• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Residu Biomulsa Arachis Pintoi Dan Legum Lainnya Pada Pola Tanam Rotasi Jagung-Tomat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Residu Biomulsa Arachis Pintoi Dan Legum Lainnya Pada Pola Tanam Rotasi Jagung-Tomat"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN RESIDU BIOMULSA

Arachis pintoi

DAN LEGUM LAINNYA PADA POLA TANAM ROTASI

JAGUNG-TOMAT

FATHURRAHMAN AZIZ MUNAWIR

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Residu Biomulsa Arachis pintoi dan Legum Lainnya pada Pola Tanam Rotasi Jagung-Tomat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Fathurrahman Aziz Munawir

(4)

ABSTRAK

FATHURRAHMAN AZIZ MUNAWIR. Pemanfaatan Residu Biomulsa Arachis pintoi dan Legum Lainnya pada Pola Tanam Rotasi Jagung-Tomat. Dibimbing oleh MA CHOZIN.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengaruh residu biomulsa Arachis pintoi dengan residu biomulsa lainnya pada budidaya tanaman tomat dengan pola tanam rotasi jagung-tomat. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor pada bulan November 2014 sampai April 2015. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor yaitu residu jenis biomulsa dengan 6 taraf perlakuan dan 3 ulangan pada tanaman tomat varietas Permata F1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu biomulsa meningkatkan status hara tanah, diameter batang, komponen hasil, produksi tomat, dan mempengaruhi pergeseran jenis gulma. Residu Arachis pintoi mampu menekan kemunculan gulma dari 3 jenis rumput dan 5 jenis daun lebar. Secara umum residu biomulsa Arachis pintoi dapat meningkatkan status hara tanah dan produksi yang cenderung lebih baik daripada residu biomulsa legum lainnya.

Kata kunci: Arachis pintoi, gulma, produksi, residu biomulsa

ABSTRACT

FATHURRAHMAN AZIZ MUNAWIR. The Usage of Arachis pintoi and Other Legume Biomulches Residue in Corn-Tomato Cropping System. Supervised by MA CHOZIN.

The purpose of this study was to compare the influence of Arachis pintoi

biomulch residue with residue of other biomulches on tomato cultivation in corn-tomato cropping system. This experiment was held at the Cikabayan Experimental Field, Dramaga Bogor in November 2014 until April 2015. This experiment was conducted in randomized complete block design (RCBD) with one factor, which is the residue of biomulches type with 6 rate of treatments and 3 replication in the Permata F1 tomato plant. The results showed that the residue of biomulches type can increase the soil nutrient status, size of the diameter of the tomatoes stem, yield components, tomato production, and shifting the types of weeds. The residue of Arachis pintoi biomulch can reduce the chance of germination and growth from 3 species of grasses and 5 species of broad leaf weeds. The residue Arachis pintoi

biomulch can increase soil nutrient status and production that were better than the residue of other legumes biomulch.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

PEMANFAATAN RESIDU BIOMULSA

Arachis pintoi

DAN LEGUM LAINNYA PADA POLA TANAM ROTASI

JAGUNG-TOMAT

FATHURRAHMAN AZIZ MUNAWIR

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah residu, dengan judul Pemanfaatan Residu Biomulsa Arachis pintoi dan Legum Lainnya Pada Pola Tanam Rotasi Jagung-Tomat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr selaku dosen pembimbing atas saran, waktu, dan kesempatan yang telah diberikan dalam membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Suwarto, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas saran dan bantuan dalam administrasi akademik serta Bapak Dr Ir Sudrajat, MS dan Ibu Juang Gema Kartika, SP MSi selaku dosen penguji atas berbagai kritik dan saran yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Oendari Azis Munawir dan ibunda Rasmiaty Oekaddy atas segala doa dan dukungannya baik secara moral dan materi. Teman-teman Edelweiss 47 atas bantuan, doa, dan dukungannya. Sahabat Perumdos Cempaka 12 atas kekeluargaan, kebersamaan, dan bantuan semangatnya. Selain itu penulis juga ucapkan terima kasih kepada kepala staf Kebun Percobaan Cikabayan IPB Bapak Milin atas kerjasamanya selama penelitian berlangsung.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Residu Tanaman 2

Pengaruh Residu Biomulsa Legum 3

Pertumbuhan dan Pergeseran Jenis Gulma 4

Karakteristik dan Syarat Tumbuh Tomat 5

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Bahan dan Alat 6

Prosedur Penelitian 6

Pelaksanaan Penelitian 7

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Umum 9

Peningkatan Satus Hara Tanah 10

Pergeseran Jenis Gulma 12

Pertumbuhan dan Produksi Tomat 15

SIMPULAN DAN SARAN 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 21

(10)

DAFTAR TABEL

1 Status hara tanah pada awal perlakuan dan akhir perlakuan residu jenis

biomulsa 11

2 NJD dari golongan gulma rumput, daun lebar, dan teki pada setiap

perlakuan saat sebelum perlakuan dan 60 HST 13

3 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan perbedaan jenis residu biomulsa terhadap pertumbuhan dan produksi tomat 15 4 Rata-rata pertumbuhan vegetatif dan generatif tomat pada berbagai

perlakuan residu jenis biomulsa 16

5 Rata-rata produksi tomat pada berbagai perlakuan residu jenis biomulsa 17

DAFTAR GAMBAR

1 Serangan penyakit yang terjadi pada lahan percobaan; (a) layu bakteri,

(b) TYLCV, (c) puru akar, dan (d) bercak daun. 9

DAFTAR LAMPIRAN

1 Layout petak percobaan 21

2 Kriteria penilaian analisis tanah menurut Balittan (2005) 22 3 Data iklim bulan November 2014-April 2015, Dramaga, Bogor 23

4 Deskripsi varietas tomat Permata F1 23

5 Nilai Jumlah Dominasi (NJD) gulma pada tiap perlakuan saat sebelum

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penurunan kualitas sumberdaya lingkungan pada masa kini mengakibatkan terancamnya lahan pertanian di masa depan. Oleh karena itu pertanian pada masa kini mulai berfokus terhadap budidaya tanaman yang ramah lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pola tanam rotasi diiringi pemakaian input bahan organik. Disamping itu, kendala yang kerap dijumpai dalam pertanian organik adalah jumlah input bahan organik yang digunakan sangat besar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang efisiensi jenis bahan organik yang digunakan agar dapat diperoleh produksi yang berkelanjutan.

Pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfaatan residu tumbuhan pada lahan dengan sistem pola tanam rotasi. Sumarni (2009) menerangkan, salah satu penyebab berkurangnya bahan organik tanah adalah kebiasaan dari petani yang tidak menggunakan sisa (residu) tanaman atau bahan hijauan tanaman yang ada di lahan untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah. Oleh karena itu, pengembalian residu tanaman di lahan ke dalam tanah merupakan suatu cara yang bijaksana karena dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah tersebut.

Pemanfaatan residu tanaman yang tumbuh maupun vegetasi yang ada pada lahan pertanaman terbukti sangat baik untuk peningkatan status hara tanah. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan memanfaatkan berbagai bahan sisa dari tumbuhan yang mampu mengurangi kandungan Al dapat ditukar di dalam tanah (Wahjudin 2006) dan pemanfaatan dalam bentuk pupuk hijau kering dari tumbuhan legum Gliricidia sepium yang mampu meningkatkan hasil pipilan kering jagung (Wawan et al 2007).

Yakup (2002) menjelaskan bahwa biomulsa atau tanaman penutup tanah pada budidaya tanaman dapat digunakan sebagai pupuk hijau. Biomulsa yang digunakan pada budidaya umumnya berasal dari tanaman legum (kacang-kacangan). Contoh biomulsa legum umum yang dapat dimanfaatkan residunya yaitu Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens, dan Arachis pintoi.

Chozin et al (2014) mengemukakan bahwa biomulsa Arachis pintoi

memiliki berbagai kelebihan, khususnya untuk penanaman tomat. Kartika et al

(2009) menjelaskan bahwa Arachis pintoi sangat potensial di negara tropis, dengan beberapa kelebihannya yaitu: sangat baik untuk konservasi tanah, mampu memperbaiki kualitas tanah, sebagai sumber bahan yang baik untuk kompos, membantu pertumbuhan tanaman, dan dapat mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Hal tersebut menunjukkan bahwa Arachis pintoi dapat memiliki potensi lebih, yaitu apabila dimanfaatkan residunya sebagai sumber bahan organik tanah. Proses pembenaman ke dalam tanah diperlukan agar residu biomulsa dapat terdekomposisi, sehingga unsur hara yang terkandung dapat diserap oleh tanaman dan menambahkan bahan-bahan organik ke dalam tanah (Rahim 2006). Residu tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mempengaruhi produksi monokultur tomat.

(12)

Pola tanam jagung yang diberi biomulsa sesuai untuk digilirkan ke tanaman sayuran buah seperti tomat, karena tanaman dapat terhindar dari hama dan penyakit (McGrath 2009). Efek lain yang perlu diperhatikan yaitu pertumbuhan gulma berupa pergeseran jenis setelah pengolahan lahan. Setelah pengolahan tanah, pergeseran jenis tersebut juga diperkirakan akan menumbuhkan jenis-jenis gulma baru yang akan tumbuh di saat monokultur tomat.

Mahfudz (2005) mengatakan bahwa dinamika infestasi gulma pada suatu lahan sangat ditentukan oleh biji gulma yang merupakan alat perkembangbiakannya. Biji dari jenis gulma yang terdapat di dalam tanah serta dormansi biji gulma selama penanaman jagung dapat mempengaruhi pergeseran jenis gulma, yang juga akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tomat.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari pengaruh residu dari berbagai jenis biomulsa terhadap pola tanam rotasi jagung-tomat.

Tujuan khusus penelitian ini antara lain:

1. Menguji pengaruh residu biomulsa Arachis pintoi dan legum lainnya terhadap status hara tanah pada pola tanam jagung-tomat.

2. Menguji pengaruh residu biomulsa Arachis pintoi dan legum lainnya terhadap pertumbuhan dan pergeseran jenis gulma pada pola tanam jagung-tomat. 3. Menguji pengaruh residu biomulsa Arachis pintoi dan legum lainnya terhadap

pertumbuhan dan produksi tomat pada pola tanam jagung-tomat.

Hipotesis

Penelitian ini disusun dengan hipotesis bahwa:

1. Terdapat peningkatan status hara tanah khususnya unsur C, N, P, dan K akibat perlakuan residu dari jenis biomulsa.

2. Terjadi pergeseran jenis dan dominasi jenis gulma akibat pola tanam jagung-tomat dan perlakuan residu dari jenis biomulsa.

3. Terdapat peningkatan pertumbuhan dan produksi tomat akibat perlakuan residu dari jenis biomulsa.

TINJAUAN PUSTAKA

Residu Tanaman

Menurut Munawar (2011), residu tanaman adalah semua bahan organik yang tertinggal di lapangan setelah tanaman dipanen. Sebagai sumber bahan organik tanah, nilai residu tanaman antara lain ditentukan oleh kualitas residu tersebut. Bahan organik yang baru dikumpulkan umumnya masih segar dan mempunyai rasio C/N sedang (sekitar 30) untuk legum, dan sangat tinggi (>60) untuk kayu dan non legum.

(13)

Sebelum digunakan sebagai bahan pembenah tanah, residu tanaman perlu didekomposisikan agar rasio C/N mendekati 15. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu melalui pembenaman dari seluruh residu tanaman ke dalam tanah. Es (2009) menambahkan, residu yang ditinggalkan setelah pergiliran (rotasi) tanaman dapat membantu pembentukan bahan organik tanah. Ada dua proses yang berpengaruh pada hal tersebut: pertama, bahan organik yang hilang secara terus-menerus saat pengolahan tanah dapat dihentikan ketika masa bera. Kedua, rumput dan legum yang tumbuh di lahan bera terus memproduksi akar dan daun yang secara berkelanjutan akan tumbuh dan mati. Residu tersebut (akar dan daun yang mati) akan berperan sebagai sumber bahan organik yang selalu aktif, segar, dan berfungsi sebagai sumber makanan organisme dalam tanah yang terlibat dalam penyusunan agregat tanah.

Oleh karena itu, residu tanaman yang telah terdekomposisi dapat meningkatkan hasil produksi suatu tanaman, sebab dalam pertanian organik keanekaragaman biologi tanah dan bahan organik dalam tanah merupakan hal mendasar yang mempengaruhi produktivitas (Johnson dan Toensmeier 2009). Penelitian Wahjudin (2006) membuktikan bahwa residu tanaman dapat meningkatkan produksi biji kering kedelai dari 0.32 g per pot menjadi 23.21 g per pot.

Pengaruh Residu Biomulsa Legum

Biomulsa legum merupakan jenis pupuk hijau yang sangat baik, karena mampu menambat N2 dari udara menjadi NH4+ atau NO3- akibat hubungan simbiosis dengan bakteri dari marga (genus) Rhizobium yang hidup di sekitar perakaran dan membentuk bintil akar (nodul). Selain itu biomulsa legum dapat menambah kadar bahan organik tanah, dan memiliki rasio C/N rendah sehingga mudah terdekomposisi (Munawar 2011).

Setelah mengalami kematian, tanaman legum penutup tanah biasanya segera membusuk dan dapat memperkaya kandungan bahan organik tanah (Rahim 2006). Beberapa jenis legum yang telah digunakan sebagai sumber hara dan bahan organik tanah adalah Calapogonium mucunoides (Melati dan Andriyani 2005), Centrosema pubescens (Melati et al 2008), kacang tanah (Arachis hypogea), kacang jogo (Phaseolus vulgaris) (Sumarni 2009), dan Arachis pintoi (Oliveira et al 2003).

Residu dari legum lebih mudah terdekomposisi daripada non-legum karena kadar selulosanya lebih rendah serta memiliki kandungan N yang lebih banyak. Salah satu contohnya yaitu pada penelitian Oliviera et al (2003) di dataran rendah Brasil (732 m diatas permukaan laut) tentang perbandingan antara hasil dekomposisi dari residu Arachis pintoi,Hyparrhenia rufa (rumput), dan campuran dari keduanya pada dua musim (kemarau dan hujan). Hasilnya menunjukkan bahwa residu Arachis pintoi memiliki kandungan N, P, dan lignin yang lebih besar serta kandungan selulosa dan rasio C/N yang lebih rendah dari perlakuan residu lainnya.

(14)

Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisikan 50% bagian dari residu Arachis pintoi yaitu 272.17 hari di musim kemarau dan 20.38 hari di musim hujan, sedangkan waktu yang dibutuhkan residu Arachis pintoi untuk melepaskan 50% bagian dari seluruh N dan P yang dikandungnya yaitu sekitar 122.8 sampai 139.6 hari pada musim kemarau dan 15.8 sampai 20.2 hari pada musim hujan (Oliviera et al 2003).

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa residu dari berbagai jenis legum dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Penelitian Melati dan Andriyani (2005) tentang pemanfaatan residu dari Calapogonium mucunoides

yang didekomposisikan selama 1.5 bulan di dalam tanah dengan pupuk kandang ayam 10 ton ha-1 dan disertai pemberian mulsa jerami mampu meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering bintil akar, dan bobot kering per tanaman pada kedelai yang dipanen.

Penelitian lainnya oleh Melati et al (2008) melaporkan bahwa kombinasi antara residu Centrosema pubescens yang didekomposisikan selama 2 bulan di dalam tanah, pupuk kandang ayam 10 ton ha-1, dan kompos sangat baik untuk meningkatkan jumlah dan bobot polong isi per tanaman kedelai panen muda daripada yang hanya diberi perlakuan pupuk tunggal. Soltys et al (2013) menjelaskan, tanaman legum penutup tanah juga dapat digunakan sebagai sumber zat allelokimia untuk menekan pertumbuhan gulma. Mulsa dari tanaman legum penutup tanah yang telah mati juga dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan gulma.

Pertumbuhan dan Pergeseran Jenis Gulma

Pertumbuhan gulma dapat menurunkan hasil produksi tanaman. Gulma yang tumbuh di pertanaman terdiri atas golongan rumput, golongan teki, dan golongan daun lebar. Perubahan jenis gulma di pertanaman relatif terjadi pada gulma golongan daun lebar, sedangkan golongan rumput relatif tetap. Hal ini diduga dipengaruhi oleh umur dormansi biji golongan rumput yang sangat pendek dibandingkan gulma daun lebar. Keragaman spesies lebih banyak dijumpai pada golongan daun lebar, kemudian diikuti golongan rumput dan golongan teki (Syarifi 2010).

Pola penyebaran gulma dipengaruhi oleh karakter morfologi dan botani gulma. Gulma yang perbanyakannya secara generatif (biji) cenderung menyebar secara acak, sedangkan gulma yang perbanyakannya secara vegetatif cenderung berkelompok (Widiyanto 2012). Cara budidaya yang digunakan seperti pola tanam rotasi juga akan mengubah jenis-jenis gulma yang menginfestasi di lahan pertanian (Radosevich et al 2007). Pengolahan lahan dan pembenaman seluruh vegetasi juga akan menstimulasi perkecambahan jenis vegetasi baru dan mengurangi kemungkinan dari jenis gulma sebelumnya untuk tumbuh kembali (Mohler 2009). Sistem pengolahan tanah berpengaruh terhadap keragaman gulma yang tumbuh. Keragaman jenis gulma lebih tinggi pada sistem tanpa olah tanah dibandingkan olah tanah sempurna, karena pada umumnya biji gulma lebih banyak tersimpan di atas permukaan tanah. Olah tanah sempurna cenderung didominasi jenis gulma tertentu. Hal ini berkaitan dengan kemampuan adaptasi gulma terhadap pengolahan tanah (Mahfudz 2005).

(15)

Allelopati juga berpengaruh terhadap dominasi pertumbuhan gulma tertentu. Soltys et al (2013) menjelaskan bahwa cara kerja dari allelopati terhadap tumbuhan mirip dengan herbisida sintetik. Keberagaman allelopati yang diproduksi oleh gulma jenis tertentu akan berpengaruh secara selektif terhadap tumbuhan akseptor yang peka akan pengaruh allelopati tersebut. Gulma yang memproduksi allelopati akan lebih mudah mendominasi lingkungan tersebut. Secara umum, tumbuhan monokotil lebih resisten terhadap allelopati dibandingkan dengan tumbuhan dikotil.

Karakteristik dan Syarat Tumbuh Tomat

Jones (2008) menjelaskan, tomat budidaya terbagi menjadi dua macam tipe pertumbuhan, yaitu indeterminate (merambat) dan determinate (merumpun). Rata-rata umur tomat sejak tanam hingga panen beragam tergantung pada varietas yaitu sekitar 50-65 hari, 85-95 hari, dan bahkan ada yang mencapai 100-145 hari. Tomat merupakan tanaman C3, karena hasil pertama dari fotosintesisnya berbentuk molekul dengan 3 atom C. Tomat membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi dengan suhu udara yang hangat (26.5 °C di siang hari dan 18.5-29.5 °C di malam hari). Ashari (2006) menambahkan, pigmen penyebab warna merah pada kulit buah hanya dapat berkembang pada temperatur antara 15-30 °C. Pada temperatur di atas 30 °C hanya pigmen kuning saja yang terbentuk. Sedangkan bila temperatur diatas 40 °C tidak terbentuk pigmen. Tanaman ini menghendaki derajat keasaman (pH) tanah dari 5 sampai 6.

Menurut penelitian Febrianto (2012) pertumbuhan tanaman tomat dengan perlakuan biomulsa Arachis pintoi mengalami kendala berupa serangan penyakit dan hama. Serangan penyakit hawar daun mulai terlihat pada umur tomat 3 MST di lapang. Serangan ini menyebabkan daun mengering dan kematian tanaman. Penyakit layu bakteri juga menyerang pada 2 MST. Hama yang menyerang umumnya adalah penggerek buah (Helicoverpa armigera) dan penggerek batang.

Pertumbuhan dan produksi tomat sangat ditentukan oleh unsur hara esensial yang terkandung pada tanah, dengan tingkat kebutuhannya yang berbeda terhadap tiap unsur. Unsur hara makro yang sangat tinggi tingkat kebutuhannya adalah K dan Ca; sedangkan N, P, Mg, dan S hanya dibutuhkan dalam tingkat sedang. Unsur hara mikro yang cukup tinggi tingkat kebutuhannya adalah Cl, Fe, Cu, dan Zn; sedangkan B, Cu, Mn, dan Mo tingkat kebutuhannya rendah (Jones 2008).

Produksi tanaman tomat juga dipengaruhi oleh iklim. Penelitian Maulida et al (2013) membuktikan bahwa musim tanam tomat berpengaruh terhadap variabel

fruit set, jumlah buah per tandan, jumlah tandan per tanaman, bobot buah per butir, jumlah buah layak konsumsi per tanaman, dan jumlah buah total per tanaman. Salah satu varietas yang digunakan sebagai pembanding terhadap galur-galur harapan tomat yang diuji pada percobaan tersebut adalah varietas Permata.

Varietas Permata pada musim kemarau cenderung menghasilkan jumlah buah yang lebih tinggi dibandingkan galur-galur harapan lainnya yaitu dengan rata-rata jumlah buah total per tanaman sebanyak 64.79 buah dengan produksi 438.65 kwintal ha-1, sedangkan pada musim hujan hanya mampu menghasilkan rata-rata jumlah buah total per tanaman sebanyak 4.54 buah dengan produksi 20.28 kwintal ha-1 (Maulida et al 2013).

(16)

METODE

Waktu dan Tempat

Percobaan dilaksanakan pada bulan November 2014 hingga April 2015 di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB Dramaga Bogor. Areal memiliki topografi datar dengan ketinggian 250 m di atas permukaan laut.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri dari benih tomat varietas Permata F1, lahan bekas penanaman jagung dengan perlakuan berbagai mulsa yang telah dibera selama 16 bulan yaitu vegetasi gulma, Arachis pintoi, Centrosema pubescens,

Calopogonium mucunoides, dan Mulsa Plastik Hitam Perak (MPHP). Pupuk yang

digunakan adalah pupuk kandang dengan dosis 20 ton ha-1, pupuk NPK mutiara, pupuk daun Gandasil-D, dan pupuk daun Gandasil-B. Bahan lainnya yaitu arang sekam, bambu, carbofuran, dan fungisida. Alat yang digunakan terdiri dari peralatan tanam, tray penyemaian, meteran, jangka sorong, alat tulis, timbangan digital, oven, kertas oven, gelas ukur, dan kuadran 50 cm x 50 cm.

Prosedur Penelitian

Percobaan ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan 3 ulangan, yaitu penanaman tomat pada lahan bekas penanaman jagung dengan perlakuan berbagai jenis biomulsa dan telah dibera selama 16 bulan yang terdiri dari: vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi (B0), vegetasi tanpa mulsa dengan penyiangan (B1), vegetasi yang diberi MPHP (B2), Arachis pintoi (B3), Centrosema pubescens (B4), dan Calapogonium

mucunoides (B5). Denah percobaan yang digunakan disesuaikan dengan

percobaan sebelumnya (penanaman jagung dengan biomulsa), yang disajikan dalam Lampiran 1. Model matematika yang digunakan mengacu pada model Gomez dan Gomez (1995), yaitu sebagai berikut :

Yij = μ + τi + βj + εij, dimana i = 0,1,2,3,4,5 ; j = 1,2,3 Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j μ = Nilai rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j

(17)

Pelaksanaan Penelitian

Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan bekas penanaman jagung dengan perlakuan berbagai biomulsa yang telah diberakan sekitar enam belas bulan. Pengolahan tanah dan pembenaman seluruh biomulsa dilakukan sebulan sebelum penanaman tomat. Petakan dibuat menggunakan cangkul dengan ukuran 5 m x 4 m, jarak antar petak 30 cm, jarak antar ulangan 50 cm, dan kedalaman 20 cm. Pemberian pupuk kandang dilakukan dengan memasukkan pupuk di tiap lubang tanam secara merata pada saat dua minggu sebelum penanaman tomat.

Benih tomat disemai terlebih dahulu di tray persemaian dengan media tanam berupa campuran tanah, pupuk kandang, dan arang sekam dengan perbandingan 1 : 1: 1. Setelah itu tray diletakkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung dan air hujan. Setiap hari penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari. Setelah lima minggu, bibit tomat ditanam ke lahan pada waktu sore hari. Jarak lubang tanam tomat yang digunakan adalah 50 cm x 60 cm. Lubang tanam kemudian diberi carbofuran tepat sebelum bibit ditanam.

Pemeliharaan tanaman tomat yang dilakukan meliputi penyulaman, pengajiran, penyiangan gulma, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. Penyulaman mulai dilakukan pada satu minggu setelah tanam (MST). Pengajiran dengan bambu dilakukan pada 2 MST. Penyiangan gulma secara manual dilakukan pada seminggu sebelum penanaman tomat, 4 MST, dan 8 MST disesuaikan dengan waktu analisis vegetasi gulma. Pengendalian hama dilakukan secara manual dengan pemindahan dan pemusnahan hama, sedangkan pengendalian penyakit bercak daun dilakukan dengan penyemprotan fungisida dithane.

Pemupukan dimulai setelah tomat ditanam di lapang. Berdasarkan rekomendasi dari penelitian Chozin et al (2014), tomat pada awal pertumbuhan diberikan Gandasil-D dengan konsentrasi 2 g/l dan dengan volume semprot sebesar 5 l untuk tiap ulangan. Selama fase vegetatif (2 MST - 7 MST) pemupukan tomat menggunakan NPK mutiara dengan konsentrasi 10 g/l dan dengan volume sebesar 10 l untuk tiap ulangan seminggu sekali. Setelah tomat masuk ke fase generatif (8 MST – 10 MST) diberi pupuk daun Gandasil-B dengan konsentrasi 2 g/l dan dengan volume semprot sebesar 5 l untuk tiap ulangan. Pemanenan tomat dilakukan saat tanaman telah berumur 70 - 90 hari setelah tanam. Pemanenan dilakukan secara bertahap dengan cara memetik buah pada tahap light red sampai buah habis. Hasil panen dikelompokkan berdasarkan tiap satuan percobaan.

Parameter yang diamati pada percobaan ini terdiri dari status hara tanah, pertumbuhan dan pergeseran jenis gulma, pertumbuhan tomat, serta hasil dan produksi tomat. Untuk pengamatan pada parameter pertumbuhan dan produksi tomat, masing-masing dilakukan pengambilan tanaman contoh yang dipilih secara acak sebanyak 10 tanaman setiap satuan percobaan.

A.Peningkatan status hara tanah

Untuk mengetahui status hara tanah, dilakukan analisis tanah pada seminggu sebelum pengolahan lahan (sebelum perlakuan) dan seminggu setelah panen (setelah perlakuan). Pengambilan contoh tanah dilakukan secara komposit dengan pengambilan tanah sedalam ± 20 cm.

(18)

Analisis meliputi pH, kandungan C-organik, N-total, nisbah C/N, P2O5 Bray, Morgan K2O, dan nilai tukar kation (Ca, Mg, K, dan Na) di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Cimanggu Bogor.

B.Pertumbuhan dan pergeseran jenis gulma

Pertumbuhan dan pergeseran jenis gulma saat sebelum dan setelah rotasi jagung-tomat ditentukan oleh dominasi gulma yang dihitung melalui analisis vegetasi gulma. Analisis vegetasi gulma terdiri dari pengamatan jenis gulma, jumlah gulma, bobot kering gulma, dan dominasi gulma. Dilaksanakan pada saat seminggu sebelum pengolahan lahan dan saat 30 dan 60 HST tomat di lapang dengan cara pengambilan dua titik acak per petak satuan percobaan menggunakan kuadran 50 cm x 50 cm.

Dominasi gulma dihitung menggunakan rumus berikut ini : = + +

Keterangan : NJD = nilai jumlah dominasi, KN = kerapatan nisbi, FN = frekuensi nisbi, dan BKN = bobot kering nisbi

C.Pertumbuhan tomat:

1) Diameter batang (mm). Pengukuran diameter batang dilakukan setiap minggu sejak 2-7 MST dengan cara diameter batang diukur 5 cm dari permukaan tanah menggunakan jangka sorong.

2) Tinggi tanaman (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu sejak 2-7 MST dengan cara tanaman diukur dari permukaan tanah hingga pucuk tertinggi tanaman menggunakan meteran.

3) Jumlah daun (helai). Perhitungan jumlah daun dilakukan setiap minggu sejak 2-7 MST dengan cara perhitungan seluruh daun majemuk.

4) Jumlah bunga per tanaman. Perhitungan jumlah bunga dilakukan setelah 75% dari jumlah populasi telah muncul bunga hingga 10 MST.

5) Jumlah bunga menjadi buah per tanaman. Perhitungan dilakukan setelah bunga menjadi buah hingga 10 MST.

D.Komponen hasil dan produksi tomat:

1) Bobot buah per tanaman (g). Pengukuran bobot buah per tanaman di setiap waktu panen dengan menggunakan timbangan digital.

2) Diameter buah per tanaman (cm). Pengukuran diameter buah dilakukan pada bagian tengah buah yang paling lebar dengan menggunakan jangka sorong.

3) Jumlah buah per tanaman. Perhitungan jumlah buah yang diperoleh dari panen pertama hingga panen terakhir dari tiap tanaman.

4) Produksi per tanaman (g). Pengukuran bobot produksi per tanaman dari seluruh waktu panen dengan menggunakan timbangan digital.

5) Produksi ubinan per satuan percobaan (g). Pengambilan contoh produksi dalam luas ubinan, yaitu dengan mengambil sampel panen di tiap satuan percobaan dengan luas ubinan 2.4 m x 2.5 m secara acak tetapi tidak melibatkan tanaman pinggir.

(19)

Analisis Data

Data yang diperoleh dari percobaan dianalisis menggunakan perangkat lunak SAS 9.1.3 Portable, melalui sidik ragam (uji F) agar dapat diketahui pengaruh perlakuan residu biomulsa setelah rotasi tanaman jagung ke tanaman tomat. Apabila menunjukkan pengaruh nyata, dilakukan uji lanjut Duncan’s

Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Menurut data iklim bulan November 2014 hingga April 2015 dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dramaga (Lampiran 3), lokasi percobaan memiliki rata-rata suhu udara sebesar 26 ºC, rata-rata kelembaban sebesar 84.71%, dan rata-rata curah hujan sebesar 323 mm bulan-1. Kondisi iklim tersebut kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tomat. Ashari (2006) dan Cahyono (2008) mengemukakan bahwa suhu optimal untuk tomat berkisar antara 20-25 ºC serta curah hujan optimal untuk tomat yaitu 100-200 mm bulan-1.

Hama dan penyakit pada tanaman tomat mulai muncul sejak 2 MST seiring dengan kondisi lahan yang panas di siang hari, lembab, dan disertai curah hujan yang tinggi. Serangan hama yang terlihat pada fase vegetatif yaitu patahnya pangkal batang tomat yang diduga disebabkan oleh hama ulat tanah (Agrotis ipsilon), daun yang dimakan oleh ulat grayak (Spodoptera litura) dan belalang (Oxya chinensis), sedangkan pada saat fase generatif yaitu ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera).

Penyakit yang menyerang pada fase vegetatif yaitu layu bakteri, bercak daun yang diduga oleh cendawan Alternaria solani, puru akar oleh nematoda genus Meloidogyne, dan serangan virus famili Geminiviridae dengan genus

Begomovirus yaitu TYLCV (Tomato Yellow Leaf Curl Virus) dengan gejala tanaman kerdil serta daun kuning mengkerut (Gambar 1).

Gambar 1 Serangan penyakit yang terjadi pada lahan percobaan; (a) layu bakteri, (b) TYLCV, (c) puru akar, dan (d) bercak daun.

(20)

Menurut Mukhopadhyay (2011), virus tersebut dapat berasal dari cabai, kacang-kacangan, dan gulma dengan genus Euphorbia yang tumbuh pada saat sebelum percobaan. Vektor virus tersebut biasanya adalah serangga kutu putih (Bermisia tabaci). Pengendalian untuk tanaman yang terkena TYLCV yaitu dengan pembuangan dan pemusnahan di tempat yang jauh dari lokasi percobaan. Gangguan hama dan penyakit tersebut serupa dengan percobaan penanaman tomat dengan biomulsa Arachis pintoi oleh Chozin et al (2014) dan Febrianto (2012).

Persentase kematian tanaman tomat akibat serangan hama dan penyakit tersebut berkisar hingga 28% dari keseluruhan populasi, sehingga penyulaman tanaman dilakukan hingga 2 MST. Gangguan dari gulma juga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tomat. Gulma yang mendominasi memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam perebutan air dan hara di dalam tanah yang ditujukan untuk tanaman tomat. Dampak yang disebabkan oleh gangguan hama, penyakit, dan gulma terhadap potensi hasil cukup besar karena menurunkan kualitas buah dan menghilangkan jumlah hasil produksi.

Peningkatan Satus Hara Tanah

Lahan yang digunakan merupakan lahan bekas percobaan budidaya jagung yang menggunakan perlakuan berbagai jenis biomulsa dan vegetasi lainnya. Analisis tanah yang dilakukan pada percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa biomulsa Arachis pintoi dapat meningkatkan status hara tanah yang lebih baik daripada biomulsa lainnya (Silmi dan Chozin 2014). Setelah lahan dibera 16 bulan, analisis tanah dilakukan kembali sebanyak dua tahap waktu yaitu saat sebelum dan setelah perlakuan residu jenis biomulsa. Kriteria penilaian analisis tanah dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kondisi tanah sebelum perlakuan residu biomulsa menunjukkan bahwa tanah bersifat masam dan memiliki kadar bahan organik serta kapasitas tukar kation (KTK) yang rendah. Penyebab rendahnya kandungan hara tersebut diduga karena pencucian hara oleh air hujan dan penyerapan hara oleh gulma-gulma dominan selama sebelum perlakuan. Hasil analisis pada akhir perlakuan menunjukkan bahwa status hara tanah dari setiap perlakuan cenderung mengalami peningkatan (Tabel 1). Bahkan setelah percobaan selesai cenderung masih terdapat sejumlah unsur-unsur hara tersedia bagi tanaman yang lebih tinggi daripada saat sebelum perlakuan. Kondisi tanah menjadi lebih subur setelah menerima residu dari biomulsa. Tanah dikatakan subur apabila nisbah C/N berkisar antara 1 sampai 11 (Sutanto 2002).

Nilai pH, C-organik, N-total, P2O4, kation Ca, kation Mg, dan kejenuhan basa yang tertinggi diantara perlakuan lainnya terdapat pada perlakuan B3. Status hara tanah pada perlakuan B3 di akhir perlakuan berturut-turut yaitu C-organik sebesar 1.67%, N-total sebesar 0.19%, K2O sebesar 65 ppm, kation Ca sebesar 6.46 cmol kg-1, kation Mg sebesar 1.24 cmol kg-1, kation K sebesar 0.13 cmol kg -1

, kation Na sebesar 0.26 cmol kg-1, KTK sebesar 12.3 cmol kg-1, dan kejenuhan basa sebesar 66%. Nilai rasio C/N, kation Na, dan KTK yang tertinggi terdapat pada perlakuan B4, sedangkan untuk nilai tertinggi dalam paremeter kandungan K2O dan kation K terdapat pada perlakuan B1 (Tabel 1).

(21)

Tabel 1 Status hara tanah pada awal perlakuan dan akhir perlakuan residu jenis biomulsa

No. Parameter

---Sebelum perlakuan--- ---Setelah perlakuan---

B0 B1 B2 B3 B4 B5 B0 B1 B2 B3 B4 B5

1. pH 5 5.2 5 4.8 5 4.8 5.1 4.9 4.9 5.1 4.9 4.9

2. C-organik (%) 1.97 1.46 1.5 1.37 1.57 1.54 1.33 1.45 1.42 1.67 1.54 1.48 3. N-total (%) 0.16 0.16 0.18 0.18 0.19 0.15 0.14 0.17 0.13 0.19 0.19 0.17

4. C/N 12 9 8 8 8 10 10 9 11 9 8 9

5. P2O5 Bray (ppm) 31.5 5.5 12 17.3 13.5 9.6 17.4 11.8 11.1 12.3 11.9 12.4

6. Morgan K2O (ppm) 102 38 42 52 38 67 85 148 61 65 33 31

7. Ca (cmol kg-1) 4.24 3.76 4.95 4.81 4.85 4.23 3.56 3.27 4.45 6.46 5.26 5.93 8. Mg (cmol kg-1) 0.03 0.79 0.67 0.86 0.7 0.64 0.86 0.84 0.66 1.24 0.81 0.61 9. K (cmol kg-1) 0.2 0.07 0.08 0.1 0.07 0.13 0.17 0.29 0.12 0.13 0.06 0.06 10. Na (cmol kg-1) 0.3 0.08 0.19 0.13 0.13 0.13 0.06 0.06 0.12 0.26 0.27 0.05 11. KTK (cmol kg-1) 11.74 11.41 12.16 11.44 13.25 11.89 11.65 10.67 11.62 12.3 14.24 11.62

12. KB* (%) 41 41 48 52 43 43 40 42 46 66 45 57

Keterangan: B0= residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi, B1= residu vegetasi tanpa mulsa dengan penyiangan, B2= residu dari vegetasi yang diberi MPHP, B3= residu biomulsa Arachis pintoi, B4= residu biomulsa Centrosema pubescens, dan B5= residu biomulsa Calapogonium mucunoides; * > 100 : terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar; Sumber : Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Cimanggu Bogor (2015).

(22)

Hasil secara keseluruhan menunjukkan tanah dengan residu Arachis pintoi

cenderung memiliki status hara tanah yang lebih baik dari perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena kelebihan biomulsa Arachis pintoi yang tergolong kedalam tumbuhan legum dan sifat residunya lebih lunak daripada perlakuan lainnya. Proses dekomposisinya dapat berjalan lebih cepat dan penurunan kandungan nitrat terjadi dalam periode yang relatif singkat daripada tumbuhan non-legum seperti golongan rumput (Sutanto 2002), serta lebih banyak menambah bahan organik ke dalam tanah, memperbaharui sifat fisik tanah, dan memperkaya nutrien dalam tanah (Johnson dan Toensmeier 2009).

Berdasarkan kriteria penilaian tanah menurut Balittan (2005), status hara pada tanah setelah perlakuan pembenaman residu biomulsa secara keseluruhan masih tergolong ke dalam kriteria nilai yang rendah. Hal ini diduga karena pH tanah yang tergolong agak masam tersebut menurunkan ketersediaan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg yang berpengaruh secara langsung melalui reaksi antar ion; sedangkan unsur hara mikro seperti Fe, Mn, Zn, B, dan Cu meningkat dan dapat meracuni tanaman. Penurunan pH tersebut diduga disebabkan oleh komposisi kimia dari bahan induk tanah pada lahan yang bersifat masam, curah hujan yang tinggi, dan proses dekomposisi dari residu biomulsa. Oleh karena itu, peningkatan pH seperti pemberian kapur pertanian saat pengolahan tanah perlu dilakukan (Munawar 2011).

Kecepatan proses dekomposisi juga dipengaruhi oleh faktor cuaca (suhu, kelembaban) serta jenis dan organ tumbuhan yang diaplikasikan (Wijaya 2008). Suhu, curah hujan, dan kelembaban yang tinggi di lokasi menyebabkan seluruh residu vegetasi dari tiap perlakuan mudah melapuk, sehingga waktu untuk proses dekomposisi menjadi semakin lebih cepat.

Pergeseran Jenis Gulma

Hasil analisis vegetasi gulma yang dilakukan pada saat sebelum perlakuan, 30 HST, dan 60 HST dapat dilihat dalam Lampiran 5. Vegetasi yang tumbuh tergolong ke dalam 8 famili dan 27 spesies. Secara umum, sebelum perlakuan (setelah diberakan selama 16 bulan) seluruh petak percobaan didominasi oleh gulma golongan rumput. Setelah perlakuan residu biomulsa dibenamkan, terjadi pergeseran jenis gulma namun tidak terdapat perbedaan jenis gulma yang tumbuh pada 30 dan 60 HST.

Jumlah kerapatan mutlak individu dari seluruh perlakuan menunjukkan bahwa kerapatan tertinggi pada gulma golongan rumput baik sebelum perlakuan maupun pada 60 HST dimiliki oleh gulma Imperata cylindrica, sedangkan pada gulma golongan rumput pada sebelum perlakuan dimiliki oleh Centrosema pubescens dan pada 60 HST dimiliki oleh gulma Mitracarpus villosus. Gulma teki hanya terdapat pada 60 HST dengan kerapatan yang rendah yaitu 26(Tabel 2).

Jenis gulma yang tumbuh pada seluruh petak percobaan pada 60 HST secara umum menjadi didominasi oleh golongan daun lebar, tetapi jenis gulma rumput

Imperata cylindrica masih mampu bertahan dengan nilai nisbah jumlah dominasi (NJD) yang tinggi (Tabel 2). Gulma baru lainnya yang tumbuh adalah teki (Cyperus rotundus) dengan nilai NJD yang rendah dan hanya terdapat pada perlakuan B0 (4%), B2 (1.92%), dan B5 (1.74%).

(23)

Tabel 2 NJD dari golongan gulma rumput, daun lebar, dan teki pada setiap perlakuan saat sebelum perlakuan dan 60 HST

No. Golongan dan jenis Gulma

---Sebelum perlakuan--- ---60 HST---

JKM Nisbah Jumlah Dominasi (%) JKM Nisbah Jumlah Dominasi (%)

B0 B1 B2 B3 B4 B5 B0 B1 B2 B3 B4 B5

Rumput

1. Imperata cylindrica 1602 13.3 - 23.86 32.99 17.8 25.93 899 32.76 48.76 44.1 31.25 58.3 36.77 2. Pennisetum polystachyon 244 19.33 13.12 11.88 8.78 13.89 10.18 - - - -

3. Panicum maxima 120 11.76 - 14.52 - 18.84 9.04 - - - -

4. Rotboelia exaltata 229 - - - 3.57 3.75 7.8 25 2.68 - 4.39 3.93 - 4.2

5. Paspalum comersonii 617 - 18.45 6.35 13.27 5.03 1.9 - - - -

6. Lain-lain (8 spesies) 982 22.36 35.73 13.37 16.78 - - 194 14.25 15.07 8.18 7.03 5.67 11.67

Daun lebar

1. Calapogonium mucunoides 253 17.26 6.92 5.37 5.16 7.94 11.4 107 10.8 - 10.27 9.67 - 2.33

2. Borreria alata 222 1.67 6.76 6.23 - 4.05 5.57 91 6.8 6.86 6.77 - 2.81 10.14

3. Asystasia intrusa 250 8.89 6.38 8.25 - 9.02 8.92 20 2.87 - - - 3.99 -

4. Mitracarpus villosus - - - 185 10.1 19.96 10.27 20.41 8.41 30.63

5. Mimosa invisa 35 - 6.11 4.5 1.95 2.98 - 37 3.7 - 6.5 - 2.81 -

6. Centrosema pubescens 523 - - 5.67 - 16.7 19.26 - - - -

7. Arachis pintoi 76 - - - 15.5 - - - -

8. Lain-lain (7 spesies) 42 5.43 6.53 - 2 - - 137 12.04 9.35 7.6 27.71 18.01 2.52

Teki

1. Cyperus rotundus - - - 26 4 - 1.92 - - 1.74

Keterangan: JKM= jumlah kerapatan mutlak individu jenis gulma seluruh perlakuan; B0= residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi, B1= residu vegetasi tanpa

mulsa dengan penyiangan, B2= residu dari vegetasi yang diberi MPHP, B3= residu biomulsa Arachis pintoi, B4= residu biomulsa Centrosema pubescens, dan B5=

residu biomulsa Calapogonium mucunoides.

(24)

Jenis gulma yang paling dominan dari golongan daun lebar adalah

Mitracarpus villosus, gulma sukulen berstolon dari famili Rubiaceae yang baru muncul dan terdapat di seluruh perlakuan. Kondisi tersebut mirip dengan hasil penelitian Fitriana et al (2013), bahwa terjadi pergeseran jenis gulma dominan dari golongan rumput menjadi golongan daun lebar setelah perlakuan residu tanaman dan jenis bahan organik lainnya pada lahan kering bekas tanaman jagung, serta gulma yang paling dominan adalah Richardia brasiliensis yang juga termasuk ke dalam famili Rubiaceae. Hal ini dapat diduga bahwa jenis gulma yang cenderung tumbuh setelah perlakuan bahan organik seperti residu dari tanaman pada lahan bekas tanaman jagung adalah dari famili Rubiaceae.

Gulma Imperata cylindrica dapat mendominasi dengan mudah sebab gulma tersebut memiliki alat perkembangbiakan vegetatif berupa rimpang yang cepat pecah dormansinya dan perkembangbiakan generatif berupa biji yang ringan sehingga mudah terbawa oleh angin. Bentuk daunnya yang tumbuh tegak ke atas mampu menyerap cahaya lebih efisien, sehingga pertumbuhannya menjadi lebih cepat dibandingkan jenis gulma lainnya. Kandungan senyawa allelopatinya juga dapat menekan pertumbuhan gulma lain. Maulana (2011) melaporkan pengaruh alelopati dari Imperata cylindrica yang sudah mati dapat menekan gulma Borreria alata, namun tidak efektif untuk menekan gulma Digitaria ascendens.

Seluruh perlakuan menunjukkan bahwa pada saat 60 HST sudah tidak ditemukan lagi keberadaan jenis gulma Pennisetum polystachyon, Panicum maxima, Paspalum comersonii, Centrosema pubescens, dan Arachis pintoi. Hal ini diduga kegiatan pembenaman seluruh vegetasi ke dalam tanah pada petakan masing-masing tersebut dapat memutus siklus hidup dari jenis-jenis gulma tersebut. Perlakuan residu dari biomulsa legum menunjukkan adanya perbedaan pengaruh dari jenis legum yang dibenamkan. Petakan dengan residu Arachis pintoi menunjukkan keragaman jenis gulma yang paling sedikit daripada residu biomulsa legum lainnya; yaitu pada petakan dengan residu Arachis pintoi

sebanyak 3 jenis gulma rumput dan 5 jenis gulma daun lebar, pada petakan dengan residu Centrosema pubescens sebanyak 2 jenis gulma rumput dan 7 jenis gulma daun lebar, sedangkan pada petakan dengan residu Calapogonium mucunoides sebanyak 5 jenis gulma rumput, 4 jenis gulma daun lebar, dan 1 jenis gulma teki (Lampiran 5).

Petakan dengan residu Arachis pintoi mampu menekan kemunculan jenis gulma Pennisetum polystachyon, Panicum maxima, Paspalum comersonii, Borreria alata, Asystasia intrusa, dan Mimosa invisa. Selain itu residu biomulsa

Arachis pintoi juga mampu menekan pertumbuhan gulma dominan dari golongan

rumput yang lebih baik daripada residu biomulsa legum lainnya yaitu Imperata cylindrica, namun tidak mampu menekan gulma daun lebar Mitracarpus villosus

sebaik petakan dengan residu biomulsa Centrosema pubescens.

Hal ini diduga karena perbedaan residu jenis biomulsa yang dibenamkan menimbulkan efek senyawa allelopati yang berbeda, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi yang akan tumbuh kemudian (Junaedi et al

2006). Pergeseran jenis gulma yang tumbuh di lahan juga dipengaruhi oleh persaingan antar spesies dalam kemampuan penyerapan cahaya, kemampuan penyerapan air, kemampuan penyerapan hara (Martin dan Sauerborn 2013), kemampuan alat perkembangbiakan untuk perbanyakan jenisnya (Widiyanto 2012), dan lama waktu dormansi yang dialami (Syarifi 2010).

(25)

Pertumbuhan dan Produksi Tomat

Secara umum perlakuan residu biomulsa berpengaruh nyata terhadap parameter diameter batang, bobot per buah, diameter buah, produksi per tanaman, dan produksi ubinan. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan perbedaan jenis residu biomulsa terhadap pertumbuhan dan produksi tomat disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan perbedaan jenis residu biomulsa terhadap pertumbuhan dan produksi tomat

Parameter F hitung KK (%)

Diameter batang (mm) ** 3.53

Tinggi tanaman (cm) tn 8.01

Jumlah daun (helai) tn 2.14

Jumlah bunga tn 4.70

Jumlah bunga menjadi buah tn 5.22

Bobot per buah (g) ** 6.05

Jumlah buah tn 4.66

Diameter buah (cm) ** 1.03

Produksi per tanaman (g) ** 6.97

Produksi ubinan (g) ** 8.11

** = berbeda nyata pada taraf 1%; * = berbeda nyata pada taraf 5%; tn = tidak berbeda nyata; KK = Koefisien keragaman

Pertumbuhan Tanaman Tomat

Perlakuan jenis residu biomulsa memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan vegetatif kecuali parameter tinggi tanaman, jumlah daun, dan pertumbuhan generatif tomat (Tabel 3). Perlakuan B0 memiliki ukuran rata-rata diameter yang paling besar (5.41 mm), berbeda nyata dengan B2 (4.80 mm), B4 (5.12 mm), dan B5 (4.45 mm). Rata-rata diameter batang tanaman tomat pada perlakuan B3 (5.40 mm) berbeda nyata dan lebih besar dibandingkan dengan rata-rata diameter tomat pada perlakuan B4 (5.12 mm), perlakuan B5 (4.45 mm), dan perlakuan B2 (4.80 mm). Selanjutnya pada Tabel 4 rata-rata tinggi tanaman tomat dari tiap perlakuan adalah 74.38 cm dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Residu dari biomulsa Arachis pintoi (B3) dapat meningkatkan ukuran diameter batang yang cenderung lebih baik dari perlakuan lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Chozin et al (2014), bahwa pemanfaatan Arachis pintoi sebagai biomulsa dapat meningkatkan komponen pertumbuhan tomat seperti tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ruas, dan panjang ruas. Hal ini menjelaskan bahwa

Arachis pintoi yang dimanfaatkan residunya maupun digunakan sebagai biomulsa sangat baik untuk meningkatkan komponen pertumbuhan tomat. Arachis pintoi

sebagai tumbuhan legum memiliki sifat residu yang berkemampuan khusus untuk memberikan unsur N yang lebih banyak ke dalam tanah (Sutanto 2002).

(26)

Tabel 4 Rata-rata pertumbuhan vegetatif dan generatif tomat pada berbagai

Keterangan: B0= residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi, B1= residu vegetasi tanpa mulsa dengan penyiangan, B2= residu dari vegetasi yang diberi MPHP, B3= residu biomulsa Arachis pintoi, B4= residu biomulsa Centrosema pubescens, dan B5= residu biomulsa Calapogonium mucunoides; angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Tanaman tomat mulai berbunga pada umur pada umur 5 MST, namun sebagian besar tanaman (75% dari jumlah populasi) tomat berbunga pada umur 8 MST. Tabel 4 menyajikan nilai rata-rata jumlah bunga dan jumlah bunga menjadi buah yang diamati pada 10 MST, yaitu saat tanaman sudah berhenti berbunga. Rata-rata jumlah bunga yang muncul berkisar antara 21-22 bunga dan bunga yang menjadi buah berkisar antara 15-16 bunga dari tiap perlakuan. Rata-rata persentase bunga yang menjadi buah yaitu sebesar 73.15%.

Pertumbuhan vegetatif yang serupa dari tiap perlakuan ini diduga akibat pengaruh faktor cuaca. Suhu yang tinggi di siang hari kemudian hujan lebat dan langit yang mendung dapat menyebabkan dominasi pertumbuhan vegetatif (Ashari 2006), sehingga tidak terlihat perbedaan tinggi tanaman dan jumlah daun antar perlakuan. Kemampuan yang berbeda dari tiap individu tanaman untuk menyerap unsur N dari dalam tanah merupakan faktor lain yang juga menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat (Jones 2008).

Produksi Tanaman Tomat

Rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan residu biomulsa memberikan pengaruh nyata terhadap seluruh parameter komponen hasil dan produksi tomat kecuali parameter jumlah buah. Secara keseluruhan nilai peubah tertinggi terdapat pada perlakuan B0 dan terkecil pada perlakuan B5 (Tabel 5). Rata-rata bobot per buah pada perlakuan B3 (Arachis pintoi) adalah 25.75 g, lebih tinggi dan berbeda nyata dengan rata-rata bobot buah pada perlakuan biomulsa lainnya (B1, B2, B4, dan B5) yang berturut-turut sebesar 22.49 g, 23.17 g, 20.80 g, dan 20.31 g.

Selanjutnya pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata diameter buah pada perlakuan B3 adalah 3.43 cm. Nilai ini berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan lainnya tetapi lebih kecil dari perlakuan B0 yang memiliki ukuran rata-rata sebesar 3.53 cm. Secara umum nilai rata-rata-rata-rata bobot per buah berbanding lurus dengan rata-rata diameter buah, namun diameter buah rata-rata pada perlakuan B5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan B4 dan B1.

(27)

Tabel 5 Rata-rata produksi tomat pada berbagai perlakuan residu jenis biomulsa

Keterangan B0= residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi, B1= residu vegetasi tanpa mulsa dengan penyiangan, B2= residu dari vegetasi yang diberi MPHP, B3= residu biomulsa Arachis

pintoi, B4= residu biomulsa Centrosema pubescens, dan B5= residu biomulsa Calapogonium

mucunoides; angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Perlakuan residu Arachis pintoi (B3) juga menghasilkan jumlah buah rata-rata per tanaman terbanyak (21.03 buah), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan residu biomulsa lainnya. Produksi rata-rata per tanaman tertinggi dihasilkan oleh perlakuan B0 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, namun hanya memiliki selisih 26.97 g dengan hasil produksi rata-rata per tanaman pada perlakuan B3 (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa produksi per tanaman pada perlakuan residu Arachis pintoi (B3) tidak berbeda dengan perlakuan residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi (B0). Secara khusus dibandingkan dengan residu jenis biomulsa legum lainnya, produksi rata-rata per tanaman dari perlakuan B3 adalah 147.13 g lebih tinggi dari perlakuan B4 dan 151.6 g lebih tinggi dari perlakuan B5.

Rata-rata produksi tomat jika dilihat dalam luasan ubinan 2.4 m x 2.5 m pada perlakuan B0 memiliki nilai tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan B1, B4, dan B5. Merujuk pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa perlakuan residu

Arachis pintoi (B3) menghasilkan produksi ubinan sebesar 6693 g. Nilai tersebut juga lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan residu biomulsa legum lainnya (Centrosema pubescens dan Calapogonium mucunoides), yang secara berturut-turut memiliki selisih 1676 g dan 2106 g.

Berdasarkan hasil secara keseluruhan, perlakuan yang memiliki pengaruh terbaik terhadap pengingkatan hasil produksi tomat adalah perlakuan residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi (B0). Hal ini disebabkan oleh keragaman jenis vegetasinya yang tinggi serta di dalam residu dari vegetasinya juga terdapat tumbuhan legum yang terindentifikasi melalui analisis vegetasi gulma (Tabel 2), yaitu Calapogonium mucunoides sehingga kombinasi tersebut cenderung mampu menghasilkan P yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya (Tabel 1). Unsur P yang tersedia bagi tanaman berbentuk ion ortofosfat (HPO42- dan H2PO4-) yang salah satunya bersumber dari hasil mineralisasi bahan organik (Munawar 2011). Unsur P dibutuhkan oleh tomat untuk pertumbuhan dan perkembangan hingga saat waktu pembentukan buah dan khususnya dibutuhkan untuk proses transfer energi pada jaringan tanaman tomat (Jones 2008).

(28)

Disamping itu, perlakuan residu biomulsa Arachis pintoi juga tidak berbeda kemampuannya dengan perlakuan residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi dalam peningkatan produksi tomat. Produksi tomat juga berbanding lurus dengan perbedaan ukuran diameter batang tomat dari tiap perlakuan. Gardner et al (2008) menjelaskan bahwa pertumbuhan meristem lateral menghasilkan sel-sel baru yang memperluas diameter batang, dimana didalamnya terdapat xylem dan floem yang berperan mengangkut nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Higashide (2013) menambahkan bahwa buah merupakan organ terbesar dan paling banyak menerima hasil fotosintat pada tanaman tomat, sehingga semakin besar ukuran diameter batang maka akan semakin banyak pula hasil fotosintat yang dapat diterima oleh buah tomat.

Keunggulan jenis biomassa Arachis pintoi yang lebih lunak dari biomulsa legum lainnya menyebabkan karbohidrat dan protein dari jaringannya lebih mudah terdekomposisi menjadi fosfat, sulfat, nitrat, amoniak, karbon dioksida, air, dan beberapa unsur lain seperti kalsium. Berlimpahnya humus yang terbentuk memudahkankan tanaman untuk menyerap air dan hara dalam kapasitas yang tinggi dari dalam tanah (Sutanto 2002). Selain itu, manfaatnya juga telah terbukti lebih baik dalam peningkatan produksi tomat daripada perlakuan residu biomulsa legum lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan residu dari biomulsa

Arachis pintoi lebih baik daripada residu biomulsa legum lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Residu dari berbagai jenis biomulsa dapat meningkatkan status hara tanah dan produksi tomat serta mempengaruhi pergeseran jenis gulma. Hasil produksi per tanaman pada perlakuan residu Arachis pintoi tidak berbeda keunggulannya dengan perlakuan residu dari vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi, yaitu dengan selisih sebesar 26.97 g. Peningkatan status hara tanah, komponen hasil, dan produksi tomat pada perlakuan residu Arachis pintoi lebih tinggi daripada perlakuan residu biomulsa legum Centrosema pubescens dan Calapogonium mucunoides. Petakan dengan residu Arachis pintoi mampu menekan kemunculan gulma Pennisetum polystachyon, Panicum maxima, Paspalum comersonii, Borreria alata, Asystasia intrusa, dan Mimosa invisa. Penelitian selanjutnya sebaiknya perlu dilakukan pengujian tentang waktu optimal dari dekomposisi residu biomulsa Arachis pintoi dengan pola rotasi tanaman yang berbeda pada musim berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya. Revisi ke-1. Jakarta (ID): UI Pr. [Balittan] Badan Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah,

Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

(29)

Cahyono B. 2008. Tomat: Usaha Tani & Penanganan Pascapanen. Revisi ke-5. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Chozin MA, Kartika JG, dan Baharuddin R. 2014. Penggunaan kacang hias (Arachis pintoi) sebagai biomulsa pada budidaya tomat (Lycopersicon esculentum). J Hort Indonesia. 4(3):168-174.

Es HV. 2009. Crop Rotation and Soil Tilth. Chapter 3: Physical and Biological Processes in Crop Rtation. Crop Rotation on Organic Farms: A Planning

Manual. Mohler CL dan Johnson SE, editor. New York (US): NRAES.

Febrianto Y. 2012. Pengaruh jarak tanam dan jenis stek terhadap kecepatan penutupan Arachis pintoi Krap. & Greg. sebagai biomulsa pada pertanaman tomat (Licopersicon esculentum M.) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fitriana M, Parto Y, Munandar, dan Budianta D. 2013. Pergeseran jenis gulma akibat perlakuan bahan organik pada lahan kering bekas tanaman jagung (Zea mays L.). J Agron Indonesia. 41(2):118-125.

Gardner FP, Pearce RB, dan Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta (ID): UI Pr.

Gomez KA dan Gomez AA. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan dari: Stathistical Procedure for Agricultural Research. Sjamsudin E dan Bahasjah JS, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Higashide T. 2013. Greenhouse Tomato Yield and Solar Radiation. Tomatoes:

Cultivation, Varieties, and Nutrition. Higashide T, editor. New York (US): Nova Science.

Johnson SE dan Toensmeier E. 2009. How Expert Organic Farmers Manage Crop Rotations. Crop Rotation on Organic Farms: A Planning Manual.

Mohler CL dan Johnson SE, editor. New York (US): NRAES.

Jones JB Jr. 2008. Tomato Plant Culture: In the Field, Greenhouse, and Home Garden. Ed ke-2. Boca Raton (US): CRC Pr.

Junaedi A, Chozin MA, dan Kwang Ho K. 2006. Ulasan: Perkembangan terkini kajian alelopati. Hayati. 13(2):79-84.

Kartika JG, Susila AD, dan Reyes MR. 2009. Review of Literature on Perennial Peanut (Arachis pintoi) as Potential Cover Crop in the Tropics. Kumpulan Makalah Seminar Ilmiah. Susila et al, editor. Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia.

Mahfudz. 2005. Dinamika infestasi dan karakter ekofisiologi gulma di daerah penyangga taman nasional lore lindu [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Martin K dan Sauerborn J. 2013. Agroecology. London (GB): Springer.

Maulana ID. 2011. Penggunaan mulsa alang-alang untuk mengendalikan gulma pada tanaman jagung (Zea mays L.) di lahan kering [Skripsi]. Bogor (ID): Physical and Biological Processes in Crop Rtation. Crop Rotation Organic

Farms: A Planning Manual. Mohler CL dan Johnson SE, editor. New York

(US): NRAES.

(30)

Melati M dan Andriyani W. 2005. Pengaruh pupuk kandang ayam dan pupuk hijau Calapogonium mucunoides terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen muda yang dibudidayakan secara organik. Bul Agron. 33(2):8-15.

Melati M, Asiah A, dan Rianawati D. 2008. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk produksi kedelai panen muda. Bul Agron. 36(3):204-213.

Mohler CL. 2009. The Role of Rotation In Weed Management. Chapter 3: Physical and Biological Processes in Crop Rtation. Crop Rotation on Organic Farms: A Planning Manual. Mohler CL dan Johnson SE, editor. New York (US): NRAES.

Mukhopadhyay S. 2011. Plant Virus, Vector Epidemiology and Management. Enfield (US): Science.

Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor (ID): IPB Pr. Oliveira CA, Muzzi MRS, Purcino HA, Marriel IE, dan Sá NMH. 2003.

Decomposition of Arachis pintoi and Hyparrhenia rufa litters in monoculture and intercropped systems under lowland soil. Pesq Agropec Brasilia. 38(9):1089-1095.

Radosevich SR, Holt JS, dan Ghersa CM. 2007. Ecology of Weeds and Invasive Plants: Relationship to Agriculture and Natural Resources Management. Edisi Ketiga. Canada (CA): John Wiley and Sons.

Rahim SE. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Silmi F dan Chozin MA. 2014. Pemanfaatan biomulsa kacang hias (Arachis pintoi) pada budidaya jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) di lahan kering. J Hort Indonesia. 5(1):1-9.

Soltys D, Krasuska U, Bogatek R, dan Gniazdowska A. 2013. Chapter 20: Allelochemicals as Bioherbicides - Present and Perspectives. Herbicides – Current Research and Case Studies Use. Price AJ dan Kelton JA, editor. Rijeka (HR): InTech Europe.

Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Syarifi N. 2010. Pemanfaatan mulsa gulma untuk pengendalian gulma pada tanaman kedelai di lahan kering [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wahjudin UM. 2006. Pengaruh pemberian kapur dan kompos sisa tanaman terhadap aluminium dapat ditukar dan produksi tanaman kedelai pada tanah

vertic hapludult dari gajrug, banten. Bul Agron. 34(3):141-147.

Wawan, Sabiham S, Idris K, Djajakirana G, dan Anwar S. 2007. Keselarasan penyediaan nitrogen dari pupuk hijau dan urea dengan pertumbuhan jagung pada inceptisol dramaga. Bul Agron. 34(3):161-167

Widiyanto G. 2012. Identifikasi dan karakterisasi gulma-gulma ruderal invasif di Kebun Raya Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wijaya KA. 2008. Nutrisi Tanaman. Jakarta (ID): Prestasi Pustaka.

Yakup YS. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Revisi ke-3. Jakarta (ID): RajaGrafindo Persada.

(31)

LAMPIRAN

B0 = Monokultur tomat dengan residu vegetasi tanpa mulsa yang tidak disiangi. B1 = Monokultur tomat dengan residu vegetasi tanpa mulsa dengan penyiangan. B2 = Monokultur tomat dengan residu dari vegetasi yang diberi MPHP.

B3 = Monokultur tomat dengan residu biomulsa Arachis pintoi.

B4 = Monokultur tomat dengan residu biomulsa Centrosema pubescens. B5 = Monokultur tomat dengan residu biomulsa Calopogonium mucunoides.

Lampiran 2 Kriteria penilaian analisis tanah menurut Balittan (2005)

Parameter tanah

Nilai

Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat

Keterangan: me 100 g tanah-1 sama dengan cmol kg-1

U

(32)

Lampiran 3 Data iklim bulan November 2014-April 2015, Dramaga, Bogor Bulan Temperatur

rata-rata (ºC) Curah hujan (mm) Kelembaban (%)

November 2014 26.3 673.2 83

Desember 2014 26.3 209.5 82

Januari 2015 25.2 250.6 87

Februari 2015 25.0 345.6 88

Maret 2015 25.6 374.3 85

April 2015 25.8 206.1 86

Sumber : BMKG Dramaga, Bogor (2015).

Asal tanaman : Persilangan induk jantan TO 5186 dengan induk-induk betina TO 4142

Golongan : Hibrida F1

Adaptasi lingkungan : Beradaptasi baik di dataran rendah (0 – 400 m dpl) Tipe pertumbuhan : Determinate

Umur (setelah tanam) : Berbunga (25 HST), panen (70 – 100 HST) Tinggi tanaman : 125-150 cm (awal panen)

Diameter batang : 2-3 cm Warna daun : Hijau sedang Warna mahkota bunga : Kuning

Warna buah : hijau (muda), merah (masak) Bentuk buah : Oval dan keras

Bobot buah : 50 – 100 g

Ukuran buah : Panjang 4 – 5 cm dan diameter 5.5 – 6 cm Ketahanan : Tahan terhadap penyakit Bacterial wilt (layu

bakteri), Blossom end root, Fusariumoxysporum race O, dan Fusarium oxysporum race-1, dan TMV. Cukup tahan genangan air, tahan simpan Potensi Hasil : Mencapai 3 kg per tanaman atau 50 – 70 ton/ha Frekuensi panen : 2-5 hari sekali

Rasa buah : Manis (4.5% brix)

Sumber : PT East West Seed Indonesia.

(33)

Golongan dan jenis gulma Famili

Nilai Jumlah Dominasi (%)

Sebelum perlakuan 30 HST 60 HST

B0 B1 B2 B3 B4 B5 B0 B1 B2 B3 B4 B5 B0 B1 B2 B3 B4 B5

Rumput

Axonopus compressus Poaceae - 5.08 - 4.12 - - - 7.47 - - - 5.96 - - - -

Brachiaria distachya Poaceae 6.43 14.78 - - - - 3.2 7.18 - - - - 3.7 6.35 - - - 6.29

Cynodon dactylon Poaceae 3.33 - - - 7.58 11.45 - - 4.63 3.41 2.57 2.76 - - 5.67 2.16

Digitaria ascendens Poaceae - 4.29 4.03 4.72 - - 5.22 - 11.31 - - - 2.92 - 8.18 - - -

Digitaria ciliaris Poaceae - - - 6.31 - - - 3.22

Eleusine indica Poaceae 1.60 - - - -

Imperata cylindrica Poaceae 13.30 - 23.86 32.99 17.80 25.93 21.65 13.92 17.91 29.29 19.22 14.29 32.76 48.76 44.10 31.25 58.30 36.77

Ottochloa nodosa Poaceae 4.56 - 4.22 7.94 - - - 4.53 - - 5.06 - - 7.03 - -

Paspalum comersonii Poaceae - 18.45 6.35 13.27 5.03 1.90 - - - -

Paspalum conjugatum Poaceae 6.45 11.58 5.12 - - - -

Panicum maxima Poaceae 11.76 - 14.51 - 18.84 9.04 - - - -

Pennisetum polystachyon Poaceae 19.33 13.12 11.88 8.78 13.89 10.18 - - - -

Rotboelia exaltata Poaceae - - - 3.57 3.75 7.80 10.80 - 3.28 3.47 - 14.50 2.68 - 4.39 3.93 - 4.20

Daun lebar

Asystasia intrusa Acanthaceae 8.89 5.89 8.25 - 9.02 8.92 2.39 - - - 3.85 - 2.87 - - - 3.99 -

Arachis pintoi Leguminosae - - - 15.50 - - - 7.48 - - - -

Borreria alata Rubiaceae 1.67 6.76 6.23 - 4.05 5.58 6.00 19.39 17.22 - 24.46 16.98 6.80 6.86 6.77 - 2.81 10.14

Croton hirtus Euphorbiaceae - - - 12.18 3.51 6.97 5.62 - 4.54 3.20 4.16 13.56 8.07 -

Calapogonium mucunoides Leguminosae 17.26 6.92 5.37 5.16 7.94 11.40 10.79 - 7.02 5.08 - 3.83 10.81 - 10.27 9.67 - 2.32

Centrosema pubescens Leguminosae - - 5.67 - 16.70 19.26 - - - -

Cleome rutidosperma Capparidaceae 3.62 - - - 2.17 6.14 5.91 2.73 5.83 - 3.44 7.06 3.15 2.52

Emilia sonchifolia Compositae - - - 3.81 - - - - 1.67 2.96 - - - -

Euphorbia hirta Euphorbiaceae - 1.42 - - - -

Mimosa invisa Leguminosae - 6.11 4.50 1.95 2.98 - 11.94 - 5.84 - 5.65 - 3.70 - 6.50 - 2.81 -

Mimosa pudica Leguminosae 1.81 3.33 - 2.00 - - - 10.34 - 12.80 8.48 - - 3.20 - 7.10 6.79 -

Mitracarpus villosus Rubiaceae - - - 8.80 14.24 25.22 24.24 22.17 29.93 10.10 19.96 10.27 20.41 8.41 30.63

Richardia brasiliensis Rubiaceae - 1.78 - - - -

Teki

Cyperus rotundus Cyperaceae - - - 11.62 6.53 6.22 4.00 - 1.92 - - 1.74

Lampiran 5 Nilai Jumlah Dominasi (NJD) gulma pada tiap perlakuan saat sebelum perlakuan, 30 HST, dan 60 HST

(34)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1992 dari bapak Oendari Azis Munawir dan ibu Rasmiaty Oekaddy. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Lulus dari SMAN 112 Jakarta pada tahun 2010 penulis melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan di luar akademik. Penulis aktif di organisasi eksternal kampus Himpinan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Faperta IPB sebagai anggota pada tahun 2011/2012, ketua bidang pemberdayaan anggota pada tahun 2012/2013, dan sekretaris umum pada tahun 2014/2015. Penulis juga turut mengikuti kepanitiaan di berbagai kegiatan Himpunan Mahasiswa Agronomi (HIMAGRON) IPB. Penulis menjadi kepala divisi acara pada Masa Perkenalan Departemen (MPD) angkatan 48, Staf divisi acara Indonesia Horticulture Investment and Business Forum (IHIBF) Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) 2013, dan sebagai koordinator acara pleno IHIBF FBBN 2014.

Gambar

Gambar 1   Serangan penyakit yang terjadi pada lahan percobaan; (a) layu
Tabel 1 Status hara tanah pada awal perlakuan dan akhir perlakuan residu jenis biomulsa
Tabel 2 NJD dari golongan gulma rumput, daun lebar, dan teki pada setiap perlakuan saat sebelum perlakuan dan 60 HST
Tabel 3 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan perbedaan jenis residu
+2

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat bahwa sejak tahun 2010 pemerintah telah mulai memberikan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi kepada mahasiswa berprestasi yang memiliki keterbatasan

Analisis bagi setiap item pula menunjukkan lima pernyataan berkaitan dengan mentafsir simbol, lambang, moto, logo dan bahasa isyarat dengan betul, menunjukkan pihak bekas

Aplikasi sikap ikhlas dalam pendidikan Islam adalah memberikan dan membekali pendidikan agama kepada setiap muslim, membina dan menanamkan Iman ke dalam jiwa setiap

Perhitungan diatas merupakan nilai energi berguna tertinggi yang mampu dicapai dalam proses penelitian dengan menggunakan beberapa variabel dan berikut kami sertakan

Aktor untuk mengimplementasikan proyek ini adalah perlunya partisipasi dari keluarga anak yang mana keluarga menjadi indicator penting untuk meningkatkan atau mendorong

Hasil analisis diperoleh bahwa koefisien korelasi sebesar 0,525 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,001 pada taraf kesalahan sebesar 0,01. Karena 0,001 lebih besar dari 0,01

Pengelompokan Berdasarkan Nilai Investasi (NI) Pengelompokan berdasarkan nilai investasi dengan menghitung jumlah pemakaian dikalikan harga rata-rata obat selama periode

Bahwas terdapat kekosongan norma dalam KUHP mengenai larangan inses dimana tidak adanya norma hukum pidana yang mengatur secara tegas unsur-unsur inses, subyek