• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model of environmental conflict management in protection forest area (a case study In Register 45b Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model of environmental conflict management in protection forest area (a case study In Register 45b Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province)"

Copied!
473
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “MODEL PENANGANAN KONFLIK LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG: Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perfguruan Tinggi ataupun Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

(3)

ABSTRACT

GAMAL PASYA. Model of Environmental Conflict Management in Protection Forest Area (A case study in Register 45B Bukit Rigis Protection Forest Area, Lampung Province). Under supervision of: KOOSWARDHONO MUDIKDJO, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, CECEP KUSMANA and, SITI NURBAYA.

Environment conflict of forest management is the relationship between two or more parties that having and/or who feel having disagreement of goals in forest management because of differences in social relationships/ communication, interests, data and information, values, and structural, which occurs within a space, so that the environmental functions of forests to be disturbed. Environmental conflicts in protection forest mostly caused by issues of scarcity, negative externalities, structural unbalance, and different viewpoint of people on value of forests. In many cases, forest governance creates overlapping policies regarding with these issues that may generate conflict escalation; this occurs in Register 45B of Protection Forest Zone in Lampung Province. This research aimed to study: (1) policies of forestry, environmental management, agrarian, spatial, and regional autonomy for the handling of environmental conflicts in forest management of the region, especially in the area of Protection Forest Bukit Rigis - Register 45b, (2) factors those affecting (escalation of) conflict, (3)conflict management styles manifested by parties/disputants, and polarization of parties refer to the conflict roots they face and,to (4) develop a model of environmental conflict management cognitively refer to lesson that learned by the parties. Research implementation and analysis carried out by using Descriptive Policy Analysis, Pathway Analysis, Pairwise Comparison Analysis – Scheffe Test, the technique of CAP (Collaborative Analytical, Problem-solving Process or Approach) and, SSA (Social System Analysis). The research found that: (1) based on policy analysis, Environmental Management and Controlling Act developed consistently a mechanism for dispute settlement and the Basic Act of Agrarian Law is merely developing mediation procedures, while the Ombudsman Act, Arbitration Act have not been consistently equipped with the regulations below it, (2) conflict escalation was mainly caused by decision to convert forest land use, (3) conflict management styles are collaborative and compromise, polarizations of parties refer to similarities on interests, (4) ccognitively the parties in resolving environmental conflicts forest areas, particularly the conflict status of the land, agreed to take efforts to release forest area under forestry regulations, and (5) by integrating the entire analysis can be constructed a model of institutional grievance mechanisms of conflict resolution following with tools of assessment.

(4)

RINGKASAN

GAMAL PASYA. Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung). Di bawah bimbimbingan: KOOSWARDHONO MUDIKDJO, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, CECEP KUSMANA dan, SITI NURBAYA.

Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan. Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah Indonesia mengelola kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang bersumber dari hutan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis.

(5)

Dari hasil analisis kebijakan, memang banyak hal yang menyebabkan konflik di lokasi tidak terselesaikan. Undang-undang (UU) No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), bahkan UU No.32 tahun 2007 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak dipergunakan menjadi alas hukum penyelesaian konflik. Demikian juga UU No.47/1999 tentang Kehutanan yang tidak memiliki derivasi peraturan di bawahnya yang terkait dengan penyelesaian konflik sector kehutanan. UU Pokok Agraria mandul menyelesaikan konflik did alam kawasan hutan, terjadi dikotomi kewenangan kelembagaan antara UU tersebut dengan UU Kehutanan. UU Penataan Ruang lebih memperhatikan urusan penyelesaian sengketa di luar kawasan hutan. UU Ombudsman hanya fokus pada konflik akibat maladministrasi dan hanya beraku surut 2 tahun ke belakang. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya memiliki ruang menyelesaikan sengketa/konflik kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau antar satuan kerja. Pada tahun 2009, diterbitkan UU No.25 tentang Pelayanan Publik yang memandatkan bahwa seluruh lembaga pemerintah, bahkan termasuk badan usaha milik pemerintah wajib memiliki mekanisme mengelola pengaduan dan penyelesaian konflik. UU Pelayanan Publik ini masih baru dan belum tersosialisasi dengan untuh sehingga belum semua lembaga pemerintah menindaklanjutinya.

Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konflik di lokasi penelitian menunjukkan bahwa submodel eskalasi konflik (diwakili oleh peubah X26) yang terjadi dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis amat kuat dipengaruhi oleh Sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dengan nilai koefisien jalut X6  X26 sebesar 0,37. Artinya untuk meredam eskalasi konflik yang terjadi tanpa bermaksud mengabaikan nilai penting peubah-peubah eksogen yang terdapat di dalam sub model lainnya, pengendalian terhadap konversi lahan kawasan dapat diprioritaskan terlebih dahulu. Di dalam sub-model eksternalitas, terdapat 5 peubah eksogen yang berpengaruh terhadap peubah endogen keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6). Dari kelimanya, peubah eksogen pengaruh pasar (X4) adalah akar konflik yang perlu mendapat intervensi. Pasar komoditas kopi yang relatif baik mempengaruhi responden memutuskan mengkonversi lahan.

(6)

hutan, para pihak memanifestasikan gaya konflik kolaborasi dan komrpomi. Demikian juga pada kasus konflik ekses terhadap sumberdaya hutan, dan konflik tata batas kawasan. Kedua jenis manifestasi gaya konflik tersebut menjadi modal sosial awal untuk dilakukannya penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan yang kemudian dilakukan secara kognitif. Bentuk penyelesaian yang diinginkan adalah negosiasi, salah satu bentuk penyelesaian konflik di luar peradilan (Alternative Disute Settlement).

Penyelesaian konflik status lahan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis secara kognitif dilaksanakan dengan tahap análisis dasar masalah (dengan merekonstruksi konflik yang terjadi), análisis profil para pihak, dan análisis upaya penanganan konflik. Pelaksanaannya menyertakan ahli antropologi dari WWF Lampung, ahli hukum tata tegara dari Fakultas Sosial Politik Universitas Lampung, dan ahli tata guna hutan dari Badan Planologi Departemen Kehutanan.

Analisis upaya penanganan konflik dilakukan dengan mengurai skenario-skenario penyelesaian. Para pihak yang berkonflik status lahan berhasil membangun 4 buah skenario penyelesaian yaitu: Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9; Peringkat 2 Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4; Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6; dan Peringkat 4 Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2. Peringkat tersebut kemudian dihitung ulang dengan mengimbuhkan faktor biaya, waktu, ketersediaan sumberdaya manusia, dan keberlanjutan dukungan. Hasilnya adalah: Peringkat ke 1 pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 23; Peringkat ke 2 pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 18; Peringkat ke 3 Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 16; Peringkat ke 4: Relokasi dengan nilai sekor 11, dan Peringkat ke 5: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dengan nilai sekor 7.

(7)
(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya teks ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

MODEL PENANGANAN KONFLIK LINGKUNGAN

DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

Propinsi Lampung

Oleh:

GAMAL PASYA

P.10600010

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

'Innam

ā

A

The be

an

Sesunggu

(perbaiki h

Al-Mu'umin

elievers are

nd observe

uhnya orang

hubungan)

ū

na 'Ikhwa

brethren. T

your duty t

g-orang ber

antara ked

supaya ka

tun Fa'a

ş

li

ĥ

A

Therefore m

to Allah tha

riman itu be

ua saudara

amu menda

ĥū

Bayna 'A

ll

ā

ha La`all

make peace

at ye may ob

ersaudara.

amu dan be

apat rahma

Akhawayku

lakum Tur

ĥ

e between y

btain mercy

Karena itu

ertaqwalah

at (QS. Al-

Ĥ

um Wa Attaq

ĥ

am

ū

na.

٤٩

:

your brethre

y.

(QS.49:1

damaikanla

kepada Alla

Ĥ

ujur

ā

t 49:1

q

ū

ren

0)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur kami khaturkan kepada Allah S.W.T. karena atas berkat dan rahmat-NYA jualah disertasi yang berjudul “Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung; Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Propinsi Lampung” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ketertarikan kami mempelajari konflik sumberdaya alam dan lingkungan diinspirasi ketika terjadi reformasi tahun 1998, yang diikuti munculnya konflik pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di daerah. Desentralisasi tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan yang dilakukan sebagai bagian penguatan masyarakat dan pemerintahan di daerah kemudian menjadi faktor lain yang turut memacu terjadinya konflik tersebut. Ketidak-siapan sebagian besar institusi pemerintahan di daerah dalam menyambut demokrasi, membuat konflik tata kelola sumberdaya alam dan lingkungan terseret ke dalam ranah politik.

Atas kenyataan tersebut, kami kemudian mulai mempelajari kenapa konflik terjadi, bagaimana prilaku para pihak dalam menghadapi konflik tersebut, dan bagaimana cara menyelesaikannnya. Proses belajar tidak saja terpaku dalam kajian teoritis, namun juga melangkah ke dalam praktik-praktik penyelesaian konflik pada kasus nyata. Konflik lingkungan yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45B Propinsi Lampung menjadi pusat perhatian kami. Hal tersebut dilatar-belakangi oleh kenyataan bahwa konflik di wilayah tersebut tidak kunjung terselesaikan. Sumberjaya, nama kecamatan yang sebagian wilayahnya mengelilingi kawasan hutan tersebut, sempat mendapat julukan ”Sumber Bencana” oleh beberapa aparat kehutanan yang sudah hampir pesimis mencarikan upaya penyelesaian konflik yang terjadi. Disertasi ini dilaksanakan pada sebuah kasus nyata di wilayah tersebut. Kegiatan peneltian tidak hanya sebatas menguji hipotesis, tetapi juga sebagai alat yang membantu bagi para pihak untuk menyelesaikan konfliknya.

(13)

1. Ayah saya, R. Helmi dan, Almarhumah Ibu saya, Siti Utiah, atas limpahan kasih sayang yang tak habis-habisnya selama saya menyelesaikan sekolah S-3 di IPB 2. Istri saya Dewi Komalasari dan buah hati saya ananda Rossadea Atziza dan

Agnar Afif tercinta, yang telah menjadi inspirasi dalam menyelesaikan disertasi ini

3. Chip Fay, sahabat, mentor, dan motivator saya dalam menggeluti sain dan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan konflik sumberdaya alam terutama sumberdaya hutan

4. Dr. Satyawan Sunito, PhD (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB) dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc (Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB) yang telah berkenan menjadi penguji pada ujian tertutup

5. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS (Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB) dan Dr. Ir. Iman Santoso, MS (Direktur Jenderal BUK Departemen Kehutanan) yang telah berkenan menjadi penguji pada ujian terbuka

6. Pemda Propinsi Lampung, khususnya Bappeda Propinsi Lampung yang telah memberikan saya kesempatan untuk memperdalam ilmu di IPB

7. Sejawat di International Center for Reserach on Agro Forestry (ICRAF) South Eest Asia – Bogor yang telah mendukung dan memfasilitasi saya dalam

pencarian ilmu pengetahuan tentang pendekatan sistem pendukung negosiasi yang banyak mengilhami disertasi ini

8. Sejawat di Samdhana Institute – Bogor yang telah memberi ruang kepada saya membandingkan antara teori dan kenyataan melalui berbagai diskusi tentang inisiatif penyelesaian konflik sumberdaya alam di Indonesia sehingga saya belajar untuk lebih realistik

9. Sejawat di LSM Watala – Bandar Lampung, yang kerap menjadi tempat diskusi kasus yang diteliti dalam disertasi ini serta yang telah membantu selama penelitian lapang di Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat

10. Sejawat di Compliance/Advisory Ombudsman – International Finance Coorporation (CAO – IFC) – Washington DC, anggota Kelompok Bank Dunia,

(14)

11. Masyarakat petani hutan di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis atas penerimaan dan dukungan yang diberikan terhadap pelaksanaan penelitian disertasi ini

12. Dr. Hari T Fadjari, SPD, KOH, onkologis Rumah Sakit Umum Propinsi - Hasan Sadikin, Propinsi Jawa Barat, yang telah memberikan semua perhatian, semangat, dan kemampuan medikasinya selama dua tahun terakhir agar saya mampu bertahan untuk menyelesaikan disertasi ini, dan

13. Pihak-pihak kontributor lainnya yang terlalu banyak untuk saya sebutkan namanya satu persatu.

Semua dukungan yang telah diberikan sudah sejatinya menjadi bagian dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat atas segala budi baiknya. Aamiin.

(15)

RIWAYAT HIDUP

Gamal Pasya (penulis) lahir pada tanggal 4 Juni tahun 1965 di Yogyakarta, Indonesia. Penulis adalah putra ketiga dari pasangan Hi. R.Helmi dan Hj. Siti Utiah, SH. Beristrikan Drs. Dewi Komalasari, dan diberkahi dua keturunan yaitu Rossadea Atziza dan Agnar Afif.

Pada Tahun 1988 penulis memperoleh gelar akademik sebagai Sarjana S-1 Sosial Ekonomi Pertanian Pertanian di Fakultas Pertanian – Universitas Lampung. Pada tahun 1992, penulis memperoleh Postgraduate Diploma Engineering SIG-3 di ITC, Enschede, Belanda. Gelar Sarjana S-2 di bidang Manajemen Lingkungan Perkotaan diperoleh pada tahun 1999 di IHS - Universitas Wageningen, Belanda.

Penulis adalah staf Bappeda Propinsi Lampung sejak tahun 1990 hingga sekarang. Dalam perjalanan karir dan keilmuwannya, penulis juga adalah sejawat (fellow) the Samdhana Institute, sebuah organisasi nirlaba Asia Tenggara yang beralamat di

(16)

DAFTAR

ISI

Halaman

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xxiii

DAFTAR GAMBAR xxvii

DAFTAR LAMPIRAN xxviii

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah 7

1.4. Tujuan Penelitian 18

1.5. Manfaat Penelitian 18

1.6 Kebaharuan (Novelties) 18

II. KAJIAN PUSTAKA 20

2.1. Isu Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan Global Dan Nasional

21

2.2. Hutan Dunia dan Indonesia 23

2.3. Fungsi Lingkungan Dari Hutan 28

2.4. Otonomi Daerah (OTDA) dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Di Indonesia

29 2.4.1. Perkembangan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan

Kehutanan Dalam Konteks Otonomi Daerah (OTDA)

31 2.4.1.1. Tahap Awal OTDA Percontohan (Periode Tahun

1995—1997)

31 2.4.1.2. Tahap Transisi Menjelang Akhir Era Orde Baru

Menuju Era Reformasi (Periode Tahun 1998— 2000)

32

2.4.1.3. Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan Bertanggungjawab Sejak Januari 2001.

33

2.4.2 Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management)

33

2.5. Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 37

2.5.1. Batasan Tentang Konflik 37

(17)

III. METODE PENELITIAN 55

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 55

3.2. Hipotesis 57

3.3. Teknik Pengambilan Responden 57

3.4. Jenis dan Sumber Data 61

3.5. Teknik Pengumpulan Data 62

3.6. Peubah dan Cara Pengukurannya 65

3.7. Analisis Data 68

3.7.1 Analisis Implikasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelaksanaan Pengelolaan Kehutanan Yang Berkaitan Dengan Isu Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Daerah Khususnya Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Di Propinsi Lampung.

68

3.7.2 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan Dari Hutan.

71

3.7.2.1 Asumsi Yang Mendasari Analisis Jalur 73 3.7.2.2 Diagram Jalur dan Persamaan Analisis Jalur 73 3.7.2.3 Langkah Penghitungan Dalam Analisis Jalur 74 3.7.2.4 Konseptualisasi Diagram Jalur Yang Akan Dianalisis 76 3.7.3 Analisis Gaya Pengelolaan Konflik (Conflict Style

Management) Yang Diragakan Oleh Masing-Masing Pihak Yang Terlibat Di Dalam Konflik Dan Polarisasi Konflik Yang Terjadi.

81

3.7.4 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Secara Kognitif Didasarkan Kepada Pengalaman Yang Diperoleh Para Pihak Yang Bersengketa.

87

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN 91

4.1 Letak Geografis Wilayah Propinsi Lampung 91

4.2 Tata Guna Lahan dan Tata Guna Hutan Propinsi Lampung 92

4.2.1 Tata Guna Lahan 92

4.2.2 Tata Guna Hutan 93

4.2.3 Tutupan Lahan Hutan (Forest Land Cover) 95

4.2.4 Lahan Kritis 98

4.3 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung

100 4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan

Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat.

102 4.4.1 Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten

Lampung Barat

102 4.4.2 Kondisi Umum Kependudukan Di Kabupaten

Lampung Barat

103 4.4.3 Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung

Register 45B Bukit Rigis

(18)

4.4.3.1 Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya

103 4.4.3.2 Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung

Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi.

105

4.4.3.3

Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan

Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

108

4.4.3.4 Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

113

4.4.3.5

Konflik Akses Pengelolaan Lahan Kawasan 116

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 119

5.1 Karakteristik Responden 119

5.2 Analisis Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Dengan Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kehutanan Di Daerah

119

5.2.1 Definisi Kawasan Hutan 119

5.2.2 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat

120

A.

Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Setempat di Dalam Desain Kebijakan Kehutanan Nasional 5 Tahun Menjelang Otda (1995-2000)

120

B.

Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat dalam Kebijakan Kehutanan Indonesia 2001 – 2010.

126

5.2.3 Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Konflik Lingkungan Terkait Dengan Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Tempatan.

128

A.

Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup dalam UUPLH

128

B.

Pengertian Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup dalam UUPLH

130

C.

Penyelesaian Konflik Lingkungan dalam UU Kehutanan dan UU Pokok Agraria

131

D.

Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan.

133

E.

Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah

135

F.

Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang 136

G.

Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik

140 5.2.4 Pentingnya Kebijakan Afirmatif dan Kebijakan

Responsif untuk Penyelesaian Konflik Lingkungan di dalam Kawasan Hutan

(19)

5.3 Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

143 5.3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Eksternalitas

144 5.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural

153 5.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Kelangkaan

171 5.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Etik Lingkungan

175 5.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam

Submodel Eskalasi Konflik

177 5.3.6 Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Analisis Kebaikan Model.

187

5.3.6.1 Analisis Keragaan Model Secara Holistik 187

5.3.6.2 Analisis Kebaikan Model 191

5.4. Analisis Gaya Mengelola Konflik Dan Polarisasi Konflik. 192 5.4.1 Gaya Mengelola Konflik Para Pihak 193 5.4.1.1 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Status Lahan 195 5.4.1.2 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Tata Batas

Kawasan Hutan

198 5.4.1.3 Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Akses 202 5.4.1.4 Pemanfaatan Hasil Analisis Gaya Konflik Untuk

Penanganan Konflik Selanjutnya

205

5.4.2 Polarisasi Konflik 206

5.4.3 Kebersediaan Responden dan Preferensi Bentuk Perundingan

213 5.5 Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik 219

5.5.1 Tahapan Sistem Analisis Sosial 221

5.5.2 Model Pengelolaan Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

225

5.5.2.1 Analisis Dasar Masalah Konflik Status Lahan 226 5.5.2.2 Faktor Pemacu dan Peredam Konflik 227 5.5.2.3 Sejarah Konflik Status Lahan Pekon Sukapura

(Analisis Rentang Waktu)

232 5.5.2.4 Profil Para Pihak Dalam Konflik Status Lahan Pekon

Sukapura

235 5.5.2.5 Analisis Hubungan Antara Yang Kuat dan Lemah 239 5.5.2.6 Analisis Cara Penanganan Konflik 242 5.5.2.6.1 Mengurai Skenario Ideal Penyelesaian Konflik

Status Lahan

242 5.5.2.6.2 Memilih Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status

Lahan

245 5.5.2.6.3 Analisis Mengukur Dukungan Terhadap Skenario

Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan

(20)

5.5.2.6.4 Pengambilan Keputusan Skenario Terpilih dan Penyusunan Upaya Ke Depan Untuk Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura

250

5.6 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Berdasarkan Integrasi Hasil Analisis

256

5.6.1 Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik 254 5.6.2 Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan

Konflik Lingkungan, Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan, dan Umpan Balik.

262

5.6.2.1 Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan

266 5.6.2.2 Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan. 271 5.6.2.3 Umpan Balik Terhadap Kebijakan-kebijakan

Penyelesaian Sengketa Lingkungan

273

VI. KESIMPULAN 274

6.1 Kesimpulan 274

6.2 Saran 283

DAFTAR PUSTAKA

284

(21)

DAFTAR

TABEL

Tabel halaman

1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Pengaruh Model Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan

12

2.1 Luas Kawasan Hutan Indonesia 26

2.2 Fungsi Lingkungan Dari Hutan (Sumber: Pearce Dan Moran, 1994).

29 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan 35

2.4 Beberapa Definisi Tentang Konflik 38

2.5. Pendekatan Penanganan Konflik dan Hasil Yang Diharapkan (Sumber: Isenhart Dan Spangle, 2000).

42

3.1. Tahapan dan Jadwal Penelitian 57

3.2. Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian Yang Kedua

58

3.3. Keunggulan dan Kelemahan Metode Delphi 60

3.4. Pengambilan Responden Contoh Untuk Tujuan Penelitian Yang Ketiga dan Keempat

61 3.5 Data Sekunder Yang Akan Diteliti dan Sumber Data. 62 3.6 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik

Pengumpulan Pada Sub-Model A (Eksternalitas)

65 3.7 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik

Pengumpulan Pada Sub Model B (Persepsi Dan Ketimpangan Struktural)

66

3.8 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik Pengumpulan Pada Sub Model C (Kelangkaan)

67 3.9 Peubah, Indikator dan Spesifikasi, Jenis Data, dan Teknik

Pengumpulan Pada Sub Model D (Etika Lingkungan)

67

3.10 Tiga Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan 69

3.11 Gaya Pengelolaan Konflik dan Representasi Pernyataan Responden.

82 3.12 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden

Pada Topik Konflik Penetapan Tata Batas Kawasan Hutan

83 3.13 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden

Pada Topik Konflik Status Kawasan Hutan

84 3.14 Perbedaan Nilai Tengah (Μ) Antar Kelompok Responden

Pada Topik Konflik Hak Masyarakat Atas Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Hutan

84

3.15 Analisis Ragam Bagi Klasifikasi Satu-arah 85 3.16 Matriks Kombinasi Uji Nilai Tengah (

x

) Antar Kelompok 87 3.17 Topik Analisis, Tujuan dan Teknik Yang Akan Dipergunakan

Dalam Pengembangan Model Penanganan Konflik Secara Kognitif

89

4.2 Ibukota, Luas dan Jarak Ibu kota Kab. /Kota ke Ibukota Propinsi se- Propinsi Lampung

(22)

Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Lampung, 2004.

4.4 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun 1997 – 2001 94 4.5 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per Kabupaten/Kota di

Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256/KPts-II/2000.

95

4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000

97 4.7 Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun 1998 –

2000

99 4.8 Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun 1999

- 2002

101 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 108 4.10 Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya

tahun 1978 – 1990 .

112 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover)

di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

113 4.12 Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui

Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

118

5.2.1 Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional.

126 5.3.1 Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik (X1) 145 5.3.2 Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam

memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan (X6)

146 5.3.3 Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar (X4) 147 5.3.4 Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial

responden (X8)

154 5.3.5 Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan

Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004.

158 5.3.6 Penelusuran indikator manifestasi etik lingkungan di SK

Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm

185 5.3.7 Peubah yang paling berpengaruh pada masing-masing

sub-model

191 5.4.1 Komposisi Para Pihak Yang Dipilih Dalam Analsis Gaya

Mengelola Konflik.

194 5.4.2 Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak

Terhadap Konflik.

195 5.4.3 Daftar Ijin HKm (Juni 2006) yang Lokasinya Berpotensi

Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten.

202

5.4.4 Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik

206 5.4.5 Pernyataan Responden Tentang Kesesuaian Tupoksi

Lembaganya Terhadap Penyelesaian Konflik

214 5.4.6 Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan 215 5.4.7 Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan 216 5.4.8 Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan

Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses.

(23)

5.4.9 Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan

219 5.5.1 Indeks Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan. 225 5.5.2 Daftar Nama Transmigran BRN Tahun 1951-1952 Yang

Masih Hidup Sebagai Saksi Sejarah Pekon Sukapura.

232

5.5.3 Penggunaan lahan Pekon Sukapura, 2004. 232

5.5.4 Analisis Rentang Waktu Beberapa Peristiwa Penting Yang berkaitan dengan Konflik Status Lahan Pekon Sukapura di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya

234

5.5.5 Analisa Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi Para Pihak Yang Berkonflik Dalam Kasus Status Lahan Pekon Sukapura

236 5.5.6 Pemeringkatan Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status

Lahan Pekon Sukapura

244 5.5.7 Penetapan Kriteria, Sekala, dan Sekor Masing-masing

Skenario Penyeselaian

245 5.5.8 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan

Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, dan Ketersediaan Sumberdaya Manusia.

246

5.5.9 Sekor Dukungan Masing-masing Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan

247 5.5.10 Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario

Penyelesaian Konflik Status Lahan.

250 5.5.11 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan

Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak.

250

5.6.1 Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa.

(24)

DAFTAR

GAMBAR

Gambar halaman

1.1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan

13 1.2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik 16 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik

Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung

17 2.1. Penggunaan Lahan Dunia, 1990 (Sumber: WRI Dalam

Cunningham Dan Saigo, 1995).

23 2.2. Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 (Sumber:

Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis Diolah)

26 2.3. Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik.

(Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996)

39 2.4. Hubungan Antara Tingkat Perbedaan Sasaran dan Prilaku Yang

Ditimbulkan (Sumber: Fisher Et Al, 2001).

41 2.5. Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik (Sumber: Avruch Et

Al, 1991)

44 2.6. Interaksi Multi Track Diplomacy Dalam Penciptaan Perdamaian

(Diamond Dan Mcdonald, 1996)

46 2.7. Model Konflik Glasl (Sumber: Glasl Dalam Yasmi, 2002) 52 2.8 Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya

Alam (Sumber: Noordwijk, 2000)

52

3.1. Peta Lokasi Studi, Propinsi Lampung 56

3.2. Teknik Mendengarkan Dalam Mewawancara Konflik (Sumber: Hendricks, 1992)

63 3.3. Teknik CAPS Dalam Penanganan Konflik(Sumber: Mitchell

Dan Banks, 1996)

64 3.4 Kerangka Hubungan Antara Tahapan Kebijakan, Analisis

Kebijakan, dan Kemungkinan Keluaran/Rekomendasi (Diadopsi Dari Dunn (2000) Dan Hempel (1996))

70

3.5 Hubungan Dependensi Di Dalam Persamaan Struktural 72 3.6 Diagram Jalur Antara Sub-Model Eksternaliti, Persepsi dan

Ketimpangan Struktural, Kelangkaan, dan Etik Lingkungan; Terhadap Eskalasi Konflik

79

4.1 Peta Administrasi Propinsi Lampung 91

4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 (Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002)

98 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh

masyarakat adat Marga Subing (Sumber photo 4.3a: Peneliti); dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung (Sumber photo 4.3b: Lampung Post)

101

4.4 Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan Kecamatan Pesisir Tengah (Gambar 4.4a) dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat (Gambar 4.4b), Kabupaten Lampung Barat. (Sumber

(25)

photo: Peneliti)

4.5 Bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 (Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan

Sumberjaya).

104

4.6 Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun 1920-1930 dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 (Sumber: Benoit (1989) dalam Verbist dan Pasya (2004)).

105

4.7 Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya (Sumber: Verbist

(2001); Biro Pusat Statistik Lampung Barat (2003); Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung (2005).

106

4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF).

110 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit

Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF).

111 4.10 Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan

Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan (Sumber: Watala, 2003).

115

4.11 Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya (Sumber: Verbist, 2001) 116

5.1 Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas. 144

5.2 Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan (Sumber photo: Kusworo). Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan (Sumber photo: Peneliti).

151

5.3 Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden. 153 5.4 Kelompok petani hutan memperoleh insentif material berupa

pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka

memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. (Sumber photo: Peneliti)

156

5.5 Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. (Sumber photo:

Peneliti)

157

5.6 Diagram Jalar Sub-model Persepsi 160

5.7 Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” (Gambar 5.7.a, Juli 2006) kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain (Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti). Gambar 5.7.b (Januari 2005) adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka

(26)

adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 (Sumber photo: Peneliti).

5.8 Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahan-lahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. (Sumber Photo: Peneliti)

164

5.9 Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural 165

5.10 Diagram Jalur Sub-model Kelangkaan 171

5.11 Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 (Sumber photo: Peneliti).

173

5.12 Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan 176

5.13 Pada Gambar 5.13.a (Desember 2004) terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan (Sumber photo: Agus Fahrmudin). Sementara itu Gambar 5.13.b (Mei 2005) menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam (Glirisidae spi), dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka (Sumber photo: Peneliti)

177

5.14 Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik 178

5.15 Adopsi Alur Konflik Konstruktif Kiersbeg (1998) Pada Sejarah Singkat Konflik Konstruktif Hak Akses (Hutan Masyarakat) di Kawasan Hutan Lindung Resgister 45B Sumberjaya, Tahun 2000-2005

183

5.16 Struktur Diagram Jalur yang Disederhanakan Berdasarkan Hubungan Antar Sub-Model

189 5.17 Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan dari Hutan

190

5.18 Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala Dinas

Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana (Sumber Photo: Peneliti).

201

5.19 Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Utara.

208

5.20 Semiloka Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

(27)

yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat (Sumber photo: Rozi, asisten peneliti).

5.21 Tahap-tahap Sistim Analisis Sosial Dalam Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Lingkungan (Chevalier, 2003).

223

5.22 Indikator Kekhasan Power, Interest, dan Legitimacy (Chevalier, 2003).

224 5.23 FGD Kelompok Status Lahan tentang Rekonstruksi Pohon

Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)

227

5.24 Bagan Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat.

228

5.25 Faktor Pemacu dan Peredam Konflik Status Lahan 229 5.26 Diagram Venn Kekhasan (saliency) ke-12 Pihak dalam proses

penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dalam kawasan hutan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

237

5.27 Diagram Analisis Hubungan Antara yang Kuat dan yang Lemah dalam Kasus Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Sumber: Diskusi selama semiloka, mengadopsi mengadopsi Matriks Analisis Hubungan Kuat-Lemah - Chevalier (2003).

241

5.28 Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Bedasarkan Ramifikasi Terhadap Hubungan Sebab-Akibat Akar Konflik.

243

5.29 Peneliti sedang memandu penghitungan hasil Analisis Gradient Pooling secara secret ballot terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)

248

5.30 Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003);

249

5.31 Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka).

252

5.32 Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural (Sumber photo: Peneliti)

254

5.33 Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura

255 5.34 Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang

Dihasilkan.

(28)

DAFTAR

KOTAK

Kotak halaman

5.1 Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.

142 5.2

Beberapa Platform Dialog dan Negosiasi Multipihak Di Kabupaten Lampung Barat

167

5.3 Peran Serta Pihak Kecamatan (dan Desa) dalam Proses Kajian Perubahan Status Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya.

197

5.4 Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat.

211

5.5 Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan Responden

215 5.6 Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif

(Alternative Dispute Resolution) Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak

(29)

DAFTAR

LAMPIRAN

Lampiran halaman

1 Konflik-konflik Status, Kepemilikan, Dan Pemanfaatan Lahan Di Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung, Tahun 1999. 2 Kuesioner Penelitian Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan

Kawasan Hutan.

3 Kuseioner Penelitian Conflict Management Style 4 Petunjuk Pengisian Tabulasi

5 Data Hasil Overlay Peta Penutupan Lahan Tahun 2000 dengan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Propinsi Lampung.

6 Raw Data responden (Soft copy) 7 Raw Data Responden (Soft copy) 8 Hasil Uji Statistik Pathway Analysis 8-A Tabulasi Analisis Deskriptif Akar Konflik

9 Daftar Kelompok Penerima Ijin HKM di Kabupaten Lampung Barat, Juni 2006.

10 Hasil Uji Statistika Analisis Nilai Tengah Berpasangan 10A Analisis Deskritif Gaya Mengelola Konflik

11 Form Konfrimasi Kesediaan Langsung/Berwakil 12 Matriks Perbedaan Kepentingan

(30)

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk demikian pesat berimplikasi terhadap deplesi

sumberdaya alam. Semakin jumlah penduduk meningkat, semakin banyak

kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi dan dapat bersumber dari sumberdaya

alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, pemerintah melaksanakan

pengelolaan sumberdaya alam yang ditempuh dengan berbagai kebijakan dan

mengimplementasikannya ke dalam program pembangunan. Di sisi lain, dalam

kehidupan sehari-hari masyarakatpun mengelola sumberdaya alam sesuai

dengan kebutuhan sosial dan ekonominya.

Satu di antara berbagai sumberdaya alam potensial yang masih menjadi

sektor tumpuan masyarakat dan Pemerintah Indonesia saat ini adalah hutan.

Dalam ekosistem hutan terdapat fungsi lingkungan yang mencakup fungsi

ekologis, fungsi sosial, dan fungsi ekonomis. Selain itu, ekosistem hutan amat

penting tidak hanya bagi kehidupan manusia namun juga bagi kelangsungan

flora dan fauna di dalamnya. Berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung,

dan fungsi produksi. Sesuai dengan U.U. tersebut, Pemerintah mengelola

kawasan hutan berdasarkan fungsi pokoknya yaitu hutan konservasi, hutan

lindung, dan hutan produksi.

Hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi lingkungan yang

bersumber dari hutan. Fungsi lingkungan tersebut tercermin dari definisi hutan

lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan manusia untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan

memelihara kesuburan tanah. Dari definisi yang terdapat di dalam U.U. RI Nomor

41 Tahun 1999 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi lingkungan

kawasan hutan lindung lebih ditekankan atas pertimbangan ekologis. Selain itu,

dalam keterkaitannya dengan perubahan iklim global, hutan memiliki fungsi

sebagai rosot karbon (Murdiyarso, dkk., 1998).

Dalam mewujudkan fungsi lingkungan tersebut, Pemerintah menetapkan

berbagai kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan hutan secara

lestari. Kenyataannya adalah bahwa saat ini banyak kawasan hutan dengan

(31)

tersebut diantaranya disebabkan oleh salah penetapan kebijakan yang diikuti

dengan salah pengelolaan.

Masalah kebijakan pengelolaan kehutanan tidak terlepas dari masalah

agraria dan penting untuk dibenahi dalam rangka mewujudkan pengelolaan

hutan secara lestari. Kebijakan tersebut ternyata terlalu kaku karena: (1) keliru

dalam merumuskan masalah, (2) penyusunan kebijakan yang tidak partisipatif,

(3) lemahnya sinkronisasi antara kebijakan dan implementasi di lapang, (4)

lemahnya koordinasi lintas sektor, dan (5) lemahnya kemampuan aparatur.

Selain itu, adanya cara pandang yang sempit para birokrat kehutanan yang

memisahkan pembangunan kehutanan dengan pembangunan pertanian dan

manusia menjadikan kebijakan pengelolaan hutan amat bersifat sektoral

(Robinson. 1998). Akibatnya, produk kebijakan kehutanan gagal berfungsi

(malfunction). Contoh produk kebijakan yang hingga kini masih belum menjadi

dokumen publik dan lemah legitimasinya dalam mengatur pemanfaatan hutan

adalah dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang seharusnya

diharapkan dapat berfungsi menjadi dasar penetapan status dan perencanaan

tataguna kawasan hutan negara.

Selain masalah kebijakan, masalah sosial ekonomi seperti pertumbuhan

penduduk dan kemiskinan ditengarai menjadi penyebab lainnya sehingga hutan

semakin tidak mampu menyangga fungsi lingkungan. Adanya tekanan penduduk

ke dalam kawasan hutan diduga telah mengakibatkan tidak terkendalinya

konversi hutan ke dalam bentuk penggunaan lainnya seperti lahan pertanian,

perladangan dan permukiman. Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi

sejak tahun 1997 utamanya hingga saat ini semakin mendorong pergerakan

penduduk masuk ke dalam kawasan hutan untuk bertahan hidup. Masalah

tersebut menjadi semakin rumit ketika wilayah-wilayah hutan yang mendapat

tekanan adalah wilayah yang berstatus kawasan hutan konservasi dan hutan

lindung.

Terhadap masalah-masalah tersebut, pada dasarnya Pemerintah telah

melakukan upaya penanganan yang diindikasikan oleh terjadinya perubahan

orientasi kebijakan pembangunan kehutanan yaitu: (1) Pergeseran penekanan

dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi

dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan;

(2) Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan

(32)

pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan

keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya,

rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan (3) Memberikan penekanan pada

pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry)

untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat

setempat/lokal (Hutabarat, 2001). Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa

pengelolaan hutan secara lestari sulit dicapai dengan baik tanpa partisipasi

masyarakat setempat.

Kebijakan dan orientasi kebijakan secara konkrit dituangkan ke dalam

berbagai produk peraturan dan perundangan yang mengatur desentralisasi

pengelolaan sumberdaya hutan. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh

Pemerintah kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota seperti adanya UU Nomor 22

Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan

baru, termasuk dalam kebijakan dan pengaturan pengelolaan kehutanan. Selain

itu, lahirnya kedua UU tersebut merupakan tanggapan terhadap tekanan sosial,

ekonomi, dan politik baik dari dalam negeri maupun dari masyarakat

internasional (Hutabarat. 2001). Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999,

Pemerintah harus memberikan sebagian besar wewenangnya kepada Propinsi

dan Kabupaten/Kota, terutama dalam lingkup kegiatan operasional. Namun

hingga tahun 2001, sebanyak 11 buah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)1 yang menindaklanjuti substansi UU Nomor 41 Tahun 1999 belum juga mendapat

pengesahan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Hal tersebut menempatkan

Pemerintah dalam posisi yang lemah karena:

1) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif Mei

1999; oleh karena berbagai RPP pengelolaan kehutanan belum disahkan,

banyak pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota menyusun Peraturan

Daerah (Perda) yang bersentuhan dengan pengelolaan kehutanan dengan

1

(33)

interpretasinya sendiri terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 41

Tahun 1999;

2) Seringkali interpretasi tersebut melahirkan berbagai perbedaan visi, misi, dan

konsep strategis antar-tataran pemerintah sehingga menimbulkan berbagai

konflik; dan

3) Belum selesainya berbagai PP pengelolaan kehutanan yang mengatur lebih

jauh tentang pelimpahan wewenang kepada masyarakat misalnya seperti

hutan adat, hutan kemasyarakatan, dan derajat partisipasi masyarakat, turut

menjadi sumber konflik akibat adanya gugatan-gugatan masyarakat terhadap

pengelolaan kehutanan (baik gugatan tentang status dan tataguna hutan)

yang belum dapat atau lambat ditangani oleh Pemerintah.

Kondisi Pemerintah bahkan semakin melemah ditambah oleh lunturnya

kepercayaan masyarakat akibat memburuknya situasi sosial, ekonomi, dan politik

serta kegagalan Pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan

bangsa. Penyelesaian konflik yang tertunda dapat menyebabkan terjadinya

eskalasi konflik yang semula mungkin masih dalam taraf tidak ada dan/atau

konflik laten akhirnya berubah menjadi konflik terbuka. Menurut Agustino (2001),

dalam keadaan Pemerintah terkesan lemah dan lambat dalam menyelesaikan

konflik, maka konflik tersebut akan berpotensi anarkis dan menjadi pencetus

disintegrasi bangsa, apalagi Negara Indonesia dicirikan oleh masyarakatnya

yang pluralis. Saat ini, konflik-konflik yang bersumber pada ketimpangan dan

ketidak-adilan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, merupakan salah

satu arena konflik yang frekuensinya relatif tinggi di samping konflik-konflik yang

bersumber pada perbedaan ideologi politik golongan.

1.2. Perumusan Masalah

Gelombang reformasi 1998 dilatarbelakangi antara lain masalah konflik

sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa. Masalah konflik tersebut

diantaranya disebabkan oleh: (1) kekuasaan eksekutif yang terpusat di masa lalu

(sebelum diberlakukannya UU No./1999 tentang Pemerintah Daerah yang

mengatur penyelenggaraan otonomi daerah), dan; (2) mekanisme hubungan

pusat-daerah yang cenderung menganut sentralisasi kekuasaan sehingga

menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.

Seperti telah dinyatakan dalam Sub-bab 1.1, pengelolaan sumberdaya

(34)

Indonesia; Dan hal tersebut kembali ditegaskan di dalam RPJMN 2005-2009

untuk rencana-rencana penyelesaian; Namun demikian di dalam RPJMN

2010-2014 pemerintah mengakui bahwa hal tersebut masih belum diterjemahkan

dalam bentuk program dan kegiatan yang nyata dan mempengaruhi

ketidakjelasan hak dan kewenangan untuk mencapai pengelolaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan lestari. Pasca tahun 2005,

data statistik kasus konflik konflik sumberdaya alam sulit diperoleh, namun pada

umumnya masih berkisar pada konflik-konflik laten berdasarkan data tahun 1999

yang belum selesai ditangani. Bahkan beberapa aksus baru muncul, seperti

kasus Register 45A anata masyarakat dengan PT Inhutani di Kabupaten Tulang

Bawang, Kasus penolakan koversi kawasan hutan lindung Rawa Pacing menjadi

perkebunan sawit, kasus enclave Pengekahan dengan Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan di Kecamatan Bengkunat (tahun 2009) dan yang terkini (tahun

2011) adalah konflik kebijakan HTR-HKm-KDTI di yang keduanay berada di

Kabupaten Lampung Barat.

Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan erat kaitannya dengan

bagaimana sumberdaya tersebut bisa dimanfaatkan bagi pembangunan

masyarakat dan bagaimana kemudian distribusi manfaat tersebut menyebar

secara adil dan merata. Menurut Buckles (1999), terdapat empat penyebab

timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu:

(1) Adanya perbedaan akses antar aktor sosial dan/atau institusi terhadap pusat

kekuasaan, yang memiliki akses biasanya menjadi yang paling mampu

mengendalikan dan mempengaruhi keputusan pengelolaan sumberdaya

alam menurut kehendaknya. Di dalam sentralisasi kekuasaan, aktor dan

institusi di pusat biasanya yang paling berpengaruh karena kekuasaan

berada di tangan mereka.

(2) Aktifitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah

dapat menimbulkan masalah lingkungan di wilayah lainnya (atau sering

disebut dengan istilah negative externalities);

(3) Adanya peningkatan kelangkaan sumberdaya alam (natural resource

scarcity) yang disebabkan oleh terjadinya perubahan lingkungan,

pertumbuhan penduduk dan peningkatan permintaan, serta pola

pendistribusian yang tidak merata; dan

(4) Sumberdaya alam dipergunakan oleh manusia bukanlah semata-mata

(35)

hidupnya secara simbolis misalnya sebagai bagian dari cara hidup (petani,

nelayan, penggembala), identitas etnis, perangkat gender, dan usia.

Dimensi-dimensi simbolik sumberdaya alam tersebut membuat manusia menganut

ideologi dan etik yang berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam

dan penanganan konflik.

Konflik pengelolaan kawasan hutan banyak terjadi di berbagai daerah

termasuk Propinsi Lampung. Pada rentang waktu 1998–1999 jumlah konflik

pertanahan di Propinsi Lampung yang muncul ke permukaan adalah 380 kasus

termasuk konflik pertanahan yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan

(Rencana Strategis Propinsi Lampung 2001-2005). Sebanyak 220 kasus muncul

sepanjang Januari-September 1999 dan baru sebesar 20% telah diselesaikan

baik melalui peradilan maupun di luar sistem peradilan dengan musyawarah dan

mufakat (Gubernur Propinsi Lampung, 2000); sisanya belum ada penyelesaian

dan bahkan cenderung semakin berlarut-larut. Hingga tahun 1999, terdapat

sebanyak 43 kasus konflik pengelolaan kawasan hutan terjadi di Propinsi

Lampung (Lampiran 1), sebuah contoh kasus diantaranya terjadi di Kawasan

Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat. Konflik di

kawasan tersebut dipicu oleh kegiatan masyarakat yang menggarap lahan di

dalam kawasan menjadi lahan pertanian dan bahkan ada yang sudah tinggal

secara permanen. Konflik di lokasi tersebut diduga telah melibatkan berbagai

pihak dengan perbedaan kepentingannya masing-masing dan diduga

berpengaruh terhadap fungsi lingkungan dari hutan.

Penyebab konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi di Kawasan

Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis memiliki kemiripan dengan pernyataan

Buckles (1999) tentang sebab-sebab konflik dalam pengelolaan sumberdaya

alam. Oleh karenanya penting untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab

konflik dan apa saja akibat yang ditimbulkan terutama berkaitan dengan fungsi

lingkungan dari hutan. Pertanyaan penelitian yang ingin diperoleh jawabannya

dari konflik yang terjadi di lokasi adalah:

1) Dari perspektif kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria,

tata ruang, dan otonomi daerah, bagaimanakah pelaksanaan penanganan

konflik lingkungan dalam pengelolaan kehutanan di Propinsi Lampung

khususnya di kawasan hutan lindung lokasi penelitian?

a. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut bisa berjalan secara

(36)

b. Apakah secara struktural kebijakan tersebut diselenggarakan secara

konsisten di setiap tataran pemerintah?

c. Adakah konflik yang ditimbulkan?

d. Apakah pelaksanaan kebijakan tersebut mampu memberi solusi untuk

penanganan konflik? Ataukah sebaliknya justru mengeskalasi konflik?

2) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konflik pengelolaan

kawasan hutan di lokasi penelitian?

3) Bagaimanakah gaya konflik yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang

terlibat konflik? Siapa sajakah pihak-pihak yang berkonflik? Apa tipe konflik

yang terjadi dan bagaimana bentuk polarisasinya?

4) Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, bagaimanakah sebaiknya

penanganan konflik yang berkaitan dengan pengendalian fungsi lingkungan

dari hutan tersebut dilakukan/diputuskan?

1.3. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah

Kondisi krisis yang dihadapi oleh Indonesia saat ini sangat kompleks dan

bersifat multi-dimensional sehingga membutuhkan penanganan yang serius dan

bersungguh-sungguh. Kegagalan pembangunan di masa lalu sebagai akibat dari

sentralisasi sistem pemerintahan dirasakan menjadi satu diantara

penyebab-penyebab lainnya termasuk belum terselenggarakan sistem pemerintahan yang

baik (good governance).

Menghadapi hal tersebut, pemerintah secara bertahap melakukan

langkah-langkah desentralisasi kewenangan berbagai sektor pembangunan.

Langkah desentralisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan dilakukan melalui

kerangka kebijakan otonomi daerah. Hal tersebut diantaranya didukung oleh

upaya desentralisasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan,

termasuk sumberdaya hutan. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan,

desentralisasi juga menyentuh pengelolaan kawasan hutan lindung.

Secara umum, hutan memiliki fungsi lingkungan yang meliputi fungsi

ekonomis, fungsi sosial, fungsi ekologis, dan bahkan politis. Demikian pula

halnya dengan fungsi lingkungan dari kawasan hutan lindung. U.U. Nomor 41

Tahun 1999 menyatakan bahwa kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan

yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga

kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

(37)

perubahan orientasi pembangunan kehutanan yang telah diuraikan sebelumnya

dalam Sub-bab 1.1, pemerintah sedang berupaya mengembangkan sistem

pengelolaan hutan dengan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

(PHBM), termasuk dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dengan tetap

memperhatikan kelestarian fungsi lingkungannya.

Permasalahannya, dari berbagai kasus di lapang, pengelolaan kawasan

hutan tersebut sering tidak sesuai dengan fungsi lingkungan (dalam arti luas)

yang justru menjadi permintaan, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat lokal2,

khususnya masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dan hidupnya

pada kawasan hutan. Tidak jarang ketidak-sesuaian tersebut menimbulkan

berbagai konflik baik konflik land tenure (status dan kepemilikan lahan) maupun

konflik akses pengelolaan lahan.

Konflik status dan kepemilikan lahan serta akses pengelolaan merupakan

konflik lingkungan yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.

Proses penunjukkan dan penetapan status dan tataguna kawasan hutan tersebut

yang diikuti dengan konstruksi tata batas dan zonasi kawasan, seringkali

dilakukan secara “sepihak” oleh pemerintah tanpa memperhatikan interaksi yang

terjadi antara komunitas masyarakat lokal dengan sumberdaya alam yang

tersedia di dalam kawasan. Prosesnya cenderung dilakukan tanpa menyertakan

partisipasi masyarakat terutama mereka yang telah tinggal menetap antar

generasi di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang

memiliki kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesamaan

sejarah demografi, keterikatan tempat tinggal, serta nilai-nilai kehidupan sosial.

Di tingkat lapang, konflik tersebut seringkali ditangani oleh pemerintah melalui

pendekatan represif berdasarkan peraturan/perundangan yang “berlaku” dan

blueprint tanpa memperhatikan akar masalah yang menyebabkan mengapa

masyarakat melakukan gugatan. Tidak jarang, pendekatan represif yang

dilakukan tersebut justru malah menimbulkan kerusuhan-kerusuhan sosial yang

tidak diharapkan. Gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan

yang berkaitan dengan hak masyarakat hukum adat atas lahan misalnya,

merupakan suatu bentuk perjuangan identitas diri atau simbol sosial dari

2

(38)

komunitas adat berkaitan. Sedangkan gugatan serupa yang datangnya dari

masyarakat pendatang yang telah lama menetap, merupakan akibat dari

“ketidak-benaran atau pemutarbalikkan” sejarah status dan kepemilikan lahan

sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan negara.

Lemahnya upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik status

kepemilikan dan akses pengelolaan lahan kawasan hutan cenderung berpotensi

menyulut konflik-konflik lingkungan lainnya. “Pendudukan kembali” atas lahan

gugatan yang dilakukan oleh komunitas tertentu biasanya cenderung diikuti oleh

konversi lahan ke dalam bentuk penggunaan lain. Masalah lingkungan berikutnya

akan timbul ketika konversi lahan tersebut menjadi suatu proses deforestasi tidak

dapat balik (irreversible deforestation) yang menuju kepada degradasi hutan

berikut fungsi lingkungannya dan berpengaruh negatif terhadap wilayah lainnya.

Seperti telah dinyatakan pada Sub-bab 1.2, menurut Buckles (1999)

terdapat empat kelompok masalah yang mempengaruhi terjadinya konflik

pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan yaitu (1) eksternalitas negatif, (2)

kelangkaan sumberdaya alam, (3) ketimpangan distribusi penguasaan

sumberdaya alam, dan (4) perbedaan etik lingkungan dalam pengelolaan

sumberdaya alam dan penanganan konflik.

Eksternalitas negatif terjadi karena sumberdaya alam tercakup

(embedded) di dalam suatu lingkungan yang masing-masing komponennya

saling berinteraksi sehingga aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan

ekosistem di suatu wilayah dapat menimbulkan pengaruh dan dampak

lingkungan di wilayah lainnya (Buckles, 1999). Eksternalitas negatif juga

mencakup faktor eksternal yang mengakibatkan seseorang mengelola

sumberdaya alam yang menurut pendapat umum dilakukan secara tidak lestari

misalnya konversi lahan hutan. Dikaitkan dengan kondisi lapang di lokasi

penelitian, beberapa peubah eksternalitas negatif yang diduga menjadi

penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan adalah: (1)

bencana alam antropogenik yang menimpa kegiatan pertanian di luar kawasan,

(2) harga komoditas yang nantinya akan dibudidayakan di dalam kawasan, (3)

informasi pasar yang berkaitan tentang kepastian harga komoditas, (4) pengaruh

pasar yang berkaitan dengan kepastian akan aktor yang akan

membeli/menampung komoditas yang dihasilkan, dan (5) ketersediaan sarana

pendukung terutama jaringan transportasi ke bidang lahan yang dikonversi (lihat

(39)

Sumberdaya alam merupakan salah satu sumber kehidupan manusia

yang ketersediaannya tidak tak terbatas. Peningkatan pertumbuhan penduduk

perlu diimbangi dengan ketersediaan berbagai bahan pokok seperti produk

primer sektor pertanian secara memadai. Di daerah perdesaan terutama di

negara-negara berkembang yang memiliki ciri negara agraris, umumnya

ketersedian lahan adalah faktor penentu dan merupakan salah satu natural

capital yang penting bagi kelangsungan kegiatan pertanian. Oleh karenanya,

kelangkaan sumberdaya lahan pertanian yang tersedia di perdesaan dapat

memicu terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang diikuti oleh konversi

lahan non-pertanian yang relatif masih subur (dan umumnya lahan tersebut

adalah lahan hutan) (Buckles, 1999). Kelangkaan tersebut termasuk kelangkaan

status kepemilikan lahan. Dari berbagai kasus, konflik lingkungan akan semakin

mudah mencuat apabila ada desakan ekonomi seperti rendahnya pendapatan

rumah tangga sehingga mendorong seseorang masuk ke dalam kawasan hutan

diikuti dengan konversi lahan secara tak terkendali dan “ilegal” karena kawasan

tersebut berdasarkan statusnya diperuntukkan sebagai kawasan hutan lindung.

Di lokasi penelitian, peubah-peubah: (1) luas penguasaan lahan pertanian di luar

kawasan, (2) status kepemilikan lahan pertanian di luar kawasan, dan (3)

pendapatan rumah tangga diduga mempengaruhi persepsi responden bahwa

kebutuhan lahan pertanian perlu ditingkatkan (Sub-model C Gambar 1.1).

Konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam terjadi karena

sumberdaya alam tercakup di dalam suatu pembagian ruang sosial (shared

social space) yang kompleks dan memiliki hubungan yang tidak merata yang

terbangun oleh proses interaksi antar-aktor sosial sehingga terjadi ketimpangan

distribusi penguasaan dan perbedaan akses (keterlibatan dan hak) individu

dan/atau kelompok masyarakat dalam mengelola kawasan hutan (Buckles, 1999)

sehingga menimbulkan ketimpangan struktural (Moore, 1996). Di dalam

dimensi politik, aktor sosial yang memiliki akses terbesar ke pusat kekuasan

biasanya menjadi yang paling mampu mengkontrol dan mempengaruhi

keputusan pengelolaan sumberdaya alam3. Pada kondisi sebaliknya, aktor sosial yang jauh dari pusat kekuasaan biasanya cenderung menjadi komunitas

3

(40)

yang tersubordinasi dan lemah (powerless) (Fisher,S. 2001; Wijardjo, dkk. 2001;

Fauzi, 2000; Borini dan Feyerabend, 2000; Robinson, 1998). Selain itu, mereka

umumnya dicirikan sebagai kelompok masyarakat yang hampir tak pernah

dilibatkan untuk berpartisipasi secara utuh dalam rangkaian proses perencanaan,

pengambilan keputusan, pelaksanaan, hingga pengendalian pengelolaan

sumberdaya alam (Borini dan Feyerabend, 2000; Merchant, 1992). Kelompok

masyarakat tersebut umumnya adalah mereka bermukim di dalam dan/atau di

sekitar hutan dan bahkan memiliki keterikatan sejarah dengan perubahan status

kawasan hutan tersebut (Wijardjo, dkk. 2001). Kelompok tersebut pada

umumnya memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang rendah serta lemah dalam

pengetahuan terkini terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah spesifik

yang belum terpecahkan misalnya konflik. Di lapang, ciri-ciri tersebut diduga

terdapat pada kasus konflik yang diteliti. Berdasarkan kondisi yang ada, diduga

tingkat ordinasi seseorang dipengaruhi oleh (1) tingkat partisipasi individu yang

bersangkutan, (2) tingkat kesejahteraan sosial, dan (3) tingkat keberdayaan

pengetahuan dalam penanganan konflik. (Lihat Sub-model B Gambar 1.1).

Ketimpangan struktural juga dapat diindikasikan oleh frekuensi

keterlibatan seseorang secara aktif dalam menegosiasikan kepentingannya

(Kriesberg, 1998). Seseorang pesengketa cenderung akan terlibat secara aktif

apabila yang bersangkutan memiliki pemahaman dan/atau persepsi4 yang baik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan segala peluang baginya sehingga

memiliki posisi tawar yang kuat. Pada saat ini, berkaitan dengan konflik

lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung setidaknya diperlukan

pemahaman tentang: (1) status kawasan hutan negara, (2) fungsi lingkungan

suatu kawasan hutan, dan (3) desentralisasi pengelolaan kawasan hutan

khususnya di Indonesia. Di lokasi penelitian ketiga faktor tersebut diduga

mempengaruhi seseorang pesengketa untuk menegosiasikan kepentingannya.

(Lihat Sub-model B Gambar 1.1). Di samping itu, ada faktor penting lainnya

yaitu: (4) adanya tindakan represif dari pihak luar sehingga seseorang menjadi

takut dan tidak mau bernegosiasi.

Selain itu, konflik lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya hutan juga

disebabkan oleh perbedaan persepsi para pihak dalam memandang fungsi

(41)

pengelolaan sumberdaya alam disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi5

antara sumberdaya alam sebagai sumber material versus sebagai simbol sosial.

Di lokasi penelitian, yang diduga menjadi penyebab konflik adalah perbedaan

persepsi atas hal-hal yang berkaitan dengan fungsi lingkungan dari hutan,

pemahaman tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, dan

pemahanan tentang definisi status kawasan hutan. Pada kasus penelitian,

peubah-peubah yang diduga menjadi penyebab perbedaan persepsi karena

perbedaan karakteristik responden yaitu: (1) tingkat pendidikan, (2) lama tinggal

di kawasan baik secara menetap atau tidak menetap, dan (3) kosmopolitansi

[image:41.612.118.506.306.647.2]

seseorang dalam menerima pengetahuan dari luar.

Tabel 1.1 Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan

Sub-model A (Eksternalitas)

BAA = Bencana alam antropogenik (X1) HK = Harga komoditi (X2) IF = Informasi pasar (X3)

PP = Pengaruh Pasar (X4) SP = Sarana pendukung (X5)

KKLK = Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6) Sub Model B (Persepsi dan ketimpangan struktural)

TKPR = Tingkat partisipasi responden (X7)

TKSS = Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) TKDR = Tingkat keberdayaan responden (X9) TKOR = Tingkat ordinasi responden (X10) LTRP = Tindakan represif oleh pemerintah (X11)

PKHN = Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) PFLH = Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)

PDPK = Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14) LPDN = Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) TPDR = Tingkat pendidikan pesponden (X16)

SKR = Lama tinggal di kawasan (X17) KR = Kosmopolitansi responden (X18) Sub Model C (Kelangkaan)

KTLP = Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)

TPDK =

Gambar

Tabel 1.1  Keterangan Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan
Gambar 1.1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Hubungan Pengaruh Model Faktor-faktor Yang Menimbulkan Konflik Lingkungan
Gambar 1.2.  Bagan Alir Kerangka Pemikiran Model Identifikasi Peta Konflik
Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran Model Kognitif Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah SJSN berlaku secara bertahap seluruh masyarakat di Indonesia termasuk di Kota Denpasar akan menjadi peserta SJSN sehingga dalam pembuatan peta ini peneliti

• Semua media yang dikirimkan dengan sistem yang berisi dokumentasi dan alat untuk mengonfigurasikan dan mengelola sistem Anda, termasuk yang berhubungan dengan sistem

Dalam inovasi pendidikan terdapat difusi inovasi pendidikan yaitu, penyebarluasan dari gagasan inovasi pendidikan tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan

ada suatu peningkatan yang baik dalam perkembangan motorik kasar (melompat) anak melalui permainan lompat tali. Sehingga dapat digaris bawahi bahwa teknik permainan lompat

Prinsip bottomup planning cukup kental pada penyusunan RPI2JM Bidang Cipta Karya ini, agar rencana yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan infrastruktur Bidang

Dari berbagai pengungkapan ini, Allah ingin memperlihatkan betapa kebesaran-Nya bisa diketahui dengan memperhatikan hamparan di alam semesta ini, bintang juga

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa pelaku ekonomi kreatif sub sektor kuliner di Kabupaten Malang memiliki kepatuhan membayar pajak

Abels, Drexel University This town-hall-style panel session will focus on LIS education for digital reference services, which poses a challenge to educators due to the