• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN SOSIAL (

SOCIAL LESSON LEARNING

)

DALAM PROGRAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG

(Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,

Propinsi Jawa Tengah)

RAGIL SATRIYO GUMILANG

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

DI KAWASAN PEGUNUNGAN DIENG

(Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,

Propinsi Jawa Tengah)

RAGIL SATRIYO GUMILANG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Dipersembahkan untuk :

Alam semesta yang menerima perlakuan sia-sia, diracun

jalan nafasnya, dan diperkosa kesuburannya.

Ada kalanya kita mesti jongkok bahkan tiarap

untuk melihat lebih dekat bumi pijakan ini

walau kadang dianggap bodoh.

Ada kalanya kita mesti jinjit bahkan melompat

untuk meraih langit

walau kadang dianggap terlalu banyak mimpi.

(4)

Sosial(Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2010

(5)

SUMMARY

RAGIL SATRIYO GUMILANG. Social Lesson Learning in Land and Forest Rehabilitation Program in Dieng Mountains (Case Study in Kejajar Sub-District, Wonosobo District, West Java) Supervised by BRAMASTO NUGROHO.

Most of lands in Dieng Mountains is cultivating with high value agriculture commodity, especially potatoes. Land degradation in Dieng Plateau mostly because insufficient crown cover area in conservation forest and production forest and also farming activity which is not environmental friendly. Society has a main role in land and forest rehabilitation management, meanwhile Forestry and Plantation District Office and Perhutani (government) and NGO/TKPD (Dieng Recovery Working Team) work as facilitators. Harmony interaction between stakeholders is becoming priorities in order to introduce the idea and value of land and forest rehabilitation and hopefully can be implemented by community.

This research using explanative method. Quantitative approach (positivism) and Qualitative approach (phenomenology) also used in this research. Social phenomenon that chosen to be focus point of learned in this research is focusing on forest and land rehabilitation management that practiced by community, both before and after the program is introduced.

The social phenomenon then be analyzed using social lesson learning based on four dimension aspect in social learning by Wollenberg et al. (2001). The dimensions are decision making, innovations and problem solving, communication network and relationship building, and capacity building and society building.

Respondent perception for the continuity of rehabilitation program inside forest area considered more important than in the private area because society thinks that trees that planted in their private lands are decreasing their land productivity. Almost all respondent agreed that private land degradation is not so important to them. The society still manages their land despite of land quality and productivity decreasing. It can be realized, because of high land demand in this region as well as economic needs.. The respondents begin to realize that the development of participative plan and conservation principle is highly needed.

TKPD act strategically in facilitating various needs between stakeholders. TKPD has taken important role as organizer in many meeting and discussion forums. TKPD also act as councilor that encourage the respondent and initiate to implement the program. Facilitation plays an important role in the social learning process in the programs.

(6)

(Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO.

Kawasan Pegunungan Dieng sebagian besar wilayahnya diusahakan untuk kegiatan pertanian bernilai ekonomi tinggi terutama kentang. Penyebab kerusakan di daerah Pegunungan Dieng diakibatkan oleh daerah konservasi dan hutan produksi yang tidak cukup tertutup oleh area pepohonan dan pola pertanian yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Dalam usaha rehabilitasi hutan dan lahan di daerah Pegunungan Dieng, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan. Interaksi yang harmonis antara stakeholder menjadi prioritas agar ide dan nilai dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diintroduksi dan diterapkan oleh masyarakat.

Penelitian ini merupakan penelitian metode eksplanatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis). Gejala sosial yang menjadi fokus penelitian yaitu pola pengelolaan hutan dan lahan yang dipraktekkan oleh masyarakat baik sebelum maupun sesudah introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi bersamaan dengan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Gejala sosial fokus penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan konsep pembelajaran sosial(Social lesson learning)menurut empat dimensi pembelajaran sosial Wollenberg et al. (2001), antara lain: pengambilan keputusan, inovasi dan pemecahan masalah, jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan, serta pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat.

Persepsi responden terhadap keberlanjutan kegiatan rehabilitasi dalam aspek teknis penanaman dan pemeliharaan pohon di dalam kawasan hutan dipandang lebih penting dari pada di lahan milik. Masyarakat memandang pohon yang ditanam di lahan milik akan mengganggu produktivitas lahan pertaniannya. Hampir semua responden menganggap bahwa gangguan dan tekanan terhadap lahan mereka bukan sesuatu yang penting. Masyarakat tetap mengelola lahan walaupun merasakan penurunan kualitas dan produktivitas lahannya. Hal ini dapat dipahami bahwa tingkat kebutuhan akan lahan di daerah Pegunungan Dieng sangat tinggi dengan kepentingan aspek ekonomi masyarakat yang tinggi pula. Masyarakat mulai menyadari bahwa pengembangan perencanaan partisipatif serta memperhatikan kaidah konservasi sangat penting bagi mereka.

Tim Kerja Pemulihan Dieng (staf program TKPD) berperan strategis dalam memfasilitasi berbagai kepentingan antar stakeholder. TKPD telah mengambil peran penyelenggara dalam berbagai pertemuan dan diplomasi. TKPD berperan sebagai penasehat sehingga mendorong para aktor untuk menginisiasi dan menjalankan kegiatan selanjutnya. Fasilitasi berpengaruh dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan.

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah).

Nama Mahasiswa : Ragil Satriyo Gumilang NRP : E 14054281

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS NIP. 19581104 198703 1 005

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S NIP. 19630401 199403 1 001

(8)

Nopember 1986 dari pasangan Bapak Mulyono dengan Ibu Sundariyati. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri I Temanggung dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk Mayor Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun ketiga pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis memilih Bagian Kebijakan Kehutanan. Pada tahun 2008 dan 2009 penulis mendapatkan beasiswa PPA.

Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di bebe-rapa Lembaga Kemahasiswaan. Penulis aktif di 1) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan sebagai Ketua Umum (2008-2009) dan Kepala Biro Kesejahteraan Sosial dan Lingkungan (2006-2007), 2) Himpunan Profesi Manajemen Hutan/FMSC sebagai Ketua Umum (2007-2008), 3) Organisasi Mahasiswa Daerah Temanggung IPB sebagai Ketua Umum (2005-2007).

Tahun 2007 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jawa Barat, jalur Kamojang-Leuweung Sancang dan tahun 2008 Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan KPH Cianjur. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di IUPHHK-HA PT.Andalas Merapi Timber di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.

Tahun 2007 penulis menjadi asisten lapang dalam proyek pengembangan Gaharu di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Tahun 2009 penulis menjadi asisten lapang Lembaga Penilai Independen IPB dalam perpanjangan IUPHHK-HA PT. Sindo Lumber Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Tahun 2010 penulis menjadi asisten lapang dalam proyek surve sosial ekonomi dan HCVF di IUPHHK-HA PT. SSS Kabupaten Siberut Utara, Sumatera Barat.

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penyusunan penelitian ini dapat diselesaikan.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang tetap setia dan tetap istiqomah dalam mengikuti semua perjalanannya.

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah rehabilitasi hutan dan lahan, dengan judul Pembelajaran Sosial (Social Lesson Learning) dalam Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Kawasan Pegunungan Dieng (Kasus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah). Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam rangka penulisan Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Mulyono dan Ibu Sundariyati atas segala upaya jerih payahnya dan

lantunan do’a yang tak pernah putus. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik dan menempatkan keduanya pada tempat yang mulia disisi-Nya nanti.

2. Mas Ajie, Mas Aan, Mbak Dwi, Yodha dan keluarga besar Mbah Wagiman atas kebersamaan yang indah, dukungan moral dan materilnya. Semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan hidayah-Nya.

3. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS atas bimbingan, ilmu dan waktu yang telah diberikan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik.

4. Bapak Andreas selaku penaggung jawab lapang program rehabilitasi hutan dan lahan Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Bapak Fahmi selaku Ketua Tim Teknis TKPD yang telah membantu proses penelitian.

(10)

terpisah ruang dan waktu (Andi, Fajar, Botak, Dita, Sari, Lala, Dyah, Azis, Fuad, Erwin, Muh, Mbembeng, Dadut, Sendy, Novita, Bogel, Qplek, Mali, Prety, Ian, Yudhan, Aldi, Bonchu, Ismi, Lily) terutama Dinning Hayani yang tak pernah selesai mendoakan keselamatanku, semoga persahabatan tetap terjalin hingga nanti di surga-Nya.

6. Rekan-rekan Manajemen Hutan khususnya dan Fahutan umumnya atas kebersamaannya selama ini.

7. Seluruh staf dan teman-teman dari Kebijakan Kehutanan serta staf administrasi Departemen Manajemen Hutan atas segala bantuan dan kerjasamanya.

8. Keluarga kecil “Panti Jomblo Al-Ahsan” yang memberikan banyak motivasi dan semangat. Semoga persahabatan kita tetap terjalin hingga nanti.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dan telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan dari penulis. Oleh karena itu masukan, kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk memperoleh hasil penelitian yang sebaik-baiknya.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat. Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembelajaran Sosial ... 4

Konsep Pengetahuan Lokal ... 6

Persepsi dan Keberlanjutan Program ... 7

Rehabilitasi Hutan dan Lahan ... 9

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 10

Kerangka Pemikiran ... 11

Metode Penelitian ... 11

Jenis Data ... 12

Teknik Pengumpulan Data ... 13

Teknik Pengolahan Data ... 16

Analisis Data ... 20

Keabsahan Data ... 21

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas ... 24

Jenis Tanah dan Topografi ... 24

Iklim ... 26

(12)

Sub Sistem Kehutanan ... 31

Sub Sistem Pertanian ... 36

Sub Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat ... 42

BAB VI PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI KECAMATAN KEJAJAR Perkembangan Kegiatan ... 52

Proses Kegiatan ... 55

Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program ... 58

BAB VII PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Dimensi Pembelajaran Sosial ... 61

Jawaban Hipotesis Penelitian ... 73

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 75

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Pertanyaan Kunci Dimensi Pembelajaran Sosial ... ... 15

2. Tingkat Persepsi Berdasarkan Skala Likert ... 18

3. Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program RHL ... 18

4. Penggolongan Penduduk Menurut Produktifitas Kerja... 27

5. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Kejajar ... 29

6. Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Fungsinya ... 33

7. Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Kelas Hutan ... 33

8. Luas Pemilikan Lahan Per Keluarga ... 38

9. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Kejajar ... 42

10. Luas Lahan Pertanian Minimum yang Dibutuhkan di Kecamatan Kejajar.. 43

11. Produksi Pangan di Kecamatan Kejajar ... 45

12. Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak di Kecamatan Kejajar ... 46

13. Banyaknya Keluaga dan Tahapan Sejahtera Kecamatan Kejajar 2008 ... 48

14. Analisis Usaha Pertanian Kentang di Masyarakat Kejajar ... 49

15. Analisis Usaha Ternak Kambing atau Domba di Masyarakat Kejajar ... 50

16. Perubahan Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan... 53

17. Perkembangan Program Pemulihan Dieng Sejak Tahun 2007 ... 54

(14)

1. Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi

Hutan dan Lahan.” ... . 11

2. Proses Analsis Data dalam Penelitian Kualitatif ... 21

3. Guludan Bidang Tanaman Kentang Searah Lereng... 40

4. Proses Perubahan Pendekatan Partisipatif ... 65

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Tabel Penggolongan Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ... ... 81

2. Tabel Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Kejajar ... 82

3. Tabel Persepsi Masyarakat terhadap Keberlanjutan Program Pemulihan Dieng ... 83

4. Tabel Jumlah Kepala Keluarga Petani ... 86

5. Tabel Jumlah Responden dalam Penelitian ... 86

6. Tabel Responden Persepsi Keberlanjutan Program RHL ... 87

7. Tabel Perbandingan Berbagai Pertanaman yang Dilakukan ... 87

(16)

Latar Belakang

Hutan dan lahan memegang peranan penting bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitarnya. Hutan dan lahan telah menjadi sumber kehidupan utama bagi mereka. Pengelolaan hutan dan lahan yang mereka lakukan seharusnya mampu menjamin keberlangsungan hidup dasar. Pengelolaan hutan tersebut merupakan praktek dari sistem pengetahuan lokal yang bersifat turun temurun.

Kawasan Pegunungan Dieng sebagian besar wilayahnya diusahakan untuk kegiatan pertanian bernilai ekonomi tinggi seperti kentang dan tembakau. Penyebab kerusakan pada dataran tinggi Dieng diakibatkan oleh daerah konservasi dan hutan produksi yang tidak cukup tertutup oleh area pepohonan dan pola pertanian yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Menurut TKPD (2008) dalam Nugroho (2009), di Dataran Tinggi Dieng, tingkat erosi mencapai 161 ton per hektar per tahun. Di tahun 2002, tingkat erosi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai 4,21 mm per tahun, dan 13,7 mm per tahun di hulu DAS Merawu. Sebelumnya, tingkat erosi pada tahun 1990 tidak pernah melebihi 2 mm per tahun di kedua tempat tersebut.

Dalam usaha rehabilitasi hutan dan lahan di daerah Pegunungan Dieng, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani (Pemerintah) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) sebagai fasilitator kegiatan. Interaksi yang harmonis antara stakeholder menjadi prioritas agar ide dan nilai dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat diintroduksi dan diterapkan oleh masyarakat. Hal ini menjadi kendala utama sehingga diperlukan pendekatan yang tepat agar hubungan berbagai pihak dapat diperbaiki.

(17)

2

mewujudkan kesepahaman berbagai pihak dalam memandang dan mengimplementasikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Berbagai inovasi yang telah diperkenalkan melalui konsep pengelolaan lahan yang ramah lingkungan tentu telah membawa dampak dalam kehidupan masyarakat lokal, dimana dampak ini merupakan strategi adaptasi berbagai pihak. Oleh sebab itu, penelitian mengenai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana konsep rehabilitasi telah memasuki tatanan suprastruktur masyarakat dan memberikan suatu pola baru dalam pengelolaan lahan.

Upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah telah dilakukan dengan berbagai program. Namun demikian bukan sesuatu yang mudah untuk mengaplikasikan ide dan nilai baru. Pada umumnya petani telah memiliki ide dan nilai mereka sendiri serta kebiasaan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini pengelolaan hutan dan lahan didominasi oleh pengelolaan lahan pertanian kentang dan tembakau yang cenderung merusak lahan namun menghasilkan nilai ekonomis cukup tinggi.

(18)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi permasalahan pola pengelolaan hutan dan lahan sebelum dan sesudah introduksi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mempengaruhi berlangsungnya proses pembelajaran sosial dalam budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi.

2. Memahami peran fasilitasi dalam proses pembelajaran sosial.

3. Mendeskripsikan persepsi petani mengenai keberlanjutan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Hipotesis Penelitian

Fasilitasi mempengaruhi proses pembelajaran sosial dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Memberikan gambaran faktual mengenai proses pembelajaran sosial tentang pengelolaan lahan yang terjadi pada masyarakat kawasan Pegunungan Dieng. 2. Bahan masukan bagi para pelaksana dan pengelola program rehabilitasi hutan

dan lahan dalam mengambil kebijakan dalam pemulihan fungsi lindung Kawasan Pegunungan Dieng.

(19)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembelajaran Sosial

Menurut Wollenberg et al. (2001), pembelajaran sosial merupakan suatu proses yang bersifat kontinu yang terjadi antar berbagai pihak dalam mewujudkan kesamaan visi dalam rangka mengakomodir berbagai kepentingan pihak-pihak tersebut. Terdapat empat dimensi dalam pembelajaran sosial. Dimensi pertama yaitu pengambilan keputusan. Pengelolaan sumberdaya hutan melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda. Kekuatan politik telah menjadi penyebab utama ketidaksamaan akses masing-masing pihak dalam mengelola hutan. Lee (1993) yang diacu oleh Wollenberg et al. (2001) menyatakan bahwa di antara pihak-pihak tersebut terjadi konflik yang bersifat terbatas. Melalui pembelajaran sosial dilakukan pengambilan keputusan secara bersama-sama terutama untuk meminimalisasi kekuatan politik tadi.

Dimensi kedua yaitu inovasi dan pemecahan masalah. Tiap pihak dalam pembelajaran sosial memiliki kepentingan masing-masing. Kepentingan-kepentingan ini akan membawa pada perbedaan pengetahuan dalam belajar. Pengetahuan tersebut dapat berbentuk nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode-metode, dan pengalaman sejarah. Menurut Daniels dan Walker (1999) diacu dalam Wollenberg et al. (2001), di dalam pembelajaran sosial terjadi pertukaran pandangan antara berbagai pihak yang bertujuan untuk merubah pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut.

Dimensi ketiga yaitu jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan. Pembelajaran sosial berjalan dengan lancar jika di antara pihak yang terlibat berinteraksi, sehingga terbentuk hubungan yang kuat dan saling membutuhkan. Hubungan yang interdependen ini akan membantu proses berbagi pengetahuan.

(20)

Dimensi terakhir yaitu pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat. Ketika masyarakat dihadapkan pada pengetahuan baru, masyarakat memiliki keinginan untuk mendapatkan informasi dan pemahaman yang lebih detail. Pemahaman terhadap pengetahuan baru tersebut tercipta dengan cara belajar secara bersama-sama. Selain memperkaya wawasan masyarakat, di dalam proses belajar, masyarakat juga mengembangkan pengetahuan baru yang dipelajari agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Upaya ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapabilitas untuk meningkatkan kemampuan dan mengembangkan apa yang sudah mereka miliki.

Fasilitasi merupakan syarat vital dalam pembelajaran sosial. Fasilitator berperan dalam mempercepat proses pembelajaran. Fasilitator dapat memperkecil resiko kesalahan dalam menginterpretasikan kepentingan masyarakat lokal. Untuk itu, fasilitator harus sensitif terutama dalam menghadapi berbagai kepentingan dan berbagai hubungan yang terjalin di antara para pelaku pembelajaran.

Faktor sosial budaya memegang peranan penting dalam menentukan diterima atau tidaknya ide-ide baru. Ide baru dapat diterima oleh masyarakat apabila ide tersebut memenuhi kebutuhan mereka dan tidak bertentangan dengan adat. Menurut Adimihardja (1999), tidak semua ide dan nilai diterima karena adanya dua kecenderungan alamiah pada masyarakat yakni, modifikasi adaptif dan kecenderungan untuk mempertahankan apa yang ada. Bukan berarti masyarakat akan menyerap ide baru begitu saja, melainkan ada upaya kompromi antara budaya yang telah ada dan peluang-peluang yang diberikan oleh keadaan baru.

Konsep Pengetahuan Lokal

(21)

6

Pengetahuan indigenous berarti pengetahuan asli, maksudnya yang diciptakan dan dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Kata indigenous berarti asli dan pribumi. Pemakaian kata indigenous mengacu pada arti masyarakat indigenous atau masyarakat asli yang berdomisili di suatu wilayah geografis tertentu. Pengetahuan tersebut melingkupi semua cara yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup, telah teruji dalam jangka waktu yang lama, dan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal.

Pengertian di atas bermakna sempit, karena hanya memperhitungkan masyarakat asli dan mengabaikan pengetahuan masyarakat pendatang. Oleh karena itu banyak pihak yang berkeberatan dengan batasan tersebut dan memiliki preferensi terhadap pemakaian istilah pengetahuan lokal. Pengetahuan berada pada tataran konsep yang lebih luas dimana pengetahuan di sini mengacu pada pengetahuan yang ada pada suatu wilayah tertentu. Tidak menjadi masalah apakah masyarakat di wilayah tersebut asli atau tidak.

Pengetahuan lokal tidak terbatas pada apa yang dicerminkan oleh metode dan teknik dalam pengelolaan sumberdaya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan lokal yang telah menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama akan menjadi ‘kearifan lokal’.

Menurut Adimihardja (2004), pengetahuan lokal merupakan suatu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan bentuk keseluruhan tradisi masyarakat lokal itu. Pengetahuan lokal ini juga mengenai pengetahuan agrikultur, medikal, ekologi, produk, desain dalam bidang kerajinan tangan, arsitektur, serta bidang seni.

(22)

Masyarakat lokal di Indonesia memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Raden dan Nababan (2003), sampai awal dekade 1970-an, pengetahuan lokal yang sangat beragam masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara.

Bentuk pengetahuan lokal lain dalam pengelolaan hutan ditunjukkan melalui praktek kebun hutan (agroforest). Praktek kebun hutan ini ditemukan pada ratusan lokasi di seluruh kawasan hutan tropika (Tadjudin 2000). Penelitian di Kalimantan dan Sumatera menyatakan bahwa masyarakat yang melakukan praktek kebun hutan adalah masyarakat yang kehidupan ekonomi dan budayanya tergantung pada sumberdaya hutan.

Persepsi dan Keberlanjutan Program

Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.

Persepsi yang dimiliki seseorang berbeda karena pengaruh berbagai faktor mulai dari pengalaman, latar belakang, lingkungan dimana dia tinggal, juga motivasi dan lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang akan menyebabkan seseorang dalam menginterpretasikan sesuatu mempunyai perbedaan pendapat (Nurdin 2003).

Menurut Siagian (1995) diacu dalam Nurdin (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut :

1. Diri seseorang yang bersangkutan. Apabila seseorang melihat dan berusaha memberi interpretasi tentang apa yang telah dilihatnya, pendapatnya akan dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan, dan harapan.

2. Sasaran persepsi. Sasaran persepsi dapat berupa benda atau peristiwa. Dalam persepsinya seseorang biasanya membuat generalisasi dengan menggolongkan dari sekelompok orang, benda atau peristiwa yang memiliki karakteristik yang serupa.

(23)

8

Nurdin (2003) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses pemaknaan terhadap obyek berdasarkan kesenjangan antara benar atau salahnya suatu pernyataan. Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan suatu stimulus tersebut (Langevelt 1966, diacu dalam Nurdin 2003).

Saarinen (1976) diacu dalam Nurdin (2003) mengatakan bahwa persepsi sosial (sosial perseption) umumnya berkaitan dengan faktor-faktor sosial budaya terhadap struktur kognitif dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Menurut Suparlan (1994) keberlanjutan hanya bisa dicapai melalui pembangunan dengan rakyat sebagai sentral. Untuk menjaga keberlanjutan program, maka pelaksanaannya harus dilandasi oleh konsep-konsep tertentu yang dapat menjamin bahwa program ini dapat dan harus sampai pada kelompok sasaran (target group) untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan kesejahteraan dan sekaligus membawa peningkatan sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial (social capital) dari kelompok sasaran (Khandker et al. 1995, diacu dalam Yuliarso 2004).

Rohima (2002) menyatakan bahwa implementasi dan keberlanjutan program merupakan suatu tantangan dalam perencanaan program. Strategi top down tidak hanya kurang efektif tapi juga sulit untuk menjaga keberlanjutan. Program pengembangan pada masyarakat perlu mempertimbangkan tentang jalan keluar yang baik dari masalah yang ada di masyarakat juga kebutuhan terhadap program yang ditawarkan.

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

(24)

CIFOR 2003). Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS). Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan (Dephut 2003).

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) merupakan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan semua stakeholder melalui suatu perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan yang efektif dan efisien (Menkokesra 2003). GN-RHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik (BKN 2005). GN-RHL meliputi dua ruang lingkup yaitu:

1. Lingkup kegiatan

a. Kegiatan pencegahan kerusakan lingkungan. Kegiatan ini meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum.

b. Kegiatan penanaman hutan. Kegiatan ini meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman,dan lain-lain) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, gully plug, terasering, sumur resapan, grass barrier, dan lain-lain), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan.

2. Lingkup wilayah

(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kawasan Pegunungan Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai Januari 2010. Di lokasi penelitian penulis dibantu oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo, Perhutani (Pemerintah Daerah), dan Tim Kerja Pemulihan Dieng (LSM).

Pemilihan lokasi lapangan berdasarkan hasil orientasi lapangan yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian dipilih 4 desa di Kecamatan Kejajar sebagai sampel lokasi penelitian secarapurposive sampling yaitu Desa Buntu, Kreo, Patak Banteng dan Sigedang. Desa Buntu dan Desa Kreo dipilih dengan alasan kedua desa tersebut dijadikan desa model dalam program rehabilitasi hutan dan lahan oleh Tim Kerja Pemulihan Dieng. Desa Patak Banteng dipilih karena sebagian besar masyarakatnya mengelola lahan pertanian kentang selama satu tahun penuh. Sedangkan Desa Sigedang dipilih karena sebagian besar wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Dengan ini diharapkan dapat mewakili karakteristik desa-desa di Kecamatan Kejajar.

(26)

Kerangka Pemikiran

Analisis pembelajaran sosial kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng sangat berkaitan dengan permasalahan sub sistem pertanian, kehutanan dan sosial ekonomi masyarakat. Dari permasalahan pengelolaan sub sistem tersebut, dianalisis bagaimana fasilitasi sosial mempengaruhi proses pembelajaran sosial dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Hubungan antara topik penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan.”

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian metode eksplanatif, dimana penelitian difokuskan pada suatu gejala sosial untuk dapat dijelaskan penyebab dan keterkaitannya dengan gejala sosial yang lain. Gejala sosial yang menjadi fokus penelitian yaitu pola pengelolaan hutan dan lahan yang dipraktekkan oleh masyarakat baik sebelum introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi maupun sesudah introduksi budidaya pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi bersamaan dengan pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan. Gejala sosial fokus penelitian kemudian dianalisis dengan

Pola Pengelolaan Hutan dan Lahan Baru.

Ide dan Nilai Baru Ide dan Nilai Lama

Sub Sistem Kehutanan

Sub Sistem Pertanian

Sub Sistem Sosial Ekonomi masyarakat

Pembelajaran Sosial RHL. • Pengambilan keputusan

• Inovasi dan pemecahan masalah

• Jalinan komunikasi dan pembentukan hubungan

• Pembangunan kapasitas dan pengembangan masyarakat

(27)

12

mempergunakan konsep pembelajaran sosial (Social lesson learning) menurut dimensi pembelajaran sosial Wollenberget al. (2001).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif (positifisme) dan kualitatif (fenomenologis).

Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus karena gejala sosial yang dikaji adalah gejala sosial kontemporer yang dianalisis dan dipahami menurut sudut pandang subjek penelitian. program rehabilitasi hutan dan lahan merupakan upaya perbaikan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama, dan terkoordinasi dengan melibatkan semua instansi pemerintah terkait swasta dan masyarakat, agar kondisi lingkungan hulu dapat kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan secara normal dan baik. Oleh karenanya strategi studi kasus sangat sesuai untuk menggali informasi sedalam mungkin mengenai gejala pembelajaran sosial pada masyarakat kawasan Pegunungan Dieng sebagai pengelola lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti pertanian kentang dan pelaksana program rehabilitasi hutan dan lahan.

Unit analisis dalam penelitian ada tiga yaitu petani, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani), dan LSM (Tim Kerja Pemulihan Dieng). Sudut pandang yang digunakan dalam penelitian adalah sudut pandang subjek penelitian (tineliti). Jadi, sudut pandang yang dipakai dalam penelitian yaitu sudut pandang petani, sudut pandang Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan sudut pandang LSM (Tim Kerja Pemulihan Dieng).

Jenis Data

(28)

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Teknik Observasi, yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian.

2. Teknik Survei, yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan masyarakat (responden) serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan responden.

3. Studi Pustaka, yaitu cara pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu data deskriptif berupa kata-kata yang diucapkan langsung dan kata-kata yang dituliskan oleh subjek penelitian dan informan tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Sitorus 1998). Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif yaitu dengan cara wawancara mendalam, pengamatan, dan analisis data sekunder.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap subjek penelitian dan informan. Informan berasal dari masyarakat desa, Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Perhutani) dan LSM/Tim Kerja Pemulihan Dieng. Teknik pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik bola salju (Snowball) yaitu menjadikan tokoh dalam masyarakat sebagai informan kunci untuk menentukan pihak-pihak yang dapat dijadikan subjek penelitian. Menurut Sitorus (1998), subjek penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi tentang dirinya yang mencakup pendapat, perasaan, dan tindakan yang dilakukan. Misalnya tentang keterlibatan dirinya dalam program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi, tentang perasaannya terhadap pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi dan sebagainya.

(29)

14

Pegawai Dishutbun Wonosobo dan relawan Tim Kerja Pemulihan Dieng yang menjadi pendamping desa.

Jumlah responden sebagai subjek penelitian dan informan sebanyak 39 responden. Informasi mengenai mereka diperoleh dari informan kunci. Pertama, penulis mengajukan beberapa kriteria kepada informan kunci. Kriteria tersebut antara lain adalah mengelola lahan pertanian sayur-sayuran bernilai ekonomi tinggi seperti kentang, ikut serta dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, terbuka serta tidak segan menyampaikan pendapatnya. Dari kriteria tersebut informan kunci memberikan nama-nama petani yang dapat diwawancarai. Wawancara dengan para petani tersebut akan menghasilkan data mengenai proses pembelajaran sosial, pola pengelolaan hutan, prinsip bermitra dan manfaat ekonomis.

Peneliti menggali informasi dari pegawai Dishutbun Wonosobo serta pegawai Perhutani mengenai konsep program rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan lahan serta pelaksanaanya selama ini. Agar informasi yang diperoleh memiliki tingkat realibilitas yang tinggi dilakukan cross check dengan aktivis TKPD. Dari aktivis TKPD juga diperoleh informasi mengenai kegiatan fasilitasi.

Wawancara mendalam dilakukan dengan berbagai cara. Petani kentang diwawancarai dengan mendatangi mereka di lahan garapan dan di rumah masing. Anggota kelompok tani desa dan LMDH diwawancarai di rumah masing-masing. Wawancara dengan Dishutbun Wonosobo dan aktivis TKPD dilakukan dengan mendatangi kantor keduanya.

(30)

Progo serta menghadiri Semiloka Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kabupaten Wonosobo antara masyarakat, Perhutani dan LSM.

Untuk mendukung data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan pengamatan maka dilakukan analisis terhadap data sekunder. Data sekunder berasal dari berbagai literatur, dokumen, tesis, dan disertasi. Dari literatur diperoleh informasi mengenai konsep pembelajaran sosial, konsep pengetahuan lokal dan konsep pengelolaan hutan dan lahan. Dari dokumen didapat data monografi desa dan data mengenai program rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan dari tesis dan disertasi diperoleh informasi tentang hasil-hasil penelitian terdahulu terutama mengenai program rehabilitasi hutan dan lahan dan pertanian bernilai ekonomi tinggi. Penggunaan data sekunder bertujuan untuk membantu dalam mengarahkan dan memfokuskan penelitian.

Pertanyaan kunci, teknik dan unit analisis pengumpulan data dari keempat dimensi pembelajaran sosial dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pertanyaan Kunci Dimensi Pembelajaran Sosial

Pertanyaan Kunci Teknik Unit Analisis

Dimensi 1. Pengambilan keputusan

Bagaimana penetapan kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan hutan dan lahan pertanian bernilai ekonomi tinggi, sepihak atau bersama masyarakat?

Studi Bagaimana sejarah kepemilikan dan status lahan garapan

petani?

Bagaimana konflik hak pengelolaan lahan, adakah ketidaksamaan akses antar pihak dalam pengelolaan lahan?

Survei Dishutbun Masyarakat LSM Bagaimana kesesuaian kebijakan pemerintah dengan

pelaksana kerja fasilitator di lapangan?

Studi

Dimensi 2. Inovasi dan Pemecahan Masalah

Bagaimana pemahaman tentang konsep, nilai-nilai, kapasitas, cara pandang, metode, dan pengalaman sejarah dalam proses pembelajaran sosial program rehabilitasi hutan dan lahan?

Survei Dishutbun Masyarakat LSM Bagaimana kesesuaian nilai-nilai dan pengetahuan lokal

masyarakat dengan adanya introduksi program rehabilitasi hutan dan lahan?

(31)

16

Tabel 1 (lanjutan)

Pertanyaan Kunci Teknik Unit Analisis

Bagaimana peran fasilitator menjembatani kepentingan-kepentingan dalam pertukaran pandangan berbagai pihak?

Survei Observasi

Dishutbun Masyarakat LSM

Dimensi 3. Jalinan Komunikasi dan Pembentukan Hubungan

Bagaimana arus informasi pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan antara petani aktif, petani pengikut, Dishutbun dan LSM? Bagaimana karakteristik petani aktif dan petani pengikut? Survei Masyarakat

LSM Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan

tindakan antara petani aktif dan petani pengikut?

Survei Masyarakat LSM Bagaimana dominansi interaksi yang terjalin antara berbagai

pihak?

Dimensi 4. Pembangunan Kapasitas dan Pengembangan Masyarakat

Bagaimana keikutsertaan masyarakat (Kelompok tani dan LMDH) dalam berbagai program dan penyuluhan tentang program rehabilitasi hutan dan lahan?

Studi

Bagaimana peran pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?

Studi

Bagaimana proses musyawarah dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas masyarakat?

(32)

Kebutuhan pangan penduduk dapat diformulasikan sebagai berikut: Kpg = 0,35 kg/hari x P

Keterangan:

Kpg : Jumlah pangan penduduk desa (kg/hari)

0,35 : angka normatif konsumsi beras perkapita (Simon 1994) P : Jumlah penduduk desa (jiwa)

Kebutuhan Pakan Ternak

Rasio kepemilikan ternak (ekor/KK) diperoleh berdasarkan jumlah data dan jenis ternak yang dimiliki oleh penduduk. Untuk memperkirakan kebutuhan pakan ternak diperlukan kepadatan ternak yang dinilai dengan satuan Unit Ternak (UT). Ternak sapi, kerbau, dan kuda rata-rata memiliki 0,75 UT per ekor, sedangkan ternak kambing dan domba 1/7 UT per ekor. Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) digunakan kriteria kebutuhan HMT normal menurut Simon (1994), dimana: kerbau 45 kg/ekor/hari, sapi 30 kg/ekor/hari dan kambing maupun domba 10 kg/ekor/hari. Dari kebutuhan pakan ternak tersebut perlu diketahui besarnya pakan ternak yang berasal dari hutan dan lahan.

Angkatan Kerja dan Lapangan Pekerjaan

Angkatan kerja dihitung dari penduduk yang berumur antara 15 – 59 tahun. Kesempatan kerja yang tersedia di desa dihitung dengan pendekatan jumlah angka normal, yaitu luas normal sawah dan tegal yang dibutuhkan oleh satu keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan subsisten (kelumrahan) yaitu sebesar 0,79 Ha sawah tadah hujan (Simon 1994). Apabila sawah dan tegal yang ada dibagi dengan jumlah seluruh keluarga di desa hasilnya kurang dari 0,79 Ha, maka akan terdapat tenaga kerja yang tidak terserap dalam kegiatan pertanian atau menganggur.

Penentuan Persepsi

(33)

18

(Mueller 1996) merupakan metode penskalaan pernyataan sikap/persepsi yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Responden akan diminta untuk menyatakan tingkat kepentingan terhadap isi pernyataan/indikator dalam tiga kategori jawaban, yaitu “Sangat Penting” (SP), “Penting” (P), dan “Kurang Penting“ (KP). Dari masing-masing kategori jawaban akan diberi nilai tergantung dari bentuk pernyataannya baik yang berupa pernyataan positif maupun negatif. Pemberian nilai dari 1 sampai 3 tergantung bentuk pernyataannya, apabila positif maka nilai terkecil untuk kategori jawaban tingkat kepentingan misalnya Sangat Penting (SP) adalah 1 sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif, nilai terbesar untuk kategori jawaban penolakan misalnya Kurang Penting (KP) adalah 3. Hasil dari kuesioner dicari nilai rata-rata dari tiap butir pernyataan dengan menjumlahkan nilai dari tiap jawaban dan membaginya dengan jumlah responden. Sehingga diperoleh nilai yang menggambarkan tingkat persepsi responden. Interval nilai rata-rata dari pernyataan/ tanggapan untuk tingkat persepsi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tingkat Persepsi berdasarkan Skala Likert

Interval Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi

0 – 1,0 Tinggi

1,1 – 2,0 Sedang

2,1 – 3,0 Rendah

Indikator-indikator persepsi yang mempengaruhi keberlanjutan program rehabilitasi hutan dan lahan di Kawasan Pegunungan Dieng dibedakan ke dalam 2 hal pengamatan, di dalam kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat. Indikator tersebut mencakup aspek-aspek, diantaranya aspek teknis, kelembagaan, pengelolaan dan ekonomi. Secara lebih lengkap disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 3 Indikator yang Mempengaruhi Keberlanjutan Program RHL

No Di dalam kawasan hutan No Di lahan milik

Aspek Teknis Aspek Teknis

1. Penanaman pohon 1. Penanaman pohon 2. Pemeliharaan pohon 2. Pemeliharaan pohon

Aspek Kelembagaan Aspek Kelembagaan

1. Pengembangan organisasi dan usaha yang ada, termasuk koperasi

(34)

No Di dalam kawasan hutan No Di lahan milik

2. Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan

2. Meningkatkan kapasitas instansi pelaksana / pemangku kepentingan 3. Adanya ikatan sosial dengan konflik

sosial yang rendah

3. Adanya ikatan sosial dengan konflik sosial yang rendah

4. Adanya kesepahaman satu sama lain 5. Hubungan baik antara staf program dan

masyarakat

4. Hubungan baik antara staf program dan masyarakat

6. Konflik lahan harus diselesaikan dengan tuntas

7. Tersedianya lahan untuk dikelola masyarakat

8. Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat

5. Kerekatan antar koperasi / anggota organisasi masyarakat

9. Pembentukan lembaga baru 10. Kejelasan dalam pengelolaan

sumberdaya alam

6. Kejelasan dalam pengelolaan sumberdaya alam

11. Aturan main yang jelas 7. Aturan main yang jelas 8. Pemberdayaan organisasi 9. Inovasi pada aspek teknis dan

kelembagaan

Aspek Pengelolaan Aspek Pengelolaan

1. Transparansi 1. Transparansi

2. Pengembangan perencanaan partisipatif 3. Penurunan tingkat

penebangan/perambahan 2. Desa sekitar hutan dilibatkan dalam

pengelolaan hutan dan pengamanan

3. Dukungan pemerintah yang jelas 4. Dukungan pemerintah yang jelas 4. Proses peningkatan kesadaran

masyarakat

5. Proses peningkatan kesadaran masyarakat

5. Penyuluhan kehutanan 6. Penyuluhan kehutanan 6. Gangguan atau tekanan terhadap hutan

dan lahan yang dapat ditangani / diatasi

7. Gangguan atau tekanan terhadap hutan dan lahan yang dapat ditangani / diatasi

Aspek ekonomi Aspek ekonomi

1. Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas

1. Mekanisme investasi kembali (re-investasi) yang jelas

2. Pasaran yang pasti untuk produk kegiatan rehabilitasi

(35)

20

Analisis Data

Data-data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Untuk mendapatkan data yang sesuai dilakukan pemilahan dan penyederhanaan. Pemilahan data dimaksudkan untuk mempertajam analisis. Setelah data dipilah selanjutnya dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang saling berkaitan. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk teks naratif. Dari hasil penyajian dapat ditarik berbagai kesimpulan (Sitorus 1998). Analisis data mulai dari pemilahan data sampai penarikan kesimpulan.

Analisis dilakukan untuk menemukan pola. Caranya dengan melakukan pengujian sistematik untuk menetapkan bagian-bagian, hubungan antar kajian, dan hubungan terhadap keseluruhannya. Untuk dapat menemukan pola tersebut peneliti akan melakukan penelusuran melalui catatan-catatan lapangan, hasil wawancara dan bahan-bahan yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan menyajikan apa yang ditemukan.

Proses analisis data ini peneliti lakukan secara terus menerus, bersamaan dengan pengumpulan data dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Di dalam melakukan analisis data peneliti mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data(data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication). Ketiga tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Reduksi Data. Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.

(36)

bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh. 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi. Dalam penelitian kualitatif, penarikan

data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan yaitu dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded . Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung yang melibatkan interprestasi peneliti.

Gambar 2 Proses Analsis Data dalam Penelitian Kualitatif.

Keabsahan Data

(37)

22

1. Derajat kepercayaan (credibility). Penerapan konsep kriteria derajat kepercayaan ini berfungsi untuk melaksanakan inquiry sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai. Selain itu berfungsi untuk menunjukkan derajat kepercayaan hasil penemuan dengan cara pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa kredibilitas hasil penelitian adalah sebagai berikut:

a. Memperpanjang masa observasi. Dengan cara ini peneliti berharap mempunyai cukup waktu untuk mengenal situasi lingkungan dan melakukan hubungan baik dengan para informan di lokasi penelitian. Dengan demikian peneliti dapat mengecek kebenaran berbagai informasi dan data yang diperoleh sampai sudah dirasa benar.

b. Melakukan peer debriefing. Hasil kajian dari peneliti didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian dan juga tentang metode penelitian yang diterapkan. Pembicaraan ini bertujuan antara lain untuk memperoleh kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan yang menguji tingkat kepercayaan dari kebenaran hasil penelitian.

c. Triangulasi. Triangulasi dilakukan untuk mengecek kebenaran data tertentu dan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan dengan menggunakan metode yang berlainan. Triangulasi dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan data, sumber data dan teknik pengumpulan data.

d. Mengadakan member check . Hal ini peneliti lakukan pada setiap akhir wawancara dengan cara mengecek ulang garis besar berbagai hal yang telah disampaikan informan berdasarkan catatan lapangan. Hal ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penulisan laporan penelitian sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan.

(38)
(39)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas

Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Wonosobo yang masuk dalam kawasan Pegunungan Dieng. Secara geografis memiliki luas wilayah 5.761,92 ha, atau 5,85 % dari luas Kabupaten Wonosobo. Ketinggian wilayah antara 1.360 – 2.302 m di atas permukaan laut.

Kecamatan Kejajar merupakan salah satu dari 15 Kecamatan di Kabupaten Wonosobo, terletak antara 7°11’20’’ sampai 7°18’00’’ Lintang Selatan (LS) dan 109° 51’11” sampai 109° 59’52’’ Bujur Timur (BT), berjarak 17 Km dari ibu kota Kabupaten Wonosobo dan 146 Km dari ibu kota Propinsi Jawa Tengah.

Secara Administrasi Kecamatan Kejajar berbatasan langsung dengan: Sebelah Utara : Kabupaten Batang

Sebelah Timur : Kabupaten Temanggung Sebelah Selatan : Kecamatan Garung Sebelah Barat : Kabupaten Banjarnegara

Luas Kecamatan Kejajar adalah 5.761,919 ha, dengan komposisi tata guna lahan atas lahan tanah kering seluas 3.066,31 ha (53,21 %), hutan negara 2.309,81 ha (40,08 %), perkebunan negara/swasta seluas 155,85 ha (2,7 %) dan lainnya seluas 232,67 ha (4,01%) (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009).

Jenis Tanah dan Topografi

Tanah merupakan lapisan-lapisan dekat permukaan yang berbeda dengan batuan di bawahnya sebagai hasil interaksi antara: iklim, jasad hidup, bahan induk, relief dan proses yang panjang. Tanah merupakan salah satu unsur lingkungan dan tempat manusia melakukan kegiatan baik dalam bidang pertanian, maupun non pertanian. Tanah dalam kaitannya dengan penggunaan tanah/lahan tergantung pada kebutuhan penduduk. Hal ini yang sering menimbulkan konflik antar kepentingan.

(40)

terbentuk di Kawasan Dieng adalah: 1) Latosol; 2) Latosol coklat; 3) Latosol coklat kekuningan; 4) Podzolik coklat kemerahan. 5) Litosol – Latosol.

Jenis tanah di Kecamatan Kejajar didominasi oleh jenis regosol dan Andosol. Jenis tanah regosol ini belum berkembang, sehingga belum terbentuk horison tanah. Regosol banyak ditemukan pada endapan lahar dan piroklastis. Tanah bertekstur pasiran hingga pasir bergeluh, struktur remah pada kondisi kering, warna tanah abu-abu kecoklatan. Konsistensi lepas-lepas, permeabilitas umumnya sedang hingga cepat, kandungan bahan organis rendah hingga sedang, pH 5 – 6,5 kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa termasuk sedang. Pada lokasi tertentu Regosol dapat bertekstur remah hingga gumpal jika terdapat kandungan lempung atau banyak mengandung bahan organis. Sebaran jenis tanah ini terdapat pada relief datar, berombak, bergelombang, lereng gunung api, perbukitan hingga pegunungan terjal berbatuan vulkanis.

Andosol berkembang pada satuan bentuk lahan perbukitan hingga pegunungan terjal berbatuan tuf pada kondisi suhu dingin dan curah hujan sedang. Ciri Andosol yaitu; tanah tebal, warna tanah coklat – abu-abu gelap, tekstur geluh berdebu, konsistensi gembur permeabilitas sedang, kandungan bahan organik sedang, pH 5,5 - 6, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa tinggi. Potensi lahan untuk tanaman pertanian termasuk sedang hingga tinggi (RTPPKD 2007)

Topografi Kecamatan Kejajar dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Komplek pegunungan Dieng terdiri dari Gunung Bismo, Binem, Nagasari, Pangonan, Merdada, Prau, Pager Kandang, Petarangan Telaga Dlimo, Pakuwojo, Kunir, Kendil, Srodjo, Sipandu dan Prambanan. Gunung di komplek Dieng yang tertinggi adalah Gunung Prau, yaitu 2565 m dpl. Kemiringan tanah di Kecamatan Kejajar cukup terjal, didominasi kelas lereng antara 15 – 40 % yaitu seluas 1.993,099 ha (65%).

(41)

26

Iklim

Iklim merupakan gabungan beberapa unsur cuaca yang terjadi dalam kurun waktu yang lama dan dalam wilayah yang luas. Iklim dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, keadaan awan, hujan dan sinar matahari. Curah hujan merupakan salah satu unsur penyusun iklim yang sangat penting dalam kehidupan pertanian. Menentukan jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu yang tepat untuk penanaman sangat bergantung pada banyaknya curah hujan dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu penanamannya.

Berdasarkan besarnya curah hujan yang ditentukan dalam banyaknya bulan basah, bulan lembab dan bulan kering, Schmidt dan Ferguson menetapkan tipe iklim di Indonesia dengan menggunakan rumus nilai Q yaitu Jumlah rata-rata bulan kering dibagi jumlah rata-rata bulan basah dikali 100%.

Berdasarkan data curah hujan 5 tahun terakhir, diketahui curah hujan rata-rata adalah 3,533 mm/tahun dengan jumlah rata-rata-rata-rata bulan basah sebanyak 8,67 bulan dan bulan kering sebanyak 2,33 bulan. Dengan menghitung nilai Q, diketahui bahwa tipe iklim di Kecamatan Kejajar termasuk dalam tipe iklim B(basah).

Sebagian besar desa di Kecamatan Kejajar bersinggungan langsung dengan RPH Dieng yang merupakan BKPH Wonosobo. Dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan penting untuk diketahui iklim suatu daerah untuk dapat ditentukan kelas perusahaan serta tata waktu pelaksanaan pembangunan hutan mulai dari persemaian, penanaman, sampai dengan tebangan.

Di daerah pegunungan, seperti dataran tinggi Dieng suhu relatif rendah, berkisar antara 200C – 300C, sementara kelembaban udara relatif tinggi antara 84 – 86% (Bapeda Kabupaten Wonosobo 2009).

Sosial Ekonomi Masyarakat

Kependudukan

(42)

banyak akan mempercepat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam pembangunan wilayah. Namun ketersediaan tenaga kerja yang banyak harus diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja yang cukup, sehingga tidak menyebabkan terjadinya pengangguran dan pemanfaatan sumber dayaalam yang melebihi daya dukungnya sehingga akan menyebabkan kerusakan sumber dayaalam itu sendiri. Jumlah tenaga kerja yang sedikit juga akan menyebabkan tingginya tingkat upah buruh sehingga dapat berpengaruh terhadap pembangunan.

Menurut Ethika (1997) diacu dalam Tribowo (2001) jumlah penduduk dapat digolongkan berdasarkan produktivitas sebagai berikut:

1. Golongan tidak produktif

a. Usia muda : 0 – 14 tahun b. Usia tua : 60 tahun ke atas 2. Golongan produktif : Usia 15 – 59 tahun

Penggolongan penduduk menurut produktivitasnya di desa-desa Kecamatan Kejajar disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penggolongan Penduduk Menurut Produktivitas Kerja

No Desa

Jumlah Penduduk Usia Non Produktif

Usia Produktif Jumlah Usia Muda Usia Tua

Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa

1 Buntu 632 26,68 209 8,82 1.528 64,50 2.369 2 Sigedang 877 30,15 128 4,40 1.904 65,45 2.909 3 Tambi 1.520 29,62 228 4,44 3.383 65,93 5.131 4 Kreo 514 32,17 132 8,26 952 59,57 1.598 5 Serang 1.575 33,92 328 7,06 2.740 59,01 4.643 6 Kejajar 986 28,65 273 7,93 2.182 63,41 3.441 7 Igirmranak 200 29,59 54 7,99 422 62,43 676 8 Surengede 1.114 30,79 203 5,61 2.301 63,60 3.618 9 Tieng 1.138 27,02 346 8,21 2.728 64,77 4.212 10 Parikesit 559 28,53 106 5,41 1.294 66,05 1.959 11 Sembungan 344 30,52 51 4,53 732 64,95 1.127 12 Jojogan 428 29,34 57 3,91 974 66,76 1.459 13 Patakbanteng 802 31,76 131 5,19 1.592 63,05 2.525 14 Dieng 500 23,38 172 8,04 1.467 68,58 2.139 15 Sikunang 593 29,05 116 5,68 1.332 65,26 2.041 16 Campursari 717 29,31 172 7,03 1.557 63,65 2.446 JUMLAH 12.499 29,40 2.706 6,40 27.088 64,18 42.293

(43)

28

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah angkatan kerja produktif cukup besar yaitu 27.088 jiwa atau 64,18 %, yang terdiri dari angkatan kerja muda (14 – 24 tahun), angkatan kerja produktif (25 – 49 tahun) dan angkatan kerja tua (50 – 59 tahun). Dengan melihat penggolongan umur ini dapat dihitung beban ketergantungan atau angka ketergantungan yang diperoleh dengan membandingkan golongan umur non produktif dengan golongan umur produktif dikali 100%. Untuk Kecamatan Kejajar, angka ketergantungan yang diperoleh sebesar 56%, artinya setiap 100 orang yang bekerja harus menanggung 56 orang yang tidak bekerja. Dilihat dari segi ekonomi, semakin tinggi angka ketergantungan penduduk di suatu daerah maka akan semakin berat beban penduduknya. Penggolongan penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada lampiran 1.

Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan wilayah. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan berpengaruh terhadap penerimaan program-program pembangunan, termasuk program rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam rehabilitasi hutan dan lahan, salah satu tujuannya adalah kelestarian hutan dan lahan memerlukan pemahaman yang cukup untuk dapat menerima pelaksanaan introduksi rehabilitasi hutan dan lahan. Hal tersebut mengingat keberhasilan pembangunan hutan baru dapat dilaksanakan dalam waktu yang lama.

(44)

Tabel 5 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Kejajar

No Desa

Tamat Tidak/

belum tamat SD

Tidak

Sekolah Jumlah SD SMP SMA AKD

/PT

1 Buntu 1.197 152 129 23 402 45 1.948 2 Sigedang 1.416 134 64 18 621 71 2.324 3 Tambi 2.149 424 230 24 1.126 186 4.139

4 Kreo 707 99 62 10 338 68 1.284

5 Serang 1.876 527 240 34 845 107 3.629 6 Kejajar 1.297 527 366 51 429 79 2.749 7 Igirmranak 261 37 12 1 169 49 529 8 Surengede 1.851 231 61 6 611 142 2.902 9 Tieng 1.581 498 274 86 862 161 3.462 10 Parikesit 1.023 91 37 12 346 93 1.602

11 Sembungan 572 157 33 3 59 53 877

12 Jojogan 588 143 55 7 349 52 1.194

13 Patakbanteng 1.296 158 77 13 364 91 1.999

14 Dieng 956 219 239 21 342 57 1.834

15 Sikunang 849 228 91 7 401 89 1.665

16 Campursari 832 60 27 3 933 123 1.978

Jumlah 18.451 3.685 1.997 319 8.197 1.466 34.115

Sumber: BPS Kab. Wonosobo 2008.

Matapencaharian

Biro Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo (2008), mengklasifikasikan jenis mata pencaharian penduduk menjadi 13 kelompok, yaitu petani sendiri, buruh tani, peternak skala besar, penggalian, nelayan, industri, bangunan, perdagangan, transportasi, PNS/Honda, TNI, Polisi, pensiunan, dan lainnya. Klasifikasi mata pencaharian masyarakat Kecamatan Kejajar sesuai pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari Lampiran 2 terlihat bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Kejajar adalah petani, baik sebagai pemilik maupun buruh tani. Dengan demikian, jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian sebanyak 17.936 jiwa (77,27%) yang terdiri dari petani pemilik sebanyak 10.851 jiwa (46,75%) dan buruh tani sebanyak 7.085 jiwa (30,52%).

(45)

30

Tata Guna Lahan

Lahan menjadi modal utama pada masyarakat di Kecamatan Kejajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan di Kecamatan Kejajar hanya digunakan untuk lahan kering. Lahan kering berupa pekarangan dan tegalan dengan luas masing-masing adalah 157,21 ha dan 3066,31 ha. Tegalan mendominasi semua lahan pertanian yang ada di Kecamatan Kejajar. Hal ini dikarenakan letak desa-desa tersebut berada pada ketinggian di atas 1000 m dpl dengan kondisi lahan yang bergelombang dan berbukit. Disamping itu kebutuhan untuk pertanian hanya diperoleh dari hujan dan beberapa mata air yang ada. Hanya petani yang cukup mampu yang dapat mengalirkan air dari mata air ke lahan pertaniannya, mengingat diperlukan pipa pralon yang cukup panjang untuk memperoleh air.

Lahan pekarangan hanya digunakan untuk rumah dan sarana sosial seperti sekolah dan masjid. Terbatasnya lahan pertanian yang relatif datar dan jumlah penduduk yang cukup banyak menyebabkan rumah-rumah dibangun cukup rapat satu dengan yang lainnya sehingga membentuk pemukiman yang sangat padat. Pekarangan yang sempit tersebut tidak memungkinkan ditanami tanaman pertanian maupun tanaman kayu keras yang dapat membantu masyarakat memperoleh penghasilan tambahan selain dari lahan tegalan.

Pemilikan Ternak

Umumnya berternak merupakan salah satu budaya pada masyarakat agraris selain kegiatan bercocok tanam. Memelihara ternak disamping untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi keluarga juga sebagai tabungan. Jika sewaktu-waktu hasil dari kegiatan bercocok tanam tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau kebutuhan mendesak, ternak tersebut akan dijual.

(46)

Sub Sistem Kehutanan

Identifikasi pola pengelolaan hutan dilakukan dengan mengidentifikasi sejarah pengelolaan hutan, kondisi hutan saat ini dan aspek teknik kehutanan dan sumberdaya manusia di Kecamatan Kejajar pada khususnya dan RPH Dieng pada umumnya.

Sejarah Singkat Pengelolaan Hutan di Kawasan Pegunungan Dieng.

Dataran tinggi Dieng pada jaman Mataram Kuno merupakan hutan perawan. Hal tersebut terungkap dari beberapa informasi naskah dan sastra kuno, misalnya Serat Centini, kisah Paradin Dieng, dan masih banyak lagi. Dataran tinggi Dieng dikenal sebagai dataran tinggi yang gelap dan pekat. Dieng kala itu digambarkan masih sebagai hutan perawan (Sukatno 2004).

Aktivitas manusia di Dataran Tinggi Dieng yang mulai memanfaatkan hutan primer telah berlangsung sejak abad ke-8. Hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah pada situs Dieng. Bukti-bukti prasasti menunjukkan bahwa kehidupan situs Dieng berlangsung dari abad ke-8 sampai ke-13 (Dumarcay 1986, diacu dalam Pudjoarianto 1996). Kelangsungan hidup situs Dieng tersebut dapat digunakan untuk merefleksikan adanya aktifitas-aktifitas pada masa itu. Manusia merambah hutan untuk berbagai kebutuhan, seperti membangun rumah, kayu bakar dan sumber kebutuhan lainnya. Aktivitas manusia di Dieng ditunjukkan pula oleh adanya bukti bekas jalan buatan berbatu di bagian utara antara Pekalongan dan Gunung Kendeng, jalan yang diberi nama ‘Andha Budha’, di sebelah tenggara kawah Sikidang. Bukti arkeologis lain yaitu di Watu Kelir dekat kelompok Candi Magersari. Bukti tersebut menunjukkan bahwa komplek percandian Dieng banyak dikunjungi orang.

(47)

32

kerusakan hutan untuk tempat pemukiman dan lahan-lahan pertanian bertambah besar. Sehingga hutan alami hanya terdapat di puncak Gunung Prau dan puncak-puncak bukit lainnya.

Pada tahun 1900 oleh pemerintah Belanda, kawasan hutan Gunung Bisma ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pada tahun 1919 dilakukan tata batas di kawasan Gunung Bisma, yaitu seluas 2.219,9 hektar dan kemudian pada tahun 1923 ditentukan petak-petaknya. Selanjutnya oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 26 tanggal 26 Juli 1940, kawasan hutan Gunung Bisma ditetapkan sebagai Cagar Alam Tlogo Warno Pangilon. Menurut Sukatno (2004), pada masa pemerintahan Belanda ini, di Dataran Tinggi Dieng banyak diusahakan perkebunan buah-buahan khas Eropa dan Amerika yang dikelola oleh orang-orang Belanda.

Pada mulanya, kawasan hutan Pegunungan Dieng merupakan hutan rimba dengan keadaan topografi yang berbukit-bukit, bergelombang, bergunung-gunung dengan lereng bergelombang sangat curam. Maka sebagian besar hutannya merupakan hutan lindung. Pada tahun 1958 telah dicoba tanaman pinus dan berhasil baik. Mengingat keberhasilan tanaman pinus, maka dalam penyusunan buku RPKH jangka 1988-1997, untuk hutan bagian Wonosobo ditetapkan sebagai Kelas Perusahaan Pinus, termasuk di dalamnya RPH Dieng (Perhutani 1998).

Kondisi Hutan

(48)

Desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kejajar lebih mudah diakses dari kantor RPH Dieng daripada desa-desa yang berada di Wilayah Kecamatan lain. Sehingga letak desa yang jauh seringkali menyulitkan dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat desa tersebut. Kantor RPH Dieng berada di pinggir jalan antara Wonosobo – Dieng yaitu di Desa Kejajar Kecamatan Kejajar. Kantor RPH Dieng berada 15 km dari pusat kota Wonosobo.

Kawasan hutan di RPH Dieng luasnya 2.560 ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.359/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Jawa Tengah. Kawasan tersebut dibedakan menurut fungsinya menjadi hutan lindung (63,65%), hutan produksi terbatas (34,99%) dan Cagar Alam/Taman Wisata Alam (1,36%). Selengkapnya disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Fungsinya

Petak HL (ha) HPT (ha) CA/TWA (ha) Jumlah (ha)

1 83,7 83,7

2 70,9 70,9

3 220,3 219,0 439,3

4 128,6 256,1 384,7

5 266,3 266,0 532,3

6 36,9 36,9

7 521,7 521,7

8 89,9 89,9

9 34,9 34,9

10 22,5 22,5

11 230,0 230,0

12 113,2 113,2

Jumlah 1.629,4 895,7 34,9 2.560,0

Sumber: SK Menhut No. 359/Menhut-II/2004

RPH Dieng merupakan Kelas Perusahaan Pinus dan wilayah hutannya dibagi sesuai dengan kelas hutannya sesuai dengan Tabel 7.

Tabel 7 Luas Kawasan Hutan di RPH Dieng Berdasarkan Kelas Hutan

No Kelas Hutan Luas (ha)

1 Tanah Kosong (TK) 87,2

2 Tanaman Kayu Lain (TKL) 43,5 3 Hutan Lindung Terbatas (HLT) 763,6

4 Hutan Lindung (HL) 1.614,4

5 Tak Baik untuk Produksi (TBP) 51,3

Jumlah 2560,0

(49)

34

Hutan di RPH Dieng terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam yang ada seluas 973,5 ha dengan jenis tanaman antara lain bendo, mranak, sadan, pucangan, wrakas dan pakis. Jenis-jenis pohon yang ada di hutan tanaman antara lain: pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima noronhoe), rimba campur, akasia (Acacia decurens) dan bintamin, dengan luas total 1.106,9 ha.

Pada era reformasi tahun 1997-1998 terjadi perambahan hutan lindung oleh masyarakat sekitar hutan untuk ditanami kentang. Penjarahan di Dataran Tinggi Dieng tersebut mencapai luas 714,9 ha (Perhutani 2007). Hal tersebut menyebabkan tanah kosong seluas 87,2 ha pada akhir jangka meskipun telah dilakukan penanaman. Disamping itu juga terdapat hutan tanaman dengan kondisi tanaman yang jelek seluas 269,4 ha.

Pola Pengelolaan Hutan.

Mengingat kelas hutannya sebagian merupakan hutan lindung, RPH Dieng tidak pernah melakukan penebangan. Pengelolaan yang dilakukan hanya membiarkan hutan tersebut sebagai perlindungan kawasan. Tebangan yang dilakukan adalah tebangan B1 yaitu tebang habis pada bidang-bidang tak produktif tetapi baik untuk perusahaan tebang habis. Pada lapangan tak produktif disediakan untuk penghasilan kayu pinus, meliputi: tanah kosong, hutan pinus rawang (pertumbuhan kurang), dan hutan jenis kayu lain. Penebangan tersebut dilakukan pada petak-petak yang pertumbuhannya kurang atau jelek, kemudian diganti dengan tanaman baru untuk mendapatkan tegakan yang lebih baik.

(50)

lahan yang kosong di sela-sela tanaman kehutanan untuk ditanami tanaman semusim seperti tanaman kentang dan sayuran lainnya.

Pohon akasia sangat rawan dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Selain merencek, masyarakat kadang juga menebang pohon akasia meskipun masih muda karena kualitas kayu akasia cukup baik untuk kayu bakar. Namun sekarang hal tersebut sangat sedikit dilakukan oleh masyarakat karena kebijakan pemerintah mengganti bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah yang semakin tinggi harganya menjadi gas elpiji yang lebih rendah harganya dan lebih mudah didapatkan oleh masyarakat.

Sumberdaya Manusia

Keberadaan sumberdaya manusia sangat berpengaruh dalam keberhasilan program pembangunan apapun, termasuk dalam pembangunan dan rehabilitasi hutan. Kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan ikut menentukan keberhasilan dalam pembangunan dan rehabilitasi hutan, yang pada akhirnya akan menuju pada kelestarian hutan itu sendiri. Di samping kemampuan, jumlah pegawai yang memadai dengan kawasan hutan yang harus dikelola juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan hutan.

Sumberdaya manusia yang mengelola kawasan hutan di RPH Dieng seluruhnya berjumlah 9 orang terdiri dari 1 orang kepala RPH, 2 orang mandor polter, 3 orang mandor tanam dan pemeliharaan, 1 orang mandor UST/tanam, 1 orang mandor VHF/tanam dan 1 orang mandor persemaian /tanam. Keterbatasan jumlah pegawai menyebabkan rangkap tugas mandor. Seluruh pegawai di RPH Dieng umumnya berpendidikan SLTA dan tidak ada yang secara khusus berpendidikan formal di bidang kehutanan. Pengetahuan pengelolaan hutan didasarkan pada pengalaman, petunjuk teknis pelaksanaan dan pengarahan dari atasan.

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran “Pembelajararan Sosial dalam Rehabilitasi
Tabel  1 (lanjutan)
Tabel  2 (lanjutan)
Tabel 4  Penggolongan Penduduk Menurut Produktivitas Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

SMP PIRI Ngagik Sleman dan untuk mengetahui peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa melalui penerapan strategi Active Learning tipe Firing Line pada tiap siklusnya..

Pengetahuan struktur konstruksi dan tektonika arsitektur tongkonan, menunjukkan bahwa “tongkon” merupakan pengetahuan mendirikan arsitektur tongkonan yang spesifik,

Selanjutnya akan dipelajari bagaimana menempatkan ukuran pada tanah yang datar dengan menggunakan nail steak (tongkat lancip) serta menarik garis tegak lurus pada garis lurus

Sesuai dengan proposal yang diajukan oleh lembaga, kami siap untuk menjadi penyelenggara program Revitaliasi Sarana Kursus dan Pelatihan tahun 2012 dan menggunakan

Hal ini sangat sesuai dengan hasil penelitian Tai, Leou, & Hung (2014) yang menjelaskan bahwa literasi sangat penting dalam pembelajaran matematika dikarenakan

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana hasil pemahaman membaca mahasiswa, bagaimana kemampuan menulis paragraf mahasiswa, apakah ada hubungan yang

Penelitian yang relevan Supartinah (2018) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa penggunaan model pembelajaran discovery learning dengan metode edutainment dapat

Pendeteksian tepi penting digunakan dalam pengolahan citra digital guna meningkatkan garis batas suatu daerah atau objek atau menghasilkan tepi-tepi dari objek-objek citra