Hymenoptera: Apidae) dalam Hubungannya dengan Status Koloni dan Faktor Cuaca. Penelitian ini didanai oleh Beasiswa Pendidikan Dosen Dalam Negeri (BPPDN) dari DIKTI.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc dan Ibu Dr Ir Nina Maryana, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, pengarahan, dan motivasi sejak awal penelitian hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis dan Bapak Dr Ir Pudjianto, MSi selaku ketua Program Studi Entomologi yang telah banyak memberikan saran demi kesempurnaan karya ilmiah ini.

Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga yang telah memberikan doa, Bapak Drs Wachju Subchan, MS, PhD yang telah memberikan nasihat dan dukungan, Bapak Wawan Yuandi, Ibu Aisyah, teman-teman Entomologi angkatan 2013, para senior (Bu Nila, Bu Yaya, Pak Budi, Mbak Rani, Mas Hendri, Mas Edwin, Evie, Mbak Yeni, Mbak Uce, dan Mbak Tutut) dan junior di Laboratorium Ekologi dan Bionomi Serangga, para sahabat (Setyo Andi, Ika Lia, Beti Dwi, dan Wendianing) yang telah memberikan inspirasi, dan teman-teman yang turut serta membantu dalam pengamatan (Osyi, Citra, Naura, dan Ulim).

Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Greg Hambali, Bapak Dr Drs Tri Atmowidi, MSi, Bapak Dr Sih Kahono, MSc, Bapak Muchlis, Mas Azis, Nadzir, dan teman-teman Biosains Hewan 2013 (Mbak Desmina dan Rosi) yang telah meluangkan waktu untuk berbagi ilmu mengenai teuweul, para peneliti asing (Mrs Vera, Mrs Astrid, Mr Hillario, Miss Patricia, Miss Cynthia, Mr Breed, dan Mr Rasmussen) yang telah meluangkan waktu membalas semua email, serta Bapak Dr Ir Teguh Santoso, DEA yang telah memberi izin menggunakan bahan dan alat di Laboratorium Patologi Serangga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Struktur Sarang Teuweul 3

Struktur Koloni Teuweul 4

Sumber Nutrisi Teuweul 5

Polen 5

Nektar 5

Resin dan Propolis 6

Perilaku Membuang Sampah 7

Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul 7

Akrofase 8

METODE PENELITIAN 10

Lokasi dan Waktu Penelitian 10

Persiapan Penelitian 10

Identifikasi T. laeviceps 10

Pembuatan Naungan dan Stup (Kotak Sarang) 10

Pemindahan Koloni ke Stup Baru 11

Pembuatan Kerucut Transparan 12

Pelaksanaan Penelitian 12

Pengamatan Pengumpulan Polen 12

Preparasi Polen 12

Identifikasi Polen 13

Pengamatan Aktivitas Penerbangan 13

Analisis Data 14

HASIL 15

Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps 15

Aktivitas Penerbangan T. laeviceps 17

Pola Aktivitas Penerbangan Harian 17

Hubungan Antara Aktivitas Penerbangan Harian dan Faktor Cuaca 23

Ritme Aktivitas Penerbangan Harian 24

PEMBAHASAN 26

Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps 26

(16)

Pola Aktivitas Penerbangan Harian 27 Hubungan Antara Aktivitas Penerbangan Harian dan Faktor Cuaca 29

Ritme Aktivitas Penerbangan Harian 30

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

(17)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah T. laeviceps pembawa polen (ekor) 15

2 Perbedaan status koloni terhadap aktivitas penerbangan harian T.

laeviceps berdasarkan uji Mann-Whitney U 18

3 Perbedaan waktu terhadap aktivitas penerbangan harian T. laeviceps

antara koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan uji Kruskal Wallis 18 4 Perbedaan aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat

dan koloni lemah saat pagi, siang, dan sore hari berdasarkan uji

Wilcoxon Sign 22

5 Korelasi antara aktivitas penerbangan harian T. laeviceps dan beberapa

unsur cuaca berdasarkan uji korelasi Spearman 24

6 Akrofase aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat

dan koloni lemah nerdasarkan uji Rayleigh 25

7 Perbandingan aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan uji F Watson-Williams 25

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur sarang T. laeviceps di dalam batang bambu 3 2 Perbedaan sel anakan antara calon pekerja dan calon jantan pada T.

fuscobalteata 4

3 Ratu T. laeviceps 5

4 Pengukuran skala sirkular 8

5 Distribusi sirkular 8

6 Model naungan penempatan stup T. laeviceps 11

7 Model stup T. laeviceps 11

8 Kerucut transparan 12

9 Jenis dan tipe morfologi polen pada korbikula T. laeviceps 16 10 Kondisi koloni-koloni T. laeviceps di dalam stup 17 11 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps keluar

dan masuk sarang pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan

waktu harian 19

12 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps membawa polen dan resin pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu

harian 20

13 Imago T. laeviceps membawa polen dan resin 20

14 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps membuang

sampah pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu harian 21

15 Jenis-jenis sampah 21

16 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps pada

koloni kuat dan koloni lemah saat pagi, siang, dan sore hari 22 17 Persentase aktivitas penerbangan T. laeviceps pada koloni kuat dan

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses penyerbukan (polinasi) merupakan salah satu contoh interaksi komunitas pada tingkat ekosistem. Penyerbukan dipengaruhi oleh jarak pencarian pakan penyerbuk (polinator). Penyerbuk utama yang terkenal di seluruh wilayah ekologi adalah lebah (Hymenoptera: Apidae). Jarak pencarian pakan yang dilakukan oleh lebah dapat memengaruhi reproduksi seksual tanaman dan pembentukan struktur genetik populasi tanaman (Greenleaf et al. 2007).

Lebah yang berperan sebagai penyerbuk selain lebah madu (Apis sp.), yaitu lebah tak bersengat (stingless bee) (Travero et al. 2012). Lebah tak bersengat merupakan penyerbuk pada berbagai tanaman budi daya, seperti tomat, timun, stroberi, kopi, dan sebagainya (Slaa et al. 2006). Menurut Slaa et al. (2000), lebah tak bersengat berperan penting dalam penyerbukan tanaman pada daerah tropik, efektif untuk penyerbukan tanaman pertanian, dan umumnya menjadi penyerbuk utama pada bunga yang berukuran kecil. Lebah tak bersengat di Indonesia dikenal dengan beberapa nama, tergantung daerahnya, antara lain teuweul (Jawa Barat), klanceng (Jawa Tengah dan Jawa Timur), dan galo-galo (Sumatra Barat) (Erniwati 2013). Selanjutnya, lebah tak bersengat dalam penelitian ini disebut dengan teuweul. (Tetragonula) drescheri Schwarz, dan T. (Tetragonula) laeviceps Smith. Teuweul yang paling banyak ditemukan, khususnya di Indonesia dan umumnya di Asia Tenggara adalah T. laeviceps (Sakagami 1978; Chinh et al. 2005).

Sekarang, tata nama T. laeviceps telah berubah menjadi Tetragonula laeviceps (Smith) (Rasmussen dan Michener 2010). Hasil pengujian molekuler membuktikan bahwa Trigona sensu lato yang ditemukan pada kelompok wilayah

(19)

2

Aktivitas pencarian pakan dapat dipengaruhi oleh kondisi iklim, ketersediaan pakan, kompetisi, status koloni, serta morfologi dan fisiologi individu-individunya (Sommeijer et al. 1983; Ramalho et al. 1985; Ramalho et al. 1989; Roubik 1989). Perpaduan antara faktor internal dan eksternal dapat memengaruhi jumlah individu suatu koloni. Perbedaan jumlah individu suatu koloni dapat dijadikan parameter penggolongan status koloni sebagai koloni kuat, sedang, atau lemah (Hilario et al. 2000). Parameter lainnya yang dapat menggambarkan kondisi koloni (status koloni), yaitu jumlah sel dalam sarang serta proses provisioning dan oviposisi (Ramalho et al. 1998).

Banyak penelitian mengenai perilaku lebah madu (Apis spp.), tetapi sedikit sekali informasi mengenai perilaku teuweul (Pierrot dan Schlindwein 2003). Padahal, teuweul berpotensi besar untuk dikembangkan di Indonesia yang beriklim tropis. Hingga saat ini, masyarakat di pedesaan dan kawasan sekitar hutan sudah banyak membudidayakan teuweul. Selain sebagai mata rantai dalam penunjang perekonomian masyarakat, teuweul juga berpotensi sebagai penyerbuk tanaman pertanian dan kehutanan. Oleh sebab itu, diperlukan penelaahan lebih mendalam mengenai teuweul, khususnya T. laeviceps yang tersebar luas di Indonesia. Penelaahan awal dapat dilakukan dengan mempelajari perilaku T. laeviceps yang tergambar melalui aktivitas penerbangan harian.

Pengumpulan informasi mengenai jenis-jenis tanaman yang dijadikan sebagai sumber pakan, khususnya sumber polen merupakan salah satu bagian untuk mempelajari aktivitas penerbangan harian teuweul. Selain itu, belum ada penelitian mengenai pengaruh faktor internal, seperti status koloni terhadap aktivitas penerbangan harian teuweul di Indonesia. Pengukuran faktor cuaca, seperti suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya diperlukan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal terhadap aktivitas penerbangan harian teuweul.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari jenis-jenis tanaman yang dikunjungi oleh teuweul. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas penerbangan harian (keluar-masuk sarang, membawa polen dan resin, serta membuang sampah) dan ritme aktivitas T. laeviceps dalam hubungannya dengan status koloni dan faktor cuaca.

Manfaat Penelitian

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Struktur Sarang Teuweul

Di alam, sarang teuweul dapat ditemukan pada lubang pohon, seperti rambutan, mangga, dan durian atau pada batang bambu (Sakagami et al. 1983; Inoue et al. 1984a; Inoue et al. 1984b). Selain itu, sarang teuweul juga dapat ditemukan pada bangunan milik manusia, seperti celah di dinding, atap rumah dan pilar rumah yang terbuat dari kayu ((Sakagami et al. 1983; Inoue et al. 1984a). Secara umum, sarang teuweul berbeda dengan sarang lebah madu ((Wille dan Michener 1973). Struktur sarang teuweul terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian luar dan dalam (Gambar 1). Bagian terluar sarang adalah pintu masuk (panjang 2-10 cm dan diameter 7-10 mm) (Sakagami et al. 1983). Terkadang, ada koloni teuweul yang mempunyai pintu masuk memanjang dari luar sarang hingga ke dalam sarang. Selanjutnya, bagian dalam sarang terdiri atas batumen (sebuah lapisan pelindung yang terbuat dari propolis) (Wilson 1974). Pada bagian dalam sarang terdapat pot makanan dan sel anakan. Keduanya terbuat dari cerumen

(lapisan berwarna coklat yang merupakan hasil campuran antara lilin dan propolis) dan masing-masing saling berkelompok. Pot makanan terdiri atas dua bagian, yaitu pot polen dan pot madu. Keduanya berbentuk oval dengan panjang 7-14 mm dan lebar 5-11 mm (Sakagami et al. 1983).

Letak sel anakan berdekatan dengan pot makanan. Sel anakan berbentuk oval dan tersusun tidak beraturan. Tiap-tiap sel anakan dihubungkan dengan pilar-pilar dengan panjang 1-2 mm (Sakagami et al. 1983). Sel anakan yang baru dibuat berwarna kecoklatan, sedangkan sel anakan yang sudah lama warnanya menjadi kuning pucat (Chinh et al. 2005). Sel anakan calon pekerja yang baru dibuat mempunyai tinggi 3.9 mm dan lebar 3 mm, sedangkan sel anakan calon pekerja yang sudah lama mempunyai tinggi 3.6 mm dan lebar 2.5 mm. Pada spesies lain,

cerumen sel anakan dikurangi setelah pembentukkan kokon. Sel anakan calon pekerja lebih kecil dibandingkan dengan sel anakan calon ratu (tinggi 6 mm dan lebar 4 mm) (Sakagami et al. 1983).

Gambar 1 Struktur sarang T. laeviceps di dalam batang bambu (Sakagami et al. 1983)

(21)

4

Gambar 2 Perbedaan sel anakan antara calon pekerja dan calon jantan pada T. fuscobalteata (Boongird 2011)

tas sel yang terbuka berkisar antara 1.90-1.95 mm. Sel anakan calon jantan mempunyai tinggi 4.48 mm (4.45-4.50 mm), lebar 3.14 mm (3.10-3.15 mm), dan diameter bagian atas sel yang terbuka sekitar 1.80-1.85 mm. Kedua sel anakan tersebut berbentuk oval, tetapi sel anakan calon pekerja lebih simetris pada bagian tepinya dibandingkan dengan sel anakan calon jantan (Boongird 2011).

Struktur Koloni Teuweul

Koloni teuweul terdiri atas ratusan hingga ribuan individu yang sebagian besar adalah betina (Koedam et al. 2005). Struktur koloni teuweul terdiri atas ratu, jantan, dan pekerja yang berjenis kelamin betina. Secara genetik, perbedaan antara jantan dan betina disebabkan oleh fertilisasi telur. Jika telur tidak difertilisasi, maka telur akan menjadi imago jantan dan jika difertilisasi, maka telur akan menjadi betina. Penentuan jenis kelamin (determinasi seks) ini disebabkan oleh haplodiploidi (Velthuis et al. 2005). Secara morfologi, jantan mempunyai antena lebih panjang (13 segmen) dibandingkan dengan betina (12 segmen). Selain itu, jantan mempunyai mata lebih besar dan tibia belakang lebih ramping dibandingkan dengan betina (Sakagami et al. 1990).

(22)

5

Gambar 3 Ratu T. laeviceps (Inoue et al. 1984a)

Sumber Nutrisi Teuweul

Polen

Polen adalah organ reproduksi jantan pada bunga. Polen sering dibawa oleh angin dan hewan menuju stigma (organ reproduksi betina). Mayoritas dari 300 ribu spesies tanaman, penyerbukannya dibantu oleh serangga, sehingga ada simbiosis mutualisme antara serangga dan tanaman. Pengumpulan polen yang dilakukan oleh lebah dapat meningkatkan nilai “pollination services” pada

tanaman (Jongjitvimol dan Wattanachaiyingcharoen 2006). Ketika teuweul mengunjungi bunga, polen menempel pada korbikula (bagian dari tungkai belakang). Hal ini yang menyebabkan terjadinya proses penyerbukan karena lebah berpindah dari satu bunga ke bunga yang lain (Souza et al. 1996).

Teuweul memanfaatkan polen sebagai sumber utama protein, lipid, vitamin, mineral, dan sebagian karbohidrat (Souza et al. 1996; Jongjitvimol dan Wattanachaiyingcharoen 2006). Sebagian besar teuweul memberi makan larva dengan polen, sedangkan sumber nutrisi imago berasal dari polen dan nektar. Polen bernutrisi tinggi dan sangat penting bagi pertumbuhan larva dan perkembangan fisiologi lebah pekerja (Keller et al. 2005). Polen dan nektar (floral dan ekstra-floral) dikumpulkan oleh lebah pekerja dan disimpan dalam pot-pot penyimpanan khusus dalam sarang. Adanya cadangan makanan menyebabkan koloni dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan jika makanan tidak tersedia (Eltz 2001).

Nektar

(23)

6

ekstra-floral adalah nektar yang berasal dari bagian lain selain bunga (Seeley 1985).

Nektar diproses secara enzimatis di dalam metasoma lebah pekerja menjadi madu, kemudian dikeluarkan dan disimpan di dalam pot-pot makanan. Madu yang baru dikeluarkan mengandung kadar air yang tinggi (lebih dari 30%), sehingga pekerja mengepakkan sayap untuk menurunkan kadar air madu hingga menjadi 18-20%. Pengurangan kadar air pada madu penting untuk mencegah fermentasi oleh mikroorganisme (Seeley 1985).

Resin dan Propolis

Teuweul mengumpulkan bahan lain yang digunakan untuk kebutuhan koloni, selain mengumpulkan polen dan nektar dari bunga, yaitu resin. Teuweul mengumpulkan banyak resin dari tanaman untuk membangun, memperbaiki, dan melindungi sarangnya. Resin yang dikumpulkan berasal dari pohon, buah, atau bagian tanaman lainnya, kemudian dicampur dengan lilin untuk membangun sarang sehingga menjadi cerumen. Resin bersifat lengket. Teuweul mengum-pulkan resin menggunakan mandibel, kemudian dipindahkan ke korbikula. Teuweul juga menggunakan resin untuk melapisi bagian dalam sarang agar terhindar dari bakteri dan cendawan, sehingga resin dapat digunakan sebagai sistem imun koloni. Detterent dari resin mengandung terpena, terutama

mono-dan sesquiterpena yang diproduksi oleh pohon sebagai perlindungan dari herbivora dan/atau mikroba (Leonhardt 2010).

Resin memiliki beberapa fungsi bagi teuweul, salah satunya sebagai bahan untuk membangun sarang. Hal ini tentunya yang menjadi pembeda dengan perilaku lebah madu yang membangun sarang dari bahan lilin. Selain itu, resin digunakan sebagai perlindungan dari hewan lainnya. Adanya resin yang lengket pada pintu masuk sarang, membuat predator terjebak, sehingga koloni tetap terlindungi (Leonhardt 2010). Ketika berada pada suhu panas, resin sangat lembut dan lengket, tetapi jika berada pada suhu dingin, resin akan keras dan mudah rusak (Surendra et al. 2012).

Propolis merupakan nama generik dari resin lebah. Kata propolis berasal

dari bahasa Yunani, yaitu “pro” artinya sebelum atau pertahanan dan “polis

artinya kota. Jadi, propolis adalah pertahanan kota atau memiliki arti sebagai sistem pertahanan pada sarang lebah. Oleh karena sifatnya yang lengket seperti lem, propolis disebut sebagai beeglue (Hasan 2013). Propolis mengandung lebih dari 300 senyawa kimia seperti flavonoid dan phenolik (Surendra et al. 2012).

(24)

7

Perilaku Membuang Sampah

Aktivitas teuweul keluar sarang, selain mencari sumber pakan dan resin, juga membuang sampah. Pekerja membuang sampah yang berasal dari dalam sarang dengan menggunakan mandibel. Pekerja akan membuang sampah di sekitar sarang. Ada interaksi antara waktu pada saat mencari polen dengan aktivitas membuang sampah (Eltz 2001). Sampah (detritus) koloni terdiri atas kotoran, sel yang sudah tua,lebah dan larva yang mati, serta exuvia pupa (Nunes-Silva et al. 2010).

Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Aktivitas Penerbangan Harian Teuweul

Aktivitas penerbangan Melipona scutellaris Latreille (Hymenoptera: Apidae) di Brazil menunjukkan lebih dari 90% pekerja melakukan aktivitas mencari pakan. Puncak aktivitas mencari pakan terjadi antara pukul 05.00 dan 07.00, sedangkan puncak aktivitas membawa polen terjadi antara pukul 05.00 dan 09.00. Kedua aktivitas tersebut menurun pada siang hari (Pierrot dan Schlindwein 2003). Puncak aktivitas mencari pakan pada Trigona spp. yang ada di Serawak (Malaysia) terjadi pada pukul 10.30. Pada saat pagi hari (pukul 07.30), pekerja lebih banyak membawa polen daripada nektar, tetapi pada saat siang hari (pukul 14.30), pekerja lebih banyak membawa nektar daripada polen (Nagamitsu dan Inoue 2002). Aktivitas tertinggi T. laeviceps pada pertanaman stroberi terjadi pukul 13.30-14.00 WIB (Harahap 2013). Pada tanaman Tectona grandis, puncak aktivitas penerbangan (mencari pakan) Trigona collina Smith (Hymenoptera: Apidae) terjadi pada pukul 10.00-12.00 (Tangmitcharoen et al. 2006).

Aktivitas mencari polen, nektar, dan air tergantung dari kondisi cuaca dan kebutuhan koloni. Suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya meru-pakan faktor-faktor cuaca yang memengaruhi aktivitas mencari meru-pakan. Jika suhu udara semakin meningkat, maka energi yang dibutuhkan untuk penerbangan mencari pakan semakin besar (Gojmerac 1983). Trigona carbonaria Smith (Hymenoptera: Apidae) dapat bertoleransi pada suhu tinggi dibandingkan dengan

(25)

8

Akrofase

Pada beberapa penelitian, data yang diteliti secara periodik dianalisis menggunakan statistik sirkular. Menurut Zar (2010), pengukuran skala sirkular secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan arah mata angin, waktu per hari, dan bulan per tahun (Gambar 4). Hasil analisis statistik sirkular dapat ditampilkan dalam bentuk akrofase (acrophase), yaitu waktu lokal yang menggambarkan puncak aktivitas atau dapat juga diartikan sebagai waktu istimewa dari aktivitas berdasarkan data yang diamati (Mahan 1991).

Gambar 4 Pengukuran skala sirkular, a) arah mata angin, b) jam per hari, c) bulan per tahun (Zar 2010).

Pada statistik sirkular, akrofase dilambangkan dengan µ (vektor rata-rata). Nilai µ dapat berupa waktu (jam dan menit) dan sudut (°) (Gambar 5). Radius dari

(26)

9

(27)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium dan lapangan. Kegiatan identifikasi serangga, preparasi polen, dan identifikasi polen dilakukan di laboratorium yang ada lingkungan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan di lapangan meliputi pengumpulan polen dan penga-matan aktivitas penerbangan teuweul keluar-masuk sarang. Pengapenga-matan di lapangan dilakukan di halaman Asrama Putri (A1) TPB (06°33’20’’S dan 106°43’

48’’E dengan ketinggian tempat 343 m dpl), yaitu tempat peletakkan stup lebah. Penelitian berlangsung sejak November 2014 hingga Oktober 2015.

Persiapan Penelitian

Identifikasi T. laeviceps

Teuweul yang diidentifikasi adalah kasta pekerja. Koloni teuweul yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Desa Cibeber 1, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (48°678’999’’E dan 927°48’ 69’’N

dengan ketinggian tempat 342 m dpl). Sampel dikoleksi dengan menggunakan botol plastik yang diletakkan di depan pintu masuk stup, kemudian stup dipukul perlahan-lahan untuk memancing beberapa individu keluar. Setelah terkumpul, ke dalam botol plastik sampel serangga ditambahkan 10 tetes alkohol 70%. Sampel diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi dari Sakagami et al. (1990) sampai tingkat spesies. Sampel difoto dengan menggunakan program dino-lite digitalmicroscope yang dihubungkan dengan mikroskop stereo dan compound.

Pembuatan Naungan dan Stup (Kotak Sarang)

Naungan dibuat mengacu pada penelitian Putra (2013), namun dilakukan modifikasi pada ukuran dan bahan yang digunakan. Atap naungan terbuat dari bonet, sehingga dapat melindungi stup dari air hujan dan panas. Kerangka nau-ngan terbuat dari kayu dan bagian alas yang digunakan untuk menempatkan stup terbuat dari bambu. Ukuran naungan 65.5 cm x 47.5 cm x 100 cm dan atap naungan 86 cm x 79.5 cm (Gambar 6). Jumlah naungan yang digunakan sebanyak 3 buah dan setiap naungan diisi 2 buah stup. Jarak antara naungan sekitar 4 m.

(28)

11

Gambar 6 Model naungan penempatan stup T. laeviceps

Gambar 7 Model stup T. laeviceps, a) ukuran, b) lapisan-lapisan penutup stup.

Pemindahan Koloni ke Stup Baru

Koloni teuweul yang digunakan sebanyak 6 koloni (stup). Koloni diadap-tasikan di lingkungan baru selama 1 minggu. Koloni dari stup lama dipindahkan ke stup baru pada pagi hari antara pukul 06.00-09.00 WIB karena koloni belum melakukan aktivitas yang terlalu tinggi. Ratu dicari dan dipindahkan terlebih dahulu ke stup baru dengan hati-hati, kemudian stup baru ditutup dengan kaca untuk sementara waktu. Pada pintu masuk stup baru diolesi dengan propolis yang berasal dari stup lama. Hal ini bertujuan agar pekerja dapat segera mendeteksi keberadaan stup baru. Sel anakan, pot penyimpanan makanan, dan propolis dari stup lama dipindahkan ke stup baru. Stup lama yang telah kosong dijauhkan dari stup baru agar koloni tidak kembali lagi ke stup lama.

Koloni-koloni yang telah dipindahkan ke stup baru diadaptasikan selama 1 minggu. Setelah proses adaptasi, koloni dipindahkan ke lingkungan baru. Sebelum memindahkan stup baru, dilakukan pemindahan naungan terlebih dahulu. Proses pemindahan koloni-koloni ke lingkungan baru dilakukan pada saat malam hari

ɸ 0.5 cm 28 cm 11 cm

21 cm

(a)

Plastik mika Kaca

Papan tripleks

(b) 65.5 cm

47.5 cm 31.5 cm

40.5 cm

28 cm

86 cm

(29)

12

dan pintu masuk ditutup dengan perekat, selanjutnya koloni-koloni tersebut diadaptasikan lagi selama 1 minggu.

Pembuatan Kerucut Transparan

Guna mempermudah pengamatan aktivitas teuweulyang keluar-masuk stup, maka digunakan kerucut transparan yang telah dimodifikasi berdasarkan metode dari penelitian Eltz (2001). Kerucut transparan terbuat dari bahan plastik mika berukuran 14 cm x 13 cm yang dibentuk menyerupai kerucut, kemudian dire-katkan di depan pintu masuk stup dengan menggunakan selotip. Bagian depan lebih panjang dibandingkan bagian belakang (Gambar 8). Bagian depan diberi 1 lubang sebagai lubang keluar-masuk pekerja dan bagian belakang mengarah ke bagian pintu masuk stup. Lubang tersebut berdiameter 0.5 cm dan diberi propolis yang berasal dari dalam stup. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak ada celah/lubang lain yang dijadikan jalan keluar-masuk selain lubang yang ada pada kerucut transparan. Setelah pemasangan kerucut transparan, koloni diadaptasikan selama 1 minggu sebelum pengamatan.

Gambar 8 Kerucut transparan, anak panah menunjukkan arah keluar pekerja dari stup (Eltz 2001).

Pelaksanaan Penelitian

Pengamatan Pengumpulan Polen

Serangga pekerja yang membawa polen pada bagian tungkai belakang ditangkap dengan menggunakan jaring serangga. Penangkapan serangga pekerja dari masing-masing koloni dilakukan pada pagi hari dimulai pukul 07.00-09.00 WIB, siang hari dimulai pukul 11.00-13.00 WIB, dan sore hari dimulai pukul 15.00-17.00 WIB.

Pada setiap periode waktu pengamatan, dilakukan penangkapan serangga pada setiap koloni selama 10 menit dengan interval waktu 10 menit dan pengulangan dilakukan sebanyak 2 kali. Polen dari tungkai belakang serangga diambil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian disimpan di tempat kering untuk diamati lebih lanjut. Sampel polen dari bunga-bunga yang berada pada jarak maksimal 50 m dari penempatan koloni, juga dikumpulkan.

Preparasi Polen

Preparasi polen yang dibawa oleh pekerja dilakukan dengan metode ace-tolysis berdasarkan penelitian Delaplane et al. (2013), namun dilakukan

modi-Bagian depan

(30)

13 fikasi pada beberapa tahapan. Ke dalam tabung eppendorf yang berisi polen di-tambahkan larutan asam asetat glasial sebanyak 0.1 ml. Setelah didiamkan selama 10 menit, eppendorf disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dibuang. Selanjutnya, ke dalam eppendorf ditambahkan larutan acetolysis yang merupakan campuran asam asetat glasial dan asam sulfur dengan perbandingan 9:1, sebanyak 0.1 ml.

Polen yang telah diberi larutan acetolysis, dipanaskan di dalam panci berisi 2500 ml air sampai air mendidih dan ditunggu selama 5 menit, kemudian didi-nginkan selama 5 menit. Selanjutnya, larutan disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan dibuang. Ke dalam eppendorf

ditambahkan akuades sebanyak 0.1 ml, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Pencucian dengan akuades diulangi sekali lagi, kemudian ditambahkan glycerin 0.1 ml dan polen siap untuk dibuat preparat. Pada gelas objek ditambahkan setetes campuran polen dan gly-cerin, kemudian ditutup dengan gelas penutup dan dikeringkan selama 1 minggu. Setelah itu, bagian tepi gelas penutup diberi cat kuku transparan agar tidak terjadi penguapan media.

Identifikasi Polen

Pengambilan gambar preparat polen dilakukan dengan menggunakan program dino-lite digital microscope yang dihubungkan dengan mikroskop

compound. Sampel polen yang berasal dari tungkai belakang serangga diiden-tifikasi dengan menggunakan kunci idendiiden-tifikasi Rull (2003), kemudian dico-cokkan dengan koleksi polen dari Erdtman (1972), Willard et al. (2004), dan APSA (2007). Identifikasi sampel polen dilakukan sampai tingkat spesies. Jika ada sampel polen yang mempunyai banyak tipe dalam satu famili, tetapi belum dapat diidentifikasi sampai tingkat genus/spesies, maka tiap-tiap morfotipe diberikan sebuah kode, seperti Rubiaceae Anonim 1, Rubiaceae Anonim 2, dan sebagainya. Karakteristik polen yang diidentifikasi yaitu bentuk polen jika dilihat dari sisi ekuator atau polar. Selain itu, polen dari tungkai serangga dicocokkan juga dengan preparat polen yang telah dibuat berdasarkan sampel polen yang dikumpulkan dari bunga-bunga pada jarak maksimal 50 m dari Asrama Putri.

Pengamatan Aktivitas Penerbangan

Pengamatan aktivitas penerbangan dilakukan terhadap enam koloni. Pengamatan ini dilakukan pada hari yang berbeda dengan pengamatan pengumpulan polen. Pengamatan dilakukan antara pukul 06.00-17.55 WIB. Waktu pengamatan dibagi menjadi tiga periode, yaitu pagi hari dimulai pukul 06.00-09.55 WIB, siang hari dimulai pukul 10.00-13.55 WIB, dan sore hari dimulai pukul 14.00-17.55 WIB. Pada setiap periode, setiap koloni diamati secara bergantian selama 5 menit dengan interval 5 menit, setelah pengamatan pada koloni sebelumnya. Satu naungan berisi 2 koloni. Pengamatan dilakukan 2 kali seminggu selama 3 bulan.

Jumlah pekerja yang masuk, membawa polen dan resin, serta yang keluar dan membuang sampah melalui lubang stup, dihitung dengan menggunakan

(31)

14

membawa polen, maka tungkai belakang akan berwarna kuning/jingga/putih tidak mengkilap, sedangkan pekerja yang membawa resin, maka tungkai belakang akan berwarna putih/cokelat mengkilap.

Pekerja yang keluar dari stup akan keluar dari lubang stup terlebih dahulu, kemudian keluar melalui lubang kerucut transparan. Pekerja yang keluar sambil membuang sampah dapat dilihat dari mandibel. Faktor cuaca seperti suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya di luar sarang diukur setiap jam per pengamatan koloni dengan menggunakan termohigrometer (TFA Dostmann 30.5002) dan luxmeter (Lutron LX-107).

Analisis Data

Koloni 1, 3, dan 4 memiliki pot makanan dan sel anakan yang cukup banyak. Koloni 2 dan 5 hanya mempunyai sedikit pot makanan tanpa ada sel anakan, sedangkan koloni 6 mempunyai sedikit pot makanan dan sel anakan. Demi keperluan analisis data, koloni 1, 3, dan 4 dikelompokkan sebagai koloni kuat dan koloni 2, 5, dan 6 dikelompokkan sebagai koloni lemah. Oleh karena data aktivitas penerbangan tidak mengikuti sebaran normal (uji Kolmogorov-Smirnov, p < 0.05), maka untuk memeriksa perbedaan banyaknya penerbangan antara koloni kuat dan lemah digunakan uji Mann-Whitney, sedangkan untuk membandingkan perbedaan aktivitas penerbangan harian digunakan uji Kruskal Wallis. Koefisien korelasi Spearman (rs) digunakan untuk menduga hubungan antara berbagai unsur cuaca (suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas cahaya) dengan aktivitas penerbangan teuweul. Penilaian korelasi berdasarkan koefisien korelasi menurut Fowler et al. (1998), yaitu sangat lemah (0.00-0.19), lemah (0.20-0.39), sedang (0.40-0.69), kuat (0.70-0.90), dan sangat kuat (0.90-1.00). Seluruh analisis data tersebut menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 22 untuk Windows.

(32)

HASIL

Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps

Sampel polen yang diidentifikasi berasal dari 3 koloni. Pengamatan pe-ngumpulan polen dilakukan sebanyak 2 kali. Pada saat pengamatan pepe-ngumpulan polen dari masing-masing koloni, hanya koloni 4 yang tidak melakukan aktivitas pengumpulan polen pada hari ke-1 dan ke-2. Selain itu, ada 2 koloni yang tidak melakukan aktivitas pengumpulan polen pada hari ke-2, yaitu koloni 2 dan koloni 6, sehingga aktivitas pengumpulan polen dari kedua koloni tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam data pengamatan.

Pada saat proses pengamatan sampel polen, ditemukan polen-polen minori-tas dan mayoriminori-tas per sampel preparat. Identifikasi sampel polen hanya dilakukan pada polen-polen mayoritas saja. Jumlah pekerja teuweul yang membawa polen dari masing-masing koloni dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah T. laeviceps pembawa polen (ekor) Jenis tanaman (Famili – Spesies) Koloni

(33)

me-16

ngambil polen dari 1 famili tumbuhan, yaitu Rubiaceae. Polen yang paling banyak dibawa oleh teuweul berasal dari Famili Rubiaceae. Jenis dan tipe morfologi po-len yang dibawa oleh teuweul dapat ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Jenis dan tipe morfologi polen pada korbikula T. laeviceps, E (ekuator), P (polar), a) T. orientalis (4-colporate), b) T. procumbens (4-colporate), c) Cyperaceae Anonim 1 (monocolpate/monosulcate), d) E. hirta

(3-colporate), e) E. milii colporate), f) Euphorbiaceae Anonim 1 (3-colporate), g) Myrtaceae Anonim 1 (parasyncolpate), h) Phyllanthaceae Anonim 1 (trichotomosulcate), i) Polygonaceae Anonim 1 (zonocol-porate), j) H. auricularia (zonocolporate), k) Rubiaceae Anonim 1 (4-colporate), l) Rubiaceae Anonim 2 (3-(4-colporate), m) L. camara (3-4-colporate).

a

P

b B

P

c

E

d e f

i

E

k K

P

E

P l

m K

E P

g

h

P

E

(34)

17 Ada 4 jenis tumbuhan yang sebagian besar berada di dekat sarang, yaitu

Tridax procumbens (sangga langit), Euphorbia hirta (patikan kebo), E. milii

(mahkota duri), dan Hedyotis auricularia (remek watu). Tabernaemontana orientalis (jembirit) dan Lantana camara (tembelekan) tumbuh beberapa meter dari sarang, sedangkan jenis polen lainnya tidak cocok dengan sampel polen yang diambil dari bunga-bunga pada jarak maksimal 50 m dari penempatan koloni. Kondisi ini menandakan bahwa teuweul dapat mencari polen pada jarak lebih dari 50 m.

Aktivitas Penerbangan T. laeviceps

Pola Aktivitas Penerbangan Harian

Kondisi kedua kelompok koloni teuweul di dalam stup, berbeda. Koloni kuat mempunyai jumlah pekerja, sel anakan, dan pot makanan lebih banyak dibandingkan dengan koloni lemah (Gambar 10).

Gambar 10 Kondisi koloni-koloni T. laeviceps di dalam stup, a) koloni 1, b) koloni 3, c) koloni 4, d) koloni 2, e) koloni 5, f) koloni 6. Kolo- ni kuat (a, b, c), koloni lemah (d, e, f).

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(35)

18

Gambar 10a, 10b, dan 10c menunjukkan kondisi stup koloni kuat yang di-penuhi oleh sel anakan, pot makanan, dan propolis. Hal berbeda ditunjukkan oleh Gambar 10d dan 10e yang memperlihatkan kondisi stup yang hanya terdiri atas pot makanan saja, sedangkan Gambar 10f menunjukkan kondisi koloni 6 yang mempunyai pot makanan dan sedikit sel anakan. Berdasarkan hal tersebut, maka koloni 1, 3, dan 4 digolongkan sebagai koloni kuat, sedangkan 3 koloni lainnya digolongkan ke dalam koloni lemah. Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U, per-bedaan ukuran koloni menyebabkan perper-bedaan aktivitas penerbangan teuweul (p < 0.001; Tabel 2). Selain itu, aktivitas penerbangan harian menunjukkan bahwa banyaknya teuweul yang keluar-masuk sarang, membawa polen dan resin, serta membuang sampah, baik pada koloni kuat maupun koloni lemah berbeda sangat nyata (uji Kruskal Wallis, p < 0.001) antara jam-jam pengamatan (Tabel 3).

Tabel 2 Perbedaan status koloni terhadap aktivitas penerbangan harian

T. laeviceps berdasarkan uji Mann-Whitney U

Tabel 3 Perbedaan waktu terhadap aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan uji Kruskal Wallis

Peubah Koloni kuat Koloni lemah

χ 2 p χ 2 p

Gambar 11a menunjukkan aktivitas penerbangan keluar sarang dari koloni kuat dan koloni lemah. Puncak aktivitas penerbangan keluar sarang dari koloni kuat terjadi pada pukul 11.00 WIB (67.88 ekor pekerja), sedangkan puncak aktivitas penerbangan keluar sarang dari koloni lemah terjadi pada pukul 10.00 WIB (24.29 ekor pekerja). Kedua koloni sama-sama memulai aktivitas pada pukul 06.00 WIB dengan jumlah pekerja 4.86 ekor dari koloni kuat dan 0.74 ekor dari koloni lemah.

(36)

19

Gambar 11 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps keluar dan masuk sarang pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu harian, a) keluar sarang, b) masuk sarang.

Aktivitas membawa polen ke sarang, juga menunjukkan perbedaan antara kedua koloni (Gambar 12a). Pada koloni kuat, puncak aktivitas penerbangan membawa polen terjadi pada pukul 10.00 WIB (5.94 ekor), kemudian tiap 2 jam berikutnya, aktivitas tersebut hampir mendekati konstan dan menurun pada pukul 17.00 WIB. Pada koloni lemah, aktivitas penerbangan membawa polen yang mendekati konstan ditunjukkan mulai pukul 11.00 WIB, kemudian selang 2 jam berikutnya, aktivitas tersebut menurun dan hampir mendekati konstan dengan aktivitas selanjutnya. Pada pukul 15.00 WIB terjadi penurunan dan meningkat lagi pada pukul 16.00. Puncak aktivitas penerbangan membawa polen dari koloni lemah terjadi pada pukul 09.00 WIB (1.58 ekor).

Selain membawa polen, aktivitas yang dilakukan oleh pekerja teuweul pada saat masuk ke sarang yaitu membawa resin. Jumlah pekerja yang membawa resin lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja yang membawa polen. Puncak aktivitas penerbangan membawa resin dari koloni kuat dan koloni lemah terjadi pada pukul 12.00 WIB dan pukul 11.00 WIB dengan jumlah pekerja masing-masing sebanyak 2.83 ekor dan 0.44 ekor (Gambar 12b). Aktivitas membawa resin lebih berfluktuasi dibandingkan dengan aktivitas membawa polen yang dilakukan oleh pekerja teuweul dari koloni kuat dan jumlah pekerja yang membawa resin dari koloni kuat lebih banyak dibandingkan dengan koloni lemah.

Aktivitas teuweul keluar-masuk sarang berhubungan dengan pencarian pa-kan berupa polen dan nektar yang berasal dari bunga. Selain itu, teuweul juga mencari resin dari tumbuhan sebagai bahan pembuatan sarang. Setiap individu mempunyai tugas masing-masing, yaitu ada yang mencari polen, ada yang menca-

(37)

20

Gambar 12 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps membawa polen dan resin pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu harian, a) membawa polen, b) membawa resin.

ri nektar, dan ada yang mencari resin. Setiap pekerja teuweul hanya membawa 1 jenis sumber pakan (polen atau nektar) atau resin pada saat masuk ke sarang. Satu ekor pekerja hanya membawa 1 jenis polen atau 1 jenis resin yang berasal dari 1 jenis tumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi kedua korbikula pekerja yang membawa polen atau resin dengan warna yang sama (Gambar 13).

(38)

21 Aktivitas lain yang dilakukan oleh pekerja teuweul yaitu membuang sampah. Gambar 14 menunjukkan pola aktivitas penerbangan teuweul membuang sampah dari kedua kelompok koloni. Pola dari aktivitas ini berbeda dengan aktivitas penerbangan lainnya karena jumlah pekerja teuweul yang terbang keluar dengan membawa sampah pada bagian mandibelnya, lebih menunjukkan fluktuasi, baik pada koloni kuat maupun koloni lemah.

Gambar 14 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps membuang sampah pada koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan waktu harian

Puncak aktivitas penerbangan membuang sampah yang dilakukan oleh kedua koloni tersebut terjadi pada waktu yang sama, yaitu pukul 09.00 WIB dengan jumlah pekerja 3.52 ekor (koloni kuat) dan 1.23 ekor (koloni lemah). Jenis sampah yang dibuang berupa imago muda yang sudah mati, sisa makanan, dan sisa pembuatan sarang yang sudah tidak terpakai (Gambar 15).

Gambar 15 Jenis-jenis sampah, a) bangkai imago muda, b) sisa makanan, c) sisa pembuatan sarang.

Jika aktivitas penerbangan kedua koloni teuweul dibedakan berdasarkan pagi, siang, dan sore hari, maka akan terlihat seperti Gambar 16. Secara keseluruhan, aktivitas penerbangan kedua koloni tersebut lebih banyak terjadi saat siang hari (pukul 10.00-13.55 WIB). Jumlah pekerja dari koloni kuat yang beraktivitas lebih banyak dibandingkan dengan koloni lemah. Pada koloni kuat (Tabel 4), semua aktivitas penerbangan saat pagi, siang, dan sore hari berbeda nyata (uji Wilcoxon Sign, p < 0.05), kecuali aktivitas membuang sampah, perbedaan secara nyata hanya terjadi saat pagi-siang hari. Jumlah teuweul yang

(39)

22

membuang sampah lebih banyak terjadi saat pagi hari (1.93 ekor), sedangkan saat siang hari, jumlahnya menurun menjadi 1.38 ekor (Gambar 16a).

Gambar 16 Rata-rata dan galat baku aktivitas penerbangan T. laeviceps pada koloni kuat dan koloni lemah saat pagi, siang, dan sore hari, a) koloni kuat, b) koloni lemah.

Berdasarkan uji Wilcoxon Sign pada koloni lemah (Tabel 4), aktivitas penerbangan teuweul yang keluar sarang tidak berbeda nyata antara pagi dan sore hari (p > 0.05), sedangkan aktivitas penerbangan masuk ke sarang menunjukkan perbedaan secara nyata saat pagi, siang, dan sore hari. Aktivitas penerbangan membawa polen masuk ke sarang, juga tidak berbeda nyata antara pagi dan siang hari (uji Wilcoxon Sign, p > 0.05; Tabel 4). Puncak aktivitas membuang sampah terjadi pada siang hari (0.67 ekor; Gambar 16b), tetapi jumlah ini tidak berbeda nyata berdasarkan uji Wilcoxon Sign (p > 0.05).

Tabel 4 Perbedaan aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat dan koloni lemah saat pagi, siang, dan sore hari berdasarkan uji Wilcoxon Sign

Aktivitas penerbangan

Waktu pengamatan

Pagi-siang hari Pagi-sore hari Siang-sore hari

Z p Z p Z p

Keterangan: a = berdasarkan ranking negatif dan b = berdasarkan ranking positif

(40)

23 Gambar 17 menyajikan persentase jumlah teuweul dari koloni kuat dan koloni lemah yang beraktivitas. Teuweul yang tidak membawa polen atau resin pada korbikulanya, kemungkinan membawa materi lain seperti nektar atau air. Selisih persentase antara aktivitas penerbangan teuweul dari koloni kuat dan koloni lemah tidak terlalu banyak. Selisih persentase terbesar antara kedua kelompok koloni terdapat pada aktivitas masuk ke sarang, yaitu sebesar 7%, sedangkan persentase pekerja yang membawa polen lebih banyak berasal dari koloni kuatd dibandingkan dengan koloni lemah. Tidak semua teuweul yang keluar sarang melakukan aktivitas membuang sampah. Aktivitas penerbangan teuweul yang membawa polen atau resin berkorelasi positif dengan aktivitas membuang sampah, baik pada koloni kuat (rs = 0.211, p < 0.01 dan rs = 0.274, p < 0.01) maupun koloni lemah (rs = 0.270, p < 0.01 dan rs = 0.099, p < 0.01).

Gambar 17 Persentase aktivitas penerbangan T. laeviceps pada koloni kuat dan koloni lemah, a) koloni kuat, b) koloni lemah.

Hubungan Antara Aktivitas Penerbangan Harian dan Faktor Cuaca

Sebanyak 4.86 ± 1.44 ekor pekerja dari koloni kuat dan 0.74 ± 0.62 ekor pekerja dari koloni lemah memulai aktivitas penerbangan keluar sarang pada pukul 06.00 WIB (suhu udara 24.13°C, kelembapan udara 71.98%, dan intensitas cahaya 1.22 klux). Suhu udara dan intensitas cahaya semakin meningkat dan keduanya saling berkorelasi positif (rs = 0.408, p < 0.01). Kelembapan udara semakin menurun seiring dengan meningkatnya suhu udara (rs = -0.916, p < 0.01). Suhu udara meningkat menjadi 35°C pada pukul 14.00 WIB, kemudian menurun kembali (30°C) pada pukul 17.00 WIB. Hal ini berbeda dengan kelembapan udara, yaitu tinggi (72%) pada pukul 06.00 WIB, kemudian menurun pada siang

(a) (b)

4%

86% 10%

4%

96%

2%

93% 5%

5%

95% Masuk tanpa polen/resin Keluar tanpa sampah

Dengan sampah

Dengan polen

(41)

24

hari (pukul 13.00-14.00 WIB) dengan kelembapan terendah (33%). Intensitas cahaya tertinggi (35.45 klux) terjadi pada pukul 10.00-11.00 WIB.

Hasil analisis Spearman menunjukkan terdapat korelasi positif (sedang) antara suhu udara dengan aktivitas keluar sarang pada koloni kuat (rs = 0.572, p < 0.001) dan koloni lemah (rs = 0.463, p < 0.001) (Tabel 5). Begitu pula suhu udara yang berkorelasi positif (sedang) dengan aktivitas masuk ke sarang (koloni kuat: rs = 0.601, p < 0.001; koloni lemah: rs = 0.460, p < 0.001). Intensitas cahaya berkorelasi positif (sedang) dengan aktivitas keluar sarang pada koloni kuat (rs = 0.472, p < 0.001) dan koloni lemah (rs = 0.453, p < 0.001).

Tabel 5 Korelasi antara aktivitas penerbangan harian T. laeviceps dan beberapa unsur cuaca berdasarkan uji korelasi Spearman

Aktivitas penerbangan Unsur cuaca (rs)

Suhu udara Kelembapan udara Intensitas cahaya Koloni kuat

Sebaliknya, kelembapan udara berkorelasi negatif (sedang) dengan keluar sarang (koloni kuat rs = -0.553, p < 0.001; koloni lemah rs = -0.435, p < 0.001) dan masuk sarang (koloni kuat rs = -0.600, p < 0.001; koloni lemah rs = -0.433, p < 0.001). Aktivitas lainnya (membawa polen, membawa resin, membuang sampah) berkorelasi sangat lemah sampai dengan lemah dengan unsur cuaca yang diamati. Puncak aktivitas teuweul dari koloni kuat yang keluar sarang terjadi saat suhu udara 33.94°C, kelembapan udara 37.03 %, dan intensitas cahaya 29.89 klux, sedangkan aktivitas masuk ke sarang terjadi saat suhu udara 34.66°C, kelembapan udara 34.35 %, dan intensitas cahaya 23.40 klux. Pada koloni lemah, puncak aktivitas penerbangan keluar-masuk sarang terjadi saat suhu udara 32.83°C, kelembapan udara 41.83 %, dan intensitas cahaya 35.45 klux.

Ritme Aktivitas Penerbangan Harian

(42)

25 Tabel 6 Akrofase aktivitas penerbangan harian T. laeviceps antara koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan uji Rayleigh

Akrofase koloni lemah terjadi lebih awal dibandingkan dengan koloni kuat. Berdasarkan data akrofase tersebut dapat diketahui bahwa koloni lemah hanya membutuhkan waktu 8 menit, sedangkan koloni kuat membutuhkan waktu 19 menit dari aktivitas penerbangan keluar sarang hingga masuk ke sarang. Hal ini menandakan bahwa koloni lemah hanya sebentar beraktivitas keluar sarang dibandingkan dengan koloni kuat. Selisih akrofase antara aktivitas penerbangan koloni kuat dan koloni lemah yang paling pendek terjadi pada aktivitas membuang sampah (8 menit) dan selisih akrofase yang paling panjang terjadi pada aktivitas membawa polen (1 jam 46 menit). Panjang vektor rata-rata (r) aktivitas penerbangan koloni lemah lebih panjang (mendekati 1.00) dibandingkan dengan koloni kuat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa aktivitas penerbangan koloni lemah tidak tersebar pada setiap jam pengamatan. Semakin panjang nilai r

(maksimal 1.00), maka semakin seragam sebaran datanya. Panjang-pendeknya nilai r berkaitan dengan jumlah teuweul yang beraktivitas pada setiap jamnya. Perbandingan akrofase antara koloni kuat dan koloni lemah berdasarkan uji F Watson-Williams dapat dilihat pada Tabel 7. Akrofase semua aktivitas penerba-ngan teuweul dari kedua koloni berbeda nyata.

(43)

PEMBAHASAN

Jenis Polen yang Dibawa Koloni T. laeviceps

Adanya polen yang ditemukan dalam jumlah sedikit (minoritas) per preparat dapat disebabkan oleh kontaminasi. Hal ini terjadi di luar percobaan. Kemungkin-an dalam 1 bunga terdapat polen dari spesies lain yKemungkin-ang dibawa oleh pengunjung bunga sebelumnya. Oleh sebab itu, polen-polen minoritas dari spesies lain ber-campur dengan polen-polen mayoritas yang berasal dari bunga itu sendiri. Kon-taminasi polen juga dapat disebabkan oleh teuweul itu sendiri akibat adanya akti-vitas teuweul di dalam sarang yang berhubungan langsung dengan pot polen yang berisi polen-polen dari spesies lain (White et al. 2001).

Beberapa ekor teuweul dari koloni yang sama membawa polen yang berasal dari bunga yang sama pada hari ke-1 dan ke-2. Polen merupakan sinyal visual bunga yang dapat membuat penyerbuk untuk datang ke bunga (Willmer 2011). Polen dari setiap bunga yang berbeda spesies mempunyai warna yang berbeda-beda. Polen yang dibawa oleh teuweul berwarna kuning pucat atau kuning tua atau oranye. Satu ekor teuweul membawa polen yang mempunyai warna sama. Pada saat identifikasi polen, jenis polen yang ditemukan pada kedua korbikula seekor pekerja mempunyai karakter morfologi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa teuweulmengunjungi bunga yang sama dalam satu kali perjalanan mencari polen. Hasil penelitian Grant (1950) menunjukkan bahwa A. mellifera juga melakukan perilaku yang sama seperti teuweul dalam penelitian ini.

Jumlah pekerja teuweul yang berasal dari koloni 1 dan 3 lebih banyak mem-bawa polen dibandingkan dengan koloni 5. Walaupun saat pengamatan jumlah pe-kerja yang membawa polen tidak banyak, tetapi banyak-sedikitnya pepe-kerja yang membawa polen dapat menjadi pertanda bahwa ukuran ketiga koloni tersebut berbeda. Koloni 1 dan 3 dapat digolongkan ke dalam koloni kuat, sedangkan ko-loni 5 dapat digolongkan sebagai koko-loni lemah. Kemungkinan adanya perbedaan ukuran koloni tersebut berhubungan dengan ketersediaan sumber pakan (bunga) di lingkungan sekitar. Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi kelangsungan hidup koloni T. laeviceps. Menurut Oliveira-Abreu

et al. (2014), jumlah individu dalam sarang dan kelangsungan hidup koloni tergantung pada jumlah makanan yang dikumpulkan dan yang disimpan.

(44)

27 Oliveira-Abreu et al. (2014) lebih banyak membawa polen yang berasal dari tanaman Eucalyptus (Myrtaceae) karena jumlah Eucalyptus yang melimpah, sehingga tidak terjadi kompetisi dengan pekerja dari koloni lain. Figueiredo-Mecca et al. (2013) menjelaskan bahwa perubahan faktor iklim dapat memengaruhi produktivitas bunga. Hal ini berdampak pada ketersediaan jumlah polen, sehingga tidak semua bunga yang berada pada jarak 50 m dari penempatan koloni dikunjungi oleh teuweul.

Hal menarik lainnya yang terjadi pada saat pengamatan, teuweul selalu hinggap di bunga pada saat mencari pakan. Hal ini membuktikan bahwa teuweul merupakan salah satu serangga penyerbuk yang bersifat aktif dalam mengumpul-kan pamengumpul-kan (active targeted gathering). Penyerbuk yang aktif dalam mengumpul-kan pamengumpul-kan, sangat efektif dalam proses penyerbumengumpul-kan karena secara tidak langsung, polen-polen yang menempel pada tubuhnya akan berpindah tempat seiring dengan perpindahan si penyerbuk (Willmer 2011).

Aktivitas Penerbangan T. laeviceps

Pola Aktivitas Penerbangan Harian

Aktivitas penerbangan dari kedua kelompok koloni menunjukkan pola yang berbeda-beda. Faktor yang memengaruhi aktivitas penerbangan teuweul dapat berasal dari kondisi koloni itu sendiri. Koloni teuweul terdiri atas seekor ratu, beberapa ekor jantan, dan ratusan bahkan ribuan ekor pekerja. Salah satu tugas dari pekerja yaitu membuat sarang. Sarang teuweul terdiri atas pot penyimpanan makanan dan sel anakan. Pot penyimpanan makanan dibagi menjadi dua bagian, yaitu pot polen (berwarna coklat kekuningan) dan pot madu (berwarna coklat transparan). Semua bagian sarang terbuat dari resin yang berasal dari tumbuhan.

Sebuah koloni dikatakan kuat jika mempunyai jumlah sel anakan, pot makanan, dan pekerja yang banyak. Jika dilakukan penimbangan, maka berat stup yang berisi koloni semakin bertambah (dalam penelitian ini tidak dilakukan penimbangan berat stup). Selain itu, kondisi fisiologi atau ada-tidaknya ratu juga memengaruhi kondisi koloni (dalam penelitian ini, ratu dari masing-masing koloni masih ada). Koloni 2 dan 5 tidak ditemukan adanya sel anakan.

Hasil penelitian ini didukung oleh Hilario et al. (2003) yang mengkate-gorikan koloni Melipona bicolor Lepeletier (Hymenoptera: Apidae) di Brazil menjadi koloni kuat, sedang, dan lemah berdasarkan jumlah imago, ukuran sisiran, dan banyaknya pot penyimpanan makanan. Koloni kuat lebih banyak melakukan aktivitas keluar-masuk sarang, membawa polen dan resin, serta membuang sampah dibandingkan dengan koloni sedang dan lemah. Selain itu, Hilario et al. (2000) berpendapat bahwa koloni kuat akan memproduksi pekerja pencari pakan yang bertubuh besar dan mempunyai lebih banyak pekerja (pencari pakan) dibandingkan dengan koloni lemah.

(45)

28

suhu di dalam sarang. Rendahnya suhu di dalam stup akan berdampak pada fisiologi reproduksi ratu. Menurut Velthuis et al. (1999), ratu M. bicolor lebih sensitif terhadap suhu rendah dibandingkan dengan pekerja yang membangun sarang. Rata-rata produksi sel anakan yang dihasilkan di dalam stup bersuhu 20-23°C (panas) yaitu 1.60 sel anakan per jam (229 sel anakan).

Hal berbeda terjadi pada koloni lemah. Oleh karena jumlah pekerja dan sel anakan yang terdapat di dalam stup sedikit, maka kemungkinan suhu di dalam stup menjadi rendah. Akibatnya, pekerja menjadi sensitif terhadap suhu rendah. Engels et al. (2008) berpendapat bahwa pekerja yang sensitif terhadap suhu rendah, tiba-tiba akan melakukan perubahan tugas. Pekerja yang semula mem-bangun sel anakan, kemudian harus bertugas menstabilkan suhu. Jika suhu di dalam stup rendah (15°C), maka pekerja Scaptotrigona postica Latr. (Hymenoptera: Apidae) harus menstabilkannya dengan cara mengumpulkan partikel-partikel cerumen dengan menggunakan mandibel dan melapisinya di atas sel anakan. Para pekerja akan bergerak lambat jika suhu di dalam stup rendah. Jika suhu di dalam stup terlalu panas, maka pekerja akan mendinginkannya dengan cara melakukan kontraksi otot sayap bagian toraks (mengepakkan sayap). Pada saat pengamatan, di dalam stup terdengar suara getaran sayap yang menandakan para pekerja berusaha menurunkan suhu di dalam stup.

Teuweul melakukan aktivitas pencarian pakan yang dimulai pada pagi hari, kemudian jumlah pekerja yang membawa pakan meningkat pada siang hari dan menurun pada sore hari. Kemungkinan perilaku ini merupakan strategi dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber pakan, sama seperti perilaku pekerja

Trigona minangkabau Sakagami et Inoue (Hymenoptera: Apidae). Aktivitas penerbangan keluar-masuk sarang yang meningkat pada siang hari dan menurun pada sore hari berhubungan dengan aktivitas diurnal (Inoue et al. 1985).

Pekerja yang mencari polen membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengunjungi lebih banyak bunga tiap sekali penerbangan dibandingkan dengan pekerja yang mencari nektar (Biesmeijer dan Toth 1998). Selain itu, jarak sumber pakan dari sarang juga memengaruhi aktivitas penerbangan teuweul. Pada daerah tropis, ketersediaan polen bukan menjadi faktor pembatas aktivitas penerbangan teuweul, namun kompetisi intraspesifiklah yang menjadi faktor pembatas antara koloni kuat dan koloni lemah mencari polen (Hilario et al. 2000). Pekerja dari koloni lemah mengumpulkan polen lebih awal dibandingkan dengan koloni kuat. Selain itu, pekerja dari koloni lemah keluar sarang lebih awal dibandingkan dengan koloni kuat. Pencarian polen oleh M. bicolor dipengaruhi oleh musim. Kondisi musim memengaruhi produksi dan jumlah pekerja suatu koloni (Faria et al. 2012). Kemungkinan aktivitas pengumpulan polen dipengaruhi oleh faktor iklim yang berasosiasi dengan produktivitas sumber pakan (bunga) (Figueiredo-Mecca et al. 2013).

(46)

29 10 membuktikan bahwa stup dari koloni kuat lebih banyak dilapisi propolis pada bagian atas dibandingkan dengan koloni lemah. Fidalgo dan Kleinert (2007) berpendapat bahwa banyaknya jumlah resin yang dibawa oleh pekerja Melipona rufiventris Lepeletier (Hymenoptera: Apidae) ketika memasuki sarang dapat dikaitkan dengan perilaku defensif dari koloni tersebut.

Aktivitas membuang sampah yang dilakukan oleh teuweul dimulai pada pagi hari antara pukul 06.00-07.40 WIB. Pekerja membuang sampah dengan menggunakan mandibel. Aktivitas membuang sampah sangat penting bagi kesehatan sarang karena sampah berpotensi mengundang musuh, seperti lalat phorid (Hilario et al. 2003) dan mamalia (Kerr dan Kerr 1999). Pekerja Melipona scutellaris Latreille dan Melipona compressipes Fabricius (Hymenoptera: Apidae) membuang sampah sejauh 45 m dan 35 m dari sarang. Aktivitas ini secara nyata dapat menyuburkan hutan. Aktivitas membuang sampah kemungkinan berhubu-ngan deberhubu-ngan faktor internal dibandingkan deberhubu-ngan faktor eksternal, seperti musim dan faktor iklim (Nunes-Silva et al. 2010). Souza et al. (2006) menemukan bahwa ada korelasi positif antara jumlah polen dan nektar dengan sampah yang dihasilkan koloni Melipona asilvai Moure (Hymenoptera: Apidae). Pertumbuhan koloni berpengaruh langsung terhadap jumlah sampah yang dihasilkan.

Teuweul yang tidak membawa polen atau resin pada korbikula, sebagian besar membawa nektar atau air yang disimpan di dalam metasoma. Jadi, pekerja yang membawa nektar lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang membawa polen atau resin. Jika persentase pekerja yang membawa polen meningkat (bertambah), maka persentase pekerja yang membawa nektar akan menurun (berkurang). Sebaliknya, jika persentase pekerja yang membawa nektar mening-kat, maka persentase pekerja yang membawa polen akan menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya kompetisi pencarian pakan. Pencarian materi lain untuk kebutuhan koloni dan aktivitas membuang sampah tidak menimbulkan kompetisi, tetapi pencarian polen dan nektarlah yang dapat menimbulkan kompetisi (Hilario et al. 2003).

Hubungan Antara Aktivitas Penerbangan Harian dan Faktor Cuaca

Rentang suhu udara yang memengaruhi aktivitas penerbangan teuweul dalam penelitian ini, 20.20-42.40°C. Spesies dari Meliponini tidak keluar sarang sebelum suhu udara mencapai 19°C, tetapi M. scutellaris keluar sarang pada suhu 24°C dan Frieseomelitta doederleini (Friese) (Hymenoptera: Apidae) keluar sarang pada suhu 27°C (Gouw dan Gimenes 2013). Menurut Corbet et al. (1993), suhu udara menjadi faktor yang sangat penting bagi aktivitas penerbangan keluar sarang. Hilario et al. (2000) menyatakan bahwa Tetragonisca angustula Latreille (Hymenoptera: Apidae) tidak akan meninggalkan sarang jika suhu udara rendah walaupun intensitas cahaya sesuai. Rodrigues et al. (2007) juga berpendapat bahwa Plebeia emerina (Friese) (Hymenoptera: Apidae) tidak akan keluar sarang jika suhu udara rendah walaupun kelembapan udara dan intensitas cahaya mendukung. Suhu udara yang rendah dapat menurunkan metabolisme ketika beraktivitas terbang membawa pakan dan bergerak, sedangkan suhu udara yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas eksternal dan menginduksi perilaku untuk menurunkan suhu.

Gambar

Gambar 1 Struktur sarang T. laeviceps di dalam batang bambu (Sakagami et al.
Gambar 2 Perbedaan sel anakan antara calon pekerja dan calon jantan pada
Gambar 3 Ratu T. laeviceps (Inoue et al. 1984a)
Gambar 4 Pengukuran skala sirkular, a) arah mata angin, b) jam per hari, c) bulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

“(2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat

a) Pipa dengan sumbat beton dicor terlebih dahulu pada ujung bawah pipa baja dipancang dalam tanah dengan drop hammer sampai pada tanah keras. Cara pemasangan ini sama

Regurgitasi mitral kronik merupakan salah satu penyakit katup jantung yang sering dijumpai. Pada kelainan ini ditemukan beban volume yang berlebihan pada ventrikel kiri yang

aplikasi agar lebih menarik. Tahap prototype kedua versi 0.2.2015 tanggal 9 Februari 2015, aplikasi sudah diperbaiki dengan menyesuaikan hasil pengujian pada prototype

Koperasi Simpan Pinjam Artha Prima Unit Tengaran, memerlukan suatu sistem informasi yang dapat mempermudah menejer dalam menganalisa kelayakan kredit calon

Information systems play an important role helping companies optimize their business processes to achieve corporate objectives and increase competitive advantage in the face

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga dan evaluasi kualifikasi serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk

PT. Santosa Agrindo adalah anak perusahaan dari PT. Japfacomfeed Indonesia yang bergerak di agribisnis peternakan sapi potong, penggemukan sapi potong dan pengolahan