• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Functional Species Group pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi Functional Species Group pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

i

KOMPOSISI

FUNCTIONAL SPECIES GROUP

PADA SISTEM

SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR DI AREA

IUPHHK-HA PT SARPATIM, KALIMANTAN TENGAH

AYI KULSUM ZAMZAM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Functional Species Group pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

(4)
(5)

iii

ABSTRAK

AYI KULSUM ZAMZAM. Komposisi Functional Species Group pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh PRIJANTO PAMOENGKAS.

Pengelolaan hutan dapat berdampak pada perubahan struktur hutan dan komposisi jenis. Functional species Group (FSG) dapat menjelaskan kesatuan jenis-jenis pohon yang diseleksi dalam suatu kelompok yang berada pada kegiatan pengelolaan hutan sehingga dapat membantu dalam menjelaskan sifat-sifat biodiversitas seperti kualitas habitat dan proses ekosistem. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui komposisi vegetasi hutan produksi yang dikelola dengan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dilihat dari struktur tegakan dan komposisi jenis yang tergolong FSG untuk tegakan dan permudaan alam di log over area (LOA) dan KPPN (Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah) IUPHHK-HA PT Sarmiento Parakantja Timber (Sarpatim), Kalimantan Tengah. Analisis komposisi jenis dan struktur tegakan menggunakan jalur berpetak pada area TPTJ dan KPPN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok jenis klimaks pada seluruh petak pengamatan secara umum memiliki proporsi lebih besar dibandingkan kelompok jenis pionir sejumlah 100 jenis klimaks dan 59 jenis pionir. Struktur tegakan membentuk kurva J terbalik yang menunjukkan pemulihan komposisi vegetasi pada area bekas tebangan yang dikelola menggunakan sistem Silvikultur TPTJ dan KPPN memiliki karakteristik hutan tidak seumur yang seimbang. Nilai keanekaragaman jenis tinggi (H’>3). Komunitas pohon dan tegakan sebagian besar memiliki komunitas yang berbeda (ID>50%).

(6)

ABSTRACT

AYI KULSUM ZAMZAM. Composition of Functional Species Group at Silviculture system of Tebang Pilih Tanam Jalur in IUPHHK-HA area of PT Sarpatim, central of Kalimantan. Supervised by PRIJANTO PAMOENGKAS

Forest management can have an impact on changes in forest structure and composition of plant species. Functional species Group (FSG) may explain the unity of the trees species that are selected in a group in a forest management activities so that it can help in explaining the characteristic of biodiversity such as the quality of habitat and ecosystem processes. The purpose of this research is to know the composition of forest vegetation that the production system are managed with a Silvikultur system of TPTJ as seen from the forest structure and composition of the type that belongs to FSG for the stands and natural regeneration in log over area (LOA) and KPPN (The Conservation of Germplasm Area) IUPHHK-HA PT Sarmiento Parakantja Timber (Sarpatim), Central Kalimantan. Analysis of the composition of the stands type and structure used terraced path in the area of TPTJ and KPPN. The results showed that the types of climax on an entire swath of observations, generally have greater proportion than the group of pioneers, the number of the climax type is 100 while pioneer type is 59. The structure of the stands form a J reverse curve, it show that the composition of vegetation recovery on log over areas managed by using TPTJ and KPPN Silvikultur system has balance characteristic of uneven age forest. The value of diversity is high (H'>3). Most of tree and stands community have different communities (ID>50%).

(7)

v

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

KOMPOSISI

FUNCTIONAL SPECIES GROUP

PADA SISTEM

SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR DI AREA

IUPHHK-HA PT SARPATIM, KALIMANTAN TENGAH

AYI KULSUM ZAMZAM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah komposisi dan struktur jenis tumbuhan, dengan judul Komposisi Functional Species Group pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Prijanto Pamoengkas MSc F Trop selaku dosen pembimbing. Di samping itu penghargaan dan ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak IUPHHK-HA PT Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan yang telah memfasilitasi penelitian ini, Bapak Pamuji Raharjo selaku Kepala Bidang Litbang yang telah memberikan izin dan memfasilitasi penelitian ini, Bapak Margianto dan timnya yang telah membantu dan mendampingi pengumpulan data di lapang, serta semua staf yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Kemudian ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah (Suryadi) dan Ibu (Siti Rokayah Spd) serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, Usi, Rumi, Inggar, Devina, Fitria, Jek, Aji, Ari, Dimas, Rima, Ade, Siti, Dewi dan sahabat-sahabat Silvikultur 47 yang senantiasa memotivasi dan mendukung.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Bahan dan Alat 2

Prosedur Penelitian 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Komposisi Jenis Functional Species Group dan Struktur Tegakan Hutan 7

Struktur Tegakan 10

Indeks Keanekaragaman Jenis 11

Indeks Nilai Penting 11

Indeks Ketidasamaan Komunitas 14

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 17

(12)

xi

DAFTAR TABEL

1. Pengelompokan Functional Species Group (FSG) berdasarkan pada

ciri-ciri autekologi yang berbeda 4

2. Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada

tingkat pohon 8

3. Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan

padatingkat tiang 9

4. Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada

tingkat pancang 9

5. Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada

tingkat semai 9

6. Indeks keanekaragaman jenis pada petak pengamatan 11 7. Indeks nilai penting di atas 15% pada tingkat pohon pada petak

pengamatan 12

8. Indeks nilai penting di atas 15% pada permudaan pohon (tiang) pada

petak pengamatan 12

9. Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon (semai)

pada petak pengamatan 13

10. Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon (pancang)

pada petak pengamatan 13

11. Indeks ketidaksamaan pada petak pengamatan untuk seluruh petak

pengamatan dan tingkat pertumbuhan 14

DAFTAR GAMBAR

1. Layout petak ukur pengamatan 3

2. Desain jalur analisis vegetasi hutan alam 3

3. Jumlah jenis (a) pionir dan (b) klimaks di seluruh petak pengamatan 7 4. Distribusi struktur tegakan pada petak pengamatan 10

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta lokasi penelitian 17

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan hutan hujan tropika memiliki resiko yang besar dari segi ekonomi dan keseimbangan ekologi (Baker et al. 1987). Perubahan keseimbangan ekologi dapat terjadi karena kegiatan pengelolaan seperti penebangan, pembukaan lahan dan lain-lain. Perubahan keseimbangan ekologi diantaranya berubahnya komposisi dan struktur tegakan hutan. Keberadaan jenis-jenis tegakan tertentu dalam hutan dapat menjadi indikator tingkat suksesi hutan.

Functional species Group (FSG) merupakan kelompok jenis yang memiliki pola spesifik serupa dalam penggunaan sumberdaya, respon yang sama terhadap gangguan atau memiliki kelas yang sama dalam tingkat pertumbuhan, kematian dan pemulihan kembali (Gitay dan Noble 1997). Pengetahuan mengenai FSG dapat menjelaskan kesatuan jenis-jenis pohon yang diseleksi dalam suatu kelompok yang berada pada kegiatan pemanenan, pemilihan teknik silvikultur dan sistem manajemen ekosistem, sehingga dapat membantu dalam menjelaskan sifat-sifat biodiversitas seperti kualitas habitat dan proses ekosistem (Pohris 2009).

Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) merupakan sistem silvikultur hutan alam yang diaplikasikan dengan melakukan penanaman secara jalur pada hutan bekas tebangan atau loged over area (LOA). Pelaksanaan sistem silvikultur TPTJ di IUPHHK-HA PT Sarmiento Parakantja Timber (PT Sarpatim) didasarkan pada SK Mentri Kehutanan Nomor SK.31/VI-BPHA/2010 seluas 83% dari total area konsesi 216 580 ha. Kegiatan pembinaan hutan dalam sistem TPTJ meliputi pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan perlindungan yang dilakukan secara berkesinambungan. Tujuan penerapan sistem silvikultur TPTJ yaitu sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dengan membangun hutan tanaman meranti yang produktif (Suparna dan Purnomo 2004).

Evaluasi terhadap penerapan sistem silvikultur TPTJ yang sedang berjalan sampai saat ini perlu dilakukan karena penerapan sistem silvikultur TPTJ belum teruji sampai daur akhir yaitu 35 tahun. Salah satu hal yang dapat dievaluasi yaitu kegiatan penanaman. Penanaman dilakukan di dalam jalur selebar 3 meter (land clearing) dengan jarak tanam yaitu 2.5 meter dengan jalur antara yang merupakan tegakan alam selebar 17 meter yang diharapkan mampu mempertahankan sifat alami dari hutan tersebut dan mampu menjaga kestabilan hutan (Soekotjo 2009).

Kegiatan penanaman pada area bekas tebangan dapat mempengaruhi perubahan struktur dan komposisi jenis dengan pembuatan jalur dan kegiatan pemanenan sebelumnya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis komposisi jenis dan struktur hutan yang dikelompokan dengan pendekatan komposisi vegetasi yang tergolong FSG pada LOA dan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) untuk mengetahui proses pemulihan pada tegakan alam di jalur antara.

Perumusan Masalah

(14)

2

sistem silvikultur TPTJ yang dapat berdampak pada perubahan struktur hutan dan komposisi jenis. Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu mengetahui proses pemulihan pada tegakan alam di jalur antara dengan mengetahui komposisi jenis dan struktur hutan yang dikelompokan dengan pendekatan komposisi vegetasi yang tergolong FSG di area dengan tahun tebang berbeda dan KPPN.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi vegetasi hutan produksi yang dikelola dengan sistem Silvikultur TPTJ dilihat dari struktur tegakan dan komposisi jenis yang tergolong FSG untuk tegakan dan permudaan alam di area bekas tebangan (LOA) dan KPPN IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur hutan dan komposisi jenis yang tergolong FSG. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengembilan keputusan pada manajemen penebangan, teknik silvikultur yang cocok digunakan pada manajemen pengelolaan hutan secara lestari di area bekas tebangan IUPHHK-HA PT Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di area kerja IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah di area bekas tebangan yang dijadikan model silvikultur sistem TPTJ yang berlangsung dari bulan April 2014 sampai dengan Mei 2014.

Bahan dan Alat

(15)

3

Prosedur Penelitian

Penentuan lokasi penelitian

Petak ukur pengamatan terdiri dari 12 lokasi yang berbeda. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada lokasi bekas tebangan yang dijadikan model silvikultur sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan hutan primer yang ada di IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah. Masing-masing lokasi tersebut yaitu: area hutan tidak terganggu (KPPN) yang mewakili hutan primer, petak ukur LOA 9 tahun (76AF dan 76AG), LOA 7 tahun (76AE dan 78AE), LOA 5 tahun (73AH dan 81X), LOA 3 tahun (72AG dan 72AH) dan LOA 1 tahun (94P dan 94Q). Luasan setiap petak ukur yaitu 10 000 m2 dan pada masing-masing petak dilakukan pengukuran pada dua jalur yaitu jalur 2 dan 4 dengan panjang dan lebar masing-masing jalur yaitu 100 meter dan 17 meter seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Layout petak ukur pengamatan

Analisis vegatasi

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis vegetasi metode kombinasi antara metode jalur dan garis petak. Tingkat pohon dilakukan dengan metode jalur sedangkan untuk permudaan dilakukan dengan metode garis berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998). Panjang jalur pengamatan yaitu 100 m dengan lebar 17 m. Setiap jalur dibagi menjadi lima petak pengukuran berukuran 17 m x 20 m. Lima petak masing-masing terbagai menjadi empat subpetak pengamatan yaitu petak 2 m x 2 m untuk pengamatan tingkat semai, petak 5 m x 5 m untuk pengamatan tingkat pancang, 10 m x 10 m untuk pengamatan tingkat tiang dan 17 m x 20 m untuk pengamatan tingkat pohon seperti pada Gambar 2. Data yang dikumpulkan dari analisis vegetasi adalah nama dan jumlah jenis pada semua tingkat pertumbuhan serta diameter dan tinggi pada tingkat tiang dan pohon.

Gambar 1 Desain jalur analisis vegetasi hutan alam

A = semai

B = pancang

C = tiang

D = tpohon

20m

Dst

17

C D

2m

B

A

m A

B

10m C

D

5m

a b

e c d

1 f 2 3 4 5 100 m

100 m

(16)

4

Analisis Data

Pengelompokan Data

Kegiatan pengelompokan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pengelompokan jenis berdasarkan kelompok jenis pionir dan kelompok jenis klimaks FSG dengan asumsi bahwa pola dinamika struktur tegakan akan berbeda untuk setiap kelompok jenis.

Penelitian ini menekankan pada penggunaan FSG untuk menjelaskan sifat biodiversitas yaitu proses ekosistem. Pengelompokan FSG berdasarkan pada ciri-ciri autekologi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Struktur Tegakan

Struktur tegakan menggambarkan sebaran jenis pohon (N/ha) dengan diameter pohon dalam suatu kawasan hutan (Husch 1982). Sebaran kelas diameter yang mendekati kurva J-terbalik menunjukkan bahwa area tersebut mempunyai karakteristik hutan tidak seumur yang seimbang (Pamoengkas 2006).

Komposisi Jenis Permudaan

Ketersediaan permudaan alam yang cukup dapat menjamin adanya generasi baru untuk regenerasi hutan secara alami. Wyatt dan Smith (1963) menyatakan bahwa permudaan dianggap cukup memadai bila tersedia 1 000 batang/ha cadangan permudaan semai, 240 batang/ha cadangan permudaan tingkat pancang dan 75 batang/ha cadangan permudaan tingkat tiang.

Tabel 1 Pengelompokan Functional Species Group (FSG) berdasarkan pada ciri-ciri autekologi yang berbeda

Karakteristik Pionir Klimaks

Persamaan

Kecil, diproduksi dalam jumlah besar pertahun dewasa, tidak berumur panjang (<50 thn)

Toleran Hutan primer Rendah

Besar, diproduksi dalam jumlah kecil tidak pertahun Sempit

Pendek

Jarang, rekasiltran

Ternaungi di bawah kanopi

Tumbuh lambat selama produksi, akhir puncak dari

Current Annual

(17)

5

Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi (penguasaan) suatu jenis dalam komunitas tertentu dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dari suatu jenis tersebut (Curtis 1959 dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974), dengan INP tingkat pancang dan semai yaitu penjumlahan antara KR dan FR, sedangkan INP tingkat pohon dan tiang yaitu penjumlahan antara KR, FR dan DR. Rumus matematis perhitungan INP menurut Misra (1980) sebagai berikut:

Kerapatan (K) jumlah individu suatu jenis (N) luas petak contoh (ha)

Kerapatan elatif (K ) kerapatan seluruh jenis (N ha)kerapatan suatu jenis (N ha)

rekuensi ( ) jumlah plot ditemukan suatu jenis jumlah seluruh plot

rekuensi elatif ( ) frekuensi seluruh jenisfrekuensi suatu jenis

ominansi ( ) jumlah bidang dasar suatu jenis m luas petak contoh (ha)

ominansi elatif ( ) dominansi seluruh jenis (m ha)dominansi suatu jenis (m ha)

Indeks keanekaragsaman jenis (H’)

Indeks keanekaragaman jenis adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui stabilitas suatu komunitas atau kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil dari gangguan terhadap komponen-komponen penyusunnya (Soegianto dalam Indriyanto 2008). Analisis Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dihitung menggunakan rumus keanekaragaman jenis Shanon (Maguran 1988) sebagai berikut:

H ∑ (niN)ln(niN)

i

Keterangan:

H’ Indeks Keanekaragaman Jenis Shanon ni = nilai kerpatan jenis ke-i

N = total kerapatan

(18)

6

Indeks ketidaksamaan komunitas (ID)

Indeks ketidaksamaan komunitas adalah lawan dari index of similiarity (IS) yaitu indeks yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan antar komunitas tumbuhan dengan membandingkan komposisi atau struktur komunitasnya. Nilai ID berkisar antara 0-100%, jika nilai ID = 0% maka kedua komunitas yang dibandingkan akan benar-benar sama dan jika nilai ID = 100% maka berbeda, begitu pula dengan nilai IS (Ludwig & Reynold 1988). IS dan ID dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Goldsmith, Harrison dan Morton 1986):

IS 2 a b I IS Keterangan:

IS = indeks kesamaan komunitas

W = jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua jenis berpasangan yang ditemukan pada dua komunitas

a = total nilai penting dari komunitas A b = total nilai penting dari komunitas B ID = indeks ketidaksamaan komunitas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

PT Sarpatim memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHK-HA) untuk jangka waktu 45 tahun (periode 5 November 1992 sampai 5 November 2037) seluas 216 580 ha yang terdiri atas 157 380 ha kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dan 59 200 ha kawasan hutan produksi konservasi. IUPHHK-HA PT Sarpatim sesuai dengan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.266/MENHUT-II/2004 tanggal 21 Juli 2004.

Area IUPHHK-HA PT Sarpatim termasuk dalam kelompok hutan Sungai Kalek dan Sungai Nahiang. Letak geografis PT Sarpatim yaitu pada °55’ 2° 9’ BT dan ° 2’- °56’ LS, dengan wilayah administrasi pemerintahan terletak di Kabupaten Seruyan, Katingan dan Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Batas area kerja PT Sarpatim antara lain:

a. Sebelah utara : IUPHHK-HA PT Erna Djuliawati dan PT Meranti Mustika b. Sebelah timur : IUPHHK-HA PT Berkat Cahaya Timber, PT Kayu

Tribuwana Rama dan PT Inhutani III

c. Sebelah selatan : IUPHHK-HA PT Intrado Jaya Intiga dan IUPHHK-HTI Kusuma Perkasa Wana

d. Sebelah barat : Sungai seruyan, IUPHHK-HA PT Sentral Kalimantan Abadi dan PT Hutamindo Lestari jaya Utama.

(19)

7

Jenis tanah yang mendominasi area PT Sarpatim adalah Dystropepts seluas 61% dari luas total area dan tropodults seluas 39%. Tipe iklim berdasarkan Schmidt & Ferguson area PT Sarpatim termasuk tipe A dengan curah hujan 3 086 mm per tahun dan hari hujan selama 145 hari per tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober sampai Januari dan curah hujan terrendah terjadi pada bulan Juli sampai September. Kelembaban rata-rata berkisar antara 38.3-85.6%. Secara hidrologi PT Sarpatim memiliki tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Seruyan, DAS Mentaya dan DAS Mentubar.

Jumlah jenis tumbuhan yang ada di area IUPHHK-HA PT Sarpatim yaitu 386 jenis dari 50 suku atau famili yang terdiri dari 108 jenis Dipterocarpaceae, 39 jenis Euphorbiaceae dll. Jenis tumbuhan yang bernilai rentan (vulnerable) sebanyak 86 jenis, jenis kritis (critical endangered) sebanyak 36 jenis, 14 jenis Dipterocarpaceae yang termasuk dilindungi pemerintah dan 10 jenis endemik Indonesia dari 38 jenis yang ditemukan.

Komposisi Jenis Functional Species Group dan Struktur Tegakan Hutan

Umur, komposisi, struktur dan tempat tumbuh atau geografi dapat membedakan kondisi suatu tegakan hutan (Baker et al. 1987). Penelitian ini membedakan tegakan hutan berdasarkan struktur dan komposisi jenis suatu tegakan. Analisis mengenai kerapatan dan kontribusi jenis menggambarkan komposisi jenis suatu tegakan dan analisis sebaran kelas diameter menggambarkan struktur tegakan.

Komposisi jenis penyusun tegakan dikelompokkan berdasarkan pengelompokkan FSG dengan mengelompokkan jenis yang termasuk kelompok jenis pionir dan kelompok jenis klimaks. Pengelompokkan berdasarkan FSG

(20)

8

bertujuan untuk membantu dalam menjelaskan sifat-sifat biodiversitas seperti kualitas habitat dan proses ekosistem (Pohris 2009). Selain itu dengan mengetahui komposisi jenis dapat mengetahui keseimbangan komunitas suatu hutan (Muhdi 2009).

Pengelompokkan jenis berdasarkan FSG pada seluruh area pengamatan ditemukan 59 jenis pionir dan 100 jenis klimaks. Gambar 3 menunjukkan jumlah jenis pada seluruh tingkat pertumbuhan yang tergolong kelompok jenis pionir maupun kelompok jenis klimaks. Jumlah jenis tertinggi untuk kelompok jenis pionir pada tingkat pertumbuhan semai, tiang dan pohon didominasi pada area KPPN yaitu sebanyak 23, 20 dan 29 jenis , sedangkan jumlah jenis tertinggi untuk tingkat pancang yaitu pada LOA 7 sebanyak 29 jenis. Jumlah jenis tertinggi untuk kelompok jenis klimaks pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon berada pada KPPN yaitu sebanyak 35 dan 47 jenis, sedangkan jumlah jenis tertinggi untuk tingkat semai dan pancang yaitu pada LOA 7 sebanyak 56 dan 47 jenis. Jumlah jenis yang beragam ini diduga karena adanya perbedaan intensitas penebangan pada masing-masing lokasi dan proses suksesi dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda pada setiap area. Menurut Kartawinata (1975) kehadiran suatu jenis pada hutan bekas tebangan dipengaruhi oleh besarnya kerusakan akibat penebangan dan pembungaan sehingga regenerasi tidak dapat berlangsung dengan baik.

Tabel 2 menunjukkan kerapatan dan kontribusi jenis pada tingkat pohon. Kelompok jenis klimaks untuk seluruh petak pengamatan memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok jenis pionir. Sebagai contoh pada LOA 1 kelompok jenis klimaks memiliki kerapatan sebesar 105 (N/ha) dan kontribusi jenis sebesar 67.2% yang jumlahnya lebih besar dibandingkan kerapatan kelompok jenis pionir yaitu sebesar 51.25 (N/ha) dan kontribusi jenis sebesar 32.8%. Total kerapatan pada KPPN lebih besar dibandingkan seluruh LOA. Total kerapatan untuk kelompok jenis klimaks mengalami penurunan mengikuti tahun area tebangan terdekat kecuali pada LOA 5, sedangkan untuk kelompok pionir menunjukkan kerapatan yang bervariasi.

Kerapatan dan kontribusi jenis untuk tingkat tiang, kelompok jenis klimaks memiliki kerapatan terbesar dibandingkan kelompok jenis pionir yang ditunjukkan pada Tabel 3. LOA 1 menunjukkan kelompok jenis pionir memiliki kerapatan yang lebih banyak dibandingkan kelompok jenis klimkas yaitu 95 N/ha. Hal ini diduga karena pada lokasi tersebut baru saja di lakukan pemanenan sehingga kemunculan kelompok jenis klimaks lebih sedikit dibandingkan kelompok jenis pionir.

Tabel 2 Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada tingkat pohon

(21)

9

Kerapatan dan kontribusi jenis permudaan hutan yaitu pada tingkat semai dan pancang dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Kerapatan dan kontirbusi jenis untuk tingkat semai maupun pancang pada kelompok jenis klimaks secara umum memiliki jumlah tertinggi. Kecuali pada LOA 9 dan LOA 3 untuk tingkat pancang. Kerapatan dan kontribusi jenis permudaan juga digunakan untuk mengetahui jumlah ketersediaan semai, pancang dan tiang untuk menjamin adanya regenerasi baru pada suatu komunitas.

Tingkat semai, pancang dan tiang memiliki ketersediaan di alam yang cukup. Tingkat semai memiiki jumlah kerapatan jenis total yang berkisar 27 750 – 40 625 N/ha. Hal ini sesuai dengan Wyatt dan Smith (1963) menyatakan bahwa permudaan dianggap cukup memadai bila tersedia 1 000 N/ha cadangan permudaan semai. Tabel 5 menunjukkan cadangan permudaan tingkat pancang yang melebihi 240 N/ha. Selain itu cadangan permudaan tiangkat tiang juga melebihi 75 N/ha yang dapat dilihat pada Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum area hutan bekas tebangan yang dikelola dengan sistem Silvikultur TPTJ memiliki kesempatan dalam penambahan pohon inti. Pamoengkas (2006) menyatakan pertumbuhan tiang dapat menambah jumlah pohon inti dalam jumlah yang banyak.

Tabel 4 Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada tingkat pancang

Tegakan Kerapatan (N/ha) Total Kontribusi jenis (%) Pionir Klimaks Pionir Klimaks

KPPN 1360 1460 2820 48.23 51.77

LOA 9 2940 2880 5820 50.52 49.48

LOA 7 2380 3160 5540 42.96 57.04

LOA 5 2060 2360 4420 46.61 53.39

LOA 3 2720 2200 4920 55.28 44.72

LOA 1 1500 1520 3020 49.67 50.33

Tabel 5 Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada tingkat semai

Tegakan Kerapatan (N/ha) Total Kontribusi jenis (%) Pionir Klimaks Pionir Klimaks

KPPN 17750 22875 40625 43.69 56.31

LOA 9 12375 22250 34625 35.74 64.26 LOA 7 11875 17625 29500 40.25 59.75

LOA 5 4625 23125 27750 16.67 83.33

LOA 3 15750 20875 36625 43.00 57.00 LOA 1 13750 17625 31375 43.82 56.18 Tabel 3 Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada tingkat

tiang

Tegakan Kerapatan (N/ha) Total Kontribusi jenis (%) Pionir Klimaks Pionir Klimaks

KPPN 225 325 550 40.91 59.09

LOA 9 200 200 400 50.00 50.00

LOA 7 140 305 445 31.46 68.54

LOA 5 60 165 225 26.67 73.33

LOA 3 130 275 405 32.10 67.90

(22)

10

Struktur Tegakan

(23)

11

Gambar 4 menunjukkan bahwa kelompok jenis klimaks mendominasi dibandingkan kelompok jenis pionir kecuali pada LOA 9 dan LOA 1. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kegiatan pemeliharaan yaitu pelebaran jalur untuk mendukung pertumbuhan tanaman jalur pada LOA 9 dan umur penebangan yang baru 1 tahun pada LOA 1, sehingga mengakibatkan keterbukaan tajuk yang memicu tumbuhnya kelompok jenis pionir.

Distribusi struktur tegakan untuk kelompok jenis pionir dan kelompok jenis klimaks cenderung membentuk kurva J terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa area hutan bekas tebangan yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTJ memiliki kondisi hutan tidak seumur yang masih seimbang. Hutan alam memiliki kerapatan pohon yang tinggi pada kelas diameter kecil dan menurun pada kelas diameter yang lebih besar (Richard 1964). Wahjono (2007) menyatakan bahwa struktur tegakan hutan normal yang membentuk J terbalik menunjukkan kondisi tegakan setelah penebangan masih cukup baik sebagai penyusun tegakan pada rotasi berikutnya.

Indeks Keanekaragaman Jenis

Tabel 6 menunjukkan nilai indeks keanekaragaman jenis untuk strata pohon dan permudaan pada semua petak pengamatan. Strata pohon ataupun permudaan pada semua petak pengamatan memiliki keanekaragaman jenis yang tergolong tinggi karena indeks keanekaragaman pada masing-masing lokasi memiliki nilai >3.

Sesuai dengan penelitian serupa di lokasi yang sama oleh Utami (2007) yang menyatakan bahwa keragaman di lokasi penelitian cukup tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa komposisi jenis pada semua strata sangat melimpah, beranekaragam atau heterogen dan memiliki stabilitas komunitas yang tinggi. Stabilitas komunitas yaitu kemampuan suatu komunitas menjaga kestabilannya walaupun adanya gangguan terhadap komponen-komponen penyusunnya yang dapat dilihat dari keanekaragaman jenis pada suatu komunitas (Soegianto dalam Indriyanto 2008).

Indeks Nilai Penting

Analisis indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui jenis-jenis yang mendominasi pada petak pengamatan. Smith (1977) dalam Mawazin (2013) menyatakan bahwa jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungannya secara efisien dari jenis lain dalam tempat yang sama. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi di dalam suatu vegetasi hutan (Kusmana 1997). Suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP untuk tingkat semai dan pancang ≥ dan untuk tingkat tiang dan pohon memiliki nilai INP ≥ 5 (Sutisna dalam Mawazin 2 3).

Tabel 6 Indeks keanekaragaman jenis pada petak pengamatan Strata Indeks keanekaragaman (H’)

KPPN LOA 9 LOA 7 LOA 5 LOA 3 LOA 1

Semai 3.5 3.2 3.7 3.1 3.2 3.4

Pancang 3.8 3.3 4.1 3.5 3.7 3.6

Tiang 3.8 3.2 3.5 3.0 3.5 3.0

(24)

12

Tabel 7 menunjukkan bahwa untuk tingkat pohon didominansi oleh jenis klimaks Dipterocarpaceae pada seluruh petak pengamatan. Jenis yang mendominasi dengan merata yaitu Shorea parvifolia pada KPPN (18.4%), LOA 5 (34.3%), LOA 3 (40.4%) dan LOA 1 (43.1%), serta menjadi jenis kodominan pada LOA 7 (18.2%). Selain itu Shorea laevis merupakan jenis dominan pada LOA 9 (36.0%) dan Castanopsis costata menjadi jenis yang mendominasi di LOA 7 (22.3%). Jenis meranti merah dan beberapa jenis dari famili Dipterocarpaceae merupakan jenis utama yang digunakan sebagai bahan baku kayu lapis.

Tabel 7 Indeks nilai penting di atas 15% pada tingkat pohon pada petak pengamatan

Nama Jenis Grup Indeks Nilai Penting

KPPN LOA 9 LOA 7 LOA 5 LOA 3 LOA 1

Tabel 8 Indeks nilai penting di atas 15% pada permudaan pohon (tiang) pada petak pengamatan

Nama Jenis Grup Indeks Nilai Penting

(25)

13

Tabel 8 menunjukkan jenis yang mendominasi pada tingkat tiang. Kelompok jenis klimaks yang mendominasi tingkat pertumbuhan tiang yaitu jenis Paranephelium xestophyllum pada KPPN (16.3%), Syzigium borneense pada LOA 5 dan LOA 3 (48.6% dan 27.9%), sedangkan kelompok jenis pionir yang mendominasi tingkat pertumbuhan tiang yaitu jenis Macaranga hyploeuca pada LOA 9 (40.2%), Macaranga gigantea pada LOA 7 (22.2%) dan Aporosa sphaeridophora (28.3%).

Dominansi jenis untuk permudaan tingkat semai dan pancang dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Kelompok jenis klimaks yang mendominasi untuk permudaan tingkat semai yaitu jenis Shorea acuminatissima yang mendominasi pada KPPN (20.1%), Vatica nitens pada LOA 5 (23.2%), Syzigium borneense pada LOA 3 (26.2%) dan Shorea parvifolia pada LOA 1 (20.4%). Kelompok jenis pionir yang mendominasi untuk permudaan tingkat semai yaitu jenis Chisocheton sp pada LOA 9 (20.1%) dan Trigonostemon sp pada LOA 7 (14.8%).

Tabel 10 Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon (pancang) pada petak pengamatan

Nama Jenis Grup Indeks Nilai Penting

KPPN LOA 9 LOA 7 LOA 5 LOA 3 LOA 1

Tabel 9 Indeks nilai penting di atas 10% pada permudaan pohon (semai) pada petak pengamatan

Nama Jenis Grup Indeks Nilai Penting

(26)

14

Tingkat pancang didominasi kelompok jenis pionir Symplocos chocinchinensis pada LOA 9 (25.6%), Hydonocarpus kunstleri pada LOA 7 (11.7%), Macaranga hypoleuca pada LOA 5 (15.8%), Paracroton pendulus pada LOA 3 (10.1%) dan Shorea parvifolia dari kelompok jenis klimaks pada LOA 1 (14.5%). Jenis dominansi di KPPN tidak ditemukan untuk tingkat pancang. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya jumlah jenis yang ditemukan pada area tersebut (55 jenis).

Indeks Ketidasamaan Komunitas

Penilaian tingkat ketidaksamaan jenis komunitas dilakukan pada tingkat pohon dan permudaannya dengan membandingkan masing-masing petak pengamatan. Nilai indeks ketidaksamaan komunitas pada tingkat pohon dan permudaannya dapat dilihat pada Tabel 11.

Komunitas pohon dan permudaan antar petak yang dibandingkan cenderung memiliki komunitas pohon yang berbeda yang terlihat dari nilai ID yang lebih besar dari 50%. Sesuai dengan penelitian Andini (2013) mengenai penentuan sistem silvikultur berbasis pemulihan vegetasi dalam teknik silvikultur intensif studi kasus di area PT Sarpatim bahwa pada komunitas pohon hubungan kesamaan komunitas antarpetak pengamatan relatif berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerianagara dan Indrawan (1998) bahwa hutan hujan tropika memiliki keragaman yang sangat tinggi pada tingkat spesies yang menyebabkan penyusun komunitas juga beragam dan kompleks.

Komunitas pohon pada LOA 5 yang dibandingkan dengan LOA 9 dan LOA 3 yang dibandingkan dengan LOA 7 memiliki komunitas pohon yang tidak jauh berbeda atau relatif sama dengan nilai ID kurang dari 50%, hal ini dikarenakan Tabel 11 Indeks ketidaksamaan pada petak pengamatan untuk seluruh petak

pengamatan dan tingkat pertumbuhan

ID Lokasi LOA 9 LOA 7 LOA 5 LOA 3 LOA 1

Semai KPPN 74.3 70.8 64.9 61.8 65.2

LOA 9 61.3 66.4 68.1 76.0

LOA 7 69.5 64.3 77.3

LOA 5 60.9 73.5

LOA 3 63.8

Pancang KPPN 74.0 63.1 69.9 63.7 58.6

LOA 9 62.5 51.3 53.7 63.3

LOA 7 66.3 58.5 57.3

LOA 5 57.9 61.0

LOA 3 60.9

Tiang KPPN 69.8 62.7 69.5 66.4 63.2

LOA 9 67.1 68.2 68.2 70.1

LOA 7 75.4 69.3 76.9

LOA 5 54.8 68.2

LOA 3 57.4

Pohon KPPN 58.7 54.4 55.4 60.9 65.2

LOA 9 56.1 49.4 55.2 69.2

LOA 7 50.9 56.2 72.6

LOA 5 39.7 56.7

(27)

15

letak petak pengamatan yang berdekatan yaitu petak 73 AH pada LOA 5 dan petak 76 AF dan 76 AG pada LOA 9. Sedangkan LOA 3 dan LOA 7 petak yang berdekatan yaitu 73 AH dan 72 AH. Kondisi tersebut memungkinkan adanya kesamaan iklim mikro yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman dengan jenis yang sama diantara kedua petak pengamatan dan adanya kemungkinan penyebaran benih yang dapat menjangkau kedua petak pengamatan yang berdekatan tersebut. Whitten (1987) dalam Mansyur (2003) menyatakan bahwa beberapa faktor seperti kimia tanah, air tanah, iklim jarak antara permukaan laut (mdpl) dan jarak dari daerah yang memiliki kondisi serupa dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi tertentu pada lokasi tertentu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kelompok jenis klimaks pada seluruh petak pengamatan secara umum memiliki proporsi lebih besar dibandingkan kelompok jenis pionir sejumlah 100 jenis klimaks dan 59 jenis pionir. Pemulihan komposisi vegetasi dilihat dari sebaran kelas diameter pada seluruh petak pengamatan menunjukkan bahwa pada area bekas tebangan yang dikelola menggunakan sistem Silvikultur TPTJ memiliki karakteristik hutan tidak seumur yang seimbang.

Saran

Perlu adanya pengayaan data base mengenai jenis tumbuhan yang terdapat di area konsesi perusahaan untuk mendukung kegiatan penelitian maupun kegiatan operasional perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Baker FS, Daniel T dan Helms JA. 1987. Principle of Silviculture (Prinsip-prinsip Silvikultur). Terjemahan oleh D Marsono. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Gitay H, Noble IR. 1997. What are functional types and how should we seek them? Plant Functional Types: Their Relevance do Ecosystem Properties and Global Change. Cambridge (US): Cambridge University Press.

Goldsmith FB, Harrison CM dan Morton AJ. 1986. Description anf Analysis of Vegetation. Di dalam Moore PD, Chapman SB (Eds). Methods in Plant Ecology Second Edition. London (UK): Blackwell scientific publication. 437-524.

Husch B. 1963. Forest mensuration and statistics. New York (US): The Ronald Press Co.

Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

(28)

16

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology, a Primer on Methods and Computing. New York (US): John Willey and Sons.

Magurran AE. 1988. Measuring Biological Diversity. United Kingdom (GB): TJ International, Padstow, Corbwall.

Mansyur M. 2003. Analisis vegetasi hutan di Desa Sawa dan Desa Kadawaa Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Teknik Lingkungan. 4(1):1-7.

Misra KC. 1980. Manual of Plant Ecology (second edition). New Delhi (IN): Oxford and IBH Publishing Co.

Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. Canada (US): J Wiley.

Muhdi. 2009. Struktur dan komposisi jenis permudaan hutan alam tropis akibat pemanenan kayu dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia. Jurnal Bionatural 11:68-79.

Pamoengkas P. 2006. Kajian aspek vegetasi dan kuntitas tanah sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (studi kasus di area HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pohris H. 2009.Functional Species Composition and Biodiversity Conservation In Managed Forest. Paper presentation at GAForN International Symposium in Dehradun, India. Institute of International Forestry and Forest Product, Dresden University.

[SARPATIM] Sarmiento Parakantja Timber. 2010. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (RKUPHHK-HA) Tahun 2011-2020. Kotawaringin Timur (ID): PT Sarpatim.

Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Suparna N, Purnomo S. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Meranti di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalteng. Jakarta (ID): PT. Alas Kusuma.

Utami SD. 2007. Analisis komposisi jenis dan struktur tegakan di hutan bekas tebangan dan hutan primer di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(29)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

(30)

Lampiran 2 Daftar jenis tumbuhan

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Grup

1 Setumpol Hydnocarpus kunstleri (King) Warb. Achariaceae Klimaks

2 Ryparosa hullettii King Achariaceae Pionir

3 Terentang Camnosperma sp Anacardiaceae Pionir

4 Sengkuang Dracontomelon dao Anacardiaceae Klimaks

5 Rengas Gluta wallichii (Hook.f.) Ding Hou Anacardiaceae Klimaks

6 Pei Anisophyllea beccariana Baill. Anisophylleaceae Pionir

7 Mertama Anisophyllea disticha (Jack) Baill. Anisophylleaceae Pionir

8 Banitan, karai Monocarpia eneura Miq. Annonaceae Klimaks

9 Karai, semukau Polyalthia rumphii Merrill Annonaceae Pionir

10 Polyalthia sp Annonaceae Pionir

11 Banitan Polyalthia xanthopetala Merr. Annonaceae Pionir

12 Jangkang Xylopia caudata Hook.f. & Thomson Annonaceae Klimaks

13 Pulai Alstonia scholaris Apocinaceae Pionir

14 Selumbar Ilex accuminata Aquifoliaceac Klimaks

15 Kedondong, Bangkulat Canarium denticulatum Blume Burseraceae Klimaks

16 Kedondong, Dayau Dacryodes rugosa (Blume) H.J. Lam Burseraceae Pionir

17 Kedondong, Ampiras, Langguk Santiria griffithii Engl. Burseraceae Klimaks

18 Kedondong hutan Santiria sp. Burseraceae Klimaks

19 Perupok Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae Klimaks

20 Bintangor, Pandis Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Clusiaceae Klimaks

21 Bintangor Calophyllum soulattri Burm.f. Clusiaceae Klimaks

22 Garcinia dioica Clusiaceae Klimaks

23 Kandis, Entelang, Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Clusiaceae Klimaks

24 Garcinia sp Clusiaceae Klimaks

25 Kayu putih doroh Mammea acuminate Clusiaceae Klimaks

26 Penaga, Mergasing Mesua ferruginea (Pierre) Kosterm. Clusiaceae Klimaks

27 Engkolot, Rambai-rambai Crypteronia cumingii Endl. Crypteroniaceae Pionir

28 Octomeles sumatrana Detiferaceae Pionir

(31)

3

29 Simpoh, Simpur bukit Dillenia excelsa Martelli Dilleniaceae Pionir

30 Simpoh, Tempuran Dillenia reticulata King Dilleniaceae Pionir

31 Anisoptera sp Korth. Dipterocarpaceae Klimaks

32 Keruing Dipterocarpus caudiferus Merr. Dipterocarpaceae Klimaks

33 Dryobalanops sp Dipterocarpaceae Klimaks

34 Bangkirai, Selangan Hopea dryobalanoides (Miq.) Pierre Dipterocarpaceae Klimaks

35 Parishia maingayi Dipterocarpaceae Klimaks

36 Meranti kuning Shorea acuminatissima Symington Dipterocarpaceae Klimaks

37 Shorea angustifolia P.S.Ashton Dipterocarpaceae Klimaks

38 Seraya mempelas, Engkabang Shorea atrinervosa Sym. Dipterocarpaceae Klimaks

39 Shorea bracteolata Dyer Dipterocarpaceae Klimaks

40 Tengerangan sibu Shorea compressa Dipterocarpaceae Klimaks

41 Meranti paya, Engkabang Shorea fallax Meijer Dipterocarpaceae Klimaks

42 Emang Shorea hopeifolia (Heim) Symington Dipterocarpaceae Klimaks

43 Shorea johorensis Foxw. Dipterocarpaceae Klimaks

44 Benuas Shorea laevis Ridl. Dipterocarpaceae Klimaks

45 Meranti merah Shorea leprosula Miq. Dipterocarpaceae Klimaks

46 Tengkawang Shorea macrophylla (de Vriese) P.S.Ashton Dipterocarpaceae Klimaks

47 Shorea macroptera Dyer ssp. Dipterocarpaceae Klimaks

48 Shorea ovalis (Korth.) Dipterocarpaceae Klimaks

49 Meranti merah Shorea parvifolia Dyer Dipterocarpaceae Klimaks

50 Meranti ketuko Shorea pauciflora King Dipterocarpaceae Klimaks

51 Shorea plateolata Dipterocarpaceae Klimaks

52 Meranti merumbung Shorea smithiana Symington Dipterocarpaceae Klimaks

53 Tengkawang tungkul Shorea stenoptera Burck Dipterocarpaceae Klimaks

54 Resak Vatica nitens King Dipterocarpaceae Klimaks

55 Kayu Malam Diospyros rostrata (Merrill) Bakh. Ebenaceae Klimaks

56 Kayu Malam Diospyros sp. Ebenaceae Klimaks

57 Elaeocarpus sp Elaeocarpaceae Klimaks

58 Baccauera sp Euphorbiaceae Klimaks

(32)

60 Baccaurea odoratissima Elmer Euphorbiaceae Klimaks

61 Bantas, Mingaram Cephalomappa malloticarpa J.J. Smith. Euphorbiaceae Pionir

62 Cococeras sumatrana Euphorbiaceae Klimaks

63 Kelampai Elateriospermum tapos Blume Euphorbiaceae Klimaks

64 Mahang, Marakubong Macaranga gigantea (Rchb.f. & Zoll.) Müll.Arg. Euphorbiaceae Pionir

65 Mahang, Bettotan Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Müll.Arg. Euphorbiaceae Pionir

66 Mahang Macaranga triloba Euphorbiaceae Pionir

67 Balik angin, Entupak Mallotus macrostachyus (Miq.) Müll.Arg. Euphorbiaceae Pionir

68 Balik angina Mallotus moritzianus Muell. Arg. Euphorbiaceae Pionir

69 Balik angina Mallotus penangensis Muell. Arg. Euphorbiaceae Pionir

70 Bantas, Rambai Neoscortechinia forbesii (Hook.f.) C.T. White Euphorbiaceae Klimaks

71 Rambai Hutan Paracroton pendulus (Hassk.) Miq. Euphorbiaceae Pionir

72 Pimelodendron sp Euphorbiaceae Klimaks

73 Trigonostemon sp Euphorbiaceae Pionir

74 Kelensa butoh kra Archidendron cockburnii I.C.Nielsen Fabaceae Klimaks

75 Keranji bernang Dialium indum Linn. Fabaceae Klimaks

76 Biansu, Makupit, Torin-torin Fordia splendidissima (Miq.) Buijsen Fabaceae Pionir

77 Kempas, Menggeris Koompassia malaccensis Benth. Fabaceae Klimaks

78 Parkia speciosa Fabaceae Pionir

79 Sindur Sindora beccariana Fabaceae Klimaks

80 Sindur Sindora wallichii Benth. Fabaceae Klimaks

81 Berangan bukit Castanopsis costata (Blume) A.DC. Fagaceae Klimaks

82 Mempening Lithocarpus lucida Rehder Fagaceae Klimaks

83 Geronggang Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Hypericaceae Klimaks

84 Kulimpapa, Mengkulat Teijsmanniodendron simplicifolium Merr. Lamiaceae Klimaks

85 Laban Vitex vestita Wall. ex Schauer Lamiaceae Pionir

86 Madang, marsihung Alseodaphne oblanceolata (Merrill) Kosterm. Lauraceae Klimaks

87 Sintog Cinnamomum sintoc Lauraceae Klimaks

88 Medang Cryptocarya densifolra Blume Lauraceae Klimaks

89 Pengoan, Medang tanduk Dehaasia caesia Blume Lauraceae Pionir

(33)

5

91 Ulin Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn. Lauraceae Klimaks

92 Medang Litsea lanceolata (Blume) Kosterm. Lauraceae Klimaks

93 Medang balong Litsea machilifolia Gamble Lauraceae Klimaks

94 Medang Litsea ochracea Boerl. Lauraceae Klimaks

95 Medang Litsea sp Lauraceae Klimaks

96 Barringtonia lanceolata (Ridley) Payens Lecythidaceae Pionir

97 Durian manuk Durio acutifolius (Mast.) Kosterm. Malvaceae Klimaks

98 Durian paya Durio carinatus Mast. Malvaceae Klimaks

99 Durian Durio zibethinus L. Malvaceae Klimaks

100 Melunak Pentace borneensis Pierre Malvaceae Klimaks

101 Melunak Pentace curtisii Malvaceae Klimaks

102 Pterospermum javanicum Malvaceae Pionir

103 Kembang semangkok Scaphium macropodum (Miq.) Beumée ex K.Heyne Malvaceae Klimaks

104 Sterculia sp. Malvaceae Pionir

105 Memecylon floribundum Benth. Melastomataceae Pionir

106 Memecylon edule Roxb. Melastomataceae Pionir

107 Memecylon sp. Melastomataceae Pionir

108 Pternandra caerulescens Jack Melastomataceae Pionir

109 Aglaia argentea Meliaceae Pionir

110 Aglaia silvestris Merrill Meliaceae Pionir

111 Chisocheton sp Meliaceae Pionir

112 Langsat Lansium domesticum Meliaceae Klimaks

113 Walsura dehiscens T.P. Clark. Meliaceae Klimaks

114 Artocarpus elasticus Moraceae Pionir

115 Artocarpus nitidus Trec. Moraceae Pionir

116 Ficus treubii King Moraceae Pionir

117 Gymnacranthera contracta Warb. Myristicaceae Klimaks

118 Jambu-jambuan Syzygium borneense (Miq.) Miq. Myrtaceae Klimaks

119 Jambu-jambuan Syzygium laxiflorum DC. Myrtaceae Klimaks

120 Jambu-jambuan Syzigium sp Myrtaceae Klimaks

(34)

122 Kulim/Kayu Bawang Scorodocarpus borneensis (Baill.) Becc. Olacaceae Klimaks

123 Bangil, Berenas Strombosia ceylanica Gardn. Olacaceae Klimaks

124 Papar buwu, Empenai Antidesma coriaceum Tul. Phyllanthaceae Pionir

125 Beleti limbo Antidesma neurocarpum Miq. Phyllanthaceae Pionir

126 Kosa umpo Antidesma tomentosum Blume Phyllanthaceae Pionir

127 Sebasah Aporosa sphaeridophora Merrill Phyllanthaceae Pionir

128 Janggau, Murok, Sebasah Aporosa subcaudata Merrill Phyllanthaceae Pionir

129 Asam gunung Cleistanthus sp. Phyllanthaceae Pionir

130 Kayu seribu, Mengilan Nageia wallichiana (C.Presl) Kuntze Podocarpaceae Klimaks

131 Menyerin, Tampasak Xanthophyllum amoenum Chod. Polygalaceae Klimaks

132 Menyerin, Tampasak Xanthophyllum incertum (Blume) R. van der Meijden Polygalaceae Klimaks

133 Drypetes sp Putranjivaceae Pionir

134 Maranthes corymbosa Blume Rosaceae Klimaks

135 Jabon Anthocephalus cadamba Rubiaceae Pionir

136 Kopi-kopian Pleiocarpidia polyneura (Miq.) Bremek Rubiaceae Pionir

137 Ubah Saprosma arboreum Blume Rubiaceae Pionir

138 Kopi-kopian Tarenna fragrans Koord. & Valet. Rubiaceae Pionir

139 Kopi-kopian Tricalysia sp. Rubiaceae Pionir

140 Guoia pleuropteris Sapindaceae Pionir

141 Rambutan hutan Nephelium costatum Hiern Sapindaceae Klimaks

142 Rambutan hutan Nephelium sp Sapindaceae Klimaks

143 Rambutan, Kalamangis Nephelium uncinatum Radlk. Sapindaceae Klimaks

144 Tambuakat Paranephelium xestophyllum Sapindaceae Klimaks

145 Pometia tomentosa Sapindaceae Klimaks

146 Nyatoh Madhuca erythrophylla H.J. Lam Sapotaceae Klimaks

147 Nyatoh, Katiau Madhuca korthalsii H.J. Lam Sapotaceae Klimaks

148 Nyatoh Madhuca sp Sapotaceae Klimaks

149 Nyatoh Palaquium dasyphyllum Pierre ex Dubard. Sapotaceae Klimaks

150 Nyatoh Palaquium sp. Sapotaceae Klimaks

151 Nyatoh Payena lucida A. DC. Sapotaceae Klimaks

(35)

7

153 Kayu salondung Symplocos cochinchinensis (Lour.) Moore Symplocaceae Pionir

154 Kayu jenerku Symplocos crassipes C.B. Clarke Symplocaceae Pionir

155 Symplocos fasciculate Symplocaceae Pionir

156 Ramin Gonystylus bancanus Thymelaeaceae Klimaks

157 Ramin, Binyak Gonystylus brunnescens Airy Shaw Thymelaeaceae Klimaks

158 Mangkudor Trigoniastrum hypoleucum Miq. Trigoniaceae Pionir

159 Tamehas Rinorea anguifera Kuntze Violaceae Pionir

Sumber : Hasil identifikasi jenis tumbuhan oleh peneliti

(36)
(37)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandungs pada tanggal 02 Januari 1992 dari Ayah Suryadi dan Ibu Siti Rokayah Spd. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 24 Kota Bandung dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB, diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi yaitu sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Lises Gentra Kaheman, anggota Paguyuban Mahasiswa Bandung (Pamaung) IPB, anggota PC-Sylva IPB dan menjabat sebagai ketua bidang kewirausahaan tahun 2012-2013. Penulis aktif sebagai anggota di himpunan mahasiswa di Departemen Silvikultur sebagai ketua Business Development tahun 2013-2014. Selain itu penulis aktif menjadi panitia di berbagai kegiatan yang berlangsung di Fakultas Kehutanan IPB.

Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Sawal-Pangandaran dan Praktik Pengelolaah Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang mandiri yang dilaksanakan Fakultas Kehutanan IPB di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung. Selain itu pada tahun 2014 penulis melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) dan penelitian untuk menyelesaikan skripsi dengan judul di area IUPHHK-HA PT Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah.

Gambar

Tabel 1  Pengelompokan Functional Species Group (FSG) berdasarkan pada ciri-
Gambar 2  Jumlah jenis (a) pionir dan (b) klimaks di seluruh petak pengamatan
Tabel 2  Kerapatan dan kontribusi jenis di seluruh petak pengamatan pada tingkat pohon
Gambar 3  Distribusi struktur tegakan pada petak pengamatan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan turbin angin sumbu horizontal, untuk mendapatkan putaran yang efektif turbin harusdiarahkan pada posisi berlawanan dengan arah angin, ketika kondisi

Berdasarkan pengertian–pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa biaya produksi merupakan biaya–biaya yang digunakan dalam proses produksi meliputi biaya bahan baku,

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu, faktor penurut karena Tukul Arwana dalam berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa yaitu bahasa Indonesia,

Nilai satu lembar uang lima ribu rupiah setara dengan 4 lembar uang seribu rupiah dan .... keping uang dua

Para calon ahli psikologi dapat membuat diagnosis sebagai latihan untuk tugas2. Diagnosa mengenai

Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan kurang efektif dan kurang tepat sasaran, yang disebabkan terbatasnya pegawai dan informasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi pemain PS Unnes menurut indeks massa tubuh (IMT), persen lemak tubuh, tingkat kecukupan zat gizi makro

[r]